Kekaisaran Romawi Timur
Kekaisaran Romawi Timur atau Kekaisaran Bizantium (ejaan lain: Bizantin, Byzantin, Byzantine) adalah wilayah timur Kekaisaran Romawi yang terutama berbahasa Yunani[1] pada Abad Kuno dan Pertengahan. Penduduk dan tetangga-tetangga Kekaisaran Bizantium menjuluki negeri ini Kekaisaran Romawi atau Romania (Yunani: Ῥωμανία, Rhōmanía). Kekaisaran ini berpusat di Konstantinopel, dan dikuasai oleh kaisar-kaisar yang merupakan pengganti kaisar Romawi kuno setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat. Tidak ada konsensus mengenai tanggal pasti dimulainya periode Romawi Timur. Beberapa orang menyebut masa kekuasaan Diokletianus (284-305) dikarenakan reformasi-reformasi pemerintahan yang ia perkenalkan, yang membagi kerajaan tersebut menjadi pars Orientis dan pars Occidentis. Pihak lainnya menyebut masa kekuasaan Theodosius I (379-395), atau setelah kematiannya pada tahun 395, saat kekaisaran terpecah menjadi bagian Timur dan Barat. Ada juga yang menyebut tahun 476, ketika Roma dijajah untuk ketiga kalinya dalam seabad yang menandakan jatuhnya Barat (Latin), dan mengakibatkan kaisar di Timur (Yunani) mendapatkan kekuasaan tunggal.[2] Bagaimanapun juga, titik penting dalam sejarah Romawi Timur adalah ketika Konstantinus yang Agung memindahkan ibukota dari Nikomedia (di Anatolia) ke Byzantium (yang akan menjadi Konstantinopel) pada tahun 330.
Kekaisaran Romawi Ῥωμανία Rhōmanía Romania Imperium Romanum | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
330–1453 | |||||||||
Lambang kekaisaran di bawah Palaiologos
| |||||||||
Perkembangan wilayah Kekaisaran | |||||||||
Status | Kekaisaran | ||||||||
Ibu kota | Konstantinopel | ||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Yunani, Latin | ||||||||
Agama | Paganisme Romawi hingga tahun 391, Ortodoks Timur ditoleransi setelah Edictum Mediolanense tahun 313, dan menjadi agama negara setelah tahun 380 | ||||||||
Pemerintahan | Otokrasi | ||||||||
Kaisar | |||||||||
• 306–337 | Konstantinus yang Agung | ||||||||
• 1449–1453 | Konstantinus XI | ||||||||
Legislatif | Senat | ||||||||
Era Sejarah | Abad Kuno-Akhir Abad Pertengahan | ||||||||
• Diokletianus memecah pemerintahan kekaisaran antara barat dan timur | 285 | ||||||||
• Pendirian Konstantinopel | 11 Mei 330 | ||||||||
• Penjatuhan Romulus Augustulus, Kaisar Romawi Barat | 476 | ||||||||
• Skisma Timur-Barat | 1054 | ||||||||
• Jatuhnya Konstantinopel ke tangan Tentara Salib | 1204 | ||||||||
• Penaklukan kembali Konstantinopel | 1261 | ||||||||
29 Mei 1453 | |||||||||
• Jatuhnya Trebizond | 1461 | ||||||||
Populasi | |||||||||
• Abad ke-4 | 34.000.000 | ||||||||
• Abad ke-8 (780 AD) | 7.000.000 | ||||||||
• Abad ke-11 (1025 AD) | 12.000.000 | ||||||||
• Abad ke-12 (1143 AD) | 10.000.000 | ||||||||
• Abad ke-13 (1281 AD) | 5.000.000 | ||||||||
Mata uang | Solidus, Hyperpyron | ||||||||
| |||||||||
Sekarang bagian dari | Albania Aljazair Armenia Bosnia dan Herzegovina Bulgaria Georgia Gibraltar Israel Italia Kroasia Lebanon Libya Malta Mesir Montenegro Perancis Republik Makedonia Rumania San Marino Serbia Siprus Slovenia Spanyol Suriah Tunisia Turki Ukraina Vatikan Yordania Yunani | ||||||||
Negeri ini berdiri selama lebih dari ribuan tahun. Selama keberadaannya, Bizantium merupakan kekuatan ekonomi, budaya, dan militer yang kuat di Eropa, meskipun terus mengalami kemunduran, terutama pada masa Peperangan Romawi-Persia dan Bizantium-Arab. Kekaisaran ini direstorasi pada masa Dinasti Makedonia, bangkit sebagai kekuatan besar di Mediterania Timur pada akhir abad ke-10, dan mampu menyaingi Kekhalifahan Fatimiyah. Setelah tahun 1071, sebagian besar Asia Kecil direbut oleh Turki Seljuk. Restorasi Komnenos berhasil memperkuat dominasi pada abad ke-12, tetapi setelah kematian Andronikos I Komnenos dan berakhirnya Dinasti Komnenos pada akhir abad ke-12, kekaisaran kembali mengalami kemunduran. Bizantium semakin terguncang pada masa Perang Salib Keempat tahun 1204, ketika kekaisaran ini dibubarkan secara paksa dan dipisah menjadi kerajaan-kerajaan Yunani dan Latin yang saling berseteru. Kekaisaran berhasil didirikan kembali pada tahun 1261, di bawah pimpinan kaisar-kaisar Palaiologos, tetapi perang saudara pada abad ke-14 terus melemahkan kekuatan kekaisaran. Sisa wilayahnya dicaplok oleh Kesultanan Utsmaniyah dalam Peperangan Bizantium-Utsmaniyah. Akhirnya, Konstantinopel berhasil direbut oleh Utsmaniyah pada tanggal 29 Mei 1453, menandai berakhirnya Kekaisaran Romawi Timur.
Tata nama
Kekaisaran ini mulai disebut "Bizantium" di Eropa Barat pada tahun 1557, ketika sejarawan Jerman Hieronymus Wolf menerbitkan karyanya yang berjudul Corpus Historiæ Byzantinæ. Istilah "Bizantium" berasal dari kata "Byzantium", yaitu nama kota Konstantinopel sebelum menjadi ibukota Konstantinus yang Agung. Semenjak itu, nama lama ini jarang digunakan, kecuali dalam konteks sejarah dan puisi. Selanjutnya, Byzantine du Louvre (Corpus Scriptorum Historiæ Byzantinæ) tahun 1648 dan Historia Byzantina karya Du Cange tahun 1680 semakin memopulerkan istilah Bizantium di antara pengarang-pengarang Perancis, seperti Montesquieu.[3] Istilah ini kemudian menghilang hingga pada abad ke-19 ketika orang-orang Barat kembali menggunakannya.[4] Sebelumnya, istilah Yunani-lah yang digunakan untuk kekaisaran ini.
Negeri ini dijuluki oleh penduduknya dengan nama Kekaisaran Romawi, Kekaisaran Orang-orang Romawi (Latin: Imperium Romanum, Imperium Romanorum, Yunani: Βασιλεία τῶν Ῥωμαίων, Basileía tôn Rhōmaíōn, Αρχη τῶν Ῥωμαίων, Arche tôn Rhōmaíōn), Romania[n 1] (Latin: Romania, Yunani: Ῥωμανία, Rhōmanía), Republik Romawi (Latin: Res Publica Romana, Yunani: Πολιτεία τῶν Ῥωμαίων, Politeίa tôn Rhōmaíōn),[6] Graikía (Yunani: Γραικία),[7] dan juga Rhōmaís (Ῥωμαΐς).[8]
Meskipun Kekaisaran Romawi Timur memiliki ciri multietnis dalam sejarahnya,[9] serta menjaga tradisi Romawi-Helenistik,[10] negeri ini dikenal oleh negeri-negeri barat dan utara pada masanya dengan nama Kekaisaran Orang-orang Yunani[n 2] karena kuatnya pengaruh Yunani.[11] Penggunaan istilah Kekaisaran Orang-orang Yunani (Latin: Imperium Graecorum) di Barat merupakan lambang penolakan klaim Bizantium sebagai Kekaisaran Romawi.[12] Klaim Romawi Timur terhadap pewarisan Romawi ditentang di Barat pada masa Maharani Irene dari Athena, karena pengangkatan Karel yang Agung sebagai Kaisar Romawi Suci pada tahun 800 oleh Paus Leo III, yang memandang takhta Romawi kosong (tidak ada penguasa laki-laki). Paus dan penguasa dari Barat lebih menyukai istilah Imperator Romaniæ daripada Imperator Romanorum, gelar yang digunakan hanya untuk Karel yang Agung dan penerus-penerusnya.[13]
Sementara itu, pada peradaban Persia, Islam, dan Slavia, identitas Romawi negeri ini diakui. Di dunia Islam, Kekaisaran Romawi Timur dikenal dengan nama روم (Rûm "Roma").[14][15]
Dalam atlas-atlas sejarah modern, kekaisaran ini biasanya dijuluki Kekaisaran Romawi Timur pada periode antara 395 hingga 610. Pada peta-peta yang menggambarkan Kekaisaran setelah tahun 610, istilah Kekaisaran Bizantium biasanya dipakai, karena pada tahun 620, kaisar Heraklius mengganti bahasa resmi kekaisaran dari Latin ke Yunani.[16]
Jati diri
"Bizantium bisa didefinisikan sebagai kekaisaran multi-etnis yang muncul sebagai kekaisaran Kristen, yang kemudian segera terdiri dari kekaisaran Timur yang sudah di-Helenisasi dan mengakhiri sejarah ribuan tahunnya, pada 1453, sebagai Negara Ortodoks Yunani: Sebuah kerajaan yang menjadi negara, hampir dengan arti modern kata tersebut".1
Dalam abad-abad setelah penjajahan Arab dan Langobardi pada abad ke-7, sifat multi-etnisnya (meski bukan multi-bangsa) tetap ada meskipun bagian-bagiannya, Balkan dan Asia Kecil, mempunyai populasi Yunani yang besar. Etnis minoritas dan komunitas besar beragama lain (misalnya bangsa Armenia) tinggal dekat perbatasan. Rakyat Romawi Timur menganggap diri mereka adalah seorang Ρωμαίοι (Rhomaioi - Romawi) yang telah menjadi sinonim bagi seorang Έλλην (Hellene - Yunani), dan secara giat mengembangkan kesadaran diri sebagai negara, sebagai penduduk Ρωμανία (Romania, yang merupakan panggilan bagi Negara Romawi Timur dan dunianya). Hal ini secara jelas tampil dalam karya sastra pada periode tersebut, terutamanya dalam wiracarita seperti Digenes Akrites.
Peleburan resmi negara Romawi Timur pada abad ke-15 tidak secara langsung menghancurkan masyarakat Romawi Timur. Pada masa pendudukan Turki, orang-orang Yunani terus memanggil diri mereka sebagai Ρωμαίοι (bangsa Romawi) dan Έλληνες (bangsa Yunani), sebuah ciri-ciri yang tetap ada hingga awal abad ke-21 dan masih ada di Yunani modern kini, meski “Romawi” telah menjadi nama “rakyat” daripada sinonim bangsa seperti zaman dulu.
Sejarah
Sejarah awal Kekaisaran Romawi
Pasukan Romawi ketika itu telah berhasil menguasai daerah luas yang melingkupi seluruh wilayah Mediterania dan sebagian besar Eropa Timur. Wilayah-wilayah ini terdiri dari berbagai kelompok budaya, baik yang masih primitif maupun yang telah memiliki peradaban maju. Secara umum, provinsi-provinsi di wilayah Mediterania timur lebih makmur dan maju karena telah mengalami perkembangan pesat pada masa Kekaisaran Makedonia serta telah mengalami proses hellenisasi. Sementara itu, provinsi di wilayah Barat kebanyakan hanya berupa pedesaan yang tertinggal. Perbedaan antara kedua wilayah ini bertahan lama dan menjadi penting di tahun-tahun berikutnya.[17]
Pemisahan Kekaisaran Romawi
Pada tahun 293, Diokletianus menciptakan sistem administratif yang baru (tetrarki),[18] sebagai institusi yang dimaksudkan untuk mengefisienkan kontrol Kekaisaran Romawi yang luas. Ia membagi Kekaisaran menjadi dua bagian, dengan dua kaisar memerintah dari Italia dan Yunani, masing-masing memiliki wakil-kaisar. Setelah masa kekuasaan Diokletianus dan Maximianus berakhir, tetrarki runtuh, dan Konstantinus I menggantinya dengan prinsip penggantian turun temurun.[19]
Konstantinus memindahkan pusat kekaisaran, dan membawa perubahan-perubahan penting pada konstitusi sipil dan religius.[20] Pada tahun 330, ia mendirikan Konstantinopel sebagai Roma kedua di Byzantium. Posisi kota tersebut strategis dalam perdagangan antara Timur dan Barat. Sang kaisar memperkenalkan koin (solidus emas) yang bernilai tinggi dan stabil,[21] serta and mengubah struktur angkatan bersenjata. Di bawah Konstantinus, kekuatan militer kekaisaran kembali pulih. Periode kestabilan dan kesejahteraan pun dapat dinikmati.
Di bawah Konstantinus, Kekristenan tidak menjadi agama eksklusif negara, tetapi didukung oleh kekaisaran, apalagi sang kaisar mendukungnya dengan hak-hak yang berlimpah. Sang kaisar memperkenalkan prinsip bahwa kaisar tidak perlu menyelesaikan pertanyaan doktrin, tetapi perlu memanggil dewan-dewan kegerejaan untuk tujuan itu. Synod Arles dihimpunkan oleh Konstantinus, dan Konsili Nicea Pertama memamerkan klaimnya untuk menjadi kepala gereja.[23]
Keadaan kekaisaran tahun 395 dapat dikatakan sebagai hasil kerja Konstantinus. Prinsip dinasti diterapkan dengan tegas sehingga kaisar yang meninggal pada masa itu, Theodosius I, dapat mewariskan kekaisaran pada anak-anaknya: Arcadius di Barat dan Honorius di Timur. Theodosius merupakan kaisar terakhir yang menguasai seluruh Romawi Barat dan Timur.[24]
Kekaisaran Timur terhindar dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh Barat pada abad ketiga dan keempat, karena Timur memiliki budaya urban yang lebih mapan dan sumber daya finansial yang lebih kuat, sehingga mampu menghentikan penyerang dengan upeti dan menyewa tentara-tentara bayaran. Theodosius II memperkuat tembok Konstantinopel, sehingga kota tersebut aman dari serangan-serangan; tembok tersebut tidak dapat ditembus hingga tahun 1204. Untuk mengusir orang-orang Hun yang berada di bawah pimpinan Attila, Theodosius memberi mereka subsidi (konon 300 kg (700 lb) emas).[25] Moreover, he favored merchants living in Constantinople who traded with the Huns and other foreign groups.
