Suku Bontok

Revisi sejak 12 Desember 2024 02.24 oleh Devi 4340 (bicara | kontrib)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)


Suku Bontok adalah kelompok etnis yang terdapat di wilayah wilayah pusat dan timur Provinsi Pegunungan di pulau Luzon, Filipina. Meskipun beberapa bagian dari masyarakat Bontok seperti Natonin dan Paracelis mengidentifikasi diri mereka sebagai Balangao, Gaddang, atau Kalinga, istilah Bontok digunakan oleh linguis dan antropolog untuk membedakan penutur bahasa Bontok dari kelompok etnolinguistik di sekitarnya.[2] Suku ini dikenal karena praktik perburuan kepala dan ciri tato tubuh yang khas.[3]

Bontok
Seorang pria dari Suku Bontok (1903-an)
Jumlah populasi
72.084[1] (data sensus 2020)
Daerah dengan populasi signifikan
 Filipina (Wilayah Administratif Cordillera)
Bahasa
Bontok, Ilocano, Tagalog
Agama
Kristiani, Kepercayaan Adat
Kelompok etnik terkait
Suku Igorot

Geografi

sunting

Suku Bontok merupakan kelompok etnis terbesar kedua yang bermukim di wilayah pegunungan di sekitar Sungai Chico mencakup anak sungainya. Terletak di pusat Luzon Utara, wilayah ini dipisahkan dari daerah lain oleh pegunungan dan daerah aliran sungai. Gunung Polis menjadi batas wilayah utama di sisi timur dan selatan, dengan ketinggian mencapai lebih dari 7.000 kaki (2.100 meter). Di bagian barat, terdapat rangkaian pegunungan Cordillera Tengah. Sebagian besar wilayah ini berada di Provinsi Bontok modern, sementara pada masa lalu, hingga tahun 1903, bagian utaranya merupakan bagian dari Provinsi Abra.[4]

Wilayah pegunungan memiliki kekayaan mineral yang melimpah mencakup emas, tembaga, gamping, dan gipsum. Masayarakat Bontok melakukan ekstraksi dengan teknik tradisional di wilayah Bontok, khususnya untuk mendapatkan emas. Sungai Chico juga menjadi sumber untuk mendapatkan pasir, kerikil, dan tanah liat. Beberapa tumbuhan endemik yang dapat ditemui di wilayah hutan Barlig dan Sadanga di antaranya rotan, bambu, dan pohon pinus[2]

Organisasi sosial dan budaya

sunting
 
Sebuah rumah adat Bale suku Bontok yang menampilkan rangkanya, 1903.
 
Sebuah diorama Pekerjaan Wanita Bontok di Milwaukee Public Museum
 
Seorang pria Bontok dengan tombak di Filipina, sebelum tahun 1935

Struktur sosial suku Bontok mulanya terpusat di tengah desa yang terdiri dari sekitar 14 hingga 50 rumah.

Budaya suku Bontok mencerminkan adaptasi mereka terhadap kehidupan di daerah pegunungan. Mereka memiliki tiga jenis bangunan tradisional, yaitu katyufong rumah keluarga, olog, asrama untuk perempuan muda, atoatau ator, asrama untuk laki-laki muda.[4]. Bangunan tradisional lainnya, seperti lumbung padi (akhamang')' dan kandang babi (khongo), erat kaitannya dengan kebutuhan agraris. Semua struktur ini biasanya beratapkan alang-alang (inatep). Kehidupan suku Bontoc juga sangat dipengaruhi oleh kebutuhan pertanian, dengan banyak lahan sawah yang ditata secara bertingkat di lereng gunung.[4]

Suku Bontok sangat menghormati ikatan kekerabatan dan rasa persatuan mereka sebagai sebuah kelompok, yang dikenal dengan istilah sinpangili. Rasa solidaritas ini terbangun atas dasar hubungan afiliasi, sejarah perjuangan bersama melawan penjajah, serta pelaksanaan ritual komunal yang berkaitan dengan kegiatan agraris dan isu-isu yang memengaruhi seluruh wilayah, seperti bencana alam.[2] Kelompok kekerabatan dalam masyarakat Bontoc memiliki dua fungsi utama, yaitu mengatur kepemilikan harta benda dan mengatur pernikahan. Selain itu, kelompok ini juga berperan penting dalam memastikan kerja sama yang saling menguntungkan antaranggota kelompok.[2]

Secara umum terdapat tiga kelas sosial di masyarakat Bontok, yaitu kakachangyan (kaya), wad-ay ngachanna (menengah), dan lawa (miskin). Kalangan kaya di masyarakat Bontok sering menjadi penyelenggara pesta besar dan memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan. Sementara itu, masyarakat miskin biasanya bekerja sebagai petani penggarap atau buruh bagi kaum kaya.[2] Suku Bontok juga memiliki sistem kasta yang dikenal dengan istilah kadangyan. Anggota kasta ini memegang peran kepemimpinan khusus, menikah hanya dengan sesama anggota kasta, dan mengenakan pakaian yang khas sesuai status sosial mereka.[5]

Bahasa

sunting

Suku Bontok merupakan penutur bahasa Bontok, bahasa Iloko and bahasa Tagalog

Budaya

sunting
 
Seorang wanita suku Bontok dengan kerangka ular yang diyakini sebagai jimat penghalau petir.

Sebelum mengenal hiburan modern, salah satu cara masyarakat Bontok menghibur diri adalah dengan melakukan tarian melingkar ritmis yang menggambarkan suasana perburuan dengan diiringi gangsa atau gong perunggu. Dalam tarian ini tidak ada nyanyian atau percakapan. Para wanita biasanya turut serta menari dengan berada di luar lingkaran. Tarian tersebut menghibur berbagai kalangan, termasuk anak-anak.[4]

Suku Bontok masa kini merupakan masyarakat agraris yang damai dan memilih untuk tetap meneruskan sebagian besar budaya tradisional mereka. Musik termasuk ekspresi budaya yang penting bagi kehidupan suku Bontok dan biasa dimainkan di ritual maupun perayaan. Repertoar lagu dan mantra biasa dinyanyikan dengan iringan suling hidung bernama kalaleng, gangsa, serta semacam karinding bernama affiliao, dan ab-a-fiw. Keluarga kaya biasanya menggunakan perhiasan yang terbuat dari emas, manik-manik, batu mulia appong, atau kerang untuk menunjukkan status mereka.[2]

Lihat juga

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ "Ethnicity in the Philippines (2020 Census of Population and Housing)". Philippine Statistics Authority. Diakses tanggal July 4, 2023. 
  2. ^ a b c d e f Sumeg-ang, Arsenio (2005). "1 The Bontoks". Ethnography of the Major Ethnolinguistic Groups in the Cordillera. Quezon City: New Day Publishers. hlm. 1–27. ISBN 971-10-1109-3. 
  3. ^ Clark, Jordan (April 26, 2022). "Bontok Deities and the Origin of Headhunting". The Aswang Project. Diakses tanggal December 9, 2024. 
  4. ^ a b c d Jenks, Albert Ernest (1905). The Bontoc Igorot. Manila: Bureau of Public Printing – via University of Michigan Library. 
  5. ^ Scott, William Henry (1979). "Class Structure in the Unhispanized Philippines". Philippine Studies. 27 (2, Special Issue in Memory of Frank Lynch): 137–159. JSTOR 42632474.