Kebaya

pakaian nasional wanita Indonesia

Kebaya (pelafalan dalam bahasa Indonesia: [kəˈbaja]; kê‧ba‧ya)[catatan 1][9] adalah sejenis pakaian bagian atas yang secara tradisional dikenakan oleh wanita di Asia Tenggara, terutama di Indonesia,[10] Malaysia,[8] Brunei,[11] dan Singapura.[12] Selain itu, kebaya juga dikenakan di daerah di luar Asia Tenggara, yakni pemakaian oleh orang Orang Jawa, Melayu dan orang Eurasia Portugis di Kepulauan Cocos, Pulau Natal, pesisir India dan Sri Lanka, Makau serta Afrika Selatan.

Kebaya
Kebaya Jawa klasik mempunyai blus tipis yang halus dan dikenakan setelah kemben, pembungkus tubuh wanita berkain batik. Seperti yang diperlihatkan di sini, sebuah kebaya dikenakan oleh GKR Hayu, Putri Yogyakarta.
JenisPakaian blus tradisional
Tempat asalIndonesia[1][2][3][4] dan Malaysia[3][4][5][6][7][8]

Kebaya adalah pakaian bagian atas yang memiliki karakteristik terbuka di bagian depan dan dibuat secara tradisional dari kain ringan seperti brokat, katun, kasa, renda, atau voile, dan terkadang dihiasi dengan sulaman. Bagian depan diamankan dengan kancing, pin, atau bros. Sedangkan pakaian bagian bawah untuk pakaian ini biasanya dikenal sebagai sarung, kemben atau sepotong kain panjang yang dililitkan di pinggang dan dapat berupa batik, ikat, songket atau tenun

Kebaya secara resmi diakui sebagai pakaian nasional dan juga ikon busana[13] Indonesia,[10][14] meskipun penggunaan kebaya hanya dipakai oleh Jawa, Sunda dan orang Bali secara berkala. Di Malaysia, Singapura dan Brunei, kenaya diakui sebagai salah satu pakaian etnis terutama di kalangan komunitas etnis Melayu dan Peranakan[catatan 2], dan kebaya biasanya dikenal di wilayah ini sebagai "sarung kebaya" yang berasal dari penamaan komponen lengkapnya.[6] Sementara, gaya sarung kebaya bervariasi antara satu tempat dengan tempat lainnya di dalam cakupan wilayah tersebut.

Kebaya telah menjadi ikon mode Asia Tenggara, dengan banyak maskapai penerbangan berbendera Asia Tenggara termasuk Singapore Airlines, Malaysia Airlines, Royal Brunei Airlines dan Garuda Indonesia telah mengadopsi pakaian tradisional ini sebagai seragam untuk pramugari perempuan maskapai tersebut.[15]

Etimologi

Istilah "kebaya" diyakini berasal dari kata serapan Arab kaba atau qaba yang berarti "pakaian",[16][17] istilah ini mungkin berhubungan dengan kata Arab abaya (bahasa Arab: عباءة) yang berarti jubah atau garmen longgar. Istilah tersebut kemudian diperkenalkan ke Nusantara melalui kata serapan dari bahasa Portugis, cabaya.[16][18]

Sejarah

Latar belakang

Dari Timur-Tengah

Ada kemungkinan besar bahwa asal-usul kebaya berasal dari Timur Tengah dikarenakan komposisi akar budayanya. Hal ini dibuktikan dengan adanya keterkaitan kebaya dengan qaba dari Arab yang merupakan sejenis jubah panjang kendur yang dikemukakan oleh orientalis Henry Yule dan Arthur Burnell pada tahun 1886. Pakaian-pakaian dari tanah Arab memang sudah dikenal sejak abad ke-7 masehi, beberapa jejak sejarah bahkan menunjukkan bahwa Nabi Islam Muhammad mendapatkan hadiah berupa aqbiya (yang merupakan bentuk jamak dari qaba) dalam beberapa kejadian. Banyak ahli berpendapat bahwa orang Persia merupakan asal-usul utama dari qaba. Selain itu dengan adanya penyebaran agama Islam melalui proses perdagangan dan sebagainya, tata busana seperti ini tidak lagi hanya ditemukan di tanah Arab, tetapi juga di tanah Persia, Turki, dan Urdu.[19] Dikarenakan bentuk fisiknya, banyak sumber yang menyatakan bahwa kebaya berasal dari busana Muslim yang dinamai sebagai qaba, habaya, al akibiya al turkiyya dan djubba. Klaim bahwa kebaya kemungkinan berasal dari Dunia Arab sangatlah mungkin, sebagaimana Islam merambah ke Dunia Melayu pada abad ke-15 masehi dan para wanita Melayu mulai mengikuti norma busana Islamik.[5][8] Sebelum adanya Islam, para penduduk wanita memang memakai pakaian dengan helai yang lebih sedikit karena kelembapan dan iklim yang panas dan agama pra-Islamik di tanah Melayu tidak melarang hal seperti itu.[20]