Penerusnya, Marcianus, menolak melanjutkan membayar upeti ini. Beruntungnya, Attila telah mengalihkan perhatiannya pada Kekaisaran Romawi Barat.[26] Setelah kematiannya tahun 453, negeri Attila runtuh dan Konstantinopel membuka hubungan yang menguntungkan dengan orang-orang Hun yang tersisa. Mereka akhirnya bertempur sebagai tentara bayaran dalam angkatan bersenjata Bizantium.[27]
Setelah jatuhnya Attila, perdamaian dapat dinikmati di Romawi Timur, sementara Romawi Barat runtuh (keruntuhannya tercatat pada tahun 476, ketika jenderal Romawi Jermanik Odoacer menjatuhkan kaisar Romulus Augustulus).
Untuk merebut kembali Italia, kaisar Zeno hanya bisa bernegosiasi dengan Ostrogoth yang telah menetap di Moesia. Ia mengirim raja Ostrogoth Theodoric ke Italia sebagai magister militum per Italiam ("kepala komando untuk Italia"). Setelah berhasil menjatuhkan Odoacer pada tahun 493, Theodoric menguasai Italia.[24]
Pada tahun 491, Anastasius I menjadi kaisar. Ia adalah seorang reformis energetik dan administrator yang cakap. Anastasius menyempurnakan sistem koin Konstantinus I dengan mengatur bobot follis perunggu, koin yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari.[28] Ia juga mengubah sistem perpajakan, serta menghapuskan pajak chrysargyron yang tidak disukai. Ketika Anastasius meninggal dunia pada tahun 518, jumlah kas negara tercatat sebesar 320.000 lbs (145.150 kg) emas.[29]
Penaklukan kembali Romawi Barat
Yustinianus I, yang naik takhta pada tahun 527, melancarkan penaklukan kembali Romawi Barat.[30] Pada tahun 532, putra petani Illyria itu menandatangani perjanjian damai dengan Khosrau I dari Persia. Meskipun harus membayar upeti tahunan yang besar, front timur Bizantium menjadi aman. Pada tahun yang sama, Yustinianus selamat dari kerusuhan Nika di Konstantinopel, yang berakhir dengan kematian tiga puluh ribu perusuh. Kemenangan ini memperkuat posisi Yustinianus.[31] Paus Agapetus I dikirim ke Konstantinopel oleh raja Ostrogoth Theodahad, tetapi gagal mencapai kesepakatan perdamaian dengan Yustinianus. Akan tetapi, ia berhasil membuat monofisitisme dicela.
Penaklukan kembali Romawi Barat dimulai pada tahun 533. Yustinianus mengirim jenderalnya Belisarius dan 15.000 tentara untuk merebut kembali provinsi Afrika dari suku Vandal. Kerajaan Vandal berhasil ditundukkan. Sementara itu, di Italia Ostrogoth, raja Athalaric pada 2 Oktober 534. Ibunya, Amalasuntha, dipenjarakan dan dibunuh oleh Theodahad di pulau Martana. Yustinianus melihatnya sebagai kesempatan untuk melakukan intervensi. Pada tahun 535, tentara Bizantium dikirim ke Sisilia. Kemenangan berhasil digapai, tetapi Ostrogoth memperkuat perlawanan mereka. Kemenangan baru benar-benar dicapai pada tahun 540, ketika Belisarius merebut Ravenna.[32]
Sayangnya, Ostrogoth berhasil disatukan kembali di bawah pimpinan Totila dan merebut Roma pada 17 Desember 546. Belisarius ditarik oleh Yustinianus pada awal tahun 549.[33] Kasim Narses menggantikannya pada akhir tahun 551 dengan membawa tentara sejumlah 35.000. Totila berhasil dikalahkan dan tewas dalam Pertempuran Busta Gallorum. Penerusnya, Teia, berhasil ditaklukan dalam Pertempuran Mons Lactarius (Oktober 552). Selanjutnya, suku Goth masih terus melawan. Suku Franka dan Alamanni pun melancarkan invasi mereka. Meskipun begitu, perang untuk menguasai semenanjung Italia telah berakhir dengan kemenangan Romawi Timur.[34]
Pada tahun 551, bangsawan Visigoth di Hispania, Athanagild, memohon bantuan Yustinianus dalam pemberontakan melawan raja. Sang kaisar mengirim tentara di bawah pimpinan Liberius. Kekaisaran Bizantium berhasil menguasai sepotong wilayah di pantai Spania hingga masa kekuasaan Heraklius.[35]
Sementara itu, di timur, Peperangan Romawi-Persia berkecamuk hingga tahun 561, ketika Yustinianus dan Khosrau menyetujui perdamaian selama 50 tahun. Pada pertengahan tahun 550, Yustinianus telah mencapai kemenangan dalam semua peperangan, dengan pengecualian di Balkan, ketika kekaisaran terus menerus diserang oleh bangsa Slavia. Pada tahun 559, kekaisaran diancam oleh Kutrigur dan Sklavinoi. Yustinianus memanggil Belisarius, dan begitu bahaya telah sirna, sang kaisar mengambil alih kekuasaan sendiri. Berita bahwa Yustinianus memperkuat armada Donaunya membuat Kutrigur cemas, sehingga mereka setuju dengan traktat yang memberi mereka subsidi dan jalur yang aman di sungai.[31]
Yustinianus juga terkenal karena pencapaiannya dalam bidang hukum.[36] Pada tahun 529, komisi berjumlah sepuluh orang yang dikepalai oleh Iohannis Orientalis merevisi undang-undang Romawi kuno. Seluruh "undang-undang Yustinianus" saat ini dikenal dengan nama Corpus Juris Civilis.
Selama abad ke-6, budaya Yunani-Romawi masih berpengaruh kuat di Timur. Filsafat dan budaya Kristen menjadi semakin penting dan mulai mendominasi budaya lama. Himne-himne yang Romanus Melodus menandai pengembangan Liturgi Ketuhanan. Aristek-arsitek dan pembangun bekerja keras untuk menyelesaikan gereja baru Hagia Sophia yang menggantikan gereja lama yang hancur akibat kerusuhan Nika. Selama abad keenam dan ketujuh, kekaisaran diguncang oleh wabah pes, yang membinasakan banyak jiwa, serta mengakibatkan kemunduran ekonomi dan pelemahan kekaisaran.[37]
Setelah Yustinianus mangkat pada tahun 565, penggantinya, Yustinus II, menolak membayar upeti untuk Persia. Sementara itu, suku Lombard menyerbu Italia. Pengganti Yustinus, Tiberius II, memberi subsidi kepada suku Avar, sementara melancarkan serangan terhadap Persia. Subsidi gagal menenangkan suku Avar. Mereka merebut benteng Sirmium tahun 582, sementara bangsa Slavia mulai menyeberangi sungai Donau. Maurice, yang menggantikan Tiberius, turut campur dalam perang saudara Persia, serta menempatkan Khosrau II kembali ke takhta dan menikahkan putrinya dengannya. Traktat Maurice dengan ipar barunya membawa status quo baru di timur, dan mengurangi biaya pertahanan selama perdamaian ini (jutaan solidi berhasil diselamatkan berkat remisi upeti untuk Persia). Setelah kemenangannya di front timur, Maurice dapat mengalihkan perhatiannya ke Balkan, dan pada tahun 602, ia berhasil mengusir suku Avar dan Slavia.[24]
Menyusutnya perbatasan
Dinasti Heraklius
Setelah Maurice dibunuh oleh Phocas, Khosrau mencoba menaklukan provinsi Mesopotamia Romawi.[38] Phocas, seorang pemimpin tak populer yang dideskripsikan sebagai "tiran" dalam sumber-sumber Bizantium, merupakan target konspirasi-konspirasi senat. Ia dijatuhkan pada tahun 610 oleh Heraklius.[39] Setelah Heraklius berkuasa, tentara Persia terus mendesak hingga memasuki Asia Kecil. Mereka menduduki Damaskus dan Yerusalem, serta memindahkan Salib Sesungguhnya ke Ctesiphon.[40] Heraklius melancarkan serangan balasan dengan ciri perang suci. Tentara Romawi Timur berperang dengan membawa citra acheiropoietos Kristus sebagai panji militer.[41] Tentara Persia berhasil dihancurkan dalam pertempuran di Ninewe tahun 627. Pada tahun 629, Heraklius mengembalikan Salib Sesungguhnya ke Yerusalem dalam upacara yang penuh keagungan.[42] Perang ini melemahkan Bizantium dan Sassaniyah Persia, serta membuat keduanya rentan terhadap serangan tentara-tentara Muslim Arab yang sedang bangkit pada masa itu.[43] Tentara Arab berhasil menghancurkan tentara Romawi Timur dalam Pertempuran Yarmuk tahun 636, dan Ctesiphon jatuh pada tahun 634.[44]
Tentara Arab, yang telah menaklukan Suriah dan Levant, terus menerus menyerang Anatolia, dan antara tahun 674 hingga 678 mengepung Konstantinopel. Armada Arab berhasil diusir dengan menggunakan api Yunani, dan gencatan senjata selama tiga puluh tahun disetujui antara kekaisaran dengan Kekhalifahan Umayyah.[45] Serangan terhadap Anatolia terus berlanjut, dan mempercepat matinya budaya urban klasik. Penduduk-penduduk banyak yang membentengi kembali wilayah-wilayah yang lebih kecil dalam benteng kota lama, atau pindah ke benteng-benteng terdekat.[46] Besar Konstantinopel sendiri juga menyusut, dari 500.000 penduduk menjadi hanya 40.000-70.000 saja, yang disebabkan karena Konstantinopel kehilangan sumber gandum pada tahun 618 ketika Mesir direbut oleh Persia (provinsi ini dapat direbut kembali tahun 629, tetapi akhirnya dikuasai oleh Arab pada tahun 642).[47]
Penarikan tentara di Balkan untuk bertempur melawan Persia dan Arab di timur telah membuka pintu bagi perluasan wilayah bangsa Slavia. Akibatnya, seperti di Anatolia, banyak kota menyusut menjadi permukiman terbenteng yang kecil.[48] Pada tahun 670-an, bangsa Bulgaria didesak ke selatan sungai Donau oleh bangsa Khazar. Tentara Bizantium yang dikirim untuk membubarkan permukiman-permukiman baru ini dikalahkan pada tahun 680. Konstantinus IV lalu menandatangani perjanjian dengan khan Bulgaria Asparukh, dan negara Bulgaria baru memperoleh kedaulatan atas beberapa suku-suku Slavia yang sebelumnya mengakui kekuasaan Bizantium.[49] Pada tahun 687–688, kaisar Yustinianus II memimpin ekspedisi melawan Slavia dan Bulgaria yang cukup berhasil.[50]
Kaisar Heraklius terakhir, Yustinianus II, mencoba menghancurkan kekuatan aristokrasi perkotaan melalui perpajakan dan penunjukkan "orang luar" dalam jabatan-jabatan administratif. Ia dijatuhkan pada tahun 695, dan berlindung ke bangsa Khazar, lalu Bulgaria. Pada tahun 705, Yustinianus II kembali ke Konstantinopel bersama tentara khan Bulgaria, Tervel. Ia merebut kembali takhta, dan mendirikan rezim teror bagi musuh-musuhnya. Yustinianus II dijatuhkan kembali pada tahun 711, sehingga berakhirlah Dinasti Heraklius.[51]
Dinasti Isauria hingga masa saat Basil I naik takhta
Leo III berhasil mengusir serangan Muslim tahun 718, dan menggapai kemenangan dengan bantuan dari khan Bulgaria, Tervel, yang berhasil membunuh 32.000 pasukan Arab dengan tentaranya. Penerusnya, Konstantinus V, mencapai kemenangan di Suriah utara, dan melemahkan kekuatan Bulgaria.
Pada tahun 826, Arab merebut Kreta, dan menyerang Sisilia, tetapi pada 3 September 863, jenderal Petronas berhasil menggapai kemenangan besar dalam pertempuran melawan Umar al-Aqta, emir Melitene. Di bawah kepemimpinan kaisar Bulgaria Krum, ancaman Bulgaria muncul kembali, tetapi pada tahun 814, putra Krum, Omortag, berdamai dengan Kekaisaran Bizantium.[52]
Abad kedelapan dan kesembilan kental dengan kontroversi dan perpecahan religius akibat ikonoklasme. Ikon-ikon dilarang oleh Leo III dan Konstantinus V, yang mengakibatkan pemberontakan yang dilancarkan oleh ikonodul (pendukung ikon) di seluruh kekaisaran. Atas upaya Maharani Irene, Konsili Nicea Kedua dihimpunkan tahun 787, dan menegaskan bahwa ikon dapat dihormati tetapi tidak disembah. Pada tahun 813, Leo V menetapkan kembali kebijakan ikonoklasme, namun Maharani Theodora memulihkan pemujaan ikon dengan bantuan Patriark Methodios pada tahun 843.[53] Ikonoklasme memperlebar jurang perpecahan antara Timur dan Barat, yang semakin memburuk pada masa skisma Photios, ketika Paus Nikolas I menentang pengangkatan Photios sebagai patriark.
Dinasti Makedonia dan kebangkitan
Peperangan melawan Muslim
Pada tahun 867, Romawi Timur telah menstabilkan kembali posisinya di timur dan barat. Berkat efisiensi pada struktur militer, kaisar mampu merencanakan perang penaklukan kembali di timur.
Proses penaklukan kembali dimulai dengan hasil yang tak tetap. Kreta berhasil ditaklukan untuk sementara (843), tetapi selanjutnya tentara Bizantium mengalami kekalahan di Bosporus, sementara kaisar tak mampu mencegah penaklukan Muslim di Sisilia (827–902). Dengan menggunakan Tunisia sebagai batu loncatan, tentara Muslim menaklukan Palermo tahun 831, Messina tahun 842, Enna tahun 859, Siracusa tahun 878, Catania tahun 900, dan benteng Bizantium terakhir, Taormina, tahun 902.
