Gerakan 30 September

kudeta tahun 1965 di Indonesia
Revisi sejak 30 September 2024 06.13 oleh Pierrewee (bicara | kontrib) (revisi)

Gerakan 30 September (G30S) adalah sebuah peristiwa berlatar belakang kudeta yang terjadi selama satu malam pada tanggal 30 September hingga 1 Oktober 1965 yang mengakibatkan gugurnya enam jenderal serta satu orang perwira pertama militer Indonesia dan jenazahnya dimasukkan ke dalam suatu lubang sumur lama di area Lubang Buaya, Jakarta Timur.[1] Penyebutan peristiwa ini memiliki ragam jenis, Presiden Soekarno menyebut peristiwa ini dengan istilah GESTOK (Gerakan Satu Oktober), sementara Presiden Soeharto menyebutnya dengan istilah GESTAPU (Gerakan September Tiga Puluh), dan pada Orde Baru, Presiden Soeharto mengubah sebutannya menjadi G30S/PKI (Gerakan 30 September PKI) oleh karena tudingan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) bertanggung jawab atas peristiwa ini. Korban kekejaman tragedi ini berada di Yogyakarta dan Jakarta. Salah satu korban kekejaman tragedi ini di Yogyakarta adalah Katamso Darmokusumo dan Sugiyono Mangunwiyoto.

Gerakan 30 September
Tanggal1 Oktober 1965; 59 tahun lalu (1965-10-01)
LokasiLubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur
Hasil

Upaya kudeta gagal

Pihak terlibat
Gerakan 30 September (faksi yang memproklamirkan diri sebagai Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat)
Unit-unit dari Tjakrabirawa Pasukan Pengawal Presiden
"Berbagai Milisi Kiri" di Lubang Buaya
Tokoh dan pemimpin
Letnan Kolonel Untung Syamsuri
Brigadir Jenderal Soepardjo
Soekarno
Soeharto
A.H. Nasution (WIA)
Sarwo Edhie Wibowo
Korban
1. Letnan Jenderal TNI Ahmad Yani (43 tahun)
2. Mayor Jenderal TNI Raden Soeprapto (45 tahun)
3. Mayor Jenderal TNI Mas Tirtodarmo Haryono (41 tahun)
4. Mayor Jenderal TNI Siswondo Parman (47 tahun)
5. Brigadir Jenderal TNI Donald Isaac Panjaitan (40 tahun)
6. Brigadir Jenderal TNI Sutoyo Siswomiharjo (43 tahun)
7. Letnan Satu Pierre Andreas Tendean (26 tahun)
dan korban-korban lainnya.

Latar belakang

 
Perayaan Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal tahun 1965

Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis[2] terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965, anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan para petani anggota Barisan Tani Indonesia yang berjumlah 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis serta pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.

Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan. Kemudian, Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekret presiden – sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jenderal militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.

Angkatan kelima

Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan 100.000 buah senapan serbu Tipe 56 (dikenal di Indonesia sebagai tipe "Chung"), penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S.

Pada awal tahun 1965, Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana menteri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Akan tetapi, petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI.

Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dengan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara dengan slogan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subjek karya-karya mereka.

Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) bergerak merampas tanah dengan dasar Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dengan polisi dan para pemilik tanah.

Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapapun (milik negara = milik bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.

Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet. Jenderal-jenderal tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh Sukarno disamakan dengan setingkat menteri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).

Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".[3]

Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".

Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.

Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jenderal-jenderal militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerja sama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.

Isu sakitnya Bung Karno

Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut.

Isu masalah tanah dan bagi hasil

Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh militer untuk membersihkannya. Keributan antara PKI dan Islam (tidak hanya NU, tetapi juga dengan Persis dan Muhammadiyah) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di provinsi-provinsi lain juga terjadi hal demikian.

Faktor Malaysia

Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963 adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini.[4] Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.

Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul RahmanPerdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.

Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia[5] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.

Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari belakang.[6] Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.

Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno, seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang memiliki harga diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah keinginannya meng"ganyang Malaysia".

Soekarno adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-batin yang menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja sendiri tidak mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain. Soekarno tidak mungkin menghambakan diri pada dominasi kekuasaan manapun djuga. Dia tidak mungkin menjadi boneka.

Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.

Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (7 Januari 1965).

Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. … Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."[5]

Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.

Faktor Amerika Serikat

Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan intelejen Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-bulan yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.

Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak besar, hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal 8 Agustus 1965 yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika di Indonesia tidak memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada Presiden Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan PKI yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, dan hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali dilakukan oleh PKI atau NU/PNI.

