Taman Nasional Ujung Kulon
Taman Nasional Ujung Kulon terletak di bagian paling barat Pulau Jawa, Indonesia. Kawasan Taman nasional ini juga memasukan wilayah Krakatau dan beberapa pulau kecil disekitarnya seperti Pulau Handeuleum dan Pulau Peucang. Taman ini mempunyai luas sekitar 122.956 Ha; (443 km² diantaranya adalah laut), yang dimulai dari tanjung Ujung Kulon sampai dengan Samudera Hindia.
Situs Warisan Dunia UNESCO | |
---|---|
Kriteria | Alam: vii, ix |
Nomor identifikasi | 608 |
Pengukuhan | 1991 (ke-15) |
Taman Nasional Ujung Kulon | |
---|---|
IUCN Kategori II (Taman Nasional) | |
Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon | |
Letak | Jawa, Indonesia |
Koordinat | 6°44′48″S 105°20′1″E / 6.74667°S 105.33361°E |
Luas | 122.956 Ha |
Didirikan | 1980 |
Pengunjung | 2,385 (tahun 2007[1]) |
Pihak pengelola | Kementerian Kehutanan Republik Indonesia |
Situs Warisan Dunia | 1991 |
Taman Nasional ini menjadi Taman Nasional pertama yang diresmikan di Indonesia, dan juga sudah diresmikan sebagai salah satu Warisan Dunia yang dilindungi oleh UNESCO pada tahun 1991, karena wilayahnya mencakupi hutan lindung yang sangat luas. Sampai saat ini kurang lebih 50 sampai dengan 60 badak hidup di habitat ini.
Pada awalnya Ujung Kulon adalah daerah pertanian pada beberapa masa sampai akhirnya hancur lebur dan habis seluruh penduduknya ketika Gunung Krakatau meletus pada tanggal 27 Agustus 1883 yang akhirnya mengubahnya kawasan ini kembali menjadi hutan.
Izin untuk masuk ke Taman Nasional ini dapat diperoleh di Kantor Pusat Taman Nasional di Kota Labuan atau Tamanjaya. Penginapan dapat diperoleh di Pulau Handeuleum dan Peucang.
Taman Nasional Ujung Kulon bersama Cagar Alam Krakatau merupakan asset nasional, dan telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Alam Dunia oleh UNESCO pada tahun 1991.
Untuk meningkatkan kemampuan pengelolaan Taman Nasional Ujung Kulon sebagai Situs Warisan Alam Dunia, UNESCO telah memberikan dukungan pendanaan dan bantuan teknis.
Sejarah dan Status Kawasan
Kawasan Ujung Kulon pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli Botani Jerman, F. Junghun pada Tahun 1846, ketika sedang mengumpulkan tumbuhan tropis. Pada masa itu kekayaan flora dan fauna Ujung Kulon sudah mulai dikenal oleh para peneliti. Bahkan perjalanan ke Ujung Kulon ini sempat masuk di dalam jurnal ilimiah beberapa tahun kemudian. Tidak banyak catatan mengenai Ujung Kulon sampai meletusnya gunung krakatau pada tahun 1883. Namun kemudian kedahsyatan letusan Krakatau yang menghasilkan gelombang Tsunami setinggi kurang lebih 15 meter, telah memporak-porandakan tidak hanya pemukiman penduduk di Ujung Kulon, tetapi satwaliar dan vegetasi yang ada. Meskipun letusan Krakatau telah menyapu bersih kawasan Ujung Kulon, akan tetapi beberapa tahun kemudian diketahui bahwa ekosistem-vegetasi dan satwaliar di Ujung Kulon tumbuh baik dengan cepat.
Perkembangannya kemudian, beberapa areal berhutan ditetapkan sebagai kawasan yang dilindungi, secara berurutan yaitu sebagai berikut:
Tahun 1921
Berdasarkan rekomendasi dari Perhimpunan The Netherlands Indies Society for The Protectin of Nature, Semenanjung Ujung Kulon dan Pulau Panaitan ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai Kawasan Suaka Alam melalui SK Pemerintah Hindia Belanda Nomor : 60 Tanggal 16 Nofember 1921.
