Konflik Chad-Libya

artikel daftar Wikimedia

Perang Chad-Libya adalah sebuah konflik militer di Chad pada tahun 1978 sampai tahun 1987, perang ini adalah perang antara Libya dan Chad, namun, keikutsertaan Libya dalam permasalahan Chad sudah terjadi sebelum tahun 1978, walaupun Muammar al-Gaddafi naik tahta pada tahun 1969, perang ini dimulai karena perpanjangan dari Perang Saudara Chad di Chad Utara tahun 1968.[1] Konflik ini ditandai dengan keikutsertaan Libya di Chad, pada tahun 1978, 1979, 19801981 dan 19831987. Pada semua ini, Gaddafi telah mendukung beberapa faksi yang berpartisipasi dalam perang sipil, dimana musuh dari Libya menerima bantuan dari pemerintahan Perancis, dimana hal itu menyebabkan adanya campur tangan militer untuk menyelamatkan pemerintah Chad pada tahun 1978, 1983 dan 1986.

Perang Chad-Libya
Berkas:Chadian soldiers in Toyota pickup truck.jpg
Tentara Chad di mobil pengangkut Toyota
Tanggal19781987
LokasiChad
Hasil Kekalahan Libya
Pihak terlibat
 Libya
Chad GUNT
 Chad
 Prancis
 Republik Demokratik Kongo
Tokoh dan pemimpin
Muammar al-Gaddafi
Goukouni Oueddei
Hissène Habré
Korban
1000 Tidak diketahui

Latar belakang militer dari perang ini digambarkan pada tahun 1978, dengan Libya memberi bantuan artileri, angkatan udara dan infantri, dan mengambil bagian terbesar dalam mengamati dan berperang.[2] Latar belakang ini akhirnya berubah pada tahun 1986, dimana perang akan berakhir, ketika semua pasukan Chad yang melawan Libya merebut Chad Utara dengan persatuan yang tidak pernah dilihat sebelumnya di Chad.[3] Ini menghilangkan kebiasaan infantri pasukan Libya, terutama saat mereka melawan tank, mereka telah menyediakan anti-tank dan anti-misil, namun melemahkan kekuatan senjata api Libya. Yang terjadi selanjutnya adalah Perang Toyota, dimana pasukan Libya dapat dikalahkan dan dipukul mundur oleh Chad, dan juga mengakhiri konflik ini.

Alasan keikutsertaan Gaddafi dalam konflik di Chad adalah ambisinya atas daerah Jalur Aouzou, bagian terutara Chad yang diklaim sebagai bagian dari Libya yang belum disahkan dalam perjanjian pada saat periode kolonial.[1] Pada tahun 1972, keinginannya tercapai, dalam evaluasi dari ahli sejarah Mario Azevedo, didirikannya negara bagian klien di bawah Libya, sebuah republik Islam dimodelkan setelah jamahiriya, yang akan membawa hubungan dekat dengan Libya, dan mengambil alih Jalur Aouzou, mengusir kekuasaan Perancis dari daerah itu, dan menggunakan Chad sebagai tempat untuk memperluas kekuasaannya di Afrika Tengah.[4]

Latar belakang

Pendudukan Jalur Aozou

Keikutsertaan Libya di Chad mulai terlihat pada tahun 1968, selama periode Perang Saudara Chad, dimana pemberontak Muslim FROLINAT melaksanakan perang gerilya terhadap Presiden Chad, François Tombalbaye yang beragama Kristen di daerah utara Chad, yaitu di Prefektur BET.[5] Selalu ada hubungan kuat di daerah perbatasan Chad-Libya, oleh karena itu, Raja Libya, Idris I merasa perlu untuk memberikan bantuan kepada FROLINAT, dan juga untuk mempertahankan hubungan baik dengan Chad dan pelindungnya, Perancis, Idris membatasi bantuannya dengan hanya memberikan tempat perlindungan untuk pemberontak FROLINAT dan bantuan logistik ,dan juga Idris tidak memberi bantuan berupa senjata.[1]

Namun, semua hal ini berubah dengan terjadinya kudeta pada tanggal 1 September 1969 di Libya. Kudeta ini menjatuhkan Idris, sehingga Muammar al-Gaddafi naik tahta. Gaddafi pun mengklaim Jalur Aouzou di daerah Chad Utara dengan merujuk kepada perjanjian tidak resmi pada tahun 1935, tentang pembagian daerah kolonial antara Italia dan Perancis di daerah Chad dan Libya.[1] Pengklaiman ini sudah dinyatakan pada tahun 1954, dimana Idris mencoba untuk menduduki Aouzou, tetapi pasukannya dapat dikalahkan oleh tentara Perancis.[6]

 
Jalur Aouzou ditandai dengan warna biru pada peta ini.

Karena waspada akan FROLINAT, Gaddafi mengunjungi FROLINAT pada tahun 1970. Organisasi ini berguna untuk kebutuhannya dan dengan bantuan negara-negara blok Uni Soviet, misalnya Jerman Timur, melatih dan mempersenjatai pasukan perlawanan, dan memberi mereka senjata dan uang.[7][1] Pada tanggal 27 Agustus 1971, Gaddafi berani untuk melakukan kudeta terhadap Tombalbaye, namun kudeta ini gagal. Kudeta ini dilaksanakan karena kegelisahan Libya, karena pada tanggal 24 Juli, terjadi upaya rekonsiliasi Muslim-Kristen dengan penyerahan ½ cabinet Chad kepada politikus Muslim. Walaupun ditolak oleh FROLINAT, hal ini dianggap Gaddafi sebagai ancaman atas kekuasaannya di Chad.[8]

Pada hari yang sama, Tombalbaye memutuskan hubungan diplomatik dengan Libya, dan mengundang grup oposisi Libya untuk pergi ke Chad, dan mulai mengklaim wilayah Fezzan. Respon Gaddafi secara resmi mengakui pada 17 September bahwa FROLINAT sebagai tapak kaki Pemerintahan Chad, dan pada bulan Oktober, menteri luar negeri Chad, Baba Hassan mengumumkan di PBB ide tentang ekspansi .[9]

Dengan adanya tekanan Perancis terhadap Libya, dan dengan Hamani Diori, Presiden Niger memainkan peran sebagai pelerai, kedua Negara melanjutkan hubungan diplomasi pada tanggal 17 April 1972. Tidak lama kemudian, Tombalbaye memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel dan dikatakan telah diterima secara rahasia pada 28 November untuk menyerahkan Jalur Aouzou kepada Libya. Untuk penukaran, Gaddafi memberikan 40 juta pound kepada Presiden Chad[10] dan kedua Negara menandatangani Perjanjian Persahabatan pada bulan Desember. Gaddafi menarik bantuan kepada FROLINAT dan memaksa pemimpinnya, Abba Siddick, untuk memindahkan bentengnya dari Tripoli ke kota Algiers.[11][8] Relasi baik diterima untuk tahun-tahun selanjutnya, dan relasi baik ini ditandai dengan kunjungan Gaddafi ke ibukota negara Chad , N'Djamena pada Maret 1974,[12] dan pada bulan yang sama, sebuah bank didirikan untuk memberikan kepada Chad dana investasi..[9]