Dari Sub-benua India dan Portugis

 
Vimaladharmasuriya dan Spilbergen, 1602. Disini, ditunjukkan bahwa cabaya dikenakan sebagai jaket tubuh bagian atas.[21]

Deskripsi rinci dari cabaya dapat dilihat pasa kamus abad ke-19 Hobson-Jobson.[16] Selain itu, dalam kamus Anglo-India, cabaya merupakan sebuah kata dengan asal-usul dari Asia dan bermakna sebuah helai penutup dari tunik panjang yang dikenakan oleh orang India kelas atas. Istilah ini kemungkinan diperkenalkan oleh bangsa Portugis yang pernah singgah di sub-benua India.[19] Terdapat juga banyak catatan sejarah yang dipublikasikan oleh orang Portugis pada abad ke-16 dan ke-17 yang mencatat bahwa caba, cabaya dan cabaia sebagai jubah panjang Muslim yang dikenakan oleh kelas penguasa India serta Timur Tengah. Penggunaan pertama daru bahasa ini digunakan oleh Fernão Mendes Pinto saat dia singgah di India pada tahun 1540-an. Kemudian, disebutkan bahwa Pangeran Dharmapala dari Kotte merupakan orang pertama yang memperkenalkan cabaya pada bangsa Portugis dan setelah itu, pakaian tersebut dikenaian oleh petinggi Portugis untuk urusan bangsawan.[21] Kemudian, Raja Vimaladharmasuriya dari Kandy menetapkan cabaya sebagai pakaian bagian atas untuk bangsawan Sri Lanka yang menandakan perubahan sikap dan kesetiaan kepada Portugis.[21] Setelah kerajaan Goa dikuasai oleh Portugis pada tahun 1510, pengaruh Portugis meluas dari Anak Benua India hingga Kepulauan Melayu.[22] Istilah ini kemudian diperkenalkan ke Nusantara untuk merujuk pada mantel katun ringan yang dikenakan oleh pria dan wanita Eropa.[23]

 
Sultana Khadijah dari Johor dengan garis yang tidak diketahui namanya. Disini dapat dilihat bwahwa kebaya digunakan bersama dengan baju kurung oleh petinggi ataupun bangsawan tanah Melayu, sekitar tahun 1900.

Setelah penaklukan Malaka pada 1511 oldh bangsa Portugis, cabaya yang dikenakan oleh pada bangsa Portugis di Malaka (1511–1641) menarik perhatian para penduduk wanita Melayu, terutama di Johor dan pesisir bagian timur semenanjung Malaka.[4][6][8] Pakaian ini kemudian semakin dipopulerkan oleh "Peranakan Tionghoa" di tanah Malaka.[11] Hal ini kemungkinan didorong oleh faktor bahwa suami Tionghoa mereka beranggapan bahwa berpakaian ini dianggap pantas dan tidak jauh berbeda dengan pakaian gaya Tionghoa.[20] Kemudian, penjelajah Malaka-Portugis, Manuel Godinho de Erédia, bahkan mengaggap bahwa pemakaian cabayas (jamak dari cabaya) dibawa ke Asia Tenggara oleh pedagang Arab dan Mesir pada awal 1618.[5][19][24] Selain itu, Peter Mundy, seorang penulis Inggris yang mengunjungi wilayah Goa pada tahun 1630-an, juga menyatakan bahwa wanita di Malaka berpakaian mirip dengan wanita di Goa.[24] Pengaruh Portugis dan India dapat dilihat dari kebaya yang dikenakan di Malaka, sehingga kemungkinan istilah "cabaya" dan pemakaian gaun tersebut diperkenalkan ke Malaka oleh orang Portugis atau Portugis Eurasia dari India yang memiliki strata tingkat lebih tinggi, daripada kemungkinan bahwa pakaian ini langsung dibawa oleh orang Arab atau Tionghoa.[19][24]

