Perang Salib Pertama
Perang Salib Pertama (1096–1099) adalah perang pertama dari serangkaian perang agama, atau Perang Salib, yang digagas, didukung, dan diarahkan oleh Gereja Latin pada Abad Pertengahan. Tujuannya adalah merebut kembali Tanah Suci dari kekuasaan Islam. Meskipun Yerusalem telah dikuasai oleh Muslim selama ratusan tahun, berkuasanya Seljuk di wilayah tersebut pada abad ke-11 memunculkan kekhawatiran mengenai keselamatan penduduk Kristen di Yerusalem, menghalangi peziarahan dari Dunia Barat, dan mengancam keberlangsungan Kekaisaran Bizantium. Gagasan awal Perang Salib Pertama bermula pada tahun 1095 ketika Kaisar Bizantium Aleksius I Komnenus meminta dukungan militer dari Konsili Piacenza untuk berperang dengan Turki Seljuk. Bantuan militer juga datang dari Konsili Clermont setelah Paus Urbanus II menyatakan dukungannya terhadap Kekaisaran Bizantium dan mengajak umat Kristen yang beriman untuk melakukan ziarah bersenjata ke Yerusalem.
Seruan Sri Paus disambut dengan bergelora oleh segenap rakyat di Eropa Barat. Ribuan umat Kristen, yang kebanyakannya adalah rakyat jelata, dipimpin oleh imam Prancis Peter sang Pertapa, menjadi kalangan pertama yang menanggapi seruan Paus. Rombongan tersebut kemudian berarak melintasi Jerman dan melancarkan berbagai tindakan anti-Yahudi, seperti pembantaian Rhineland. Konflik-konflik yang terjadi pada masa itu dikenal dengan Perang Salib Rakyat. Saat hendak menyeberangi wilayah Bizantium di Anatolia, pasukan tersebut disergap dan dihabisi oleh kafilah Turki yang dipimpin oleh Sultan Seljuk Kilij Arslan I dalam Pertempuran Civetot pada bulan Oktober 1096.
Kalangan bangsawan Eropa dan pasukannya berangkat pada akhir musim panas 1096 dan tiba di Konstantinopel antara bulan November dan April 1097. Rombongan tersebut terdiri dari bala tentara feodal yang dipimpin oleh para pangeran termasyhur di Eropa Barat: pasukan Prancis selatan dipimpin oleh Raymond IV dari Toulouse dan Adhemar dari Le Puy; pasukan dari Lorraine Hulu dan Hilir dipimpin oleh Godfrey dari Bouillon dan adiknya Baldwin dari Boulogne; pasukan Italia-Norman dipimpin oleh Bohemond dari Taranto dan keponakannya Tancred; serta sejumlah pasukan yang terdiri dari bala tentara Prancis utara dan Flemish di bawah pimpinan Robert Curthose dari Normandia, Stephen dari Blois, Hugh dari Vermandois, dan Robert II dari Flandria. Secara keseluruhan, jumlah serdadu tentara salib diperkirakan sebanyak 100.000 orang.
Tentara salib tiba secara bertahap di Anatolia. Dengan absennya Kilij Arslan, tentara salib berhasil memenangkan pertempuran awal setelah diserbunya Anatolia oleh bangsa Franka dan serangan laut oleh Bizantium semasa Pengepungan Nikea pada bulan Juni 1097. Pada bulan Juli, bala tentara salib memenangkan Pertempuran Dorilaeum melawan pemanah berkuda Turki. Seusai menempuh perjalanan sulit melintasi Anatolia, tentara salib memulai Pengepungan Antiokhia, dan berhasil merebut kota tersebut pada bulan Juni 1098. Yerusalem, yang saat itu berada di bawah kekuasaan Fatimiyah, dikepung dan direbut pada bulan Juli 1099 setelah para penduduknya dibantai dengan keji. Serangan balasan Fatimiyah berhasil dipukul mundur pada akhir 1099 dalam Pertempuran Ascalon, yang mengakhiri Perang Salib Pertama. Seusai perang, sebagian besar tentara salib kembali ke kampung halamannya.
Empat negara tentara salib didirikan di Tanah Suci: Kerajaan Yerusalem, County Edessa, Kepangeranan Antiokhia, dan County Tripoli. Keberadaan tentara salib tetap dipertahankan di wilayah tersebut sampai runtuhnya benteng besar terakhir tentara salib dalam Pengepungan Akko pada tahun 1291. Setelah tentara salib kehilangan seluruh wilayahnya di Levant, tidak ada lagi upaya nyata yang dilakukan untuk merebut kembali Tanah Suci.
