Pengepungan Bagdad
Pengepungan Bagdad terjadi pada awal tahun 1258 di Bagdad, bekas ibu kota dari Kekhalifahan Abbasiyah. Pasca serangkaian provokasi dari penguasa Bagdad, Khalifah al-Musta'sim, satu pasukan besar di bawah Hulegu, seorang pangeran dari Kekaisaran Mongol, akhirnya menyerang Bagdad. Dalam beberapa pekan, Bagdad pun jatuh dan dijarah oleh pasukan Mongol, dengan al-Musta'sim tewas bersama ratusan ribu warganya. Jatuhnya Bagdad secara tradisional dipandang sebagai tanda berakhirnya Zaman Keemasan Islam, walaupun pada kenyataannya, dampak dari jatuhnya Bagdad belum dapat dipastikan.
Pengepungan Bagdad (1258) | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Bagian dari Invasi dan penaklukan Mongol | |||||||||
Penggambaran pasukan Hulegu yang mengepung kota, ca 1430 | |||||||||
| |||||||||
Pihak terlibat | |||||||||
Ilkhanat (Kekaisaran Mongol) | Kekhalifahan Abbasiyah | ||||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||||
Kekuatan | |||||||||
138.000–300.000[a] | 50.000 | ||||||||
Korban | |||||||||
200.000 tewas (menurut Hulegu) 800.000–2.000.000 tewas (sumber-sumber Muslim) |
Setelah saudaranya, Möngke Khan, naik tahta di Mongol pada tahun 1251, Hulegu, seorang cucu dari Jenghis Khan, diutus ke arah barat menuju Persia untuk mengamankan wilayah tersebut. Pasukan Hulegu yang terdiri dari 138.000 orang pun membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mencapai wilayah tersebut, tetapi kemudian dengan cepat menyerang dan mengalahkan Hassasin Nizari Ismaili pada tahun 1256. Mongol berharap al-Musta'sim dapat memperkuat pasukan mereka, tetapi al-Musta'sim gagal melakukan hal tersebut. Dikombinasikan dengan arogansi al-Musta'sim dalam bernegosiasi, akhirnya Hulegu yakin untuk menggulingkan al-Musta'sim pada akhir tahun 1257. Menginvasi Mesopotamia dari semua sisi, pasukan Mongol lalu menyerbu Bagdad, mengadakan sebuah sortie pada tanggal 17 Januari 1258 dengan membanjiri kamp mereka. Pasukan Mongol kemudian mengepung Bagdad, yang pasukannya tinggal 30.000 orang.
Serangan pun dimulai pada akhir bulan Januari. Mesin-mesin kepung Mongol lalu berhasil menembus pertahanan Bagdad hanya dalam waktu beberapa hari, dan pasukan Hulegu yang sangat terlatih pun berhasil menguasai tembok timur pada tanggal 4 Februari. Al-Musta'sim yang makin putus asa kemudian berupaya untuk bernegosiasi, tetapi Hulegu tetap bertekad untuk meraih kemenangan penuh, dan bahkan membunuh pasukan al-Musta'sim yang berniat untuk menyerahkan diri. Al-Musta'sim akhirnya menyerahkan kota tersebut pada tanggal 10 Februari, dan Mongol mulai menjarah kota tersebut tiga hari kemudian. Jumlah orang yang tewas tidak diketahui, karena jumlahnya kemungkinan bertambah akibat epidemi yang kemudian melanda kota tersebut. Hulegu lalu memperkirakan bahwa jumlah orang yang tewas adalah sekitar 200.000. Setelah menyerukan amnesti atas penjarahan pada tanggal 20 Februari, Hulegu mengeksekusi mati al-Musta'sim. Berbeda dengan pernyataan berlebihan dari para sejarawan Muslim di kemudian hari, Bagdad justru makin makmur di bawah Ilkhanat pimpinan Hulegu, meskipun memang mengalami penurunan jika dibandingkan dengan ibu kota baru, Tabriz.