Kekurangan tersebut segera diseimbangkan melalui keberhasilan ekspedisi terhadap Damietta di Mesir (856), dikalahkannya Emir Melitene (863), pemastian kekuasaan kekaisaran di Dalmatia (867), dan serangan Basil I terhadap Efrat (870s). Basil I mampu menangani situasi di Italia selatan dengan baik, sehingga provinsi tersebut akan tetap berada di tangan Bizantium selama 200 tahun berikutnya.
Pada tahun 904, bencana melanda kekaisaran ketika kota keduanya, Thessaloniki, dijarah oleh armada Arab yang dipimpin oleh pengkhianat Bizantium Leo dari Tripoli. Tentara Romawi Timur membalas dengan menghancurkan armada Arab tahun 908, serta menjarah kota Laodicea di Suriah dua tahun kemudian. Meskipun pembalasan telah dilakukan, Bizantium tak mampu mengguncang Muslim, yang telah menghancurkan tentara kekaisaran di Kreta tahun 911.
Situasi di perbatasan dengan Arab tetap cair. Varangia, yang menyerang Konstantinopel untuk pertama kalinya pada tahun 860, menjadi tantangan baru. Pada tahun 941, mereka muncul di pantai Bosporus bagian Asia. Kali ini mereka berhasil dihancurkan, menunjukkan menguatnya kekuatan militer Bizantium setelah tahun 907, ketika hanya diplomasi yang mampu mengusir penyerang-penyerang tersebut.
Kaisar Nikephoros II Phokas (berkuasa 963–969) dan Yohanes I Tzimiskes (969–976) memperluas wilayah kekaisaran hingga Suriah, menundukkan emir-emir di Irak barat laut, serta menaklukan kembali Kreta dan Siprus. Pada pemerintahan Yohanes, tentara kekaisaran sempat mengancam Yerusalem. Emirat Aleppo dan tetangga-tetangganya menjadi vassal kekaisaran. Setelah banyak melancarkan kampanye militer, ancaman Arab terakhir bagi Bizantium berhasil ditaklukan ketika Basil II dengan cepat menarik 40.000 tentara berkuda untuk membebaskan Suriah Romawi. Dengan surplus sumber daya alam, Basil II merencanakan ekspedisi ke Sisilia untuk merebutnya dari bangsa Arab. Setelah kematiannya tahun 1025, ekspedisi berangkat pada tahun 1040-an, dan berhasil menggapai keberhasilan awal, tetapi keberhasilan itu selanjutnya terhambat.
Peperangan melawan Kekaisaran Bulgaria
Pergumulan lama dengan Takhta Suci berlanjut, dipacu oleh pertanyaan keunggulan religius terhadap Bulgaria yang baru dikristenkan. Akibatnya, Tsar Simeon I melancarkan invasi pada tahun 894, tetapi berhasil dihentikan melalui diplomasi Bizantium, yang memohon bantuan dari bangsa Hongaria. Romawi Timur akhirnya dikalahkan dalam Pertempuran Bulgarophygon (896) dan diharuskan membayar upeti kepada bangsa Bulgaria. Selanjutnya (912), Simeon berhasil memaksa Bizantium menganugerahinya takhta basileus (kaisar) Bulgaria dan membuat Kaisar Konstantinus VII menikahi salah satu putri Simeon. Ketika pemberontakan di Konstantinopel menghambat upaya ini, Simeon menyerang Trakia dan menaklukan Adrianopel.[54]
Ekspedisi kekaisaran di bawah pimpinan Leo Phocas dan Romanos Lekapenos mengalami kekalahan besar dalam Pertempuran Acheloos (917), dan pada tahun berikutnya Bulgaria memasuki dan merampok Yunani utara hingga sejauh Korintus. Adrianopel berhasil direbut kembali pada tahun 923, tetapi pada tahun 924 tentara Bulgaria mengepung Konstantinopel. Situasi di Balkan membaik setelah kematian Simeon tahun 927. Pada tahun 968, Bulgaria diserbu oleh Rus' di bawah pimpinan Sviatoslav I dari Kiev. Tiga tahun kemudian, Kaisar Yohanes I Tzimiskes berhasil mengalahkan bangsa Rus' dan memasukkan wilayah Bulgaria timur ke dalam kekaisaran.
Perlawanan Bulgaria berkecamuk pada masa dinasti Cometopuli. Kaisar baru Basil II (berkuasa 976–1025) berupaya menundukkan bangsa Bulgaria. Ekspedisi pertama Basil mengalami kegagalan di Gerbang Trajanus. Pada tahun-tahun berikutnya, kaisar sibuk dengan pemberontakan internal di Anatolia, sementara Bulgaria memperluas kekuasaan mereka di Balkan. Perang berlarut selama hampir dua puluh tahun. Kemenangan Romawi Timur di Spercheios dan Skopje berhasil melemahkan tentara Bulgaria. Dalam kampanye militer tahunannya, Basil terus mengurangi jumlah benteng Bulgaria. Akhirnya, dalam Pertempuran Kleidion tahun 1014, Bulgaria berhasil dikalahkan.[55] Tentara Bulgaria ditangkap, dan konon 99 dari 100 tentara dibutakan, sementara sisanya diberi satu mata untuk memimpin teman sebangsanya pulang. Ketika Tsar Samuil menyaksikan nasib tentaranya, ia meninggal akibat syok. Pada tahun 1018, benteng Bulgaria terakhir telah menyerah, dan negara mereka menjadi bagian dari Bizantium. Kemenangan ini merestorasi perbatasan Donau, yang tidak dikuasai semenjak masa kaisar Heraklius.[54]
Hubungan dengan Rus' Kiev
Antara tahun 850 hingga 1100, kekaisaran membina hubungan dengan Rus' Kiev. Bizantium merupakan mitra budaya dan perdagangan bagi Kiev, tetapi hubungan antara mereka tidak selalu hangat. Konflik paling serius antara kedua negara adalah perang 968–971 di Bulgaria. Serangan-serangan Rus' terhadap kota-kota Bizantium di pantai Laut Hitam dan Konstantinopel juga tercatat dalam sejarah. Meskipun serangan-serangan tersebut dapat dihalau, serangan itu berakhir dengan traktat perdagangan yang menguntungkan Rus'.
Hubungan Rus'-Bizantium membaik setelah pernikahan porphyrogenita Anna dengan Vladimir yang Agung. Berkat Kristenisasi pula, hubungan kedua negara semakin manis. Pendeta, arsitek, dan artis Bizantium diundang untuk membantu pengerjaan katedral dan gereja di Rus', sehingga pengaruh budaya Bizantium semakin luas. Beberapa tentara Rus' menjadi tentara bayaran dalam angkatan bersenjata Bizantium, dengan yang paling terkenal adalah Penjaga Varangia.
Puncak
Kekaisaran Bizantium membentang dari Armenia di timur hingga Calabria di barat.[54] Banyak keberhasilan telah digapai, dari penaklukan Bulgaria, aneksasi wilayah Georgia dan Armenia, hingga pemusnahan penyerang Mesir di luar Antiokhia. Kemenangan-kemenangan tersebut masih belum cukup; Basil mempertimbangkan untuk mengusir pendudukan Arab di Sisilia. Ia berencana menaklukan kembali pulau tersebut, tetapi kematian terlebih dahulu menuntut nyawanya tahun 1025.[54]
Krisis dan perpecahan
Bizantium segera terperosok dalam periode kesulitan, terutama diakibatkan oleh kerusakan sistem dan pengabaian militer. Nikephoros II (963–969), Yohanes Tzimiskes dan Basil II mengubah divisi militer (τάγματα, tagmata) dari angkatan bersenjata penduduk yang defensif menjadi tentara profesional yang banyak diisi oleh tentara bayaran. Akan tetapi, biaya yang harus dikeluarkan untuk menyewa tentara bayaran tidaklah sedikit. Sementara itu, ancaman invasi terus sirna pada abad kesepuluh, dan begitu pula kebutuhan garnisun dan perbentengan yang mahal.[56] Basil II mewarisi kas yang berkembang pada penerus-penerusnya, tapi lupa untuk merencanakan penerusnya. Tidak ada satupun penerusnya yang memiliki bakat politik atau militer, sehingga pemerintahan kekaisaran jatuh ke tangan pegawai negeri. Usaha untuk memulihkan ekonomi Bizantium hanya mengakibatkan inflasi dan menurunnya nilai koin emas. Angkatan bersenjata lalu dipandang sebagai kebutuhan yang tak penting dan ancaman politik. Maka dari itu, tentara asli dipecat dan digantikan oleh tentara bayaran asing.[57]
Pada masa yang sama, kekaisaran menghadapi musuh baru yang ambisius. Provinsi-provinsi Bizantium di Italia selatan diancam oleh suku Norman, yang datang ke Italia pada awal abad kesebelas. Selama periode perselisihan antara Konstantinopel dengan Roma yang berakhir dengan Skisma Timur-Barat tahun 1054, suku Norman mulai menyerbu Italia Bizantium.[58] Romawi Timur juga kehilangan pengaruh mereka atas kota-kota pantai di Dalmatia karena direbut Peter Krešimir IV dari Kroasia tahun 1069.[59]
Di Asia Kecil-lah bencana terbesar akan terjadi. Turki Seljuq melancarkan eksplorasi pertama mereka melintasi perbatasan Bizantium ke Armenia pada tahun 1065 dan 1067. Kedaruratan dibebankan pada aristokrasi militer di Anatolia yang pada tahun 1068 mengamankan pemilihan salah satu dari mereka sendiri, Romanos Diogenes, sebagai kaisar. Pada musim panas tahun 1071, Romanos melancarkan kampanye militer besar terhadap Seljuk. Pada Pertempuran Manzikert, Romanos tidak hanya menderita kekalahan di tangan Sultan Alp Arslan, tetapi juga ditangkap. Alp Arslan memperlakukannya dengan hormat, dan tidak mengenakan syarat-syarat keras pada Bizantium.[57] Sementara itu, di Konstantinopel, kudeta yang mendukung Michael Doukas berlangsung. Pada tahun 1081, Seljuk memperluas kekuasaan mereka di Anatolia. Wilayah mereka membentang dari Armenia di timur hingga Bithynia di barat. Ibukota Seljuk didirikan di Nicea, yang hanya terletak sejauh 55 mil (88 km) dari Konstantinopel.[60]
Dinasti Komnenos dan Tentara Salib
Alexios I dan Perang Salib Pertama
Setelah pertempuran Manzikert, berkat usaha dinasti Komnenos, pemulihan berhasil dilakukan.[61] Kaisar pertama dinasti ini adalah Isaac I (1057–1059), dan yang kedua adalah Alexios I. Pada masa kekuasaannya, Alexios menghadai serangan Norman yang dipimpin oleh Robert Guiscard dan putranya Bohemund dari Taranto. Mereka merebut Dyrrhachium dan Corfu, serta mengepung Larissa di Thessaly. Kematian Robert Guiscard pada tahun 1085 meringankan masalah Norman untuk sementara. Sementara itu, Alexios berhasil mengalahkan Pecheneg dalam Pertempuran Levounion pada tanggal 28 April 1091.[24]
Selepas mencapai kestabilan di Barat, Alexios dapat mengalihkan perhatiannya terhadap kesulitan ekonomi dan disintegrasi pertahanan lama kekaisaran.[62] Ia ingin merebut kembali wilayah yang lepas di Asia Kecil dan menghancurkan Seljuk, tetapi tidak mempunyai cukup tentara. Pada Konsili Piacenza tahun 1095, utusan Alexios berbicara kepada Paus Urbanus II mengenai penderitaan orang Kristen di Timur, dan menekankan bahwa tanpa bantuan dari Barat, mereka akan terus menderita akibat kekuasaan Muslim. Urban memandang permohonan Alexios sebagai kesempatan untuk memperkokoh Eropa Barat dan memperkuat kekuasaan kepausan.[63] Pada 27 November 1095, Paus Urbanus II menyerukan perang suci untuk merebut kembali Yerusalem dan Timur dari tangan Muslim.[24]
Alexios telah menantikan bantuan dalam bentuk tentara bayaran dari Barat, tetapi sama sekali tidak siap untuk menghadapi kekuatan besar yang akan melewati wilayah Bizantium. Alexios merasa tidak nyaman karena empat dari delapan pemimpin tentara salib utama adalah orang Norman, salah satunya Bohemund. Tentara Salib harus melewati Konstantinopel. Untungnya, kaisar berhasil menanganinya. Ia mengharuskan pemimpin-pemimpin perang salib bersumpah agar dalam perjalanan mereka menuju Tanah Suci, mereka harus menyerahkan wilayah atau kota yang mereka taklukan dari Turki kepada Romawi Timur. Sebagai gantinya, Alexios akan memberi mereka panduan, persediaan makanan, dan pengawalan militer.[64] Berkat sumpah itu, Alexios berhasil menguasai kembali kota-kota dan pulau-pulau penting, dan bahkan sebagian besar Asia Kecil barat. Sayangnya, tentara salib meyakini sumpah mereka sudah tidak berlaku ketika Alexios tidak membantu mereka dalam pengepungan Antiokhia (ia sebenarnya telah mempersiapkan jalan menuju Antiokhia, tetapi Stephen dari Blois meyakinkannya untuk mundur. Stephen meyakinkannya bahwa ekspedisi telah gagal).[65] Bohemund, yang menetapkan dirinya sebagai Pangeran Antiokhia, sempat berperang melawan Bizantium, tetapi akhirnya setuju untuk menjadi vassal Bizantium dalam Traktat Devol tahun 1108. Berkat traktat tersebut, ancaman Norman berhasil dipadamkan.[66]
Yohanes II, Manuel I, dan Perang Salib Kedua
