Ali bin Abi Thalib

Khalifah Kekhalifahan Rasyidin ke-4 (m. 656–661) dan Imam Syiah pertama.

Ali bin Abi Thalib (bahasa Arab: عَلِيّ بْن أَبِي طَالِب, translit. ʿAlī bin Abī Ṭālib; ca 600–661) adalah sepupu sekaligus menantu dari nabi Islam Muhammad dan penerusnya, sebagai Imam Syiah pertama dan Khalifah keempat yang memerintah negara Islam pertama Kekhalifahan Rasyidin dari tahun 656 hingga kematiannya pada tahun 661 M. Lahir dari pasangan Abu Thalib bin Abdul Muthalib dan Fatimah binti Asad, Ali muda dibesarkan oleh sepupunya, Muhammad, dan menjadi salah satu orang pertama yang menerima ajarannya.

Ali bin Abi Thalib
عَلِيّ بْن أَبِي طَالِب
Amirul Mukminin
Abu Turab
Medali kaligrafi bertuliskan nama Ali di Hagia Sophia.
Khalifah Kekhalifahan Rasyidin ke-4
BerkuasaJuni 656 – Januari 661
PendahuluUtsman bin Affan
PenerusJabatan dihapuskan
Hasan bin Ali (sebagai khalifah)
Imam Syiah ke-1
Masa jabatanJuni 632 – Januari 661
PendahuluJabatan dibentuk
PenerusHasan bin Ali
Kelahiranca 600 M
Makkah, Hijaz, Jazirah Arab
Kematianca 28 Januari 661 CE
(ca  21 Ramadhan 40 H)
(usia ca 60/63 tahun)
Kufah, Kekhalifahan Rasyidin
Pemakaman
Dipercaya telah dimakamkan di Makam Imam Ali, Najaf, Irak
31°59′46″N 44°18′51″E / 31.996111°N 44.314167°E / 31.996111; 44.314167
Pasangan
Istri
Keturunan
SukuQuraisy (Bani Hasyim)
AyahAbu Thalib bin Abdul Muthalib
IbuFatimah binti Asad
AgamaIslam
Nama Arab
Pribadi (Ism)ʿAlī
Patronimik (Nasab)ʿAlī bin Abī Ṭālib bin ʿAbd al-Muṭṭālib bin Hāsyim bin ʿAbdu Manāf bin Quṣayy bin Kilāb bin Murrah
Teknonim (Kunyah)Abul Ḥasan

Ali memainkan peran penting di tahun-tahun awal Islam ketika Muslim dianiaya dengan kejam di Makkah. Setelah imigrasi (hijrah) ke Madinah pada tahun 622, Muhammad mengawinkan putrinya, Fatimah kepada Ali dan bersumpah persaudaraan dengannya. Ali menjabat sebagai sekretaris dan wakil Muhammad pada periode ini, dan merupakan salah satu pembawa bendera pasukan Islam. Banyak ucapan Muhammad yang memuji Ali, yang paling kontroversial diucapkan pada tahun 632 di Ghadir Khum, "Barangsiapa yang menganggap aku sebagai mawla, Maka Ali adalah mawla pula untuknya." Penafsiran kata polisemi Arab mawla masih diperdebatkan: Bagi Muslim Syiah, Muhammad memberikan Ali otoritas agama dan politiknya, sementara Muslim Sunni memandang hal ini hanya sebagai pernyataan persahabatan dan hubungan baik. Ketika Muhammad meninggal pada tahun yang sama, sekelompok Muslim mengadakan pertemuan tanpa kehadiran Ali dan menunjuk Abu Bakar ash-Shiddiq (m. 632–634) sebagai khalifah baru mereka. Ali kemudian melepaskan klaimnya atas kepemimpinan dan mengundurkan diri dari kehidupan publik pada masa pemerintahan Abu Bakar dan penggantinya, Umar bin Khattab (m. 634–644). Meskipun nasihatnya kadang-kadang diminta, konflik antara Ali dan dua khalifah pertama ditandai dengan penolakannya untuk mengikuti praktik mereka. Penolakan ini membuat Ali kehilangan peluangnya untuk menjadi khalifah hingga akhirnya jabatan khalifah jatuh ke tangan Utsman bin Affan (m. 644–656), yang kemudian ditunjuk untuk menggantikan Umar oleh dewan pemilihan. Ali juga sangat kritis terhadap Utsman, yang banyak dituduh melakukan nepotisme dan korupsi. Namun Ali juga berulang kali menjadi penengah antara khalifah dan para pemberontak tingkat provinsi yang marah atas kebijakan kontroversial khalifah.

Setelah pembunuhan Utsman pada tahun 656, Ali terpilih sebagai khalifah di Madinah. Dia segera menghadapi dua pemberontakan terpisah, kedua pemberontakan ini ditujukan untuk membalas kematian Utsman dan menuntut khalifah untuk menangkap pembunuhnya. Pemberontakan pertama dimulai oleh tiga serangkai Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Aisyah, janda Muhammad yang menguasai Basra di Mesopotamia Hilir; mereka berhasil dikalahkan oleh Ali pada Pertempuran Jamal di tahun 656. Di tempat lain, Muawiyah bin Abu Sufyan, yang baru saja disingkirkan Ali dari jabatan gubernur Suriah, berperang melawan Ali dalam Pertempuran Siffin pada tahun 657, yang berakhir dengan proses arbitrase yang gagal dan menyebabkan sebagian pendukung Ali mengasingkan diri. Mereka membentuk kelompok Khawarij, yang kemudian meneror masyarakat dan dihancurkan oleh Ali dalam Pertempuran Nahrawan pada tahun 658. Ali dibunuh pada tahun 661 oleh pemberontak Khawarij, Ibnu Muljam. Pembunuhan Ali membuka jalan bagi Muawiyah untuk merebut kekuasaan dan mendirikan dinasti Kekhalifahan Umayyah.

Dalam budaya Muslim, Tempat Ali dikatakan berada di urutan kedua setelah Muhammad. Ali dihormati karena keberaniannya, kejujurannya, pengabdiannya yang teguh pada Islam, kemurahan hati, dan perlakuan setara terhadap semua Muslim. Bagi para pengagumnya, ia telah menjadi pola dasar Islam yang tidak korup dan kesatriaan pra-Islam. Muslim Sunni menganggapnya sebagai Khulafaur Rasyidin (terj. har.'Khalifah yang mendapat petunjuk') terakhir, sementara Muslim Syiah menghormatinya sebagai Imam pertama mereka, yaitu penerus agama dan politik yang sah bagi Muhammad. Makam Ali di Najaf, Irak, adalah tujuan utama ziarah Syiah. Warisan Ali kini dikumpulkan dan dipelajari dalam berbagai buku, yang paling terkenal di antaranya adalah Nahjul Balaghah.

Kehidupan awal

Ali lahir di Makkah dari pasangan Abu Thalib bin Abdul Muthalib dan istrinya Fatimah binti Asad sekitar tahun 600 M.[1] Tanggal lahirnya kemungkinan 13 Rajab,[2][3] yang merupakan acara yang dirayakan setiap tahun oleh Muslim Syiah.[4] Ali mungkin satu-satunya orang yang lahir di dalam Ka'bah,[3][2][1] situs paling suci Islam, yang terletak di Makkah. Ayah Ali adalah seorang tetua dan anggota terkemuka dari Banu Hasyim, sebuah klan dalam suku Quraisy Makkah.[2] Abu Thalib juga membesarkan keponakannya Muhammad setelah orang tuanya meninggal. Kemudian ketika Abu Thalib jatuh miskin, Ali diasuh pada usia sekitar lima tahun dan dibesarkan oleh Muhammad dan istrinya, Khadijah binti Khuwailid.[3]

 
Ali dalam salinan ilustrasi epik Turki Siyer-i Nebi.

Ketika berusia sekitar sepuluh atau sebelas tahun,[1] Ali termasuk orang pertama yang menerima ajaran Muhammad dan memeluk Islam. Ali masuk Islam setelah Khadijah dan sahabat Muhammad, Abu Bakar. Meskipun urutan yang tepat masih diperdebatkan di kalangan ulama Syiah dan Sunni,[5] sumber paling awal menempatkan Ali sebelum Abu Bakar.[1] Selama dakwah Muhammad di Makkah yang berlangsung dari tahun 610 hingga 622, Ali dengan tekun tetap mendukung komunitas kecil Muslim, khususnya masyarakat miskin.[3] Sekitar tiga tahun setelah wahyu pertamanya,[6] Muhammad mengumpulkan kerabatnya untuk menyampaikan peringatan pertama, mengundang mereka masuk Islam, dan meminta bantuan mereka untuk ikut serta menegakkan fondasi agama barunya.[7] Ketika berusia sekitar empat belas tahun,[7][8] Menurut sejarawan Sunni ath-Thabari, Ali adalah satu-satunya kerabat di sana yang menawarkan dukungannya, setelah itu Muhammad memberi tahu tamunya bahwa Ali adalah saudaranya dan penerusnya.[1][7] Menurut penafsiran Syiah, peristiwa ini adalah tanda bahwa Muhammad telah menunjuk Ali sebagai penggantinya.[7][9]

Melayani Muhammad

Ketika diberitahu tentang rencana pembunuhan yang dipersiapkan oleh para tetua Quraisy pada tahun 622, Muhammad melarikan diri ke Yatsrib, yang sekarang dikenal sebagai Madinah, namun Ali tetap tinggal di rumah Muhammad sebagai umpan bagi para pembunuh.[3][10] Peristiwa Ali mempertaruhkan nyawanya demi Muhammad dikatakan sebagai alasan diturunkannya ayat Al-Quran,[11][12][2]

Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridaan Allah.

Emigrasi ini menandai dimulainya kalender Islam (Hijriyah). Ali pun melarikan diri dari Makkah setelah mengembalikan barang-barang yang dipercayakan kepada Muhammad kepada pemiliknya masing-masing.[5] Kemudian di Madinah, Muhammad memilih Ali sebagai saudaranya ketika ia berpasangan dengan Muslim untuk menjalin ikatan persaudaraan.[13] Sekitar tahun 623–625, Muhammad menikahkan putrinya, Fatimah kepada Ali,[14][15] saat Ali berusia sekitar dua puluh dua pada saat itu.[3] Muhammad sebelumnya telah menolak lamaran pernikahan untuk Fatimah oleh beberapa para sahabat, terutama Abu Bakar dan Umar bin Khattab.[16][15][17]

Peristiwa Mubāhalah

 
Muhammad dan Ali, sebuah folio dari epos Iran abad kelima belas, Khavarannama

Seorang utusan Kristen Arab dari Najran, berlokasi di Arab Selatan, tiba di Madinah sekitar tahun 632 dan merundingkan perjanjian damai dengan Muhammad.[18][19] Utusan itu juga berdebat dengan Muhammad tentang sifat Yesus, apakah ia adalah manusia atau ilahi.[20][21] Terkait dengan peristiwa ini, turunlah ayat 3:61 Al-Qur'an,[22] yang menginstruksikan Muhammad untuk menantang lawan-lawannya dengan mubāhalah (terj. har.'kutukan'),[23] mungkin ketika perdebatan mereka menemui jalan buntu.[21] Meskipun delegasi tersebut pada akhirnya menarik diri dari tantangan tersebut,[19] Muhammad melakukan mubāhalah, ditemani oleh Ali, istrinya Fatimah, dan kedua putra mereka, Hasan dan Husain.[24][13] Dimasukkannya Ali beserta keluarganya dalam ritual mubahala oleh Muhammad sebagai saksi dan penjaminnya,[25][26] kemungkinan besar meningkatkan peringkat agama mereka dalam komunitas.[20][27] Apabila kata "diri kita sendiri" dalam ayat tersebut mengacu pada Ali dan Muhammad, sebagaimana argumen para penulis Syiah, maka Ali secara alami mempunyai otoritas keagamaan yang sama dalam Al-Qur'an dengan Muhammad.[28][29]

Karier politik

Di Madinah, Ali bertindak sebagai sekretaris dan wakil Muhammad.[30][5] Dia juga salah satu juru tulis yang ditugaskan oleh Muhammad untuk menulis Al-Quran.[3] Pada tahun 628, Ali menuliskan ketentuan Perjanjian Hudaibiyah, perjanjian damai antara umat Islam dan orang-orang kafir Makkah. Pada tahun 630, wahyu ilahi mendorong Muhammad untuk menggantikan Abu Bakar dengan Ali untuk pengumuman penting terkait Al-Quran di Makkah,[31][32] hal ini sebagaimana yang tercantum dalam kumpulan hadis Sunni, Sunan an-Nasa'i.[2] Ali juga membantu memastikan bahwa Penaklukan Makkah pada tahun 630 tidak menumpahkan darah dan kemudian menghancurkan berhala yang bertempat di Ka'bah.[3] Pada tahun 631, Ali diutus untuk mendakwahkan Islam di Yaman,[3] untuk mengajarkan Islam kepada penduduk Hamdani Yaman yang berpindah agama secara damai.[10][2] Ali juga secara damai menyelesaikan pertikaian berdarah antara umat Islam dan Bani Jadzimah.[2]

Karier militer

 
Zulfikar dengan dan tanpa perisainya, diukir di Bab an-Nasr di Kairo, Mesir.
 
Teks Arab paling atas berbunyi, “Tidak ada pemuda ksatria kecuali Ali dan tidak ada pedang kecuali Zulfikar”

Ali menemani Muhammad dalam semua misi militernya kecuali Ekspedisi Tabuk pada tahun 630, di mana Ali ditinggalkan untuk memimpin Madinah.[10] Hadis posisi dikaitkan dengan kejadian ini, "Apakah kamu tidak puas apabila Ali, berdiri di hadapanku sebagaimana Harun berdiri di hadapan Musa, kecuali bahwa tidak akan ada lagi nabi setelah aku?” Pernyataan ini muncul dalam sumber-sumber kanonik Sunni, di antaranya Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim.[33] Bagi Syiah, hadis ini menegaskan hak Ali sebagai pengganti Muhammad yang sah.[34] Dengan ketidak hadiran Muhammad, Ali memerintahkan ekspedisi ke Fadak pada tahun 628.[5][3]

 
Ali selama Pertempuran Khaibar.