Tanah Malaka dan Majapahit

 
Kartini muda bersama keluarganya. Di sini kebaya dikenakan oleh perempuan bangsawan Jawa pada abad ke-19.

Beberapa sumber lain menyatakan bahwa bentuk paling awal kebaya berasal dari istana Kerajaan Majapahit yang dikenakan para permaisuri atau selir raja, sebagai sarana untuk memadukan pakaian kemben perempuan yang sudah ada–yaitu kain pembebat dan penutup dada perempuan bangsawan–menjadi lebih sopan dan dapat diterima.[16] Sebelum adanya pengaruh Islam, masyarakat Jawa pada abad ke-9 telah mengenal beberapa istilah untuk mendeskripsikan jenis pakaian, seperti kulambi (bahasa Jawa: klambi, baju), sarwul (bahasa Jawa: sruwal, celana), dan ken (kain atau kain panjang yang dililit di pinggang).[16] Selama periode terakhir Kerajaan Majapahit, pengaruh Islam mulai berkembang di kota-kota pesisir utara Jawa sehingga perlu penyesuaian busana Jawa dengan agama Islam yang baru dipeluknya. Blus yang dirancang khusus, sering dibuat dari kain tipis yang halus, dikenakan setelah kemben untuk menutupi bagian belakang, bahu dan lengan, agar wanita istana terlihat lebih sopan. Adopsi busana yang lebih sopan dikaitkan dengan pengaruh Islam di Nusantara.[16] Aceh, Riau, Johor, dan Sumatera Utara mengadopsi gaya kebaya Jawa sebagai sarana ekspresi status sosial dengan penguasa Jawa yang lebih alus atau halus.[25]

Nama kebaya sebagai pakaian tertentu telah dicatat oleh Portugis saat mendarat di Indonesia. Kebaya dikaitkan dengan jenis blus yang dikenakan oleh wanita Indonesia pada abad ke-15 atau 16. Sebelum tahun 1600, kebaya di pulau Jawa dianggap sebagai pakaian khusus yang hanya untuk dikenakan oleh keluarga kerajaan, bangsawan, dan priyayi.

Kemudian, kebaya juga diadopsi oleh masyarakat umum, khususnya para petani wanita di Jawa. Hingga hari ini di desa-desa pertanian di Jawa, para petani wanita masih menggunakan kebaya sederhana, khususnya di kalangan wanita tua. Kebaya sehari-hari yang dikenakan oleh petani terbuat dari bahan sederhana dan dikancingkan dengan jarum sederhana atau peniti.[butuh rujukan]

Kebaya perlahan-lahan menyebar ke daerah-daerah tetangga melalui perdagangan, diplomasi, dan interaksi sosial ke Malaka, Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Kesultanan Sulu, dan Mindanao.[26][27][28] Kebaya Jawa seperti yang ada sekarang telah dicatat oleh Thomas Stamford Bingley Raffles pada tahun 1817, sebagai sutra, brokat dan beludru, dengan pembukaan pusat dari blus diikat oleh bros, bukan tombol dan tombol-lubang di atas batang tubuh bungkus kemben, kainnya — pembungkus tanpa jahitan yang panjangnya beberapa meter, keliru diberi istilah sarong di Inggris (sarung, aksen Malaysia: sarong) yang dijahit untuk membentuk tabung, seperti pakaian Barat.[29][30]

Bukti fotografi paling awal tentang kebaya yang dikenal saat ini berasal dari tahun 1857 yang bergaya Jawa, Peranakan, dan Oriental.[25] Pada kuartal terakhir abad ke-19, kebaya telah diadopsi sebagai busana yang disukai wanita di Hindia Belanda yang beriklim tropis, baik dikenakan oleh pribumi Jawa, kolonial Europa dan orang Indo, serta Tionghoa Peranakan.[31]

Varietas

Varian unsur-unsur kebaya

 
Kebaya Kutubaru (dengan kerah berbentuk persegi) sederhana yang dikenakan oleh seorang wanita Jawa di Yogyakarta.

