Ahlulbait

Keluarga Nabi Muhammad Saw

Ahlul-Bait (Bahasa Arab: أهل البيت) adalah istilah yang berarti "Orang Rumah" atau keluarga. Dalam tradisi Islam istilah itu mengarah kepada keluarga Muhammad. Terjadi perbedaan dalam penafsiran baik Muslim Syi'ah maupun Sunni. Syi'ah berpendapat bahwa Ahlul Bait mencakup lima orang yaitu Ali, Fatimah, Hasan dan Husain sebagai anggota Ahlul Bait (di samping Muhammad). Sementara Sunni berpendapat bahwa Ahlul Bait adalah keluarga Muhammad dalam arti luas, meliputi istri-istri dan cucu-cucunya, hingga kadang-kadang ada yang memasukkan mertua-mertua dan menantu-menantunya.

Istilah Ahlul Bait

Syi'ah

Kaum Syi’ah lebih mengkhususkan istilah Ahlul Bait Muhammad yang hanya mencakup Ali dan istrinya Fatimah, putri Muhammad beserta putra-putra mereka yaitu al-Hasan dan al-Husain (4 orang ini bersama Muhammad juga disebut Ahlul Kisa atau yang berada dalam satu selimut) dan keturunan mereka.

Hal ini diperkuat pula dengan hadits-hadits seperti contoh berikut:

Aisyah menyatakan bahwa pada suatu pagi, Rasulullah keluar dengan mengenakan kain bulu hitam yang berhias. Lalu, datanglah Hasan bin Ali, maka Rasulullah menyuruhnya masuk. Kemudian datang pula Husain lalu beliau masuk bersamanya. Datang juga Fathimah, kemudian beliau menyuruhnya masuk. Kemudian datang pula Ali, maka beliau menyuruhnya masuk, lalu beliau membaca ayat 33 surah al-Ahzab, "Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."[1]

Sunni dan Salafi

Makna “Ahl” dan “Ahlul Bait” dalam pengertian leksikal berarti penghuni rumah, termasuk isteri dan anak-anak. Pengertian ini dianut sebagian kalangan Sunni dan Salafi, yang menyatakan bahwa ahlul bait Muhammad mencakup pula istri-istri, mertua-mertua, juga menantu-menantu dan cucu-cucunya.

Sufi dan sebagian Sunni

Kalangan Sufi dan sebagian kaum Sunni menyatakan bahwa Ahlul-Bait adalah anggota keluarga Muhammad yang dalam hadits disebutkan haram menerima zakat, seperti keluarga Ali dan Fatimah beserta putra-putra mereka (Hasan dan Husain) serta keturunan mereka. Juga keluarga Abbas bin Abdul-Muththalib, serta keluarga-keluarga Ja’far dan Aqil yang bersama Ali merupakan putra-putra Abu Thalib.

Adapun risalah lengkap sebagaimana yang tercantum dalam Shahih Muslim adalah sebagai berikut:

Yazid bin Hayyan berkata, "Aku pergi ke Zaid bin Arqam bersama Husain bin Sabrah dan Umar bin Muslim. Setelah kami duduk, Husain berkata kepada Zaid bin Arqam, 'Hai Zaid, kau telah memperoleh kebaikan yang banyak. Kau melihat Rasulullah, kau mendengar sabda beliau, kau bertempur menyertai beliau, dan kau telah salat dengan diimami oleh beliau. Sungguh kau telah memperoleh kebaikan yang banyak. Karena itu, sampaikan kepada kami hai Zaid, apa yang kau dengar dari Rasulullah!'"
"Kata Zaid bin Arqam, 'Hai kemenakanku, demi Allah, aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari Rasulullah. Apa yang bisa aku sampaikan kepadamu terimalah dan apa yang tidak bisa aku sampaikan kepadamu janganlah kamu memaksaku untuk menyampaikannya.'"
"Kemudian Zaid bin Arqam mengatakan, 'Pada suatu hari Rasulullah berdiri dengan berpidato di suatu tempat air yang disebut Khumm antara Mekkah dan Madinah. Ia memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan peringatan, lalu beliau bersabda, Ketahuilah saudara-saudara bahwa aku adalah manusia seperti kalian. Sebentar lagi utusan Tuhanku (malaikat pencabut nyawa) akan datang lalu dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan untuk kalian dua hal yang berat, yaitu: 1) Al-Qur'an yang berisi petunjuk dan cahaya, karena itu laksanakanlah isi Al-Qur'an dan pegangilah. (Beliau mendorong dan mengimbau pengamalan Al-Qur'an). 2) Keluargaku. Aku ingatkan kalian agar berpedoman dengan hukum Allah dalam memperlakukan keluargaku (tiga kali)".
Husain bertanya kepada Zaid bin Arqam, "Hai Zaid, siapa Ahlul Bait (keluarga) Rasulullah itu? Bukankah istri-istri beliau Ahlul Baitnya?"
Kata Zaid bin Arqam, "Istri-istri beliau adalah Ahlul Baitnya, tetapi Ahlul Bait beliau adalah orang yang diharamkan menerima zakat sampai sepeninggal beliau."
Kata Husain, "Siapa mereka itu?"
Kata Zaid bin Arqam, "Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja'far dan keluarga Abbas."
Kata Husain, "Apakah mereka semua diharamkan menerima zakat?"
Jawab Zaid, "Ya."[2]