Tahun 1937
Besluit Van Der Gouverneur – General Van Nederlandch – Indie dengan keputusan Nomor : 17 Tanggal 24 Juni 1937 menetapkan status kawasan Suaka Alam tersebut kemudian diubah menjadi Kawasan Suaka Margasatwa dengan memasukkan Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.
Tahun 1958
Berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor : 48/Um/1958 Tanggal 17 April 1958 Kawasan Ujung Kulon berubah status kembali menjadi Kawasan Suaka Alam dengan memasukkan kawasan perairan laut selebar 500 meter dari batas air laut surut terendah.
Tahun 1967
Melalui SK Menteri Pertanian Nomor : 16/Kpts/Um/3/1967 Tanggal 16 Maret 1967 Kawasan Gunung Honje Selatan seluas 10.000 Ha yang bergandengan dengan bagian Timur Semenanjung Ujung Kulon ditetapkan menjadi Cagar Alam Ujung Kulon.
Tahun 1979
Melalui SK Menteri Pertanian Nomor : 39/Kpts/Um/1979 Tanggal 11 Januari 1979 Kawasan Gunung Honje Utara seluas 9.498 Ha dimasukkan ke dalam wilayah Cagar Alam Ujung Kulon.
Tahun 1992
Melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 284/Kpts-II/1992 Tanggal 26 Februari 1992, Ujung Kulon ditunjuk sebagai Taman Nasional Ujung Kulon dengan luas total 122.956 Ha terdiri dari kawasan darat 78.619 Ha dan perairan 44.337 Ha.
Dalam hal penegasan batas-batas hutan negara, perkembangan penataan batasnya adalah sebagai berikut:
Tahun 1980
Dilaksanakan Tata Batas di Cagar Alam Gunung Honje, Berita Acara Tata Batas pada Tanggal 26 Maret 1980, dan disyahkan Tanggal 2 Februari 1982 oleh Menteri Pertanian.
Tahun 1995
Dilaksanakan Rekonstruksi Batas Taman Nasional Ujung Kulon wilayah G. Honje oleh Badan Planologi Kehutanan. Badan Planologi Kehutanan, Taman Nasional Ujung Kulon bekerjasama dengan Pemerintah New Zealand melaksanakan pemasangan sebanyak 6 ( enam ) yang terdiri dari 1 ( satu ) unit Rambu suar, dan 5 (lima) unit pelampung sebagai batas perairan laut.
Tahun 1999
Badan Planologi Kehutanan melaksanakan pemasangan rambu suar kuning di Tj. Alang – alang dan pemancangan titik referensi di Tj. Sodong, Tj. Layar, Tj. Alang – alang, Tj. parat dan Tj. Cina. Badan Planologi Kehutanan melaksanakan pengukuran batas alam pantai Semenanjung Ujung Kulon. Sesuai SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 758/Kpts-II/1999 Tanggal 23 September 1999 menetapkan Kawasan Perairan Taman Nasional Ujung Kulon seluas 44.337 Ha sebagai Kawasan Pelestarian Alam Perairan.
Tahun 2004
Balai Pemantapan Kawasan Hutan ( BPKH ) Wilayah XI Jawa – Madura melaksanakan Rekonstruksi Batas Taman Nasional Ujung Kulon di daerah Gunung Honje.
Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon sebagai kawasan yang dilindungi berdasarkan Undang-undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, telah mendapat pengakuan sebagai kawasan yang penting dan dibanggakan secara nasional dan internasional, antara lain:
Tahun 1992
Komisi Warisan Dunia UNESCO menetapkan Taman Nasional Ujung Kulon sebagai Natural World Heritage Site (Situs Warisan Alam Dunia) dengan Surat Keputusan Nomor: SC/Eco/5867.2.409 Tanggal 1 Februari 1992.
Sebagai Kawasan Strategis Nasional dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup (dalam Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional).
Sebagai Taman Nasional Model berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor SK 69/IV-Set/HO/2006 tanggal 3 Mei 2006 Tentang Penunjukan 20 (Dua Puluh) Taman Nasional Sebagai Taman Nasional Model.
Letak dan Luas
Kawasan Taman nasional Ujung Kulon secara administrative terletak di Kecamatan Sumur dan Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Banten. Secara geografis Taman Nasional Ujung Kulon terletak antara (06°52′17″S 105°02′32″E / 6.87139°S 105.04222°E) dan (06°30′43″S 105°37′37″E / 6.51194°S 105.62694°E).