;Kerah: Dalam aspek potongan dan bentuk kerah atau area leher, terdapat dua jenis utama: yakni kerah berbentuk seperti V (Jawa, Kartini, Bali, Melayu, Cocos dan Encim atau Peranakan) dan kerah berbentuk persegi (Kutubaru atau Kota Bharu). Kebaya Riau-Pahang memiliki kerah pita yang diikat dengan kancing yang disebut "cekak musang", sedangkan kebaya Sunda memiliki kerah yang berbentuk seperti huruf U, selayaknya kebaya modern. Kebaya modern juga bisa menerapkan berbagai bentuk dan lekukan kerah.

Kain
Dalam aspek kain, blus dapat terdiri dari dua bentuk utama: bahan transparan atau semi-transparan seperti yang dapat dijumpai pafa kebaya Jawa, Sunda, Bali, Cocos dan Encim atau Peranakan dan bahan sederhana non-transparan dari Kartini, Melayu dan kebaya Riau-Pahang. Kebaya Jawa biasanya terbuat dari sutra, kapas dan beludru, sedangkan kebaya Melayu biasanya terbuat dari tekstil tenun lokal seperti songket atau tenun.
Bentuk
Dalam aspek bentuk, terdapat dua varietas utama, yakni; kebaya Jawa, Sunda, Bali, Cocos dan Encim atau Peranakan yang memiliki ruang lebih ketat, dan kebaya longgar sederhana yang dikenakan oleh wanita Muslim konservatif. Kebaya Melayu yang lebih bercorak Islami memiliki ciri khas berupa blus lengan panjang drngan selutut longgar yang dikenakan di wilayah pendudukan suku Melayu, seperti Malaya, Sumatra dan Kalimantan.

Varietas Indonesia

 
Gambar seorang wanita Indonesia yang mengenakan kebaya dan kain batik. Pakaian lain yang dikenakan di bagian dalam kebaya juga terlihat karena kebaya yang dikenakan berbahan brokat semi-transparan.

Kebaya Kartini

Jenis kebaya yang digunakan oleh wanita bangsawan Jawa, terutama pada masa hidup Raden Ajeng Kartini, sekitar abad ke-19.[32] Seringkali istilah "kebaya jawa" disamakan dengan kebaya Kartini, meski keduanya sedikit berbeda satu sama lain. Kebaya Kartini biasanya terbuat dari kain yang halus, tetapi tidak tembus pandang, dan warna putih merupakan warna yang paling sering dihunakan. Motif dasar dari kebaya Kartini mungkin polos, begitu pula dengan hiasannya pun cukup minim, hanya jahitan atau aplikasi tali di sepanjang tepinya. Potongan kerah berbentuk V pada kebaya jenis ini sangat mirip dengan kebaya Peranakan Encim, namun dibedakan dengan lipatan khas di bagian dada. Ciri lain dari kebaya Kartini adalah kebaya dibuat hingga menutupi pinggul, dan lipatan kerah dalam bentuk garis vertikal, sehingga menciptakan kesan tinggi dan ramping pemakainya.[33] Kebaya Kartini menginspirasi cut and style seragam pramugari Garuda Indonesia.

Kebaya Kutubaru

Bentuk dasar kebaya Kutubaru cukup mirip dengan jenis kebaya lainnya.[32] Yang membedakan kebaya jenis ini dengan yang lainnya adalah adanya tambahan kain yang disebut bef untuk menyambung sisi kiri dan kanan kebaya di bagian dada dan perut. Hal ini menyebabkan kerah memiliki bentuk persegi atau persegi panjang. Jenis kebaya ini dimaksudkan untuk menciptakan kembali tampilan kebaya luwes yang dikenakan di atas pakaian dalam yang disebut kemben (pembungkus tubuh) yang serasi. Kebaya Kutubaru diyakini berasal dari Jawa Tengah.[34] Biasanya untuk mengenakan kebaya jenis ini, stagen (kain yang dililitkan di perut), atau korset hitam berbahan karet dikenakan di bawah kebaya, sehingga pemakainya akan terlihat lebih langsing.[33]