Istilah Ahlul Kisa

Kaum Sufi yang memiliki keterikatan dengan Ahlul Kisa, yaitu keluarga Ali bin Abu Talib k.w.[3] dan Fatimah az-Zahra baik secara zhahir (faktor keturunan) dan secara bathin (do'a dan amalan) sangat mendukung keutamaan Ahlul Kisa. Tetapi, Sufi berpendapat bahwa Ahlul Bait bukan hanya Ahlul Kisa sesuai dengan hadits tsaqalayn. Sufi berpendapat bahwa Ahlul Bait adalah mereka yang haram menerima zakat, yaitu keluarga Ali, Aqil dan Ja'far (yang merupakan putra-putra Abu Thalib) dan keluarga Abbas (Hadits Shahih Muslim dari Zaid bin Arqam). Dengan demikian kaum Sufi dalam hal kekhalifahan memiliki perbedaan tajam dengan kaum Syi'ah.

Hadist Shahīh Ahlul Kisa

Shahīh Muslim, vol. 7, hal. 130

Aisyah berkata, "Pada suatu pagi, Rasulullah saw keluar rumah menggunakan jubah (kisa) yang terbuat dari bulu domba. Hasan datang dan kemudian Rasulullah menempatkannya di bawah kisa tersebut. Kemudian Husain datang dan masuk ke dalamnya. Kemudian Fatimah ditempatkan oleh Rasulullah di sana. Kemudian Ali datang dan Rasulullah mengajaknya di bawah kisa dan berkata,
"Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya." (QS. Al-Ahzab [33]:33)[4]

Sunan at-Turmudzi, Kitab al-Manâqib

Ummu Salamah mengutip bahwa Rasulullah saw menutupi Hasan, Husain, Ali dan Fatimah dengan kisa-nya, dan menyatakan, "Wahai Allah! Mereka Ahlul Baitku dan yang terpilih. Hilangkan dosa dari mereka dan sucikanlah mereka!"
Ummu Salamah berkata, "Aku bertanya pada Rasulullah saw, Wahai Rasul Allah! Apakah aku termasuk di dalamnya?" Beliau menjawab, "Engkau berada dalam kebaikan (tetapi tidak termasuk golongan mereka)."

Imam Turmudzi menulis di bawah hadits ini, "Hadits ini shahīh dan bersanad baik, serta merupakan hadits terbaik yang pernah dikutip mengenai hal ini."[5]

Interpretasi Syi'ah, Sunni dan Sufi

Syi'ah

Kaum Syi'ah, khususnya Mazhab Dua Belas Imam menafsirkan bahwa Ahlul Bait adalah "anggota rumah tangga" Muhammad dan mempercayai bahwa mereka terdiri dari: Muhammad, Ali bin Abi Thalib, Fatimah az-Zahra, Hasan bin Ali, dan Husain bin Ali.

Kaum Syi'ah percaya bahwa yang dimaksud dengan Ahlul Bait yang disucikan sesuai dengan ayat tathîr (penyucian) (QS. Al-Ahzab [33]:33), adalah mereka yang termasuk dalam Ahlul-Kisa yaitu Muhammad, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain serta 9 imam berikutnya yang merupakan keturunan dari Husain.

Sesuai dengan hadits di atas, Syi'ah berpendapat bahwa istri-istri Muhammad tidak termasuk dalam Ahlul Bait, sebagaimana pendapat Sunni yang memasukkan istri-istri Muhammad.