Ali terkenal karena keberaniannya di medan perang,[13][5] dan atas kemurahan hatinya terhadap musuh-musuhnya yang telah dikalahkan.[35] Dia adalah pembawa panji dalam Pertempuran Badar (624) dan Pertempuran Khaibar (628).[30] Dia dengan gigih membela Muhammad dalam Pertempuran Uhud (625) dan Pertempuran Hunain (630),[13][3] bahkan kemenangan umat Islam dalam Pertempuran Khaibar disebabkan oleh keberaniannya,[5] di mana dia dikatakan telah merobek dan mengangkat gerbang besi benteng musuh.[13] Ali juga mengalahkan jawara Quraisy Amr bin Abdul Wudd dalam Pertempuran Khandaq pada tahun 627.[2] Menurut sejarawan Sunni ath-Thabari,[2] Muhammad dilaporkan telah mendengar suara ilahi berkumandang di Uhud yang mengatakan "[Tidak ada] pedang kecuali Zulfikar [pedang Ali], dan [tidak ada] pemuda ksatria (fata) kecuali Ali."[32][3] Ali dan sahabat lainnya, Zubair bin Awwam, rupanya termasuk di antara sahabat senior yang mengawasi pembantaian orang-orang Bani Quraizhah karena pengkhianatan mereka pada tahun 626–627,[5] meskipun historisitas kisah ini diragukan.[36][37][38]

Ghadir Khum

 
Penobatan Ali di Ghadir Khum (MS Arab 161, folio 162r, ilustrasi manuskrip Ilkhanate tahun 1307–1308).

Dalam perjalanan pulang dari Haji wadak (632), Muhammad menghentikan karavan besar peziarah di Rabigh dan berbicara kepada mereka setelah salat berjamaah.[39] Sambil menggandeng tangan Ali, Muhammad bertanya kepada orang banyak apakah dia lebih dekat (awla) dengan orang-orang beriman dibandingkan dengan diri mereka sendiri, dan mereka membenarkannya.[40] Muhammad kemudian mendeklarasikan, "Barangsiapa yang menjadikanku sebagai mawla, maka Ali juga menjadi mawla untuknya."[41][42] Musnad Ahmad, sebuah sumber kanonik Sunni, menambahkan bahwa Muhammad mengulangi pernyataan ini tiga atau empat kali lagi dan juga menyatakan bahwa Umar bin Khattab menyalami serta mengucapkan selamat kepada Ali dengan mengatakan, "Kini kamu telah menjadi mawla bagi setiap pria dan wanita yang beriman."[43][44] Muhammad sebelumnya telah memperingatkan umat Islam tentang kematiannya yang akan datang.[40][45][46] Sumber Syiah menggambarkan peristiwa tersebut secara lebih rinci, mengaitkan khotbah tersebut dengan Al-Qur'an 5:3 dan 5:67.[40]

Keaslian riwayat Ghadir Khum jarang dibantah,[42][47][48][45] dan termasuk "di antara yang paling banyak diakui dan dibuktikan kebenarannya" dalam sumber-sumber Islam klasik.[49] Bagaimanapun, frasa mawla adalah kata polisemi Arab dan penafsirannya dalam konteks Ghadir Khum terbagi berdasarkan garis sektarian. Sumber-sumber Syiah mengartikan mawla sebagai 'pemimpin', 'tuan', dan 'pelindung',[50] sedangkan sumber Sunni menafsirkannya sebagai cinta atau dukungan terhadap Ali.[3][51] Oleh karena itu, kaum Syiah memandang Ghadir Khum sebagai penobatan Ali dengan otoritas agama dan politik Muhammad,[52][53][2] sedangkan kaum Sunni hanya menganggapnya sebagai pernyataan tentang hubungan baik antara kedua pria tersebut,[3][45][54] atau bahwa Ali harus melaksanakan kehendak Muhammad.[3] Syiah menunjukkan sifat luar biasa dari pengumuman tersebut,[51] sambil memberikan bukti Al-Qur'an dan tekstual,[55][40][45] dan berargumentasi untuk menghilangkan makna lain dari mawla dalam hadis tersebut kecuali kewibawaan,[56] Sementara kaum Sunni cenderung kurang memerhatikan khotbah Ghadir Khum dengan menganggapnya sebagai tanggapan sederhana terhadap keluhan massa sebelumnya terhadap Ali.[57] Pada masa pemerintahannya kelak, Ali diketahui meminta umat Islam untuk menyampaikan kesaksian mereka tentang Ghadir Khum,[58][59][60] mungkin untuk melawan tantangan publik terhadap legitimasinya sebagai khalifah.[61]

Pasca-Muhammad

Suksesi Muhammad

 
Ambigram bergambar Muhammad (kanan) dan Ali (kiri) ditulis dalam satu kata. Bentuk terbalik 180 derajat menunjukkan kedua kata tersebut.

Saqifah

Muhammad meninggal pada tahun 632 ketika Ali berusia awal tiga puluhan.[62] Saat dia dan kerabat dekat lainnya bersiap untuk mengadakan upacara pemakaman,[63][64] sekelompok Anshar (penduduk asli Madinah, terj. har.'penolong') berkumpul di sebuah tempat yang bernama Saqifah untuk membahas masa depan umat Islam atau untuk merebut kembali kendali atas kota mereka, Madinah. Abu Bakar dan Umar termasuk di antara sedikit perwakilan Muhajirin (mualaf Makkah, terj. har.'imigran') di Saqifah.[65] Kasus Ali tidak berhasil diangkat ke Saqifah karena ketidakhadirannya,[66][67] dan pada akhirnya, mereka yang hadir di sana menunjuk Abu Bakar sebagai pemimpin setelah perdebatan sengit yang konon berujung kekerasan.[68] Persaingan klan di Saqifah memainkan peran penting yang menguntungkan Abu Bakar,[63][69] dan hasilnya mungkin berbeda apabila pertemuan ini melibatkan dewan Syura dengan Ali sebagai kandidatnya.[70][71] Secara khusus, tradisi suksesi turun-temurun Quraisy sangat disukai Ali,[72][73][74] meskipun otoritasnya tidak terlalu berpengaruh karena usianya yang masih muda.[5][62] Sebaliknya, suksesi (kekhalifahan) Abu Bakar sering kali dibenarkan atas dasar bahwa ia memimpin salat di hari-hari terakhir Muhammad,[63][75] namun kebenaran dan signifikansi politis dari laporan-laporan tersebut dipertanyakan.[63][76][77]

Penyerangan terhadap rumah Fatimah

Meskipun penunjukan Abu Bakar mendapat sedikit perlawanan di Madinah,[75] Bani Hasyim dan beberapa sahabat Muhammad segera berkumpul untuk melakukan protes di halaman rumah Ali.[78][79] Di antara mereka adalah Zubair bin Awwam dan paman Muhammad, Abbas bin Abdul Muthalib.[79] Para pengunjuk rasa ini menganggap Ali sebagai penerus sah Muhammad,[15][80] serta turut menyebut-nyebut peristiwa Ghadir Khum.[45][81] ath-Thabari melaporkan bahwa Umar kemudian memimpin massa bersenjata ke kediaman Ali dan mengancam akan membakar rumah tersebut jika Ali dan para pendukungnya tidak berjanji setia kepada Abu Bakar.[82][15][83][84] Kerusuhan segera terjadi setelah Zubair menghunuskan pedangnya dan mengancam akan melawan balik,[81][85] namun Umar kemudian mundur setelah istri Ali, Fatimah, memohon kepada mereka agar tak melanjutkan pertempuran di rumahnya.[82] Abu Bakar kemudian melakukan boikot terhadap Bani Hasyim,[86] yang pada akhirnya membuat mereka secara perlahan meningalkan dukungan mereka kepada Ali.[86][87] Kemungkinan besar, Ali sendiri tidak berjanji setia kepada Abu Bakar sampai Fatimah meninggal enam bulan kemudian setelah kematian ayahnya, Muhammad.[88] Dalam sumber-sumber Syiah, kematian (dan keguguran) Fatimah yang masih berusia muda dikaitkan dengan penyerangan yang dipimpin Umar untuk menaklukkan Ali atas perintah Abu Bakar.[89][15][80] Sunni dengan tegas menolak laporan ini,[90] namun terdapat bukti dalam sumber awal bahwa massa memasuki rumah Fatimah secara paksa dan menangkap Ali,[91][92][93] Menjelang kematiannya, Abu Bakar dilaporkan sangat menyesal atas terjadinya peristiwa ini.[94][95] Mungkin sebuah langkah politik untuk melemahkan Bani Hasyim,[96][97][98][99] Abu Bakar sebelumnya telah menyita tanah Fadak dari Fatimah, yang telah dianggap oleh Fatimah sebagai warisan (atau hadiah) dari ayahnya.[100][101] Penyitaan Fadak sering kali dibenarkan dalam sumber-sumber Sunni dengan adanya hadis tentang warisan kenabian, yang keasliannya diragukan oleh Syiah antara lain karena menurut mereka bertentangan dengan perintah Al-Qur'an.[100][102]

Pemerintahan Abu Bakar (m. 632–634)

Karena tidak adanya dukungan rakyat, Ali akhirnya menerima pemerintahan Abu Bakar, mungkin demi membentuk persatuan di antara umat Islam.[103][104][105] Secara khusus, Ali menolak usulan untuk memaksakan kekhalifahan.[106][5] Namun dia memandang dirinya sebagai calon pemimpin yang paling memenuhi syarat berdasarkan kebajikan dan kekerabatannya dengan Muhammad.[107][108][109] Sejumlah bukti menunjukkan bahwa Ali selanjutnya menganggap dirinya sebagai penerus Muhammad yang sah.[110][59][111] Dibandingkan dengan ketika Muhammad masih hiduo,[112][113] Ali pensiun dari kehidupan publik pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan penerusnya, Umar dan Utsman.[3][112][13] Meskipun Ali konon memberi nasihat kepada Abu Bakar dan Umar mengenai urusan pemerintahan dan agama,[3][13] konflik antara mereka dengan Ali juga terdokumentasi dengan baik,[114][115][116] namun sebagian besar diabaikan dalam sumber-sumber Sunni.[117][118] Ketegangan ini terlihat pada saat sidang dewan pemilihan pada tahun 644 ketika Ali menolak untuk terikat dengan prioritas dua khalifah pertama.[113][112] Sebaliknya, sumber-sumber Syiah memandang janji Ali kepada Abu Bakar sebagai tindakan politik yang dipaksakan (taqiyah).[119] Meskipun begitu, konflik antara Abu Bakar dan Umar dengan Ali tampaknya telah dilebih-lebihkan dalam sumber-sumber Syiah.[117]

Pemerintahan Umar (m. 634–644)

Sebelum kematiannya pada tahun 634, Abu Bakar menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya.[120] Ali tidak diajak berkonsultasi mengenai penunjukan ini, yang awalnya ditentang oleh beberapa rekan seniornya.[121] Ali sendiri kali ini tidak mengajukan klaim apa pun dan menjauhkan diri dari urusan publik pada masa kekhalifahan Umar,[122] walaupun Umar tetap berkonsultasi dengan Ali dalam hal-hal tertentu.[3][123] Misalnya, disebutkan bahwa Ali adalah orang yang mempelopori gagasan agar tahun pertama kalender Islam disesuaikan dengan tahun di mana Muhammad beremigrasi ke Madinah (hijrah).[10] Meskipun begitu, nasihat politik Ali mungkin tetap diabaikan.[5] Misalnya, Umar pada awalnya merancang sistem birokrasi negara (diwan) untuk mendistribusikan pendapatan negara sesuai dengan manfaat dan prioritas Islam,[124] akan tetapi Ali berpendapat bahwa pendapatan tersebut harus didistribusikan secara merata di kalangan umat Islam, mengikuti praktik Muhammad dan Abu Bakar.[125][5] Ali juga tidak hadir dalam pertemuan strategis para tokoh di dekat Damaskus.[5] Ali tidak ikut serta dalam banyak ekspedisi militer Umar,[126][1] meskipun dia tampaknya tidak secara terbuka menolaknya.[1] Umar kemungkinan besar menentang penggabungan kenabian dan kekhalifahan di dalam Bani Hasyim,[127][128] dan menurut sejumlah sumber, Umar mencegah Muhammad mendiktekan wasiat sebelum kematiannya, mungkin karena takut bahwa Muhammad akan secara tegas menunjuk Ali sebagai penggantinya.[129][130][131][132] Namun demikian, mungkin karena menyadari pentingnya kerja sama Ali dalam skema kolaboratif pemerintahannya, Umar membuat beberapa tawaran terbatas kepada Ali dan Bani Hasyim selama masa kekhalifahannya.[133] Misalnya, Umar mengembalikan tanah milik Muhammad di Madinah kepada Ali, namun tetap mempertahankan Fadak dan Khaibar.[134] Menurut beberapa catatan, Umar juga menikahi putri Ali, Ummu Kultsum, yang terpaksa disetujui oleh Ali ketika pernikahan tersebut mendapatkan dukungan publik.[135]

Pemilihan Utsman (644)

 
Terpilihnya Utsman, folio dari Tarikhnama

Sebelum kematiannya pada tahun 644,[136] Umar menugaskan sebuah komite kecil untuk memilih khalifah berikutnya di antara mereka sendiri.[137] Ali dan Utsman adalah calon terkuat di komite ini,[138][139] yang anggotanya semuanya adalah sahabat awal Muhammad dari suku Quraisy.[137] Anggota lainnya, Abdurrahman bin Auf, diberikan suara penentu baik oleh panitia atau oleh Umar.[140][141][142] Setelah melalui musyawarah, Abdurrahman dengan wewenangnya mengangkat saudara iparnya, Utsman sebagai khalifah berikutnya,[143][144] setelah Utsman menyatakan kesediannya untuk mengikuti preseden dua khalifah pertama (Abu Bakar dan Umar).[143] Sebaliknya, Ali menolak syarat tersebut,[143][142] atau memberikan jawaban yang mengelak.[145] Kaum Anshar tidak terwakili dalam komite,[146][141] yang jelas-jelas menunjukkan keberpihakan komiter terhadap Utsman.[147][148][142] Kedua faktor ini merugikan Ali,[141][149][150] yang tidak bisa begitu saja dikecualikan dari rapat komite.[151]

Pemerintahan Utsman (m. 644–656)

Selama pemerintahannya, khalifah ketiga, Utsman bin Affan banyak dituduh melakukan nepotisme,[152] korupsi,[153][154] dan ketidakadilan.[155] Ali sendiri juga mengkritik gaya pemerintahan Utsman yang kontroversial,[5][1][156] termasuk hadiah mewah yang diberikan hanya kepada sanak saudaranya.[157][158] Ali juga melindungi para sahabat terkemuka yang terang-terangan mengkritik pemerintahan Utsman, seperti Abu Dzar dan Ammar bin Yasir,[159][160] dan secara keseluruhan bertindak sebagai pengaruh yang menahan Utsman.[159] Beberapa pendukung Ali adalah bagian dari gerakan oposisi,[161][162] di antaranya termasuk Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair, sahabat senior Muhammad, serta janda Muhammad, Aisyah.[163][164][161] Di antara pendukung Ali adalah Malik al-Asytar dan ulama qurra (terj. har.'pembaca Al-Qur'an') lainnya.[165][158] Para pendukung ini mendukung Ali sebagai khalifah berikutnya namun tidak ada bukti bahwa Ali berkoordinasi dengan mereka.[166] Ali sendiri menolak permintaan untuk memimpin pemberontak,[5][167] meskipun dia mungkin bersimpati dengan keluhan mereka.[168][167] Oleh karena itu, ia dianggap sebagai fokus alami bagi oposisi,[169] setidaknya secara moral.[5]