Kebaya Jawa

 
Kebaya dan Batik digunakan dalam busana pernikahan tradisional Jawa

Jenis kebaya asal Jawa ini memiliki bentuk yang cenderung sederhana dengan kerah menyerupai huruf V. Potongan lurus dan sederhana ini memberikan kesan keanggunan yang sederhana. Biasanya kebaya Jawa terbuat dari kain halus semi transparan bermotif jahitan atau sulaman bunga, terkadang dihiasi payet. Kain lain mungkin digunakan, termasuk katun, brokat, sutra, dan beludru. Kebaya semi transparan dikenakan di atas pakaian dalam yang serasi, baik korset, atau kamisol.[33]

Kebaya kasepuhan (Sebelum kemerdekaan)

  • Kebaya Jawa, merupakan kebaya yang populer di Jawa yang dikenakan oleh Perempuan Jawa, Sunda, Madura, Bali, Banjar, Melayu. Tokoh Pahlawan Kartini menggunakan Kebaya ini, sehingga sering disebut dengan Kebaya Kartinian di pasaran pakaian. Selain itu Ibu Negara Fatmawati juga mengenakan jenis Kebaya ini.
  • Kebaya Kutubaru, Merupakan kebaya Jawa yang dimana memperlihatkan belahan dada bagian atas yang berfungsi sebagai sirkulasi udara, kebaya ini biasanya digunakan saat musim panas dan menjadi kebaya resmi yang dikenakan oleh isteri para pejabat Indonesia Orde Lama dan baru. Tokoh Ibu Negara Hartini dan Ibu Tien sering menggunakan kebaya Jenis kutubaru.
  • Kebaya Encim, Peranakan atau Nyonya, Merupakan kebaya perpaduan akulturasi budaya Jawa dengan Cina Pesisir utara Jawa, dimana para pedagang Cina memodifikasi Kebaya Jawa dengan menambahkan bordir motif flora pada kebaya pada dasar kain kebaya dengan warna-warni yang cerah dibandingkan kebaya kebaya jawa yang menggunakan warna gelap. Kebaya ini kemudian menyebar ke kawasan pecinan di Asia Tenggara Sepeeti Singapura, Malaysia, Brunei dan Thailand dengan sebutan Kebaya Nyonya.
  • Kebaya Keraton, Merupakan Kebaya yang digunakan oleh perempuan bangsawan kerajaan sejak era kerajaan pra Islam di Jawa hingga paska Islam. Kebaya Keraton terlihat lebih anggun karena bentuknya seperti gaun yang panjang dengan menggunakan jenis kebaya Jawa dan Kutubaru. Saat ini Kebaya Keraton digunakan pada pengantin Jawa.
  • Kebaya Lurik, Merupakan kebaya Jawa atau Kutubaru yang menggunakan Bahan kain Lurik jawa dengan motif bergaris-garis.
  • Kebaya Kembangan, Merupakan kebaya Jawa atau Kutubaru yang menggunakan Bahan kain tipis bermotif bunga-bunga.
  • Kebaya Cele, merupakan kebaya yanga ada di Maluku. Kebaya ini dibawa dari Gresik oleh Raja Maluku saat belajar agama Islam kepada Sunan Giri untuk diterapkan sebagai busana perempuan pada rakyatnya.

Kebaya Kamardikan (Setelah Kemerdekaan)

  • Kebaya Tutup, Merupakan Kebaya yang dimana tanpa kancing di depan, melainkan di punggung.
  • Kebaya Modern, Merupakan Kebaya dengan desain yang bermacam-macam bentuk dengan identik transparan yang dipenuhi payet indah, bisa digunakan dalam peragaan busana.
  • Kebaya Penadon, Merupakan kebaya dari Ponorogo yang diciptakan oleh Tim Parogo (Paguyuban Reyog Ponorogo) sebagai busana kebaya masyarakat Ponorogo yang berfungsi untuk pelengkap atau pasangan busana Pria Ponorogo (Penadon).
  • Kebaya Rancongan, Merupakan Kebaya dari Madura yang dibuat dengan banyak sirkulasi udara karena pada kainnya karena di Pulau Madura suhu yang panas, Kebaya ini biasa disebut dengan Kebaya Marlena.
  • Kebaya Jegeg, Merupakan Kebaya dari Bali yang dibuat dengan sangat ketat sehingga melekat pada badan pemakainya.
  • Kebaya Mix Luar Negeri, Merupakan kebaya hasil perpaduan Budaya Indonesia dengan pakaian luar negeri. Bentuk kebaya ini sangat variatif, berwarna-warni dan out the box seperti hasil campuran Hanbok Korea, Kimono Jepang, Cheongsam Cina.