Latar belakang
Bagdad didirikan pada tahun 762 oleh al-Mansur, khalifah kedua dari dinasti Abbasiyah, yang menggulingkan Kekhalifahan Umayyah. Al-Mansur percaya bahwa Kekhalifahan Abbasiyah membutuhkan ibu kota baru, yang terletak jauh dari potensi ancaman dan dekat dengan basis kekuatan dinasti Abbasiyah di Persia. Sangat kaya berkat rute dagang dan pajak yang mereka kendalikan, Bagdad pun dengan cepat menjadi kota dunia dan pusat dari Zaman Keemasan Islam, karena penyair, penulis, ilmuwan, filsuf, musisi, dan cendekiawan dari segala bidang tumbuh di kota tersebut. Memiliki pusat pembelajaran seperti Baitul Hikmah dan observatorium astronomi, yang memanfaatkan teknologi kertas terbaru dan mengumpulkan ajaran kuno dari seantero Eurasia, Bagdad pun menjadi "ibu kota cendekiawan dunia", menurut sejarawan Justin Marozzi.[1]
Selama abad ke-10, Abbasiyah secara bertahap mengalami penurunan kekuatan, yang kemudian berpuncak pada penaklukan Bagdad, awalnya oleh Buwaihi pada tahun 945 dan kemudian oleh Seljuk pada tahun 1055, sehingga khalifah hanya menjadi otoritas lokal. Buwaihi dan Seljuk memfokuskan perhatian mereka pada Bagdad, yang tetap menjadi salah satu kota terkemuka di dunia, dengan menjadi salah satu dari hanya tiga kota di dunia yang memiliki lebih dari satu juta penduduk antara tahun 1000 dan 1200, selain Kaifeng dan Hangzhou.[2] Abbasiyah kemudian kembali muncul sebagai sebuah kekuatan signifikan di bawah kepemimpinan dari al-Nasir (m. 1180–1225), yang menangkal ancaman dari pemimpin terakhir Seljuk dan suksesor mereka, Khwarazmia. Invasi terhadap Abbasiyah yang dilakukan oleh Muhammad II dari Khwarazm pada tahun 1217 mengalami kegagalan, dan kerajaannya kemudian diinvasi oleh pasukan Jenghis Khan, pemimpin pertama dari Kekaisaran Mongol.[3]
Setelah invasi Mongol ke Kekaisaran Khwarazmia berakhir pada akhir tahun 1221, mereka tidak kembali ke wilayah tersebut hingga tahun 1230. Pada tahun tersebut, Chormaqan, seorang jenderal terkemuka di bawah suksesor Jenghis Ögedei Khan, tiba di Azerbaijan untuk menyingkirkan pangeran Khwarazmia Jalal al-Din, yang akhirnya dibunuh setahun kemudian.[4] Setelah itu, Chormaqan mulai membangun hegemoni Mongol di Iran barat laut dan Transkaukasus. Setelah merebut Isfahan pada tahun 1236, Mongol mulai menguji kepemimpinan khalifah di Mesopotamia, dengan mengepung Irbil pada tahun 1237 dan menyerbu tembok Bagdad setahun kemudian.[5] Chormaqan dan penggantinya pada tahun 1241 Baiju kemudian menyerbu wilayah tersebut hampir tiap tahun. Walaupun kekuasaan Mongol berhasil diamankan di wilayah lain di Timur Dekat—kemenangan mereka pada tahun 1243 dalam Pertempuran Köse Dağ membuat Kesultanan Rum Seljuk hanya menjadi negara klien—Bagdad masih belum dapat ditaklukkan, dan bahkan dapat mengalahkan pasukan Mongol pada tahun 1245.[6] Masalah lainnya adalah Negara Nizari Ismaili, atau juga dikenal sebagai Hassasin, di Pegunungan Elburz. Mereka telah membunuh sejumlah panglima Mongol pada dekade 1240-an dan diduga telah mengerahkan 400 orang Hassasin ke ibu kota Mongol Karakorum untuk membunuh khan.[7]
Kampanye melawan Hassasin
Möngke Khan diangkat menjadi khan pada tahun 1251 sebagai bagian dari Revolusi Toluid, yang menjadikan keluarga dari putra bungsu Jenghis Tolui, sebagai tokoh paling berkuasa di Kekaisaran Mongol.[8] Möngke kemudian mengutus adiknya, Kublai dan Hulegu, untuk mengadakan ekspedisi militer masif guna menaklukkan vasal yang memberontak dan musuh yang bermasalah. Kublai diutus untuk menaklukkan Kerajaan Dali dan meneruskan perang melawan Song Selatan, sementara Hulegu diutus ke arah barat untuk menghancurkan Hassasin Ismaili dan untuk memastikan penyerahan diri dari para khalifah Abbasiyah.[9] Untuk tugas tersebut, Hulegu mengerahkan seperlima dari total jumlah pasukan Mongol, yang oleh para cendekiawan modern diperkirakan berjumlah antara 138.000 orang, hampir 200.000 orang, atau 300.000 orang.[a] Pasukan tersebut terdiri dari pasukan dari wilayah pendudukan Armenia, termasuk rajanya Hetoum I, pasukan zeni sebanyak seribu orang yang dipimpin oleh Guo Kan, auksilier dari seantero Mongol, dan para panglima dari semua cabang keluarga kekaisaran Mongol, termasuk tiga pangeran dari Gerombolan Emas, pangeran Chagatayid Teguder, dan kemungkinan juga salah satu cucu Jenghis Khan dari putrinya Checheikhen.[13]