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/1992 tanggal 26 Februari 1992 tentang Perubahan Fungsi Cagar Alam Gunung Honje, Cagar Alam Pulau Panaitan, Cagar Alam Pulau Peucang, dan Cagar alam Ujung Kulon seluas 78.619 Ha dan Penunjukan perairan laut di sekitarnya seluas 44.337 Ha yang terletak di Kabupaten Daerah Tingkat II Pandeglang, Propinsi Dati I Jawa Barat menjadi Taman Nasional dengan nama Taman Nasional Ujung Kulon maka luas kawasan Taman Nasional Ujung Kulon adalah 122.956 Ha.
Ekosistem dan Tipe Ekosistem
Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon terdiri dari tiga tipe ekosistem yaitu:
- Ekosistem Dataran/Teresterial terdiri dari hutan hujan tropika dataran tinggi dan rendah yang terdapat di Gunung Honje, Semenanjung Ujung Kulon, Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.
- Ekosistem Perairan Laut terdiri dari terumbu karang dan padang lamun yang terdapat di wilayah perairan Semenanjung Ujung Kulon, Pulau Handeuleum, Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.
- Ekosistem Pesisir Pantai terdiri dari hutan pantai dan hutan mangrove yang terdapat di sepanjang pesisir pantai dan daerah hutan mangrove di Bagian Timur Laut Semenanjung Ujung Kulon.
Ketiga ekosistem tersebut mempunyai hubungan saling ketergantungan dan membentuk dinamika proses ekologi yang sangat komplek di dalam kawasan.
Tipe Ekosistem
Hutan Pantai
Dimulai dengan formasi pes caprae yang merupakan vegetasi pioner terdapat di sepanjang tepi pantai barat dan selatan. Di atas pasir dekat dengan garis pasang tertinggi antara lain dijumpai Ipomoea pes-caprae (katang-katang), Spinifex littoreus (jukut kiara), Desmodium umbellatum (kanyere laut) dan Sophora tomentosa (tarum). Di Sepanjang pantai selatan di atas bukit pasir menghadap laut terdapat Pandanus tectorius (pandan) membentuk tegakan-tegakan murni dan Pandanus bidur (bidur) walaupun agak jarang.
Selanjutnya di lapisan lebih dalam ditemui Lantana camara (cente), Hibiscus tiliaceus (waru), Thespesia populnea (waru laut), Tournefortia argentea (babakoan). Lebih turun ke dalam ditemui Drypetes sumatrana (taritih), Laportea stimulans (pulus). Tepat di belakang bukit pasir yang datar dan lembab ditemui Arenga obtusifolia (langkap), Corrypha utan (gebang) dan jenis Palma lainnya. Kadang-kadang tegakan pandan diganti oleh formasi Barringtonia karena tanahnya lebih lembab dan terlindung oleh angin. Formasi Barringtonia di pantai selatan di tandai oleh adanya Barringtonia asiatica (butun), Cerbera manghas (bintaro), Terminalia catappa (ketapang), Eugenia spp (kopo), Hernandia peltata (kampis), Calophyllum inophyllum (nyamplung), Buchanania arborescens (renghas) dan Pongamia pinnata (malapari). Formasi ini juga hidup di pantai utara, di atas pasir karang dalam jalur memanjang sempit dari pantai ke arah dalam sejauh 5-15 m. Di tempat-tempat tertentu yang terbuka di bagian barat daya di temui Pemphis acidula (cantigi) dan Ardisia humilis (lampeni).
Hutan Mangrove
Jenis-jenis bakau yang paling umum terdapat ialah padi-padi (Lumnitzera racemosa), Api-api (Avicena spp.), Bakau-bakau (Rhizophora), bogem (Sonneratia alba) dan pedada (Bruguiera spp.). Kadang-kadang terdapat Nypa fructicans dan Pakis rawa (Acrostichum aureum) di muara sungai payau. Hutan Mangrove yang luas terdapat pada jalur yang luas sepanjang sisi utara tanah genting meluas ke arah utara sepanjang pantai sampai Sungai Cikalong dan Legon Lentah Pulau Panaitan. Di atas sebelah barat laut Pulau Handeuleum dan kedua pulau kecil di sebelah selatan dekat Pulau Handeuleum terdapat hutan rawa Nypha yang tidak begitu luas, juga di muara Cijungkulon dan Cigenter di Pantai Utara Semenanjung Ujung Kulon.