Enam bulan setelah perjanjian pada tahun 1972, pasukan Libya dipindah ke Jalur Aouzou dan mendirikan tepat di Aouzou sebuah lapangan udara yang dilindungi oleh anti-misil. Administrasi sipil didirikan, dan sekitar ribuan penduduk di daerah Aozou berubah kewarganegaraan menjadi warna negara. Selain itu, juga dibuat peta negara Libya yang baru dan Jalur Aouzou dimasukan kedalam bagian dari Libya.[11]

Syarat yang pasti atas Libya menduduki Aouzou masih misterius dan diperdebatkan. Keberadaan persetujuan rahasia antara Tombalbaye dan Gaddafi terungkap hanya pada tahun 1988, saat Presiden Libya mempertunjukan salinan dari surat dimana Tombalbaye mengakui pengklaiman Libya. Namun, beberapa sarjan seperti Bernard Lanne membantah dan menyatakan bahwa tidak pernah ada persetujuan resmi apapun, dan Tombalbaye menemukan jalan yang sangat berguna untuknya tidak untuk menyebutkan pendudukan bagian daerahnya. Selain itu, Libya tidak dapat menunjukan salinan asli dari persetujuan pada saat kasus Aouzou dibawa pada tahun 1993 ke Mahkamah Internasional.[13][11]

Peperangan

Ekspansi atas Pemberontakan

Hubungan ini tidak berlangsung lama, karena pada tanggal 13 April 1975, sebuah kudeta terjadi dan menurunkan Tombalbaye, lalu Jendral Felix Malloum naik tahta. Alasan dari kudeta ini adalah perlawanan atas kebijakan Tombalbaye dalam hal hubungan dengan Libya. Gaddafi merasa kudeta ini adalah ancaman atas kekuasaannya di Chad dan akhirnya ia melanjutkan bantuannya kepada FROLINAT.[1]

Pada bulan April tahun 1976, terjadi usaha pembunuhan Malloum yang didukung oleh Gaddafi,[8] dan pada tahun yang sama tentara Libya mulai melakukan perampokan di daerah Chad Tengah, dan tentara Libya bekerja sama dengan pasukan FROLINAT.[2]

Aktivis Libya mulai membangkitkan kepentingan dalam faksi terkuat dimana FROLINAT berpisah dari faksi ini, yaitu CCFAN. Karena isu ketertarikan pendukung Libya, pasukan perlawanan terpecah pada Oktober 1976, dengan minoritas milisi membentuk Angkatan Bersenjata Utara (FAN), dibentuk oleh orang yang anti Libya, Hissène Habré, dimana sebagian besar mau menerima aliansi dengan Gaddafi, yang dipimpin oleh Goukouni Oueddei. Grup ini nantinya mengganti namanya menjadi Angkatan Bersenjata Rakyat.[14]

Pada tahun-tahun ini, bantuan Gaddafi tidaklah banyak, dan hanya memberi senjata yang terbatas jumlahnya. Namun, hal ini mulai berubah pada bulan Februari tahun 1977, dimana orang Libya memberi pasukan Goukouni dengan ratusan AK-47, lusinan basoka, 81 dan 82mm mortar dan meriam. Karena Angkatan Bersenjata Rakyat dipersenjatai dengan senjata-senjata ini, Angkatan Bersenjata Rakyat mulai menyerang benteng Angkatan Bersenjata Chad (FAT) di Bardai, Zouar di Tibesti dan Ounianga Kebir di Borkou. Goukouni akhirnya memimpin serangan untuk menguasai Tibesti. Bardai telah diserang sejak 22 Juni dan menyerah pada tanggak 4 Juli. Zouar sendiri pun dievakuasi oleh Chad dan dikuasai oleh Libya. FAT kehilangan 300 orang, dan beberapa persediaan militer jatuh ke tangan FAT.[15][16] Ounianga diserang pada tanggal 20 Juni, tetapi diselamatkan oleh kehadiran penasehat militer Perancis disana.[17]

Akibat isu yang mengatakan Jalur Aozou digunakan oleh Libya sebagai markas untuk intervensi lebih dalam di Chad, Malloum membawa kasus pendudukan Aozou ke PBB dan Uni Afrika.[18] Malloum juga membutuhkan sekutu baru, oleh karena itu, ia bernegosiasi dengan Habré, dan menghasikan Persetujuan Khartoum pada bulan September. Persetujuan ini dirahasiakan sampai tanggal 22 Januari, saat dimana sebuah Piagam Fundamental ditandatangani, diikuti dengan diikuti dengan dibentuknya Pemerintahan baru pada tanggal 29 Agustus 1978 dengan Habré sebagai Perdana Menteri.[19][20] Persetujuan Malloum-Habré diangkat oleh Sudan dan Saudi Arabia, keduanya takut bahwa Chad akan dikontrol oleh Gaddafi.[21]

Reaksi Libya

Persetujuan Malloum-Habré dianggap Gaddafi sebagai ancaman serius atas kekuasaannya di Chad, dan reaksi dari Libya adalah peningkatan intervensi Libya di Chad. Untuk pertama kalinya terjadi intervensi aktif pasukan angkatan darat Libya,[2] yaitu Angkatan Bersenjata Rakyat yang dimulai pada tanggal 29 Januari 1978 dengan melakukan serangan Ibrahim Abatcha dimana mereka menyerang pos-pos yang dimiliki pemerintah Chad di daerah utara Chad, pos-pos tersebut adalah Faya-Largeau, Fada dan Ounianga Kebir. Serangan ini berhasil, Goukouni dan orang Libya menguasai seluruh Prefektur BET.[22][23]

Pertempuran antara pasukan Angkatan Bersenjata Rakyat-Libya dan pasukan Chad mengambil tempat di Faya-Largeau, ibukota BET. Kota itu dilindungi oleh 5.000 pasukan, dan kota tersebut jatuh pada tanggal 18 Februari setelah pertempuran yang dilakukan oleh 2.500 pemberontak, didukung oleh sekitar 4.000 pasukan Libya. Libya tidak berparsitipasi langsung dalam pertempuran, namun Libya menyediakan artileri dan bantuan.[2] Pemberontak juga lebih bersenjata daripada sebelumnya, dimana mereka menunjukan misil Strela 2.[24]

Goukouni menangkap sekitar 2.500 tawanan atas keberhasilan ini, dan hasilnya adalah Pasukan Chad kehilangan sekitar 20% pasukannya,[23] dan penjaga nasional benar-benar menipis karena jatuhnya Fada dan Faya.[25] Goukouni menggunakan kemenangan ini untuk memperkuat posisinya di FROLINAT(selama kongres yang disponsori Libya yang diadakan pada bulan Maret di Faya, faksi utama pemberontak mempersatukan kembali kelompok mereka dan mencalonkan Goukouni sebagai sekretaris jendral FROLINAT.[26]

Reaksi Malloum atas serangan Goukouni-Gaddafi adalah memutuskan hubungan diplomatic dengan Libya pada tanggal 6 Februari dan melaporkan kepada PBB tentang intervensi Libya dalam hal ini. Isu tentang pendudukan Jalur Aouzou oleh Libya pun muncul lagi. Pada tanggal 19 Februari, setelah jatuhnya Faya, Malloum terpaksa menerima gencatan senjata dan menarik tuntutannya. Gencatan senjata dapat tercapai karena Libya telah menghentikan serangan Goukouni, selain itu Chad mendapat tekanan dari Perancis.[22]