Putra Alexios, Yohanes II Komnenos, menggantikannya tahun 1118, dan berkuasa hingga tahun 1143. Yohanes adalah seorang kaisar yang soleh dan berdedikasi, yang ingin memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh Pertempuran Manzikert.[67] Ia terkenal akan kesalehannya dan masa kekuasaannya yang lembut dan adil. Yohanes adalah contoh pemimpin bermoral, pada masa ketika kekejaman merupakan norma.[68] Maka, ia dijuluki sebagai Marcus Aurelius Bizantium. Pada masa kekuasaannya, Yohanes bersekutu dengan Kekaisaran Romawi Suci di Barat, mengalahkan Pecheneg dalam Pertempuran Beroia,[69] serta memimpin kampanye militer terhadap orang-orang Turki di Asia Kecil. Kampanye militer Yohanes mengubah keseimbangan kekuatan di timur, memaksa Turki mengambil posisi defensif, serta merebut kembali kota-kota Bizantium di Anatolia.[70] Ia juga berhasil mengusir serangan Hongaria dan Serbia pada tahun 1120-an. Pada tahun 1130, Yohanes bersekutu dengan kaisar Jerman Lothair III. Mereka bersama-sama berperang melawan raja Norman, Roger II dari Sisilia.[71] Pada masa akhir kekuasaannya, Yohanes memusatkan kegiatannya di Timur. Ia mengalahkan emirat Danishmend, menaklukan kembali seluruh Cilicia, dan memaksa Raymond dari Poitiers, Pangeran Antiokhia, untuk mengakui kekuasaan Bizantium. Dalam upaya untuk menunjukkan peran Romawi Timur sebagai pemimpin dalam dunia Kristen, Yohanes maju ke Tanah Suci. Harapannya pupus karena pengkhianatan sekutu tentara salibnya.[72] Pada tahun 1142, Yohanes kembali menekankan klaimnya terhadap Antiokhia, tetapi ia wafat pada tahun 1143 akibat insiden berburu. Raymond memberanikan diri menyerang Cilicia, tetapi gagal dan terpaksa pergi ke Konstantinopel untuk memohon belas kasihan kaisar yang baru.[73]
Manuel I Komnenos, putra keempat Yohanes, terpilih sebagai penerus takhta kekaisaran. Ia melancarkan kampanye militer terhadap tetangga-tetangganya di barat dan timur. Di Palestina, ia bersekutu dengan Kerajaan Yerusalem, dan mengirim armada besar untuk ikut serta dalam invasi ke Mesir Fatimiyyah. Manuel memperkuat posisinya sebagai maharaja negara-negara Tentara Salib. Hegemoninya terhadap Antiokhia dan Yerusalem dipastikan melalui persetujuan dengan Raynald, Pangeran Antiokhia, dan Amalric, Raja Yerusalem.[74] Dalam upaya untuk merestorasi kekuasaan Bizantium di pelabuhan-pelabuhan Italia Selatan, Manuel mengirim ekspedisi ke Italia tahun 1155, tetapi sengketa dengan koalisi mengakibatkan kegagalan kampanye militer ini. Meskipun begitu, angkatan bersenjata Manuel berhasil menyerbu Kerajaan Hongaria tahun 1167. Tentara Hongaria dapat dikalahkan dalam Pertempuran Sirmium. Pada tahun 1168, hampir seluruh pantai Adriatik timur berada di tangan Manuel.[75] Manuel lalu bersekutu dengan Paus dan kerajaan-kerajaan Kristen Barat. Pada masa Perang Salib Kedua, tentara salib harus melewati wilayah Romawi Timur untuk mencapai tanah suci. Manuel membiarkan mereka lewat, dan memastikan tentara salib tidak menyebabkan kekacauan.[76]
Di timur, Manuel menderita kekalahan dalam Pertempuran Myriokephalon tahun 1176. Akan tetapi, kekalahan itu segera diperbaiki. Pada tahun berikutnya, Manuel berhasil mengalahkan tentara Turki.[77] Komandan Romawi Timur Yohanes Vatatzes, yang menghancurkan penyerang Turki dalam Pertempuran Hyelion dan Leimocheir, tidak hanya membawa pasukan dari ibukota, tetapi juga berhasil mengumpulkan tentara dalam perjalanan. Hal ini merupakan lambang bahwa tentara Bizantium tetap kuat dan program pertahanan di Asia Kecil barat masih berhasil.[78]
Renaisans abad keduabelas
Yohanes dan Manuel menerapkan kebijakan militer aktif, dan memanfaatkan sumber daya yang ada untuk pertahanan kota atau pengepungan. Kebijakan perbentengan agresif merupakan jatung kebijakan militer mereka.[79] Meskipun mengalami kekalahan di Myriokephalon, kebijakan Alexios, Yohanes, dan Manuel, berhasil memperluas wilayah kekaisaran, mencapai kestabilan perbatasan di Asia Kecil, serta mengamankan perbatasan Eropa kekaisaran. Dari tahun 1081 hingga 1180, angkatan bersenjata Komnenos menjamin keamanan Romawi Timur, sehingga peradaban Bizantium memiliki kesempatan untuk berkembang.[80]
Provinsi-provinsi Barat mampu menggapai kebangkitan ekonomi. Selama abad keduabelas, jumlah penduduk dan tanah pertanian meningkat. Bukti arkeologi dari Eropa dan Asia Kecil menunjukkan perbesaran permukiman kota. Pada masa ini, perdagangan juga berkembang.[81]
Dalam bidang artistik, muncul kebangkitan dalam bidang mosaik. Sekolah-sekolah arsitektur regional mulai memproduksi banyak gaya baru yang berasal dari berbagai pengaruh budaya.[82] Selama abad keduabelas, model humanisme awal muncul sebagai renaisans ketertarikan terhadap penulis-penulis klasik.[83]
Kemunduran dan disintegrasi
Dinasti Angeloi
Manuel wafat pada tanggal 24 September 1180. Ia digantikan oleh putranya yang masih berusia sebelas tahun, Alexios II Komnenos. Alexios II sangat tidak kompeten. Pemerintahannya kurang disukai karena latar belakang Franka ibunya, Maria dari Antiokhia.[84] Akhirnya, Andronikos I Komnenos, cucu Alexios I, mengobarkan pemberontakan melawan saudaranya dan berhasil menjatuhkannya dalam kudeta. Ia melangsungkan pawai di Konstantinopel pada Agustus 1182 dengan memanfaatkan kepopulerannya di angkatan bersenjata. Selanjutnya Andronikos menggalakkan pembantaian orang-orang Latin.[85] Setelah menghabisi musuh-musuhnya, ia menyatakan dirinya sebagai kaisar pada September 1183. Andronikos mencabut nyawa Alexios II dan merampas istri Alexios yang berusia 12 tahun, Agnes dari Perancis.[85]
Andronikos memulai pemerintahannya dengan baik. Reformasi pemerintahan yang dilancarkannya dipuji oleh sejarawan-sejarawan. Menurut George Ostrogorsky, Andronikos berdedikasi untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Di bawah kekuasaannya, penjualan jabatan dihentikan. Pemilihan pejabat didasarkan kepada jasa, bukan karena pilih kasih. Pejabat-pejabat diberi upah yang layak sehingga praktik suap dapat dikurangi.[86] Aristokrat-aristokrat merasa geram dengannya. Sementara itu, perilaku Andronikos juga dipandang kurang baik. Penghukuman mati dan kekerasan kerap terjadi, sehingga masa kekuasaannya menjadi rezim teror.[87] Andronikos berupaya menghabisi aristokrasi. Perjuangan melawan aristokrasi berubah menjadi pembantaian, sementara kaisar melancarkan tindakan yang lebih kejam untuk menopang rezimnya.[86]
Meskipun mempunyai latar belakang militer, Andronikos tak mampu melawan Isaac Komnenos dari Siprus, Béla III dari Hongaria yang mencaplok wilayah-wilayah Kroasia, dan Stephen Nemanja dari Serbia yang menyatakan kemerdekaan dari Romawi Timur. Keadaan semakin memburuk ketika William II dari Sisilia menyerang Romawi Timur dengan angkatan perang sejumlah 300 kapal dan 80.000 tentara pada tahun 1185.[88] Andronikos memobilisasi armada kecil yang berjumlah 100 kapal untuk melindungi ibukota. Penyerang-penyerang ini baru dapat diusir pada masa kekuasaan kaisar berikutnya, Isaac Angelos.
Atas dukungan rakyat, Andronikos akhirnya dijatuhkan oleh Isaac Angelos.[89] Kaisar yang telah dijatuhkan berusaha melarikan diri bersama istrinya, tetapi ditangkap. Isaac menyerahkannya kepada massa selama tiga hari. Setelah beragam macam penyiksaan, Andronikos akhirnya tewas pada 12 September 1185. Ia adalah anggota Dinasti Komnenos terakhir yang menguasai Konstantinopel. Isaac Angelos dari Dinasti Angeloi menggantikannya sebagai kaisar.
Pada masa kekuasaan Isaac II, dan juga penerusnya Alexios III Angelos, pemerintahan dan pertahanan Bizantium mulai runtuh. Meskipun Norman berhasil diusir dari Yunani, pada tahun 1186 Vlach dan Bulgar melancarkan pemberontakan yang berujung kepada berdirinya Kekaisaran Bulgaria Kedua. Kebijakan dalam negeri Angeloi berciri pemborosan harta publik dan maladministrasi fiskal. Pemerintahan Bizantium terus melemah, dan kekosongan kekuasaan yang tumbuh di kekaisaran memicu perpecahan. Salah satu buktinya adalah saat beberapa penerus Komnenos mendirikan negara semi-independen di Trebizond sebelum tahun 1204.[90] Menurut Alexander Vasiliev, "dinasti Angeloi mempercepat keruntuhan kekaisaran."[91]
Perang Salib Keempat
Pada tahun 1198, Paus Innosensius III memulai pembicaraan mengenai perang salib baru melalui legatus dan surat-surat ensiklik.[92] Tujuan perang salib tersebut adalah untuk menaklukkan Mesir, yang merupakan pusat kekuatan Muslim di Levant. Tentara Salib yang tiba di Venesia pada musim panas 1202 jumlahnya lebih kecil daripada yang dinanti. Mereka juga tidak mempunyai dana yang cukup untuk menyewa armada Venesia. Sebagai ganti pembayaran, Tentara Salib setuju untuk membantu merebut pelabuhan (Kristen) Zara di Dalmatia (kota vassal Venesia, tetapi memberontak dan dilindungi oleh Hongaria tahun 1186).[93] Zara berhasil direbut pada November 1202 setelah pengepungan singkat.[94] Innosensius, yang telah diberitahu mengenai rencana tersebut tetapi penentangannya diabaikan, tidak ingin membahayakan rencana Perang Salib, sehingga ia memberikan pengampunyan bersyarat kepada Tentara Salib, tetapi Venesia tidak mendapatkannya.[95]
Setelah Theobald III wafat, kepemimpinan Tentara Salib berganti tangan ke Boniface dari Montferrat, teman Philip dari Swabia. Baik Boniface maupun Philip telah menikah dengan anggota keluarga kekaisaran Bizantium. Ipar Philip, Alexios Angelos (putra dari Kaisar Isaac II Angelos, yang telah dijatuhkan dan dibutakan), memohon bantuan ke Eropa dan telah berhubungan dengan Tentara Salib. Alexios menawarkan penyatuan kembali gereja Bizantium dengan Roma, pembayaran 200.000 mark perak, dan bantuan-bantuan lainnya.[96] Innosensius mengetahui rencana untuk mengalihkan Perang Salib ke Konstantinopel dan melarang serangan terhadap kota tersebut, tetapi surat paus baru tiba setelah armada telah meninggalkan Zara.
Tentara Salib tiba di Konstantinopel pada musim panas tahun 1203. Alexios III melarikan diri dari ibukota. Alexios Angelos naik takhta sebagai Alexios IV bersama dengan ayahnya yang buta, Isaac. Sayangnya, Alexios IV dan Isaac II tak mampu menepati janji mereka dan dijatuhkan oleh Alexios V. Tentara Salib lalu merebut Konstantinopel pada 13 April 1204. Konstantinopel kemudian dijarah selama tiga hari. Banyak ikon, relik, dan objek-objek lainnya di Konstantinopel, diangkut ke Eropa Barat. Menurut Choniates, prostitusi didirikan di takhta patriark.[97] Saat Innosensius III mendengar perilaku Tentara Salib, ia hendak menghukum mereka, tetapi situasi sudah di luar kendali, terutama setelah legatusnya, yang atas inisiatifnya sendiri, membebaskan Tentara Salib dari tugas mereka untuk menaklukkan Tanah Suci.[54][95] Ketika pemerintahan telah direstorasi, Tentara Salib dan Venesia menetapkan persetujuan mereka: Baldwin dari Flandria dipilih sebagai kaisar dan Thomas Morosini dari Venesia ditunjuk sebagai patriark. Maka berdirilah Kekaisaran Latin di Konstantinopel. Sementara itu, pengungsi-pengungsi Bizantium mendirikan negara mereka sendiri, dengan yang paling penting adalah Kekaisaran Nicea, Kekaisaran Trebizond, dan Kedespotan Epirus.[95]
Jatuhnya Bizantium
Kekaisaran dalam pembuangan
Setelah Tentara Salib menjarah Konstantinopel tahun 1204, dua negara Bizantium berdiri: Kekaisaran Nicea dan Kedespotan Epirus. Negara ketiga, Kekaisaran Trebizond, didirikan oleh Alexios I dari Trebizond beberapa minggu sebelum penjarahan Konstantinopel. Di antara tiga negara ini, Epirus dan Nicea merupakan negara yang paling mungkin merebut kembali Konstantinopel. Kekaisaran Nicea terus berjuang untuk tetap bertahan, dan pada pertengahan abad ke-13 telah kehilangan sebagian besar wilayahnya di Anatolia selatan.[98] Melemahnya Kesultanan Rûm akibat serangan bangsa Mongol tahun 1242–43 memungkinkan para beylik dan ghazi untuk mendirikan kepangeranan mereka sendiri di Anatolia, sehingga melemahkan kekuasaan Bizantium di Asia Kecil.[99] Akan tetapi, invasi Mongol juga memberi waktu bagi Nicea untuk mengalihkan perhatian pada Kekaisaran Latin.
Penaklukan kembali Konstantinopel
Kekaisaran Nicea berhasil merebut kembali Konstantinopel dari Latin tahun 1261. Selanjutnya, mereka juga berhasil mengalahkan Epirus. Maka Bizantium berhasil direstorasi di bawah pimpinan Michael VIII Palaiologos. Akan tetapi, kekaisaran yang terkoyak akibat perang kini rentan terhadap musuh-musuh disekitarnya. Untuk memperkuat tentaranya dalam peperangan melawan Kekaisaran Latin, Michael menarik pasukan dari Asia Kecil, dan memungut pajak yang tinggi dari petani, mengakibatkan kebencian.[100] Proyek pembangunan besar-besaran dilancarkan di Konstantinopel untuk memperbaiki kerusakan akibat Perang Salib Keempat, tetapi tidak satupun dari usaha ini menguntungkan petani di Asia Kecil, yang menderita akibat serangan ghazi-ghazi.
