Deklarasi Balfour

artikel daftar Wikimedia

Deklarasi Balfour adalah pernyataan terbuka yang dikeluarkan Pemerintah Inggris pada tahun 1917 semasa Perang Dunia I untuk mengumumkan dukungan bagi pembentukan sebuah "kediaman nasional bagi bangsa Yahudi" di Palestina. Saat itu Palestina adalah salah satu daerah di dalam wilayah negara Kesultanan Utsmaniyah dan warga Yahudi di Palestina masih menjadi kaum minoritas kala itu. Deklarasi Balfour tercantum di dalam sepucuk surat tertanggal 2 November 1917 dari Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour, kepada Lord Rothschild, pemimpin komunitas Yahudi Inggris, untuk diberitahukan kepada Federasi Sionis Britania Raya dan Irlandia. Deklarasi Balfour disiarkan lewat media massa pada tanggal 9 November 1917.

Deklarasi Balfour
Lembaran asli surat Arthur Balfour kepada Walter Rothschild yang berisi Deklarasi Balfour. Isi deklarasi tersebut berbunyi:

Pemerintahan Sri Baginda memandang baik pembentukan di Palestina sebuah kediaman nasional bagi bangsa Yahudi, dan akan berusaha sekuat tenaga untuk memfasilitasi pencapaian tujuan ini, dengan keinsafan bahwa tidak akan ada tindakan apa pun yang dapat mencederai hak-hak sipil dan beragama dari komunitas-komunitas non-Yahudi yang sudah ada di Palestina, maupun hak-hak dan status politik yang dinikmati orang-orang Yahudi di negara lain mana pun.

Dibuat02 November 1917 (1917-11-02)
LokasiBritish Library
PenulisWalter Rothschild, Arthur Balfour, Leo Amery, Lord Milner
PenandatanganArthur James Balfour
TujuanMenegaskan dukungan Pemerintah Inggris bagi pembentukan sebuah "kediaman nasional" di Palestina bagi bangsa Yahudi, dengan dua syarat

Segera sesudah memaklumkan perang terhadap Kesultanan Utsmaniyah pada bulan November 1914, Kabinet Perang Inggris mulai menimbang-nimbang masa depan Palestina. Dalam tempo dua bulan, Herbert Samuel, anasir Zionis di jajaran kabinet Inggris, menerbitkan memorandum yang diedarkan di kabinet, berisi usulan untuk mendukung cita-cita perjuangan Sionis demi mendapatkan dukungan orang Yahudi bagi kepentingan Inggris di dalam Perang Dunia I. Pada bulan April 1915, Perdana Menteri Inggris, Herbert Henry Asquith, membentuk sebuah panitia khusus untuk merumuskan kebijakan pemerintah Inggris terkait Kesultanan Utsmaniyah, termasuk Palestina. Asquith, yang menghendaki agar negara Kesultanan Utsmaniyah direformasi seusai perang, meletakkan jabatan pada bulan Desember 1916. Penggantinya, David Lloyd George, justru menghendaki agar negara Kesultanan Utsmaniyah dipecah-belah. Negosiasi-negosiasi permulaan antara pemerintah Inggris dan kaum Zionis berlangsung di dalam sebuah konferensi pada tanggal 7 Februari 1917, yang dihadiri Sir Mark Sykes dan tokoh-tokoh pimpinan Sionis. Menindaklanjuti diskusi-diskusi susulan seusai konferensi, pada tanggal 19 Juni, Arthur Balfour meminta Walter Rothschild dan Chaim Weizmann untuk mengajukan semacam rancangan deklarasi dukungan. Rancangan tersebut Rancangan-rancangan deklarasi yang diajukan selanjutnya dibahas dalam rapat kabinet dengan mempertimbangkan masukan-masukan dari golongan Yahudi Sionis maupun golongan Yahudi anti-Sionis, tetapi tidak melibatkan wakil-wakil masyarakat Palestina.

Pada akhir tahun 1917, menjelang pencanangan Deklarasi Balfour, Perang Dunia I telah sampai ke tahap buntu. Amerika Serikat dan Rusia, dua negara sekutu Inggris, tidak sepenuhnya melibatkan diri. Amerika Serikat belum menderita kerugian akibat perang, sementara Rusia sedang diguncang kudeta kaum Bolsyewik. Pertempuran Bersyeba pada tanggal 31 Oktober 1917 memecahkan situasi buntu di kawasan selatan Palestina. Pada tanggal yang sama, rapat kabinet Inggris memutuskan untuk merilis rumusan akhir deklarasi dukungan. Rapat-rapat kabinet yang digelar sebelumnya telah mengkaji manfaat-manfaat propaganda yang bakal diperoleh dari komunitas Yahudi sedunia bagi kepentingan Blok Sekutu.

Kalimat pembuka Deklarasi Balfour adalah ungkapan dukungan terbuka yang pertama dari sebuah kekuatan politik utama dunia terhadap gerakan Sionisme. Istilah "kediaman nasional" (bahasa Inggris: national home) belum pernah muncul di ranah hukum internasional, dan sengaja diciptakan agar bermakna kabur, sehingga tidak dapat dipastikan bahwa yang dimaksud dengan istilah ini adalah sebuah negara Yahudi. Batas-batas wilayah yang disebut "Palestina" tidak ditentukan. Pemerintah Inggris kemudian hari menandaskan bahwa frasa "di Palestina" berarti kediaman nasional bangsa Yahudi tidak bakal mencakup seantero wilayah Palestina. Bagian kedua dari isi Deklarasi Balfour sengaja ditambahkan untuk menenangkan para penentang, yakni pihak-pihak yang khawatir kebijakan ini akan berdampak buruk terhadap posisi populasi lokal Palestina, dan akan mengobarkan sentimen antisemit di seluruh dunia karena "mengecap orang Yahudi sebagai pendatang asing di negara tempat mereka dilahirkan". Deklarasi Balfour mengamanatkan perlindungan hak-hak sipil dan beragama bangsa Arab Palestina, yang merupakan golongan mayoritas di Palestina, maupun hak-hak dan status politik komunitas-komunitas Yahudi di luar Palestina. Pada tahun 1939, pemerintah Inggris mengakui bahwa pandangan-pandangan masyarakat Palestina semestinya turut pula dipertimbangkan. Pada tahun 2017, pemerintah Inggris mengakui bahwa Deklarasi Balfour semestinya juga mengamanatkan perlindungan hak-hak politik bangsa Arab Palestina.

Deklarasi Balfour memunculkan berbagai konsekuensi jangka panjang. Deklarasi ini membuat dukungan terhadap gerakan Sionisme di kalangan komunitas Yahudi sedunia meningkat pesat. Deklarasi ini juga menjadi unsur pokok di dalam penyusunan Memorandum Penyerahan Mandat atas Palestina kepada Inggris, yakni dokumen yang mendasari pembentukan Wilayah Mandat Palestina, cikal bakal dari teritori Israel dan Palestina sekarang ini. Oleh karena itu Deklarasi Balfour dianggap sebagai sebab utama berlarutnya konflik Israel–Palestina, yang kerap disifatkan sebagai konflik teralot di muka bumi. Beberapa hal yang berkaitan dengan Deklarasi Balfour masih menjadi pokok perdebatan, misalnya soal bertentangan tidaknya deklarasi ini dengan janji-janji awal pemerintah Inggris kepada Syarif Mekah yang disampaikan melalui surat-menyurat antara Henry McMahon dan Husain bin Ali Alhasyimi.

Latar belakang

Dukungan awal pemerintah Inggris

 
"Memorandum kepada para kepala monarki Protestan di Eropa tentang pemulangan bangsa Yahudi ke Palestina" dari Lord Shaftesbury, sebagaimana yang termuat di dalam surat kabar Colonial Times pada tahun 1841

Dukungan politik yang mula-mula diberikan pemerintah Inggris terhadap pertambahan jumlah pemukim Yahudi di Palestina didasarkan atas beberapa kalkulasi geopolitik.[1][i] Dukungan awal ini dipelopori Lord Palmerston, dan pertama kali disuarakan pada tahun-tahun permulaan era 1840-an,[3] sesudah pemerintahan Suriah dan Palestina diserobot Muhammad Ali Pasya, Gubernur Mesir yang ingin lepas dari Kesultanan Utsmaniyah.[4][5] Prancis kian meluaskan pengaruhnya di Palestina maupun negeri-negeri lain di Timur Tengah, dan perannya selaku pelindung komunitas-komunitas Kristen Katolik mulai menguat, sementara Rusia sudah disegani sebagai pelindung komunitas-komunitas Kristen Ortodoks Timur di kawasan yang sama. Situasi seperti ini membuat Inggris tidak punya ruang lingkup pengaruh di Timur Tengah,[4] dan oleh karena itu perlu menemukan atau menciptakan suatu kaum yang dapat mereka "ayomi" di kawasan itu.[6] Pertimbangan-pertimbangan politik tersebut didukung oleh sentimen Kristen Injili yang bersimpati terhadap "kepulangan orang Yahudi" ke Palestina, yakni sentimen yang diusung anasir-anasir kalangan elit politik Inggris pada pertengahan abad ke-19, teristimewa Lord Shaftesbury.[ii] Kementerian Luar Negeri Inggris secara aktif mendorong orang Yahudi untuk beremigrasi ke Palestina, misalnya melalui imbauan-imbauan Charles Henry Churchill, yang disampaikan lewat surat dalam rentang waktu 1841-1842, kepada Moses Montefiore, pemimpin komunitas Yahudi Inggris.[8][a]

Ikhtiar-ikhtiar semacam ini bersifat pradini,[8] dan tidak membuahkan hasil.[iii] Hanya 24.000 orang Yahudi yang bermukim di Palestina menjelang kemunculan Zionisme di kalangan komunitas Yahudi sedunia pada dua dasawarsa terakhir abad ke-19.[10] Perubahan mendadak geopolitik akibat meletusnya Perang Dunia I membuat kalkulasi-kalkulasi awal, yang sempat dibiarkan terbengkalai, menjadi titik tolak pembaharuan taksiran-taksiran stategis maupun tawar-menawar politik atas kawasan Timur Tengah dan Timur Jauh.[5]

Zionisme purwa

Gerakan Zionisme muncul menjelang akhir abad ke-19 sebagai reaksi terhadap gerakan-gerakan antisemit dan nasionalis eksklusioner di Eropa.[11][iv][v] Nasionalisme romantis di Eropa Tengah dan Eropa Timur turut membantu kelahiran Haskalah, sebuah gerakan "Pencerahan Yahudi", yang menimbulkan perpecahan di dalam komunitas Yahudi. Perpecahan ini mengakibatkan sebagian golongan menganggap Yahudi sebagai agama mereka, sementara sebagian lainnya menganggap Yahudi sebagai suku-bangsa atau bangsa mereka.[11][12] Pogrom-pogrom anti-Yahudi yang terjadi pada rentang waktu 1881–1884 di Kekaisaran Rusia mendorong penguatan identitas golongan yang kedua. Dari golongan ini muncul organisasi-organisasi perintis yang disebut Hobebei Tsion (Pencinta Sion), risalah Swa-Emansipasi yang ditulis oleh Leon Pinsker, dan gelombang pertama imigrasi besar-besaran orang Yahudi ke Palestina yang secara retrospektif diberi nama "Aliyah Pertama".[14][15][12]

 
"Program Basel" disetujui dalam Kongres Zionis yang pertama pada tahun 1897. Kalimat pertamanya berbunyi, "Zionisme berusaha menciptakan tempat tinggal (Heimstätte) bagi bangsa Yahudi di Palestina di bawah naungan hukum publik."