Malloum dan Gaddafi kembali membuka hubungan diplomatic pada tanggal 24 Februari di Sebha di Libya, dimana sebuah konferensi internasional sedang diadakan dimana Presiden Niger Seyni Kountché dan Wakil Presiden Sudan hadir sebagai pelerai, dan juga dibawah tekanan dari Perancis, Sudan dan Zaire,[27] Malloum terpaksa menandatangani Persetujuan Benghazi pada tanggal 27 Maret, dimana ia mengakui FROLINAT. Selain itu, persetujuan juga menghasilkan dibentuknya komite gabungan militer Libya—Niger, dimana tugasnya adalah melaksanakan persetujuan itu. Persetujuan ini juga berisi kondisi lain untuk Libya, dimana diminta agar semua kehadiran pasukan Perancis di Chad dihilangkan.[22] Persetujuan ini merupakan strategi Gaddafi untuk memperkuat kekuasaannya di Chad serta untuk menyingkirkan Goukouni dari kekuasaan FROLINAT. Perjanjian ini juga melemahkan kewibawaan Malloum di Chad selatan, dimana mereka menyatakan ini adalah bukti kelemahan kepemimpinannya.[27]

Pada tanggal 15 April, beberapa hari setelah gencatan senjata, Goukouni meninggalkan Faya dan meninggalkan 800 garnisiun disana, lalu pergi menyerbu ibukota Chad, N'Djamena.[27][2]

Permintaan kembalinya pasukan Perancis ke Chad telah dilakukan tahun 1977, setelah serangan pertama Goukouni. Malloum meminta kembalinya militer Perancis, namun Presiden Perancis Valéry Giscard d'Estaing awalnya malas untuk memasuki dirinya sebelum adanya pemilihan legislatif, yang diadakan pada Maret 1978, selain itu, Perancis takut jika hubungan diplomatik yang menguntungkan dengan Libya terganggu. Pada akhirnya, kemunduran situasi yang deras di Chad membuat Presiden Perancis pada tanggal 20 Februari 1978 menjalankan Operasi Tacaud, dimana pada bulan April mengirim sekitar 2.500 pasukan di Chad untuk menyelamatkan ibukota dari pemberontak.[28]

Pertempuran yang menentukan terjadi di Ati, sebuah kota yang berlokasi 270 mili barat daya dari N’Djamena. Garnisiun kota yang berjumlah 1.500 tentara diserang pada tanggal 19 Mei oleh pemberontak FROLINAT, yang dipersenjatai dengan persenjataan modern dan artileri. Garnisiun itu diringankan dengan kedatangan bantuan dari pasukan Chad, dan lebih penting lagi, kedatangan Legiun luar negeri Perancis dan Regiment of Marine Infantry ketiga. Dalam waktu 2 hari, FROLINAT dapat dipukul mundur dengan kekalahan yang berat, sebuah kemenangan yang dipertegas pada bulan Juni dengan pertempuran di Djedaa, dimana FROLINAT mengakui kekalahannya dan mundur ke utara setelah kehilangan 2.000 orang dan meninggalkan persenjataan modern yang mereka bawa. Kunci dalam pertempuran ini adalah keunggulan angkatan udara Perancis, dimana pesawat Libya menolak untuk melawan pesawat Perancis.[27][29][30]

Kesulitan Libya

Hanya beberapa bulan setelah serangan yang gagal terhadap N’Djamena, pertikaian dalam FROLINAT menghancurkan kesatuan FROLINAT serta melemahkan kekuasaan Libya di Chad. Pada malam 27 Agustus, Ahmat Acyl, pemimpin Pasukan Volcan menyerang Faya-Largeau dengan bantuan pasukan Libya dimana terdapat sebuah usaha oleh Gaddafi untuk menyingkirkan Goukouni dari kepemimpinan FROLINAT, dan menggantinya dengan Acyl. Goukoni bereaksi dengan mengeluarkan semua kehadiran penasehat militer Libya di Chad dan mulai mencari kompromi dengan Perancis.[31][32]

Akibat dari perselisihan antara Gaddafi dan Goukouni adalah permasalahan etnik dan politik. FROLINAT terbagi diantara orang Arab, seperti Acyl, dan Toubou, seperti Goukouni dan Habré. Divisi etnik ini juga menggambarkan sikap yang berbeda ke arah Gaddafi dan buku hijaunya. Dalam fakta-fakta, Goukouni dan pengikutnya telah menunjukan bahwa mereka malas untuk mengikuti permintaan Gaddafi untuk membuat buku hijau peraturan resmi FROLINAT, dan pertama telah mencoba untuk mengambil waktu, meninggalkan pertanyaan untuk menyelesaikan reunifikasi dari pergerakan. Ketika unifikasi selesai, dan Gaddafi menekan kembali untuk adopsi buku hijau, pertikaian di dewan revolusi menjadi nyata, dengan banyak menyatakan kesetiaan mereka kepada program partai pergerakan tahun 1966 ketika Ibrahim Abatcha menjadi sekretaris jendral pertama, ketika yang lain, diantara Acyl, secara penuh menganut ide Kolonel.[33]

Di N'Djamena, kehadiran 2 angkatan bersenjata yang sebaya, FAN Perdana Menteri dan FAT Presiden Malloum, mempersiapkan panggung pertempuran N'Djamena, dimana untuk membawa tentang kerutuhan negara dan kenaikan golongan atas utara ke kekuasaan. Insiden kecil meningkat pada tanggal 12 Februari 1979 menjadi pertempuran besar antara pasukan Habré dan Malloum, dan pertempuran diperhebat pada tanggal 19 Februari ketika tentara Goukouni memasuki ibukota untuk bertempur bersama Habré melawan FAT. Diperkirakan pada tanggal 16 Maret, ketika konferensi perdamaian internasional pertama dilakukan, 2.000 - 5.000 orang terbunuh dan 60.000 - 70.000 terpaksa mengungsi dari ibukota, dan dengan hebat mengurangi tentara Chad meninggalkan ibukota yang dikuasai pemberontak dan mereorganisasi ke selatan dibawah kepemimpinan Wadel Abdelkader Kamougué. Selama pertempuran, garnisiun Perancis berdiri dengan pasif, dan juga menolong Habré dalam beberapa keadaan, ketika mereka meminta angkatan udara Chad untuk menghentikan pengebomannya.[34]

Konferensi perdamaian internasional diadakan di Kano di Nigeria, dimana Malloum berpartisipasi untuk tentara Chad, Habré untuk FAN dan Goukouni untuk Angkatan Bersenjata Rakyat. Persetujuan Kano ditandatangani pada tanggal 16 Maret oleh semua yang hadir, dan Malloum berhenti, diganti oleh dewan negara dibawah kepemimpinan Goukouni.[35] Hal ini adalah hasil dari tekanan Perancis dan Nigeria atas Goukouni dan Habré untuk berbagi kekuasaan.[36] Perancis melihat bagian ini sebagai strategi mereka untuk memotong semua hubungan antara Goukouni dan Gaddafi.[37] Beberapa minggu kemudian, faksi yang sama membentuk Pemerintahan Persatian Nasional Transisional (GUNT), disimpan bersama untuk sebuah rencana untuk melihat Libya keluar dari Chad.[38]