Pembunuhan Utsman (656)

Ketika keluhan mereka meningkat, oposisi dari berbagai provinsi berdatangan ke Madinah pada tahun 656.[13] Oposisi dari Mesir meminta nasihat Ali, yang mendesak mereka untuk bernegosiasi dengan Khalifah Utsman.[170][171] Ali juga meminta oposisi dari Irak untuk menahan diri dari kekerasan, dan mereka mengikuti saran Ali.[172] Dia juga berulang kali menjadi penengah antara khalifah dan oposisi,[13][173][174] untuk mengatasi keluhan ekonomi dan politik mereka.[175][13] Secara khusus, Ali merundingkan dan menjamin perjanjian yang mengakhiri pengepungan pertama.[176][13] Dia kemudian meyakinkan khalifah untuk bertobat di depan umum,[177] namun khalifah segera mencabut pernyataannya, kemungkinan karena ditekan oleh sekretarisnya Marwan bin al-Hakam.[178] Setelah mendapati surat resmi yang memerintahkan untuk menghukum pihak oposisi, para oposisi Mesir mengepung kediaman khalifah untuk kedua kalinya. Mereka menuntut khalifah turun dari jabatannya namun khalifah menolak dan menyatakan bahwa dirinya tidak mengetahui apapun mengenai surat tersebut.[179] Dalam sumber-sumber awal, Marwan umumnya disalahkan sebagai orang yang memalsukan surat tersebut.[180][181] Ali sendiri juga memihak kepada khalifah, dan bahkan meyakinkan para pemberontak untuk tidak memutus suplai air ke kediaman Utsman selama pengepungan.[179][159] Namun, khalifah malah balik menuduh bahwa Ali yang telah memalsukan surat tersebut.[182] Hal ini mungkin terjadi ketika Ali menolak memberikan dukungan lebih lanjut bagi khalifah.[179][169] Khalifah Utsman kemudian terbunuh setelah para pemberontak menerobos rumahnya dan menusuknya ketika sedang membaca Al-Qur'an.[180][183][184] Ali tidak memiliki peran apapun dalam penyerangan tersebut,[5][185] dan putranya, Hasan yang menjaga kediaman Utsman atas permintaan Ali, terluka karena penyerangan tersebut.[3][186][161]

Kekhalifahan

Pelantikan

 
Ali menerima janji setia, dari naskah Maktel-i Ali resul, tertanggal akhir abad keenam belas atau awal abad ketujuh belas.

Ketika Utsman dibunuh pada tahun 656 oleh pemberontak Mesir,[180] calon potensial untuk menjadi khalifah adalah Ali dan Thalhah. Bani Umayyah telah meninggalkan Madinah, sedangkan para pemberontak serta kaum Anshar menguasai kota. Thalhah mendapat dukungan dari para pemberontak Mesir, akan tetapi pemberontak Irak dan sebagian besar Anshar mendukung Ali.[103] Mayoritas kaum Muhajirin,[13][167][187] serta tokoh-tokoh suku utama juga menyukai Ali pada saat itu.[188] Para pemberontak menawarkan Ali agar mengambil alih jabatan khalifah mengantikan Utsman yang telah terbunuh. Ali pada awalnya ragu-ragu, mengatakan bahwa ia lebih suka menjadi wazir (menteri),[167][13][1] tetapi pada akhirnya secara terbuka menyetujui pencalonan ini dan dilantik sebagai khalifah keempat pada Juni 656.[189][190][191] Malik al-Asytar mungkin merupakan orang pertama yang menyatakan kesetiaannya kepada Ali.[191] Thalhah dan Zubair yang sebelumnya mendambakan jabatan khalifah,[192][193] juga memberikan janji mereka kepada Ali secara sukarela,[1][194][186] meskipun kemudian mereka melanggar janji setia tersebut.[195][1][196] Ali mungkin tidak memaksa siapa pun untuk berjanji,[189] dan hanya ada sedikit sumber yang menyebutkan adanya kekerasan. Meskipun begitu, banyak pihak yang kemudian memutuskan hubungan dengan Ali, mengeklaim bahwa mereka berjanji setia di bawah tekanan.[197] Terdapat kemungkinan kalau para pendukung Ali, yang merupakan mayoritas di Madinah, melakukan intimidasi terhadap pihak lain yang berbeda pandangan dengan mereka.[198]

Legitimasi

 
Ali menerima janji setia, Maktel-i Ali resul.

Dengan pelantikannya sebagai khalifah keempat, Ali telah mengisi kekosongan kekuasaan yang tercipta karena pembunuhan Utsman.[199][173][200] Pelantikannya yang tidak teratur dan tanpa melibatkan dewan Syura,[103] menghadapi sedikit penentangan di Madinah,[185][201][199] ditambah dengan dukungan penuh dari para pemberontak terhadapnya, membuatnya dituduh terlibat dalam pembunuhan Utsman.[5] Meskipun kelompok-kelompok yang kurang mampu dengan mudah berkumpul di sekitar Ali,[202][192] dia mendapat dukungan terbatas di kalangan kaum Quraisy yang berkuasa pada saat itu, beberapa di antara mereka bahkan berniat untuk mengambil alih jabatan khalifah.[203][103] Di kalangan Quraisy, ada dua kubu yang menentang Ali: Bani Umayyah yang percaya bahwa kekhalifahan adalah hak mereka setelah Utsman, dan pihak yang ingin mengembalikan kekhalifahan Quraisy berdasarkan prinsip yang telah ditetapkan oleh Abu Bakar dan Umar.[195][185] Ali memang sering berbicara mengenai hak prerogatif ilahi yang dimiliki kerabat Muhammad untuk memimpin khilafah,[204][205] hal ini dianggap akan membahayakan ambisi politik kaum Quraisy lainnya.[206]

Kebijakan administratif

Keadilan

Masa pemerintahan Ali dicirikan oleh peradilannya yang ketat.[207][208][209] Dalam pidato pengukuhannya, Ali menegur umat Islam karena menyimpang dari jalan lurus sepeninggal Muhammad,[210] dan mulai menerapkan kebijakan radikal.[211] Hal ini dimaksudkan untuk memulihkan visinya mengenai pemerintahan kenabian.[212][213] Ali segera memberhentikan hampir semua gubernur yang pernah mengabdi kepada Utsman,[203] mengatakan bahwa orang-orang seperti mereka tidak boleh diangkat dalam jabatan apa pun.[214] Ia menggantikan mereka dengan orang-orang yang ia anggap saleh,[215][216] sebagian besar berasal dari kaum Anshar dan Bani Hasyim.[215] Ali juga mendistribusikan dana perbendaharaan secara merata di kalangan umat Islam, mengikuti praktik Muhammad,[217] dan dikatakan tidak menoleransi perilaku korupsi.[218][219] Beberapa dari mereka yang terkena dampak kebijakan ini segera memberontak melawan Ali dengan dalih balas dendam untuk Utsman.[220] Di antara mereka adalah Muawiyah, gubernur petahana Suriah.[162] Beberapa orang mengkritik Ali karena kenaifan berpolitik dan sikap kakunya yang berlebihan;[221][222] sementara yang lain mengatakan bahwa Ali memerintah dengan kebenaran, bukan fleksibilitas politik.[220][213] Para pendukungnya mengidentifikasi bahwa keputusan serupa diambil oleh Muhammad,[223][224] dan menegaskan bahwa Islam tidak pernah mengizinkan untuk berkompromi demi alasan keadilan, dengan mengutip Quran Surah 68: 9,[224] "Mereka menginginkan agar engkau bersikap lunak. Maka, mereka bersikap lunak (pula)."[225][226][227] Beberapa pihak berpendapat bahwa keputusan Ali sebenarnya dapat dibenarkan pada tingkat praktis.[190][228][209] Misalnya, pemecatan gubernur yang tidak populer mungkin merupakan satu-satunya pilihan yang tersedia bagi Ali karena ketidakadilan adalah keluhan utama para pemberontak.[190]

Otoritas keagamaan

Terbukti dari sejumlah teks pidatonya,[210] Ali memandang dirinya tidak hanya sebagai pemimpin secara politis, tetapi juga sebagai otoritas keagamaan eksklusif Muslim.[229][230] Dia kemudian mengklaim otoritas agama untuk menafsirkan Al-Qur'an dan Sunnah.[231][232] Beberapa pendukung Ali memang menganggapnya sebagai pemimpin yang mendapat bimbingan ilahi dan berhak mendapatkan kesetiaan yang sama seperti Muhammad.[233] Mereka merasakan ikatan kesetiaan spiritual (walayah) yang mutlak dan menyeluruh kepada Ali yang melampaui politik.[234] Misalnya, banyak dari mereka secara terbuka menawarkan dukungan tanpa syarat kepada Ali pada sekitar tahun 658.[235][236] Mereka membenarkan kesetiaan mutlak mereka kepada Ali berdasarkan keutamaannya dalam agama,[237] kekerabatannya dengan Muhammad,[238] dan juga pengumuman Muhammad di Ghadir Khum.[234] Banyak dari para pendukung ini juga memandang Ali sebagai penerus Muhammad yang sah setelah kematiannya,[239] hal ini dibuktikan dalam puisi-puisi yang ditulis pada masa itu.[240][241]

Kebijakan fiskal

Ali menentang kontrol terpusat atas pendapatan provinsi.[188] Dia mendistribusikan kelebihan pajak dan rampasan secara merata kepada umat Islam,[188][5] mengikuti preseden Muhammad dan Abu Bakar.[242][243] Berlawanan dengan Umar yang telah mendistribusikan pendapatan negara dengan memprioritaskan Islam,[244][216] dan Utsman yang banyak dituduh melakukan nepotisme dan korupsi.[152][245][153] Kebijakan Ali yang sangat egaliter membuatnya mendapat dukungan dari kelompok-kelompok kurang mampu, termasuk Anshar, para qurra, dan para imigran yang datang ke Irak.[202] Sebaliknya, Thalhah dan Zubair, yang merupakam sahabat Quraisy Muhammad yang telah mengumpulkan kekayaan yang sangat besar di bawah pemerintahan Utsman,[246] memberontak melawan Ali ketika ia menolak memberikan bantuan dan dukungan kepada mereka.[247][243] Beberapa tokoh lain di kalangan Quraisy juga menentang Ali,[248][249] dan bahkan menahan dana publik dari kerabatnya,[250][251] sedangkan rival politiknya, Mu'awiyah, dengan sigap menawarkan suap kepada mereka.[249][252] Ali menginstruksikan para pejabatnya untuk memungut pembayaran pajak secara sukarela dan tanpa pelecehan, serta memprioritaskan masyarakat miskin saat menyalurkan dana publik.[253] Sebuah surat yang dikaitkan dengan Ali mengarahkan gubernurnya untuk lebih memperhatikan pengembangan lahan daripada perpajakan.[254][255]

Aturan perang

Pada masa perang saudara umat Islam, Ali melarang tentaranya melakukan penjarahan,[256][257] dan sebagai gantinya membayar mereka dari pendapatan pajak.[256] Dia juga memaafkan musuh-musuhnya setelah ia meraih kemenangan.[257][258] Kedua amalan tersebut kemudian diabadikan dalam Hukum Islam.[257] Ali juga menasihati komandannya, Malik al-Asytar untuk tidak menolak seruan perdamaian apa pun, tidak melanggar perjanjian apa pun,[259] dan memerintahkannya untuk tidak memulai permusuhan.[260] Ali juga melarang pasukannya mengganggu warga sipil,[261] membunuh orang yang terluka dan mereka yang melarikan diri, memutilasi orang mati, memasuki rumah tanpa izin, menjarah, dan melukai perempuan.[262] Dia mencegah perbudakan perempuan setelah memenangkan perang, meskipun terdapat sejumlah pihak yang memprotes hal ini.[5] Sebelum Pertempuran Siffin dengan Mu'awiyah dimulai, Ali tetap membiarkan musuhnya mengambil air minum ketika pasukannya menguasai sumber air.[263][264]

Pertempuran Jamal

 
Pretempuran Jamal (Unta), dari manuskrip Siyer-i nebi

Segera setelah pelantikan Ali, Aisyah, salah satu janda Muhammad, secara terbuka berkampanye menentang Ali.[265][203] Dia bergabung di Makkah oleh kerabat dekatnya, Thalhah dan Zubair,[266] yang dengan demikian melanggar sumpah setia mereka sebelumnya kepada Ali.[195][1][196] Oposisi ini menuntut agar para pembunuh Utsman dihukum,[267][173] dan menuduh Ali terlibat dalam pembunuhan itu.[173][195][13] Mereka juga menyerukan pemecatan Ali dari jabatannya dan agar dewan Syura menunjuk penggantinya.[203][268] Terdapat kemungkinan besar bahwa tujuan utama mereka adalah menyingkirkan Ali, bukan membalas dendam terhadap Utsman.[268][269][270][186][271][272] Pihak oposisi gagal mendapatkan daya tarik yang cukup di Hijaz,[13][5] dan kemudian berpindah ke Basra di Irak, kemudian mendirikan basis militer di sana.[1][13] Ali mengumpulkan pasukan di dekat Kufah,[186][273] pasukan inilah yang kelak akan membentuk inti pasukan Ali dalam pertempuran.[273] Kedua pasukan segera berkemah di luar Basra,[274][13] keduanya mungkin berjumlah sekitar sepuluh ribu orang.[275] Setelah tiga hari negosiasi gagal,[276] kedua belah pihak bersiap untuk berperang.[276][13][1]

Riwayat pertempuran

Pertempuran itu terjadi pada bulan Desember 656.[277][278] Para pemberontak memulai pertempuran,[186][279] dan Aisyah hadir di medan perang, mengendarai tandu lapis baja di atas seekor unta merah, yang kemudian menjadi asal dari nama pertempuran tersebut.[280][281] Thalhah segera dibunuh oleh Marwan, sekretaris Utsman, yang juga oposisi Ali.[282][283] Zubair, yang merupakan seorang prajurit berpengalaman, meninggalkan tempat itu tak lama setelah pertempuran dimulai,[279][186] namun dikejar dan dibunuh.[279][186] Pengunduran dirinya mungkin didasari oleh keraguan terhadap tujuan daripada pertempuran tersebut.[284][186] Ali memenangkan pertempuran,[186][285][190] dan Aisyah tetap diperlakukan dengan hormat dan diantar kembali ke Hijaz.[286][186][277] Ali kemudian mengumumkan pengampunan publik,[287] membebaskan semua tawanan perang,[288][286] dan melarang perbudakan perempuan. Properti mereka yang disita juga dikembalikan.[289] Ali kemudian menempatkan dirinya di Kufah,[290] dan kemudian menjadikan kota tersebut sebagai ibu kota de facto Kekhalifahan Rasyidin.[277][270]

Pertempuran Siffin

 
Peta Perang Saudara Islam I; wilayah hijau di bawah kendali Ali; wilayah merah muda di bawah kendali Muawiyah.
 