Pada 1896, seorang wartawan Yahudi berkewarganegaraan Austria-Hongaria bernama Theodor Herzl menerbitkan risalah berjudul Der Judenstaat ("Negara Yahudi" atau "Negara Orang Yahudi") yang menjadi kemudian landasan Zionisme politik. Dalam risalah ini, ia mengemukakan bahwa satu-satunya solusi bagi "masalah Yahudi" di Eropa, termasuk antisemitisme yang kian marak, adalah menciptakan sebuah negara bagi orang Yahudi.[16][17] Setahun kemudian, Theodor Herzl mendirikan Organisasi Zionis. Pada penyelenggaraan kongres pertamanya, Organisasi Zionis mengamanatkan pembentukan "kediaman bagi bangsa Yahudi di Palestina di bawah naungan hukum publik". Usulan langkah-langkah pelaksanaan amanat ini mencakup tindakan mempromosikan pemukiman orang Yahudi di Palestina, mengorganisasikan orang Yahudi di diaspora, mempertebal perasaan dan keinsyafan sebagai orang Yahudi, serta berancang-ancang untuk mendapatkan izin-izin yang diperlukan dari pemerintah.[17] Theodor Herzl wafat pada tahun 1904, 44 tahun sebelum lahirnya Negara Israel, negara Yahudi yang ia gagas. Sampai akhir hayatnya, ia tak kunjung mendapatkan kekuasaan politik yang diperlukan untuk menjalankan rencana-rencananya.[10]

Chaim Weizmann, pemimpin kaum Zionis yang kelak menjadi Presiden Organisasi Zionis Sedunia dan Presiden Israel yang pertama, hijrah dari Swiss ke Inggris pada tahun 1904. Ia berjumpa dengan Arthur Balfour dalam suatu pertemuan yang diatur oleh Charles Dreyfus, wakil konstituen Yahudi dalam tim kampanye Arthur Balfour. Pertemuan ini berlangsung sesudah Arthur Balfour meletakkan jabatan perdana menteri dan baru saja mulai berkampanye dalam rangka menghadapi Pemilihan Umum Inggris tahun 1906.[18][vi] Sebelum itu pada tahun yang sama, Arthur Balfour berhasil memperjuangkan rancangan Undang-Undang Warga Asing dalam sidang parlemen dengan pidato-pidatonya yang berapi-api tentang perlunya membendung gelombang imigrasi pengungsi Yahudi dari Kekaisaran Rusia ke Inggris.[20][21] Dalam pertemuan ini, ia menanyakan alasan keberatan Chaim Weizmann terhadap Rancangan Uganda tahun 1903 yang justru didukung oleh Theodor Herzl, yakni rencana penyerahan sebagian dari wilayah protektorat Inggris di Afrika Timur untuk dijadikan wilayah otonom orang Yahudi. Rancangan Uganda ditawarkan kepada Theodor Herzl oleh Joseph Chamberlain, Menteri Urusan Tanah Jajahan dalam kabinet Arthur Balfour, selepas berkunjung ke Afrika Timur pada tahun 1903.[vii] Menyusul kematian Theodor Herzl, rancangan ini ditolak lewat pemungutan suara dalam Kongres Zionis yang ketujuh pada tahun 1905,[viii] sesudah dua tahun menjadi pokok perdebatan sengit di dalam Organisasi Zionis.[24] Chaim Weizmann menjawab pertanyaan Arthur Balfour dengan mengemukakan keyakinannya bahwa kecintaan orang Yahudi terhadap Yerusalem sebanding dengan kecintaan orang Inggris terhadap kota London.[b]

Pada bulan Januari 1914, Chaim Weizmann berjumpa dengan Baron Edmond de Rothschild, anggota keluarga besar Rothschild cabang Prancis dan salah seorang penganjur utama gerakan Zionisme,[26] untuk membicarakan proyek pembangunan Universitas Ibrani di Yerusalem.[26] Kendati bukan bagian dari Organisasi Zionis Sedunia, Baron Edmond de Rothschild telah berjasa mendanai pembentukan koloni-koloni tani Yahudi Aliyah Pertama dan mengalihkannya kepada Asosiasi Kolonisasi Yahudi pada tahun 1899.[27] Tidak percuma Chaim Weizmann berkenalan dengan Baron Edmond de Rothschild karena beberapa bulan kemudian, putra sang baron, James de Rothschild, minta dipertemukan dengan Chaim Weizmann pada tanggal 25 November 1914. James de Rothschild berharap Chaim Weizmann bersedia membantunya memengaruhi orang-orang di lingkungan pemerintahan Inggris yang ia anggap dapat menerima rencana pendirian "Negara Yahudi" di Palestina.[c][29] Melalui istri James de Rothschild, Dorothy de Rothschild, Chaim Weizmann berkenalan dengan Rózsika Rothschild, yang kemudian mengenalkannya kepada keluarga besar Rothschild cabang Inggris, teristimewa suaminya, Charles Rothschild, dan abang iparnya, Walter Rothschild, seorang ahli zoologi dan mantan anggota parlemen Inggris.[30] Nathan Rothschild, Baron Rothschild yang pertama, kepala keluarga besar Rothschild cabang Inggris, menjaga jarak aman dengan Zionisme, tetapi ia wafat pada bulan Maret 1915, dan gelar kebangsawanannya diwarisi oleh Walter Rothschild.[30][31]

Sebelum pencanangan Deklarasi Balfour, sekitar 8.000 dari 300.000 warga Yahudi Inggris adalah anggota organisasi kaum Zionis.[32][33] Di peringkat global, per 1913 (tahun data termutakhir prapencanangan Deklarasi Balfour), kira-kira 1% dari jumlah orang Yahudi sedunia adalah anggota organisasi kaum Zionis.[34]

Palestina di bawah pemerintah Turki Utsmaniyah

 

Daerah sejajar Sungai Yordan yang disebut "Tanah Palestina" (Arab: ارض فلسطين, Arḍ Filasṭīn) di dalam peta keluaran tahun 1732, karya Kâtip Çelebi (1609–1657), ahli geografi Turki Utsmaniyah.[35]

Terhitung sampai tahun 1916, sudah empat abad lamanya Palestina menjadi bagian dari Kesultanan Utsmaniyah atau Kesultanan Utsmaniyah.[36] Nyaris sepanjang kurun waktu empat abad ini, orang Yahudi menjadi kaum minoritas di Palestina, yakni sekitar 3% saja dari keseluruhan populasi. Umat Islam merupakan bagian terbesar dari populasi Palestina, disusul oleh umat Kristen.[37][38][39][ix]

Pemerintah Turki Utsmaniyah di Istambul mulai memberlakukan pembatasan-pembatasan terhadap imigrasi orang Yahudi ke Palestina menjelang akhir tahun 1882 setelah menyaksikan Aliyah Pertama yang berawal pada permulaan tahun itu.[41] Meskipun imigrasi orang Yahudi sedikit banyak menimbulkan ketegangan dengan populasi lokal Palestina, terutama dengan golongan saudagar dan pemuka masyarakat, pada tahun 1901, Gerbang Agung (pemerintah pusat Turki Utsmaniyah) memberi orang Yahudi hak yang sama dengan orang Arab untuk membeli tanah di Palestina, dan persentase orang Yahudi dari jumlah populasi Palestina pun meningkat menjadi 7% pada tahun 1914.[42] Pada waktu yang sama, seiring kian meningkatnya rasa tidak percaya terhadap Aliyah Kedua dan Kaum Muda Turki, yakni kaum nasionalis Turki yang telah berhasil menguasai pemerintahan Turki Utsmaniyah pada tahun 1908, gerakan nasionalisme Arab serta nasionalisme Palestina pun semakin bertumbuh, dan semangat anti-Zionisme menjadi unsur pemersatu di Palestina.[42][43] Para sejarawan tidak tahu apakah kekuatan-kekuatan penggerak ini pada akhirnya akan tetap menimbulkan konflik andaikata Deklarasi Balfour tidak pernah ada.[x]

Perang Dunia I

1914–1916: Diskusi-diskusi pendahuluan antara pemerintah Inggris dan kaum Zionis

Pada bulan Juli 1914, meletus perang di Eropa antara kubu Entente Tiga (Inggris, Prancis, Rusia) dan kubu Kekaisaran Sentral (Jerman, Austria-Hongaria, Turki Utsmaniyah).[45]

Kabinet pemerintahan Inggris pertama kali membahas Palestina dalam rapat tanggal 9 November 1914, empat hari sesudah Inggris memaklumkan perang terhadap Kesultanan Utsmaniyah. Wilayah Kesultanan Utsmaniyah ketika itu mencakup pula Mutasarifat Yerusalem, yakni daerah yang kerap disebut Palestina.[46] Dalam rapat tersebut, Menteri Keuangan Inggris David Lloyd George "mengungkit perihal akhir takdir Palestina".[47] David Lloyd George adalah pemilik firma hukum Lloyd George, Roberts and Co, yang sudah sejak satu dasawarsa sebelumnya menjalin hubungan kerja sama dengan Federasi Zionis Britania Raya dan Irlandia dalam penyusunan Rancangan Uganda.[48] David Lloyd George menjadi Perdana Menteri Inggris pada waktu pencanangan Deklarasi Balfour, dan menjadi pejabat yang bertanggung jawab atas terbitnya deklarasi tersebut.[49]

 
Masa Depan Palestina, memorandum kabinet dari Herbert Samuel, sebagaimana tercantum dalam risalah rapat kabinet pemerintahan Inggris (CAB 37/123/43), per 21 Januari 1915

Usaha-usaha politik Chaim Weizmann mengalami kemajuan pesat.[d] Pada tanggal 10 Desember 1914, ia berjumpa dengan Herbert Samuel, anggota kabinet pemerintahan Inggris dan seorang Yahudi sekuler yang sudah mempelajari Zionisme.[51] Herbert Samuel merasa tuntutan-tuntutan Chaim Weizmann terlampau bersahaja.[e] Selang dua hari kemudian, Chaim Weizmann sekali lagi bertatap muka dengan Arthur Balfour setelah terakhir kali bertemu pada tahun 1905. Arthur Balfour sudah berada di luar lingkungan pemerintahan semenjak kekalahannya dalam pemilihan umum tahun 1906, tetapi masih menjadi anggota senior Partai Konservatif yang kala itu menjadi Kubu Oposisi Resmi.[f]

Sebulan kemudian, Herbert Samuel mengedarkan sebuah memorandum bertajuk Masa Depan Palestina kepada kolega-koleganya di kabinet. Memorandum ini berisi pernyataan yang berbunyi: "Saya yakin bahwa solusi bagi masalah Palestina yang sangat dapat diterima oleh para pemimpin dan pendukung gerakan Zionisme di seluruh dunia adalah aneksasi Palestina oleh Kekaisaran Inggris".[54] Herbert Samuel membahas isi selembar salinan dari memorandumnya ini dengan Nathan Rothschild pada bulan Februari 1915, sebulan sebelum Nathan Rothschild wafat.[31] Memorandum ini merupakan dokumen resmi pertama yang memuat pengajuan permintaan dukungan bagi orang Yahudi sebagai salah satu prasyarat perang.[55]

Sejumlah diskusi lebih lanjut menyusul kemudian, termasuk pertemuan-pertemuan pendahuluan dalam kurun waktu 1915–1916 antara Lloyd George, yang diangkat menjadi menteri urusan kelengkapan perang pada bulan Mei 1915,[56] dan Chaim Weizmann, yang diangkat menjadi penasihat ilmiah untuk kementerian tersebut pada bulan September 1915.[57][56] Tujuh belas tahun kemudian, dalam Kenang-Kenangan Perang yang ditulisnya, Lloyd George menyebut pertemuan-pertemuan tersebut sebagai "sumber dan cikal bakal" Deklarasi Balfour. Pernyataan Lloyd George ini telah dibantah para sejarawan.[g]