Michael memilih untuk memperluas wilayah kekaisaran daripada menjaga jajahannya di Asia Kecil. Untuk mencegah penjarahan lain, ia memaksa gereja tunduk kepada Roma, yang menjadi solusi sementara.[101] Selanjutnya, Kaisar Andronikos II, lalu cucunya Kaisar Andronikos III, berupaya membangkitkan kembali kekaisaran, namun tentara bayaran yang disewa Andronikos II seringkali menjadi bumerang.[102]
Bangkitnya Utsmaniyah dan jatuhnya Konstantinopel
Situasi semakin memburuk setelah Andronikos III wafat. Perang saudara selama enam tahun berkecamuk di kekaisaran, dan gempa bumi di Gallipoli tahun 1354 menghancurkan perbentengan, sehingga Utsmaniyah (yang disewa sebagai tentara bayaran selama perang saudara oleh Yohanes VI Kantakouzenos) dapat memperkuat posisinya di Eropa.[103] Saat perang saudara telah berakhir, Utsmaniyah telah mengalahkan Serbia dan menundukkan mereka sebagai vassal. Setelah Pertempuran Kosovo, sebagian besar Balkan telah didominasi oleh Utsmaniyah.[104]
Kaisar memohon bantuan dari barat, tetapi paus hanya akan mengirim bantuan jika Gereja Ortodoks Timur mau bersatu kembali dengan Takhta Suci. Penyatuan gereja telah dipertimbangkan, dan kadang-kadang dilakukan melalui dekret kekaisaran, tetapi penduduk dan klerus Ortodoks membenci otoritas Roma dan Ritus Latin.[105] Beberapa tentara Barat datang dan memperkuat pertahanan Konstantinopel, namun kebanyakan penguasa Barat, yang sibuk dengan urusannya masing-masing, tidak melakukan apapun saat Utsmaniyah mencaplok satu per satu sisa wilayah Bizantium.[106]
Pada tanggal 2 April 1453, Sultan Mehmed II dengan tentara berjumlah 80.000 mengepung Konstantinopel.[107] Konstantinopel akhirnya jatuh ke tangan Utsmaniyah pada tanggal 29 Mei 1453. Kaisar Bizantium terakhir, Konstantinus XI Palaiologos, terlihat melepas tanda kebesarannya dan melibatkan dirinya dalam pertempuran setelah tembok kota direbut.[108]
Pasca runtuhnya Bizantium
Mehmed II menaklukkan negara-negara kecil di Mistra, Yunani, pada tahun 1460, dan Trebizond pada tahun 1461. Pada akhir abad ke-15, Kesultanan Utsmaniyah telah menguasai Asia Kecil dan sebagian Balkan. Sementara itu, Kepangeranan-kepangeranan Donau menerima pengungsi-pengsungsi Ortodoks dan bangsawan-bangsawan Bizantium.
Keponakan kaisar terakhir, Andreas Palaeologos, mewarisi gelar Kaisar Bizantium dan menggunakannya dari tahun 1465 hingga kematiannya tahun 1503.[13] Selanjutnya, peran kaisar sebagai pelindung Ortodoks Timur diklaim oleh Ivan III, Adipati Agung Mokswa. Ia telah menikahi saudara Andreas, Sophia Paleologue. Cucunya, Ivan IV, akan menjadi Tsar Rusia yang pertama (tsar, atau czar, berarti caesar, adalah istilah yang dahulu digunakan bangsa Slavia untuk Kaisar Bizantium). Penerus-penerus mereka mendukung gagasan bahwa Moskwa adalah penerus Roma dan Konstantinopel. Gagasan bahwa Kekaisaran Rusia adalah Roma Ketiga tetap hidup hingga meletusnya Revolusi Rusia tahun 1917.[109]
Ekonomi
Ekonomi Bizantium merupakan salah satu yang paling maju di Eropa dan Mediterania selama berabad-abad. Eropa tak mampu menandingi kekuatan ekonomi Romawi Timur hingga akhir abad pertengahan. Konstantinopel merupakan pusat utama dalam jaringan perdagangan yang meliputi hampir seluruh Eurasia dan Afrika Utara. Kota tersebut juga menjadi salah satu kota utama dalam jalur sutra. Beberapa ahli menyatakan bahwa, hingga datangnya bangsa Arab pada abad ketujuh, ekonomi Romawi Timur merupakan yang terkuat di dunia. Penaklukan Arab menyebabkan terjadinya kemunduran dan stagnansi. Reformasi Konstantinus V (765) menandai mulainya pemulihan ekonomi yang berlangsung hingga tahun 1204. Dari abad kesepuluh hingga akhir abad keduabelas, Kekaisaran Bizantium memproyeksikan citra mewah, dan pengelana kagum dengan kekayaan di Konstantinopel. Semuanya berubah pada masa Perang Salib Keempat, yang membawa bencana ekonomi.[110] Palaiologos mencoba memulihkan ekonomi, tetapi negara Bizantium akhir tidak akan memperoleh kuasa penuh atas kekuatan ekonomi domestik dan asing. Pelan-pelan, Bizantium juga kehilangan pengaruhnya dalam modalitas perdagangan dan mekanisme harga, dan juga kuasa atas aliran logam-logam berharga, dan bahkan, menurut beberapa ahli, terhadap pencetakan koin-koin.[111]
Salah satu fondasi ekonomi kekaisaran adalah perdagangan. Tekstil merupakan komoditas ekspor yang paling penting.[112] Negara dengan ketat menguasai perdagangan internal dan internasional, serta memiliki hak monopoli dalam mengeluarkan koin. Pemerintah mengatur tingkat bunga, dan menetapkan parameter aktivitas serikat dan perusahaan dagang, yang dikenakan bunga khusus. Kaisar dan pejabat-pejabatnya melakukan campur tangan pada masa krisis untuk menjamin penyediaan modal dan menjaga harga serealia. Pemerintah mengumpulkan hasil surplus melalui pemungutan pajak, dan mengembalikannya dalam sirkulasi melalui redistribusi dalam bentuk gaji kepada pejabat-pejabat negara, atau dalam bentuk investasi fasilitas-fasilitas umum.[113]
Pemerintahan
Di Romawi Timur, kaisar adalah penguasa tunggal dan absolut. Kekuasaannya dianggap memiliki asal usul ilahi.[13] Senat tidak mempunyai kewenangan politik dan legislatif yang nyata, tetapi tetap sebagai dewan kehormatan. Pada akhir abad ke-8, pemerintahan sipil yang terpusat di istana dibentuk sebagai bagian dari konsolidasi kekuatan di ibukota (bangkitnya posisi sakellarios berhubungan dengan perubahan ini).[114] Reformasi paling penting pada periode ini adalah pendirian themes. Pada themes, pemerintahan sipil dan militer diatur oleh satu orang, yaitu strategos.[13]
Sistem tituler dan hak pendahuluan di kekaisaran mengakibatkan pemerintahan tampak seperti birokrasi bagi pengamat-pengamat modern. Pejabat-pejabat diatur dalam susunan yang ketat di antara kaisar, dan jabatan mereka bergantung pada kehendak kaisar. Di Bizantium terdapat pekerjaan administratif yang sebenarnya, tetapi pemerintahan dapat digantungkan pada orang-orang tertentu daripada suatu jawatan.[115] Pada abad ke-8 dan ke-9, kepegawaian negeri merupakan jalan tercepat menuju status aristokrat, tetapi sejak abad ke-9, aristokrasi sipil disaingi oleh aristokrasi kebangsawanan. Menurut beberapa penelitian, politik abad ke-11 didominasi oleh persaingan antara aristokrasi antara sipil dan militer. Pada masa tersebut, Alexios I melancarkan reformasi administratif penting yang meliputi pengadaan pangkat dan jabatan istana.[116]
Diplomasi
Setelah jatuhnya Roma, tantangan utama Romawi Timur adalah membina hubungan dengan tetangga-tetangganya. Diplomasi Bizantium segera menarik perhatian tetangga-tetangganya. Maka terbukalah jaringan hubungan internasional dan antarnegara.[117] Jaringan ini berkisar pada pembuatan traktat, dan meliputi penyambutan penguasa baru, serta asimilasi tindakan, nilai, dan institusi sosial Romawi Timur.[118] Sementara penulis klasik menuliskan pemisahan etis dan legal antara perdamaian dan perang, Romawi Timur menganggap diplomasi sebagai salah satu bentuk perang.[119] Contohnya, ancaman Bulgaria dapat diatasi dengan memberikan dana kepada Rus Kiev.[119] Gereja Ortodoks juga memainkan fungsi diplomatik, dan penyebaran Kekristenan Ortodoks merupakan tujuan diplomatik utama kekaisaran.
Scrinium Barbarorum di Konstantinopel bertugas menangani protokol dan penyimpanan catatan mengenai apapun yang berhubungan dengan "barbar".[120] Sementara sedang melaksanakan tugas protokol, mereka memastikan duta-duta asing diperlakukan dengan baik, dan juga berperan dalam penerjemahan misi diplomatik dari negara-negara Barbar. J.B. Bury meyakini bahwa departemen tersebut mengawasi semua orang asing yang mengunjungi Konstantinopel.[121] Beberapa orang, seperti Michael Antonucci, meyakini bahwa Scrinium Barbarorum bertindak sebagai semacam jawatan mata-mata untuk kekaisaran, tetapi tak ada bukti yang kuat mengenai hal ini. On Strategy dari abad ke-6 menawarkan saran mengenai kedutaan asing: "[Duta-duta] yang dikirim harus diterima dengan hormat dan murah hati, karena siapapun menghormati para duta, namun kehadiran mereka perlu diawasi agar mereka tidak memperoleh informasi dengan menanyai orang-orang kita."[122]
Bizantium mengambil kesempatan baik dan memanfaatkan beberapa pendekatan diplomatik. Sebagai contoh, kedutaan ke ibukota seringkali tinggal selama bertahun-tahun. Salah satu anggota keluarga kerajaan dari negara lain seringkali diminta tinggal di Konstantinopel. Mereka tidak hanya berguna sebagai sandera, tetapi juga pion yang dapat dimanfaatkan jika kondisi politik negara tempat ia berasal berubah. Praktik penting lain pada diplomasi Romawi Timur adalah dengan banyak menunjukkan barang-barang mewah kepada pengunjung.[117] Menurut Dimitri Obolensky, keberlangsungan peradaban di Eropa Timur adalah karena keterampilan dan akal diplomasi Bizantium, yang tetap menjadi salah satu sumbangan Bizantium bagi sejarah Eropa.[123]
Ilmu pengetahuan dan hukum
Penulisan ala era klasik tidak pernah berhenti diberdayakan di Bizantium. Maka, ilmu pengetahuan Romawi Timur berhubungan dekat dengan filsafat kuno dan metafisika.[124] Meskipun Bizantium berhasil menerapkan ilmu pengetahuan (seperti dalam pembangunan Hagia Sophia), setelah abad ke-6, ahli-ahli Bizantium tidak banyak memberi sumbangan terhadap ilmu pengetahuan. Teori-teori baru tidak banyak digagas, dan gagasan penulis-penulis klasik tak banyak dikembangkan.[125] Keahlian terhambat pada tahun-tahun kegelapan akibat wabah pes dan penaklukkan Arab, tetapi pada masa renaisans Bizantium di akhir milenium pertama, ahli-ahli Bizantium muncul kembali dan menjadi ahli dalam pengembangan ilmiah Arab dan Persia, terutama dalam bidang astronomi dan matematika.[126]
Pada abad akhir kekaisaran, ahli tata bahasa Bizantium bertanggung jawab dalam membawa dan menulis tata bahasa dan studi sastra Yunani Kuno ke Italia Renaisans awal.[127] Pada periode ini, astronomi dan matematika diajarkan di Trebizond.[128]
Di bidang hukum, reformasi Yustinianus I telah memberikan pengaruh yang jelas terhadap perkembangan jurisprudens. Sementara itu, Ecloga Kaisar Leo III memengaruhi pembentukan institusi hukum di dunia Slavia.[129]
Bahasa
Awalnya, bahasa kekaisaran adalah bahasa Latin. Bahasa tersebut menjadi bahasa resmi hingga abad ke-7, ketika Heraklius menggantinya dengan bahasa Yunani. Bahasa Latin Ilmiah tidak lagi digunakan oleh penduduk berpendidikan, meskipun masih menjadi bagian dari budaya seremonial kekaisaran selama beberapa waktu.[130] Bahasa Latin Rakyat tetap menjadi bahasa minoritas kekaisaran, dan di antara penduduk Trako-Romawi, bahasa tersebut melahirkan bahasa (Proto-)Rumania.[131] Sementara itu, di pantai laut Adriatik, dialek neo-Latin berkembang, yang akan membuahkan bahasa Dalmatia. Di provinsi-provinsi Mediterania Barat yang sempat dikuasai di bawah pemerintahan Yustinianus I, Latin (akhirnya berevolusi menjadi bahasa Italia) terus digunakan sebagai bahasa rakyat maupun bahasa ilmiah.
Bahasa utama yang digunakan di Romawi Timur (bahkan semenjak sebelum jatuhnya Romawi Barat) adalah bahasa Yunani. Bahasa tersebut telah dituturkan selama berabad-abad sebelum Latin.[132] Pada awal berdirinya Romawi, bahasa Yunani banyak digunakan di gereja Kristen, dan juga menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan seni. Selain itu, bahasa Yunani juga menjadi perantara perdagangan.[133]
Banyak bahasa lain juga dituturkan di kekaisaran multietnis ini. Beberapa bahasa memperoleh satatus resmi yang terbatas di provinsi-provinsi. Pada awal abad pertengahan, bahasa Suryani dan Aram dituturkan oleh penduduk berpendidikan di provinsi-provinsi ujung timur.[134] Bahasa Koptik, Armenia, dan Georgia juga banyak digunakan di tempatnya masing-masing.[135] Sementara itu, bahasa Slavonia, Vlach, dan Arab menjadi penting karena terjalinnya hubungan dengan kekuatan asing.[136]
Konstantinopel merupakan pusat perdagangan, sehingga setiap bahasa yang diketahui di abad pertengahan kadang-kadang dituturkan di kekaisaran, bahkan termasuk bahasa Tionghoa.[137] Saat kekaisaran memasuki masa kemunduran terakhirnya, penduduk Romawi Timur menjadi homogen, dan bahasa Yunani menjadi penting bagi identitas dan agama mereka.[138]
Budaya
Seni dan sastra
Seni Romawi Timur sebagian besar berhubungan dengan ekspresi religius. Gaya-gaya Bizantium disebar melalui perdagangan dan penaklukan ke Italia dan Sisilia; gaya-gaya tersebut akan memengaruhi seni renaisans Italia. Dengan maksud untuk memperluas Gereja Ortodoks Timur, gaya Bizantium disebar ke kota-kota Eropa timur, terutama Rusia.[139] Pengaruh dari arsitektur Bizantium, terutama dalam bentuk bangunan religius, dapat ditemui di berbagai wilayah, dari Mesir dan Arabia, hingga Rusia dan Rumania.