Kebaya dan politik

Penggunaan kebaya juga memainkan peran politik yang cukup penting. Kebaya telah dinyatakan sebagai busana nasional Indonesia[35] meskipun ada kritik bahwa kebaya hanya digunakan secara luas di Jawa dan Bali. Kebaya sebenarnya juga ditemukan di Sumatra, Sulawesi dan NTT dengan corak daerah. Tokoh politik seperti Kartini memakai kebaya. Dan peringatan hari Kartini dilakukan dengan menggunakan kebaya. Para istri Presiden RI mulai dari Soekarno dan Soeharto menggunakan kebaya di berbagai kesempatan.

Penggunaan kebaya masa kini

Kebaya pada masa sekarang telah mengalami berbagai perubahan desain, mulai dari rancangan yang lebih modern hingga dipadukan dengan jilbab bagi wanita Muslim. Pada umumnya Kebaya sering digunakan pada pesta perayaan tertentu. Dari mulai pesta formal dengan rekan bisnis,pernikahan, perayaan acara tradisional, hingga perayaan kelulusan sekolah seperti wisuda. Kebaya digunakan sebagai seragam resmi pramugari Singapore Airlines, Malaysia Airlines dan Garuda Indonesia.[36] Sejumlah perancang yang turut menciptakan desain baru kebaya diantaranya adalah Anne Avantie dan Adjie Notonegoro

Catatan

  1. ^ Jawa: ꦏꦼꦧꦪ; Sunda: ᮊᮘᮚ; aksara Bali: ᬓᭂᬩᬬ; Jawi: کباي; Pegon: كبيا
  2. ^ Peranakan adalah sebutan untuk keturunan asing hibrida, termasuk Baba Nyonya, Chetti Melaka, Indo, Jawi Pekan, Kristang, Samsam dan Melayu Cocos

