Lamtoro
Lamtoro | |
---|---|
Klasifikasi ilmiah | |
Kerajaan: | |
Divisi: | |
Kelas: | |
Ordo: | |
Famili: | |
Subfamili: | |
Genus: | |
Spesies: | L. leucocephala
|
Nama binomial | |
Leucaena leucocephala | |
Sinonim | |
|
Lamtoro, petai cina, atau petai selong adalah sejenis perdu dari suku Fabaceae (=Leguminosae, polong-polongan), yang kerap digunakan dalam penghijauan lahan atau pencegahan erosi. Berasal dari Amerika tropis, tumbuhan ini sudah ratusan tahun dimasukkan ke Jawa untuk kepentingan pertanian dan kehutanan[1], dan kemudian menyebar pula ke pulau-pulau yang lain di Indonesia. Oleh sebab itu agaknya, maka tanaman ini di Malaysia dinamai petai jawa.
Tumbuhan ini dikenal pula dengan aneka sebutan yang lain seperti pĕlĕnding, peuteuy sélong (Sd.); kemlandingan, mètir, lamtoro dan lamtoro gung (=lamtoro besar; untuk varietas yang bertubuh lebih besar) (Jw.); serta kalandhingan (Md.).[1] Nama-namanya dalam pelbagai bahasa asing, di antaranya: petai belalang, petai jawa (Mly.); lamandro (PNG); ipil-ipil, elena, kariskis (Fil.); krathin (Thai); leucaena, white leadtree (Ingg.); dan leucaene, faux mimosa (Prc.).[2] Nama spesiesnya, leucocephala (='berkepala putih') mengacu kepada bongkol-bongkol bunganya yang berwarna keputihan.[3]
Pengenalan
Pohon atau perdu, tinggi hingga 20m; meski kebanyakan hanya sekitar 10m. Percabangan rendah, banyak, dengan pepagan kecoklatan atau keabu-abuan, berbintil-bintil dan berlentisel. Ranting-ranting bulat torak, dengan ujung yang berambut rapat.[2]
Daun majemuk menyirip rangkap, sirip 3—10 pasang, kebanyakan dengan kelenjar pada poros daun tepat sebelum pangkal sirip terbawah; daun penumpu kecil, segitiga. Anak daun tiap sirip 5—20 pasang, berhadapan, bentuk garis memanjang, 6—16(—21) mm × 1—2(—5) mm, dengan ujung runcing dan pangkal miring (tidak sama), permukaannya berambut halus dan tepinya berjumbai.[2][4]
Bunga majemuk berupa bongkol bertangkai panjang yang berkumpul dalam malai berisi 2-6 bongkol; tiap-tiap bongkol tersusun dari 100-180 kuntum bunga, membentuk bola berwarna putih atau kekuningan berdiameter 12—21 mm, di atas tangkai sepanjang 2—5 cm.[3] Bunga kecil-kecil, berbilangan—5; tabung kelopak bentuk lonceng bergigi pendek, lk 3 mm; mahkota bentuk solet, lk. 5 mm, lepas-lepas. Benangsari 10 helai, lk 1 cm, lepas-lepas.[4]
Buah polong bentuk pita lurus, pipih dan tipis, 14—26 cm × 1.5—2 cm, dengan sekat-sekat di antara biji, hijau dan akhirnya coklat kering jika masak, memecah sendiri sepanjang kampuhnya. Berisi 15—30 biji yang terletak melintang dalam polongan, bundar telur terbalik, coklat tua mengkilap, 6—10 mm × 3—4.5 mm.[2][4]
Asal-usul, anak jenis dan persebaran
Tanah asli lamtoro adalah Meksiko dan Amerika Tengah, di mana tanaman ini tumbuh menyebar luas. Penjajah Spanyol membawa biji-bijinya dari sana ke Filipina di akhir abad XVI. dan dari tempat ini mulailah lamtoro menyebar luas ke pelbagai bagian dunia; ditanam sebagai peneduh tanaman kopi, penghasil kayu bakar, serta sumber pakan ternak yang lekas tumbuh.[5]
Lamtoro mudah beradaptasi, dan segera saja tanaman ini menjadi liar di berbagai daerah tropis di Asia dan Afrika; termasuk pula di Indonesia. Ada tiga anak jenis (subspesies)nya, yakni:[3]
- Leucaena leucocephala ssp. leucocephala; ialah anak jenis yang disebar luaskan oleh bangsa Spanyol di atas. Di Jawa dikenal sebagai lamtoro atau petai cina ‘lokal’, berbatang pendek sekitar 5 m tingginya dan pucuk rantingnya berambut lebat.