Pertempuran antara pasukan Ali dan Muawiyah selama Pertempuran Siffin, dari Tarikhnama.

Muawiyah bin Abu Sufyan, gubernur Suriah petahana, dianggap korup dan tidak layak oleh Ali,[214] yang kemudian menulis surat untuknya dan mencopotnya dari jabatannya sebagai gubernur.[291][292][293] Sebaliknya, Muawiyah sebagai sepupu Utsman, melancarkan kampanye propaganda di seluruh Suriah, menyalahkan Ali atas pembunuhan Utsman dan menyerukan balas dendam.[294][295][296] Mu'awiya juga bergabung dengan Amr bin Ash,[297] seorang ahli strategi militer,[298] yang berjanji untuk mendukung Bani Umayyah melawan Ali dengan imbalan jabatan gubernur Mesir seumur hidup.[299] Namun, Muawiyah juga diam-diam menawarkan untuk mengakui kekhalifahan Ali dengan Suriah dan Mesir sebagai imbalannya,[300] tawaran ini ditolak mentah-mentah oleh Ali.[301] Mu'awiya kemudian secara resmi menyatakan perang, menuduh Ali sebagai dalang pembunuhan Utsman, menuntut pemecatannya, dan menuntut dewan Syura memilih khalifah berikutnya.[302] Penulis kontemporer cenderung memandang seruan balas dendam Mu'awiya sebagai dalih untuk perebutan kekuasaan.[303][230][304][305][306][307]

Riwayat pertempuran

Pada musim panas tahun 657, pasukan Ali dan Mu'awiya berkemah di Siffin, sebelah barat Sungai Efrat,[308] masing-masing kubu mungkin berjumlah sekitar 100.000 dan 130.000 orang.[309] Banyak sahabat Muhammad yang hadir dalam pasukan Ali, sedangkan Muawiyah hanya bisa membanggakan segelintir orang saja.[208][309] Kedua belah pihak bernegosiasi untuk sementara waktu, tetapi negosiasi tersebut gagal.[173][310][13][311][312] Pertempuran utama dimulai pada hari Rabu, 26 Juli 657,[307][303] berlangsung sampai Jumat atau Sabtu pagi.[313][310] Ali mungkin menahan diri untuk tidak memulai permusuhan,[190] dan kemudian bertempur bersama anak buahnya di garis depan, sedangkan Mu'awiya memimpin pasukan dari paviliunnya,[314][315] dan menolak proposal untuk menyelesaikan masalah dalam duel pribadi dengan Ali.[316][307][317] Di antara mereka yang tewas dalam kubu Ali adalah Ammar bin Yasir.[315] Dalam sumber-sumber Sunni kanonik, sebuah hadis terkenal meramalkan kematian Ammar di tangan al-Fiʾat al-Bāghiyah (terj. har.'kelompok pemberontak agresif') yang akan masuk ke dalam api neraka.[318][309][310]

Proposal arbitrase

Pertempuran terhenti ketika beberapa orang dari pasukan Suriah mengangkat halaman-halaman Al-Quran dengan tombak mereka, sambil berteriak, "Biarlah Kitab Allah yang menjadi hakim di antara kita."[319][310] Karena Muawiyah sudah lama bersikeras untuk berperang, proposal arbitrase ini menunjukkan bahwa dia sekarang takut kalah.[319][173][320] Sebaliknya, Ali mendesak anak buahnya untuk tetap berperang, mengatakan kepada mereka bahwa tindakan menjunjung Al-Quran tersebut adalah sebuah penipuan.[319][307] Qurra dan Riddah suku Kufah,[321][311][310] yang merupakan blok terbesar dalam pasukan Ali, kemudian mengirim delegasi kepada Ali.[13][311] Kedua blok tersebut mengancam akan memberontak terhadap Ali jika dia tidak segera mengambil tindakan untuk menanggapi seruan dari kubu Suriah.[319][13][322][323] Menghadapi sentimen perdamaian yang kuat dari pasukannya, Ali memutuskan untuk menerima proposal arbitrase,[324] yang kemungkinan besar akan bertentangan dengan penilaiannya sendiri.[310][324]

Muawiyah sekarang mengusulkan agar perwakilan dari kedua belah pihak harus menemukan resolusi berdasarkan Al-Qur'an.[13][325] Muawiyah menunjuk sekutunya, Amr bin Ash sebagai arbiter dari pihaknya,[326] sedangkan mayoritas kubu Ali mendesak agar ia mengutus Abu Musa al-Asy'ari, mantan gubernur Kufah yang netral. Pada awalnya Ali merasa keberatan, namun kemudian akhirnya mengalah dan mengutus Abu Musa sebagai arbiter dari pihaknya.[327][310][328] Perjanjian arbitrase ditulis dan ditandatangani pada tanggal 2 Agustus 657,[329] yang menetapkan bahwa kedua arbiter harus bertemu di wilayah netral,[330] mematuhi Al-Quran dan Sunnah, serta harus bersatu untuk memulihkan perdamaian.[329][303] Kedua pasukan meninggalkan medan perang setelah perjanjian tersebut ditanda tangani.[331] Perjanjian arbitrase ini kemudian memecah kubu Ali, karena banyak yang tidak mendukung negosiasinya dengan Muawiyah, yang mereka anggap telah melakukan kecurangan. Sebaliknya, perjanjian tersebut memperkuat posisi Muawiyah, yang kini menjadi pesaing yang setara untuk menjadi khilafah selanjutnya.[332]

Pembentukan Khawarij

 
Kanal Nahrawan membentang sejajar dengan tepi timur Sungai Tigris.

Beberapa anak buah Ali meninggalkannya sebagai bentuk protes terhadap perjanjian arbitrase.[331][190] Meskipun banyak dari mereka yang akhirnya bergabung kembali dengan Ali,[333][334][335][5] beberapa kelompok tetap bersikeras menentangnya dan kemudian berkumpul di kota Nahrawan.[190] Mereka dikenal sebagai Khawarij, yang kemudian mengangkat senjata melawan Ali dalam Pertempuran Nahrawan.[336][337][13] Kaum Khawarij, yang sebagian besar merupakan anggota Qurra,[338] kemungkinan besar kecewa dengan proses arbitrase.[339][13] Slogan mereka, "Tidak ada hukum kecuali milik Allah",[303] menyoroti penolakan mereka terhadap arbitrase (oleh manusia) dengan klaim yang mengacu pada ayat Al-Qur'an 49:9.[340] Ali menyebut slogan ini sebagai kata-kata kebenaran yang digunakan oleh para Khawarij untuk mencari kepalsuan karena ia memandang penguasa sebagai hal yang sangat diperlukan dalam menjalankan agama.[341]

Proses arbitrase

Kedua arbiter tersebut bertemu di Dumat al-Jandal,[342] mungkin pada bulan Februari 658.[13] Para arbiter menyimpulkan bahwa Utsman telah dibunuh secara tidak sah dan bahwa Muawiyah mempunyai hak untuk membalas dendam.[343][344][13] Selain hal itu, mereka tidak dapat menyetujui hal lain.[345] Alih-alih keputusan hukum, keputusan ini lebih merupakan konsesi politik dari Abu Musa, yang mungkin berharap Amr nantinya akan membalas tindakannya.[345] Ali mengecam tindakan kedua arbiter tersebut karena bertentangan dengan Al-Quran dan mulai mengorganisir kampanye kedua di Suriah.[346][5] Pertemuan kedua diadakan di Udhruh,[343] kali ini atas inisiatif Muawiyah sendiri.[343][190] Negosiasi di sana juga gagal,[346] karena kedua arbiter tidak dapat menyepakati khalifah berikutnya: Amr mendukung Muawiyah,[13] sementara Abu Musa mencalonkan menantunya Abdullah bin Umar.[13][127][347] Pada akhir pertemuan, Abu Musa secara terbuka menyerukan pememecatan Muawiyah dan Ali sekaligus serta meminta dewan Syura untuk menunjuk pengganti mereka sesuai perjanjian sebelumnya dengan Amr. Namun, ketika Amr mengambil alih panggung, ia justru hanya memecat Ali dan malah menunjuk Muawiyah sebagai pengganti Ali.[127][348][13] Delegasi Kufah menjadi marah terhadap konsesi Abu Musa,[346] dan arbitrase tersebut dinyatakan gagal,[343][327] atau tidak meyakinkan.[349][333][350] Namun, perundingan ini justru memperkuat dukungan Suriah terhadap Muawiyah dan melemahkan posisi Ali.[343][351][208][13][352]

Pertempuran Nahrawan

 
Pertempuran Nahrawan, folio dari naskah Maqtel-i Ali resul, akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17.

Setelah arbitrase gagal, Muawiyah menerima janji setia dari penduduk Suriah sebagai khalifah baru,[353] sementara Ali kemudian mengorganisir kampanye baru untuk kembali menghadapi oposisi Suriah.[13][335][127][354] Namun dia menunda ekspedisi tersebut,[355] dan membelokkan pasukannya ke arah Nahrawan ketika dia mendengar kabar bahwa Kaum Khawarij menginterogasi dan mengeksekusi warga sipil.[355][356][357] Kaum Khawarij telah membunuh banyak orang, bahkan tampaknya wanita juga menjadi target pembunuhan mereka.[336] Ali berhasil meyakinkan banyak kaum Khawarij untuk memisahkan diri dari pasukan mereka. Sekitar 1.500–1.800, atau 2.800, dari sekitar 4.000 orang kemudian keluar dari barisan Khawarijndan bergabung dengan Ali.[358][359] Sisa-sisa dari Kaum Khawarij lainnya kemudian menyerang dan dihancurkan oleh pasukan Ali yang berjumlah sekitar 14.000 orang.[360][359]

Pertempuran tersebut terjadi pada tanggal 17 Juli 658,[361][335] atau pada tahun 657.[362][361] Pertempuran tersebut membuat Ali dikritik oleh beberapa orang karena membunuh sekutu-sekutunya sendiri,[363][364][365] selain itu, kebanyakan dari Khawarij adalah Muslim yang secara lahiriah saleh. Sementara itu, para pendukung Ali memunji keputusannya dan menyatakan bahwa menundukkan kaum Khawarij adalah hal yang perlu, karena mereka adalah pemberontak yang kejam dan radikal yang akan membahayakan basis Ali di Kufah.[366][367][327][368]

Tahun-tahun terakhir

Setelah Pertempuran Nahrawan, Ali tidak dapat mengumpulkan cukup dukungan untuk kampanye melawan kubu Suriah untuk kedua kalinya.[369][365] Mungkin tentaranya mengalami demoralisasi,[364] atau dipanggil kembali oleh pemimpin suku mereka.[370][371] Selain karena kedua hal itu, banyak di antara pendukung Ali yang juga telah disuap dan dipengaruhi oleh Muawiyah.[372][371][364] Sebaliknya, Ali tidak memberikan bantuan finansial apa pun kepada kepala suku karena alasan prinsip.[248][249] Bagaimanapun, pemisahan diri dari begitu banyak Qurra dan sikap dingin para pemimpin suku telah melemahkan posisi Ali.[370][173][373] Akibatnya Ali kehilangan Mesir pada tahun 658, yang berhasil diambil alih oleh Muawiyah.[348][374] Mu'awiya juga mulai mengirimkan detasemen militer,[348] yang menargetkan warga sipil di sepanjang sungai Efrat, dekat Kufah, serta di Hijaz dan juga Yaman.[375] Ali tidak dapat memberikan tanggapan yang tepat waktu terhadap serangan-serangan ini.[5] Namun, pada akhirnya ia mendapatkan dukungan yang cukup untuk melancarkan serangan kedua terhadap kubu Suriah, yang rencananya akan dimulai pada akhir musim dingin tahun 661. Keberhasilannya sebagian disebabkan oleh kemarahan publik atas serangan di Suriah.[376] Namun, rencana untuk kampanye kedua dibatalkan setelah pembunuhan Ali.[377]

Pembunuhan

Masjid Agung Kufah di Kufah, Irak, tempat Ali dibunuh.
Makam Imam Ali di Najaf, dekat Kufah, tempat Ali diyakini dimakamkan.
Hazrat Ali Mazar, juga disebut Rawz-e-Sharif, di Mazari Syarif, Afghanistan, di mana beberapa orang mengeklaim bahwa Ali dimakamkan di sini.

Ali dibunuh saat memimpin salat subuh pada tanggal 28 Januari 661 (19 Ramadan 40 H) di Masjid Agung Kufah, tanggal lain yang dicatat adalah 26 dan 30 Januari. Kepalanya dipukul oleh pemberontak Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam dengan menggunakan pedang berlapis racun,[378] sebagai balas dendam atas kekalahan mereka dalam Pertempuran Nahrawan.[379] Ali meninggal dunia pada usia enam puluh dua atau enam puluh tiga tahun. Menurut beberapa catatan, Ali sudah lama mengetahui nasibnya melalui firasat atau melalui ramalan dari Muhammad.[378] Sebelum kematiannya, Ali mengatakan bahwa apabila ia mati, maka Ibnu Muljam akan dieksekusi sebagai pembalasan (qiṣāṣ), dan apabila ia tetap hidup, maka Ibnu Muljam akan dibebaskan. Bagaimanapun, Ali meninggal dunia sekitar dua hari kemudian karena luka-lukanya, dan Ibnu Muljam kemudian dieksekusi oleh Hasan, putra sulung Ali.[378][380]

Pemakaman

Khawatir jenazahnya akan digali dan dicemarkan oleh musuh-musuhnya, tempat pemakaman Ali dirahasiakan dan masih belum diketahui pasti.[5] Beberapa situs disebutkan menyimpan jenazah Ali, termasuk Makam Ali di Najaf dan Mausoleum Ali di Mazar.[381] Situs di Najaf diidentifikasi pada masa pemerintahan khalifah Abbasiyah, Harun ar-Rasyid (m. 786–809) dan kota Najaf yang ada di sekitarnya telah menjadi tujuan utama ziarah Syiah.[5] Makam besar di Najaf yang bertahan hingga saat ini dibangun oleh syah Safawi, Safi dari Persia (m. 1629–1642).[382] Di dekat Makam, ini terdapat pemakaman besar bagi kaum Syiah yang ingin dimakamkan di sebelah imam mereka.[5] Najaf kemudian juga menjadi rumah bagi perguruan tinggi agama dan ulama-ulama Syiah terkemuka.[5][1] Situs lain yang diklaim menjadi tempat di mana makam Ali berada adalah di Baghdad, Damaskus, Madinah, dan Ray. Sementara itu, sebagian kecil penganut Syiah percaya bahwa makam Ali berada di suatu tempat di Kufah.[381]