Walaupun menandatangani persetujuan Kano,[39] Libya menjadi marah karena GUNT tidak memasukan pemimpin dari pasukan Volcan adan tidak mengakui klaim Libya atas Jalur Aouzou. Telah dilakukan sejak tanggal 13 April telah ada beberapa akitivitas militer Libya yang sedikit di Chad utara, dan dukungan disediakan untuk pergerakan di selatan, tetapi respon utama datang hanya setelah tanggal 25 Juni, ketika sebuah ultimatum untuk formasi pemerintahan yang baru. Pada tanggal 26 Juni, 2.500 tentara Libya menyerang Chad diarahkan ke Faya-Largeau, pasukan ini pertama kali dihalangi oleh militia Goukouni, dan lalu terpaksa mundur, terutama karena pengintaian pesawat dan pengebom Perancis (pemerintah Chad telah melakukannya, setelah serangan dilakukan, Chad meminta bantuan Perancis). Pada bulan yang sama, faksi ditiadakan oleh GUNT di Chad utara dengan militer Libya mendukung pemerintahan oposisi, Front untuk Aksi Gabungan Sementara (FACP).[40][38][36]

Karena pertempuran dengan Libia, sebuah pembebanan oleh Nigeria untuk melakukan boikot ekonomi dan tekanan internasional dibawa dalam sebah konferensi perdamaian internasional di Lagos pada bulan Agustus, dimana semua 11 faksi di Chad berpartisipasi. Persetujuan Lagos ditandatangani pada tanggal 21 Agustus, dibawah dimana sebuah GUNT baru dibentuk, terbuka untuk semua faksi. Tentara Perancis meninggalkan Chad, dan digantikan dengan pasukan perdamaian multinasional Afrika.[41] GUNT baru dimulai pada bulan November, dengan Presidennya adalah Goukouni, wakil Presidennya adakah Kamougué, menteri pertahanannya adalah Habré[42] dan Acyl sebagai menteri luar negeri.[43] Dengan kehadiran Habré, komposisi baru GUNT telah mencukupi orang pro-Libya untuk memuaskan Gaddafi.[44]

Intervensi Libya

Hal ini menjadi jelas sejak awal bahwa Habré mengisolasi dirinya dari anggota GUNT lainnya, dimana ia diremehkan oleh anggota GUNT lainnya. Permusuhan Habré atas kekuasaan Libya di Chad dipersatukan dengan ambisinya dan kekejamannya: pengamat mengakhiri bahwa pemimpin perang tidak akan pernah berisi dengan apapun dari jabatan tertingi yang pendek. Dalam beberapa konteks diketahui bahwa segera atau nantinya sebuah konfrontasi bersenjata dengan Habré dan faksi pro-Libya akan terjadi, dan yang lebih penting lagi, antara Habré dan Goukouni.[42]

Seperti yang diduga, pertempuran di ibukota antara FAN Habré dan grup pro-Libya menjadi lebih serius secara progresif. Pada akhirnya, pada tanggal 22 Maret 1980 sebuah insiden kecil, seperti pada tahun 1979 dengan yang pertama, menyebabkan terjadinya pertempuran N'Djamena kedua. Dalam waktu sepuluh hari, perselisihan antara FAN dan Angkatan Bersenjata Rakyat Goukouni, yang baik keduanya memiliki 1.000 - 1.500 pasukan di kota, telah menyebabkan ribuan korban jiwa dan penerbangan sekitar setengah dari populasi ibukota. Beberapa pasukan Perancis yang tersisa, yang meninggalkan Chad pada tanggal 4 Mei menyatakan mereka netral, seperti yang dilakukan oleh pasukan Republik Demokratik Kongo.[45][46]

Ketika FAN disuplai secara ekonomi dan militer oleh Sudan dan Mesir, Goukouni segera menerima bantuan setelah dimulainya pertempuran dengan bantuan bersenjata dari FAT Kamougué dan CDR Acyl, dan juga disediakan dengan artileri Libya. Pada tanggal 6 Juni, FAN mengambil alih kekuasaan kota Faya. Hal ini menakutkan Goukouni, dan ia menandatangani perjanjian persahabatan dengan Libya pada tanggal 15 Juni. Perjanjian itu memberi Libya tangan yang bebas di Chad, mengesahkan kehadirannya di Chad: hal ini terutama jelas dalam pasal petama perjanjian itu, dimana ditulis bahwa kedua negara menjalankan pertahanan yang menguntungkan.[46][47]

Dimulai pada bulan Oktober, tentara Libya melakukan sistem pengangkutan melalui udara menuju Aouzou Strip dioperasikan dalam sambungan dengan pasukan Goukouni untuk menduduki kembali Faya. Kota ini lalu digunakan sebagai titik kumpulan untuk tank, artileri dan kendaraan tempur lapis baja yang bergerak kearah selatan atas ibukota Chad, N'Djamena.[48]

Sebuah serangan dimulai pada tanggal 6 Desember, dipelopori oleh T-54 dan tank T-55 Uni Soviet dan menurut laporan oleh penasehat Uni Soviet dan Republik Demokratik Jerman, menyebabkan jatuhnya ibukota pada tanggal 16 Desember. Pasukan Libya, berjumlah sekitar 7.000 sampai 9.0000 orang dan paramiliter Pan-African Legiun Islam, 60 tank, dan kendaraan tempur lapis baja lainnya, telah diterbangkan sepanjang 1.100 kilometer di padang pasir dari perbatasan selatan Libya, sebagian oleh pengangkutan melalui udar dan transporter tank dan sebagian dibawah kekautan mereka sendiri. Perbatasan itu sekitar 1.000 sampai 1.100 kilometer dari markas utama Libya di pantai Laut Tengah.[48] Intervensi Libya mendemonstrasikan sebuah kemampuan logistik yang mengesankan, dan merupakan kemenangan militer pertamanya dan pencapaian besar secara politik Gaddafi yang pertama.[49]

Ketika terpukul mundur sampai pengasingan dan dengan pasukannya membatasi ke zona perbatasan Darfur, Habré tetap bersifat menantang: pada tanggal 31 Desember, ia mengumumkan di Dakar ia akan melanjutkan pertempuran gerilya melawan GUNT.[49][46]

Mundurnya Libya

Pada tanggal 6 Januari 1981, sebuah pengumuman resmi gabungan dikeluarkan di Tripoli oleh Gaddafi dan Goukouni bahwa Libya dan Chad telah memilih "untuk bekerja untuk mencapai persatuan penhu diantara kedua negara". Rencana penyatuan menyebabkan reaksi berlawanan yang kuat di Afrika, dan dengan segara terdapat reaksi dari Perancis, bahwa pada tanggal 11 Januari ditawarkan untuk menguatkan garnisiun Perancis di negara-negara Afrika yang ramah dan ditempatkan pada tanggal 15 Januari armada laut Perancis di laut Tengah dalam keadaan siaga. Libya menjawab dengan mengancam untuk membebankan sebuah embargo minyal, sementara Perancis mengancam untuk bereaksi jika Libya menyerang negara lainnya. Persetujuan ini juga dilawan oleh semua menteri GUNT dengan Goukouni di Tripoli, dengan pengecualian Acyl.[43][50]