Faktor ekonomi

Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia.

Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antre beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka.

Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI dan pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.

Peristiwa

 
Sumur Lubang Buaya

Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.

Isu Dewan Jenderal

Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.

Isu Dokumen Gilchrist

Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya "Our local army friends" (Teman tentara lokal kita) yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat.[7] Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval", yang dijadikan basis skenario film The Year of Living Dangerously, ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.

Penculikan dan pembunuhan jenderal

Sekitar pukul 03.15 tanggal 1 Oktober, tujuh detasemen pasukan dalam truk dan bus diberangkatkan oleh Letkol Untung Syamsuri (Panglima Tjakrabirawa, pengawal presiden), yang terdiri dari pasukan Resimen Tjakrabirawa (Pengawal Presiden), Diponegoro (Jawa Tengah). ), dan Divisi Brawijaya (Jawa Timur), meninggalkan markas G-30-S di Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusumah, selatan Jakarta untuk menculik tujuh jenderal, semuanya anggota Staf Umum Angkatan Darat. Tiga orang yang dituju sebagai korban, (Menteri/Panglima TNI Letjen Ahmad Yani, Mayjen M. T. Haryono, dan Brigjen D. I. Pandjaitan) tewas di rumahnya masing-masing, sedangkan tiga orang lainnya (Mayjen Soeprapto, Mayjen S. Parman, dan Brigjen Sutoyo) ditangkap hidup-hidup. Sementara sasaran utama mereka, Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan serta Kepala Staf TNI Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil lolos dari upaya penculikan tersebut dengan melompati tembok menuju taman kedutaan Irak. Namun ajudan pribadinya, Letnan Satu Pierre Tendean, ditangkap setelah disangka Nasution dalam kegelapan. Putri Nasution yang berusia lima tahun, Ade Irma Suryani Nasution, ditembak oleh kelompok penyerang dan meninggal pada 6 Oktober. Selain itu seorang polisi yang menjaga tetangga Nasution, Kapolri Brigadir Karel Sadsuitubun, ditembak mati oleh kelompok penculik. Korban terakhir adalah Albert Naiborhu, keponakan Jenderal Pandjaitan, yang tewas dalam penggerebekan di rumah Jenderal. Para jenderal dan jenazah rekan-rekan mereka yang tewas dibawa ke suatu tempat yang dikenal sebagai Lubang Buaya dekat Halim di mana mereka yang masih hidup disiksa sebelum ditembak mati. Jenazah semua korban kemudian dibuang ke sumur bekas di dekat pangkalan.

Peristiwa di Jawa Tengah

Menyusul siaran radio pukul 7 pagi di RRI, pasukan Divisi Diponegoro di Jawa Tengah menguasai lima dari tujuh batalyon dan satuan lainnya atas nama Gerakan 30 September. Walikota PKI Solo, Utomo Ramelan, mengeluarkan pernyataan mendukung gerakan tersebut. Pasukan pemberontak di Yogyakarta, dipimpin oleh Mayor Muljono, menculik dan kemudian membunuh Kolonel Katamso dan kepala stafnya Letkol Sugiyono. Namun, begitu berita kegagalan G-30-S di Jakarta diketahui, sebagian besar pengikutnya di Jawa Tengah menyerah. Pada tanggal 5 Oktober, Katamso dan Sugiyono, komandan dan pejabat eksekutif Daerah Militer ke-72 pada saat pembunuhan mereka, juga secara anumerta dinobatkan sebagai Pahlawan Revolusi.

Korban

Tujuh korban peristiwa Gerakan 30 September tersebut adalah:

Para korban tersebut kemudian dibuang dan dikubur ke suatu sumur lama di area Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya dan jenazah mereka ditemukan pada 3 Oktober 1965. Setelah itu, semuanya ditetapkan oleh Presiden Soekarno (dalam kapasitasnya sebagai Panglima Komando Operasi Tertinggi/KOTI) sebagai Pahlawan Revolusi (secara resmi pembedaan ini sudah dihapuskan sejak 2009).

Sedangkan korban dari massa rakyat yang dituduh sebagai simpatisan PKI terus bertambah sejak 1 Oktober hingga tahun 1966. Beberapa sumber menyebutkan bahwa korban dari rakyat yang dituduh simpatisan PKI dan PNI mencapai 3 juta penduduk.

Pasca Tragedi

 
Pemakaman para pahlawan revolusi. Tampak Mayjen Soeharto di sebelah kanan
 
Literatur propaganda anti-PKI yang pasca kejadian G30S banyak beredar di masyarakat dan menuding PKI sebagai dalang peristiwa percobaan "kudeta" tersebut.

Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan.[8] Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.

Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jenderal PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.

Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".

Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Soviet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."

Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah:[9]

Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan daripada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri di atas Trisakti, yang sama sekali berdiri di atas Nasakom, yang sama sekali berdiri di atas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.

Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.

Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!

Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana pada bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha untuk menghindari pengutukan atas pembantaian orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rezim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Soviet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."

Penangkapan dan pembantaian

Beberapa bulan setelah peristiwa ini, seluruh anggota dan pendukung PKI, orang orang yang diduga anggota dan simpatisan PKI, seluruh partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja serta petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Jumlah orang yang dibantai belum diketahui secara pasti – perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.

Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".

Pada akhir 1965, antara lima ratus ribu sampai dengan satu juta anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA[1] menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:

"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatera Utara, di mana udara yang lembap membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."

Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.

Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.

Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.

Supersemar

Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.

Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.

"Konferensi Investasi Indonesia"

Menyusul peralihan tampuk kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakan sebuah "Konferensi Investasi Indonesia" (bahasa Inggris: Indonesian Investment Conference) yang disponsori oleh Time Inc., antara Menteri Luar Negeri Adam Malik dan Menteri Keuangan Sri Sultan Hamengkubuwono IX serta sejumlah ekonom Orde Baru[butuh klarifikasi], dengan para CEO sejumlah korporasi multinasional Eropa, Jepang, Australia, Kanada dan Amerika, di Jenewa, Swiss, pada bulan November 1967.[10][11] Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.[butuh klarifikasi]

Hal ini didokumentasikan oleh John Pilger [en] dalam film dokumenter The New Rulers of the World yang menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia dibagi-bagi bagaikan rampasan perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya Soekarno. Freeport mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat hutan tropis. Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.

Peringatan

 
Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya

Sejak 1967, setelah Soeharto diangkat menjadi Pejabat Presiden menggantikan Soekarno, tanggal 1 Oktober ditetapkan oleh Soeharto (dengan Keputusan Presiden Nomor 153 Tahun 1967) sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi upacara dan tabur bunga yang dilanjutkan.

Pada 29 September – 4 Oktober 2006, para eks pendukung PKI mengadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, dan Putmainah.

Teori tentang Gerakan 30 September

Isu Keterlibatan Soeharto

Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.

Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini. Banyak penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah, Cornell Paper, karya Benedict R.O'G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA), Government Printing Office of the US (Department of State, INR/IL Historical Files, Indonesia, 1963–1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Thn 1965 yang Terlupakan).

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Crouch 1978, hlm. 101
  2. ^ Harper, Douglas (November 2001). "Online Etymology Dictionary:Communism" (HTML). Online Etymology Dictionary (dalam bahasa English). Douglas Harper. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-10-09. Diakses tanggal 2008-08-27. Originally a theory of society; as name of a political system, 1850, a translation of Ger. Kommunismus, in Marx and Engels' "Manifesto of the German Communist Party." 
  3. ^ Salim, Hanz Jimenez; Flora, Maria; Qodar, Nafiysul; Yulika, Nila Chrisna (02 Oktober 2019). "Top 3 News: Cerita Sukitman, Saksi Hidup yang Selamat dari Lubang Buaya G30S PKI". liputan6.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-14. Diakses tanggal 25 Februari 2022. 
  4. ^ "Artikel Kompas bertajuk "Sukarno, Malaysia, dan PKI" tanggal Sabtu, 29 September 2007". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-01-11. Diakses tanggal 2009-05-20. 
  5. ^ a b "Soekarno, PKI & Malaysia di DetikForum". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-04-04. Diakses tanggal 2007-10-23. 
  6. ^ (JAC Mackie, 1971, hal 214)
  7. ^ Alex Dinuth "Dokumen Terpilih Sekitar G30S/PKI" Intermasa, Jakarta 1997 ISBN 979-8960-34-3
  8. ^ Max, Boli Sabon (2019). Manalu, Sonta Frisca, ed. Mengenal Indonesia: Aku Cinta Indonesia, Tak Kenal Maka Tak Sayang. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. hlm. 291. ISBN 978-623-7247-20-3. 
  9. ^ Setiyono, Budi; "REVOLUSI BELUM SELESAI: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965"; Nawaksara, Jakarta; 2003
  10. ^ content.time.com/time/subscriber/article/0,33009,837556,00.html
  11. ^ etan.org/news/2014/2timelife.htm

Bacaan lebih lanjut

Pranala luar