Hutan Rawa Air Tawar
Hutan ini dicirikan dengan jenis-jenis Typha (Thypa angustifolia), Teki (Cyperus Spp.), Walingi (Cyperus pilosus), dan Lampeni (Ardisia humilis), yang kadang-kadang membentuk tegakan murni. Pohon yang terdapat di daerah ini antara lain dari familia Palmae misalnya Salacca edulis (salak) dan Caryota mitis (sayar). Hutan ini umumnya berbatasan dengan Hutan Hujan. Hutan Rawa musiman ini terdapat di bagian Utara Semenanjung Ujung kulon dekat dengan Tanjung Alang-alang, Nyiur, Jamang, dan sungai Cihandeuleum.
Hutan Hujan
Tipe hutan hujan ini hampir menutupi sebagian besar Semenanjung Ujung Kulon, Pulau Panaitan, Pulau Peucang dan Gunung Honje. Hutan hujan di tandai dengan banyaknya palma dari berbagai spesies terutama Arenga obtusifolia (langkap) yang sering dijumpai dalam tegakan murni di daerah yang letaknya rendah. Spesies Palem yang lain adalah Oncosperma filamentosa (nibung), Arenga pinnata (aren), Cayota mitis (sayar), Areca catechu (jambe), Areca pumida (bingbin), Corypha gebanga (gebang), Licualia spinosa (kaman), calamus spp. dan Daemonorops spp. (rotan). Selain itu terdapat spesies Lagerstroemia flos-reginae (bungur), Ficus spp. (kiara), Diospyros macrophylla (kicalung), Vitex pubescens (laban), Antocephalus chinensis (hanja) dan Planconia valida.
Di daerah yang relatif terbuka seperti di dataran tinggi Telanca mempunyai sedikit pohon besar tetapi rapat oleh semak dan tumbuhan sekunder seperti Achasma spp. (tepus), Nicolaia spp. (honje), Donax cannaeformis (bangban), dan Lantana camara (cente) yang bercampur dengan berbagai jenis rotan dan kadang-kadang terdapat Eugenis polyantha (salam) dan Leea spp. (sulangkar) serta beraneka ragam spesies liana misalnya Cayratia geniculata (areuy kibarela), Ziziphus tupula (Areuy jinjing kulit), Uncaira sp. (Areuy kolebahe) dan Embelia javanica (Areuy kecembeng). Gunung payung mempunyai hutan primer yang rimbun dan lebih mencirikan vegetasi pegunungan, dengan pohon Dillenia excelsa (kisegel), Pentaca polyanatha (sigeung), Vitex pubescens (laban) dan lain-lain.
Padang Rumput
Di dalam padang rumput sering ditemui bebrapa spesies diantaranya Cyperus pilosuc, Cyperus compactus, Panicum repens, Panicum colonum, Andropogon sp., Isachne meliacae, Imperata cylindrica dan Melastoma polyanthum.
- Flora dan Fauna
Flora
Flora di Taman Nasional Ujung Kulon membentuk berbagai formasi hutan, dimana formasi hutan ini dicirikan adanya dominasi oleh jenis/spesies tertentu. Ditinjau dari tipe hutan, flora di kawasan ini terdiri dari hutan pantai, hutan hujan tropika dataran rendah, hutan hujan tropika pegunungan, hutan rawa air tawar, hutan mangrove dan padang rumput. Formasi hutan yang cukup lengkap ini mengandung keragaman plasma nutfah serta spesies tumbuhan berguna dan langka yang sangat tinggi. Beberapa jenis tumbuhan diketahui langka dan di pulau jawa hanya terdapat di TN Ujung Kulon antara lain : Batryohora geniculata, Cleidion spiciflorum, Heritiera percoriacea, dan Knema globularia. Banyak pula berbagai jenis tumbuhan yang telah dimanfaatkan masyarakat baik untuk kayu pertukangan, obat-obatan, tanaman hias maupun pangan. Jenis-jenis yang telah dimanfaatkan tersebut antara lain bayur (Pterospemum javanicum) dan berbagai rotan (Calamus sp.) sebagai bahan pertukangan; kayu gaharu (Aquilaria malaccensis), Kayu cempaka (Michelia campaca) dan kayu jambe (Areca catechu) sebagai bahan obat-obatan; Anggrek (Dendrobium sp.) sebagai tanaman hias; tangkil (Gnetum gnemon) dan salak (Salacca edulis) sebagai bahan pangan.