Dalam bidang sastra, terdapat empat elemen budaya, yaitu Yunani, Kristen, Romawi, dan Oriental. Sastra Romawi Timur seringkali diklasifikasikan dalam lima kelompok: sejarawan dan analis, ensiklopedis (Patriark Photios, Michael Psellos, dan Michael Choniates dianggap sebagai ensiklopedis terbesar Bizantium) dan penulis esai, serta penulis puisi sekular. Dua kelompok lainnya meliputi jenis sastra baru: sastra gerejawi dan teologis, dan sastra populer. Dari dua hingga tiga ribu volume sastra Bizantium yang selamat, hanya tiga ratus tiga puluh yang meliputi puisi sekular, sejarah, ilmu pengetahuan, dan ilmu semu.[140] Sastra sekuler berkembang dari abad kesembilan hingga keduabelas, sementara sastra religius (sermon, buku liturgi, puisi, devosi, dll) berkembang lebih dahulu, dengan Romanus Melodus sebagai contoh yang paling menonjol.[141]
Agama
Kelangsungan hidup kekaisaran memastikan peran aktif kaisar dalam urusan gereja. Negara Bizantium mewarisi kebiasaan administratif dan finansial dalam mengatur urusan agama dari masa pagan, dan kebiasaan ini diterapkan di gereja. Orang-orang Bizantium memandang kaisar sebagai wakil atau pengabar Kristus. Maka kaisar bertanggung jawab dalam penyebaran Kekristenan di antara orang-orang pagan, dan untuk "luar" agama, seperti pemerintahan dan keuangan. Meskipun begitu, peran kaisar dalam gereja tidak pernah berkembang menjadi sistem tetap yang legal.[142]
Kekristenan tidak pernah bersatu secara penuh di Kekaisaran Romawi Timur. Gereja Ortodoks Timur tidak mewakili semua orang Kristen di kekaisaran. Nestorianisme, pandangan yang diajarkan oleh Nestorius, berpisah dari gereja kekaisaran, dan kini menjadi Gereja Timur Asiria. Gereja Ortodoks Oriental melepaskan diri dari gereja kekaisaran setelah deklarasi Konsili Khalsedon. Arianisme dan sekte-sekte Kristen lain juga ada di kekaisaran, meskipun pada masa jatuhnya Roma pada abad ke-5, Arianisme lebih terbatas pada suku-suku Jermanik di Eropa Barat. Pada masa akhir kekaisaran, Ortodoks Timur mewakili sebagian besar orang Kristen di sisa kekaisaran. Sementara itu, Yahudi merupakan minoritas yang penting di kekaisaran. Meskipun beberapa kali mengalami penganiayaan, mereka secara umum ditoleransi.
Dengan jatuhnya Roma dan pertikaian internal pada tubuh kepatriarkan lainnya, gereja Konstantinopel menjadi pusat Kekristenan terkaya dan paling berpengaruh antara abad ke-6 hingga abad ke-11.[143]
Warisan
Kekaisaran Romawi Timur telah mengamankan Eropa Barat dari kekuatan-kekuatan baru di Timur. Bizantium terus menerus diserang oleh Persia, Arab, Turki Seljuk, dan Utsmaniyah. Contohnya, Perang Bizantium-Arab, diakui oleh sejarawan sebagai faktor utama dibalik bangkitnya Karel yang Agung,[144] dan rangsangan bagi feudalisme dan kemandirian ekonomi.
Selama berabad-abad, sejarawan Barat menggunakan istilah Byzantine dan Byzantinisme sebagai pameo untuk kemerosotan, politik tipu muslihat, dan birokrasi yang kompleks. Selain itu, terdapat penilaian negatif yang kuat terhadap peradaban Bizantium dan warisannya di Eropa Tenggara.[145] Byzantinisme secara umum didefinisikan sebagai badan religius, politik, dan filosofis yang bertentangan dengan Barat.[146] Pada abad ke-20 dan ke-21, sejarawan-sejarawan di Barat mencoba memahami Romawi Timur dengan lebih akurat dan seimbang. Hasilnya, karakter budaya Bizantium yang kompleks lebih diperhatikan dan diperlakukan secara objektif daripada sebelumnya.[146]
Jika keberadaan Kekaisaran Romawi Kuno (meliputi Romawi Barat) dengan Romawi Timur/Bizantium digabung, seluruh Kekaisaran Romawi telah berwujud selama 1.480 tahun. Pengganti Kekaisaran Romawi, Republik Romawi, ada selama 482 tahun, sehingga negara Romawi telah ada selama 1.962 tahun.
Lihat pula
Penjelasan
- ^ Romania (atau Rhōmanía) adalah nama populer kekaisaran[5] yang digunakan secara tidak resmi, berarti "negeri orang-orang Romawi". Istilah ini tidak merujuk pada Rumania modern.
- ^ "Imperium Graecorum", "Graecia", "Yunastan", dll, nama barat lain yang digunakan adalah "kekaisaran Konstantinopel" (imperium Constantinopolitanum) dan "kekaisaran Romania" (imperium Romaniae).
Catatan kaki
- ^ Millar 2006, hlm. 2, 15; James 2010, hlm. 5: "But from the start, there were two major differences between the Roman and Byzantine empires: Byzantium was for much of its life a Greek speaking empire oriented towards Greek, not Latin culture; and it was a Christian empire."
- ^ Benz 1963, hlm. 176.
- ^ Fox, What, If Anything, Is a Byzantine?
- ^ University of Chile: Center of Byzantine and Neohellenic Studies 1971, hlm. 69.
- ^ Fossier & Sondheimer 1997, hlm. 104.
- ^ "Nation and Liberty: the Byzantine Example". Dio.sagepub.com. doi:10.1177/039219218303112403. Diakses tanggal 2010-08-07.
- ^ Theodore the Studite. Epistulae, 145, Line 19 ("ή ταπεινή Γραικία") and 458, Line 28 ("έν Αρμενία καί Γραικία").
- ^ Cinnamus 1976, hlm. 240.
- ^ Ahrweiler & Laiou 1998, hlm. 3; Mango 2002, hlm. 13.
- ^ Gabriel 2002, hlm. 277.
- ^ Millar 2006, hlm. 2, 15; Ahrweiler & Laiou 1998, hlm. vii; Davies 1996, hlm. 245; Moravcsik 1970, hlm. 11–12; Ostrogorsky 1969, hlm. 28, 146; Lapidge, Blair & Keynes 1998, hlm. 79; Winnifrith & Murray 1983, hlm. 113; Gross 1999, hlm. 45; Hidryma Meletōn Chersonēsou tou Haimou 1973, hlm. 331.
- ^ Fouracre & Gerberding 1996, hlm. 345: "The Frankish court no longer regarded the Byzantine Empire as holding valid claims to universality; instead it was now termed the 'Empire of the Greeks'."
- ^ a b c d "Hellas, Byzantium". Encyclopaedia The Helios.
- ^ Tarasov 2004, hlm. 121.
- ^ El-Cheikh 2004, hlm. 22.
- ^ Davis 1990, hal. 260.
- ^ Wells 1922, Chapter 33.
- ^ Bury 1923, hal. 1
- ^ Gibbon (1906), Part II Chapter 14: 200.
- ^ Gibbon 1906, III, 168 PDF (2.35 MB).
- ^ Esler 2004, hlm. 1081.
- ^ Eusebius, IV, lxii.
- ^ Bury 1923, hal. 63.
- ^ a b c d e "Byzantine Empire". Encyclopædia Britannica.
- ^ Nathan, Theodosius II (408–450 AD).
- ^ Treadgold 1995, hlm. 193.
- ^ Alemany 2000, hlm. 207; Treadgold 1997, hlm. 184.
- ^ Grierson 1999, hlm. 17.
- ^ Postan, Miller & Postan 1987, hlm. 140.
- ^ "Byzantine Empire". Encyclopædia Britannica.; Evans, Justinian (AD 527–565).
- ^ a b Evans, Justinian (AD 527–565).
- ^ Bury 1923, 180–216.
- ^ Bury 1923, 236–258.
- ^ Bury 1923, 259–281.
- ^ Bury 1923, 286–288.
- ^ Vasiliev, The Legislative Work of Justinian and Tribonian.
- ^ Bray 2004, hlm. 19–47; Haldon 1990, hlm. 110–111; Treadgold 1997, hlm. 196–197.
- ^ Foss 1975, hlm. 722.
- ^ Haldon 1990, hlm. 41; Speck 1984, hlm. 178.
- ^ Haldon 1990, hlm. 42–43.
- ^ Grabar 1984, hlm. 37; Cameron 1979, hlm. 23.
- ^ Haldon 1990, hlm. 46; Baynes 1912, passim; Speck 1984, hlm. 178.
- ^ Foss 1975, hlm. 746–747.
- ^ Haldon 1990, hlm. 50.
- ^ Haldon 1990, hlm. 61–62.
- ^ Haldon 1990, hlm. 102–114.
- ^ Wickham 2009, hlm. 260.
- ^ Haldon 1990, hlm. 43–45, 66, 114–115.
- ^ Haldon 1990, hlm. 66–67.
- ^ Haldon 1990, hlm. 71.
- ^ Haldon 1990, hlm. 70–78, 169–171; Haldon 2004, hlm. 216–217; Kountoura-Galake 1996, hlm. 62–75.
- ^ "Byzantine Empire". Encyclopædia Britannica.; "Hellas, Byzantium". Encyclopaedia The Helios.
- ^ Parry 1996, hlm. 11–15.
- ^ a b c d e Norwich 1998.
- ^ Angold 1997.
- ^ Treadgold 1997, hlm. 548–549.
- ^ a b Markham, The Battle of Manzikert.
- ^ Vasiliev, Relations with Italy and Western Europe.
- ^ Ferdo Šišić. Povijest Hrvata u vrijeme narodnih vladara. Zagreb, 1925, ISBN 86-401-0080-2
- ^ "Byzantine Empire". Encyclopædia Britannica. 2002.; Markham, The Battle of Manzikert.
- ^ Magdalino 2002, hlm. 124.
- ^ Birkenmeier 2002.
- ^ Harris 2003; Read 2000, hlm. 124; Watson 1993, hlm. 12.
- ^ Komnene 1928, X, 261.
- ^ Anna Komnene. Alexiad, XI, 291.
- ^ Anna Komnene. Alexiad, XIII, 348–358; Birkenmeier 2002, hlm. 46.
- ^ Norwich 1998, hlm. 267.
- ^ Ostrogorsky 1969, hlm. 377.
- ^ Birkenmeier 2002, hlm. 90.
- ^ Stone, Yohanes II Komnenos.
- ^ "John II Komnenos". Encyclopædia Britannica..
- ^ Harris 2003, hlm. 84.
- ^ Brooke 2008, hlm. 326.
- ^ Magdalino 2002, hlm. 74; Stone, Manuel I Comnenus.
- ^ Sedlar 1994, hlm. 372.
- ^ Magdalino 2002, hlm. 67.
- ^ Birkenmeier 2002, hlm. 128.
- ^ Birkenmeier 2002, hlm. 196.
- ^ Birkenmeier 2002, hlm. 185–186.
- ^ Birkenmeier 2002, hlm. 1.
- ^ Day 1977, hlm. 289–290; Harvey 2003.
- ^ Diehl, Byzantine Art
- ^ Tatakes & Moutafakis 2003, hlm. 110.
- ^ Norwich 1998, hlm. 291.
- ^ a b Norwich 1998, hlm. 292.
- ^ a b Ostrogorsky 1969, hlm. 397.
- ^ Harris 2003, hlm. 118.
- ^ Norwich 1998, hlm. 293.
- ^ Norwich 1998, hlm. 294–295.
- ^ Angold 1997; Paparrigopoulos & Karolidis 1925, hlm. 216
- ^ Vasiliev, Foreign Policy of the Angeloi.
- ^ Norwich 1998, hlm. 299.
- ^ Britannica Concise, 9383275/Siege-of-Zara Siege of Zara.
- ^ Geoffrey of Villehardouin 1963, hlm. 46.
- ^ a b c "The Fourth Crusade and the Latin Empire of Constantinople". Encyclopædia Britannica..
- ^ Norwich 1998, hlm. 301.
- ^ Choniates, The Sack of Constantinople.
- ^ Kean 2006; Madden 2005, hlm. 162; Lowe-Baker, The Seljuks of Rum.
- ^ Lowe-Baker, The Seljuks of Rum.
- ^ Madden 2005, hlm. 179; Reinert 2002, hlm. 260.
- ^ Reinert 2002, hlm. 257.
- ^ Reinert 2002, hlm. 261.
- ^ Reinert 2002, hlm. 268.
- ^ Reinert 2002, hlm. 270.
- ^ Runciman 1990, hlm. 71–72.
- ^ Runciman 1990, hlm. 84–85.
- ^ Runciman 1990, hlm. 84–86.
- ^ Hindley 2004, hlm. 300.
- ^ Seton-Watson 1967, hlm. 31.
- ^ Magdalino 2002, hlm. 532, [1].
- ^ Matschke 2002, hlm. 805–806, [2].
- ^ Laiou 2002, hlm. 723, [3].
- ^ Laiou 2002, hlm. 3–4, [4].
- ^ Louth 2005, hlm. 291; Neville 2004, hlm. 7.
- ^ Neville 2004, hlm. 34.
- ^ Neville 2004, hlm. 13.
- ^ a b Neumann 2006, hlm. 869–871.
- ^ Chrysos 1992, hlm. 35.
- ^ a b Antonucci 1993, hlm. 11–13.
- ^ Seeck 1876, hlm. 31–33.
- ^ Bury & Philotheus 1911, hlm. 93.
- ^ Dennis 1985, Anonymous, Byzantine Military Treatise on Strategy, para. 43, hal. 125.
- ^ Obolensky 1994, hlm. 3.
- ^ Anastos 1962, hlm. 409.
- ^ Cohen 1994, hlm. 395; Dickson, Mathematics Through the Middle Ages.
- ^ King 1991, hlm. 116–118.