Penerus

Ketika Ali meninggal, putranya Hasan diakui sebagai khalifah berikutnya di Kufah.[359][383] Sebagai pewaris Ali, Hasan adalah pilihan yang jelas bagi masyarakat Kufah, terutama karena Ali sering berbicara tentang hak eksklusif kerabat Muhammad atas kepemimpinan.[384][383] Sebagian besar sahabat Muhammad yang masih hidup adalah anggota pasukan Ali, dan mereka juga berjanji setia kepada Hasan,[385][386] namun dukungan masyarakat Kufah terhadap Hasan secara keseluruhan kemungkinan besar lemah.[387][388] Hasan kemudian mengundurkan diri dari jabatannya pada bulan Agustus 661 kepada Muawiyah ketika Muawiyah bergerak ke Irak dengan kekuatan besar.[387][388] Muawiyah kemudian mendirikan dinasti Kekhalifahan Umayyah. Sepanjang masa pemerintahannya, dia dikatakan menganiaya keluarga dan pendukung Ali,[389][390] dan mengamanatkan pengutukan Ali di depan umum.[389][391]

Keturunan

Pernikahan pertama Ali adalah dengan Fatimah, putri Muhammad yang memberinya tiga orang putra, Hasan, Husain, dan Muhsin.[390] Muhsin meninggal saat masih bayi,[15] atau Fatimah mengalami keguguran ketika dia terluka dalam penggerebekan di rumahnya selama krisis suksesi.[89] Keturunan Hasan dan Husain masing-masing dikenal sebagai Hasaniyah dan Husainiyah.[392] Sebagai keturunan Muhammad, mereka dihormati di komunitas Muslim dengan gelar kebangsawanan seperti syarif dan sayyid.[3] Ali dan Fatimah juga mempunyai dua orang putri, Zainab dan Ummu Kultsum.[393] Setelah kematian Fatimah pada tahun 632, Ali menikah lagi beberapa kali dan memiliki lebih banyak anak, termasuk Muhammad al-Ausath dan Abbas bin Ali.[393] Dalam hidupnya, Ali menjadi ayah dari tujuh belas anak perempuan, dan sebelas, empat belas, atau delapan belas anak laki-laki.[390] Di antaranya adalah Hasan, Husain, dan Muhammad bin al-Hanafiyah yang memainkan peran bersejarah.[5] Keturunan Ali secara umum dikenal sebagai Bani Ali.[392]

Masa pemerintahan Bani Umayyah (661–750)

Mu'awiya menggantikan Ali pada tahun 661 dan mendirikan Kekhalifahan Dinasti Umayyah,[394] di mana Bani Ali dianiaya dengan kejam.[393] Setelah Ali, para pengikut fanatiknya (Syi'ah) mengakui putra sulungnya Hasan sebagai imam mereka. Ketika dia meninggal pada tahun 670, kemungkinan besar karena diracun atas dorongan Mu'awiya,[395][394][396] komunitas Syiah mengikuti adik laki-laki Hasan, Husain, yang dibunuh oleh pasukan Umayyah dalam Pertempuran Karbala pada tahun 680, bersama banyak kerabatnya.[392] Untuk membalas pembantaian Karbala, pada tahun 685 terjadi pemberontakan Syiah al-Mukhtar, yang mengaku mewakili Muhammad bin al-Hanafiyah, putra Ali yang lain.[392] Gerakan utama yang terbentuk setelah pemberontakan ini adalah Kaisaniyah dan Imamiyah yang sekarang sudah punah.[397] Kaum Kaysan sebagian besar mengikuti Abu Hasyim, putra Ibnu al-Hanafiyah. Ketika Abu Hasyim meninggal sekitar tahun 716, kelompok ini sebagian besar bersekutu dengan Bani Abbasiyah, yaitu keturunan paman Muhammad, Abbas.[392][398] Di sisi lain, kaum Imamiyah dipimpin oleh keturunan Husain yang lebih netral, melalui putra satu-satunya yang masih hidup, Ali Zainul Abidin. Imamiyah tetap netral sampai kepemimpinan mereka jatuh ke tangan Zaid bin Ali, yang kemudian memimpin pemberontakan melawan Bani Umayyah sekitar tahun 740. Pemberontakan tersebut berhasil digagalkan.[392] Bagi para pengikutnya, yang dikenal sebagai Zaidiyah, setiap Hasaniyah atau Husainiyah terpelajar yang bangkit melawan tirani memenuhi syarat sebagai imam.[399]

Masa pemerintahan Bani Abbasiyah (750–1258)

Bani Ali juga dianiaya di bawah Abbasiyah, yang menggulingkan Bani Umayyah pada tahun 750.[392][400] Beberapa kelompok dari Bani Ali kemudian memberontak,[390] sementara beberapa lainnya mendirikan dinasti regional di daerah terpencil.[392][401] Secara khusus, melalui pemenjaraan atau pengawasan, Bani Abbasiyah menyingkirkan para imam Syiah Imamiyah dari kehidupan publik,[402][403] selama periode ini, Bani Abbasiyah dianggap bertanggung jawab atas kematian para imam.[404][405] Imamiyah Arus Utama adalah pendahulu dari Syiah Dua Belas Imam,[406] yang percaya bahwa imam kedua belas dan terakhir mereka, Muhammad al-Mahdi, lahir sekitar tahun 868,[407] namun disembunyikan dari publik pada tahun 874 karena takut akan penganiayaan. Dia dipercaya tetap gaib atas kehendak Tuhan sampai kemunculannya kembali di akhir zaman untuk memberantas ketidakadilan dan kejahatan.[408][409] Satu-satunya perpecahan bersejarah di kalangan Imamah terjadi ketika imam keenam mereka, Ja'far ash-Shadiq, meninggal pada tahun 765.[392][406] Beberapa orang mengeklaim bahwa penggantinya yang ditunjuk adalah Isma'il, putra ash-Shadiq yang telah meninggal sebelum ash-Shadiq. Ini adalah awal dari terbentuknya Syiah Isma'iliyah,[392] yang kemudian berhasil meraih kesuksesan politik pada pergantian abad kesepuluh,[410] dan mendirikan Kekhalifahan Fatimiyah di Mesir dan Qaramitah di Bahrain.[411]

Penggambaran

 
Pedang dan perisai Ali diukir di Bab al-Nasr, Kairo.

Sering dipuji karena kesalehan dan keberaniannya, Ali berjuang untuk menegakkan keyakinannya, namun juga bermurah hati dalam kemenangan, bahkan mempertaruhkan kemarahan beberapa pendukungnya untuk mencegah perbudakan perempuan.[412][208][207][208][413][5] Dia juga menunjukkan kesedihannya, menangisi orang mati, dan dilaporkan mendoakan musuh-musuhnya.[5] Namun Ali juga dikritik karena idealisme dan ketidakfleksibelan politiknya,[5][222] karena kebijakan egaliter dan keadilannya yang ketat membuat banyak orang tidak setuju.[414][415] Namun, sejarawan Muslim mencatat bahwa sifat-sifat ini juga terdapat dalam diri Muhammad,[416][417] yang telah termaktub dalam Al-Qur'an.[418] Bagaimanapun juga, sifat-sifat Ali ini, yang berakar pada keyakinan agamanya, berkontribusi pada citranya di mata para pengikutnya saat ini sebagai teladan kebajikan Islam, terutama menyangkut masalah keadilan.[5][419][414][2] Ali juga dipandang sebagai model utama patriotisme Islam (futuwah).[420][421][422]

Catatan sejarah tentang penampilan fisik Ali seringkali bersifat tendensius.[5] Misalnya, secara pribadi, Ali digambarkan dalam beberapa sumber Sunni sebagai sosok yang botak, berbadan tegap, berkaki pendek, berbahu lebar, badan berbulu, berjanggut putih panjang, dan terkena radang mata.[5] Catatan Syiah tentang penggambaran Ali sangat berbeda. Hal itu mungkin karena lebih cocok dengan reputasinya sebagai pejuang yang cakap.[423] Demikian pula, dalam beberapa sumber Sunni, Ali digambarkan sebagai orang yang keras, kasar, dan tidak ramah.[5] Sebaliknya, sumber-sumber Syiah menggambarkannya sebagai orang yang murah hati, lemah lembut, dan ceria, sampai-sampai propaganda perang Suriah menuduhnya bersikap sembrono.[421][2][424] Sumber-sumber Syiah dan Sufi juga penuh dengan laporan tentang kebaikannya, terutama kepada orang miskin.[425] Sifat-sifat penting dalam diri seorang panglima, yang digambarkan dalam sebuah surat yang dikaitkan dengan Ali, mungkin merupakan penggambaran sebenarnya dari Ali: lambat marah, senang memaafkan, baik hati terhadap yang lemah, dan keras terhadap yang kuat.[426] Rekannya, Sha'sha'ah bin Shuhan, menggambarkannya dengan cara yang sama, "Dia [Ali] ada di antara kita sebagai salah satu dari kita, dengan watak yang lembut, kerendahan hati yang kuat, memimpin dengan pendekatan halus, meskipun kami kagum padanya dengan rasa kagum yang dimiliki seorang tahanan yang terikat terhadap orang yang memegang pedang di atas kepalanya."[2][426]

Nama dan gelar

 
Kaligrafi Utsmaniyah abad ke-18 bergaya mirror writing menuliskan frasa 'Ali Waliyullah' di kedua arahnya.

Ali dikenal dengan banyak gelar kehormatan dalam tradisi Islam, beberapa di antaranya terutama digunakan oleh kaum Syiah.[3] Nama kunyah (teknonim) utamanya adalah ʾAbūl Ḥasan (terj. har.'ayahnya Hasan').[427][3] Diantara banyak gelarnya antara lain al-Murtaḍā (terj. har.'orang yang diridhai [Tuhan]'),[427][3] Asad Allāh (terj. har.'Singa Allah'),[428] Ḥaidar (terj. har.'Singa', nama yang diberikan oleh ibunya),[427] Amīrul Muʾminīn (terj. har.'Pemimpin orang-orang yang beriman'), dan Imām al-Muttaqin (terj. har.'pemimpin orang-orang yang bertakwa').[427][3] Secara khusus, Syiah Dua Belas Imam menganggap gelar Amirul Mukminin hanya milik Ali.[429] Ia juga disebut sebagai Abū Turāb (terj. har.'bapak debu'),[3] yang pada awalnya mungkin merupakan gelar hinaan dari musuh-musuhnya.[5]

Pandangan

Ali
 
Ilustrasi guas Ali (tengah) dan putra-putranya, Hasan dan Husain (ca 1838, oleh pelukis tak dikenal)
  • Khalifah
  • Imam
Dihormati diIslam
Baháʼí
Druze
Yarsanisme
Tempat ziarahMakam Imam Ali, Najaf

Islam

Tempat Ali dikatakan berada di urutan kedua setelah Muhammad di budaya Muslim.[13] Ali dihormati karena keberaniannya, kejujurannya, pengabdiannya yang teguh pada Islam, kemurahan hati, dan perlakuan yang setara terhadap semuanya Muslim.[207] Bagi para pengagumnya, ia telah menjadi pola dasar Islam yang tidak korup dan kesatria pra-Islam.[419]

Dalam Al-Qur'an

 
Ayat Walayah, mungkin pernyataan paling kontroversial dalam Al-Quran yang terkait dengan Ali, terukir di tepi batu peringatan ini, berasal dari era Seljuk.

Ali secara teratur mewakili Muhammad dalam misi yang umumnya dikaitkan dengan perintah Al-Qur'an.[430][431] Misalnya, ayat Walayah (5:55) merujuk pada saat Ali memberikan cincinnya kepada seorang pengemis, saat salat di masjid, menurut catatan Syiah dan beberapa sumber Sunni.[432] Menurut sumber-sumber tersebut, ayat ini memberi Ali otoritas spiritual (walayah) yang sama dengan Muhammad.[433][434] Dalam sumber Syiah, dikatakan bahwa Ayat Tabligh (5:67) mendorong Muhammad untuk menunjuk Ali sebagai penggantinya di Ghadir Khum, sedangkan Ikmal ad-Din (5:3) yang turun setelahnya mengumumkan kesempurnaan agama Islam.[435] Ayat Penyucian (33:33) menyangkut status kesucian Ahlulbait, yang terbatas pada Ali, Fatimah, dan kedua putra mereka dalam keyakinan kaum Syiah dan beberapa sumber Sunni.[436][437][438] Referensi lain dari Al-Qur'an yang membahas penycian Ahlulbait mungkin termaktub dalam ayat Mawaddah (42:23).[439][440][441] Dalam doktrin Syiah, ayat ini merupakan amanat Al-Quran untuk mencintai dan mengikuti Ahlulbait.[442][439]

Dalam literatus hadis

Muhammad sering memuji kualitas Ali. Pernyataan paling kontroversial seperti, "Barangsiapa yang menjadikanku mawla untuknya, maka Ali adalah mawla untuknya juga," disampaikan di Ghadir Khum. Hal ini memberikan Ali otoritas spiritual (walayah) yang sama dengan Muhammad, menurut Syiah.[443] Sementara itu, hadis posisi menyamakan Muhammad dan Ali dengan Musa dan Harun,[33] dan menjadi dasar dalil kaum Syiah bahwa hak Ali sebagai pewaris telah dirampas sepeninggal Muhammad.[444] Ada banyak pujian Muhammad kepada Ali yang terekam dalam literatur hadis, contoh pujian Muhammad yang termaktub dalam kumpulan hadis standar Syiah dan Sunni antara lain, "Tidak ada pemuda yang lebih berani dari Ali", "Tidak ada seorang pun kecuali orang beriman yang mencintai Ali, dan tidak ada seorang pun kecuali orang munafik yang membenci Ali," "Aku dari Ali, dan Ali dariku; dialah wali setiap mukmin setelahku," "Kebenaran berputar di sekelilingnya [Ali] kemanapun dia pergi," "Akulah kota ilmu pengetahuan dan Ali adalah pintu gerbangnya (bab)," serta "Ali bersama Al-Qur'an dan Al-Qur'an bersama Ali. Mereka tidak akan berpisah sampai mereka kembali kepadaku di kolam [surga].”[445][32]

Dalam tradisi Sufisme

Ali adalah sumber umum arus mistik dan spiritual dalam sekte Islam Sunni dan Syiah.[446][447] Secara khusus, Ali adalah pemimpin spiritual dari beberapa gerakan Sufisme,[1] karena kaum Sufi percaya bahwa Ali mewarisi pengetahuan esoteris dan otoritas suci dari Muhammad,[3] yang memandu orang-orang beriman mendekatkan diri mereka kepada Tuhan.[1] Hampir semua tarekat Sufi menelusuri garis keturunan mereka ke Muhammad melalui Ali, kecuali Tarekat Naqsyabandiyah, yang mencapai nasab Muhammad melalui Abu Bakar.[3]

Dalam Islam Sunni

 
Kata 'Ali' dalam Kaligrafi Arab, tertulis di Hagia Sophia, Turki.