Banyak pengamat percaya bahwa alasan dibalik Goukouni yang menyetujui persetujuan dapat ditemukan dalam beberapa hal, tekanan kuat dan bantuan finansial yang dijanjikan oleh Gaddafi. Juga, hanya sebeluma ia mengunjungi ibukota Libya, Goukouni telah mengirim 2 dari panglima besarnya ke Libya untuk konsultasi. Di Tripoli, Goukouni dipelajari oleh Gaddafi bahwa mereka telah dibunuh oleh "orang Libya yang tidak sepakat", dan jika ia tidak mau untuk mendapat resiko kehilangan simpati Libya dan kehilangan kekuasaan, ia harus menerima rencana penggabungan.[51]

Kepentingan oposisi yang ditemui menyebabkan Gaddafi dan Goukouni untuk berbicara tentang kepentingan dari hal ini, berbicara tentang persatuan rakyat, dan bukan negara, dan sebagai jalan pertama menuju kolaborasi yang lebih dekat, tetapi kerusakan telah dilakukan, dan dengan buruk melemahkan wibawa Goukouni sebagai nasionalis dan negarawan.[43]

Meningkatnya tekanan internasional atas kehadiran Libya di Chad pada awalnya ditemui oleh Goukouni yang menyatakan bahwa Libya ada di Chad karena diminta oleh pemerintah, dan mediator internasional harus menerima keputusan pemerintah Chad. Dalam pertemuan yang dilakukan bulan Mei, Gokouni menyatakan bahwa sementara kemunduran pasukan Libya bukan prioritas, ia akan menerima keputusan OAU. Goukouni hampir tidak melakukan dalam beberapa waktu meninggalkan kepada bantuan militer Libya, yang dijanjikan dengan FAN Habré, selalu didukung oleh Mesir dan Sudan dan didanai melalui Mesir oleh CIA.[52]

Dalam relasi antara Goukouni dan Gaddafi mulai memburuk. Tentara Libya berpatroli dalam berbagai tempat di Chad utara dan tengah, dalam jumlah yang telah mencapai sekitar 14.000 tentara pada bulan Januari - Februari. Tentara Libya di negara membuat sebuah gangguan di GUNT, oleh faksi yang mendukung Acyl dalam perselisihan dengan milisi lainnya, termasuk perselisihan yang terjadi pada bulan April dengan Angkatan Bersenjata Rakyat Goukouni. Terdapat juga usaha untuk melibyanisasi populasi lokal, yang membuat banyak pengakhiran unifikasi untuk Libya berarti Arabisasi dan pembebanan budaya politik Libya, dalam Buku Hijau.[53][54][55]

Terjadi perselisihan pada bulan Oktober diantara legiuner Islam Gaddafi dan pasukan Goukouni, dan rumor bahwa Acyl merencanakan kudeta untuk menguasai kepemimpinan GUNT, Goukouni meminta pada tanggal 29 Oktober untuk menyelesaikan dan kemunduran tegas tentara Libya dari teritori Chad, dimana, dimulai dari ibukota, yang akan selelsai pada tanggal 31 Desember. Orang Libya akan digantikan oleh Pasukan Inter-Afrika OAU. Gaddafi menuruti dan pada tanggal 16 November semua pasukan Libya meninggalkan Chad, distribusi kembali di Jalur Aouzou.[55][54]

Kemunduran cepat Libya membuat banyak pengamat terkejut. Alasan ditemukan dalam keinginan Gaddafi untuk menjadi tuan rumah konferensi OAU tahun 1982 dan menguasai kepresidenan OAU pada tahun itu. Poin lain dapat ditemukan dalam situasi kesulitan Libya di Chad dimana tanpa beberapa penerimaan internasional untuk kehadiran Libya, akan menjadi sulit untuk mengambil resiko menyebabkan perang dengan Mesir dan Sudan, dengan dukungan Amerika Serikat. Hal ini berarti bahwa Gaddafi telah meninggalkan tujuan yang ia lakukan untuk Chad, tetapi bahwa ia sekarang harus mencari orang lain sebagai pemimpin Chad, dimana Goukouni telah membuktikan dirinya tidak dapat dipercaya.[55][56]

Habré mengambil N'Djamena

Komponen pertama IAF yang tiba di Chad adalah pasukan payung Republik Demokratik Kongo yang diikuti oleh pasukan Nigeria dan Senegal, membawa IAF menjadi 3.275 orang. Sebelum pasukan penjaga perdamaian secara penuh didistribusikan, Habré mengambil kesempatan atas mundurnya Libya, dan melakukan serangan besar-besaran di Chad timur, termasuk kota penting Abéché,yang jatuh pada tanggal 19 November.[57] Setelah itu pada awal bulan Januari, Oum Hadjer juga jatuh, hanya sekitar 100 mil dari Ati, kota yang bersangkut-paut terakhir sebelum ibukota. GUNT diselamatkan untuk beberapa waktu oleh IAF, hanya pasukan militer yang dapat dihargai mengkonfrontasi Habré, yang mencegah FAN merebut Ati.[58]

Pada serangan ringan Habré, OAU meminta GUNT untuk membuka rekonsiliasi dengan Habré, sebuah permintaan yang ditolak oleh Goukouni[59]. Nantinya ia berkata:

Pada bulan Mei, FAN memulai serangan terakhir, melewati dengan tak dirintangi oleh penjaga perdamaian di Ati dan Mongo.[60] Goukouni marah dengan penolakan IAF untuk melawan Habré, membuat sebuah usaha untuk mengembalikan relasinya dengan Libya, dan mencapai Tripoli pada tanggal 23 Mei, tetapi Gaddafi, terbakar oleh pengalamannya pada tahun sebelumnya, memproklamasikan kenetralan Libya dalam perang saudara di Chad.[61]

Pasukan GUNT mencoba untuk melakukan sebuah pendirian terakhir di Massaguet, 50 mil sebelah yutara ibukota di jalan Abéché-N'Djamena, tetapi ditaklukan oleh FAN pada tanggal 5 Juni setelah pertempuran berat. 2 hari kemudian, Habré memasuki N'Djamena tanpa adanya perlawanan, membuatnya secara de facto sumber pemerintahan nasional di Chad, ketika Goukouni melarikan diri dari Chad mencari perlindungan di Kamerun.[62][63]

Segera setelah pendudukan ibukota, Habré memulai mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan menduduki sisa dari negara. Dalam 6 minggu ia menguasai Chad selatan, menghancurkan FAT, milisi Kamougué, yang berharap untuk bantuan Libya untuk menggagalkan. Sisa dari negara juga dimasukan, dengan pengecualian Tibesti.[64]

Serangan GUNT

Sejak Gaddafi telah menyimpan dirinya hampir jauh dari jatuhnya N'Djamena, Habré berharap pada awalnya untuk mencapai sebuah pengeritan dengan Libya, melalui sebuah persetujuan dengan wali di Chad, pemimpin CDR Acyl, yang muncul dengan mau menerima terhadap dialog, tetapi Acyl meninggal pada tanggal 19 Juli, digantikan oleh Acheikh ibn Oumar, dan CDR dibuat benci oleh hasrat besar Habré untuk menyatukan negara, membuatnya mengacaukan kekuasaan CDR.[65]