Karena ukuran dari pasukannya, pergerakan Hulegu dari Karakorum pun sangat lambat menurut standar Mongol. Berangkat pada bulan Oktober 1253, ia menghabiskan tahun-tahun berikutnya melewati Transoxiana dan mendapat penghormatan dari para penguasa lokal, termasuk Arghun Aqa di Kish pada bulan November 1255. Pada awal tahun berikutnya, ia baru memasuki pusat wilayah Hassasin Kohistan.[14] Sebuah pasukan pendahulu di bawah panglima Kitbuqa berhasil merebut sejumlah benteng Ismaili dan menjarah kota Tun antara tahun 1253 dan 1256, tetapi gagal mengepung benteng di Gerdkuh.[15] Pemimpin Hassasin, Ala'ad-Din Muhammad, meninggal pada bulan Desember 1255, dan Hulegu pun mengirim para utusannya ke suksesornya Rukn al-Din Khurshah. Rukn al-Din berupaya untuk mengulur waktu, tetapi benteng-bentengnya terus jatuh ke tangan Mongol dan ia akhirnya menyerah dari Maymun-Diz pada tanggal 19 November 1256.[16] Rukn al-Din kemudian juga membujuk benteng Alamut untuk menyerah pada tanggal 15 Desember.[17][b]
Kampanye Bagdad
Hulegu berharap khalifah Abbasiyah al-Musta'sim dapat menyediakan pasukan untuk kampanye melawan Hassasin. Al-Musta'sim awalnya menyetujuinya, tetapi para menterinya berpendapat bahwa tujuan sebenarnya dari permintaan tersebut adalah untuk mengosongkan Bagdad dari potensi perlawanan, sehingga Al-Musta'sim akhirnya menolaknya.[19] Para penulis Sunni pada masa berikutnya pun menuduh wazir Bagdad, seorang Syi'ah bernama Muhammad bin al-Alqami, telah mengkhianati Al-Musta'sim dengan mengadakan negosiasi rahasia dengan Hulegu. Pada tahun 1256, terjadi kekerasan sektarian antara Sunni dan Syi'ah pasca sebuah banjir besar, sehingga menempatkan Bagdad dalam posisi yang sulit. Namun, al-Musta‘sim dan para menterinya masih cukup yakin mengenai peluang keberhasilan mereka.[20]
...Aku akan membawamu jatuh dari puncak langit,
Seperti seekor singa, aku akan melemparmu ke lembah terdalam.
Aku tidak akan membiarkan seorang pun hidup di negaramu,
Aku akan mengubah kota, tanah, dan kekaisaranmu menjadi api.Jika kamu memiliki hati untuk menyelamatkan kepalamu dan keluarga kunomu,
Dengarkan nasihat saya baik-baik.
Jika kamu menolak menerimanya, aku akan menunjukkanmu arti dari kehendak Tuhan.
Akhir surat pertama dari Hulegu kepada al-Musta'sim, September 1257[21]
Hulegu menghabiskan musim panas tahun 1257 di atau di dekat dataran Hamadan. Di sana, ia bertemu kembali dengan Baiju, yang telah berhasil menaklukkan vasal-vasal yang memberontak di barat laut. Baiju pun membawa vasal-vasal Seljuk, Georgia, dan Armenia, termasuk pangeran Pŕosh Khaghbakian dan Zak‘arē, untuk bergabung dengan pasukan Mongol. Pada bulan September, Hulegu memulai korespondensi dengan al-Musta'sim, yang dideskripsikan oleh sejarawan René Grousset sebagai "salah satu dialog paling luar biasa dalam sejarah".[22] Surat pertama Hulegu menuntut agar al-Musta'sim menyerah dengan damai dan mengutus tiga menteri utamanya—wazir, panglima prajurit, dan dawatdar—ke pasukan Mongol. Tiga menteri tersebut tampaknya menolak, sehingga akhirnya diutus tiga pejabat yang lebih rendah.[23]