Konteks sejarah
Negeri-negeri Kristen dan Muslim telah bertikai sejak berdirinya Islam pada abad ke-7. Satu abad setelah kematian nabi Muhammad pada tahun 632, tentara Muslim merebut Yerusalem dan Levant, Afrika Utara, serta Semenanjung Iberia, yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Kristen. Pada abad ke-11, penguasa Kristen secara bertahap memulihkan kembali Iberia dari pengaruh Islam melalui Reconquista, tetapi keterikatan mereka dengan Tanah Suci telah memburuk. Penguasa Muslim di Levant sering kali memberlakukan aturan keras terhadap penganut Kristen.[2]
Perang Salib Pertama adalah upaya dunia Kristen untuk membendung perluasan pengaruh Islam ke Tanah Suci dan Bizantium, terutama oleh Fatimiyah dan Seljuk. Di Eropa Barat, Yerusalem dianggap sebagai tempat layak untuk peziarahan penebusan dosa. Meskipun kekuasaan Seljuk di Yerusalem lemah (yang kelak menyerahkan kota tersebut kepada Fatimiyah), para peziarah yang kembali ke Eropa melaporkan adanya kesusahan dan penindasan yang dialami oleh umat Kristen. Dukungan militer yang diperlukan oleh Bizantium bertepatan dengan meningkatnya jumlah prajurit di Eropa Barat yang bersedia menerima perintah perang kepausan.[3]
Situasi di Eropa
Pada abad ke-11, jumlah penduduk Eropa meningkat pesat akibat munculnya pembaruan di bidang teknologi dan pertanian yang memungkinkan berkembangnya perdagangan. Gereja Katolik telah menjadi lembaga yang sangat berpengaruh bagi peradaban Barat. Kehidupan masyarakat diatur melalui manorialisme dan feodalisme, struktur politik dengan para kesatria dan bangsawan berutang pengabdian militer kepada para penguasa sebagai imbalan atas hak untuk menyewakan tanah dan manor.[4]
Dalam rentang tahun 1050 sampai 1080, gerakan Reformasi Gregorian mengembangkan kebijakan yang semakin tegas demi meningkatkan kekuatan dan pengaruhnya. Hal tersebut memicu pertikaian dengan umat Kekristenan Timur yang tidak mengakui doktrin supremasi kepausan. Gereja Timur menganggap paus hanyalah satu dari lima patriark Gereja, bersama dengan patriark Aleksandria, Antiokhia, Konstantinopel, dan Yerusalem. Lantaran adanya perbedaan kebiasaan, kredo, dan praktik antar umat Kristen, Paus Leo IX mengirim utusan ke Patriark Mikael I Kerularius dari Konstantinopel pada tahun 1054, yang berakhir dengan pemisahan gereja dan Skisma Timur–Barat.[5]
Umat Kristen awal terbiasa menggunakan kekerasan untuk kepentingan komunal. Teologi Kristen mengenai kewajiban berperang berkembang sejak kewarganegaraan Romawi dan Kekristenan dipersatukan. Warga negara diharuskan berperang melawan musuh-musuh kekaisaran. Berawal dari pemikiran teolog abad ke-4, Agustinus dari Hippo, doktrin perang suci mulai berkembang. Agustinus berpendapat bahwa perang agresi itu dosa, tetapi perang bisa dibenarkan jika dinyatakan oleh penguasa yang sah seperti raja atau uskup, untuk mempertahankan diri atau merebut kembali wilayah, dan tidak melakukan kekerasan berkelebihan. Terpecahnya Kekaisaran Karoling di Eropa Barat menyebabkan munculnya golongan prajurit yang saling bertempur sesama mereka sendiri. Tindakan kekerasan umumnya digunakan untuk penyelesaian sengketa, dan kepausan berusaha mengentaskan hal tersebut.[6]
Paus Aleksander II mengembangkan sistem penerimaan prajurit melalui sumpah untuk membangun pasukan militer, yang kemudian diperluas oleh Gregorius VII ke seluruh Eropa. Hal tersebut dimanfaatkan oleh Gereja dalam menghadapi perseteruan antara Kristen dengan Muslim di Semenanjung Iberia dan melawan penaklukan Sisilia oleh Norman. Gregorius VII melangkah lebih jauh pada tahun 1074, yang merencanakan unjuk kekuatan militer untuk memperkuat prinsip kedaulatan kepausan dalam perang suci mendukung Bizantium melawan Seljuk, tetapi tidak mendapatkan banyak dukungan. Teolog Anselmus dari Lucca mengambil langkah tegas sehubungan dengan ideologi tentara salib. Ia menyatakan bahwa berperang demi tujuan yang benar dapat mengampuni dosa.[7]
Di Semenanjung Iberia, tidak ada pemerintahan Kristen yang berpengaruh. Kerajaan Kristen León, Navarra, dan Catalonia tidak memiliki kesamaan identitas dan keterikatan sejarah yang berlandaskan pada suku atau etnis, sehingga mereka berkali-kali bersatu dan berpisah di sepanjang abad ke-11 dan ke-12. Meskipun kecil, kerajaan-kerajaan tersebut mengembangkan teknik militer atas dasar kebangsawanan, dan pada tahun 1031, runtuhnya Kekhalifahan Córdoba di Spanyol selatan membuka peluang untuk menyatukan wilayah, yang kemudian dinamai Reconquista. Pada tahun 1063, William VIII dari Aquitaine memimpin pasukan yang terdiri dari gabungan kesatria Prancis, Aragon, dan Catalan dalam Pengepungan Barbastro untuk merebut kembali kota-kota yang telah dikuasai Muslim sejak tahun 711. Tindakan tersebut mendapat dukungan penuh dari Paus Aleksander II. Setelah gencatan senjata dinyatakan di Catalonia, para prajurit perang diberikan penghapusan dosa. Perang tersebut digolongkan sebagai perang suci, tetapi berbeda dengan Perang Salib Pertama karena tidak ada peziarahan, tidak ada sumpah, dan tidak ada pengesahan resmi oleh gereja.[8] Sesaat sebelum Perang Salib Pertama, Paus Urbanus II mengajak umat Kristiani Iberia untuk merebut Tarragona, memakai banyak simbolisme dan retorika yang kemudian juga digunakan untuk memaklumatkan perang salib kepada rakyat Eropa.[9]