Hutan pantai umumnya dicirikan oleh adanya jenis-jenis nyamplung (Calophyllum innophyllum), butun (Barringtonia asiatica), Klampis Cina (Hemandia peltata), ketapang (Terminalia catappa), cingkil (Pongamia pinnata) dan lain-lain. Formasi hutan pantai ini umumnya dikenal sebagai formasi barringtonia dengan spesies yang kurang beranekaragam dan nyamplung merupakan jenis yang lebih khas tipenya. Formasi ini terdapat sepanjang pantai Barat dan Timur Laut Semenanjung Ujung Kulon, Pulau Peucang, sepanjang pantai Utara dan teluk Kasuaris Pulau Panaitan. Umumnya formasi ini hidup di atas pasir karang dalam jalur sempit memanjang sepanjang pantai dengan lebar 5 sampai 15 meter.
Fauna
Taman Nasional Ujung Kulon memiliki beragam jenis satwa liar baik bersifat endemik maupun penting untuk dilindungi. Secara umum kawasan ini masih mampu menampung perkembangbiakan berbagai populasi satwa liar. Beberapa jenis satwa endemik penting dan merupakan jenis langka yang sangat perlu dilindungi adalah Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), Owa Jawa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis aigula) dan Anjing hutan (Cuon alpinus javanicus).
Semenanjung Ujung Kulon pada saat ini merupakan habitat terpenting dari Badak Jawa, yang populasinya diperkirakan ada 50-60 ekor, serta merupakan satu-satunya tempat di dunia dimana secara alami Badak Jawa mampu berkembang biak pada dekade terakhir ini. Di taman nasional ini diperkirakan ada sekitar 30 jenis mamalia, yang terdiri dari mamalia ungulata seperti Badak, Banteng, Rusa, Kijang, Kancil, dan Babi Hutan, mamalia predator seperti Macan Tutul, Anjing Hutan, Macan Dahan, Luwak dan Kucing Hutan, mamalia kecil seperti walang kopo, tando, landak, bajing tanah, kalong, bintarung, berang-berang, tikus, trenggiling dan jelarang. Diantara Primata terdapat dua jenis endemik, yaitu Owa dan Surili. Sedang jenis Primata lain adalah Lutung (Presbytis cristata), Kukang (Nycticebus coucang) dan Kera ekor panjang (Macaca fascicularis) mempunyai populasi yang cukup baik dan tersebar di sebagian kawasan.
Banteng (Bos javanicus) merupakan binatang berkuku terbesar dan terbanyak jumlah populasinya (± 500 ekor). Satwa ini hanya terdapat di Semenanjung Ujung Kulon dan Gunung Honje, serta tidak dijumpai di Pulau Panaitan. Rusa (Cervus timorensis) di Semenanjung Ujung Kulon dan Gunung Honje terdapat dalam jumlah dan penyebaran yang sangat terbatas,dan di Pulau Peucang tedapat dalam jumlah yang sangat banyak, dan di Pulau Panaitan menunjukan perkembangan yang semakin banyak. Babi hutan (Sus scrofa), muncak (Muntiacus muntjak) dan pelanduk (Tragulus javanicus) relatif umum terdapat di seluruh kawasan, tetapi celeng (Sus verrucosus) hanya di jumpai di Semenanjung Ujung Kulon dan Gunung Honje.
Jumlah Fauna
Pulau-Pulau di Taman Nasional Ujung Kulon
Di Taman Nasional Ujung Kulon juga terdapat berbagai jenis Pulau yang tepat untuk Konservasi dan juga Pariwisata, diantaranya ;
Pulau Panaitan
Pulau Panaitan adalah sebuah pulau yang terletak paling barat di Ujung Semenanjung Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon yang dipisahkan oleh sebuah selat sempit. Pulau Panaitan merupakan pulau yang tidak kalah menariknya dengan Pulau Peucang. Pulau dengan luas ± 17.000 Ha ini memiliki berbagai potensi obyek wisata alam yang sangat menarik untuk dikunjungi.