Therefore, it was with Libyan support that Goukouni reassembled the GUNT, creating in October a National Peace Government with its seat in the Tibesti town of Bardai and claiming itself the legitimate government by the terms of the Lagos Accord. For the impending fight Goukouni could count on 3,000–4,000 men taken from several militias, later merged in an Armée Nationale de Libération (ANL) under the command of a Southerner, Negue Djogo.[66][67]

Before Gaddafi could throw his full weight behind Goukouni, Habré attacked the GUNT in the Tibesti, but was repelled both in December 1982 and in January 1983. The following months saw the clashes intensify in the North, while talks, with even an exchange in March of visits between Tripoli and N'Djamena, broke down. Therefore, on March 17 Habré brought the Chad-Libya quarrel before the United Nations, asking for an urgent meeting of the UN Security Council to consider Libya's "aggression and occupation" of Chadian territory.[66][68]

Gaddafi was ready now for an offensive. The decisive offensive began in June, when a 3,000 strong GUNT force invested Faya-Largeau, the main government stronghold in the North, that fell on June 25, and then rapidly proceeded towards Koro Toro, Oum Chalouba and Abéché, assuming control of the main routes towards N'Djamena. Libya, while helping with recruiting and training and providing the GUNT with heavy artillery, only committed a few thousand regular troops to the offensive, and most of these were artillery and logistic units. This may have been due to Gaddafi's desire that the conflict should be read as a Chadian internal affair.[48][66][62]

The international community reacted adversely to the Libyan-backed offensive, in particular France and the United States. On the same day as the fall of Faya, the French Foreign Minister Claude Cheysson warned Libya that France would "not remain indifferent" to a new Libyan involvement in Chad, and on July 11 the French government accused again Libya of direct military support to the rebels. French arms shipments were resumed on June 27, and on July 3 a first contingent of 250 Zairians arrived to strengthen Habré; the United States announced in July military and food aid for 10 million dollars. Gaddafi suffered also a diplomatic setback from the OAU, that at the meeting held in June officially recognized Habré's government and asked for all foreign troops to leave Chad.[69][66][68]

Supplied by Americans, Zairians and the French, Habré rapidly reorganized his forces (now called Chadian National Armed Forces or FANT) and marched north to confront the GUNT and the Libyans, that he met south of Abéché. Habré proved again his ability, crushing Goukouni's forces, and started a vast counteroffensive that enabled him to retake in rapid succession Abéché, Biltine, Fada and, on July 30, Faya-Largeau, threatening to attack the Tibesti and the Aouzou Strip.[66]

Opération Manta

Berkas:Chad Map.jpg
A map of Chad including the 15th parallel (the Red Line) where the French separated government and rebel forces

Feeling that a complete destruction of the GUNT would be an intolerable blow for his prestige, and fearing that Habré would provide support for all opposition to Gaddafi, the Colonel called for a Libyan intervention in force, as his Chadian allies could not secure a definitive victory without Libyan armor and airpower.[70]

Since the day after the fall of the town, Faya-Largeau was subjected to a sustained air bombardment, using Su-22 and Mirage F-1s from the Aouzou air base, along with Tu-22 bombers from Sebha. Within ten days, a large ground force had been assembled east and west of Faya-Largeau by first ferrying men, armor, and artillery by air to Sabha, Al Kufrah, and the Aouzou airfield, and then by shorter range transport planes to the area of conflict. The fresh Libyan forces amounted to 11,000 mostly regular troops, and eighty combat aircraft participated to the offensive; nowithstanding this, the Libyans maintained their traditional role of providing fire support, and occasional tank charges, for the assaults of the GUNT, that could count on 3,000–4,000 men on this occasion.[48][71]

The GUNT-Libyan alliance invested on August 10 the Faya-Largeau oasis, where Habré had entrenched himself with about 5,000 troops. Battered by MRL, artillery and tank fire and continuous airstrikes, the FANT's defensive line disintegrated when the GUNT launched the final assault, leaving 700 FANT troops on the ground. Habré escaped with the remnants of his army to the capital, without being pursued by the Libyans.[71]

This was to prove a tactical blunder, as the new Libyan intervention had alarmed France, that, also due to American and African pressures, announced on August 6 the return of French troops in Chad as part of Opération Manta, meant to stop the GUNT-Libyan advance and more generally weaken Gaddafi's influence in the internal affairs of Chad. Three days later several hundred French troops were dispatched to N'Djamena from the Central African Republic, that were later brought to 2,700, with several squadron of Jaguar fighter-bombers. This made it the largest expeditionary force ever assembled by the French in Africa, except for the Algerian War of Independence.[71][72][73][74]

The French government then defined a limit (the so-called Red Line), along the 15th parallel, extending from Mao to Abéché, and warned that they would not tolerate any incursion south of this line by Lybian or GUNT forces. Both the Libyans and the French remained on their side of the line, with France showing itself unwilling to help Habré retake the north, while the Libyans avoided starting a conflict with France by attacking the line. This led to a de facto division of the country, with Libya maintaining control of all the territory north of the Red Line.[72][48]

A lull ensued, during which in November talks sponsored by the OAU failed to conciliate the opposing Chadian factions; no more successful was Ethiopia's leader Mengistu's attempt at the beginning of 1984. Mengistu's failure was followed on January 24 by a GUNT attack, supported by heavy Libyan armor, on the FANT outpost of Ziguey, a move mainly meant to persuade France and the African states to reopen negotiations. France reacted to this breach of the Red Line by launching the first significant air counter-attack, bringing into Chad new troops and unilaterally rising the defensive line to the 16th parallel.[75][76][77]

French withdrawal

To put an end to the deadlock, Gaddafi proposed on April 30 a mutual withdrawal of both the French and Libyan forces in Chad. The French President François Mitterrand showed himself receptive to the offer, and on September 17 the two leaders publicly announced that the mutual withdrawal would start on September 25, and be completed by November 10.[75] The accord was at first hailed by the media as a proof attesting Mitterrand's diplomatic skills and a decisive progress towards the solution of the Chadian crisis;[78] it also answered Mitterrand's intent of following regards Libya and Chad a foreign policy independent from both the United States and the Chadian government.[72]

While France respected the deadline, the Libyans limited themselves to retiring some forces, while maintaining at least 3,000 men stationed in Northern Chad. When this became evident, it resulted in a source of considerable embarrassment for the French and the occasion of recriminations between the French and Chadian governments.[79]

According to Nolutshungu, the 1984 bilateral Franco-Libyan agreement, may have provided Gaddafi with an excellent opportunity to find an exit from the Chadian quagmire, while bolstering his international prestige and posing him in a condition to force Habré into accepting a peace accord which would have included Libya's proxies. Instead, Gaddafi misread France withdrawal as a willingness to accept Libya's military presence in Chad and the de facto annexation of the whole BET by Libya, an action that was certain to meet the opposition of all Chadian factions and of the OAU and the UN. Gaddafi's blunder would eventually bring about his defeat, with the rebellion against him of the GUNT and a new French expedition in 1986.[80]

Opérasi Épervier

Selama periode antara tahun 1984 dan tahun 1986, in which no major clash took place, Habré greatly strengthened his position thanks to staunch US support and Libya's failure to respect the Franco-Libyan 1984 agreement. Decisive was also the increasing factional bickering that started plaguing the GUNT since 1984, centered around the fight between Goukouni and Acheikh ibn Oumar over the leadership of the organization.[81]