Bangsa Italo-Norman berhasil merebut sebagian Italia Selatan dan Sisilia dari Bizantium dan Arab Afrika Utara beberapa dekade sebelum Perang Salib Pertama.[10] Hal tersebut menyebabkan munculnya perseteruan dengan kepausan. Paus Leo IX kemudian menyerukan perlawanan terhadap mereka melalui Pertempuran Civitate, yang berhasil dimenangkan oleh Norman. Meskipun demikian, ketika menyerbu Sisilia Muslim pada tahun 1059, Norman melancarkannya di bawah panji kepausan Invexillum sancti Petrior, atau panji Santo Petrus.[11] Robert Guiscard merebut kota Bizantium Bari pada tahun 1071 dan melancarkan perlawanan di sepanjang pesisir timur Adriatik di dekat Dyrrachium pada tahun 1081 dan 1085.[12]
Situasi di Timur
Sejak awal berdirinya, Kekaisaran Bizantium merupakan pusat sejarah perbendaharaan, budaya, dan kekuatan militer.[13] Di bawah pemerintahan Basilus II, perluasan wilayah kekaisaran mencapai puncaknya pada tahun 1025. Perbatasan Kekaisaran membentang ke arah timur hingga Iran, Bulgaria, dan sebagian besar Italia selatan berada di bawah kendali Bizantium. Perompakan yang marak terjadi di Laut Tengah juga berhasil ditumpas. Hubungan Bizantium dengan Kesultanan Islam yang bersebelahan sama bermasalahnya seperti hubungannya dengan bangsa Slavia atau Kristen Barat. Bangsa Norman di Italia; Pecheneg, Serbia dan Kuman di utara; serta Turki Seljuk di timur semuanya bertikai dengan Kekaisaran Bizantium, dan untuk menghadapi ancaman tersebut, para kaisar merekrut prajurit bayaran, bahkan terkadang direkrut dari para musuh mereka.[14]
Di sisi lain, dunia Islam mengalami kemajuan pesat sejak didirikan pada abad ke-7, dan diperkirakan akan segera menghadapi perubahan besar.[15] Gelombang pertama migrasi bangsa Turki ke Timur Tengah turut memengaruhi sejarah Arab dan Turki sejak abad ke-9. Status quo di Asia Barat terancam oleh gelombang migrasi bangsa Turki berikutnya, terutama kedatangan Turki Seljuk pada abad ke-10. Seljuk adalah klan penguasa kecil yang berasal dari Transoksiana di Asia Tengah. Mereka masuk Islam dan bermigrasi ke Iran untuk mencari peruntungan. Dua dekade kemudian, Seljuk berhasil menaklukkan Iran, Irak dan Timur Dekat. Seljuk dan para prajuritnya adalah Muslim Sunni, yang memicu terjadinya konflik di Palestina dan Suriah dengan Syiah Fatimiyah.[16]
Bangsa Seljuk adalah orang-orang nomaden, berbahasa Turki, dan terkadang shamanistik, berbeda dengan rakyat mereka yang menetap dan menuturkan bahasa Arab.[19] Perbedaan tersebut turut melemahkan struktur kekuasaan ketika digabungkan dengan kebiasaan memerintah Seljuk atas suatu wilayah yang berlandaskan pada preferensi politik, bukannya pada letak geografi. Kaisar Romanos IV Diogenes berupaya memadamkan serangan sporadis Seljuk, tetapi kalah dalam Pertempuran Manzikert pada tahun 1071 dan ditawan oleh pasukan Muslim. Kekalahan tersebut menjadi pukulan besar bagi Bizantium dan pertanda berkembangnya Seljuk, yang menyebabkan munculnya seruan untuk melancarkan Perang Salib Pertama. Kota-kota penting Bizantium seperti Nikea dan Antiokhia lepas pada tahun 1081 dan 1086. Kota-kota tersebut sangat tersohor di Barat karena signifikansi historisnya dan kelak juga menjadi sasaran penaklukan kembali oleh tentara salib.[20]
Sejak tahun 1092, status quo di Timur Tengah kacau balau setelah kematian penguasa sah Kesultanan Seljuk, Nizham al-Mulk. Hal tersebut diikuti oleh kematian sultan Seljuk Malik Syah dan khalifah Fatimiyah Al-Mustansir Billah. Lantaran dilanda kebingungan dan perpecahan, dunia Islam mengabaikan dunia luar, sehingga mereka terkejut ketika tentara salib menyerbu. Malik Syah digantikan sebagai penguasa Kesultanan Rûm di Anatolia oleh Kilij Arslan, dan di Suriah oleh saudaranya Tutush I, yang memulai perang saudara melawan Berkyaruq demi menjadi penguasa tunggal. Setelah Tutush terbunuh pada tahun 1095, putranya Ridwan dan Duqaq mewarisi Aleppo dan Damaskus, yang kemudian membagi Suriah kepada para emir yang saling bermusuhan, serta Kerbogha, yang menjadi penguasa Mosul. Mesir dan sebagian Palestina dikuasai oleh Fatimiyah. Fatimiyah, di bawah pemerintahan khalifah Al-Musta'li dan Al-Afdhal Syahansyah, menyerahkan Yerusalem kepada Seljuk pada tahun 1073, tetapi berhasil merebut kembali kota tersebut pada tahun 1098 dari Artuqid, suku Turki kecil yang berkerabat dengan Seljuk, tepat sebelum kedatangan tentara salib.[21]
Penindasan Kristiani
Menurut sejarawan Jonathan Riley-Smith dan Rodney Stark, penguasa Muslim di Tanah Suci kerap memberlakukan aturan keras "terhadap setiap orang yang mempertunjukkan iman Kristen secara terbuka":[22] [23][24][25]
Pada tahun 1026, Richard dari Saint-Vanne dirajam sampai mati karena ia terlihat mengadakan misa. Pejabat Muslim juga mengabaikan perampokan dan pembantaian yang sering dilakukan terhadap peziarah Kristen, seperti kejadian pada tahun 1064 ketika Muslim menyergap empat uskup dan ribuan peziarah Jerman saat mereka memasuki Tanah Suci, membantai dua pertiga di antaranya.