Dalam Islam Sunni, Ali dihormati sebagai sahabat dekat Muhammad,[448] dan otoritas terkemuka dalam penafsiran Al-Qur'an dan hukum Islam,[449][450] serta sumber hikmah dalam spiritualitas Sunni.[446] Ketika Muhammad meninggal pada tahun 632, Ali mengklaim kepemimpinannya, mungkin mengacu pada Ghadir Khum,[104][45] tapi dia akhirnya menerima pemerintahan dari tiga khalifah pertama demi kepentingan persatuan umat Islam.[451] Ali digambarkan dalam sumber-sumber Sunni sebagai penasihat terpercaya tiga khalifah pertama,[3][13] sementara konflik mereka dengan Ali diminimalkan,[117][118] sejalan dengan kecenderungan Sunni untuk menunjukkan kerukunan antar sahabat.[118][452][453] Sebagai khalifah Rasyidin keempat dan terakhir, Ali memiliki status yang sangat tinggi dalam Islam Sunni, meskipun penghormatan doktrinal terhadap Ali ini merupakan perkembangan terkini, yang mungkin dimulai oleh ahli tradisi Sunni terkemuka, Ahmad bin Hanbal.[1] Hierarki tradisional Sunni menempatkan Ali di bawah ketiga pendahulunya dan di atas mereka yang berperang melawannya.[1][454][448] Meskipun begitu, masih terdapat penafsiran ulang mengenai ucapan-ucapan kenabian yang secara eksplisit meninggikan Ali di atas semua sahabat.[1]

Dalam Islam Syiah

 
Ali bersama putra-putranya, dalam seni permadani Iran pada abad ke-19.

Ali menjadi perhatian utama dalam doktrin Islam Syiah:[3] Kata Arab Syīʿah adalah singkatan dari Syīʿat ʿAlī (terj. har.'pengikut Ali'),[455] dan Syiah menambahkan namanya dalam adzan.[3] Syiah menganggap Ali sebagai sahabat Muhammad yang paling utama.[456][457] Islam Syiah meyakini bahwa Ali adalah penerus sah Muhammad melalui penunjukan yang ditetapkan Tuhan,[13][458] yang pada dasarnya merujuk pada peristiwa Ghadir Khum.[459] Ali dikatakan telah mewarisi otoritas politik dan agama Muhammad, bahkan jauh sebelum ia menjabat sebagai khalifah pada tahun 656.[460][461] Secara khusus, para pendahulu Ali dianggap sebagai penguasa tidak sah dan perampas hak-haknya.[13] Ikatan kesetiaan yang menyeluruh antara Muslim Syiah dan para imam mereka (serta Muhammad dalam kapasitasnya sebagai nabi dan imam) dikenal sebagai walayah.[234] Ali juga dianggap diberkahi dengan keistimewaan syafa'at pada Hari Penghakiman.[1] Awalnya, beberapa penganut Syiah bahkan mengaitkan keilahian dengan Ali,[13][456] namun dikatakan bahwa pandangan ekstrem seperti itu secara perlahan dicabut dari ajaran Syiah.[462]

Dalam kepercayaan Syiah, Ali juga mewarisi ilmu esoterik Muhammad,[2][463] misalnya, berdasarkan hadis kenabian, "Aku [Muhammad] adalah kota ilmu pengetahuan, dan Ali adalah pintu gerbangnya."[2] Ali dengan demikian dianggap, sebagai penafsir Al-Qur'an dan satu-satunya sumber otoritatif dari ajaran-ajaran (esoteriknya) setelah Muhammad.[459] Berbeda dengan Muhammad, Ali diperkirakan tidak menerima wahyu ilahi (wahy), meskipun ia mungkin dibimbing oleh inspirasi ilahi (ilham).[460][464] Ayat 21:73 terkadang dikutip dalam konteks ini, "Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan, melaksanakan salat dan menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah."[465] Muslim Syiah juga mempercayai infalibilitas Ali, yaitu bahwa Ali dilidungi secara ilahi dari dosa, seperti halnya Muhammad.[1][466] Dalam konteks ini, ayat Penyucian terkadang dikutip.[467][468] Oleh karena itu, kata-kata dan perbuatan Ali dianggap sebagai model bagi komunitas Syiah dan sumber perintah agama mereka.[469][470]

Dalam Alawiyah

Kaum Alawiyah menghormati Ali, Imam pertama dari Dua Belas Imam, sebagai manifestasi fisik Tuhan.[471][472] Bahkan syahadat kaum Alawi diterjemahkan sebagai "Tidak ada Tuhan selain Ali".[473] Tritunggal Alawi menyatakan bahwa Tuhan terdiri dari tiga manifestasi berbeda, Maʿna (arti), Ism (nama) dan Bab (pintu); yang bersama-sama membentuk “trinitas yang tak terpisahkan”. Maʿna melambangkan "sumber dan makna segala sesuatu" dalam mitologi Alawiyah. Menurut doktrin Alawi, Maʿna melahirkan Ism, yang kemudian membangun Bab. Keyakinan ini terkait erat dengan doktrin Alawi tentang reinkarnasi trinitas.[474][475] Trinitas terakhir reinkarnasi dalam trinitas Alawi terdiri dari Ali (Maʿna), Muhammad (Ism) dan Salman al-Farisi (Bab). Kaum Alawi masing-masing menggambarkannya sebagai langit, matahari, dan bulan. Kaum Alawi mendewakan Ali sebagai "manifestasi Tuhan yang terakhir dan tertinggi" yang membangun alam semesta, mengaitkannya dengan keunggulan ilahi, dan percaya bahwa Ali menciptakan Muhammad dan memberinya misi untuk menyebarkan ajaran Al-Qur'an di bumi.[476][477][474][478]

Dalam agama laim

Dalam kepercayaan Druze, Ali dianggap sebagai "nabi kecil", seperti Plato dan Sokrates.[479] Meskipun kepercayaan ini awalnya berkembang dari Syiah Isma'iliyah, Druze bukanlah Muslim,[480][481] dan tidak menerima Lima Rukun Islam.[481] Menurut keyakinan Yarsanisme, sebuah agama yang didirikan oleh mistikus Kurdi, Sultan Sahak, Ali dianggap sebagai inkarnasi Tuhan,[482] dan lebih unggul dari Muhammad,[482] tetapi penggambaran mereka terhadap Ali dianggap sebagai penggambaran dari sekte Ghulat yang ditolak dalam Islam pada umumnya.[482]

Warisan

Kontribusi terhadap ilmu-ilmu Islam

Pembacaan standar Al-Qur'an telah ditelusuri kembali ke Ali,[483][484][208] dan warisan tertulisnya dipenuhi dengan topik seputar tafsir Al-Qur'an.[485] Ibnu Abbas, seorang penafsir awal terkemuka, memuji Ali atas interpretasinya terhadap Al-Qur'an.[449] Ali juga meriwayatkan beberapa ratus hadis kenabian.[485] Ia selanjutnya dianggap sebagai orang pertama yang melakukan evaluasi sistematis hadis, dan sering dianggap sebagai tokoh pendiri ilmu hadis.[485] Ali juga dianggap oleh sebagian orang sebagai pendiri Teologi Islam, dan perkataannya dianggap mengandung bukti rasional pertama dari keesaan Tuhan (Tauhid) di Islam.[486][32] Dalam Filsafat Islam kemudian, perkataan dan khotbah Ali ditelaah lebih dalam dengan tujuan untuk mencari pengetahuan metafisik darinya.[3] Secara khusus, Nahjul Balaghah merupakan sumber penting bagi doktrin filosofis Syiah, setelah Al-Qur'an dan Sunnah.[487] Sebagai seorang Imam Syiah, pernyataan dan praktik yang dikaitkan dengan Ali dipelajari secara luas dalam Islam Syiah, yang dipandang sebagai kelanjutan dari ajaran kenabian.[485]

Karya

 
Folio dari naskah kuno Nahjul Balaghah, sekitar tahun 1150 M.

Sebagian besar karya yang dikaitkan dengan Ali pertama kali disampaikan sebagai pidato dan kemudian dijadikan tulisan oleh orang lain. Ada juga kumpulan doa, seperti Du'a Kumail, yang mungkin telah dia ajarkan kepada orang lain.[1]

Nahjul Balaghah

Nahjul Balaghah (terj. har.'jalan kefasihan') adalah kumpulan khotbah, surat, dan ucapan abad kesebelas, semuanya dikaitkan dengan Ali, yang disusun oleh Sharif al-Radi, seorang ulama Syiah Dua Belas Imam terkemuka.[488][489] Karena isinya yang terkadang sensitif, keaslian Nahjul Balaghah telah lama menjadi perdebatan polemik. Namun, dengan menelusuri isinya dari sumber-sumber sebelumnya, penelitian akademis terbaru telah menghubungkan sebagian besar isi Nahjul Balaghah kepada Ali.[490][491] Buku tersebut, khususnya surat instruksi yang ditujukan kepada Malik al-Asytar,[1] telah berfungsi sebagai landasan ideologis bagi pemerintahan Islam, terutama Islam Syiah.[489] Buku ini juga memuat pembahasan rinci tentang tanggung jawab sosial, dengan menekankan bahwa tanggung jawab yang lebih besar menghasilkan hak yang lebih besar.[489] Nahjul Balaghah juga memuat materi sensitif, seperti kritik tajam terhadap para pendahulu Ali dalam khotbah Syaqsyaqiyah,[1] dan ketidaksetujuan terhadap Aisyah, Thalhah, dan Zubair yang memberontak terhadap Ali.[488][492] Dipuji sebagai contoh elokuensi Arab yang paling fasih,[1] Nahjul Balaghah telah mempengaruhi sastra dan retorika Arab secara signifikan.[490] Banyak komentar telah ditulis mengenai kitab ini, termasuk karya komprehensif dari ulama Mu'tazilah, Ibnu Abil Hadid.[1]

Ghurar al-Hikam

 
Folio dari naskah kuno Ghurar al-Hikam

Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kalim (terj. har.'Nasihat luhur dan kata mutiara') disusun oleh Abdul Wahid al-Amidi, yang dikatakan merupakan ahli hukum Syafiʽi, atau menurut pendapat lain, ulama Syiah Dua Belas Imam. Buku tersebut berisi ribuan ucapan singkat Ali tentang ketakwaan dan etika.[493][1] Kata-kata mutiara dan karya-karya lain yang dikaitkan dengan Ali telah banyak mempengaruhi mistisisme Islam.[494]

Mushaf Ali

 
Tiga ayat pertama dari Surah al-Buruj (85:1–3) yang merupakan bagian dari folio Mushaf Ali di perpustakaan Kuil Imam Ali, Najaf, Irak.

Mushaf Ali adalah resensi Al-Qur'an yang disusun oleh Ali, yang merupakan salah satu juru tulis pertamanya.[495] Menurut beberapa catatan Syiah, kodeks (mushaf) yang disusun oleh Ali ini ditolak untuk digunakan secara resmi selama krisis suksesi.[496] Beberapa tradisi Syiah awal juga menunjukkan perbedaan dengan standar Kodeks Utsmaniyah,[497] meskipun Syiah saat ini berpandangan bahwa resensi Ali cocok dengan kodeks Utsmaniyah, kecuali urutan isinya.[498] Kodeks Ali dikatakan berada dalam kepemilikan Muhammad al-Mahdi, yang akan mengungkapkan kodeks tersebut (dan komentar resminya oleh Ali) ketika dia muncul kembali.[499][408]

Kitab Ali

Kitab Ali adalah kumpulan ucapan kenabian yang dikumpulkan oleh Ali. Buku tersebut mungkin membahas masalah Halal dan Haram, termasuk rincian hukum pidananya. Kitab Ali juga sering dikaitkan dengan al-Jafr, yang konon mengandung ajaran esoteris Muhammad untuk keluarganya.[500][501] Copies of Kitab Ali kemungkinan besar tersedia hingga awal abad kedelapan, dan sebagian darinya masih bertahan dalam karya-karya Syiah dan Sunni selanjutnya.[485]

Karya lainnya

Du'a Kumail adalah kumpulan doa Syiah populer yang dikaitkan dengan Ali, yang disampaikan oleh temannya, Kumail bin Ziyad.[1] Karya lain yang dikaitkan dengan Ali adalah Kitab al-Diyat yang berisi tentang hukum Islam dan dikutip lengkap dalam kumpulan hadis Syiah Man La Yahduruhu al-Faqih.[502] Keputusan hukum dan perintah eksekutif Ali pada masa kekhalifahannya juga telah dicatat.[503] Karya-karya lain yang masih ada yang dikaitkan dengan Ali dikumpulkan dalam Kitab al-Kafi dan sumber Syiah lainnya.[1]

