Muktazilah
Bagian dari seri |
Islam |
---|
Muktazilah (bahasa Arab: المعتزلة, translit. al-muʿtazilah; singular: bahasa Arab: معتزلي, translit. muʿtazilī, har. 'memisahkan diri') adalah sebuah aliran teologi yang muncul di Basrah, Irak, pada abad 2 H. Mereka adalah pengikut Wasil bin Atha' (wafat: 131 H) dan Amr bin Ubaid (wafat: 144 H).[1] Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha' (700-750 M) berpisah dari gurunya, yaitu Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Hasan al-Bashri berpendapat mukmin yang melakukan dosa besar masih berstatus mukmin. Sementara Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim yang berdosa besar bukanlah mukmin tapi juga bukan kafir.
Etimologi
Kata Mu'tazilah berasal dari bahasa Arab إعتزل (iʿtazala) yang berarti “memisahkan diri”, “menjauh”. Kata kerja iʿtazala juga digunakan untuk menunjuk pihak netral dalam suatu perselisihan, seperti dalam "menarik" dari perselisihan antara dua faksi.[2]
Menurut Encyclopædia Britannica, "Nama (Mu'tazilah) pertama kali muncul pada awal sejarah Islam dalam perselisihan mengenai kepemimpinan Ali dalam komunitas Muslim setelah pembunuhan Utsman, khalifah ketiga, pada tahun 656. Mereka yang tidak mendukung maupun mengutuk Ali atau Muawiyah tetapi mengambil kedudukan netral disebut Mu'tazilah.” Mu'tazilah teologis yang didirikan oleh Wasil bin Atha dan penerusnya hanyalah kelanjutan dari posisi politik awal Mu'tazilah.[3]
Ajaran utama
Mu'tazilah atau Muktazilah memiliki lima dasar ajaran utama yang disebut ushul al-khamsah, yakni:
- Al-Tauhid التوحيد :
- Allah adalah tunggal. Sifat Allah adalah dzat-Nya itu sendiri. Allah tidak boleh diserupakan dengan makhluk. Sehingga dalam hal ini Muktazilah sangat menentang keras pemberian atribut antropomorfisme pada Tuhan.[4][5]
- Al-Quran adalah makhluk. Definisi dari makhluk disini adalah segala sesuatu yang diciptakan Allah. Sehingga Al-Quran sudah pasti merupakan ciptaan Allah. Jadi Al-Quran tidaklah mungkin bersifat kekal (qadim) bersama dengan dzat Allah.[6]
- Al-'Adl العدل - Keadilan Tuhan. Dalam menghadapi permasalahan adanya kejahatan dan kesengsaraan di dunia. Muktazilah mencoba menyelesaikan wacana teologis bahwa karena Allah itu maha adil dan bijaksana, Dia tidak mungkin memerintahkan dan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan akal. Allah tidak mungkin melakukan sesuatu tanpa mempertimbangkan kesejahteraan makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Oleh karena itu, segala kejahatan, kekejaman, dan kesengsaraan yang ada di dunia harus dianggap sebagai sesuatu yang bersumber murni dari kesalahan manusia, yang timbul karena kehendak bebas manusia.[7][8]
- Al-Wa'd wa al-Wa'id الوعد و الوعيد - Janji dan Ancaman. Muktazilah percaya bahwa Allah tidak akan ingkar janji: memberi pahala pada seseorang yang berbuat kebaikan dan memberi siksa pada seseorang yang berbuat kejahatan.[9]
- Al-Manzilah bayna al-Manzilatayn المنزلة بين المنزلتين - Posisi di Antara Dua Posisi. Konsep ini dicetuskan Wasil bin Atha' yang membuatnya berpisah dari gurunya yakni Hasan Al-Bashri, bahwa seorang Muslim yang berdosa besar, statusnya bukan digolongkan sebagai mukmin ataupun kafir, melainkan masuk ke dalam golongan fasik.[10]
- Al-amr bil Ma'ruf wa al-Nahy 'an al Munkar الأمر بالمعروف و النهي عن المنكر - Menyeru Kepada Kebaikan dan Mencegah Kemungkaran. Muktazilah memberikan penafsiran khusus dalam arti bahwa meskipun Allah memerintahkan apa yang benar dan melarang apa yang salah, penggunaan akal memungkinkan seorang Muslim dalam banyak kasus untuk mengidentifikasi sendiri apa yang benar dan apa yang salah, bahkan tanpa bantuan wahyu. Hanya untuk beberapa persoalan khusus, wahyu diperlukan untuk menentukan apakah tindakan tersebut benar atau salah.[11]
Aliran Muktazilah berpendapat dalam masalah qada dan qadar, bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Manusia dihisab berdasarkan perbuatannya, sebab ia sendirilah yang menciptakannya.