1915–1916: Komitmen-komitmen awal Inggris terkait Palestina

Penggalan dokumen kabinet pemerintahan Inggris nomor CAB 24/68/86 (bulan November 1918) dan Buku Putih Churchill (bulan Juni 1922)
Peta dari dokumen Kementerian Luar Negeri Inggris nomor FO 371/4368 (bulan November 1918) menampilkan Palestina di dalam wilayah "Arab"[64]
Dokumen kabinet menyatakan bahwa Palestina tercakup dalam wilayah yang dijanjikan Henry McMahon kepada bangsa Arab, sementara Buku Putih Churchill menyatakan bahwa Palestina "senantiasa dianggap" tidak tercakup di dalamnya.[62][xi]
 

Palestina dalam peta Persetujuan Sykes–Picot di bawah "administrasi internasional", dengan Teluk Haifa, Akko, dan kota Haifa sebagai daerah kantong Inggris, dan tidak mencakup kawasan yang terbentang mulai dari sebelah selatan kota Hebron[h]

Menjelang akhir tahun 1915, Komisaris Tinggi Inggris untuk Mesir, Henry McMahon, bersurat-suratan sebanyak sepuluh kali dengan Syarif Mekah, Husain bin Ali Alhasyimi. Melalui surat-suratnya Henry McMahon berjanji kepada Husain bin Ali Alhasyimi untuk mengakui kemerdekaan bangsa Arab "di dalam wilayah dengan tapal-tapal batas yang diusulkan Syarif Mekah" sebagai imbalan atas kesediaan Husain bin Ali Alhasyimi untuk mengobarkan pemberontakan melawan Kesultanan Utsmaniyah. Kawasan yang dikecualikan dari wilayah yang dijanjikan tersebut adalah "sebagian wilayah Suriah" yang terletak di sebelah barat "Distrik Damsyik, Distrik Hums, Distrik Hamah, dan Distrik Halab".[67][i] Selama beberapa dasawarsa pasca-Perang Dunia I, ruang lingkup kawasan pesisir yang dikecualikan ini menjadi pokok perdebatan sengit[69] karena Palestina terletak di sebelah barat daya Damsyik dan tidak disebutkan secara gamblang.[67]

Bangsa Arab bangkit memberontak melawan Kesultanan Utsmaniyah pada tanggal 5 Juni 1916,[70] dengan berpegang pada mufakat quid pro quo yang dicapai lewat hubungan surat-menyurat antara Henry McMahon dan Husain bin Ali Alhasyimi.[71] Meskipun demikian, kurang dari tiga pekan sebelum pemberontakan meletus, pemerintah Inggris, pemerintah Prancis, dan pemerintah Rusia diam-diam telah menyepakati Persetujuan Sykes–Picot, yang kemudian hari disebut Arthur Balfour sebagai "metode yang sepenuhnya baru" untuk memecah-belah kawasan Timur Tengah, manakala kesepakatan tahun 1915 "tampaknya sudah lekang dari ingatan orang".[j]

Kesepakatan antara Inggris dan Prancis ini dirundingkan pada akhir tahun 1915 dan awal tahun 1916 antara Sir Mark Sykes dan François Georges-Picot. Pokok-pokok kesepakatan utama masih berbentuk draf dalam memorandum bersama yang diterbitkan pada tanggal 5 Januari 1916.[73][74] Mark Sykes adalah anggota Parlemen Inggris dari Partai Konservatif yang berhasil menduduki posisi yang cukup berpengaruh terhadap kebijakan Inggris terkait Timur Tengah, mulai sejak diangkat menjadi anggota Panitia De Bunsen dan menggagas pembentukan Biro Arab pada tahun 1915.[75] François Georges-Picot adalah diplomat Prancis yang pernah menjadi konsul jenderal di Beirut.[75] Isi kesepakatan mereka adalah penetapan batas-batas ruang lingkup pengaruh dan kekuasaan di Asia Barat yang diusulkan untuk dibentuk andaikata Entente Tiga berhasil mengalahkan Kesultanan Utsmaniyah dalam Perang Dunia I.[76][77] Sejumlah besar kawasan yang didiami bangsa Arab dibagi-bagi menjadi bakal wilayah administratif Inggris dan bakal wilayah administratif Perancis. Palestina diusulkan untuk dijadikan wilayah internasional,[76][77] dengan bentuk administrasi pemerintahan yang akan ditetapkan sesudah berkonsultasi dengan Rusia dan Husain bin Ali Alhasyimi.[76] Draf bulan Januari ini mengetengahkan kepentingan-kepentingan umat Kristen maupun umat Islam, dan menyebutkan pula bahwa "anggota-anggota komunitas Yahudi di seluruh dunia memiliki keprihatinan yang sungguh-sungguh dan sentimental terhadap masa depan negeri itu."[74][78][k]

Sebelum memorandum bersama ini diterbitkan, belum ada negosiasi aktif dengan kaum Zionis, tetapi Mark Sykes sudah menginsafi keberadaan Zionisme, dan berhubungan baik dengan Moses Gaster – mantan Presiden Federasi Zionis Inggris[80] – dan boleh jadi sudah pernah membaca memorandum kabinet tahun 1915 yang disusun oleh Herbert Samuel.[78][81] Pada tanggal 3 Maret, ketika Mark Sykes dan François Georges-Picot masih berada di Petrograd, Lucien Wolf, sekretaris Panitia Gabungan untuk Luar Negeri (panitia bentukan organisasi-organisasi Yahudi untuk memperjuangkan kepentingan orang Yahudi di luar negeri), mengajukan draf pernyataan jaminan kepada Kementerian Luar Negeri Inggris. Pernyataan jaminan ini disiapkan agar sewaktu-waktu dapat diterbitkan Blok Sekutu untuk mendukung aspirasi-aspirasi orang Yahudi. Isi draf tersebut adalah sebagai berikut:

Bilamana Palestina sudah tercakup di dalam ruang lingkup pengaruh Inggris atau Prancis seusai perang, maka pemerintah Inggris atau Prancis sekali-kali tidak boleh menyepelekan nilai sejarah negeri itu bagi komunitas Yahudi. Masyarakat Yahudi harus dapat hidup aman sentosa, menikmati kebebasan sipil dan beragama, hak-hak politik yang setara dengan masyarakat lain, kemudahan-kemudahan yang berpatutan dalam urusan imigrasi dan kolonisasi, serta keistimewaan-keistimewaan warga kotapraja di kota-kota dan koloni-koloni tempat tinggal mereka jika dipandang perlu.

Pada tanggal 11 Maret, telegram-telegram [l] dikirimkan atas nama Sir Edward Grey kepada duta-duta besar Inggris di Rusia dan Prancis. Telegram-telegram ini berisi pemberitahuan yang harus disampaikan kepada pihak-pihak yang berwenang di Rusia dan Prancis. Pernyataan jaminan termasuk dalam isi pemberitahuan, demikian pula pernyataan berikut ini:

Rancangan ini dapat saja dibuat lebih menarik di mata mayoritas orang Yahudi andaikata mereka dijanjikan bahwa apabila seiring berlalunya waktu masyarakat koloni Yahudi di Palestina sudah cukup kuat untuk menghadapi masyarakat Arab maka mereka dapat dibenarkan untuk mengambil alih penanganan urusan-urusan dalam negeri Palestina (kecuali atas Yerusalem dan tempat-tempat suci).

Sesudah membaca telegram ini, Mark Sykes pun berdiskusi dengan François Georges-Picot. Ia mengusulkan (dengan merujuk kepada memorandum Herbert Samuel[m]) pembentukan sebuah negara kesultanan bangsa Arab di bawah perlindungan Prancis dan Inggris, beberapa cara mengatur kewenangan atas tempat-tempat suci, dan pendirian sebuah badan usaha untuk membeli tanah bagi masyarakat koloni Yahudi, yang nantinya akan menjadi warga negara kesultanan tersebut dengan hak-hak yang setara dengan orang Arab.[n]

Tak lama sesudah pulang dari Petrograd, Mark Sykes memberi arahan kepada Herbert Samuel, yang kemudian memberi arahan kepada Moses Gaster, Chaim Weizmann, dan Nahum Sokolow dalam sebuah pertemuan. Catatan tertanggal 16 April dalam buku harian Moses Gaster berisi uraian sebagai berikut: "Kami ditawari wilayah kondominium Prancis-Inggris di Palest[ina]. Penguasanya berbangsa Arab demi menjaga perasaan orang Arab, tetapi di dalam undang-undang dasarnya termaktub sebuah piagam untuk kaum Zionis yang mendapuk Inggris sebagai penjamin dan pihak akan mendukung kami setiap kali timbul pergesekan... Tawaran ini pada praktiknya merupakan realisasi paripurna dari program Zionis kami. Meskipun demikian, kami bersiteguh meminta piagam yang bersifat nasional, kebebasan berimigrasi, serta otonomi dalam negeri, dan pada saat yang sama juga hak-hak kewarganegaraan penuh bagi [tidak terbaca] dan orang-orang Yahudi di Palestina."[83] Mark Sykes sendiri menganggap butir-butir Persetujuan Sykes-Picot sudah basi, bahkan sebelum ditandatangani. Dalam sepucuk surat pribadi yang ia tulis pada bulan Maret 1916, Mark Sykes mengungkapkan hasil penalarannya bahwa "kaum Zionislah yang kini menjadi kunci situasi".[xii][85] Baik Prancis maupun Rusia ternyata tidak menyukai isi draf pernyataan jaminan, dan Lucien Wolf akhirnya diberitahu pada tanggal 4 Juli bahwa "sekarang bukanlah saat yang tepat untuk mengeluarkan pernyataan apapun." [86]

Ikhtiar-ikhtiar semasa Perang Dunia I ini, termasuk Deklarasi Balfour, kerap ditelaah bersamaan oleh para sejarawan karena adanya potensi ketidakselarasan, baik yang nyata maupun yang terbayang, antara satu ikhtiar dengan ikhtiar lain, khususnya dalam hal rencana pengaturan Palestina.[87] Meminjam kata-kata Profesor Albert Hourani, pendiri Pusat Kajian Timur Tengah di St Antony's College, Oxford, "perdebatan seputar tafsir kesepakatan-kesepakatan ini adalah perdebatan yang tidak bakal berkesudahan, karena kesepakatan-kesepakatan ini memang sengaja disusun sedemikian rupa sehingga dapat memunculkan lebih dari satu macam tafsir."[88]

1916–1917: Perubahan di lingkungan pemerintahan Inggris

Dari sudut pandang politik Inggris, Deklarasi Balfour lahir lantaran Perdana Menteri Herbert Henry Asquith beserta kabinetnya digantikan oleh Perdana Menteri Lloyd George beserta kabinetnya pada bulan Desember 1916. Sekalipun Herbert Henry Asquith dan Lloyd George sama-sama berasal dari Partai Liberal dan sama-sama membentuk kabinet pemerintahan koalisi di masa perang, Lloyd George dan menteri luar negerinya, Arthur Balfour, ingin agar wilayah Kesultanan Utsmaniyah dipecah-belah seusai perang, sementara Herbert Henry Asquith dan menteri luar negerinya, Sir Edward Grey, ingin agar Kesultanan Utsmaniyah cukup direformasi saja.[89][90]

