Ahlul-Bait (Bahasa Arab: أهل البيت) adalah istilah yang berarti "Orang Rumah" atau keluarga. Dalam tradisi Islam istilah itu mengarah kepada keluarga Muhammad. Terjadi perbedaan dalam penafsiran baik Muslim Syi'ah maupun Sunni. Syi'ah berpendapat bahwa Ahlul Bait mencakup lima orang yaitu Ali, Fatimah, Hasan dan Husain sebagai anggota Ahlul Bait (di samping Muhammad). Sementara Sunni berpendapat bahwa Ahlul Bait adalah anggota keluarga Nabi Muhammad, meliputi istri-istri beliau, mertua-mertua juga menantu-menantu beliau hingga cucu-cucu beliau.

Perbedaan Interpretasi Syi'ah, Sunni dan Sufi

Syi'ah

Kaum Syi'ah, khususnya Mazhab Dua Belas Imam menafsirkan bahwa Ahlul Bait adalah "anggota rumah tangga" Nabi Muhammad dan mempercayai bahwa mereka terdiri dari: Muhammad, Ali bin Abi Thalib, Fatimah az-Zahra, Hasan bin Ali, dan Husain bin Ali.

Kaum Syi'ah percaya bahwa yang dimaksud dengan Ahlul Bait yang disucikan sesuai dengan ayat tathîr (penyucian) (QS. Al-Ahzab [33]:33), adalah mereka yang termasuk dalam ahlul-kisa yaitu Rasulullah saw, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain serta 9 imam berikutnya yang merupakan keturunan dari Husain.

Hadist Shahīh dari Sunni yang mendukung keutamaan Ahlul Kisa

Shahīh Muslim, vol. 7, hal. 130

A'isyah berkata, "Pada suatu pagi, Rasulullah saw keluar rumah menggunakan jubah (kisa) yang terbuat dari bulu domba. Hasan as datang dan kemudian beliau saw menempatkannya di bawah kisa tersebut. Kemudian Husain as datang dan masuk ke dalamnya. Kemudian Fatimah as ditempatkan oleh Rasulullah saw di sana. Kemudian Ali as datang dan Rasulullah saw mengajaknya di bawah kisa dan berkata,
"Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya." (QS. Al-Ahzab [33]:33)[1]

Sunan at-Turmudzi, Kitab al-Manâqib

Ummu Salamah mengutip bahwa Rasulullah saw menutupi Hasan, Husain, Ali dan Fatimah dengan kisa-nya, dan menyatakan, "Wahai Allah! Mereka Ahlulbaitku dan yang terpilih. Hilangkan dosa dari mereka dan sucikanlah mereka!"
Ummu Salamah berkata, "Aku bertanya pada Rasulullah saw, Wahai Rasul Allah! Apakah aku termasuk di dalamnya?" Beliau menjawab, "Engkau berada dalam kebaikan (tetapi tidak termasuk golongan mereka)."

at-Turmudzi menulis di bawah hadits ini, "Hadits ini shahīh dan bersanad baik, serta merupakan hadits terbaik yang pernah dikutip mengenai hal ini."[2]

Sesuai dengan hadits di atas, Syi'ah berpendapat bahwa istri-istri Nabi tidak termasuk dalam Ahlul Bait, sebagaimana pendapat Sunni yang memasukkan istri-istri Nabi.

Sunni

Kaum Sunni juga mempercayai tentang kedudukan Ahlul Bait seperti yang di atas. Hadis Sahih yang tersebut mengenai Ahlul Bait sudah jelas memposisikan kedudukan zuriat Sayyidina Hasan dan Sayyidina Hussain pada posisi yang istimewa. Hadis Nabi juga mengatakan bahawa kedua cucu-cucu baginda ini adalah Sayyid iaitu pemuka.

Para Pengasas Tariqah Sufi

Ulama Sunni menyepakati bahwa semua pendiri Tariqah Mu'tabaroh mestilah dari golongan ahlul bait samaada dari Sayyidina Hasan atau Sayyidina Hussain.