Perbukitan Pulau Panaitan terbentuk oleh hutan yang masih asli dengan kombinasi vegetasi Hutan Mangrove, Hutan Pantai dan Hutan Hujan dataran rendah. Keadaan hutannya yang masih asli ini dihuni oleh berbagai jenis satwa liar seperti rusa, kancil, babi hutan, kera ekor panjang, buaya, kadal, ular phyton, dan aneka jenis burung.
Di Pulau Panaitan ini juga terdapat Arca Ganesha beserta benda-benda peninggalan sejarah lainnya yang mempunyai nilai historis sangat tinggi dan merupakan peninggalan jaman hindu kuno, tepatnya di Puncak Gunung Raksa. Kawasan pantai berbatu dan berpasir putih dengan terumbu karang yang indah di dalamnya sangat baik untuk kegiatan wisata alam bahari seprti menyelam dan snorkeling. Riak ombak di lautnya cukup tinggi sehingga cocok untuk berselancar.
Pada beberapa bagian kawasan daratan pulau ini sudah tersedia jalan setapak untuk mengakomodasikan kegiatan tersebut di atas, namun belum dilengkapi dengan sarana/fasilitas pendukung wisata lainnya terutama layanan akomodasi yang memadai bagi wisatawan.
Pulau Handeleum
Pulau Handeuleum terletak di antara gugusan pulau-pulau kecil yang berada di ujung timur laut pantai Semenanjung Ujung Kulon. Luas Pulau Handeuleum ± 220 Ha. Di Pulau ini terdapat satwa rusa (Rusa timorensis), dan ular phyton. Pulau ini dikelilingi oleh hutan mangrove.
Pesona yang bisa dinikmati di Pulau ini adalah daerah Cigenter, Padang Penggembalaan Cigenter, dan Cikabeumbeum yang jika ditempuh bisa menghabiskan waktu selama 2 (dua) hari. Untuk melewati daerah tersebut diperlukan perahu/kano karena akan menyusuri sungai.
Hal menarik lainnya yang bisa dilakukan di pulau ini adalah bersampan/canoing menyusuri Sungai Cigenter sambil melihat tipe hutan hujan tropis sepanjang sungai. Pada bagian hulu sungai terdapat rute jalan setapak yang melintasi tumbuhan bamboo menuju air terjun yang bertingkat.
Pulau Peucang
Pulau Peucang merupakan lokasi yang paling ramai dikunjungi oleh para pengunjung baik dalam maupun luar negeri. Pulau dengan luas kawasan ± 450 ha ini dilengkapi dengan sarana dan prasarana serta berbagai obyek wisata alam yang dapat dikunjungi oleh Wisatawan. Fasilitas yang ada di Pulau Peucang antara lain Penginapan, Pusat Informasi, Dermaga, dan lain sebagainya.
Pantai di Pulau Peucang memiliki karakteristik yang khas yaitu pasir putih dan hamparan yang luas. Obyek wisata alam yang dapat dinikmati di pulau ini antara lain Tracking ke Karang Copong, Berenang, Snorkeling dan Menyelam. Wildlife viewing dapat dinikmati dengan menyeberang ke Padang Penggembalaan Cidaon yang memakan waktu ± 15 menit dengan menggunakan boat kecil yang berkapasitas 6 (enam) orang. Di Cidaon ini kita dapat mengamati atraksi satwa seperti Banteng, Merak, Rusa, dan Babi Hutan. Selain itu kita juga dapat melihat situs sejarah peninggalan kolonial Belanda berupa Mercusuar Tanjung Layar dan bekas pembangunan Dermaga di Tanjung Layar dan Cibom.
Semenanjung Ujung Kulon
Wilayah Semenanjung Ujung Kulon merupakan habitat Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), sehingga dalam pengelolaan wisata alam untuk lokasi ini sangat terbatas sekali. Hal ini dikarenakan agar tidak mengganggu habitat Badak Jawa. Luas wilayah Semenanjung Ujung Kulon ini ± 38.000 Ha. Kegiatan wisata alam yang dapat di lakukan di lokasi ini antara lain Trekking, Berkemah dan Wildlife Viewing.