In this period Gaddafi expanded his control over northern Chad, building new roads and erecting a major new airbase, Ouadi Doum, meant to better support air and ground operations beyond the Aouzou Strip, and brought in considerable reinforcements in 1985, rising their forces in the country to 7,000 troops, 300 tanks and 60 combat aircraft.[82] While this build-up took place, significant elements of the GUNT passed over to the Habré government, as part of the latter's policy of accommodation.[83]

These desertions alarmed Gaddafi, as the GUNT provided a cover of legitimacy to Libya's presence in Chad. To put a halt to these and reunite the GUNT, a major offensive was launched on the Red Line, whose ultimate goal was N'Djamena itsef. The attack, started on February 10, involved 5,000 Libyan and 5,000 GUNT troops, and concentrated on the FANT outposts of Kouba Olanga, Kalait and Oum Chalouba. The campaign ended in disaster for Gaddafi, when a FANT counteroffensive on February 13 using the new equipment obtained from the French forced the attackers to withdraw and reorganize.[77][84][85]

Most important was French reaction to the attack. Gaddafi had possibly believed that, due to the incoming French legislative elections, Mitterrand would have been reluctant to start a new risky and costly expedition to save Habré; this evaluation proved wrong, as what the French President could not politically risk was to show weakness towards Libyan aggression. As a result, on February 14 Opération Epervier was started, bringing 1,200 French troops and several squadrons of Jaguars in Chad. Two days later, to send a clear message to Gaddafi, the French Air Force bombed Libya's Ouadi Doum airbase, which caused in retaliation the following day the Libyan bombing of the N'Djamena Airport.[86][87][88]

Perang Tibesti

The defeats suffered in February and March accelerated the disintegration of the GUNT. When in March at a new round of OAU-sponsored talks held in Congo Goukouni failed to appear, many suspected the hand of Libya, causing the defection from the GUNT of its Vice-president Kamougué, followed by the First Army and the FROLINAT Originel. In August, it was the CDR's turn to leave the coalition, seizing the town of Fada. When in October Goukouni's Angkatan Bersenjata Rakyat attempted to retake Fada, the Libyan garrison attacked Goukouni's troops, giving way to a pitched battle that effectively ended the GUNT. In the same month, Goukouni was arrested by the Libyans, while his troops rebelled against Gaddafi, dislodging the Libyans from all their positions in the Tibesti, and on October 24 went over to Habré.[89]

To reestabilish their supply lines and retake the towns of Bardai, Zouar and Wour, the Libyans sent in Tibesti a task-force of 2,000 troops with T-62 tanks and heavy support by the Libyan Air Force. The offensive started successfully, expelling the GUNT from its key strongholds, also through the use of napalm and, allegedly, poison gas. This attack ultimately backfired, causing the prompt reaction of Habré, who sent 2,000 FANT soldiers to link with the GUNT forces. Also Mitterrand reacted forcefully, ordering a mission which parachuted fuel, food, ammunition and anti-tank missiles to the rebels, and also infiltrated military personnel. Through this action, the French made clear that they did not felt any more committed to keep south of the Red Line, and were ready to act whenever they found it necessary.[90][91]

While militarily Habré was only partly successful in his attempt to evict the Libyans from the Tibesti (the Libyans would fully leave the region in March, when a series of defeats in the north-east had made the area untenable), the campaign was a great strategic breakthrough for the FANT, as it transformed a civil war into a national war against a foreign invader, stimulating a sense of national unity that had never been seen before in Chad.[92]

Toyota War

Berkas:Saha41.jpg
Habré meets Mitterrand in Paris in July 1987

At the opening of 1987, the last year of the war, the Libyan expeditionary force was still impressive, counting on 8,000 troops and 300 tanks; but it had lost the key support of its Chadian allies, who had generally provided reconnaissance and acted as assault infantry. Without them the Libyan garrisons resembled isolated and vulnerable islands in the Chadian desert. On the other side, the FANT was greatly strengthened, now having 10,000 highly motivated troops, provided with fast-moving and sand-adapted Toyota trucks equipped with MILAN anti-tank guided missiles, that gave the name of "Toyota War" to the last phase of the Chadian-Libyan conflict.[93][94][95]

Habré started on January 2 1987 his reconquest of northern Chad with a successful attack of the well-defended Libyan communications base of Fada. Against the Libyan army the Chadian commander Hassan Djamous conducted a series of swift pincer movements, enveloping the Libyan positions and crushing them with sudden attacks from all sides. This strategy was repeated by Djamous in March in the battles of B'ir Kora and Ouadi Doum, inflicting crushing losses and forcing Gaddafi to evacuate northern Chad.[96]

This in turn endangered Libyan control over the Aouzou Strip, and Aouzou fell in August to the FANT, only to be repelled by an overwhelming Libyan counter-offensive and the French refusal to provide air cover to the Chadians. Habré readily replied to this setback with the first Chadian incursion in Libyan territory of the Chadian-Libyan conflict, mounting on September 5 a surprise and fully successful raid against the key Libyan air base at Maaten al-Sarra. This attack was part of a plan to remove the threat of Libyan airpower before a renewed offensive on Aouzou.[97]

The projected attack on Aouzou never took place, as the dimensions of the victory obtained at Maaten made France fear that the attack on the Libyan Base was only the first stage of a general offensive into Libya proper, a possibility that France was not willing to tolerate. As for Gaddafi, being subjected to internal and international pressures, he showed himself more conciliatory, which brought as a result to an OAU-brokered ceasefire on September 11.[98][99]

Akhir

While there were many violations of the ceasefire, the incidents were relatively minor. The two governments immediately started complex diplomatic manoeuvres to bring on their side world opinion in the case, widely expected, that the conflict was resumed; but the two parts were also careful to leave the door open for a peaceful solution. The latter course was promoted by France and most African states, while the Reagan Administration saw in a resumption of the conflict the best chance to unseat Gaddafi.[100]

Steadily relations among the two countries bettered, with Gaddafi giving signs that he wanted to normalize relations with the Chadian government, to the point of recognizing that the war had been an error. In May 1988 the Libyan leader declared he would recognize Habré as the legitimate president of Chad "as a gift to Africa"; this led on October 3 to the resumption of full diplomatic relations between the two countries. The following year, on August 31 1989, Chadian and Libyan representatives met in Algiers to negotiate the Framework Agreement on the Peaceful Settlement of the Territorial Dispute, by which Gaddafi agreed to discuss with Habré the Aouzou Strip and to bring the issue to the International Court of Justice (ICJ) for a binding ruling if bilateral talks failed. Therefore, after a year of inconclusive talks, the sides submitted in September 1990 the dispute to the ICJ.[101][102][103]

Chadian-Libyan relations were further ameliorated when Libyan-supported Idriss Déby unseated Habré on December 2. Gaddafi was the first head of state to recognize the new regime, and he also signed treaties of friendship and cooperation on various levels; but regarding the Aouzou Strip Déby followed his predecessor, declaring that if necessary he would fight to keep the strip out of Libya's hands.[104][105]