Balasan dari al-Musta'sim terhadap surat tersebut menyebut bahwa Hulegu masih muda dan bodoh, serta menampilkan dirinya sebagai orang yang dapat mengumpulkan pasukan dari dunia Islam. Disertai dengan perilaku tidak sopan terhadap para utusan Hulegu, yang menjadi sasaran ejekan dan hinaan dari masyarakat di jalanan Bagdad, hal tersebut pun menunjukkan sikap antagonistik dari al-Musta'sim, karena Kesultanan Mamluk di Mesir juga tidak menyukai al-Musta'sim, sementara Ayyubiyah di Suriah fokus pada kelangsungan hidup mereka sendiri.[24] Korespondensi lebih lanjut tidak membawa kemajuan apapun, kecuali kerelaan al-Musta'sim untuk memberi sedikit upeti—al-Alqami menyatakan akan memberi upeti dalam jumlah besar, tetapi dawatdar menganggap bahwa al-Alqami berupaya untuk mengosongkan harta al-Musta'sim dan memenangkan hati Hulegu.[25]
Kehilangan kesabaran, Hulegu kemudian berkonsultasi dengan para penasehatnya mengenai penyerangan terhadap Bagdad. Astronom Husam al-Din meramalkan malapetaka, dengan menyatakan bahwa semua penguasa yang menyerang Bagdad kemudian kehilangan kerajaan mereka. Hulegu lalu beralih ke polimatik Nasir al-Din al-Tusi, yang menyatakan bahwa tidak ada bencana yang akan terjadi, dan bahwa Hulegu akan berkuasa menggantikan al-Musta'sim.[26]
Pergerakan dan pengepungan
Digerakkan pada sayap kanan oleh para pangeran Gerombolan Emas, yang bergerak melalui dataran Shahrizor, dan di kiri oleh Kitbuqa di Khuzistan, Hulegu mengkomandani pasukan Mongol utama dan menjarah Kermanshah pada 6 Desember. Usai keputusan perang pada pertengahan Desember, para panglimanya memutuskan untuk membagi tugas berbeda.[27] Baiju kembali ke pertahanan di Irbil, dan melintasi Tigris di Mosul dengan bantuan amirnya Badr al-Din Lu'lu', yang juga menyediakan suplai,[28] bergerak ke selatan menuju Bagdad. Baiju mencapai bendungan Nahr Isa pada pertengahan Januari 1258, sementara deputinya Sughunchaq menggerakkan kelompok pergerakan ke sekitar 25 mil (40 km) dari kota tersebut.[29] Pada 16 Januari, Sughunchaq bertikai dengan dawatdar yang mengerahkan 20.000 infanteri dan terpaksa menarik diri. Pasukan khalifah bergerak. Namun pada malam tersebut, pasukan Baiju menjebol tanggul Bendungan Dujayl dan membanjiri kemah pasukan Abbasiyah yang melakukan perayaan. Banyak orang tenggelam, dan sisanya digerakkan oleh pasukan Baiju pada keesokan paginya. Mereka bergerak dan hanya berjumlah sedikit, termasuk dawatdar, membuatnya kembali ke Bagdad.[30]
Sementara itu, Kitbuqa melintasi Tigris di selatan dan mencapai kawasan Karkh. Hulegu sendiri mencapai kawasan timur pada 22 Januari. Disana, ia disambut oleh warga Syi'ah lokal. Mongol kemudian mendekati Bagdad dengan mendirikan palisade di sekitaran seluruh kota dan menggali parit di dalam sekelilingnya. Bentengnya dirampungkan dalam sehari.[31] Mereka membangun gunungan yang terbuat dari bata untuk mangonel dan ballista mereka serta menyiapkan amunisi mereka. Mongol memakai pohon-pohon kelapa dan batu yang sebelumnya dipakai untuk membangun kawasan tersebut sampai mereka menemukan bebatuan layak di pegunungan Jebel Hamrin, yang dibawa dalam tiga hari. Mereka juga memakai piroteknik seperti membakar naphtha.[32] Untuk mencegah siapapun dari pemakaian Tigris untuk kabur, Hulegu memerintahkan pembangunan jembatan pontoon di sepanjang sungai pada kedua sisi kota. Di samping kerentanan Bagdad—tembok yang rentan banjir yang tak dapat diperbaiki dan garisun, dengan sebagian besar 50.000 kekuatan yang dihimpun oleh dawatdar, tak terlatih dan kebanyakan kurang handal—Hulegu merencanakan operasinya untuk menutup seluruh keberlanjutannya.[33]
Serangan di tembok Bagdad dimulai pada 29[34] atau 30 Januari.[35] Pasukan Mongol memanahkan pesan-pesan yang berisi jaminan keselamatan ke kota tersebut—orang-orang yang diberikan jaminan tersebut meliputi Kristen, sosok Muslim tertentu, dan orang-orang yang tak bertarung dengan Mongol atau yang menyerah.[36] Pembobolan pertama dilakukan di tenggara menara Ajami, dekat kemah Hulegu, pada 1 Februari. Namun, Mongol dipukul mundur. Pembobolan selanjutnya selama dua hari berikutnya memperkenankan mereka untuk menjamah dan merebut kendali tempat tempur timur pada 4 Februari.[37] Menjelang kekalahan, dawatdar berniat untuk kabur dengan berlayar ke Tigris, namun persiapan Hulegu mencegatnya dan memaksanya kembali ke kota dengan kehilangan tiga kapal.[38]