Sejarah
Pemikiran dari Muktazilah diawali dari pendapat Washil bin Atha al-Ghazal dan Amr bin Ubaid bin Bab. Keduanya terlibat perdebatan dengan Hasan al-Bashri mengenai status dari pelaku dosa besar.[12] Kedua tokoh ini merupakan temannya. Perdebatan ini terjadi di dalam suatu majelis yang dipimpin oleh Hasan al-Bashri di Masjid Bashrah. Kedua tokoh ini menjawab bahwa pelaku dosa besar bukanlah dalam status mukmin maupun kafir.[13] Karenanya, Hasan al-Bashri mengeluarkan mereka dari majelisnya. Keduanya kemudian mengasingkan diri di salah satu pojok Masjid Bashrah. Keduanya kemudian mempunyai pengikut yang disebut sebagai Muktazilah. Penamaan ini didasari oleh perbedaan pendapat kedua tokoh ini yang sangat berbeda dibandingkan dengan pendapat umat Islam pada masa itu.[14] Wasil bin Atha' membentuk jemaah baru di sudut lain mesjid. Imam Hasan al-Basri berkata "Ia telah i'tizal (mengasingkan diri) dari kita. Jadi mu'tazilah adalah orang yang mengasingkan diri dari Imam Hasan al-Basri, sesuai dengan perkataan dia tersebut. Aliran Muktazilah juga merupakan aliran Islam yang paling ekstrim dalam mengadopsi kebudayaan helenistik.[15]
Lihat pula
Referensi
- ^ Jawas, Yazid bin Abdul Qodir (1441 H/2020 M). Mulia Dengan Manhaj Salaf. Bogor: Pustaka At-Taqwa. hlm. 544. ISBN 9789791661133.
- ^ "Mu'tazilah Reconsidered" (PDF).
- ^ "Mu'tazilah | History, Doctrine, & Meaning | Britannica". www.britannica.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-11-24.
- ^ Dhanani, Alnoor (2014-07-01). "Basran Mu'tazilite Theology: Abu 'Ali Muhammad b. Khallad's Kitab al-Usul and Its Reception". The Journal of the American Oriental Society (dalam bahasa English). 134 (3): 548–550.
- ^ Al-Qadi Abd Al-Jabbar. Sharḥ al-Uṣūl al-Khamsa (شرح الأصول الخمسة). Baghdad.
- ^ Campanini, Massimo (2012-01). "The Mu'tazila in Islamic History and Thought". Religion Compass (dalam bahasa Inggris). 6 (1): 41–50. doi:10.1111/j.1749-8171.2011.00273.x. ISSN 1749-8171.
- ^ Martin, Richard C.; Woodward, Mark; Atmaja, Dwi Surya; Atmaja, Dwi S. (1997-10). Defenders of Reason in Islam: Mu'tazililism from Medieval School to Modern Symbol (dalam bahasa Inggris). Oneworld Publications. ISBN 978-1-85168-147-1.
- ^ Campanini, Massimo (2012-01). "The Mu'tazila in Islamic History and Thought". Religion Compass (dalam bahasa Inggris). 6 (1): 41–50. doi:10.1111/j.1749-8171.2011.00273.x. ISSN 1749-8171.
- ^ Al-Khayyat (1957). Kitab al-Intisar. hlm. 93.
- ^ Martin, Richard C.; Woodward, Mark; Atmaja, Dwi Surya; Atmaja, Dwi S. (1997-10). Defenders of Reason in Islam: Mu'tazililism from Medieval School to Modern Symbol (dalam bahasa Inggris). Oneworld Publications. ISBN 978-1-85168-147-1.
- ^ Fakhry, Majid (2016). Ethics in Islamic philosophy (edisi ke-1). London: Routledge. doi:10.4324/9780415249126-h018-1. ISBN 978-0-415-25069-6.
- ^ Nasution, Harun (1986). Teologi Islam: aliran-aliran sejarah analisa perbandingan (edisi ke-lima). Jakarta: Universitas Indonesia Press. hlm. 38. ISBN 979-8034-79-1.
- ^ Muhaimin, H.M. (1999). Ilmu kalam : sejarah dan aliran-aliran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 979-9075-75-0.
- ^ Al-'Aqil, Muhammad bin A. W. (2018). Bamuallim, M., dan al-Faiz, M. S.,, ed. Manhaj Aqidah Imam Asy-Syafi'i. Diterjemahkan oleh Idris, N., dan Zuhri, S. Jakarta: Pustaka Imam Syafi'i. hlm. 558.
- ^ "Greek philosophy: impact on Islamic philosophy - Routledge Encyclopedia of Philosophy". www.rep.routledge.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-11-14.
Pranala luar
- (Inggris) The Mutazilla & Rational Theology