Dua hari sesudah menjabat, Lloyd George menyampaikan kepada Jenderal Robertson, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Kekaisaran Inggris, bahwa ia menginginkan kemenangan besar, lebih bagus lagi kalau Yerusalem juga dapat direbut, demi menciptakan kesan yang mampu memukau opini publik Inggris.[91] Lloyd George lantas bergegas menggelar rapat kabinet perang guna merencanakan "kampanye militer lebih lanjut ke dalam wilayah Palestina begitu Al Arisy berhasil diamankan."[92] Tekanan dari Lloyd George terhadap Jenderal Robertson yang bersikap ragu-ragu menghasilkan perebutan daerah Sinai yang selanjutnya disatukan kembali dengan wilayah Mesir, jajahan Inggris. Dengan merebut Al Arisy pada bulan Desember 1916 dan Rafah pada bulan Januari 1917, pasukan Inggris akhirnya sampai di tapal batas selatan wilayah Kesultanan Utsmaniyah.[92] Situasi buntu di kawasan selatan Palestina bermula setelah pasukan Inggris dua kali gagal merebut Gaza antara tanggal 26 Maret sampai tanggal 19 April.[93] Kegiatan kampanye militer di Sinai dan Palestina tertahan untuk sementara waktu, dan pasukan Inggris baru dapat bergerak memasuki wilayah Palestina pada tanggal 31 Oktober 1917.[94]

1917: Negosiasi resmi Inggris dengan kaum Zionis

Menyusul pergantian kabinet pemerintahan Inggris, Mark Sykes diangkat menjadi Sekretaris Kabinet Perang yang bertanggung jawab menangani urusan-urusan Timur Tengah. Kendati sudah kenal baik dengan Moses Gaster,[xiii] Mark Sykes berusaha untuk bertemu dengan pemimpin-pemimpin kaum Zionis lainnya semenjak bulan Januari 1917. Pada akhir bulan itu, ia sudah berkenalan dengan Chaim Weizmann dan rekan seperjuangannya, Nahum Sokolow, wartawan sekaligus eksekutif Organisasi Zionis Sedunia yang hijrah ke Inggris pada permulaan Perang Dunia I.[xiv]

Dengan mengaku bertindak atas nama pribadi, Mark Sykes mengadakan serangkaian diskusi mendalam dengan jajaran pimpinan kaum Zionis pada tanggal 7 Februari 1917.[o] Hubungan yang pernah terjalin antara Inggris dengan "orang Arab" lewat surat-menyurat turut dibahas dalam pertemuan ini. Menurut catatan Nahum Sokolow, Mark Sykes mengemukakan bahwa "orang Arab menegaskan kalau bahasa harus dijadikan tolok ukur [dalam menentukan siapa yang berhak menjadi penguasa di Palestina] dan [berdasarkan tolok ukur tersebut] dapat saja mengklaim seantero wilayah Suriah dan Palestina. Kendati demikian, orang Arab bisa diatur, apalagi jika mereka mendapat dukungan dari orang Yahudi dalam urusan-urusan lain."[97][98][p] Sampai dengan saat itu kaum Zionis belum tahu apa-apa tentang Persetujuan Sykes–Picot, meskipun sudah curiga.[97] Salah satu sasaran yang hendak dicapai Mark Sykes adalah menggerakkan Zionisme untuk menjadikan Inggris sebagai negara yang berwenang mengatur urusan luar negeri Palestina, sehingga ada alasan untuk membela diri jika digugat Prancis.[100]

Akhir 1917: Perkembangan Perang Dunia I

 
Peta situasi militer pada pukul 18:00, tanggal 1 November 1917, tepat sebelum pencanangan Deklarasi Balfour.

Selagi Kabinet Perang Inggris sibuk menggelar rapat-rapat pembahasan yang kelak melahirkan Deklarasi Balfour, Perang Dunia I telah sampai pada tahap buntu. Di Front Barat, Blok Sentral mula-mula unggul pada musim semi tahun 1918,[101] sebelum akhirnya diungguli Blok Sekutu untuk seterusnya sejak bulan Juli 1918.[101] Sekalipun sudah memaklumkan perang terhadap Jerman pada musim semi tahun 1917, Amerika Serikat belum ditimpa kerugian akibat perang sehingga tidak melibatkan diri secara aktif. Ketika korban-korban pertama berjatuhan di pihak Amerika Serikat pada tanggal 2 November 1917,[102] Presiden Woodrow Wilson masih saja berharap dapat menghindari pengerahan kontingen-kontingen besar prajurit ke medan perang.[103] Angkatan bersenjata Rusia diketahui terusik oleh revolusi yang tengah melanda Rusia dan peningkatan dukungan terhadap faksi Bolsyewik. Kendati demikian, Pemerintahan Sementara Rusia yang dikepalai Aleksander Kerenski masih melibatkan diri dalam peperangan. Rusia baru menarik diri sesudah revolusi mencapai tahap paripurna pada tanggal 7 November 1917.[104]

Persetujuan

April sampai Juni: Diskusi-diskusi Blok Sekutu

Arthur Balfour melangsungkan pertemuan dengan Chaim Weizmann di kantor Kementerian Luar Negeri Inggris pada tanggal 22 Maret 1917. Dua hari kemudian, Chaim Weizmann mengungkapkan bahwa pertemuan tersebut adalah "kali pertama saya berbincang secara mendalam dengan beliau".[105] Dalam pertemuan ini, Chaim Weizmann mengemukakan bahwa kaum Zionis lebih suka jika Palestina dijadikan wilayah protektorat Inggris alih-alih wilayah protektorat Amerika Serikat, wilayah protektorat Prancis, atau wilayah administrasi internasional. Arthur Balfour menyambut baik pernyataan ini, tetapi mewanti-wanti bahwa "bisa saja timbul masalah dengan Prancis dan Italia".[105]

Arah kebijakan Pracis sehubungan dengan Palestina pada khususnya dan Negeri Syam pada umumnya menjelang pencanangan Deklarasi Balfour mula-mula sejalan dengan butir-butir Persetujuan Sykes-Picot, tetapi mulai simpang siur sejak tanggal 23 November 1915 setelah Prancis mengendus adanya pembicaraan antara Inggris dan Syarif Mekah.[106] Sebelum tahun 1917, hanya Inggris yang bertempur di tapal batas selatan Kesultanan Utsmaniyah, mengingat Mesir jajahan Inggris memang berbatasan langsung dengan wilayah Kesultanan Utsmaniyah, lagipula Prancis masih disibukkan oleh pertempuran Front Barat yang berlangsung di negaranya.[107][108] Italia, yang mulai melibatkan diri dalam Perang Dunia I sesudah menandatangani Perjanjian London pada bulan April 1915, baru ikut turun tangan di Timur Tengah sesudah mencapai kesepakatan dengan Prancis dan Inggris dalam konferensi yang diselenggarakan di Saint-Jean-de-Maurienne pada bulan April 1917. Dalam konferensi ini, Lloyd George mengemukakan gagasan menjadikan Palestina sebagai negara protektorat Inggris , tetapi gagasan ini "ditanggapi dengan sangat dingin" oleh Prancis maupun Italia.[109][110][q] Pada bulan Mei dan Juni 1917, Prancis dan Italia menurunkan detasemen-detasemennya untuk membantu Inggris yang sedang giat memperbesar kekuatan tempurnya dalam rangka mempersiapkan diri untuk menyerang Palestina sekali lagi.[107][108]

Pada awal bulan April, Mark Sykes dan François Georges-Picot sekali lagi ditunjuk menjadi negosiator utama. Kali ini keduanya diutus ke Timur Tengah selama sebulan penuh untuk melakukan pembicaraan-pembicaraan lebih lanjut dengan Syarif Mekah dan pemimpin-pemimpin Arab lainnya.[111][r] Pada tanggal 3 April 1917, Mark Sykes menemui Lloyd George, Lord Curzon, dan Maurice Hankey untuk menerima surat tugas sehubungan dengan misi yang diembannya, yakni berusaha agar Prancis tidak menarik dukungannya sekaligus berusaha agar "tidak mencelakai pergerakan kaum Zionis maupun peluangnya untuk berkembang di bawah pengayoman Inggris , tidak membuat janji politik apapun dengan orang Arab, khususnya janji politik yang berkaitan dengan Palestina".[113] Sebelum bertolak ke Timur Tengah, François Georges-Picot, melalui Mark Sykes, mengundang Nahum Sokolow ke Paris untuk menatar para pejabat pemerintah Prancis agar paham akan Zionisme.[114] Mark Sykes, yang sudah melapangkan jalan lewat surat-menyurat dengan François Georges-Picot,[115] tiba beberapa hari sesudah Nahum Sokolow sampai ke Paris. Sebelum Mark Sykes tiba, Nahum Sokolow telah menemui François Georges-Picot dan pejabat-pejabat pemerintah Prancis lainnya, dan berhasil meyakinkan Kementerian Luar Negeri Prancis untuk menerima, sebagai bahan kajian, sebuah pernyataan sasaran-sasaran kaum Zionis "sehubungan dengan kumudahan-kemudahan kolonisasi, otonomi komunal, hak-hak berbahasa, dan pembentukan sebuah badan usaha Yahudi berpiagam pemerintah."[116] Mark Sykes melanjutkan perjalanannya ke Italia dan melangsungkan pertemuan dengan Duta Besar Inggris maupun wakil pemerintah Inggris di Vatikan untuk sekali lagi melapangkan jalan bagi Nahum Sokolow.[117]

Nahum Sokolow diberi kesempatan audiensi dengan Paus Benediktus XV pada tanggal 6 Mei 1917.[118] Menurut catatan jalannya audiensi yang ditulis Nahum Sokolow, yakni satu-satunya keterangan tentang pertemuan tersebut yang diketahui oleh para sejarawan, Sri Paus secara umum mengungkapkan simpati dan dukungannya terhadap proyek kaum Zionis.[119][xv] Pada tanggal 21 Mei 1917, Angelo Sereni, ketua Panitia Paguyuban-Paguyuban Bani Israel,[s] memperkenalkan Nahum Sokolow kepada Sidney Sonnino, Menteri Luar Negeri Italia. Ia juga diberi kesempatan bertatap muka dengan Paolo Boselli, Perdana Menteri Italia. Atas arahan Sidney Sonnino, sekretaris jenderal Kementerian Luar Negeri Italia mengirim sepucuk surat yang, kendati tidak dapat mengungkapkan pandangan pribadinya mengenai kebajikan-kebajikan sebuah program yang berkaitan dengan semua negara anggota Blok Sekutu, "secara umum" menyatakan bahwa ia tidak menentang klaim-klaim sah orang Yahudi.[125] Dalam perjalanan pulangnya, Nahum Sokolow sekali lagi berjumpa dengan pejabat-pejabat Prancis dan berhasil mendapatkan selembar surat tertanggal 4 Juni 1917 dari Kepala Bagian Urusan Politik Kementerian Luar Negeri Prancis Jules Cambon, yang berisi pernyataan simpati terhadap perjuangan kaum Zionis.[126] Surat ini tidak dipublikasikan, tetapi disimpan di kantor Kementerian Luar Negeri Inggris.[127][xvi]

Sesudah Amerika Serikat melibatkan diri dalam Perang Dunia I pada tanggal 6 April, Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour memimpin rombongan Misi Balfour ke Washington D.C. dan New York, tempat ia singgah selama sebulan, dari pertengahan bulan April sampai pertengahan bulan Mei. Selama melawat ke Amerika Serikat, ia menyempatkan diri untuk berdiskusi tentang Zionisme dengan Louis Brandeis, seorang tokoh Zionis terkemuka dan sekutu dekat Presiden Woodrow Wilson yang telah diangkat menjadi salah seorang Hakim Agung Amerika Serikat setahun sebelumnya.[t]

Juni dan Juli: Keputusan untuk menyusun sebuah deklarasi

 
Selembar salinan draf deklarasi yang mula-mula diajukan oleh Lord Rothschild bersama surat pengantarnya, 18 Juli 1917, dari arsip Kabinet Perang Inggris

Pada tanggal 13 Juni 1917, Kepala Bagian Urusan Timur Tengah Kementerian Luar Negeri Inggris Ronald Graham telah dapat memastikan bahwa ketiga politikus paling relevan – Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri, dan Wakil Parlementer Menteri Luar Negeri Lord Robert Cecil – semuanya menghendaki agar Inggris mendukung pergerakan kaum Zionis.[u] Pada hari yang sama, Chaim Weizmann menyurati Ronald Graham untuk memperjuangkan dikeluarkannya sebuah deklarasi terbuka.[v][131][132]