Penindasan terhadap umat Kristen semakin parah setelah Turki Seljuk menyerbu Yerusalem. Desa-desa yang diduduki oleh Turki di sepanjang jalan menuju Yerusalem mulai memungut biaya masuk pada peziarah Kristen. Pada prinsipnya, Seljuk mengizinkan para peziarah untuk memasuki Yerusalem, tetapi mereka kerap memberlakukan tarif yang tinggi dan membiarkan para peziarah diserang oleh penduduk setempat. Banyak peziarah yang diculik dan dijual sebagai budak, sedangkan selebihnya disiksa. Setelah itu, hanya rombongan besar dan bersenjata yang berani berziarah, meskipun tetap saja banyak yang tewas atau berbalik arah. Para peziarah yang berhasil selamat dari perjalanan berbahaya tersebut “kembali ke Barat dalam keadaan letih dan melarat, membawa pengalaman yang mengerikan untuk diceritakan.” Kabar mengenai serangan keji terhadap para peziarah serta penindasan terhadap umat Kristen Timur di Yerusalem menimbulkan kemarahan di Eropa.[26]
Kabar mengenai penindasan tersebut sampai ke telinga umat Kristen Eropa di Barat beberapa tahun setelah Pertempuran Manzikert. Seorang saksi mata dari Franka berkata: "Sejauh mata memandang, Turki Muslim menghancurkan kota-kota dan kastil-kastil beserta pemukiman mereka. Gereja-gereja diratakan dengan tanah. Para rohaniwan dan rahib yang mereka tangkap, sebagian dibantai sedangkan sebagian lagi dijadikan budak, termasuk para imam dan yang lainnya, dan para biarawati—oh, alangkah sedihnya!—dipaksa memuaskan nafsu mereka."[27] Hal demikianlah yang memicu kaisar Bizantium Aleksius I Komnenus untuk menulis surat kepada Robert II dari Flandria. Ia menulis:
Tempat-tempat suci dinodai dan dihancurkan dengan berbagai cara. Para bangsawan perempuan dan putri-putri mereka, yang ditelanjangi, diperkosa satu demi satu, seperti binatang. Beberapa [penyerang] tanpa rasa malu memamerkan para perawan di depan ibunya sendiri dan memaksanya menyanyikan lagu-lagu yang jahat dan cabul hingga keinginan mereka terpenuhi... laki-laki dari segala usia dan latar belakang, anak-anak, remaja, orang tua, bangsawan, petani, dan yang lebih buruk lagi, rohaniwan dan rahib, bahkan uskup, dinodai dengan dosa sodomi, dan kini dikabarkan bahwa seorang uskup telah terjerat dalam dosa yang sangat menjijikkan tersebut.[28]
Kaisar memperingatkan bahwa jika Konstantinopel jatuh ke tangan Turki, tidak hanya ribuan umat Kristen yang akan disiksa, diperkosa dan dibunuh, tetapi “relikui paling suci dari sang Juru Selamat,” yang dikumpulkan selama berabad-abad, akan lenyap. “Oleh karena itu, dalam nama Tuhan... kami memohon kepada Saudara untuk membawa semua prajurit Kristus yang setia ke kota ini... dengan kedatangan Saudara, Saudara akan menemukan ganjarannya di surga, dan jika Saudara tidak datang, Tuhan akan menghukum Saudara.”[29]
Konsili Clermont
Penggerak gerejawi utama yang melatarbelakangi Perang Salib Pertama adalah Konsili Piacenza dan Konsili Clermont yang diadakan pada tahun 1095 oleh Paus Urbanus II.[30] Konsili tersebut bertujuan untuk mengerahkan rakyat Eropa Barat menuju Tanah Suci.[31] Kaisar Bizantium Aleksius I Komnenus, yang khawatir atas makin merangseknya Seljuk ke wilayah Bizantium, mengirim utusan ke Konsili Piacenza pada bulan Maret 1095 untuk meminta bantuan dari Paus Urbanus dalam melawan serbuan Turki.[32]
Urbanus menanggapinya dengan bijak, berharap untuk memulihkan Skisma Timur-Barat yang sudah berlangsung selama empat puluh tahun dan bisa menyatukan Gereja di bawah payung kepausan dengan membantu Gereja Timur pada masa-masa sulitnya. Aleksius dan Urbanus telah menjalin hubungan erat sejak tahun 1089, serta secara terbuka mendiskusikan mengenai peluang penyatuan gereja-gereja Kristen. Tanda-tanda kerja sama yang mungkin terjalin antara Roma dengan Konstantinopel sudah muncul bertahun-tahun menjelang Perang Salib.[33]
Pada bulan Juli 1095, Urbanus bepergian ke tanah kelahirannya di Prancis untuk merekrut tentara salib. Perjalanannya di Prancis diakhiri dengan menggelar Konsili Clermont yang berlangsung selama sepuluh hari. Pada tanggal 27 November, ia menyampaikan khotbah berapi-api kepada himpunan jemaat yang terdiri dari para bangsawan dan klerus Prancis.[34] Ada lima versi khotbah yang dicatat oleh orang-orang yang diduga menghadiri konsili (Baldric dari Dol, Guibert dari Nogent, Robert sang Rahib, dan Fulcher dari Chartres) atau oleh orang-orang yang kelak ikut serta dalam Perang Salib (Fulcher dan penulis anonim Gesta Francorum), serta versi lainnya yang ditulis oleh sejarawan di kemudian hari (seperti William dari Malmesbury dan William dari Tirus).[35] Seluruh catatan tersebut ditulis setelah Yerusalem direbut, sehingga sulit untuk mengetahui apa yang sebenarnya dititahkan oleh Paus Urbanus, atau mana yang dikarang setelah keberhasilan Perang Salib. Catatan kontemporer hanyalah sejumlah surat yang ditulis oleh Urbanus pada tahun 1095.[36] Diperkirakan juga bahwa Urbanus mungkin menyampaikan khotbah tentang Perang Salib di Piacenza, tetapi satu-satunya catatan mengenai hal tersebut hanyalah tulisan Bernold dari St. Blasien dalam Chronicon.[37]