Referensi

  1. ^ Steele, Valerie (2005). Steele Valerie, ed. Encyclopedia of Clothing and Fashion (dalam bahasa Inggris). Charles Scribner's Sons. ISBN 978-0-684-31395-5. 
  2. ^ Welters, Linda; Lillethun, Abby (2018-02-08). Fashion History: A Global View (dalam bahasa Inggris). Bloomsbury Publishing. ISBN 978-1-4742-5365-9. 
  3. ^ a b Annette Lynch-Mitchell D. Strauss, ed. (2014-10-30). Ethnic Dress in the United States: A Cultural Encyclopedia (dalam bahasa Inggris). Rowman & Littlefield. ISBN 9780759121508. 
  4. ^ a b c Phromsuthirak, Maneepin; Chavalit, Maenmas (2000). Costumes in ASEAN Volume 1, Part 1 of ASEAN studies publication series (dalam bahasa Inggris). National ASEAN Committee on Culture and Information of Thailand. ISBN 9789747102833. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-03-23. Diakses tanggal 2022-04-11. 
  5. ^ a b c Setiawan, Ferry (2009). 50 Galeri Kebaya Eksotik Nan Cantik. Niaga Swadaya. ISBN 9789793927909. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-03-23. Diakses tanggal 2022-04-11. 
  6. ^ a b c World Eco-Fiber & Textile (W.E.F.T) Forum 2003, Kuching, Sarawak, Malaysia (dalam bahasa Inggris). Atelier. 2002-09-19. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-03-23. Diakses tanggal 2022-04-11. 
  7. ^ Forshee, Jill (2006). Culture and Customs of Indonesia (dalam bahasa Inggris). Greenwood Publishing Group. ISBN 9780313333392. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-03-23. Diakses tanggal 2022-04-11. 
  8. ^ a b c d Haziyah. "Evolusi dan Topologi Pakaian Wanita Melayu di Semenanjung Malaysia" (dalam bahasa Melayu). Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 February 2021. 
  9. ^ "Kebaya – Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring". Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa — Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-11-25. Diakses tanggal 2022-11-25. 
  10. ^ a b "Kebaya: Identitas Nasional Indonesia". Research Center for Society and Culture, Indonesian Institute of Science (LIPI). 3 November 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-02-12. 
  11. ^ a b Muzium Brunei (1995). "Costume and Textiles of Brunei: History and Evolution" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-03-23. Diakses tanggal 2022-04-12. 
  12. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Koh
  13. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Harsianti
  14. ^ "Women promote 'kebaya' wearing at MRT station". The Jakarta Post (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-10. Diakses tanggal 2019-10-10. 
  15. ^ Khor, Samantha (23 March 2020). "The Origin of the Kebaya and How It Became an ASEAN Icon". www.ourdaily.co. Ourdaily. Diakses tanggal 17 December 2020. 
  16. ^ a b c d e f Triyanto (29 December 2010). "Kebaya Sebagai Trend Busana Wanita Indonesia dari Masa ke Masa" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2023-03-21. Diakses tanggal 2020-07-08. 
  17. ^ Denys Lombard (1990). Le carrefour javanais: essai d'histoire globale. Civilisations et sociétés (dalam bahasa French). École des hautes études en sciences sociales. ISBN 2-7132-0949-8. 
  18. ^ Times, I. D. N.; Khalika, Nindias. "Sejarah Kebaya, Pakaian Perempuan Sejak Abad ke-16". IDN Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-09. Diakses tanggal 2019-10-10. 
  19. ^ a b c d Lee, Peter (2014). Sarong Kebaya: Peranakan Fashion in an Interconnected World, 1500-1950 (dalam bahasa Inggris). University of Hawaii Press. ISBN 9789810901462. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-03-23. Diakses tanggal 2022-04-12. 
  20. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Datin
  21. ^ a b c Karunaratne. "Meanings of Fashion: Context Dependence" (dalam bahasa Inggris). 
  22. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama artsandculture
  23. ^ "Hobson-Jobson". dsal.uchicago.edu (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-07. Diakses tanggal 2021-03-15. 
  24. ^ a b c Thienny (March 2016). "Dress and Visual Identities of the Nyonyas in the British Straits Settlement" (dalam bahasa Inggris). 
  25. ^ a b Maenmas Chavalit, Maneepin Phromsuthirak: Costumes in ASEAN: ASEAN Committee on Culture and Information: 2000: ISBN 974-7102-83-8, 293 pages
  26. ^ S. A. Niessen, Ann Marie Leshkowich, Carla Jones: Re-orienting Fashion: the globalization of Asian dress Berg Publishers: 2003: ISBN 978-1-85973-539-8, pp. 206-207
  27. ^ Cattoni Reading The Kebaya; paper was presented to the 15th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia in Canberra 29 June-2 July 2004.
  28. ^ Michael Hitchcock Indonesian Textiles: HarperCollins, 1991
  29. ^ "Salinan arsip". detikcom. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-01-08. Diakses tanggal 2014-01-08. 
  30. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-01-08. Diakses tanggal 2014-01-08. 
  31. ^ "Sejarah Kebaya di Masa Kolonial: Busana Perempuan Tiga Etnis". tirto.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-10. Diakses tanggal 2019-10-10. 
  32. ^ a b Widiyarti, Yayuk (2019-07-17). "Aneka Jenis Kebaya Indonesia, Mana yang Paling Anda Suka?". Tempo. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-11-25. Diakses tanggal 2019-10-10. 
  33. ^ a b c "Mengenal Jenis-Jenis Kebaya di Indonesia". Go Socio. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-09. Diakses tanggal 2022-11-25. 
  34. ^ Adriani Zulivan (4 March 2017). "Benarkah Kebaya adalah Pakaian Asli Indonesia?". Good News From Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-06-27. Diakses tanggal 2022-11-25. 
  35. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-03-10. Diakses tanggal 2014-01-08. 
  36. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 2014-01-08. 

Pranala luar