Sunni

Kaum Sunni juga mempercayai hadits sahih mengenai keistimewaan kedudukan Ahlul Bait tersebut seperti kaum Syi'ah, meskipun kaum Sunni tidak berpendapat bahwa hak kepemimpinan umat (khalifah) harus dipegang oleh keturunan Ahlul Bait. Hadits itu juga menyatakan bahwa kedua cucu Muhammad, yaitu Hasan bin Ali dan Husain bin Ali, adalah sayyid (pemuka).

Muhammad bin Abdul Wahhab menolak pengistimewaan yang berlebihan terhadap keturunan Ahlul Bait. Ini kemungkinan disebabkan karena pertentangan mereka terhadap kaum Syi'ah, meskipun kaum Sunni pada umumnya tetap memandang hormat terhadap para keturunan Ahlul Bait.

Kaum Wahhabi berpendapat bahwa istilah Ahlul Bait memang hanya mencakup keluarga Ali, akan tetapi keluarga Muhammad mencakup seluruh umat Muslim yang taat, sebab hubungan kekeluargaan tersebut adalah berdasarkan takwa pada kepercayaan Islam, dan bukan berdasarkan pada darah keturunan. Kaum Wahhabi percaya bahwa setiap orang yang taat adalah bagian dari Ahlul Bait, dan bahwa beberapa orang secara khusus disebutkan sebagai bagian daripadanya. Beberapa orang ini, adalah istri-istri Muhammad, yang menurut pendapat mereka disebutkan di dalam Al Qur'an sebagai bagian dari Ahlul Bait.

Sufi

Kaum Sufi menyepakati bahwa semua pendiri Tariqah Mu'tabaroh mestilah dari golongan Ahlul Bait, yaitu berasal dari keturunan Hasan bin Ali atau Husain bin Ali.

Para masyaikh pendiri tariqah-tariqah Islam setelah wafatnya Rasulullah yang merupakan golongan Ahlul Bait, misalnya:

  • As-Sayyid As-Syaikh Bahau'uddin Naqsyabandi (Tariqah Naqsyabandi)
  • As-Sayyid Al-Faqih Muqaddam Muhammad bin 'Ali BaAlawi Al-Husaini (Tariqah Al-BaAlawi)
  • As-Sayyid As-Syaikh Abdul Qadir Jilani Al-Hasani (Tariqah Qadiriyah)
  • As-Sayyid As-Syaikh Ahmad bin Idris Al-Hasani (Tariqah Ahmadiyah Idrissiyah)
  • As-Sayyid As-Syaikh Abil Hasan Asy-Syazuli (Tariqah Syadziliyyah)

Silsilah ajaran mereka kebanyakannya melalui Imam Ja'far ash-Shadiq, dan semuanya mendapat sanad dari Ali bin Abi Thalib. Tariqah Naqsyabandiah adalah satu-satunya tariqah yang juga mendapat sanad dari Abu Bakar.

Kekhalifahan

Kaum Sufi berpendapat kekhalifahan ada 2 macam, yaitu :

  • Khalifah secara zhahir (Waliyyul Amri, Surat An Nisaa' ayat 59) "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." atau mereka yang menjadi kepala pemerintahan umat Islam; dan
  • Khalifah secara bathin (Waliyyul Mursyid, Surat Al Kahfi ayat 17) "Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk (Waliyyan Mursyida) kepadanya." atau mereka yang menjadi pembina rohani umat Islam.

Khalifah zhahir

Menurut kalangan Sufi kekhalifahan yang zhahir (lahiriah) boleh saja dipegang oleh orang muslim yang kurang beriman atau mukmin tapi kurang bertakwa, dalam keadaan darurat atau karena sudah takdir yang tak bisa dihindari. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya perkataan ‘athii’ sebelum ‘waliyyul amri’, kata ‘athii’ atau taatlah hanya ditempelkan kepada ‘Allah’ kemudian ditempelkan kepada ‘Rasul’ sehingga lafadz lengkapnya menjadi, ”Athiiullahu wa athiiurasuul wa ulil amri minkum”. Berarti taat yang mutlak hanya kepada Allah dan Rasulnya. Taat kepada ulil amri (pemimpin) dapat dilakukan dengan syarat ia taat lebih dulu kepada Allah dan Rasulnya. Memilih seorang pemimpin atas dasar ketaatan kepada Allah adalah hal yang logis dan jauh lebih mudah dari pada memilih seorang pemimpin atas dasar 'maksum' atau kesucian, karena 'taat' kepada Allah adalah suatu yang dapat terlihat kurang-lebihnya di dalam kehidupan seseorang.