Kelima versi catatan khotbah tersebut memiliki sejumlah perbedaan, tetapi semua versi, kecuali yang ada di Gesta Francorum, sama-sama mencatat bahwa Urbanus membicarakan tentang kekerasan dalam masyarakat Eropa dan keharusan untuk menjaga Perdamaian Tuhan; tentang menolong orang Yunani yang meminta bantuan; tentang kejahatan yang dilakukan terhadap umat Kristen di timur; serta tentang jenis perang baru, yaitu ziarah bersenjata, dengan imbalan di surga, dan penghapusan dosa diberikan kepada siapa pun yang gugur dalam perang tersebut.[38] Tidak semua versi secara spesifik menyebutkan Yerusalem sebagai tujuan akhir. Namun, muncul perdebatan bahwa khotbah Urbanus selanjutnya menyebutkan bahwa ia berharap pengembaraan ke Yerusalem sudah dilakukan sejak dulu.[39] Menurut salah satu catatan khotbah, kerumunan hadirin yang menggebu-gebu meneriakkan Deus lo volt!—Tuhan menghendakinya.[40]
Petrus sang Petapa dan Perang Salib Rakyat
Para bangsawan besar Prancis dan pasukannya yang terlatih bukanlah rombongan pertama yang memulai perjalanan menuju Yerusalem.[41] Urbanus telah merencanakan keberangkatan tentara salib pertama pada tanggal 15 Agustus 1096, bertepatan dengan Hari Kenaikan Maria, tetapi beberapa bulan sebelumnya, serombongan pasukan tak terduga yang terdiri dari para petani dan bangsawan rendahan berangkat terlebih dahulu menuju Yerusalem, yang dipimpin oleh seorang imam karismatik bernama Peter sang Pertapa.[42] Peter adalah pengkhotbah yang paling berhasil menyampaikan pesan Urbanus dan menumbuhkan semangat yang bergelora di kalangan pengikutnya, meskipun ia bukanlah pengkhotbah "resmi" yang disetujui oleh Urbanus di Clermont.[43] Pada awalnya, diyakini bahwa pengikut Peter terdiri dari sekelompok besar petani tidak terlatih dan tidak berpendidikan yang bahkan tidak tahu di mana letak Yerusalem, tetapi ada juga sejumlah kesatria di antara para petani, termasuk Walter Sans Avoir, yang merupakan wakil Peter dan memimpin serombongan pasukan terpisah.[44]
Kurangnya keterampilan militer membuat pasukan Peter mudah mengalami kesulitan, meskipun mereka masih berada di wilayah Kristen.[45] Pasukan yang dipimpin oleh Walter menjarah kawasan Beograd dan Zemun, dan berhasil tiba di Konstantinopel tanpa kendala berarti. Sementara itu, pasukan yang dipimpin oleh Peter, yang berarak terpisah dari pasukan Walter, bertempur dengan bangsa Hungaria dan kemungkinan berhasil merebut Beograd. Di Niš, gubernur Bizantium memberi mereka makanan, tetapi Peter tidak bisa mengendalikan pasukannya dan bentrokan pecah dengan warga setempat, yang berhasil diredakan oleh tentara Bizantium. Peter tiba di Konstantinopel pada bulan Agustus. Pasukannya kemudian bergabung dengan pasukan Walter yang telah tiba lebih dulu, serta dengan rombongan tentara salib dari Prancis, Jerman, dan Italia. Pasukan lainnya dari Bohemia dan Sachsen tercerai-berai dan tidak berhasil melewati Hungaria.[46]
Rombongan Peter dan Walter yang tak terkendali mulai merampok di pinggiran kota untuk mencari perbekalan dan makanan. Hal tersebut mendorong Aleksius untuk memberangkatkan mereka menyeberangi Selat Bosporus satu minggu lebih cepat. Setelah tiba di Asia Kecil, rombongan tentara salib tercerai-berai dan mulai merampok pedesaan, menyelinap memasuki wilayah Seljuk di dekat Nikea. Bangsa Turki yang jauh lebih berpengalaman membantai sebagian besar rombongan tersebut.[41] Serombongan pasukan Italia dan Jerman dikalahkan dalam Pengepungan Xerigordon pada akhir September. Sementara itu, pasukan Walter dan Peter, meskipun kebanyakannya tidak terlatih dalam pertempuran, dipimpin oleh kurang lebih 50 kesatria, yang bertempur melawan orang Turki dalam Pertempuran Civetot pada bulan Oktober 1096. Para pemanah Turki melumpuhkan bala tentara salib dan Walter adalah salah seorang yang tewas. Peter, yang tidak berada di Konstantinopel pada saat itu, kemudian bergabung dengan tentara salib gelombang kedua, bersama dengan segelintir penyintas dari Civetot.[47]