Khalifah al-Musta'sim mengirim sejumlah utusan, termasuk al-Alqami dan Makkikha II, Patriark Gereja dari Timur, pada sepekan berikutnya. Namun, Hulegu memutuskan untuk tak meminta apapun selain penyerahan tanpa syarat, khususnya setelah salam satu panglimanya terluka oleh panah pada sebuah perundingan.[39] dawatdar dan panglioma garisun Bagdad menyerah kepada Mongol pada negosiasi tersebut, dan kini dihukum mati.[40] Pada 7 Februari, sejumlah besar praurit tak bersenjata dan penduduk bergerak dari kota tersebut, nampaknya dengan harapan agar mereka dibiarkan dan diperkenankan untuk singgah di Suriah. Sebagai gantinya, mereka terbagi dalam kelompok dan dieksekusi.[41]
Dengan opsi terbatas, al-Musta'sim bersiap untuk menyerah. Usai mengirim utusan pimpinan putra dan pewarisnya Ahmed, yang meminta jaminan keamanan untuk keluarganya, khalifah menyerah pada 10 Februari, mengirim keluarganya dan 3.000 undangan. Hulegu membujuk al-Musta'sim untuk memerintahkan penduduk kota tersebut untuk meninggalkan kota tersebut usai melucuti senjata mereka. Orang-orang yang menaatinya dijagal.[42] Khalifah dan kelaurganya ditempatkan di dekat pasukan Kitbuqa dekat gerbang selatan.[43]
Penjarahan dan dampak
Pada 13 Februari, penjarahan Bagdad dimulai. Ini bukanlah tindakan penghancuran, sebagaimana yang umum dinyatakan, namun lebih kepada keputusan yang diperhitungkan untuk menunjukkan dampak Kekaisaran Mongol.[44] Para sayyid, cendekiawan, peniaga yang berdagang dengan Mongol, dan Kristen di kota tersebut atas perantaraan istri Hulegu Doquz Khatun, yang juga Kristen, menyambut, meraih keuntungan dan diperintahkan untuk menandai pintu-pintu mereka sehingga rumah-rumah mereka akan dibiarkan.[45] Sisa kota menjadi subyek penjarahan dan pembunuhan selama sepekan penuh. Menurut Kirakos Gandzaketsi, seorang sejarawan Armenia abad ke-13, Kristen dalam tentara Hulegu meraih kesenangan khusus dalam penjarahan Bagdad.[46] Tidak diketahui berapa banyak penduduk yang tewas: para penulis Muslim pada masa berikutnya memperkirakan antara 800.000 sampai dua juta orang tewas, sementara Hulegu sendiri, dalam sebuah surat kepada Louis IX dari Prancis, menyatakan bahwa pasukannya telah membunuh 200.000 orang.[47] Jumlah tersebut dicampur dengan epidemik berikutnya di kalangan penyintas; para cendekiawan berdebat apakah ini adalah sebuah wabah yang memicu Wabah Hitam.[48]
Dua hari usai penjarahan, pada 15 Februari, Hulegu mengunjungi istana khalifah dan memaksa al-Musta'sim untuk menyerahkan hartanya; beberapa orang membagikan di kalangan panglima seperti Guo Kan, namun kebanyakan dimasukkan ke gerobak dan dibawa ke Mongke di Karakorum atau ke Pulau Shahi di Azerbaijan, tempat Hulegu dikebumikan. Menyerahkan istana tersebut kepada Makkikha untuk dijadikan gereja Kristen, Hulegu kemudian mengadakan pesta makan besar yang diadakan olehnya untuk mengejek khalifah. Nasir al-Din al-Tusi, yang nampaknya hadir, mencatat dialog berikut ini:[49]
[Hulegu] menghantarkan nampan emas ke hadapan Khalifah dan berujar: "Santaplah!"
"Ini bukan makanan," ujar Khalifah.
"Kemudian kenapa kau mempertahankannya," tanya khan, "dan tak memberikannya kepada para prajuritmu? Dan kenapa kau tak membuat pintu-pintu besi pada kepala-kepala panah dan pergi ke tepi sungai sehingga aku tak dapat melintasinya?"
"Hal semacam itu", jawab Khalifah, "adalah kehendak Allah."
"Apa yang akan menjatuhkanmu," ujar khan, "juga adalah kehendak Allah."