Dalam suatu pertemuan pada tanggal 19 Juni, Arthur Balfour meminta Lord Rothschild dan Chaim Weizmann untuk mengajukan suatu rumusan deklarasi.[133] Sepanjang beberapa minggu berikutnya, panitia negosiasi kaum Zionis menyiapkan selembar draf deklarasi yang terdiri atas 143 patah kata, tetapi Mark Sykes, Ronald Graham, maupun Lord Rothschild menilai draf tersebut terlalu menjurus ke hal-hal yang sensitif.[134] Di lain pihak, Kementerian Luar Negeri Inggris juga menyiapkan selembar draf, yang digambarkan pada tahun 1961 oleh Harold Nicolson, selaku orang yang terlibat langsung dalam penyusunannya, sebagai usulan penciptaan "suaka bagi orang-orang Yahudi yang menjadi korban penindasan".[135][136] Draf yang disusun oleh Kementerian Luar Negeri Inggris ditolak mentah-mentah oleh kaum Zionis sehingga tidak jadi dipakai. Tak selembar pun salinan draf ini dapat ditemukan di kumpulan arsip Kementerian Luar Negeri Inggris .[135][136]

Sesudah berdiskusi lebih lanjut dengan pihak kementerian, Lord Rothschild akhirnya merevisi draf yang disiapkan kaum Zionis sehingga menjadi lebih singkat, hanya mengandung 46 patah kata, dan mengirimkannya kepada Arthur Balfour pada tanggal 18 Juli.[134] Draf ini diterima Kementerian Luar Negeri Inggris dan diajukan kepada kabinet untuk dipertimbangkan secara resmi.[137]

September dan Oktober: Persetujuan dari Amerika Serikat dan Kabinet Perang Inggris

 
Sebagai bahan pertimbangan dalam diskusi-diskusi Kabinet Perang Inggris, diminta pandangan dari sepuluh orang "wakil" pemuka masyarakat Yahudi. Para pemuka masyarakat Yahudi yang mendukung adalah keempat anggota tim negosiasi kaum Zionis (Lord Rothschild, Chaim Weizmann, Nahum Sokolow, dan Herbert Samuel), Stuart Samuel (abang Herbert Samuel), dan Rabi Ketua Joseph Hertz, sementara yang menentang adalah Edwin Montagu, Philip Magnus, Claude Montefiore, dan Lionel Cohen.

Pada tanggal 31 Oktober 1917, Kabinet Perang Inggris memutuskan untuk mengeluarkan deklarasi. Keputusan ini diambil sebagai tindak lanjut dari hasil diskusi dalam empat kali rapat kabinet perang (termasuk rapat tanggal 31 Oktober) yang digelar dalam tempo dua bulan.[137] Demi membantu memperlancar diskusi, Sekretariat Kabinet Perang Inggris dipimpin oleh Maurice Hankey dan dibantu para Sekretaris Pembantu[138][139] – terutama Mark Sykes dan Leo Amery, rekan separtai Mark Sykes di Parlemen Inggris yang juga pro-Zionis – mengumpulkan perspektif-perspektif pihak luar untuk diajukan kepada kabinet perang. Perspektif-perspektif pihak luar tersebut mencakup pandangan-pandangan para pejabat pemerintahan, pandangan-pandangan para sekutu dalam Perang Dunia I – teristimewa pandangan Presiden Woodrow Wilson – serta pernyataan-pernyataan pandangan resmi yang diajukan pada bulan Oktober oleh enam orang tokoh pimpinan kaum Zionis dan empat orang pemuka masyarakat Yahudi non-Zionis.[137]

Sebelum mengeluarkan deklarasi, para pejabat Inggris dua kali meminta persetujuan President Amerika Serikat Woodrow Wilson. Ketika pertama kali dimintai persetujuannya pada tanggal 3 September, President Woodrow Wilson menolak dengan alasan waktunya belum tepat. Ia baru memberikan persetujuan setelah diminta untuk kedua kalinya pada tanggal 6 Oktober.[140]

Petikan-petikan dari notula keempat rapat Kabinet Perang Inggris berikut ini memperlihatkan faktor-faktor utama yang menjadi bahan pertimbangan para menteri:

  • 3 September 1917: "Menanggapi anjuran agar urusan ini sebaiknya ditangguhkan dulu, [Arthur Balfour] mengemukakan bahwa urusan ini sudah lama sekali ditahan-tahan Kementerian Luar Negeri. Ada organisasi yang sangat kuat dan antusias, khususnya di Amerika Serikat, yang gigih memperjuangkan urusan ini, serta mengemukakan keyakinannya bahwa Blok Sekutu akan sangat terbantu jika dapat menarik ketulusan dan kesungguhan orang-orang tersebut ke pihak kita. Jika tidak berbuat apa-apa, maka kita berisiko putus hubungan secara langsung dengan mereka, jadi situasi ini perlu dihadapi."[141]
  • 4 Oktober 1917: "... [Arthur Balfour] mengemukakan bahwa pemerintah Jerman sedang berusaha keras menarik simpati gerakan Zionisme. Kendati ditentang oleh sejumlah hartawan Yahudi di negara itu, gerakan Zionisme didukung oleh mayoritas warga Yahudinya, setidaknya di Rusia dan Amerika, dan mungkin sekali di negara-negara lain ... Tuan Balfour selanjutnya membaca selembar pernyataan yang sangat simpatik dari pemerintah Prancis kepada kaum Zionis, lalu menegaskan bahwa ia tahu Presiden Woodrow Wilson benar-benar mendukung gerakan itu."[142]
  • 25 Oktober 1917: "... sekretaris mengemukakan bahwa ia telah didesak oleh Kementerian Luar Negeri untuk mengangkat permasalahan Zionisme, suatu keputusan pendahuluan atas permasalahan ini dianggap sangat penting."[143]
 
Notula rapat Kabinet Perang Inggris tanggal 31 Oktober 1917 yang menyetujui dikeluarkannya Deklarasi Balfour
  • 31 Oktober 1917: "[Arthur Balfour] berkesimpulan semua orang kini setuju bahwa, ditinjau dari sudut pandang yang murni bersifat diplomatik dan politik, sudah sepatutnya dikeluarkan sebuah deklarasi yang mendukung aspirasi-aspirasi kaum nasionalis Yahudi. Mayoritas orang Yahudi di Rusia dan Amerika, maupun di seluruh dunia, kini tampaknya mendukung Zionisme. Jika kita dapat mengeluarkan sebuah deklarasi yang mendukung cita-cita tersebut, maka kita harus mampu melanjutkan kegiatan propaganda yang sangat berguna itu di Rusia dan Amerika."[144]

Penyusunan draf

Deklasifikasi arsip pemerintah Inggris telah memungkinkan para ahli untuk mengetahui keseluruhan proses penyusunan draf Deklarasi Balfour. Dalam bukunya yang terbit pada tahun 1961 dan kerap dijadikan sumber rujukan, Leonard Stein membeberkan empat draft terdahulu Deklarasi Balfour.[145]

Kegiatan penyusunan draf berawal dari petunjuk yang diberikan Chaim Weizmann kepada tim penyusun draf Zionis mengenai tujuan-tujuannya melalui sepucuk surat tertanggal 20 Juni 1917, sehari sesudah pertemuannya dengan Lord Rothschild dan Arthur Balfour. Ia mengusulkan agar deklarasi tersebut harus memuat penegasan dari pemerintah Inggris akan "keyakinan, kemauan, atau niatnya untuk mendukung kehendak kaum Zionis menciptakan kediaman nasional di Palestina; menurut hemat saya, soal kekuasaan suzeranitas tidak perlu disinggung-singgung karena dapat mengganggu hubungan baik antara Inggris dan Prancis; deklarasi ini harus merupakan deklarasi Zionis."[89][146]

Sebulan sesudah menerima draf ringkas yang diajukan Lord Rothschild pada tanggal 12 Juli, Arthur Balfour mengusulkan sejumlah amandemen yang lebih bersifat teknis.[145] Amandemen-amandemen yang lebih substantif termuat dalam dua draf berikutnya, yakni draf yang diajukan pada akhir bulan Agustus oleh Alfred Milner, salah seorang dari kelima anggota mula-mula kabinet perang Lloyd George dengan jabatan menteri tanpa portofolio,[xvii] dan draf yang diajukan pada awal bulan Oktober oleh Alfred Milner dan Leo Amery. Dalam draf yang diajukan pada akhir bulan Agustus, cakupan geografi disusutkan dari seluruh Palestina menjadi "di Palestina", sementara dalam draf yang diajukan pada awal bulan Oktober, tercantum tambahan dua "klausa pengaman".[145]

Daftar draf Deklarasi Balfour yang diketahui beserta perubahan dari draf ke draf
Draf Teks Perubahan
Draf awal dari kaum Zionis
Bulan Juli 1917[147]
Pemerintahan Sri Baginda, sesudah mempertimbangkan sasaran-sasaran Organisasi Zionis, menerima prinsip pengakuan Palestina menjadi kediaman nasional orang Yahudi, dan hak orang Yahudi untuk membangun kehidupan berbangsa di Palestina di bawah perlindungan yang akan dibentuk saat perdamaian disepakati sesudah perang dimenangkan.

Pemerintahan Sri Baginda, demi terwujudnya prinsip ini, memandang penting pemberian otonomi dalam negeri kepada bangsa Yahudi di Palestina, kebebasan berimigrasi bagi orang Yahudi, dan pembentukan sebuah Badan Usaha Kolonisasi Nasional Yahudi untuk menangani usaha pemukiman kembali serta pengembangan ekonomi negeri itu.
Syarat-syarat dan bentuk-bentuk otonomi dalam negeri serta piagam bagi Badan Usaha Kolonisasi Nasional Yahudi, menurut hemat Pemerintahan Sri Baginda, harus dijabarkan secara terperinci dan ditetapkan bersama wakil-wakil Organisasi Zionis.[148]

Draf Lord Rothschild
Tanggal 12 Juli 1917[147]
1. Pemerintahan Sri Baginda menerima Prinsip bahwa Palestina harus direkonstitusi menjadi kediaman nasional orang Yahudi.