- ssp. glabrata (Rose) S. Zárate. Dikenal sebagai lamtoro gung, tanaman ini berukuran besar segala-galanya (pohon, daun, bunga, buah) dibandingkan anak jenis yang pertama. Lamtoro gung baru menyebar luas di dunia dalam beberapa dekade terakhir. Serta,
- ssp. ixtahuacana C. E. Hughes; yang menyebar terbatas di Meksiko dan Guatemala.
Pemanfaatan
Sejak lama lamtoro telah dimanfaatkan sebagai pohon peneduh, pencegah erosi, sumber kayu bakar dan pakan ternak. Di tanah-tanah yang cukup subur, lamtoro tumbuh dengan cepat dan dapat mencapai ukuran dewasanya (tinggi 13—18 m) dalam waktu 3 sampai 5 tahun. Tegakan yang padat (lebih dari 5000 pohon/ha) mampu menghasilkan riap kayu sebesar 20 hingga 60 m³ perhektare pertahun. Pohon yang ditanam sendirian dapat tumbuh mencapai gemang 50 cm.[5]
Lamtoro adalah salah satu jenis polong-polongan serbaguna yang paling banyak ditanam dalam pola pertanaman campuran (wanatani). Pohon ini sering ditanam dalam jalur-jalur berjarak 3—10 m, di antara larikan-larikan tanaman pokok. Kegunaan lainnya adalah sebagai pagar hidup, sekat api, penahan angin, jalur hijau, rambatan hidup bagi tanaman-tanaman yang melilit seperti lada, panili, markisa dan gadung, serta pohon penaung di perkebunan kopi dan kakao.[2][6] Di hutan-hutan tanaman jati yang dikelola Perhutani di Jawa, lamtoro kerap ditanam sebagai tanaman sela untuk mengendalikan hanyutan tanah (erosi) dan meningkatkan kesuburan tanah.[7] Perakaran lamtoro memiliki nodul-nodul akar tempat mengikat nitrogen.
Kayu
Lamtoro terutama disukai sebagai penghasil kayu api. Kayu lamtoro memiliki nilai kalori sebesar 19.250 kJ/kg, terbakar dengan lambat serta menghasilkan sedikit asap dan abu. Arang kayu lamtoro berkualitas sangat baik, dengan nilai kalori 48.400 kJ/kg.[2][5]
Kayunya termasuk padat untuk ukuran pohon yang lekas tumbuh (kepadatan 500—600 kg/m³) dan kadar air kayu basah antara 30—50%, bergantung pada umurnya. Lamtoro cukup mudah dikeringkan dengan hasil yang baik, dan mudah dikerjakan. Sayangnya kayu ini jarang yang memiliki ukuran besar; batang bebas cabang umumnya pendek dan banyak mata kayu, karena pohon ini banyak bercabang-cabang. Kayu terasnya berwarna coklat kemerahan atau keemasan, bertekstur sedang, cukup keras dan kuat sebagai kayu perkakas, mebel, tiang atau penutup lantai. Kayu lamtoro tidak tahan serangan rayap dan agak lekas membusuk apabila digunakan di luar ruangan, akan tetapi mudah menyerap bahan pengawet.[2][3][5]
Lamtoro juga merupakan penghasil pulp (bubur kayu) yang baik, yang cocok untuk produksi kertas atau rayon.[3] Kayunya menghasilkan 50—52% pulp, dengan kadar lignin rendah dan serat kayu sepanjang 1,1—1,3 mm. Kualitas kertas yang didapat termasuk baik.[2]
Daun
Daun-daun dan ranting muda lamtoro merupakan pakan ternak dan sumber protein yang baik, khususnya bagi ruminansia. Daun-daun ini memiliki tingkat ketercernaan 60 hingga 70% pada ruminansia, tertinggi di antara jenis-jenis polong-polongan dan hijauan pakan ternak tropis lainnya. Lamtoro yang ditanam cukup rapat dan dikelola dengan baik dapat menghasilkan hijauan dalam jumlah yang tinggi. Namun pertanaman campuran lamtoro (jarak tanam 5—8 m) dengan rumput yang ditanam di antaranya, akan memberikan hasil paling ekonomis.[5]
Ternak sapi dan kambing menghasilkan pertambahan bobot yang baik dengan komposisi hijauan pakan berupa campuran rumput dan 20—30% lamtoro.[5] Meskipun semua ternak menyukai lamtoro, akan tetapi kandungan yang tinggi dari mimosin dapat menyebabkan kerontokan rambut pada ternak non-ruminansia. Mimosin, sejenis asam amino, terkandung pada daun-daun dan biji lamtoro hingga sebesar 4% berat kering.[8] Pada ruminansia, mimosin ini diuraikan di dalam lambungnya oleh sejenis bakteria, Synergistes jonesii. Pemanasan dan pemberian garam besi-belerang pun dapat mengurangi toksisitas mimosin.[5]
Di Jawa, pucuk dan polong yang muda biasa dilalap mentah. Biji-bijinya yang tua disangrai sebagai pengganti kopi, dengan bau harum yang lebih keras dari kopi.[1] Biji-biji yang sudah cukup tua, tetapi belum menghitam, biasa digunakan sebagai campuran pecal dan botok.