Di Eropa, imbauan Perang Salib Pertama memicu terjadinya pembantaian Rhineland yang menyasar orang-orang Yahudi. Pada akhir 1095 dan awal 1096, beberapa bulan sebelum keberangkatan tentara salib resmi pada bulan Agustus, terjadi sejumlah penyerangan terhadap masyarakat Yahudi di Prancis dan Jerman. Pada bulan Mei 1096, Emicho dari Flonheim memerangi orang Yahudi di Speyer dan Worms. Tentara salib tidak resmi lainnya dari Swabia, yang dipimpin oleh Hartmann dari Dillingen, bersama dengan para sukarelawan dari Prancis, Inggris, Lotharingia, dan Flemish yang dipimpin oleh Drogo dari Nesle dan William si Tukang Kayu beserta penduduk setempat, bergabung dengan Emicho dalam menggempur masyarakat Yahudi di Mainz pada akhir Mei.[48] Di Mainz, seorang perempuan Yahudi memilih membunuh anak-anaknya ketimbang membiarkannya dibunuh oleh para tentara salib. Kepala rabi Kalonymus ben Meshullam bunuh diri sebelum tentara salib menghabisinya. Pasukan Emicho kemudian terus ke Cologne, sedangkan pasukan lainnya bergerak menuju Trier, Metz, dan kota-kota lain. Peter sang Pertapa diduga juga turut serta menganiaya orang Yahudi, dan serombongan pasukan yang dipimpin oleh seorang imam bernama Folkmar memerangi orang Yahudi di Bohemia.[49]
Kálmán dari Hungaria harus menyelesaikan masalah yang ditimbulkan oleh tentara salib di sepanjang perjalanannya melintasi Hungaria menuju Tanah Suci pada tahun 1096. Ia membinasakan dua rombongan tentara salib yang menjarah kerajaannya. Pasukan Emicho akhirnya melanjutkan perjalanan ke Hungaria, tetapi juga dilumpuhkan oleh Kálmán, dan pengikut Emicho tercerai-berai. Sejumlah pasukan berhasil bergabung dengan pasukan utama, sedangkan Emicho sendiri harus pulang ke kampung halamannya. Kebanyakan penyerang hendak memaksa umat Yahudi untuk memeluk agama Kristen, meskipun sebagian juga mengincar harta mereka. Kekerasan fisik terhadap orang Yahudi bukanlah kebijakan resmi gereja dalam perang salib, dan para uskup Kristen, terutama Uskup Agung Cologne, melakukan upaya terbaik untuk melindungi orang Yahudi. Satu dekade sebelumnya, Uskup Speyer memindahkan Yahudi di kota tersebut ke sebuah ghetto berpagar untuk melindungi mereka dari kezaliman Kristen dan menyerahkan kendali atas masalah peradilan kepada kepala rabi Yahudi. Namun, sejumlah uskup juga menerima uang sebagai imbalan karena melindungi Yahudi. Serangan-serangan tersebut diduga berasal dari anggapan bahwa orang Yahudi dan Muslim adalah musuh Kristus, dan oleh sebab itu harus diperangi atau dikristenkan.[50]
Catatan
Referensi
- ^ Asbridge 2012, hlm. 42, The Call of the Cross.
- ^ Riley-Smith 1998, hlm. 37–38, Holy Sepulcre, Holy War.
- ^ Riley-Smith 2005, hlm. 10–12, The Birth of the Crusading Movement.
- ^ Painter, Sidney (1969). "Western Europe on the Eve of the Crusades Diarsipkan 4 January 2023 di Wayback Machine.". In Setton, K., A History of the Crusades: Volume I. hlm. 3–30.
- ^ Adrian Fortescue (1912). "The Eastern Schism". In Catholic Encyclopedia. 13. New York: Robert Appleton Company.
- ^ Asbridge 2012, hlm. 14–15, Warfare and Violence in Latin Europe.
- ^ Runciman 1951, hlm. 83–92, Holy Peace and Holy War.
- ^ Lock 2006, hlm. 205–213, Crusades in the Iberian Peninsula.
- ^ Riley-Smith 2005, hlm. 4–7, A war of liberation.
- ^ Asbridge 2012, hlm. 5–8, Western Europe in the Eleventh Century.
- ^ Lock 2006, hlm. 306–308, The Proto-Crusades, or the Prehistory of Crusading.
- ^ Tyerman 2019, hlm. 46, The Mediterranean Crisis and the Background to the First Crusade.
- ^ Papayianni, Aphrodite (2006)."Byzantine Empire". In The Crusades – An Encyclopedia. pp. 188–196.
- ^ Kaldellis 2017, hlm. 120–141, Basil II (976–1025).
- ^ Gibb, Hamilton A. R. (1969). "The Caliphate and the Arab States Diarsipkan 1 June 2023 di Wayback Machine.". In Setton, K., A History of the Crusades: Volume I. pp. 81–98.
- ^ Peacock 2015, hlm. 20–71, The Rise of the Seljuks, c. 965 –1092.
- ^ These knights were equipped with long swords and bows, and for protection used large shields ("kite-shields"), lamellar armour and hauberk mail Gorelik, Michael (1979). Oriental Armour of the Near and Middle East from the Eighth to the Fifteenth Centuries as Shown in Works of Art (in Islamic Arms and Armour). London: Robert Elgood. hlm. Fig.38. ISBN 978-0859674706.
- ^ Sabuhi, Ahmadov Ahmad oglu (July–August 2015). "The miniatures of the manuscript "Varka and Gulshah" as a source for the study of weapons of XII–XIII centuries in Azerbaijan". Austrian Journal of Humanities and Social Sciences (7–8): 14–16.