Historiografi

Banyak yang telah ditulis tentang Ali dalam literatur Islam, nomor dua setelah Muhammad.[3] Namun, banyak dari materi ini diwarnai oleh bias positif atau negatif terhadap Ali.[3] Sumber utama tentang Ali adalah Alquran, hadis, dan karya Islam awal lainnya,[3] yang paling terkenal adalah Kitab Sulaim bin Qays yang dikaitkan dengan sahabat Ali.[504] Karya-karya seperti itu pada awalnya cukup langka, namun hal ini berubah dengan diperkenalkannya kertas yang terjangkau pada periode Abbasiyah. Misalnya, setidaknya dua puluh satu monografi disusun tentang Pertempuran Siffin antara tahun 750 dan 950, tiga belas di antaranya ditulis oleh sejarawan awal Abu Mikhnaf. Sebagian besar monografi ini tidak ada kecuali melalui kutipan-kutipan pada koleksi-koleksi selanjutnya, seperti Tarikh ath-Thabari.[505] Selain banyak karya yang ditulis oleh umat Islam, sumber sekunder tentang Ali mencakup tulisan-tulisan Kristen Arab, Hindu, dan juga karya-karya sarjana Barat.[3] Ketika menulis tentang Ali, para cendekiawan Barat awal sering menganggap laporan-laporan yang dikumpulkan pada periode-periode selanjutnya adalah laporan palsu karena para penulisnya sering mengemukakan pandangan-pandangan partisan Sunni atau Syiah mereka sendiri. Misalnya, L. Caetani sering menolak laporan sejarah yang dikaitkan dengan Ibnu Abbas yang pro-Ali dan Aisyah yang anti-Ali. Caetani malah lebih memilih catatan yang dilaporkan tanpa isnad oleh sejarawan awal seperti Ibnu Ishaq. Sebaliknya, W. Madelung berpendapat bahwa tendensiusnya sebuah laporan tidak berarti laporan tersebut dibuat-buat. Madelung malah menganjurkan otentikasi laporan sejarah berdasarkan kesesuaiannya dengan peristiwa dan tokoh lain.[506]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad Gleave 2008.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Shah-Kazemi 2015b.
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai Afsaruddin & Nasr 2023.
  4. ^ Momen 1985, hlm. 239.
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj Veccia Vaglieri 2012a.
  6. ^ Rubin 1995, hlm. 130.
  7. ^ a b c d Momen 1985, hlm. 12.
  8. ^ Abbas 2021, hlm. 34.
  9. ^ Rubin 1995, hlm. 136–7.
  10. ^ a b c d Huart 2012a.
  11. ^ Mavani 2013, hlm. 71, 98.
  12. ^ Abbas 2021, hlm. 46, 206.
  13. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj Poonawala 1982.
  14. ^ Kassam & Blomfield 2015.
  15. ^ a b c d e f Buehler 2014, hlm. 186.
  16. ^ Klemm 2005, hlm. 186.
  17. ^ Qutbuddin 2006, hlm. 248.
  18. ^ Momen 1985, hlm. 13–14.
  19. ^ a b Schmucker 2012.
  20. ^ a b Madelung 1997, hlm. 16.
  21. ^ a b Osman 2015, hlm. 110.
  22. ^ Nasr et al. 2015, hlm. 379.
  23. ^ Haider 2014, hlm. 35.
  24. ^ Haider 2014, hlm. 36.
  25. ^ McAuliffe 2023.
  26. ^ Fedele 2018, hlm. 56.
  27. ^ Lalani 2006, hlm. 29.
  28. ^ Mavani 2013, hlm. 72.
  29. ^ Bill & Williams 2002, hlm. 29.
  30. ^ a b Momen 1985, hlm. 13.
  31. ^ Momen 1985, hlm. 14.
  32. ^ a b c d Shah-Kazemi 2014.
  33. ^ a b Miskinzoda 2015, hlm. 69.
  34. ^ Miskinzoda 2015, hlm. 76–7.
  35. ^ Shah-Kazemi 2019, hlm. 46.
  36. ^ Faizer 2006.
  37. ^ Donner 2010, hlm. 72–3.
  38. ^ Arafat 1976.
  39. ^ Dakake 2007, hlm. 34–9.
  40. ^ a b c d Veccia Vaglieri 2012d.
  41. ^ Dakake 2007, hlm. 34–7.
  42. ^ a b Veccia Vaglieri 2012b.
  43. ^ Momen 1985, hlm. 15.
  44. ^ Mavani 2013, hlm. 80.
  45. ^ a b c d e f Amir-Moezzi 2014.
  46. ^ Jones 2009.
  47. ^ Mavani 2013, hlm. 20.
  48. ^ Dakake 2007, hlm. 35.
  49. ^ Lalani 2011.
  50. ^ Jafri 1979, hlm. 20.
  51. ^ a b Dakake 2007, hlm. 45.
  52. ^ Mavani 2013, hlm. 2.
  53. ^ Dakake 2007, hlm. 47.
  54. ^ Jafri 1979, hlm. 21.
  55. ^ Mavani 2013, hlm. 70.
  56. ^ Dakake 2007, hlm. 46.
  57. ^ Dakake 2007, hlm. 44–5.
  58. ^ Lalani 2006, hlm. 590.
  59. ^ a b Madelung 1997, hlm. 253.
  60. ^ McHugo 2017, §2.IV.
  61. ^ Dakake 2007, hlm. 41.
  62. ^ a b Afsaruddin 2013, hlm. 51.
  63. ^ a b c d Jafri 1979, hlm. 39.
  64. ^ Momen 1985, hlm. 18.
  65. ^ Madelung 1997, hlm. 30–2.
  66. ^ Jafri 1979, hlm. 37.
  67. ^ Madelung 1997, hlm. 35.
  68. ^ Madelung 1997, hlm. 31–33.
  69. ^ Momen 1985, hlm. 18–9.
  70. ^ Madelung 1997, hlm. 36, 40.
  71. ^ McHugo 2017, §1.III.
  72. ^ Madelung 1997, hlm. 5.
  73. ^ Mavani 2013, hlm. 34.
  74. ^ Keaney 2021, §3.1.
  75. ^ a b Walker 2014, hlm. 3.
  76. ^ Lecomte 2012.
  77. ^ Shaban 1971, hlm. 16.
  78. ^ Khetia 2013, hlm. 31–2.
  79. ^ a b Madelung 1997, hlm. 32.
  80. ^ a b Fedele 2018.
  81. ^ a b Madelung 1997, hlm. 43.
  82. ^ a b Jafri 1979, hlm. 40.
  83. ^ Qutbuddin 2006, hlm. 249.
  84. ^ Cortese & Calderini 2006, hlm. 8.
  85. ^ Jafri 1979, hlm. 41.
  86. ^ a b Madelung 1997, hlm. 43–4.
  87. ^ Jafri 1979, hlm. 40–1.
  88. ^ Soufi 1997, hlm. 86.
  89. ^ a b Khetia 2013, hlm. 78.
  90. ^ Abbas 2021, hlm. 98.
  91. ^ Soufi 1997, hlm. 84–5.
  92. ^ Ayoub 2014, hlm. 17–20.
  93. ^ Khetia 2013, hlm. 35.
  94. ^ Soufi 1997, hlm. 84.
  95. ^ Khetia 2013, hlm. 38.
  96. ^ Jafri 1979, hlm. 47.
  97. ^ Madelung 1997, hlm. 50.
  98. ^ Mavani 2013, hlm. 116.
  99. ^ Soufi 1997, hlm. 104–105.
  100. ^ a b Sajjadi 2018.
  101. ^ Veccia Vaglieri 2012c.
  102. ^ Soufi 1997, hlm. 100.
  103. ^ a b c d Madelung 1997, hlm. 141.
  104. ^ a b Momen 1985, hlm. 19–20.
  105. ^ McHugo 2017, hlm. 40.
  106. ^ Jafri 1979, hlm. 44.
  107. ^ Madelung 1997, hlm. 141, 253.
  108. ^ Mavani 2013, hlm. 113–114.
  109. ^ Momen 1985, hlm. 62.
  110. ^ Mavani 2013, hlm. 114, 117.
  111. ^ Shah-Kazemi 2019, hlm. 79.
  112. ^ a b c Anthony 2013.
  113. ^ a b Mavani 2013, hlm. 117.
  114. ^ Aslan 2005, hlm. 122.
  115. ^ Madelung 1997, hlm. 42, 52–54, 213–4.
  116. ^ Abbas 2021, hlm. 94.
  117. ^ a b c Jafri 1979, hlm. 45.
  118. ^ a b c Shah-Kazemi 2019, hlm. 78.
  119. ^ Shah-Kazemi 2019, hlm. 81.
  120. ^ Dakake 2007, hlm. 50.
  121. ^ Jafri 1979, hlm. 47–8.
  122. ^ Momen 1985, hlm. 20.
  123. ^ Veccia Vaglieri 2012a, hlm. 382.
  124. ^ Afsaruddin 2013, hlm. 32.
  125. ^ Ayoub 2014, hlm. 32.
  126. ^ Jafri 1979, hlm. 46.
  127. ^ a b c d Glassé 2001, hlm. 40.
  128. ^ Tabatabai 1975, hlm. 158.
  129. ^ Madelung 1997, hlm. 66–7.
  130. ^ Momen 1985, hlm. 16.
  131. ^ Abbas 2021, hlm. 89.
  132. ^ Madelung 1997, hlm. 22.
  133. ^ Madelung 1997, hlm. 62, 65.
  134. ^ Madelung 1997, hlm. 62–64.
  135. ^ Madelung 1997, hlm. 67.
  136. ^ Pellat 1983.
  137. ^ a b Jafri 1979, hlm. 50.
  138. ^ Jafri 1979, hlm. 52.
  139. ^ Ayoub 2014, hlm. 43.
  140. ^ Madelung 1997, hlm. 71.
  141. ^ a b c Jafri 1979, hlm. 51.
  142. ^ a b c Momen 1985, hlm. 21.
  143. ^ a b c Jafri 1979, hlm. 54.
  144. ^ Kennedy 2016, hlm. 60.
  145. ^ Keaney 2021, §3.4.
  146. ^ Shaban 1971, hlm. 62–3.
  147. ^ Madelung 1997, hlm. 71–2.
  148. ^ Jafri 1979, hlm. 52–3.
  149. ^ Abbas 2021, hlm. 116.
  150. ^ Madelung 1997, hlm. 68.
  151. ^ Jafri 1979, hlm. 52–53, 55.
  152. ^ a b Madelung 1997, hlm. 87.
  153. ^ a b Veccia Vaglieri 1970, hlm. 67.
  154. ^ Shah-Kazemi 2019, hlm. 84.
  155. ^ Dakake 2007, hlm. 52.
  156. ^ Madelung 1997, hlm. 108, 113.
  157. ^ Jafri 1979, hlm. 53.
  158. ^ a b Madelung 1997, hlm. 108.
  159. ^ a b c Hinds 1972a, hlm. 467.
  160. ^ Madelung 1997, hlm. 109.
  161. ^ a b c Jafri 1979, hlm. 63.
  162. ^ a b Daftary 2014, hlm. 30.
  163. ^ Madelung 1997, hlm. 98.
  164. ^ Madelung 1997, hlm. 100–2.
  165. ^ Jafri 1979, hlm. 59.
  166. ^ Madelung 1997, hlm. 107–8.
  167. ^ a b c d Momen 1985, hlm. 22.
  168. ^ Jafri 1979, hlm. 62.
  169. ^ a b McHugo 2017, hlm. 49.
  170. ^ Madelung 1997, hlm. 121.
  171. ^ Madelung 1997, hlm. 118–9.
  172. ^ Madelung 1997, hlm. 128.
  173. ^ a b c d e f g Anthony 2013, hlm. 31.
  174. ^ Madelung 1997, hlm. 111.
  175. ^ Veccia Vaglieri 1970, hlm. 68.
  176. ^ Madelung 1997, hlm. 111, 119.
  177. ^ Madelung 1997, hlm. 122.
  178. ^ Madelung 1997, hlm. 123.
  179. ^ a b c Madelung 1997, hlm. 112.
  180. ^ a b c Madelung 1997, hlm. 127.
  181. ^ Levi Della Vida & Khoury 2012.
  182. ^ Madelung 1997, hlm. 126.
  183. ^ Hinds 1972a.
  184. ^ Donner 2010, hlm. 152.
  185. ^ a b c Kennedy 2016, hlm. 65.
  186. ^ a b c d e f g h i j Veccia Vaglieri 2012f.
  187. ^ Donner 2010, hlm. 157.
  188. ^ a b c Lapidus 2002, hlm. 56.
  189. ^ a b Ayoub 2014, hlm. 81.
  190. ^ a b c d e f g h Bahramian 2015.
  191. ^ a b Madelung 1997, hlm. 142–3.
  192. ^ a b Momen 1985, hlm. 24.
  193. ^ Ayoub 2014, hlm. 70.
  194. ^ Madelung 1997, hlm. 143.
  195. ^ a b c d Madelung 1997, hlm. 147.
  196. ^ a b Jafri 1979, hlm. 64.
  197. ^ Madelung 1997, hlm. 144–5.
  198. ^ Madelung 1997, hlm. 144.
  199. ^ a b Shaban 1971, hlm. 71.
  200. ^ Ayoub 2014, hlm. 85.
  201. ^ Veccia Vaglieri 1970, hlm. 69.
  202. ^ a b Shaban 1971, hlm. 72.
  203. ^ a b c d Donner 2010, hlm. 158.
  204. ^ Keaney 2021, §3.5.
  205. ^ Madelung 1997, hlm. 72.
  206. ^ Abbas 2021, hlm. 115.
  207. ^ a b c Madelung 1997, hlm. 309–310.
  208. ^ a b c d e f Momen 1985, hlm. 25.
  209. ^ a b Poonawala 2011.
  210. ^ a b Madelung 1997, hlm. 150.
  211. ^ Tabatabai 1979, hlm. 43.
  212. ^ McHugo 2018, hlm. 53.
  213. ^ a b Ayoub 2014, hlm. 91.
  214. ^ a b Madelung 1997, hlm. 148.
  215. ^ a b Donner 2010, hlm. 159–60.
  216. ^ a b Ayoub 2014, hlm. 83.
  217. ^ Tabatabai 1979, hlm. 45.
  218. ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 105.
  219. ^ Madelung 1997, hlm. 272.
  220. ^ a b Tabatabai 1979, hlm. 44.
  221. ^ Veccia Vaglieri 1960.
  222. ^ a b Madelung 1997, hlm. 149–50.
  223. ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 89.
  224. ^ a b Tabatabai 1979, hlm. 46.
  225. ^ Terjemahan ayat oleh Quran Kemenag, Kementerian Agama Republik Indonesia.
  226. ^ Tabatabai 1979, hlm. 64.
  227. ^ Nasr et al. 2015, hlm. 3203.
  228. ^ Shah-Kazemi 2022, hlm. 89–90.
  229. ^ Shah-Kazemi 2019, hlm. 77.
  230. ^ a b Shaban 1971, hlm. 73.
  231. ^ Shaban 1971, hlm. 72–73.
  232. ^ Mavani 2013, hlm. 67–68.
  233. ^ Dakake 2007, hlm. 57.
  234. ^ a b c Haider 2014, hlm. 34.