Sejarah telah membuktikan bahawa para masyaikh penerus panji-panji Islam setelah wafatnya Rasulullah adalah para ahlul bait, seperti:

  • As-Sayyid As-Syaikh Bahau'uddin Naqsyabandi (Tariqah Naqsyabandi)
  • As-Sayyid Al-Faqih Muqaddam Muhammad bin 'Ali BaAlawi Al-Husaini (Tariqah Aal BaAlawi)
  • As-Sayyid As-Syaikh Abdul Qadir Jailani Al-Hasanaini (Tariqah Qadiriyah)
  • As-Sayyid As-Syaikh Ahmad bin Idris Al-Hasani (Tariqah Ahmadiyah Idrissiyah)
  • As-Sayyid As-Syaikh Abil Hasan Asy-Syazuli (Tariqah Syadziliyyah)

dan seterusnya. Ramai lagi pengasas-pengasas tariqah-tariqah mu'tabarah yang semuanya dari kalangan ahlul bait. Silsilah ajaran mereka kebanyakannya melalui Imam Ja'afar Sodiq, dan semua kecuali mendapat sanad dari Sayyidina Ali. Tariqah Naqsyabandiah adalah satu-satunya yang juga mendapat sanad dari Sayyidina Abu Bakar.

Setelah kedatangan faham Ibn Wahab, maka posisi ahlul bait telah di lecehkan kerna benci mereka kepada kaum Syiah. Ini adalah meskipun kaum Sunni memandang tinggi dan hormat terhadap para ahlul bait.

Wahabbi mengatakan bahwa istilah Ahlul Bait memang hanya mencakup keluarga Ali, akan tetapi keluarga Nabi Muhammad mencakup seluruh umat Muslim yang taat, sebab hubungan kekeluargaan tersebut adalah berdasarkan Takwa pada kepercayaan Islam, dan bukan berdasarkan pada darah keturunan. Wahabbi percaya bahwa setiap orang yang taat adalah bagian dari Ahlul Bait, dan bahwa beberapa orang secara khusus disebutkan sebagai bagian daripadanya. Beberapa orang ini, adalah istri-istri Nabi Muhammad, yang disebutkan di dalam Al Qur'an sebagai bagian dari Ahlul Bait.

Ahlul Kisa

Kaum Sufi yang memiliki keterikatan dengan ahlul-kisa, yaitu keluarga Ali bin Abu Talib k.w.[3] dan Fatimah az-Zahra baik secara zhahir (faktor keturunan) dan secara bathin (do'a dan amalan) sangat mendukung keutamaan Ahlul Kisa. Tetapi berpendapat Ahlul Bait bukan hanya Ahlul Kisa sesuai dengan hadits Tsaqalayn yaitu Ahlul bait adalah mereka yang haram menerima zakat yaitu keluarga Ali, Aqil dan Ja'far (yang merupakan putra-putra Abu Thalib) dan keluarga Abbas (Hadits Shahih Muslim dari Zaid bin Arqam). Tetapi kaum Sufi dalam hal kekhalifahan memiliki perbedaan tajam dengan kaum Syi'ah.

Kekhalifahan

Kaum Sufi berpendapat kekhalifahan ada 2 macam, yaitu :

  • Khalifah secara zhahir (Waliyyul Amri, Surat An Nisa ayat 59 "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." atau mereka yang menjadi Kepala Pemerintahan; dan
  • Khalifah secara bathin (Waliyyul Mursyid,Surat Al Kahfi ayat 17) "Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk (Waliyyan Mursyida) kepadanya." atau mereka yang menjadi Pembina Ruhani umat Islam.
Khalifah secara zhahir

Menurut kalangan Sufi kekhalifahan yang zhahir boleh saja dipegang oleh orang Muslim yang kurang beriman atau Mukmin tapi kurang bertaqwa, dalam keadaan darurat atau karena sudah taqdir yang tak bisa dihindari. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya perkataan ‘athii’ sebelum ‘waliyyul amri’, kata ‘athii’ atau taat-lah hanya ditempelkan kepada ‘Allah’ kemudian ditempelkan kepada ‘Rasul’ sehingga lafadz lengkapnya menjadi,”Athiiulloho wa athiiurosuula wa ulil amri minkum”. Berarti taat yang mutlaq hanya kepada Allah dan Rasulnya. Taat kepada Ulil Amri dapat dilakukan dengan syarat ia taat lebih dulu kepada Allah dan Rasulnya. Memilih seorang Pemimpin atas dasar ke-taat-an kepada Allah adalah hal yang logis dan jauh lebih mudah dari pada memilih seorang Pemimpin atas dasar 'maksum' atau kesucian. Karena 'taat' kepada Allah adalah suatu yang dapat terlihat (kurang lebihnya) didalam kehidupan seseorang.