- ^ Cahen 1968, hlm. 66–72, The First Incursions before 1071.
- ^ Cahen (1969). "The Turkish Invasion: The Selchükids Diarsipkan 25 October 2022 di Wayback Machine.." In Setton, K., A History of the Crusades: Volume I. pp. 99–132.
- ^ Peacock 2015, hlm. 72–123, The Great Seljuk Empire and the Sultanate of Iraq, 1092–1194.
- ^ Riley-Smith, Jonathan (1997). The First Crusaders, 1095-1131. Cambridge University Press. hlm. 37-38. ISBN 978-0-521-64603-1.
- ^ A history of the crusades, volume 1: the first hundred years. University of Wisconsin Press. 1969. hlm. 78. ISBN 978-0-299-06670-3.
- ^ "D. The Pilgrimages to Palestine before 1095". the pilgrimages to palestine before 1095. University of Pennsylvania Press. 11 November 2016. hlm. 68–80. doi:10.9783/9781512818642-012. ISBN 978-1-5128-1864-2.
- ^ How the West Won: The Neglected Story of the Triumph of Modernity. Simon and Schuster. 11 July 2023. hlm. 102. ISBN 978-1-68451-622-3.
- ^ A History of the Crusades. Cambridge University Press. 3 December 1987. hlm. 1:79. ISBN 978-0-521-34770-9.
- ^ Frankopan, Peter (2013). The First Crusade: The Call from the East. Vintage. hlm. 59–60. ISBN 9780099555032.
- ^ Frankopan, Peter (2013). The First Crusade: The Call from the East. Vintage. hlm. 61. ISBN 9780099555032.
- ^ The Dream and the Tomb: A History of the Crusades. Rowman & Littlefield. 1984. hlm. 28-29. ISBN 978-0-8128-2945-7.
- ^ Duncalf, Frederic (1969). "The Councils of Piacenza and Clermont Diarsipkan 26 March 2023 di Wayback Machine.". In Setton, K., A History of the Crusades: Volume I. pp. 220–252.
- ^ Richard Urban Butler (1912). "Pope Bl. Urban II". In Catholic Encyclopedia. 15. New York: Robert Appleton Company.
- ^ Blumenthal, Uta-Renate (2006). "Piacenza, Council of (1095)". In The Crusades – An Encyclopedia. pp. 956–957.
- ^ Blumenthal, Uta-Renate (2006). "Urban II (d. 1099)". In The Crusades – An Encyclopedia. pp. 1214–1217.
- ^ Blumenthal, Uta-Renate (2006). "Clermont, Council of (1095)". In The Crusades – An Encyclopedia. pp. 263–265.
- ^ "Urban II (1088–1099): Speech at Council of Clermont, 1095. Five versions of the Speech". Internet Medieval Sourcebook. Fordham University.
- ^ Maier, Christoph T. "Papal letters". The Crusades – An Encyclopedia. hlm. 931–932.
- ^ Munro, Dana C. (1922). Did the Emperor Aleksius I ask for aid at the Council of Piacenza, 1095? In, American Historical Review, XXVII (1922). pp. 731–733.
- ^ Munro, Dana Carleton. (1906). The speech of Pope Urban II. at Clermont, 1095. Reprinted from the American Historical Review. New York.
- ^ Urban and the Crusaders. In Translations and reprints from the original sources of European history. Dept. of History, University of Pennsylvania. Volume 1, No. 2. pp. 2–12.
- ^ Tyerman 2006, hlm. 65, Summons to Jerusalem.
- ^ a b Murray, Alan V. (2006)."People's Crusades (1096)". In The Crusades – An Encyclopedia. pp. 939–941.
- ^ Louis René Bréhier (1911). "Peter the Hermit". In Catholic Encyclopedia. 11. New York: Robert Appleton Company.
- ^ Asbridge 2004, hlm. 78–82, Peter the Hermit and the "People's Crusade".
- ^ Riley-Smith 2005, hlm. 27, The First Wave.
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaRunciman-1949
- ^ Asbridge 2004, hlm. 82, Afire with Crusading Fever.
- ^ Asbridge 2004, hlm. 101–103, The Battle of Civetot.
- ^ Asbridge 2004, hlm. 84–85, The Journey to Byzantium.
- ^ Riley-Smith 2005, hlm. 24, The "first Holocaust".
- ^ Asbridge 2004, hlm. 84–88, The Journey to Byzantium.
Sumber
Sumber utama
- Albert of Aix, Historia Hierosolymitana
- Anna Comnena, Alexiad
- Guibert of Nogent, Dei gesta per Francos
- Fulcher of Chartres, Historia Hierosolymitana
- Gesta Francorum et aliorum Hierosolimitanorum, (anonymous)
- Ibn al-Qalanisi, The Damascus Chronicle of the Crusades
- Michael the Syrian, Chronicle
- Peter Tudebode, Historia de Hierosolymitano itinere
- Raymond of Aguilers, Historia Francorum qui ceperunt Iherusalem
- William of Tyre, A History of Deeds Done Beyond the Sea
Sumber utama daring
- Selected letters by Crusaders:
- Anselme of Ribemont, Anselme of Ribemont, Letter to Manasses II, Archbishop of Reims (1098)
- Stephen, Count of Blois and Chartres, Letter to his wife, Adele (1098)
- Daimbert, Godfrey and Raymond, Letter to the Pope, (1099)
- Online primary sources from the Internet Medieval Sourcebook:
- Peter the Hermit and the Popular Crusade: Collected Accounts.
- The Crusaders Journey to Constantinople: Collected Accounts.
- The Crusaders at Constantinople: Collected Accounts.