- ^ Robins 1993, hlm. 8.
- ^ Tatakes & Moutafakis 2003, hlm. 189.
- ^ Troianos & Velissaropoulou-Karakosta 1997, hlm. 340.
- ^ Apostolides 1992, hlm. 25–26; Wroth 1908, Introduction, Section 6.
- ^ Sedlar 1994, hlm. 403–440.
- ^ Millar 2006, hlm. 279.
- ^ Bryce 1901, hlm. 59; McDonnell 2006, hlm. 77; Millar 2006, hlm. 97–98.
- ^ Beaton 1996, hlm. 10; Jones 1986, hlm. 991; Versteegh 1977, Chapter 1.
- ^ Campbell 2000, hlm. 40; Hacikyan et al. 2002, Part 1.
- ^ Baynes 1907, hlm. 289; Gutas 1998, Chapter 7, Section 4; Shopen 1987, hlm. 129.
- ^ Beckwith 1986, hlm. 171; Halsall 2006.
- ^ Kaldellis 2008, Chapter 6; Nicol 1993, Chapter 5.
- ^ "Byzantine Art". Encyclopædia Britannica..
- ^ Mango 2005, hlm. 233–234.
- ^ "Byzantine Literature". Catholic Encyclopedia.
- ^ Meyendorff 1982, hlm. 13.
- ^ Meyendorff 1982, hlm. 19.
- ^ Pirenne, Henri:
- Medieval Cities: Their Origins and the Revival of Trade. Princeton, New Jersey: 1925, ISBN 0-691-00760-8.
- Mohammed and Charlemagne. (London: George Allen & Unwin Ltd., 1954) Courier Dover Publications, 2001, ISBN 0-486-42011-6.
- ^ Angelov 2001, hlm. 1.
- ^ a b Angelov 2001, hlm. 7–8.
Referensi
Sumber primer
- Choniates, Nicetas (1912). "The Sack of Constantinople (1204)". Translations and Reprints from the Original Sources of European History by D.C. Munro (Series 1, Vol 3:1). Philadelphia: University of Pennsylvania Press. hlm. 15–16.
- Cinnamus, Ioannes (1976). Deeds of John and Manuel Comnenus. Columbia University Press. ISBN 0231040806.
- Eusebius. Life of Constantine (Book IV). Christian Classics Ethereal Library.
- Geoffrey of Villehardouin (1963). "The Conquest of Constantinople". Chronicles of the Crusades (translated by Margaret R. Shaw). Penguin Classics. ISBN 0140441247.
- Innocent III (1993). Othmar Hageneder, Christoph Egger, Karl Rudolf, and Andrea Sommerlechner, ed. Die Register Innocenz' III. 5: 5. Pontifikatsjahr, 1202/1203, Texte. Wien: Verlag der Österreichischen Akademie der Wissenschaften: Publikationen des Historischen Instituts beim Österreichischen Kulturinstitut in Rom.
- Innocent III (1995). Othmar Hageneder, John C. Moore Andrea Sommerlechner, Christoph Egger and Herwig Weigl, ed. Die Register Innocenz' III. 6: 6. Pontifikatsjahr, 1202/1203, Texte. Wien: Verlag der Österreichischen Akademie der Wissenschaften: Publikationen des Historischen Instituts beim Österreichischen Kulturinstitut in Rom.
- Komnene, Anna (1928). "Books X-XIII". [[The Alexiad]] (translated by Elizabeth A. S. Dawes). Internet Medieval Sourcebook. Konflik URL–wikilink (bantuan)
- Procopius (1935). Secret History (translated by H. B. Dewing). Loeb Classical Library.
Sumber sekunder
- Adena, Louise (2008). "The Enduring Legacy of Byzantium". Clio History Journal.
- Alemany, Agustí (2000). "Byzantine Sources". Sources on the Alans: A Critical Compilation. BRILL. ISBN 9004114424.
- Ahrweiler, Hélène; Laiou, Angeliki E. (1998). "Preface". Studies on the Internal Diaspora of the Byzantine Empire. Dumbarton Oaks. ISBN 0884022471.
- Anastos, Milton V. (1962). "The History of Byzantine Science. Report on the Dumbarton Oaks Symposium of 1961". Dumbarton Oaks Papers. Dumbarton Oaks, Trustees for Harvard University. 16: 409–411. doi:10.2307/1291170. ISSN 0070-7546. JSTOR 10.2307/1291170. Diakses tanggal 2007-05-27.
- Angelov, Dimiter G. (2001). "The Making of Byzantinism" (PDF): 1–10. Diakses tanggal 2007-06-07.
- Angold, Michael (1997). The Byzantine Empire, 1025–1204: A Political History. Longman. ISBN 9780582294684.
- Antonucci, Michael (1993). "War by Other Means: The Legacy of Byzantium". History Today. 43 (2): 11–13. ISSN 0018-2753. Diarsipkan dari versi asli tanggal December 25, 2007. Diakses tanggal 2007-05-21.
- Sophocles, Evangelinus Apostolides (1992). Greek Lexicon of the Roman and Byzantine Periods. Georg Olms Verlag. ISBN 3487057654.
- Baynes, Norman H. (1912). "The Restoration of the Cross at Jerusalem". The English Historical Review. 27 (106): 287–299. doi:10.1093/ehr/XXVII.CVI.287. ISSN 0013-8266.
- Baynes, Spencer (1907). "Vlachs". Encyclopædia Britannica: A Standard Work of Reference in Art, Literature, Science, History, Geography, Commerce, Biography, Discovery, and Invention. The Werner Company.
- Beaton, Roderick (1996). The Medieval Greek Romance. Routledge. hlm. 10. ISBN 0415120322.
- Beckwith, John (1986). Early Christian and Byzantine Art. Yale University Press. ISBN 0300052960.
- Benz, Ernst (1963). The Eastern Orthodox Church: Its Thought and Life. Aldine Transaction. ISBN 9780202362984. (Excerpts)
- Birkenmeier, John W. (2002). "The Campaigns of Manuel I Komnenos". The Development of the Komnenian Army: 1081–1180. Brill Academic Publishers. ISBN 9004117105.
- Bray, R. S. (2004). "Justinian's Plague". Armies of Pestilence: The Impact of Disease on History. James Clarke & Co. ISBN 022717240X.
- Browning, Robert (1992). The Byzantine Empire. The Catholic University of America Press. ISBN 0813207541.
- Bryce, James (1901). "Roman and British Empires". Studies in History and Jurisprudence. H. Frowde. ISBN 1402190468.
- Brooke, Zachary Nugent (2008). "East and West:1155–1198". A History of Europe, from 911 to 1198. Read Books. ISBN 1443740705.
- Bury, John Bagnall (1923). History of the Later Roman Empire. Macmillan & Co. ISBN 0790545446.
- Bury, John Bagnall; Philotheus (1911). The Imperial Administrative System in the Ninth Century: With a Revised Text of Kletorologion of Philotheos. Pub. for the British academy by H. Frowde.
- "Byzantine Art". Encyclopædia Britannica. 2002.
- "Byzantine Empire". Encyclopædia Britannica. 2002.
- "Byzantine Literature". Catholic Encyclopedia. 1908.
- Campbell, George L. (2000). Compendium of the World's Languages: Abaza to Kurdish. Taylor & Francis. ISBN 0415202965.
- Cameron, Averil (1979). "Images of Authority: Elites and Icons in Late Sixth-century Byzantium". Past and Present. 84: 3. doi:10.1093/past/84.1.3.
- Cameron, Averil (1992). "New Themes and Styles in Greek Literature, 7th and 8th Centuries". Dalam Averil Cameron and Lawrence I. Conrad. The Byzantine and Islamic Early Near East I: Problems in the Literary Source Material. Darwin Press. ISBN 0878500804.
- Cameron, Averil (2000). "The Vandal Conquest and Vandal Rule (A.D. 429–534)". Dalam Averil Cameron, Bryan Ward-Perkins and Michael Whitby. Late Antiquity: Empire and Successors, A.D. 425–600. Cambridge University Press. ISBN 0521325919.
- Chrysos, Evangelos (1992). "Byzantine Diplomacy, AD 300–800: Means and End". Dalam Jonathan Shepard, Simon Franklin. Byzantine Diplomacy: Papers from the Twenty-Fourth Spring Symposium of Byzantine Studies, Cambridge, March 1990 (Society for the Promotion of Byzant). Variorum. ISBN 0860783383.
- Ciesniewski, Christine (2006). "The Byzantine Achievement". Clio History Journal.
- Cohen, H. Floris (1994). "The Emergence of Early Modern Science". The Scientific Revolution: A Historiographical Inquiry. University of Chicago Press. ISBN 0226112802.
- Davies, Norman (1996). "The Birth of Europe". Europe. Oxford University Press. ISBN 0198201710.
- Day, Gerald W. (1977). "Manuel and the Genoese: A Reappraisal of Byzantine Commercial Policy in the Late Twelfth Century". The Journal of Economic History. 37 (2): 289–301. doi:10.1017/S0022050700096947. Diakses tanggal 2007-09-22.
- Dennis, George T. (1985). Three Byzantine Military Treatises (Volume 9). Washington D.C.: Dumbarton Oaks, Research Library and Collection.
- Dickson, Paul. "Mathematics Through the Middle Ages (320–1660 AD)". Medieval Mathematics. University of South Australia. Diakses tanggal 2008-04-01. [pranala nonaktif]
- Diehl, Charles. "Manuel I Comnenus (AD 1143–1180)". Byzantium, An Introduction to East Roman Civilization. Myriobiblos — Library. Diakses tanggal 2007-05-18.
- El-Cheikh, Nadia Maria (2004). Byzantium Viewed by the Arabs. Harvard CMES. ISBN 0932885306.
- Esler, Philip Francis (2004). "Constantine and the Empire". The Early Christian World. Routledge. ISBN 0415333121.
- Evans, James Allan. "Justinian (AD 527–565)". Online Encyclopedia of Roman Emperors. Diakses tanggal 2007-05-19.
- Fenner, Julian. "To What Extent Were Economic Factors to Blame for the Deterioration of the Roman Empire in the Third Century A.D?". The Romans. Diakses tanggal 2007-05-25.
- Fomenko, Anatoly T. (2005). History: Fiction or Science?: Chronology, Issue 1. Mithec. ISBN 9782913621053.
- Foss, Clive (1975). "The Persians in Asia Minor and the End of Antiquity". The English Historical Review. 90: 721–747. doi:10.1093/ehr/XC.CCCLVII.721.
- Fossier, Robert; Sondheimer, Janet (1997). The Cambridge Illustrated History of the Middle Ages. Cambridge University Press. ISBN 0521266440.
- Fouracre, Paul; Gerberding, Richard A. (1996). Late Merovingian France: History and Hagiography, 640-720. Manchester University Press ND. ISBN 0719047919.
- Gabriel, Richard A. (2002). The Great Armies of Antiquity. Greenwood Publishing Group. ISBN 0275978095.
- Garland, Lynda (1999). Byzantine Empresses: Women and Power in Byzantium, AD 527–1204. Routledge. ISBN 0415146887.
- Garland, Linda (2006). "Middle Byzantine Family Values and Anna Komnene's Alexiad". Byzantine Women: Varieties of Experience 800–1200. Ashgate Publishing. ISBN 075465737X.
- Gibbon, Edward (1906). J. B. Bury (with an Introduction by W. E. H. Lecky), ed. The Decline and Fall of the Roman Empire (Volumes II, III, and IX). New York: Fred de Fau and Co.
- Grabar, André (1984). L'iconoclasme Byzantin: le dossier archéologique. Flammarion. ISBN 2080816349.
- Grierson, Philip (1999). Byzantine Coinage (PDF). Dumbarton Oaks. ISBN 0884022749. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2007-09-27.
- Gross, Feliks (1999). Citizenship and Ethnicity: The Growth and Development of a Democratic Multiethnic Institution. Greenwood Publishing Group. ISBN 0313309329.
- Gutas, Dimitri (1998). Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement. London: Routledge. ISBN 0415061326.
- Hacikyan, Agop Jack; Basmajian, Gabriel; Franchuk, Edward S.; Ouzounian, Nourhan (2002). The Heritage of Armenian Literature: From the Sixth to the Eighteenth Century. Wayne State University Press. ISBN 0814330231.
- Haldon, John (2002). Byzantium: A History. Tempus. ISBN 140513240X.
- Haldon, John (1990). Byzantium in the Seventh Century: The Transformation of a Culture. Cambridge University Press. ISBN 052131917X.
- Haldon, John (2003). Byzantium at War 600–1453. Taylor & Francis. ISBN 0415968615.
- Haldon, John (2004). "The Fate of the Late Roman Senatorial Elite: Extinction or Transformation?". Dalam John Haldon and Lawrence I. Conrad. The Byzantine and Early Islamic Near East VI: Elites Old and New in the Byzantine and Early Islamic Near East. Darwin Press. ISBN 0878501444.
- Halsall, Paul (2006). "East Asian History Sourcebook: Chinese Accounts of Rome, Byzantium and the Middle East, c. 91 B.C.E. – 1643 C.E." Fordham University. Diakses tanggal 2007-04-15.
- Harris, Jonathan (2003). Byzantium and the Crusades. Hambledon and London. ISBN 1852852984.
- Harvey, Alan (2003). Economic Expansion in the Byzantine Empire, 900–1200. Cambridge University Press. ISBN 0521521904.
- "Hellas, Byzantium". Encyclopaedia The Helios (dalam bahasa Greek). 1952.
- Herrin, Judith (2008). Byzantium: The Surprising Life of a Medieval Empire. Princeton University Press. ISBN 0691131511.
- "Greece during the Byzantine period (c. AD 300–c. 1453), Population and languages, Emerging Greek identity". Encyclopædia Britannica. 2008.
- Hidryma Meletōn Chersonēsou tou Haimou (1973). Balkan Studies: Biannual Publication of the Institute for Balkan Studies, Volume 14. Thessalonikē, Greece: The Institute.
- Hindley, Geoffrey (2004). A Brief History of the Crusades. London: Robinson. ISBN 9781841197661.
- Hooker, Richard. "The Byzantine Empire". Diakses tanggal 2007-06-07.
- James, Liz (2010). A Companion to Byzantium. John Wiley and Sons. ISBN 140512654X.
- Jenkins, Romilly (1987). Byzantium: The Imperial Centuries, AD 610–1071 (edisi ke-Heraclius). University of Toronto Press. ISBN 0802066674.