Dengan kata lain ayat ini (dalam pandangan kaum Suni dan kaum Sufi) menunjukkan tidak-adanya syarat ‘maksum’ bagi Waliyyul Amri. Sangat mungkin ini adalah petunjuk Allah bagi Umat Islam untuk menerima siapapun Pemimpinnya di setiap zaman, selama ia taat kepada Allah dan Rasulnya, karena sesuai dengan akal sehat yang dimiliki umat manusia bahwa ‘tak ada yang mengetahui hamba Allah yang suci atau ‘maksum’, kecuali Allah sendiri.’

Khalifah secara bathin

Tapi ke-khalifah-an bathin, karena harus mempunyai syarat ke-wali-an dalam pengertian bathin, tak mungkin jatuh, kecuali kepada orang Mukmin yang ber taqwa dan dicintai Allah, surat Yunus 62-64. Ke-khalifah-an bathin atau jabatan Waliyyul Mursyid adalah mereka yang mempunyai ilmu dan karakter (kurang-lebih) seperti Nabi Khidir di dalam Surat Al Kahfi. Hikmah tidak disebutkannya kata 'Nabi Khidir' juga boleh jadi mengisyaratkan setiap zaman akan ada manusia yang terpilih seperti itu.

Didalam sejarah tarekat kaum Sufi, para Wali Mursyid sebagian besarnya adalah keturunan Ali dari Fatimah baik melalui Hasan dan Husain. Menurut kaum Sufi memaksakan kekhalifahan zhahir hanya untuk keluarga Ali adalah suatu yang musykil/mustahil karena bila menolak 3 khalifah sebelumnya (yang telah disetujui oleh mayoritas) berarti membuat perpecahan dalam umat Islam, juga bertentangan dengan prinsip akal sehat, karena boleh jadi seorang kurang ber-taqwa tapi dalam hal pemerintahan sangat cakap. Sedangkan seorang yang ber-taqwa justru mungkin saja tidak menguasai masalah pemerintahan.

Bila menganggap Imamah adalah Khalifah Bathin mungkin saja bisa, tapi membatasi hanya 12 bertentangan dengan banyak hadits shahih tentang para Wali Allah yang tidak pernah disebut dari keluarga tertentu, apalagi dengan pembatasan jumlahnya. Idealnya memang seorang Khalifah zhahir (Waliyyul Amri) dipilih dari mereka yang juga menjabat Khalifah bathin (Waliyyul Mursyid). Tapi pertanyaannya siapakah yang mengetahui Wali-wali Allah, apalagi yang berderajat Waliyyul Mursyid, kalau bukan Allah sendiri.

Siapa yang disebut Ahlul-Bait?

Makna “Ahl” dan “ahlul bait” dalam pengertian leksikal berarti penghuni rumah, termasuk isteri dan anak-anak. Pengertian ini dianut sebagian kalangan Sunni dan Salafi, yang menyatakan bahwa ahlul bait Nabi mencakup pula istri-istri beliau, mertua-mertua juga menantu-menantu beliau hingga cucu-cucu beliau.

Kalangan Sufi dan sebagian kaum Sunni menyatakan bahwa Ahlul-Bait adalah anggota keluarga Nabi Muhammad SAW yang dalam hadits disebutkan haram menerima zakat seperti keluarga Ali dan Fatimah beserta putra-putra mereka (al-Hasan dan al-Husain) dan keturunan mereka. Juga keluarga Abbas bin Abdul-Muththalib dan keluarga Ja'far serta keluarga Aqil yang sama dengan Ali juga merupakan putra-putra Abu Thalib.