Peristiwa tersebut nampaknya menjadi sumber cerita rakyat, yang direproduksi dalam tulisan-tulisan penulis Kristen seperti Marco Polo, yang menyatakan bahwa Hulegu kemudian mengunci al-Musta'sim dalam sebuah sel yang diisi dengan harta bendanya, tempat ia mati kelaparan dalam empat hari.[50] Pada kenyataannya, pada 20 Februari, usai Hulegu telah menahan penjarahan dan pembunuhan dan serta memindahkan kemahnya jauh dari kota tersebut untuk lari dari peningkatan gelombang udara, al-Musta'sim dieksekusi bersama dengan seluruh keluarga dan abdinya. Untuk menghindari pertumpahan darah kerajaan, sebuah hal tabu besar bagi Mongol, khalifah dibalut dengan karpet gulung dan diinjak sampai mati oleh kuda-kuda.[51] Hulegu mendebatkan apakah al-Musta'sim sepenuhnya mati, namun kemudian memutuskan untuk melakukannya demi mematahkan mitos kekhalifahan selaku entitas berkuasa, mulia dan keras.[52]
Jika, sebagaimana tuduhan para penulis pada masa berikutnya, al-Alqami telah mengkhianati Bagdad terhadap Mongol, Hulegu akan mengeksekusinya—sebagaimana kebijakan Mongol terkait seluruh pengkhianat. Sebagai gantinya, karena upayanya untuk mencegah khalifah dari nasib terbodoh, ia diangkat lagi menjadi wazir, meskipun ia wafat kurang dari tiga bulan kemudian.[53] Selain juga mengangkat daruyachi ('pegawai seberang laut') Khwarazm yang bernama Ali Ba'atar untuk kawasan tersebut dan menugasi 3.000 prajurit di kota tersebut, Hulegu memberikan perintah untuk membangun ulang Bagdad dan membuka bazarnya. Pada 8 Maret, ia meninggalkan tempat tersebut, bergerak ke utara menuju Hamadan dan kemudian Azerbaijan, tempat ia singgah selama setahun.[54]
Peninggalan
Kejatuhan Bagdad menandai akhir Kekhalifahan Abbasiyah yang berusia lima ratus tahun—meskipun seorang anggota dinasti tersebut berpindah ke Kairo, tempat Kesultanan Mamluk mengangkatnya menjadi Al-Mustansir II, ia dan keturunannya menjadi boneka negara Mamluk dan tak pernah meraih pengakuan besar di seluruh dunia Muslim; mereka kemudian akan dirampas oleh Utsmaniyah yang menyandang gelar khalifah sampai abad ke-20.[55] Ini juga menandai peralihan kekuasaan dari Bagdad dan terhadap kota-kota seperti Tabriz, ibukota Ilkhanat, sebuah kekhanan yang didirikan oleh Hulegu pada masa setelah pengepungan tersebut.[56]
Kejatuhan Bagdad tidaklah peristiwa penting sebagaimana yang dinyatakan, meskipun ini merupakan peristiwa mengenang untuk dunia Muslim.[57] Para Muslim biasanya mengaitkan penurunan Zaman Keemasan Islam, dan kemudian kebangkitan dunia Barat pada masa berikutnya, dengan peristiwa tersebut. Namun, argumen semacam itu dikritik karena sederhana dan malas.[58] Kala penjelasan dari seorang sejarawan abad ke-16 menyatakan bahwa banyak buku dari perpustakaan Bagdad dilempar ke Tigris agar "warna sungai tersebut berubah menjadi hitam dari kedalaman mereka," sejarawan Michal Biran menyatakan bahwa perpustakaan-perpustakaan besar dibuka lagi untuk pembelajaran dan pengajaran dalam dua tahun pengepungan.[59] Hulegu dan penerusnya selaku penguasa Ilkhanat secara aktif menjaga dan mendorong tradisi musik dan sastra. Pengepungan-pengepungan berikutnya seperti yang dilakukan oleh Timur Lenk pada 1393 dan 1401 dan oleh Utsmaniyah pada 1534 menghimpun marginalisasi jangka panjang terhadap kota tersebut.[60]
Referensi
Catatan
- ^ a b John Masson Smith memperkirakan 170.000 orang dan ditambah 130,000 orang auksilier pada tahun 1975;[10] James Chambers memperkirakan hampir 200.000 orang pada tahun 1979;[11] dan Timothy May memperkirakan sekitar 138.000 orang pada tahun 2007.[12]
- ^ Sejumlah benteng lain menolak untuk menyerah; Lambasar akhirnya jatuh pada akhir tahun 1257, sementara Gerdkuh dapat bertahan selama 15 tahun, dan baru jatuh pada tahun 1271. Meskipun Hulegu tampak cukup menyukai Rukn al-Din dan menghormati keberadaannya, Möngke memandang pembiaran Rukn al-Din sebagai pemborosan sumber daya dan memerintahkan Rukn al-Din untuk dihukum mati.[18]
Kutipan
- ^ Marozzi 2014, chapters 1, 3.
- ^ Marozzi 2014, bab 4; Modelski 2007.
- ^ Boyle 1968, hlm. 200–202; Atwood 2004, hlm. 1.
- ^ Jackson 2017, hlm. 81–82; Atwood 2004, hlm. 2; Boyle 1968, hlm. 334–335.
- ^ Jackson 2017, hlm. 82–83; Atwood 2004, hlm. 2.
- ^ Jackson 2017, hlm. 83–85; Atwood 2004, hlm. 2.
- ^ Jackson 2017, hlm. 125; Atwood 2004, hlm. 255; Morgan 1986, hlm. 130; Biran 2012, hlm. 78–79.