2. Pemerintahan Sri Baginda akan berusaha sekuat dayanya untuk menjamin terlaksananya maksud ini serta akan mendiskusikan metode-metode dan cara-cara yang diperlukan dengan Organisasi Zionis.[145]

1. Pemerintahan Sri Baginda [*] menerima prinsip pengakuan bahwa Palestina harus direkonstitusi menjadi kediaman nasional orang Yahudi. [*]

2. Pemerintahan Sri Baginda [*] akan berusaha sekuat dayanya untuk menjamin terlaksananya maksud ini serta akan mendiskusikan metode-metode dan cara-cara yang diperlukan dengan Organisasi Zionis.
* banyak kata dihapus

Draf Arthur Balfour
Pertengahan bulan Agustus 1917
Pemerintahan Sri Baginda menerima prinsip bahwa Palestina harus direkonstitusi menjadi kediaman nasional orang Yahudi, dan akan berusaha sekuat daya untuk menjamin terlaksananya maksud ini serta akan bersiap sedia untuk mempertimbangkan saran apa saja yang berkenaan dengan hal tersebut yang ingin diajukan Organisasi Zionis kepadanya.[145] 1. Pemerintahan Sri Baginda menerima prinsip bahwa Palestina harus direkonstitusi menjadi kediaman nasional orang Yahudi. , dan 2. Pemerintahan Sri Baginda akan berusaha sekuat dayanya untuk menjamin terlaksananya maksud ini serta akan mendiskusikan metode-metode dan cara-cara yang diperlukan dengan bersiap sedia untuk mempertimbangkan saran apa saja yang berkenaan dengan hal tersebut yang ingin diajukan Organisasi Zionis kepadanya.
Draf Alfred Milner
Akhir bulan Agustus 1917
Pemerintahan Sri Baginda menerima prinsip bahwa segala macam peluang harus dibuka bagi penciptaan kediaman bagi orang Yahudi di Palestina, dan akan berusaha sekuat dayanya untuk memudahkan terlaksananya maksud ini serta akan bersiap sedia untuk mempertimbangkan saran apa saja yang berkenaan dengan hal tersebut yang ingin diajukan organisasi-organisasi kaum Zionis kepadanya.[145] Pemerintahan Sri Baginda menerima prinsip bahwa Palestina harus dibentuk ulang menjadi kediaman nasional segala macam peluang harus dibuka bagi penciptaan kediaman bagi orang Yahudi di Palestina, dan akan berusaha sekuat dayanya untuk menjamin memudahkan terlaksananya maksud ini serta akan bersiap sedia untuk mempertimbangkan saran apa saja yang berkenaan dengan hal tersebut yang ingin diajukan O organisasi-organisasi kaum Zionis kepadanya.
Draf Alfred Milner dan Leo Amery
Tanggal 4 Oktober 1917
Pemerintahan Sri Baginda memandang baik penciptaan kediaman nasional di Palestina bagi bangsa Yahudi, dan akan berusaha sekuat dayanya untuk memudahkan terlaksananya maksud ini, dengan keinsyafan bahwa tak satu pun langkah pelaksanaannya akan mencederai hak-hak sipil dan beragama komunitas-komunitas non-Yahudi yang ada saat ini di Palestina, maupun hak-hak dan status politik yang dinikmati di negeri-negeri lain oleh orang Yahudi yang sudah puas dengan kewarganegaraan yang dimilikinya saat ini.[145] Pemerintahan Sri Baginda menerima prinsip bahwa segala macam peluang harus dibuka bagi memandang baik penciptaan kediaman nasional di Palestina bagi bangsa orang Yahudi di Palestina, dan akan berusaha sekuat dayanya untuk memudahkan terlaksananya maksud ini serta akan bersiap sedia untuk mempertimbangkan saran apa saja yang berkenaan dengan hal tersebut yang ingin diajukan organisasi-organisasi kaum Zionis kepadanya , dengan keinsyafan bahwa tak satu pun langkah pelaksanaannya akan mencederai hak-hak sipil dan beragama komunitas-komunitas non-Yahudi yang ada saat ini di Palestina, maupun hak-hak dan status politik yang dinikmati di negeri-negeri lain oleh orang Yahudi yang sudah puas dengan kewarganegaraan yang dimilikinya saat ini.[145]
Versi akhir Pemerintahan Sri Baginda memandang baik penciptaan kediaman nasional di Palestina bagi orang Yahudi, dan akan berusaha sekuat daya untuk memudahkan terlaksananya maksud ini, dengan keinsafan bahwa tak satu pun langkah pelaksanaannya akan mencederai hak-hak sipil dan beragama komunitas-komunitas non-Yahudi yang ada saat ini di Palestina, maupun hak-hak dan status politik yang dinikmati orang Yahudi di negeri-negeri lain. Pemerintahan Sri Baginda memandang baik penciptaan kediaman nasional di Palestina bagi bangsa orang Yahudi, dan akan berusaha sekuat dayanya untuk memudahkan terlaksananya maksud ini, dengan keinsyafan bahwa tak satu pun langkah pelaksanaannya akan mencederai hak-hak sipil dan beragama komunitas-komunitas non-Yahudi yang ada saat ini di Palestina, maupun hak-hak dan status politik yang dinikmati orang Yahudi di negeri-negeri lain oleh orang Yahudi yang sudah puas dengan kewarganegaraan yang dimilikinya saat ini.[145]

Penulis-penulis terkemudian telah memperdebatkan siapa sesungguhnya "tokoh utama" dalam penyusunan Deklarasi Balfour. Dalam bukunya, The Anglo-American Establishment, yang terbit tahun 1981 sesudah ia wafat, Carroll Quigley, profesor sejarah di Universitas Georgetown, memaparkan pandangannya bahwa Lord Milnerlah yang berjasa menyusun Deklarasi Balfour.[xviii] Baru-baru ini, William D. Rubinstein, Profesor Sejarah Zaman Modern di Universitas Aberystwyth, Wales, mengemukakan bahwa Leo Amerylah penyusun utama Deklarasi Balfour.[150] Sahar Huneidi mengungkap dalam bukunya bahwa William Ormsby-Gore, dalam laporan yang ia susun untuk diserahkan kepada John Shuckburgh, mengaku telah menyusun draf akhir Deklarasi Balfour bersama-sama dengan Leo Amery.[151]

Pokok-pokok penting

Versi yang telah disetujui dari Deklarasi Balfour terdiri dari sebuah paragraf yang berisikan 67 kata[152], yang kemudian dikirim dari Arthur Balfour kepada Walter Rothschild pada tanggal 2 November 1917 dalam sebuah surat pendek untuk diteruskan kepada Federasi Zionis Britania Raya dan Irlandia.[153] Deklarasi tersebut mengandung empat klausa. Dimana pada bagian dua pertamanya adalah memberikan janji untuk mendukung "pembentukan Palestina sebagai tanah air bangsa Yahudi",[154][155] kemudian diikuti dengan dua bagian klausa yang terakhir yang berisikan tentang "kehormatan untuk hak-hak sipil dan beragama yang ditujukan kepada komunitas non-Yahudi di Palestina" dan "hak-hak dan status politik yang akan didapatkan oleh para Yahudi di negara manapun".[153]