- The Siege and Capture of Nicea: Collected Accounts.
- The Siege and Capture of Antioch: Collected Accounts.
- The Siege and Capture of Jerusalem: Collected Accounts.
- Fulcher of Chartres: The Capture of Jerusalem, 1099.
- Ekkehard of Aura: On the Opening of the First Crusade.
- Albert of Aix and Ekkehard of Aura: Emico and the Slaughter of the Rhineland Jews.
- Soloman bar Samson: The Crusaders in Mainz, attacks on Rhineland Jewry.
- Ali ibn Tahir al-Sulami (d. 1106): Kitab al-Jihad (extracts). First known Islamic discussion of the concept of jihad written in the aftermath of the First Crusade.
Sumber tambahan
- Asbridge, Thomas (2004). The First Crusade: A New History. Oxford. ISBN 0-19-517823-8.
- Baldwin, Marshall W. (1969). A History of the Crusades: The First Hundred Years. Madison, Wisconsin: University of Wisconsin Press. ISBN 978-0-299-04834-1.
- Bartlett, Robert (1994). The Making of Europe: Conquest, Colonization and Cultural Change 950–1350. Princeton. ISBN 0-691-03780-9.
- Chazan, Robert (1997). In the Year 1096: The First Crusade and the Jews. Jewish Publication Society. ISBN 0-8276-0575-7.
- Frankopan, Peter (2012). The First Crusade: The Call from the East. Harvard University Press. ISBN 978-0-674-05994-8.
- Gil, Moshe (1997). A History of Palestine, 634–1099. Cambridge University Press. ISBN 0-521-59984-9.
- Hamilton, Bernard; France, John; Zajac, William G. (1998). The Crusades and their Sources: Essays Presented to Bernard Hamilton. Ashgate. ISBN 0-86078-624-2.
- Harris, Jonathan (2014), Byzantium and the Crusades, Bloomsbury, 2nd ed. ISBN 978-1-78093-767-0
- Hillenbrand, Carole (2000). The Crusades: Islamic Perspectives. Routledge. ISBN 0-415-92914-8.
- Hindley, Geoffrey (2004). A Brief History of the Crusades: Islam and Christianity in the Struggle for World Supremacy. London: Constable & Robinson. hlm. 300. ISBN 978-1-84119-766-1.
- Holt, Peter M. (1989). The Age of the Crusades: The Near East from the Eleventh Century to 1517. Longman. ISBN 0-582-49302-1.
- Hotaling, Edward (2003). Islam Without Illusions: Its Past, Its Present, and Its Challenge for the Future. Syracuse University Press. ISBN 978-0-8156-0766-3.
- Housley, Norman (2006). Contesting the Crusades. Malden, MA: Blackwell Publishing. ISBN 1-4051-1189-5.
- Konstam, Angus (2004). Historical Atlas of the Crusades. Mercury Books. ISBN 1-904668-00-3.
- Lock, Peter (2006). Routledge Companion to the Crusades. New York: Routledge. ISBN 0-415-39312-4.
- Madden, Thomas (2005). New Concise History of the Crusades. Rowman & Littlefield. ISBN 0-7425-3822-2.
- Magdalino, Paul (1996). The Byzantine Background to the First Crusade. Canadian Institute of Balkan Studies. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-08-13. Diakses tanggal 2016-01-19.
- Mayer, Hans Eberhard (1988). The Crusades. John Gillingham. Oxford. ISBN 0-19-873097-7.
- Neveux, Francois (2008). The Normans. Howard Curtis. Robinson. ISBN 978-1-84529-523-3.
- Nicolle, David (2003). The First Crusade, 1096–99: Conquest of the Holy Land. Osprey Publishing. ISBN 1-84176-515-5.
- Riley-Smith, Jonathan (1991). The First Crusade and the Idea of Crusading. University of Pennsylvania. ISBN 0-8122-1363-7.
- Riley-Smith, Jonathan, ed. (2002). The Oxford History of the Crusades. Oxford University Press. ISBN 0-19-280312-3.
- Riley-Smith, Jonathan (2005). The Crusades: A History (edisi ke-2nd). Yale University Press. ISBN 0-8264-7270-2.
- Riley-Smith, Jonathan (1998). The First Crusaders, 1095–1131. Cambridge. ISBN 0-521-64603-0.
- Runciman, Steven (1987). A History of the Crusades: Volume 1, The First Crusade and the Foundation of the Kingdom of Jerusalem. Cambridge. ISBN 978-0-521-34770-9.
- Runciman, Steven (1980). The First Crusade. Cambridge. ISBN 0-521-23255-4.
- Setton, Kenneth (1969–1989). A History of the Crusades. Madison. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2003-04-01. Diakses tanggal 2005-08-12.
- Treadgold, Warren (1997). A History of the Byzantine State and Society. Stanford University Press. ISBN 0-8047-2630-2.
- Tyerman, Christopher (2006). God's War: A New History of the Crusades. Cambridge: Belknap Press of Harvard University Press. ISBN 0-674-02387-0.
- Vryonis, Speros (1971). Decline of Medieval Hellenism in Asia Minor and the Process of Islamization in the Eleventh through Fifteenth Centuries. University of California Press. ISBN 0-520-01597-5.
Bibliografi
- Bibliography of the First Crusade (1095–1099) Diarsipkan 2005-02-08 di Wayback Machine., compiled by Alan V. Murray, Institute for Medieval Studies, University of Leeds. Extensive and up to date as of 2004.
Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref>
untuk kelompok bernama "upper-alpha", tapi tidak ditemukan tag <references group="upper-alpha"/>
yang berkaitan