Di Semenanjung Ujung Kulon terdapat jalur tetap yang dapat digunakan untuk Trekking. Fasilitas lainnya adalah Pos Jaga yang terdapat dibeberapa titik seperti Karang Ranjang, Cibunar, dan Cidaon. Selain trekking, kegiatan wisata lainnya yang dapat dilakukan adalah Wildlife Viewing di Padang penggembalaan Cidaon dan Cigenter, berkemah di Tanjung Layar, dan wisata budaya di Goa Sang Hyang Sirah.
Gunung Honje
Gunung honje merupakan salah satu wilayah Taman Nasional Ujung Kulon. Luas wilayah Gunung Honje ± 19.500 Ha dan disekitarnya dikelilingi oleh 19 (sembilan belas) desa penyangga baik yang berbatasan langsung maupun tidak langsung. Salah satu desa yang menjadi pintu gerbang masuk ke Taman Nasional Ujung Kulon adalah Desa Tamanjaya.
Obyek wisata menarik yang terdapat diseputar Tamanjaya antara lain Desa Nelayan Cibanua, Curug cipaniis, sumber air panas Cibiuk, dan wildlife viewing owa jawa di Curug Cikacang. Akomodasi yang terdapat di Tamanjaya antara lain Penginapan Sundajaya, penyewaan perahu/kapal, perkumpulan pemandu wisata/guide local, dan pusat pembuatan souvenir patung badak.
Kematian Badak Becula Satu
Seekor badak jantan ditemukan oleh Tim Inventarisasi Badak Jawa (Sdr. Baehaki dan tiga personilnya) di sekitar areal Nyiur (E: 060 40’ 34,1” – S: 1050 20’ 22,3”) - Taman Nasional Ujung Kulon, pada hari Kamis, 20 Mei 2010, pukul 14.40 WIB. Lokasi kematian badak dikenal sebagai jalur lintasan/pergerakan badak, dan individu yang mati tersembunyi di bawah pohon. Dengan kondisi yang utuh tulang belulang dan cula badaknya, individu badak itu tersebut telah berada di tempat cukup lama (sekitar satu bulan). Data dan informasi lapangan lain mengenai badak yang mati tersebut, yaitu :
- Posisi kematian berbaring pada sisi kanan.
- Cula, kerangka dan gigi-gigi kondisinya masih baik.
- Tulang belulang yang masih utuh diselimuti larva (belatung) pada cula dan kuku-kuku kaki.
- Kondisi gigi seri dan geraham cukup baik (masih tajam)
- Panjang tulang dari ujung kepala ke pangkal ekor adalah 270 cm dengan panjang ekor 55 cm.
- Kerangka badak berada dalam kondisi 90% lengkap dengan beberapa bagian yang tidak ditemukan berupa: beberapa tulang digit (jari), sternum (tulang dada), 1 (satu) gigi seri kecil/menur, dan ujung tulang ekor.
- Saat ditemukan tengkorak berada di dekat kuku kaki depan, dan kuku kaki belakang terbenam di dalam tanah sedalam kurang lebih 5-7 cm (lebih dalam dibanding kuku kaki depan).
Berdasarkan posisi kematian badak serta utuhnya kerangka dan masih adanya cula, kematian badak jantan dewasa ini dipastikan bukan karena usia tua dan bukan karena perburan liar. Penyebab-penyebab lain yang masih akan dianalisa seperti:
- Verifikasi gigi herbivora (kondisi dan usia) oleh dokter hewan
- Analisis tanah di sekitar kerangka badak yang meliputi: logam berat (Hg) dan bahan toksik (Sianida), mikroorganisme (E. Coli, Salmonella), Trypanosoma, Anthraks.
Referensi
- ^ Forestry statistics of Indonesia 2007, retrieved 20 May 2010
Pranala luar
- (Indonesia) Situs Resmi Taman Nasional Ujung Kulon
- (Indonesia) Taman Nasional Ujung Kulon di Departemen Kehutanan
- (Indonesia) Taman Nasional Ujung Kulon di WWF Indonesia
- (Indonesia) Ujung Kulon