Baca juga

Catatan

Kutipan pendukung primer

  1. ^ Moses Montefiore adalah orang Yahudi terkaya di Inggris, dan pemimpin Dewan Perwakilan Umat Yahudi Inggris. Surat pertama yang dikirimkan Charles Henry Churchill pada tahun 1841, dimaksudkan untuk mengatalisasi ketertarikan terhadap emigrasi orang Yahudi ke Palestina. Dalam surat ini, Charles Henry Churchill mengemukakan bahwa, "misalkan anda dan kolega-kolega anda secara bersama-sama serta bersungguh-sungguh mencurahkan minat pada perkara penting ini, yakni perihal pemulihan negara kuno anda, maka saya melihat (dengan mendasarkan opini-opini saya pada sikap terkini pemerintah dalam hubungan luar negeri dengan Kesultanan Utsmaniyah) bahwa hanya selaku kawula Gerbang Agung sajalah anda sekalian dapat mulai mengupayakan tempat berpijak di Palestina."[8]
  2. ^ Menurut memoar Weizmann, isi perbincangan mereka adalah sebagai berikut: "Tuan Balfour, misalkan saya menawarkan Paris alih-alih London kepada Tuan, apakah Tuan akan terima tawaran saya?" Beliau bangkit berdiri, menatap saya, lalu menjawab, "Tapi Dr. Weizmann, kami punya London." "Itu benar," kata saya, "tapi kami dulu punya Yerusalem sewaktu London masih rawa-rawa." Beliau ... mengutarakan dua hal yang terus terngiang-ngiang dalam ingatan saya. Yang pertama adalah, "banyakkah orang Yahudi yang sepikiran dengan anda?" Saya jawab, "saya yakin bahwa saya menyuarakan isi benak jutaan orang Yahudi yang tidak akan pernah Tuan jumpai dan yang tidak dapat menyuarakan sendiri pendapat mereka." ... Menanggapi ucapan saya ini, beliau berkata, "jika betul demikian, kalian dapat menjadi kekuatan besar suatu hari nanti." Tak lama sebelum saya pamit, Balfour berkata, "Saya heran. Orang-orang Yahudi yang saya jumpai agak berbeda." Saya jawab, "Tuan Balfour, yang Tuan jumpai itu jenis orang Yahudi yang keliru".[25]
  3. ^ Weizmann menjabarkan jalannya pertemuan ini dalam catatannya sebagai berikut: "[James] beranggapan bahwa aspirasi-aspirasi orang Yahudi terkait Palestina akan ditanggapi dengan sangat baik di lingkungan pemerintahan, yang akan mendukung proyek semacam itu, dilihat dari sudut padangan kemanusiaan maupun dari sudut pandang politik Inggris. Pembentukan komunitas Yahudi yang kuat di Palestina akan dipandang sebagai sebuah aset politik yang bernilai tinggi. Oleh karena itu ia beranggapan bahwa tuntutan-tuntutan yang ujung-ujungnya cuma meminta dukungan terhadap usaha kolonisasi orang Yahudi di Palestina sesungguhnya terlampau bersahaja dan tidak cukup mampu menggugah para negarawan Inggris. Orang semestinya meminta sesuatu yang lebih besar daripada itu dan yang mengarah kepada pembentukan Negara Yahudi."[28] Gutwein menafsirkan diskusi ini sebagai berikut: "Anjuran James agar kaum Sionis tidak terhenti pada tuntutan pemukiman orang Yahudi di Palestina saja, tetapi meradikalisasi tuntutan-tuntutan mereka akan sebuah negara Yahudi, mencerminkan kontrasnya sikap politik antara golongan reformis, yang sedianya akan mendukung pemukiman orang Yahudi di Palestina sebagai bagian dari usaha reorganisasi Kesultanan Utsmaniyah, dan golongan radikal, yang memandang negara Yahudi sebagai alat pemecah-belah Kesultanan Utsmaniyah. Sekalipun James menegaskan bahwa tuntutan akan sebuah negara Yahudi akan membantu usaha mendapatkan dukungan para negarawan Inggris, jika menilik penentangan Asquith dan Grey terhadap tuntutan ini, agaknya isi penyampaian James yang kurang tepat kalau tidak dapat dikatakan menyesatkan itu dimaksudkan untuk membujuk Weizmann, yang sama artinya dengan membujuk kaum Sionis, untuk membantu golongan radikal dan Lloyd George."[28]
  4. ^ Memurut memoir Weizmann: "Masuknya Turki ke kancah peperangan dan isi pidato perdana menteri di Balai Gilda merupakan dorongan tambahan yang mempercepat usaha penjajakan... Tanpa disangka-sangka muncul kesempatan untuk membahas permasalahan-permasalahan orang Yahudi dengan Tuan Charles Prestwich Scott (Editor surat kabar Manchester Guardian)… Tuan Scott, yang saya yakini sudah sangat teliti dan penuh simpati mencurahkan perhatiannya terhadap keseluruhan permasalahan tersebut, cukup berbaik hati berjanji akan menyampaikan soal ini kepada Tuan Lloyd George... Karena kebetulan harus memenuhi beberapa janji pertemuan yang sudah telanjur dibuat, Tuan Lloyd George menyarankan agar saya menemui Tuan Herbert Samuel, dan wawancara pun dilangsungkan di kantornya. [Catatan kaki: 10 Desember 1914]"[50]
  5. ^ Menurut memoar Weizmann: "Beliau yakin bahwa tuntutan-tuntutan saya terlampau bersahaja, bahwasanya perkara-perkara besar harus dilaksanakan di Palestina; beliau sendiri akan berhijrah dan berharap orang-orang Yahudi segera berhijrah begitu situasi militer telah dibereskan... Orang Yahudi harus rela berkorban. Ia pun siap untuk berkorban. Ketika itulah saya memberanikan diri untuk menanyakan, dari segi apa rencana-rencana Tuan Samuel lebih ambisius dibanding rencana saya. Tuan Samuel tidak begitu suka untuk mebincangkan rencana-rencananya, karena lebih senang untuk membiarkan rencana-rencana tersebut tetap 'cair', tetapi ia menyarankan agar orang Yahudi membangun jalur-jalur kereta api, pelabuhan-pelabuhan, sebuah universitas, jaringan persekolahan, dan lain-lain... Ia juga berpikir bahwa mungkin Haikal dapat dibangun kembali, sebagai lambang persatuan orang Yahudi, tentunya dalam bentuk yang sudah dimordenisasi."[52]
  6. ^ Menurut memoar Weizmann: "Atas saran Baron James, saya menjumpai Sir Philip Magnus. Lama saya berbincang dengan beliau, dan beliau mengungkapkan kesediaan beliau untuk bekerja sama, asalkan tidak sampai menyinggung pihak lain... Saya meminta opini Sir Philip mengenai manfaat dan mudarat melakukan temu wicara dengan Tuan Balfour, dan beliau beranggapan bahwa wawancara dengan Tuan Balfour tentu akan sangat menarik sekaligus bermanfaat... Dalam salah satu kunjungan saya ke London, saya menyurati Tuan Balfour dan berhasil membuat janji temu wicara dengan beliau pada hari Sabtu, pekan yang sama, pukul 12 siang di reumah beliau.[Catatan kaki: 12 Desember 1914] Saya berbicara kepada beliau dengan cara yang sama ketika berbicara dengan Tuan Samuel, tetapi keseluruhan perbincangan kami malah menjadi lebih bersifat akademis ketimbang praktis."[53]
  7. ^ Weizmann diminta menciptakan cara baru untuk memproduksi aseton guna menekan biaya produksi kordit.[49] Anggapan umum bahwa peran ini mempengaruhi keputusan untuk mencanangkan Deklarasi Balfour sudah dianggap "mengada-ada",[58] "dongeng", "mitos",[59] dan "hasil khayalan [Lloyd George] belaka".[60] Dalam Kenang-Kenangan Perang yang memunculkan mitos ini, Lloyd George memaparkan sebagai berikut: "Namun pada musim semi tahun 1915, posisi di pasar aseton Amerika sudah sangat mengkhawatirkan... Menurut hasil pantauan kita atas segala macam keperluan yang mungkin timbul, dalam waktu singkat dapat diketahui secara jelas bahwa pasokan alkohol kayu untuk kegiatan manufaktur aseton nyata-nyata tidak cukup untuk memenuhi permintaan yang kian meningkat, khususnya pada tahun 1916... Ketika sedang mondar-mandir mencari solusi untuk mengatasi kesulitan ini, saya berpapasan dengan mendiang Charles Prestwich Scott, Editor surat kabar Manchester Guardian... Saya diberitahu tentang Profesor Weizmann, dan yang bersangkutan saya undang ke London untuk bertatap muka dengan saya... Ia sanggup memproduksi aseton melalui suatu proses fermentasi pada skala laboratorium, tetapi masih perlu waktu untuk memastikan bahwa proses tersebut dapat dilakukan pada skala pabrik. Beberapa minggu kemudian, ia mendatangi saya dan memberitahukan bahwa "masalah sudah terpecahkan."... Ketika kesulitan-kesulitan kita sudah teratasi berkat kejeniusan Dr. Weizmann, saya sampaikan kepadanya, 'anda sudah sangat berjasa bagi negara, jadi saya harus minta Perdana Menteri mengajukan rekomendasi kepada Sri Baginda agar berkenan menganugerahkan satu dua penghargaan untuk anda.' Ia berkata, 'saya tidak mengharapkan apa-apa.' 'Tapi adakah sesuatu yang dapat kami perbuat untuk menunjukkan pengakuan kami terhadap jasa-jasa anda yang begitu besar bagi negara?' tanya saya. 'Ada', jawabnya, 'saya mohon kiranya Tuan sudi melakukan sesuatu untuk bangsa saya.' Ia kemudian menjelaskan aspirasi-aspirasinya tentang repatriasi orang Yahudi ke tanah suci yang sudah mereka gembar-gemborkan itu. Itulah sumber dan cikal bakal deklarasi terkenal mengenai Kediaman Nasional bagi orang Yahudi di Palestina. Begitu saya menjadi perdana menteri, urusan ini saya bahas tuntas dengan Tuan Balfour, yang ketika itu menjabat sebagai menteri luar negeri. Selaku seorang ilmuwan, ia benar-benar terkesan mendengar penuturan saya tentang pencapaian-pencapaian Dr. Weizmann. Kami begitu tidak sabaran saat itu untuk menghimpun dukungan orang Yahudi di negara-negara netral, terutama di Amerika. Dr. Weizmann pun diperkenalkan dengan menteri luar negeri, dan perkenalan ini menjadi awal dari hubungan baik yang kelak melahirkan, lewat penelaahan yang lama dan saksama, Deklarasi Balfour yang terkenal itu..."[61]
  8. ^ Dalam sepucuk surat tertanggal 27 Februari 1916, jelang keberangkatannya ke Rusia, Sykes berkabar kepada Samuel sebagai berikut: "saya baca memorandum [tahun 1915 yang anda susun] dan sudah hafal isinya."[65] Sehubungan dengan tapal-tapal batas, Sykes memberikan penjelasannya sebagai berikut: "Dengan dikecualikannya Hebron dan daerah di sisi timur Sungai Yordan, berkurang pula pokok bahasan yang harus dibicarakan dengan kaum Muslim, karena Mesjid Umar ketika itu menjadi satu-satunya pokok bahasan mahapenting yang perlu dibicarakan dengan mereka, dan semakin mempertegas pemutusan perhubungan dengan kaum badawi, yang tidak pernah menyeberangi sungai itu selain untuk berbisnis. Dalam benak saya, tujuan utama Sionisme adalah merealisasikan cita-cita penciptaan pusat kebangsaan, bukannya tapal-tapal batas maupun luas wilayah."[66]
  9. ^ Baca isi surat asli tertanggal 25 Oktober 1915 di sini. George Antonius – orang pertama yang menerbitkan surat-surat tersebut secara utuh – menyebut surat ini sebagai "surat terpenting di antara semua surat yang dialamatkan Henry McMahon kepada Syarif Mekah, dan dapat dianggap sebagai dokumen internasional terpenting dalam sejarah pergerakan nasional Arab... masih dirujuk sebagai bukti utama yang melandasi dakwaan bangsa Arab bahwa Inggris telah mencederai janjinya kepada mereka."[68]
  10. ^ Dalam memo yang ia keluarkan pada bulan Agustus 1919, Arthur Balfour mengemukakan bahwa, "pada tahun 1915, Syarif Mekahlah yang dipercaya untuk menetapkan tapal-tapal batas, dan tidak ada batasan apa pun yang diberlakukan atas kebebasannya untuk mengambil keputusan dalam urusan ini, selain dari beberapa rancangan yang bertujuan melindungi kepentingan-kepentingan Prancis di Suriah Barat dan Kilikia. Pada tahun 1916, semuanya ini tampaknya sudah lekang dari ingatan orang. Persetujuan Sykes–Picot tidak menyebut-menyebut Syarif Mekah, dan sejauh berkaitan dengan lima dokumen kita, sudah tidak terdengar lagi kabar tentang dirinya semenjak saat itu. Sebuah metode yang sepenuhnya baru diadopsi oleh Prancis dan Inggris, yang bersama-sama merumuskan rancangan-rancangan ala kadarnya dari wilayah tersebut dalam Persetujuan Sykes–Picot, yakni rancangan-rancangan yang sampai sejauh ini tidak diterima secara gamblang maupun diganti secara gamblang oleh negara-negara Blok Sekutu dan negara-negara mitranya."[72]
  11. ^ Sykes telah membincangkan urusan ini dengan Picot. Ia mengusulkan pembentukan sebuah negara kesultanan bangsa Arab di Palestina di bawah naungan Prancis dan Inggris. Ia mendapat teguran resmi dari Grey, Buchanan harus memberitahu Sykes 'untuk melupakan bahwa memorandum kabinet Tuan Samuel ada menyinggung mengenai wilayah protektorat Inggris dan saya sampaikan kepada Tuan Samuel waktu itu bahwa wilayah protektorat Inggris memang hal yang mustahil terwujud dan Sir M. Sykes mestinya tidak menyinggungnya tanpa menjelaskan kemustahilannya'.[79]
  12. ^ Isi telegram yang ditujukan kepada Sazonov dapat dibaca di [82]
  13. ^ Dalam rangka memastikan mana yang harus diterima dan mana yang harus ditolak oleh kaum Sionis, saya berpedoman pada telegram dari anda serta ingatan saya akan isi memorandum Tuan Samuel kepada kabinet pada bulan Maret 1915. Dalam telegram dikatakan bahwa rezim internasional bukan bentuk yang tepat dan dalam memorandum dikatakan bahwa dominion Prancis juga bukan bentuk yang tepat. Di lain pihak [? Prancis terlewatkan] [jika sikap Picot betul-betul mencerminkan sikap pemerintah Prancis] tidak akan pernah setuju kalau Inggris yang berkuasa untuk sementara waktu maupun menyelenggarakan pemerintahan sementara di Palestina, sekalipun kita iming-imingi Siprus sebagai hadiah dan mengangkat orang Prancis menjadi gubernur atas Yerusalem, Betlehem, Nasaret, dan Yafo. Tampaknya hal ini tidak dapat mereka terima dengan lapang dada, dan tindakan mengungkit hal ini tampaknya cuma membangkitkan segala kenangan buruk yang mengesalkan hati mereka mulai dari masalah Jeanne d'Arc sampai ke masalah Fasyoda
  14. ^ Sykes mendapat teguran resmi dari Grey, Buchanan harus menyuruh Sykes 'untuk melupakan bahwa memorandum kabinet Tuan Samuel ada menyinggung mengenai wilayah protektorat Inggris dan saya sampaikan kepada Tuan Samuel waktu itu bahwa wilayah protektorat Inggris memang hal yang mustahil terwujud dan Sir M. Sykes mestinya tidak menyinggungnya tanpa menjelaskan kemustahilannya'.[79]
  15. ^ Pada tahun 1919, Nahum Sokolow menggambarkan jalannya pertemuan tersebut sebagai berikut: "Tanggal 7 Februari 1917 merupakan sebuah titik balik dalam sejarah... Pada permulaan tahun 1917, Sir Mark Sykes menjalin keakraban dengan Dr. Weizmann serta penulis sendiri, dan diskusi-diskusi yang dilakukan beliau dengan Dr. Weizmann akhirnya bermuara pada pertemuan tanggal 7 Februari 1917, yang menandai awal dari negosiasi-negosiasi resmi. Selain Sir Mark Sykes, orang-orang yang ikut hadir dalam pertemuan ini adalah Lord Rothschild, Tuan Herbert Bentwich, Tuan Joseph Cowen, Dr. M. Gaster (yang rumahnya dijadikan tempat pertemuan), Tuan James de Rothschild, Tuan Harry Sacher, Yang Terhormat Tuan Herbert Samuel Anggota Parlemen, Dr. Chaim Weizmann, dan penulis sendiri. Perbincangan membuahkan hasil yang memuaskan, dan diputuskan untuk meneruskan ikhtiar ini."[96]
  16. ^ Sykes juga memberitahu kaum Sionis bahwa ia akan mengadakan pertemuan dengan Picot esok hari dan Sokolow ditunjuk Rothschild untuk ikut menghadiri pertemuan tersebut yang menurut rencana akan dilangsungkan di rumah Sykes. Sokolow berhasil memaparkan perjuangan kaum Sionis dan mengungkapkan keinginannya akan sebuah wilayah protektorat Inggris kendati Picot menolak membahas soal ini. Sehari sesudahnya, Sokolow dan Picot melangsungkan pertemuan sendiri di kantor Kedutaan Prancis. Dalam pertemuan ini, Picot mengatakan bahwa "ia sendiri yang akan mengatur agar fakta-fakta tentang Sionisme dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang tepat dan ia akan berusaha sekuat daya untuk mendapatkan simpati dalam bentuk apa saja bagi gerakan tersebut selama masih sejalan dengan pendirian Prancis dalam permasalahan ini."[99]
  17. ^ Setelah meninjau kembali konferensi ini pada tanggal 25 April, kabinet perang "cenderung berpandangan bahwa cepat atau lambat Persetujuan Sykes-Picot mesti dikaji ulang... Tidak ada tindakan apapun yang sekarang harus diambil sehubungan dengan hal ini".[109]
  18. ^ Sykes selaku Kepala Pejabat Politik untuk Pasukan Ekspedisioner Mesir dan Picot selaku Haut-Commissaire Français pour Les Territoires Occupés en Palestine et en Syrie (Komisaris Tinggi untuk [bakal] Wilayah-Wilayah Pendudukan di Palestina dan Suriah), masing-masing menerima surat tugas mereka pada tanggal 3 April dan 2 April.[112][113] Rencananya Sykes dan Picot akan tiba di Timur Tengah pada akhir bulan April, dan melanjutkan pembicaraan sampai akhir bulan Mei.[111]
  19. ^ Panitia Paguyuban Bani Israel (bahasa Italia: Comitato delle università israelitiche) kini bernama Serikat Komunitas Yahudi Italia (bahasa Italia: Unione delle comunità ebraiche italiane, disingkat UCEI)
  20. ^ Pada tahun 1929, pimpinan Sionis Jacob de Haas menulis sebagai berikut: "Pada bulan Mei 1917, menjelang kedatangan Misi Balfour ke Amerika Serikat, President Wilson berusaha meluangkan banyak waktu untuk membicarakan prospek-prospek kaum Sionis terkait Palestina, dan kesempatan ini tidak disia-siakan. Dalam resepsi resmi pertama yang digelar President Wilson untuk menyambut Tuan Balfour, si tamu agung menyebut Brandeis sebagai orang yang ingin ia ajak berbicara empat mata. Ketika berada di Washington, Tuan Balfour merangkum pendiriannya dalam satu kalimat, "saya seorang Sionis." Kendati Balfour dan Brandeis hanya bertemu bilamana sempat, tokoh-tokoh Sionis lainnya bertemu dan membincangkan permasalahan Palestina dengan semua anggota rombongan misi Inggris yang pengertian baiknya perlu ditumbuhsuburkan menurut anggapan Sionis. Tindakan ini dipandang perlu karena ketika itu pembentukan wilayah mandat Amerika untuk Palestina, yakni kebijakan yang tidak disukai Brandeis, tak henti-hentinya dibahas oleh media massa Eropa."[128]
  21. ^ Ronald Graham mengemukakan dalam surat yang ia kirim kepada Lord Hardinge, Wakil Permanen Menteri Luar Negeri (jabatan pegawai negeri sipil atau pegawai negeri bukan menteri yang paling senior di kantor Kementerian Luar Negeri) pada tanggal 13 Juni 1917 sebagai berikut: "Tampaknya karena simpati terhadap pergerakan kaum Sionis, yang sudah diungkapkan oleh Perdana Menteri, Tuan Balfour, Lord R. Cecil, dan pejabat-pejabat lainnya, kita harus bersungguh-sungguh mendukung pergerakan kaum Sionis, sekalipun sampai dengan kebijakan kaum Sionis terumuskan secara lebih jelas dukungan kita mestilah bersifat umum. Oleh karena itu kita harus memetik segala macam keuntungan politik sebanyak mungkin dari hubungan kita dengan Sionisme, dan tidak diragukan lagi bahwa keuntungan tersebut nantinya sangat besar, teristimewa di Rusia, tempat satu-satunya sarana untuk menjangkau orang Yahudi dari kalangan proletariat adalah Sionisme, yang keanggotaannya meliputi sebagian besar warga Yahudi di negara itu."[129]
  22. ^ Weizmann mengemukakan dalam suratnya sebagai berikut: "Dari segala segi tampaknya pemerintah Inggris sudah harus mengungkapkan rasa simpati dan dukungannya terhadap klaim-klaim kaum Sionis atas Palestina. Sesungguhnya pemerintah Inggris hanya perlu mengonfirmasi pandangan yang sudah sering kali diungkapkan kepada kita oleh para petinggi maupun wakil-wakil rakyat yang duduk dalam pemerintahan, dan yang sudah hampir tiga tahun lamanya melandasi negosiasi-negosiasi kita"[130]