Daun-daunnya juga kerap digunakan sebagai mulsa dan pupuk hijau. Daun-daun lamtoro lekas mengalami dekomposisi.
Produk lain
Lamtoro diketahui menghasilkan zat penyamak dan zat pewarna merah, coklat dan hitam dari pepagan (kulit batang), daun, dan polongnya. Sejenis resin atau gum juga dihasilkan dari batang yang terluka atau yang kena penyakit, terutama dari persilangan L. leucocephala × L. esculenta. Gum ini memiliki kualitas yang baik, serupa dengan gum arab.[2][3][6]
Berbunga sepanjang tahun, lamtoro menyediakan pakan yang baik bagi lebah madu, sehingga cocok untuk mendukung apikultur.[3]
Ekologi dan perbanyakan
Lamtoro menyukai iklim tropis yang hangat (suhu harian 25-30 °C); ketinggian di atas 1000 m dpl. dapat menghambat pertumbuhannya. Tanaman ini cukup tahan kekeringan, tumbuh baik di wilayah dengan kisaran curah hujan antara 650—3.000 mm (optimal 800—1.500 mm) pertahun; akan tetapi termasuk tidak tahan penggenangan.[6]
Tanaman lamtoro mudah diperbanyak dengan biji dan dengan pemindahan anakan. Saking mudahnya tumbuh, di banyak tempat lamtoro seringkali merajalela menjadi gulma. Tanaman ini pun mudah trubus; setelah dipangkas, ditebang atau dibakar, tunas-tunasnya akan tumbuh kembali dalam jumlah banyak.[3][9]
Tidak banyak hama yang menyerang tanaman ini, akan tetapi lamtoro teristimewa rentan terhadap serangan hama kutu loncat (Heteropsylla cubana). Serangan hama ini di Indonesia pada akhir tahun 1980an, telah mengakibatkan habisnya jenis lamtoro ‘lokal’ di banyak tempat.[5]
Lamtoro mekar pada malam hari dan menutup daunnya pada siang hari.
Rujukan
- ^ a b c Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, jil. 2. Yay. Sarana Wana Jaya, Jakarta. Hal. 885-887 (sebagai Leucaena glauca Benth.)
- ^ a b c d e f g h i E-Prosea Detail: Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit
- ^ a b c d e f g h ICRAF Agroforestry Tree Database: Leucaena leucocephala
- ^ a b c Steenis, CGGJ van. 1981. Flora, untuk sekolah di Indonesia. PT Pradnya Paramita, Jakarta. Hal. 216 (sebagai Leucàena glàuca Bth.).
- ^ a b c d e f g h FACT Sheet: Leucaena leucocephala - a versatile nitrogen fixing tree. FACT 97-06, September 1997.
- ^ a b c FAO – AGPC: Leucaena leucocephala - the Most Widely Used Forage Tree Legume
- ^ Biro Perencanaan dan Pengembangan Perusahaan. Manual RTT Tehnis Hutan. Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Malang, Oktober 2003.
- ^ Handbook of Energy Crops (Purdue): Leucaena leucocephala (Lam.) De Wit
- ^ Kuo, Y.L. 2003. Ecological Characteristics of Three Invasive Plants (Leucaena Leucocephala, Mikania Micrantha, and Stachytarpheta Urticaefolia) in Southern Taiwan. Food and Fertilizer Technology Center (FFTC)
Pranala luar
- Germplasm Resources Information Network, "Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit"
- Economics of Subabul Plantation In Hegde, N.G. and Abhyanker, P.D. (eds.) The Greening of Wastelands.
- Iptek Net: Petai Cina, tanaman obat Indonesia.