  235. ^ Dakake 2007, hlm. 60.
  236. ^ Madelung 1997, hlm. 251–252.
  237. ^ Dakake 2007, hlm. 59.
  238. ^ Jafri 1979, hlm. 71.
  239. ^ Dakake 2007, hlm. 58–59.
  240. ^ Dakake 2007, hlm. 262n30.
  241. ^ Jafri 1979, hlm. 67.
  242. ^ Abbas 2021, hlm. 133.
  243. ^ a b Tabatabai 1975, hlm. 45.
  244. ^ Shah-Kazemi 2019, hlm. 90.
  245. ^ Shah-Kazemi 2019, hlm. 84, 90.
  246. ^ Jafri 1979, hlm. 55–6.
  247. ^ Ayoub 2014, hlm. 94.
  248. ^ a b Ayoub 2014, hlm. 95.
  249. ^ a b c McHugo 2017, hlm. 64.
  250. ^ Madelung 1997, hlm. 264.
  251. ^ Shah-Kazemi 2019, hlm. 105–6.
  252. ^ Madelung 1997, hlm. 276.
  253. ^ Abbas 2021, hlm. 153.
  254. ^ Lambton 1991, hlm. xix, xx.
  255. ^ Abbas 2021, hlm. 156.
  256. ^ a b Heck 2023.
  257. ^ a b c Shah-Kazemi 2019, hlm. 94.
  258. ^ Ayoub 2014, hlm. 84.
  259. ^ Shah-Kazemi 2019, hlm. 115.
  260. ^ Ayoub 2014, hlm. 109.
  261. ^ Ayoub 2014, hlm. 108.
  262. ^ Ayoub 2014, hlm. 109–10.
  263. ^ Madelung 1997, hlm. 227.
  264. ^ Ayoub 2014, hlm. 111–2.
  265. ^ Ayoub 2014, hlm. 89.
  266. ^ Madelung 1997, hlm. 133.
  267. ^ Cappucci 2014, hlm. 19.
  268. ^ a b Madelung 1997, hlm. 157.
  269. ^ Aslan 2005, hlm. 132.
  270. ^ a b McHugo 2017, §2.II.
  271. ^ Madelung 1997, hlm. 98, 101, 107.
  272. ^ Ayoub 2014, hlm. 88.
  273. ^ a b Hinds 1971, hlm. 361.
  274. ^ Madelung 1997, hlm. 166.
  275. ^ Hazleton 2009, hlm. 107.
  276. ^ a b Madelung 1997, hlm. 169.
  277. ^ a b c Donner 2010, hlm. 159.
  278. ^ Madelung 1997, hlm. 169–70.
  279. ^ a b c Madelung 1997, hlm. 170.
  280. ^ Hazleton 2009, hlm. 113.
  281. ^ Abbas 2021, hlm. 139.
  282. ^ Madelung 1997, hlm. 171–2.
  283. ^ Abbas 2021, hlm. 140.
  284. ^ Madelung 1997, hlm. 171.
  285. ^ Madelung 1997, hlm. 172.
  286. ^ a b Abbas 2021, hlm. 141.
  287. ^ Hazleton 2009, hlm. 121.
  288. ^ Madelung 1997, hlm. 180-1.
  289. ^ Hazleton 2009, hlm. 122.
  290. ^ Madelung 1997, hlm. 182.
  291. ^ Madelung 1997, hlm. 194.
  292. ^ Petersen 1958, hlm. 165.
  293. ^ Ayoub 2014, hlm. 97.
  294. ^ Madelung 1997, hlm. 190.
  295. ^ Abbas 2021, hlm. 144.
  296. ^ Rahman 1995, hlm. 58.
  297. ^ Donner 2010, hlm. 160.
  298. ^ Ayoub 2014, hlm. 99.
  299. ^ Madelung 1997, hlm. 196.
  300. ^ Madelung 1997, hlm. 203.
  301. ^ Madelung 1997, hlm. 204.
  302. ^ Madelung 1997, hlm. 204–205.
  303. ^ a b c d Shah-Kazemi 2014, hlm. 23.
  304. ^ Shah-Kazemi 2019, hlm. 95–6.
  305. ^ Madelung 1997, hlm. 186.
  306. ^ Kennedy 2016, hlm. 66.
  307. ^ a b c d McHugo 2017, 2.III.
  308. ^ Madelung 1997, hlm. 226.
  309. ^ a b c Lecker 2012.
  310. ^ a b c d e f g Donner 2010, hlm. 161.
  311. ^ a b c Shaban 1971, hlm. 75.
  312. ^ Kennedy 2016, hlm. 67.
  313. ^ Madelung 1997, hlm. 232.
  314. ^ Hazleton 2009, hlm. 198.
  315. ^ a b Madelung 1997, hlm. 234.
  316. ^ Madelung 1997, hlm. 235.
  317. ^ Ayoub 2014, hlm. 119.
  318. ^ Abbas 2021, hlm. 149.
  319. ^ a b c d Madelung 1997, hlm. 238.
  320. ^ Adamec 2017, hlm. 406.
  321. ^ Veccia Vaglieri 1970, hlm. 70.
  322. ^ Ayoub 2014, hlm. 123–4.
  323. ^ Hinds 1972b, hlm. 97.
  324. ^ a b Madelung 1997, hlm. 241.
  325. ^ Hinds 1972b, hlm. 98.
  326. ^ Madelung 1997, hlm. 241–2.
  327. ^ a b c Afsaruddin 2013, hlm. 53.
  328. ^ Dakake 2007, hlm. 1–2.
  329. ^ a b Madelung 1997, hlm. 243.
  330. ^ Dakake 2007, hlm. 1.
  331. ^ a b Madelung 1997, hlm. 247.
  332. ^ Madelung 1997, hlm. 245.
  333. ^ a b Rauf 2007, hlm. 191.
  334. ^ Madelung 1997, hlm. 248–249.
  335. ^ a b c Donner 2010, hlm. 163.
  336. ^ a b Levi Della Vida 2012.
  337. ^ Donner 2010, hlm. 162.
  338. ^ Hinds 1972b, hlm. 100.
  339. ^ Hinds 1972b, hlm. 101.
  340. ^ Rauf 2007, hlm. 190–191.
  341. ^ Madelung 1997, hlm. 249–50.
  342. ^ Ayoub 2014, hlm. 129.
  343. ^ a b c d e Madelung 1997, hlm. 255.
  344. ^ Aslan 2005, hlm. 137.
  345. ^ a b Madelung 1997, hlm. 256.
  346. ^ a b c Madelung 1997, hlm. 257.
  347. ^ Madelung 1997, hlm. 286.
  348. ^ a b c Donner 2010, hlm. 165.
  349. ^ Fadel 2013, hlm. 43.
  350. ^ Hinds 1972b, hlm. 102.
  351. ^ Jafri 1979, hlm. 65.
  352. ^ Daftary 2013, hlm. 31.
  353. ^ Madelung 1997, hlm. 257–8.
  354. ^ Madelung 1997, hlm. 255, 257.
  355. ^ a b Madelung 1997, hlm. 259–60.
  356. ^ Wellhausen 1901, hlm. 17–18.
  357. ^ Madelung 1997, hlm. 254.
  358. ^ Madelung 1997, hlm. 260.
  359. ^ a b c Wellhausen 1901, hlm. 18.
  360. ^ Madelung 1997, hlm. 259–261.
  361. ^ a b Madelung 1997, hlm. 260–1.
  362. ^ Wellhausen 1927, hlm. 85.
  363. ^ Ayoub 2014, hlm. 141, 171.
  364. ^ a b c Donner 2010, hlm. 164.
  365. ^ a b Madelung 1997, hlm. 262.
  366. ^ Madelung 1997, hlm. 261.
  367. ^ Kelsay 1993, hlm. 87.
  368. ^ Shah-Kazemi 2019, hlm. 97–8.
  369. ^ Ayoub 2014, hlm. 141.
  370. ^ a b Shaban 1971, hlm. 77.
  371. ^ a b Jafri 1979, hlm. 123.
  372. ^ Kennedy 2016, hlm. 68.
  373. ^ Kennedy 2016, hlm. 69.
  374. ^ Madelung 1997, hlm. 268–9.
  375. ^ Madelung 1997, hlm. 262, 288–291, 293.
  376. ^ Madelung 1997, hlm. 307.
  377. ^ Donner 2010, hlm. 166.
  378. ^ a b c Veccia Vaglieri 2012g.
  379. ^ Madelung 1997, hlm. 308.
  380. ^ Madelung 1997, hlm. 309.
  381. ^ a b Kohlberg 1982.
  382. ^ Momen 1985, hlm. 26.
  383. ^ a b Veccia Vaglieri 2012e.
  384. ^ Madelung 1997, hlm. 311.
  385. ^ Momen 1985, hlm. 26–7.
  386. ^ Jafri 1979, hlm. 91.
  387. ^ a b Momen 1985, hlm. 27.
  388. ^ a b Jafri 1979, hlm. 109–10.
  389. ^ a b Madelung 1997, hlm. 334.
  390. ^ a b c d Lewis 2012.
  391. ^ Dakake 2007, hlm. 67,78.
  392. ^ a b c d e f g h i j Daftary 2014.
  393. ^ a b c Huart 2012b.
  394. ^ a b Madelung 2003.
  395. ^ Momen 1985, hlm. 28.
  396. ^ Anthony 2013, hlm. 216.
  397. ^ McHugo 2017, hlm. 104.
  398. ^ Momen 1985, hlm. 69.
  399. ^ Momen 1985, hlm. 49, 50.
  400. ^ Momen 1985, hlm. 71.
  401. ^ Donner 1999, hlm. 26.
  402. ^ Sachedina 1981, hlm. 25.
  403. ^ Dakake 2007, hlm. 211.
  404. ^ Pierce 2016, hlm. 44.
  405. ^ Momen 1985, hlm. 44.
  406. ^ a b McHugo 2017, hlm. 107.
  407. ^ Momen 1985, hlm. 161.
  408. ^ a b Amir-Moezzi 1998.
  409. ^ McHugo 2017, hlm. 108.
  410. ^ Haider 2014, hlm. 92.
  411. ^ Daftary 2007, hlm. 2, 110, 128.
  412. ^ Steigerwald 2004.
  413. ^ Shah-Kazemi 2019, hlm. 72.
  414. ^ a b Ayoub 2014, hlm. 134.
  415. ^ Tabatabai 1975, hlm. 44.
  416. ^ Tabatabai 1975, hlm. 46.
  417. ^ Shah-Kazemi 2019, hlm. 89.
  418. ^ Tabatabai 1975, hlm. 46, 64.
  419. ^ a b Madelung 1997, hlm. 310.
  420. ^ Shah-Kazemi 2007, hlm. 189n1.
  421. ^ a b Glassé 2001, hlm. 41.
  422. ^ Momen 1985, hlm. 90.
  423. ^ Abbas 2021, hlm. 63.
  424. ^ Shah-Kazemi 2019, hlm. 105.
  425. ^ Shah-Kazemi 2019, hlm. 35–36.
  426. ^ a b Shah-Kazemi 2019, hlm. 104.
  427. ^ a b c d Haj Manouchehri 2015.
  428. ^ Alizadeh 2015.
  429. ^ Gibb 2012.
  430. ^ Lalani 2006.
  431. ^ Momen 1985, hlm. 11–12.
  432. ^ Nasr et al. 2015, hlm. 706.
  433. ^ Nasr et al. 2015, hlm. 706-7.
  434. ^ Mavani 2013, hlm. 46.
  435. ^ Mavani 2013, hlm. 70–71.
  436. ^ Momen 1985, hlm. 16, 17.
  437. ^ Leaman 2006.
  438. ^ Momen 1985, hlm. 16–7, 325.
  439. ^ a b Lalani 2000, hlm. 66.
  440. ^ Momen 1985, hlm. 152.
  441. ^ Mavani 2013, hlm. 41, 60.
  442. ^ Mavani 2013, hlm. 41.
  443. ^ Tabatabai 1975, hlm. 35.
  444. ^ Miskinzoda 2015, hlm. 76.
  445. ^ Momen 1985, hlm. 14–15.
  446. ^ a b Shah-Kazemi 2007, hlm. 134.
  447. ^ Louër 2020, hlm. 30.
  448. ^ a b Rauf 2007, hlm. 201.
  449. ^ a b Lalani 2006, hlm. 28.
  450. ^ Rauf 2007, hlm. 202.
  451. ^ Keaney 2021, hlm. 136.
  452. ^ Lucas 2004, hlm. 255-84.
  453. ^ Soufi 1997, hlm. 120.
  454. ^ Crone 2005, hlm. 135.
  455. ^ Shomali 2003, hlm. 14.
  456. ^ a b Steigerwald 2004, hlm. 36.
  457. ^ Poonawala 2014, hlm. 305.
  458. ^ Momen 1985, hlm. 147.
  459. ^ a b Daftary 2015, hlm. 172.
  460. ^ a b Gleave 2004.
  461. ^ Mavani 2013, hlm. 52, 53.
  462. ^ Momen 1985, hlm. 67–68.
  463. ^ Steigerwald 2004, hlm. 37.
  464. ^ Mavani 2013, hlm. 52–53.
  465. ^ Tabatabai 1975, hlm. 186–189.
  466. ^ Haider 2014, hlm. 42.
  467. ^ Mavani 2013, hlm. 68.
  468. ^ Momen 1985, hlm. 155.
  469. ^ Momen 1985, hlm. 174.
  470. ^ Shah-Kazemi 2015a, hlm. 38.
  471. ^ Nisan 2002, hlm. 116.
  472. ^ Cosman & Jones 2009, hlm. 407.
  473. ^ Atwan 2015, hlm. 58.
  474. ^ a b Ismail 2016, hlm. 67.
  475. ^ Moosa 1987, hlm. 311–312.
  476. ^ Moosa 1987, hlm. 312.
  477. ^ Esposito & Moosa 1995, hlm. 64.
  478. ^ Nisan 2002, hlm. 115, 117.
  479. ^ "Druze in Syria". Harvard Divinity School. Harvard University Press. Archived from the original on 9 December 2023. Retrieved 9 December 2023.
  480. ^ Jacobs 2014, hlm. 193.
  481. ^ a b McLaurin 1979, hlm. 114.
  482. ^ a b c Algar 1994, hlm. 513.
  483. ^ Modarressi 2003, hlm. 3.
  484. ^ Hulmes 2008, hlm. 45.
  485. ^ a b c d e Pakatchi 2015.
  486. ^ Nasr 2006, hlm. 2, 120.
  487. ^ Corbin 2006, hlm. 35–36.
  488. ^ a b Thomas 2008.
  489. ^ a b c Esposito 2003, hlm. 227.
  490. ^ a b Shah-Kazemi 2006.
  491. ^ Djebli 2012.
  492. ^ Dakake 2007, hlm. 225.
  493. ^ Shah-Kazemi 2007, hlm. 4.
  494. ^ Jozi & Shah-Kazemi 2015.
  495. ^ Modarressi 2003, hlm. 2.
  496. ^ Modarressi 1993, hlm. 13.
  497. ^ Amir-Moezzi 2009, hlm. 24.
  498. ^ Momen 1985, hlm. 77, 81.
  499. ^ Amir-Moezzi 1994, hlm. 89.
  500. ^ Esposito 2003, hlm. 175–176.
  501. ^ Modarressi 2003, hlm. 5.
  502. ^ Modarressi 2003, hlm. 12–13.
  503. ^ Modarressi 2003, hlm. 17.
  504. ^ Clarke 2005, hlm. 59.
  505. ^ Robinson 2003, hlm. 27, 28, 34.
  506. ^ Madelung 1997, hlm. xi, 19, 20.

Bibliografi

Buku

Ensiklopedia

Encyclopaedia Iranica

Encyclopaedia of Islam

Encyclopaedia Islamica

Lainnya

Jurnal

Bacaan lanjutan

Pranala luar

Ali bin Abi Thalib
Cabang kadet Quraisy
Lahir: 15 September 601 Meninggal: 29 Januari 661
Jabatan Islam Sunni
Didahului oleh:
'Utsman bin 'Affan
Khalifah
20 Juni 656 – 29 Januari 661
Diteruskan oleh:
Hasan bin 'Ali
Jabatan Islam Syi'ah
Jabatan baru Imam
632–661
Diteruskan oleh:
Hasan bin 'Ali