- ^ May 2018, hlm. 144–145; Atwood 2004, hlm. 363.
- ^ May 2018, hlm. 159; Jackson 2017, hlm. 125; Boyle 1968, hlm. 340; Lane 2003, hlm. 23.
- ^ Smith 1975, hlm. 277–278.
- ^ Chambers 1979, hlm. 142–143.
- ^ May 2007, hlm. 27.
- ^ Lane 2003, hlm. 18–19; Hodous 2020, hlm. 30; Atwood 2004, hlm. 255; Jackson 2017, hlm. 126–127.
- ^ Boyle 1968, hlm. 341; Jackson 2017, hlm. 126–127.
- ^ Boyle 1968, hlm. 342; May 2018, hlm. 163; Atwood 2004, hlm. 255.
- ^ Atwood 2004, hlm. 255; Lane 2003, hlm. 24–25; Jackson 2017, hlm. 127; Boyle 1968, hlm. 342–344.
- ^ Boyle 1968, hlm. 344–345; Jackson 2017, hlm. 127.
- ^ Lane 2003, hlm. 25–26; Atwood 2004, hlm. 255.
- ^ Jackson 2017, hlm. 128; Lane 2003, hlm. 30.
- ^ Lane 2003, hlm. 31–35; Marozzi 2014, chapter 5; Atwood 2004, hlm. 2.
- ^ Marozzi 2014, chapter 5.
- ^ Chambers 1979, hlm. 143; Boyle 1968, hlm. 345–346; Bai︠a︡rsaĭkhan 2011, hlm. 129.
- ^ Jackson 2017, hlm. 128; Lane 2003, hlm. 30; Boyle 1968, hlm. 346.
- ^ Marozzi 2014, chapter 5; Chambers 1979, hlm. 144; Lane 2003, hlm. 30–31.
- ^ Jackson 2017, hlm. 128; Chambers 1979, hlm. 144.
- ^ Jackson 2017, hlm. 129; Boyle 1968, hlm. 346.
- ^ Boyle 1968, hlm. 346–347; Jackson 2017, hlm. 128.
- ^ Bai︠a︡rsaĭkhan 2011, hlm. 129
- ^ Boyle 1968, hlm. 347; Atwood 2004, hlm. 28.
- ^ Boyle 1968, hlm. 347; Atwood 2004, hlm. 28; Chambers 1979, hlm. 144.
- ^ Boyle 1968, hlm. 347–348; Chambers 1979, hlm. 144–145.
- ^ Chambers 1979, hlm. 145; Buell 2003, hlm. 51–52; Marozzi 2014, chapter 5.
- ^ Atwood 2004, hlm. 28; Chambers 1979, hlm. 144; Marozzi 2014, chapter 5.
- ^ Atwood 2004, hlm. 2; Buell 2003, hlm. 51; Boyle 1968, hlm. 348.
- ^ Chambers 1979, hlm. 145; Marozzi 2014, chapter 5.
- ^ Lane 2003, hlm. 32; Chambers 1979, hlm. 145.
- ^ Buell 2003, hlm. 52; Atwood 2004, hlm. 28–29; Boyle 1968, hlm. 348.
- ^ Atwood 2004, hlm. 29; Boyle 1968, hlm. 348; May 2018, hlm. 166.
- ^ Atwood 2004, hlm. 28; Chambers 1979, hlm. 145; Boyle 1968, hlm. 348.
- ^ Jackson 2017, hlm. 128; Boyle 1968, hlm. 348.
- ^ Jackson 2017, hlm. 167; Chambers 1979, hlm. 145.
- ^ Boyle 1968, hlm. 348; Jackson 2017, hlm. 167; Atwood 2004, hlm. 29; Marozzi 2014, chapter 5.
- ^ Boyle 1968, hlm. 348.
- ^ Biran 2016, hlm. 140; Lane 2003, hlm. 29.
- ^ Jackson 2017, hlm. 167; Atwood 2004, hlm. 226.
- ^ Chambers 1979, hlm. 145; Marozzi 2014, bab 5; Biran 2012, hlm. 79.
- ^ Morgan 1986, hlm. 133; Buell 2003, hlm. 117; Atwood 2004, hlm. 344; Chambers 1979, hlm. 146.
- ^ Jackson 2017, hlm. 172; Brack, Biran & Amitai 2024.
- ^ Boyle 1968, hlm. 348–349; Chambers 1979, hlm. 145; Atwood 2004, hlm. 226; Hodous 2020, hlm. 35.
- ^ Jackson 2017, hlm. 129; Morgan 1986, hlm. 133; Boyle 1968, hlm. 248; May 2018, hlm. 166.
- ^ Jackson 2017, hlm. 128–129; Atwood 2004, hlm. 29; Morgan 1986, hlm. 133.
- ^ Biran 2012, hlm. 79; Jackson 2017, hlm. 129.