- Jones, Arnold Hugh Martin (1986). The Later Roman Empire, 284–602: A Social Economic and Administrative Survey (edisi ke-Native Languages). Johns Hopkins University Press. ISBN 0801833531.
- "John II Komnenos". Encyclopædia Britannica. 2002.
- Kaegi, Walter Emil (2003). Heraclius, Emperor of Byzantium. Cambridge. ISBN 0521814596.
- Kaldellis, Anthony (2008). Hellenism in Byzantium: The Transformations of Greek Identity and the Reception of the Classical Tradition. Cambridge University Press. ISBN 0521876885.
- Kazhdan, Alexander, ed. (1991). Oxford Dictionary of Byzantium. Oxford University Press. ISBN 9780195046526.
- Kean, Roger Michael (2006). Forgotten Power: Byzantium: Bulwark of Christianity. Thalamus. ISBN 1902886070.
- King, David A. (March 1991). "Reviews: The Astronomical Works of Gregory Chioniades, Volume I: The Zij al- Ala'i by Gregory Chioniades, David Pingree; An Eleventh-Century Manual of Arabo-Byzantine Astronomy by Alexander Jones". Isis. 82 (1): 116–118. doi:10.1086/355661.
- Kitzinger, Ernst (1976). "Byzantine Art in the Period between Justinian and Iconoclasm". Dalam W. E. Kleinbauer. The Art of Byzantium and the Medieval West: Selected Studies. Indiana University. ISBN 0253310555.
- Kountoura-Galake, Eleonora (1996). The Byzantine Clergy and the Society of "Dark Ages" (dalam bahasa Greek). Institute of Byzantine Research. ISBN 9789607094469.
- Laiou, Angeliki E. (2002). "Exchange and Trade, Seventh-Twelfth Centuries". Dalam Angeliki E. Laiou. The Economic History of Byzantium (Volume 2) (PDF). Dumbarton Oaks.
- Laiou, Angeliki E. (2002). "Writing the Economic History of Byzantium". Dalam Angeliki E. Laiou. The Economic History of Byzantium (Volume 1). Dumbarton Oaks.
- Lapidge, Michael; Blair, John; Keynes, Simon (1998). The Blackwell Encyclopaedia of Anglo-Saxon England. Blackwell Publishing. ISBN 0631224920.
- Louth, Andrew (2005). "The Byzantine Empire in the Seventh Century". Dalam Paul Fouracre and Rosamond McKitterick. The New Cambridge Medieval History (Volume I). Cambridge University Press. ISBN 0521362911.
- Lowe, Steven. "The Seljuqs of Rum". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-07-22. Diakses tanggal 2007-07-09.
- Madden, Thomas F. (2005). Crusades: The Illustrated History. University of Michigan Press. ISBN 0472031279.
- Magdalino, Paul (2002). "Medieval Constantinople: Built Environment and Urban Development". Dalam Angeliki E. Laiou. The Economic History of Byzantium (Volume 2) (PDF). Dumbarton Oaks.
- Magdalino, Paul (2002). The Empire of Manuel I Komnenos, 1143–1180. Cambridge University Press. ISBN 0521526531.
- Mango, Cyril A. (2005). Byzantium: The Empire of the New Rome. Phoenix Press. ISBN 1898800448.
- Mango, Cyril A. (2002). The Oxford History of Byzantium. Oxford University Press. ISBN 0198140983.
- Markham, Paul. "The Battle of Manzikert: Military Disaster or Political Failure?". Diakses tanggal 2007-05-19.
- Matschke, Klaus-Peter (2002). "Commerce, Trade, Markets, and Money: Thirteenth-Fifteenth Centuries". Dalam Angeliki E. Laiou. The Economic History of Byzantium (Volume 2) (PDF). Dumbarton Oaks.
- McDonnell, Myles Anthony (2006). "Hellenization and Arete: Semantic Borrowing". Roman Manliness: Virtus and the Roman Republic. Cambridge University Press. ISBN 9780521827881.
- Meyendorff, John (1982). The Byzantine Legacy in the Orthodox Church. St Vladimir's Seminary Press. ISBN 0913836907.
- Millar, Fergus (2006). A Greek Roman Empire: Power and Belief under Theodosius II (408–450). University of California Press. ISBN 0520247035.
- Moravcsik, Gyula (1970). Byzantium and the Magyars. Hakkert.
- Mousourakis, George (2003). "The Dominate". The Historical and Institutional Context of Roman Law. Ashgate Publishing. ISBN 0754621146.
- Nathan, Geoffrey S. "Roman Emperors: Theodosius II". Diakses tanggal 2007-01-10.
- Neumann, Iver B. (2006). "Sublime Diplomacy: Byzantine, Early Modern, Contemporary" (PDF). Millennium: Journal of International Studies. 34 (3): 865–888. ISSN 1569-2981. Diakses tanggal 2007-05-21.
- Neubecker, Ottfried (1997). Heraldry: Sources, Symbols and Meaning. Time Warner Books UK. ISBN 0316641413.
- Neville, Leonora Alice (2004). "Imperial Administration and Byzantine Political Culture". Authority in Byzantine Provincial Society, 950–1100. Cambridge University Press. ISBN 0521838657.
- Nicol, Donald MacGillivray (1993). The Last Centuries of Byzantium, 1261–1453. Cambridge University Press. ISBN 0521439914.
- Norwich, John Julius (1998). A Short History of Byzantium. Penguin. ISBN 9780140259605.
- Obolensky, Dimitri (1994). "The Principles and Methods of Byzantine Diplomacy". Byzantium and the Slavs. St Vladimir's Seminary Press. ISBN 088141008X.
- Ostrogorsky, Georg (1969). History of the Byzantine State. New Brunswick (NJ). ISBN 0813511984.
- Paparrigopoulos, Constantine; Karolidis, Pavlos (1925). History of the Hellenic Nation (Volume Db) (dalam bahasa Greek). Eleftheroudakis.
- Parry, Kenneth (1996). "Historical Introduction". Depicting the Word: Byzantine Iconophile Thought of the Eighth and Ninth Centuries. Brill Academic Publishers. ISBN 9004105026.
- Postan, Michael Moïssey; Miller, Edward; Postan, Cynthia (1987). The Cambridge Economic History of Europe (Volume 2). Cambridge University Press. ISBN 0521087090.
- Read, Piers Paul (2000). The Templars: The Dramatic History of the Knights Templar, The Most Powerful Military Order of the Crusades. Macmillan. ISBN 0312266588.
- Reinert, Stephen W. (2002). "Fragmentation (1204–1453)". Dalam Cyril Mango. The Oxford History of Byzantium. Oxford University Press. ISBN 0198140983.
- Robins, Robert Henry (1993). The Byzantine Grammarians: Their Place in History. Walter de Gruyter. ISBN 3110135744.
- Runciman, Steven (1982). "The Bogomils". The Medieval Manichee: A Study of the Christian Dualist Heresy. Cambridge University Press. ISBN 0521289262.
- Runciman, Steven (1990). The Fall of Constantinople, 1453. Cambridge University Press. ISBN 0521398320.
- Runciman, Steven (1970). The Last Byzantine Renaissance. Cambridge, England: University Press. ISBN 0521077877.
- Ryan, Herbert J. (1993). "The Church in History". Dalam Christopher Key Chapple and Thomas P. Rausch. The College Student's Introduction to Theology. Liturgical Press. ISBN 0814658415.
- Saramandru, Nicolae. "Torna, Torna Fratre" (PDF) (dalam bahasa Romanian). Editura Academiei Române. Diakses tanggal 2007-04-25.
- Sedlar, Jean W. (1994). "Foreign Affairs". East Central Europe in the Middle Ages, 1000–1500. University of Washington Press. ISBN 0295972904.
- Seeck, Otto (1876). Notitia Dignitatum accedunt Notitia Urbis Constantinopolitanae Laterculi Prouinciarum. Berlin, Germany: Apud Weidmannos.
- Seton-Watson, Hugh (1967). "The Church". The Russian Empire, 1801–1917. Oxford University Press. ISBN 0198221525.
- Shahid, Irfan (1972). "The Iranian factor in Byzantium during the reign of Heraclius". Dumbarton Oaks Papers. Dumbarton Oaks, Trustees for Harvard University. 26: 293–320. doi:10.2307/1291324.
- Shopen, Timothy (1987). Languages and Their Status. University of Pennsylvania Press. ISBN 0812212495.
- Speck, Paul (1984). "Ikonoklasmus und die Anfänge der Makedonischen Renaissance". Varia 1 (Poikila Byzantina 4). Rudolf Halbelt. hlm. 175–210.
- Stone, Andrew. "John II Komnenos (AD 1118–1143)". Online Encyclopedia of Roman Emperors. Diakses tanggal 2007-05-18.
- Stone, Andrew. "Manuel I Komnenos (AD 1143–1180)". Online Encyclopedia of Roman Emperors. Diakses tanggal 2007-02-05.
- "Siege of Zara". Encyclopædia Britannica Concise. Diakses tanggal 2007-05-18.
- Tarasov, Oleg; Milner-Gulland, R. R. (2004). Icon and Devotion: Sacred Spaces in Imperial Russia. Reaktion Books. ISBN 1861891180.
- Tatakes, Vasileios N.; Moutafakis, Nicholas J. (2003). Byzantine Philosophy. Hackett Publishing. ISBN 0872205630.
- "The Fourth Crusade and the Latin Empire of Constantinople". Encyclopædia Britannica. 2002.
- Treadgold, Warren (1995). "The Army and the State". Byzantium and Its Army, 284–1081. Stanford University Press. ISBN 0804724202.
- Treadgold, Warren (1997). A History of the Byzantine State and Society. Stanford University Press. ISBN 0804726302.
- Treadgold, Warren (1991). The Byzantine Revival, 780–842. Stanford University Press. ISBN 0804718962.
- Troianos, Spyros; Velissaropoulou-Karakosta, Julia (1997). "Byzantine Law". History of Law. Ant. N. Sakkoulas Publishers. ISBN 9602325941.
- University of Chile: Center of Byzantine and Neohellenic Studies (1971). Bizantion Nea Hellas (Issue 2). University Press.
- Vasiliev, Alexander Alexandrovich (1928–1935). "Byzantium and the Crusades". History of the Byzantine Empire. ISBN 0299809250.
- Versteegh, Cornelis H. M. (1977). "The First Contact with Greek Grammar". Greek Elements in Arabic Linguistic Thinking. Leiden: Brill. ISBN 9004048553.
- Watson, Bruce (1993). "Jerusalem 1099". Sieges: A Comparative Study. Praeger/Greenwood. ISBN 0275940349.
- Wells, H. G. (1922). A Short History of the World. New York, New York: Macmillan. ISBN 0064926745.
- Wickham, Chris (2009). The Inheritance of Rome: A History of Europe from 400 to 1000. Viking. ISBN 0670020982.
- Williams, Stephen; Friell, Gerard; Friell, John Gerard Paul (1999). "Jerusalem 1099". The Rome that Did Not Fall: The Survival of the East in the Fifth Century. Routledge. ISBN 0415154030.
- Winnifrith, Tom; Murray, Penelope (1983). Greece Old and New. Macmillan. ISBN 0333278364.
- Wroth, Warwick (1908). Catalogue of the Imperial Byzantine Coins in the British Museum. British Museum Dept. of Coins and Medals. ISBN 1402189540.
Bacaan lanjut
- Ahrweiler, Helene (2000). Les Europeens. Paris: Herman.
- Haldon, John (2001). The Byzantine Wars: Battles and Campaigns of the Byzantine Era. Stroud: Tempus Publishing. ISBN 0752417959.
- Hussey, J. M. (1966). The Cambridge Medieval History, Volume IV — The Byzantine Empire Part I, Byzantium and its Neighbors. Cambridge University Press.
- Runciman, Steven (1966). Byzantine Civilisation. Edward Arnold (Publishers). ISBN 1566195748.
- Runciman, Steven (1990). The Emperor Romanus Lecapenus and his Reign. University Press (Cambridge). ISBN 0521061644.
- Toynbee, Arnold J. (1972). Constantine Porphyrogenitus and His World. Oxford University Press. ISBN 019215253X. ISBN 0-19-215253-X.
Pranala luar
Studi, sumber, dan bibliografi Bizantium
- Adena, L. "The Enduring Legacy of Byzantium", Clio History Journal, 2008.
- Ciesniewski, C. "The Byzantine Achievement", Clio History Journal, 2006.
- Fox, Clinton R. What, If Anything, Is a Byzantine? (Ensiklopedia Kaisar-kaisar Romawi Daring)
- The Cambridge Medieval History (IV) The Eastern Roman Empire (717–1453).
- Halaman studi Bizantium di Dumbarton Oaks. Meliputi pranala ke beberapa teks elektronik.
- Byzantium: Byzantine Studies on the Internet. Pranala ke berbagai sumber daring.
- Translated Excerpts from Byzantine Sources: The Imperial Centuries, c. 700-1204. Sumber daring.
- De Re Militari. Sumber-sumber untuk sejarah abad pertengahan, meliputi beberapa sumber terjemahan mengenai peperangan Bizantium.
- Medieval Sourcebook: Byzantium. Beberapa sumber primer mengenai sejarah Romawi Timur.
- Bibliography on Byzantine Material Culture and Daily Life. Dihost oleh Universitas Wina; dalam bahasa Inggris.
- Constantinople Home Page. Pranala ke teks, gambar, dan video tentang Bizantium.
- Bizantium di Krimea: Sejarah Politik, Seni, dan Budaya.
- Institute for Byzantine Studies of the Austrian Academy of Sciences
Lainnya
- De Imperatoribus Romanis. Biografi ilmiah kaisar-kaisar Bizantium.
- Jatuhnya Kekaisaran. Pelajaran Bizantium (2007). (Russian: Гибель империи. Византийский урок) Film yang menjelaskan mengapa Romawi Timur jatuh dari sudut pandang politik dan ekonomi, difilmkan oleh Gereja Ortodoks Rusia.
- 12 Penguasa Bizantium oleh Lars Brownworth dari The Stony Brook School; ceramah audio. ulasan NYTimes.
- 18 abad Kekaisaran Romawi oleh Howard Wiseman (Peta-peta Romawi/Bizantium selama keberadaannya)
Templat:Link FA Templat:Link FA Templat:Link FA Templat:Link FA Templat:Link FA
Templat:Link FA Templat:Link FA Templat:Link FA Templat:Link FA Templat:Link FA Templat:Link FA