Adapun risalah lengkap sebagaimana yang tercantum dalam Shahih Muslim adalah sebagai berikut:

Yazid bin Hayyan berkata, "Aku pergi ke Zaid bin Arqam bersama Husain bin Sabrah dan Umar bin Muslim. Setelah kami duduk, Husain berkata kepada Zaid bin Arqam, 'Hai Zaid, kau telah memperoleh kebaikan yang banyak. Kau melihat Rasulullah, kau mendengar sabda beliau, kau bertempur menyertai beliau, dan kau telah shalat dengan diimami oleh beliau. Sungguh kau telah memperoleh kebaikan yang banyak. Karena itu, sampaikan kepada kami hai Zaid, apa yang kau dengar dari Rasulullah!'"
"Kata Zaid bin Arqam, 'Hai kemenakanku, demi Allah, aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari Rasulullah. Apa yang bisa aku sampaikan kepadamu terimalah dan apa yang tidak bisa aku sampaikan kepadamu janganlah kamu memaksaku untuk menyampaikannya.'"
"Kemudian Zaid bin Arqam mengatakan, 'Pada suatu hari Rasulullah berdiri dengan berpidato di suatu tempat air yang disebut Khumm antara Mekkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan peringatan, lalu beliau bersabda, Ketahuilah saudara-saudara bahwa aku adalah manusia seperti kalian. Sebentar lagi utusan Tuhanku (malaikat pencabut nyawa) akan datang lalu dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan untuk kalian dua hal yang berat, yaitu: 1) Al-Qur'an yang berisi petunjuk dan cahaya, karena itu laksanakanlah isi Al-Qur'an dan pegangilah. (Beliau mendorong dan mengimbau pengamalan Al-Qur'an). 2) Keluargaku. Aku ingatkan kalian agar berpedoman dengan hukum Allah dalam memperlakukan keluargaku (tiga kali)".
Husain bertanya kepada Zaid bin Arqam, "Hai Zaid, siapa ahlul bait (keluarga) Rasulullah itu? Bukankah istri-istri beliau ahlul baitnya?"
Kata Zaid bin Arqam, "Istri-istri beliau adalah ahlul baitnya, tetapi ahlul bait beliau adalah orang yang diharamkan menerima zakat sampai sepeninggal beliau."
Kata Husain, "Siapa mereka itu?"
Kata Zaid bin Arqam, "Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja'far dan keluarga Abbas."
Kata Husain, "Apakah mereka semua diharamkan menerima zakat?"
Jawab Zaid, "Ya."[4]

Sementara kalangan Syi’ah lebih megkhususkan lagi ahlul-bait Nabi SAW hanya mencakup Ali dan istrinya Fatimah, putri Nabi SAW beserta putra-putra mereka yaitu al-Hasan dan al-Husain (4 orang ini bersama Nabi SAW juga disebut Ahlul-Kisa atau yang berada dalam satu selimut) dan keturunan mereka.

Hal ini diperkuat pula dengan hadist-hadist seperti contoh berikut:

  • Aisyah menyatakan bahwa pada suatu pagi, Rasulullah keluar dengan mengenakan kain bulu hitam yang berhias. Lalu, datanglah Hasan bin Ali, maka Rasulullah menyuruhnya masuk. Kemudian datang pula Husain lalu beliau masuk bersamanya. Datang juga Fathimah, kemudian beliau menyuruhnya masuk. Kemudian datang pula Ali, maka beliau menyuruhnya masuk, lalu beliau membaca ayat 33 surah al-Ahzab, "Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."[5]

Perkembangan Ahlul Bait

Setelah wafatnya Nabi SAW

Berkembangnya Ahlul-Bait walaupun sepanjang sejarah kekuasaan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah mengalami penindasan luar biasa, adalah berkah dari do’a Nabi Muhammad SAW kepada mempelai pengantin Fatimah putri beliau dan Ali di dalam pernikahan yang sangat sederhana.