Dengan kata lain ayat ini dalam pandangan kaum Sunni dan kaum Sufi menunjukkan tidak adanya syarat ‘maksum’ bagi Waliyyul Amri (pemimpin pemerintahan). Sangat mungkin ini adalah petunjuk Allah bagi umat Islam untuk menerima siapapun pemimpinnya di setiap zaman, selama ia taat kepada Allah dan Rasulnya, karena sesuai dengan akal sehat yang dimiliki umat manusia bahwa ‘tak ada yang mengetahui hamba Allah yang suci atau ‘maksum’, kecuali Allah sendiri.’

Khalifah bathin

Kekhalifahan bathin, karena harus mempunyai syarat kewalian dalam pengertian bathin, tak mungkin dijatuhkan kecuali kepada orang mukmin yang bertakwa dan dicintai Allah (Surat Yunus 62-64). Kekhalifahan bathin atau jabatan Waliyyul Mursyid (pemimpin rohani) adalah mereka yang mempunyai ilmu dan karakter (kurang-lebih) seperti Nabi Khidir di dalam Surat Al Kahfi. Hikmah tidak disebutkannya kata 'Nabi Khidir' juga boleh jadi mengisyaratkan setiap zaman akan ada manusia yang terpilih seperti itu.

Didalam sejarah tarekat kaum Sufi, para Wali Mursyid sebagian besarnya adalah keturunan Ali dari Fatimah baik melalui Hasan dan Husain. Menurut kaum Sufi memaksakan kekhalifahan zhahir hanya untuk keluarga Ali adalah suatu yang musykil/mustahil karena bila menolak 3 khalifah sebelumnya (yang telah disetujui oleh mayoritas) berarti membuat perpecahan dalam umat Islam, juga bertentangan dengan prinsip akal sehat, karena boleh jadi seorang kurang ber-taqwa tapi dalam hal pemerintahan sangat cakap. Sedangkan seorang yang ber-taqwa justru mungkin saja tidak menguasai masalah pemerintahan.

Bila menganggap Imamah adalah Khalifah Bathin mungkin saja bisa, tapi membatasi hanya 12 bertentangan dengan banyak hadits shahih tentang para Wali Allah yang tidak pernah disebut dari keluarga tertentu, apalagi dengan pembatasan jumlahnya. Idealnya memang seorang Khalifah zhahir (Waliyyul Amri) dipilih dari mereka yang juga menjabat Khalifah bathin (Waliyyul Mursyid). Tapi pertanyaannya siapakah yang mengetahui Wali-wali Allah, apalagi yang berderajat Waliyyul Mursyid, kalau bukan Allah sendiri.

Perkembangan Ahlul Bait

Setelah wafatnya Muhammad

Berkembangnya Ahlul-Bait walaupun sepanjang sejarah kekuasaan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah mengalami penindasan luar biasa, adalah berkah dari do’a Muhammad kepada mempelai pengantin Fatimah putri beliau dan Ali di dalam pernikahan yang sangat sederhana.

Doa Nabi SAW adalah,”Semoga Allah memberkahi kalian berdua, memberkahi apa yang ada pada kalian berdua, membuat kalian berbahagia dan mengeluarkan dari kalian keturunan yang banyak dan baik”

Setelah mengalami titik noda paling kelam dalam sejarah Bani Umayyah, dimana cucu Nabi SAW, al-Husain bersama keluarga dibantai di Karbala, pemerintahan berikutnya dari Bani Abbasiyah yang sebetulnya masih kerabat (diturunkan melalui Abbas bin Abdul-Muththalib) tampaknya juga tak mau kalah dalam membantai keturunan Nabi SAW yang saat itu sudah berkembang banyak baik melalui jalur Ali Zainal Abidin satu-satunya putra Husain bin Ali yang selamat dari pembantaian di Karbala, juga melalui jalur putra-putra Hasan bin Ali.

Setelah berakhirnya Bani Abbasiyah

Perkembangan di berbagai negara

Menurut berbagai penelaahan sejarah, keturunan Hasan bin Ali banyak yang selamat dengan melarikan diri ke arah Barat hingga mencapai Maroko. Sampai sekarang, keluarga kerajaan Maroko mengklaim keturunan dari Hasan melalui cucu beliau Idris bin Abdullah, karena itu keluarga mereka dinamakan dinasti Idrissiyyah.[6] Selain itu pula, ulama-ulama besar seperti Syekh Abu Hasan Syadzili Maroko (pendiri Tarekat Syadziliyah) yang nasabnya sampai kepada Hasan melalui cucunya Isa bin Muhammad.