- ^ Lane 2003, hlm. 34–35; Boyle 1968, hlm. 349; Chambers 1979, hlm. 145.
- ^ Boyle 1968, hlm. 349; Atwood 2004, hlm. 29.
- ^ Morgan 1986, hlm. 133–134; Jackson 2017, hlm. 129.
- ^ Biran 2012, hlm. 99; Atwood 2004, hlm. 2; Lane 2022, hlm. 283.
- ^ Jackson 2017, hlm. 129.
- ^ Biran 2019, hlm. 465; Al-Khalili 2012, chapter 12: Decline and Renaissance.
- ^ Biran 2019, hlm. 470–472.
- ^ Biran 2016, hlm. 150; Biran 2019, hlm. 494–495.
Daftar pustaka
- Al-Khalili, Jim (2012). The House of Wisdom: How Arabic Science Saved Ancient Knowledge and Gave Us the Renaissance. London: Penguin Books. ISBN 978-0-1431-2056-8.
- Atwood, Christopher P. (2004). Encyclopedia of Mongolia and the Mongol Empire. New York: Facts on File. ISBN 978-0-8160-4671-3. Diakses tanggal 2 March 2022.
- Bai︠a︡rsaĭkhan, D. (2011). The Mongols and the Armenians (1220-1335). Leiden: Brill. ISBN 978-9-0041-8635-4.
- Biran, Michal (2012). Genghis Khan. Makers of the Muslim World. London: Oneworld Publications. ISBN 978-1-7807-4204-5.
- Biran, Michal (2016). "Music in the Mongol Conquest of Baghdad: Ṣafī al-Dīn Urmawī and the Ilkhanid Circle of Musicians". Dalam De Nicola, Bruno; Melville, Charles. The Mongols' Middle East: Continuity and Transformation in Ilkhanid Iran. Islamic History and Civilization. 127. Leiden: Brill. ISBN 978-9-0043-1199-2.
- Biran, Michal (2019). "Libraries, Books, and Transmission of Knowledge in Ilkhanid Baghdad". Journal of the Economic and Social History of the Orient. 62 (2–3): 464–502. doi:10.1163/15685209-12341485.
- Boyle, John Andrew (1968). "Dynastic and Political History of the Il-khans". Dalam Boyle, John Andrew. The Cambridge History of Iran, Volume 5: The Saljuq and Mongol Periods. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 303–421. ISBN 0-521-06936-X.
- Brack, Jonathan; Biran, Michal; Amitai, Reuven (2024). "Plague and the Mongol conquest of Baghdad (1258)? A reevaluation of the sources". Medical History: 1–19. doi:10.1017/mdh.2023.38 .
- Buell, Paul D. (2003). Historical Dictionary of the Mongol World Empire. Lanham: The Scarecrow Press. ISBN 978-0-8108-4571-8.
- Chambers, James (1979). The Devil's Horsemen: The Mongol Invasion of Europe. New York: Atheneum. ISBN 978-0-6891-0942-3.
- Hodous, Florence (2020). "Guo Kan: Military Exchanges between China and the Middle East". Dalam Biran, Michal; Brack, Jonathan; Fiaschetti, Francesca. Along the Silk Roads in Mongol Eurasia: Generals, Merchants, and Intellectuals (edisi ke-1st). Oakland: University of California Press. hlm. 27–43.
- Jackson, Peter (2017). The Mongols and the Islamic World: From Conquest to Conversion. New Haven: Yale University Press. ISBN 978-0-3001-2533-7.
- Lane, George (2003). Early Mongol Rule in Thirteenth-Century Iran: A Persian Renaissance. London: Routledge. ISBN 978-0-4152-9750-9.
- Lane, George (2022). "The Ilkhanate". Dalam May, Timothy; Hope, Michael. The Mongol World. Abingdon: Routledge. hlm. 279–297. ISBN 978-1-3151-6517-2.
- Marozzi, Justin (2014). Baghdad: City of Peace, City of Blood. London: Penguin UK. ISBN 978-0-1419-4804-1.
- May, Timothy (2007). The Mongol Art of War: Chinggis Khan and the Mongol Military System. Yardley: Westholme. ISBN 978-1-5941-6046-2.
- May, Timothy (2018). The Mongol Empire. Edinburgh: Edinburgh University Press. ISBN 978-0-7486-4237-3.
- Modelski, George (29 September 2007). "Central Asian world cities? (XI – XIII century) A discussion paper". Diarsipkan dari versi asli tanggal 30 April 2011.
- Morgan, David (1986). The Mongols . The Peoples of Europe. Oxford: Blackwell Publishing. ISBN 978-0-6311-7563-6.
- Smith, John Masson (1975). "Mongol Manpower and Persian Population". Journal of the Economic and Social History of the Orient. 18 (3): 271–299. doi:10.2307/3632138.