Doa Nabi SAW adalah,”Semoga Allah memberkahi kalian berdua, memberkahi apa yang ada pada kalian berdua, membuat kalian berbahagia dan mengeluarkan dari kalian keturunan yang banyak dan baik”

Setelah mengalami titik noda paling kelam dalam sejarah Bani Umayyah, dimana cucu Nabi SAW, al-Husain bersama keluarga dibantai di Karbala, pemerintahan berikutnya dari Bani Abbasiyah yang sebetulnya masih kerabat (diturunkan melalui Abbas bin Abdul-Muththalib) tampaknya juga tak mau kalah dalam membantai keturunan Nabi SAW yang saat itu sudah berkembang banyak baik melalui jalur Ali Zainal Abidin satu satunya putra al-Husain yang selamat dari pembantaian di Karbala, juga melalui jalur putra-putra al-Hasan.

Perkembangan setelah berakhirnya kekuasaan Bani Abbasiyah

Perkembangan di berbagai negara

Menurut berbagai penelaahan sejarah, keturunan al-Hasan banyak yang selamat dengan melarikan diri ke arah Barat hingga mencapai Maroko, dimana sampai sekarang keluarga Raja Maroko mengklaim keturunan dari al-Hasan melalui cucu beliau Idris bin Abdullah, karena itu keluarga mereka dinamakan dinasti Idrissiyyah.[6]

Selain itu pula, ulama-ulama besar seperti Syekh Abu Hasan Syadzili Maroko (Pendiri Tarekat Syadziliyah) yang nasabnya sampai kepada al-Hasan melalui cucunya Isa bin Muhammad.

Mesir dan Iraq adalah negeri yang Ulama Ahlul-Baitnya banyak dari keturunan al-Hasan dan al-Husain. Abdul Qadir Jailani seorang Ulama yang dianggap sebagai Sufi terbesar dengan julukan ‘Mawar kota Baghdad’ adalah keturunan al-Hasan melalui cucu beliau Abdullah bin Hasan II.

Persia hingga ke arah timur seperti India sampai Asia Tenggara (termasuk Indonesia) didominasi para Ulama dari keturunan al-Husain. Bedanya, Ulama Ahlul Bait di tanah Parsi banyak dari keturunan Musa al-Kadzim bin Ja'far ash-Shadiq seperti Ayatullah Ruhollah Khomeini karena itu beliau juga bergelar Al-Musawi karena keturunan dari Imam Musa al-Kadzim, sedangkan di Hadramaut (Yaman), Gujarat dan Malabar (India) hingga Indonesia Ulama Ahlul Baitnya banyak dari keturunan Ali Uraidhi bin Jafar ash-Shadiq terutama melalui jalur Syekh Muhammad Shahib Mirbath dan Imam Muhammad Faqih Muqaddam Ulama dan Sufi terbesar Hadramaut di zamannya (abad 12-13M).

Madzhab yang dianut

Madzhab yang dianut para Ulama keturunan al-Husain pun terbagi 2 (di Parsi menganut Syi’ah sedangkan Hadramaut, India hingga Indonesia menganut Suni dengan condong kepada Tasawuf), berbeda dengan para Ulama keturunan al-Hasan dari Mesir hingga Maroko yang hampir semuanya adalah kaum Suni yang condong kepada Tasawuf.[butuh rujukan]

Kesalahan pengutipan: Tag <ref> harus ditutup oleh </ref>

  1. ^ Syi'ah dalam Sunnah, Mencari Titik Temu yang terabaikan; Mudarrisi Yazdi; hal. 28
  2. ^ Syi'ah dalam Sunnah, Mencari Titik Temu yang terabaikan; Mudarrisi Yazdi; hal. 29
  3. ^ karamallahu wajhah
  4. ^ AL-ALBANI, M. Nashiruddin; Ringkasan Shahih Muslim. Jakarta: Gema Insani Press, 2005. ISBN 979-561-967-5. Hadist no. 1657
  5. ^ AL-ALBANI, M. Nashiruddin; Ringkasan Shahih Muslim. Jakarta: Gema Insani Press, 2005. ISBN 979-561-967-5. Hadist no. 1656
  6. ^ (Inggris)Genealogi Raja Maroko di Royal Ark