Mesir dan Iraq adalah negeri yang ulama Ahlul Baitnya banyak dari keturunan Hasan dan Husain. Abdul Qadir Jaelani seorang ulama yang dianggap sebagai Sufi terbesar dengan julukan ‘Mawar kota Baghdad’ adalah keturunan Hasan melalui cucunya Abdullah bin Hasan al-Muthanna.

Persia hingga ke arah Timur seperti India sampai Asia Tenggara (termasuk Indonesia) didominasi para ulama dari keturunan Husain bin Ali. Bedanya, ulama Ahlul Bait di tanah Parsi banyak dari keturunan Musa al-Kadzim bin Ja'far ash-Shadiq seperti Ayatullah Ruhollah Khomeini karena itu ia juga bergelar Al-Musawi karena keturunan dari Imam Musa al-Kadzim, sedangkan di Hadramaut (Yaman), Gujarat dan Malabar (India) hingga Indonesia ulama Ahlul Baitnya banyak dari keturunan Ali Uraidhi bin Jafar ash-Shadiq terutama melalui jalur Syekh Muhammad Shahib Mirbath dan Imam Muhammad Faqih Muqaddam ulama dan sufi terbesar Hadramaut di zamannya (abad 12-13M).

Walaupun sebagian besar keturunan Ahlul Bait yang ada di Nusantara termasuk Indonesia adalah dari Keturunan Husain bin Ali namun terdapat juga yang merupakan Keturunan dari Hasan bin Ali, bahkan Keturunan Hasan bin Ali yang ada di Nusantara ini sempat memegang pemerintahan secara turun temurun di beberapa Kesultanan di Nusantara ini yaitu Kesultanan Brunei, Kesultanan Sambas dan Kesultanan Sulu sebagaimana yang tercantum dalam Batu Tarsilah / Prasasti dan beberapa Makam dan juga Manuscript yang tersebar di Brunei, Sambas (Kalimantan Barat) dan Sulu (Selatan Filipina)yaitu melalui jalur Sultan Syarif Ali (Sultan Brunei ke-3) yang merupakan keturunan dari Syarif Abu Nu'may Al Awwal. Sementara dari keturunan [Husain bin Ali] memegang kesultan di Jawa bagian barat, yang berasal dari [Syarif Hidayatulah] yaitu [Kesultanan Cirebon] (yang kemudian pecah menjadi tiga kerajaan, Kesultanan Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan) dan [Kesultanan Banten]. Sebagai kerurunan Syarif Hidayatulah keturunan merekapun berhak menyandang gelar Syarif/Syarifah, namun dari keturunan [Syarif Hidayatullah] gelar tersebut akhirnya dilokalisasi menjadi Pangeran,[Tubagus]]/Ratu (Banten),Raden (Sukabumi, Bogor),Ateng (Cianjur), Aceng (Garut)

Mazhab yang dianut

Mazhab yang dianut para ulama keturunan Husain pun terbagi dua; di Iran, Iraq dan sekitarnya menganut Syi’ah, sedangkan di Yaman, India hingga Indonesia menganut Sunni yang condong kepada tasawuf). Para ulama keturunan Hasan dari Mesir hingga Maroko hampir semuanya adalah kaum Sunni yang condong kepada tasawuf.

Referensi

  1. ^ AL-ALBANI, M. Nashiruddin; Ringkasan Shahih Muslim. Jakarta: Gema Insani Press, 2005. ISBN 979-561-967-5. Hadist no. 1656
  2. ^ AL-ALBANI, M. Nashiruddin; Ringkasan Shahih Muslim. Jakarta: Gema Insani Press, 2005. ISBN 979-561-967-5. Hadist no. 1657
  3. ^ karamallahu wajhah
  4. ^ Syi'ah dalam Sunnah, Mencari Titik Temu yang terabaikan; Mudarrisi Yazdi; hal. 28
  5. ^ Syi'ah dalam Sunnah, Mencari Titik Temu yang terabaikan; Mudarrisi Yazdi; hal. 29
  6. ^ (Inggris)Genealogi Raja Maroko di Royal Ark