The Aouzou dispute was concluded for good on February 3 1994 when the judges of the ICJ by a majority of 16 to 1 deliberated that the Aouzou Strip belonged to Chad. The court's judgement was implemented without delay, the two parties signing as early as April 4 an agreement concerning the practical modalities for the implementation of the judgement. Monitored by international observers, the withdrawal of Libyan troops from the Strip began on April 15 and was completed by May 10. The formal and final transfer of the Strip from Libya to Chad took place on May 30, when the sides signed a joint declaration stating that the Libyan withdrawal had been effected.[103][106]

Daftar pustaka

Catatan Kaki

  1. ^ a b c d e f K. Pollack, Arabs at War, p. 375
  2. ^ a b c d e K. Pollack, p. 376
  3. ^ S. Nolutshungu, Limits of Anarchy, p. 230
  4. ^ M. Azevedo, Roots of Violence, p. 151
  5. ^ A. Clayton, Frontiersmen, p. 98
  6. ^ M. Brecher & J. Wilkenfeld, A Study of Crisis, p. 84
  7. ^ R. Brian Ferguson, The State, Identity and Violence, p. 267
  8. ^ a b c M. Brecher & J. Wilkenfeld, p. 85
  9. ^ a b G. Simons, Libya and the West, p. 56
  10. ^ S. Nolutshungu, p. 327
  11. ^ a b c J. Wright, Libya, Chad and the Central Sahara, p. 130
  12. ^ M. Azevedo, p. 145
  13. ^ . "Public sitting held on Monday 14 June 1993 in the case concerning Territorial Dispute (Libyan Arab Jamayiriya/Chad)" (PDF). International Court of Justice.
  14. ^ R. Buijtenhuijs, "Le FROLINAT à l'épreuve du pouvoir", p. 19
  15. ^ R. Buijtenhuijs, pp. 16–17
  16. ^ . "Public sitting held on Friday 2 July 1993 in the case concerning Territorial Dispute (Libyan Arab Jamayiriya/Chad)". International Court of Justice.
  17. ^ A. Clayton, p. 99
  18. ^ J. Wright, pp. 130–131
  19. ^ S. Macedo, Universal Jurisdiction, pp. 132–133
  20. ^ R. Buijtenhuijs, Guerre de guérilla et révolution en Afrique noire, p. 27
  21. ^ A. Gérard, Nimeiry face aux crises tchadiennes, p. 119
  22. ^ a b c M. Brecher & J. Wilkenfeld, p. 86
  23. ^ a b R. Buijtenhuijs, Guerre de guérilla et révolution en Afrique noire, p. 26
  24. ^ R. Buijtenhuijs, "Le FROLINAT à l'épreuve du pouvoir", p. 18
  25. ^ Libya-Sudan-Chad Triangle, p. 32
  26. ^ R. Buijtenhuijs, "Le FROLINAT à l'épreuve du pouvoir", p. 21
  27. ^ a b c d M. Azevedo, p. 146
  28. ^ J. de Léspinôis, "L'emploi de la force aeriénne au Tchad", pp. 70–71
  29. ^ M. Pollack, pp. 376–377
  30. ^ H. Simpson, The Paratroopers of the French Foreign Legion, p. 55
  31. ^ M. Brandily, "Le Tchad face nord", p. 59
  32. ^ N. Mouric, "La politique tchadienne de la France", p. 99
  33. ^ M. Brandily, pp. 58–61
  34. ^ M. Azevedo, pp. 104–105, 119, 135
  35. ^ Ibid., p. 106
  36. ^ a b M. Brecher & J. Wilkenfeld, p. 88
  37. ^ N. Mouric, p. 100
  38. ^ a b K. Pollack, p. 377
  39. ^ T. Mays, Africa's First Peacekeeping operation, p. 43
  40. ^ T. Mays, p. 39
  41. ^ T. Mays, pp. 45–46
  42. ^ a b S. Nolutshungu, p. 133
  43. ^ a b c M. Azevedo, p. 147
  44. ^ J. Wright, p. 131
  45. ^ S. Nolutshungu, p. 135
  46. ^ a b c M. Azevedo, p. 108
  47. ^ M. Brecher & J. Wilkenfeld, p. 89
  48. ^ a b c d e H. Metz, Libya, p. 261
  49. ^ a b J. Wright, p. 132
  50. ^ M. Brecher & J. Wilkenfeld, pp. 89–90
  51. ^ M. Azevedo, pp. 147–148
  52. ^ S. Nolutshungu, p. 156
  53. ^ S. Nolutshungu, p. 153
  54. ^ a b M. Brecher & J. Wilkenfeld, p. 90
  55. ^ a b c M. Azevedo, p. 148
  56. ^ S. Nolutshungu, pp. 154–155
  57. ^ S. Nolutshungu, p. 164
  58. ^ T. Mays, pp. 134–135
  59. ^ S. Nolutshungu, p. 165
  60. ^ a b T. Mays, p. 139
  61. ^ S. Nolutshungu, p. 168
  62. ^ a b K. Pollack, p. 382
  63. ^ T. Mays, p. 99
  64. ^ S.Nolutshungu, p. 186
  65. ^ Ibid. p. 185
  66. ^ a b c d e S. Nolutshungu, p. 188
  67. ^ M. Azevedo, p. 110, 139
  68. ^ a b M. Brecher & J. Wilkenfeld, p. 91
  69. ^ M. Azevedo, p. 159
  70. ^ K. Pollack, pp. 382–383
  71. ^ a b c K. Pollack, p. 383
  72. ^ a b c S. Nolutshungu, p. 189
  73. ^ M. Brecher & J. Wilkenfeld, pp. 91–92
  74. ^ M. Azevedo, p. 139
  75. ^ a b M. Brecher & J. Wilkenfeld, p. 92
  76. ^ S. Nolutshungu, p. 191
  77. ^ a b M. Azevedo, p. 110
  78. ^ M. Azevedo, pp. 139–140
  79. ^ M. Azevedo, p. 140
  80. ^ S. Nolutshungu, pp. 202–203
  81. ^ Ibid., pp. 191–192, 210
  82. ^ K. Pollack, pp. 384–385
  83. ^ S. Nolutshungu, p. 212
  84. ^ S. Nolutshungu, p. 212
  85. ^ K. Pollack, p. 389
  86. ^ M. Brecher & J. Wilkenfeld, p. 93
  87. ^ S. Nolutshungu, pp. 212–213
  88. ^ K. Pollack, p. 389
  89. ^ S. Nolutshungu, pp. 213–214
  90. ^ S. Nolutshungu, pp. 214–216
  91. ^ K. Pollack, p. 390
  92. ^ S. Nolutshungu, pp. 215–216, 245
  93. ^ M. Azevedo, pp. 149–150
  94. ^ K. Pollack, p. 391, 398
  95. ^ S. Nolutshungu, pp. 218–219
  96. ^ K. Pollack, pp. 391–394
  97. ^ K. Pollack, pp. 395–396
  98. ^ S. Nolutshungu, pp. 222–223
  99. ^ K. Pollack, p. 397
  100. ^ S. Nolutshungu, pp. 223–224
  101. ^ G. Simons, p. 58, 60
  102. ^ S. Nolutshungu, p. 227
  103. ^ a b M. Brecher & J. Wilkenfeld, p. 95
  104. ^ "Chad The Devil Behind the Scenes", Time, 1990-12-17 
  105. ^ M. Azevedo, p. 150
  106. ^ G. Simons, p. 78