Catatan penjelas dan sudut pandang cendekiawan

  1. ^ Renton menjelaskannya sebagai berikut: "Salah satu aspek krusial dari penggambaran Deklarasi Balfour sebagai produk belas kasihan Inggris seperti ini, apabila dibandingkan dengan realpolitik, adalah bahwasanya Inggris memiliki rasa peduli yang alami dan mengakar terhadap hak-hak orang Yahudi, terutama terhadap pemulihan bangsa mereka, yang sudah mendarah daging dalam kebudayaan dan sejarah Inggris. Dengan penyajian seperti ini, Deklarasi Balfour dibuat tampak sebagai peristiwa yang muncul secara alami, seakan-akan sudah ditakdirkan Tuhan. Dengan demikian, Sionisme ditampilkan bukan semata-mata sebagai telos sejarah bangsa Yahudi melainkan juga sejarah bangsa Inggris. Kecenderungan sejarah nasionalis dan sejarah Sionis untuk berkembang menuju satu titik takdir dan penebusan membuka ruang, yang memang perlu ada, bagi penjelasan semacam itu. Dengan demikian diciptakanlah mitos 'proto-Sionisme' Inggris, yang sudah begitu lama memengaruhi historiografi Deklarasi Balfour, sekadar untuk memenuhi kebutuhan para juru propaganda Sionis yang bekerja bagi pemerintah Inggris."[2]
  2. ^ Donald Lewis mengemukakan dalam tulisannya sebagai berikut: "Pokok pikiran dari karya tulis ini adalah bahwasanya dengan menginsafi [filosemitisme Kristen dan Sionisme Kristen] sajalah seseorang dapat memahami pengaruh agama dan kebudayaan yang bahu-membahu menciptakan suatu iklim opini di kalangan elit politik di Inggris yang mendukung Deklarasi Balfour."[7]
  3. ^ Sehubungan dengan rancangan-rancangan Eropa untuk mendorong umat Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan Yahudi berimigrasi ke Palestina, Schölch mengemukakan bahwa "dari sekian banyak proyek dan usaha kolonisasi itu, hanya dua yang berhasil, yakni usaha-usaha pemukiman Serikat Haikal sejak tahun 1868 dan usaha-usaha pemukiman para imigran Yahudi sejak tahun 1882."[9]
  4. ^ LeVine dan Mossberg menjabarkan pokok pikiran ini sebagai berikut: "Cikal bakal Sionisme bukanlah agama Yahudi maupun tradisi, melainkan antisemitisme dan nasionalisme. Cita-cita Revolusi Prancis, yang secara perlahan-lahan menyebar ke seluruh penjuru Eropa, pada akhirnya mencapai daerah Tapal Batas Permukiman di Kekaisaran Rusia dan turut membantu kelahiran Haskalah, atau gerakan Pencerahan Yahudi. Kemunculan Haskalah mengakibatkan perpecahan permanen di kalangan umat Yahudi sedunia, yakni perpecahan antara golongan yang berpegang teguh pada halakah atau visi agama-sentris dari jati diri mereka dan golongan yang mengadopsi sebagian dari retorika rasial pada masa itu serta membuat orang Yahudi menjadi sebuah bangsa. Keadaan ini dibantu oleh gelombang pogrom di Eropa Timur yang mengakibatkan dua juta orang Yahudi terpaksa mengungsi ke tempat lain; kebanyakan mengungsi ke Amerika, tetapi ada pula yang memutuskan untuk mengungsi ke Palestina. Penggerak di balik semua ini adalah gerakan Hobebei Tsion, yang sejak tahun 1882 bergiat mengembangkan suatu jati diri Ibrani yang berbeda dari keyahudian sebagai sebuah agama."[12]
  5. ^ Gelvin mengemukakan dalam tulisannya sebagai berikut: "Kenyataan bahwa nasionalisme Palestina berkembang lebih kemudian daripada Sionisme, dan memang berkembang sebagai tanggapan terhadap Sionisme, sama sekali tidak mengecilkan nasionalisme Palestina maupun membuatnya tidak seabsah Sionisme. Semua gerakan nasionalisme muncul sebagai penentangan terhadap 'pihak lain'. Apa lagi alasan perlunya menjabarkan jati diri anda? Dan semua nasionalisme disifatkan oleh apa yang ditentangnya. Sebagaimana yang sudah kita ketahui, Sionisme itu sendiri muncul sebagai reaksi terhadap gerakan-gerakan antisemit dan nasionalis eksklusioner di Eropa. Jadi keliru jika kita menilai Sionisme lantaran satu dan lain hal tidak seabsah antisemitisme atau nasionalisme-nasionalisme Eropa tersebut. Lagi pula Sionisme itu sendiri juga disifatkan oleh penentangannya terhadap warga pribumi Palestina. Baik slogan 'pendaulatan tanah' maupun slogan 'pendaulatan tenaga kerja', yang menjadi unsur pokok dari tuntutan dominan Sionisme di Yisyub, tercipta sebagai hasil konfrontasi kaum Sionis dengan bangsa Palestina selaku 'pihak lain'."[13]
  6. ^ Defries mengemukakan dalam tulisannya sebagai berikut: "Kendati enggan, Balfour sudah menyetujui usaha-usaha permulaan Chamberlain untuk menolong orang Yahudi mencari wilayah untuk dijadikan sebuah permukiman Yahudi. Menurut penulis biografinya, ia sudah cukup tertarik pada gerakan Sionisme menjelang akhir tahun 1905 sampai-sampai mengizinkan kepala hubungan konstituen Yahudi dalam partainya, Charles Dreyfus, untuk mengatur pertemuan dengan Weizmann. Mungkin sekali hatinya tergelitik oleh penolakan Kongres Sionis terhadap tawaran 'Uganda'. Agaknya mustahil Balfour 'teryakinkan untuk berubah' mendukung Sionisme lantaran pertemuan ini, sebagaimana yang dinyatakan oleh Weizmann dan digembar-gemborkan oleh penulis biografi Balfour. Balfour baru saja meletakkan jabatan perdana menteri ketika berjumpa dengan Weizmann."[19]
  7. ^ Rovner mengemukakan dalam tulisannya sebagai berikut: "Pada musim semi tahun 1903, menteri berusia enam puluh enam tahun yang rewel dalam urusan kerapian berpakaian itu baru saja pulang dari lawatannya ke tanah jajahan Inggris di Afrika... Entah bagaimana caranya sehingga gagasan itu tercetus dalam benaknya, yang jelas Chamberlain menerima Herzl di kantornya cuma beberapa minggu seusai pogrom-pogrom di Kisyinyew. Dengan tatapan yang tajam menembus lensa monokelnya, ia menawarkan bantuan kepada Herzl. "Saya sudah menemukan tanah untuk anda dalam penjalanan lawatan saya," kata Chamberlain kepada Herzl, "yaitu Uganda. Memang letaknya tidak di pesisir, tetapi semakin masuk ke pedalaman semakin bagus iklimnya, bahkan cocok bagi orang Eropa… lalu terbersit dalam pikiran saya, sepertinya ini tanah yang tepat untuk Dr. Herzl." "[22]
  8. ^ Rovner mengemukakan dalam tulisannya sebagai berikut: "Pada sore hari keempat penyelenggaraan kongres, Nordau yang sudah terlihat lelah mengajukan tiga resolusi ke hadapan dewan delegasi, yakni (1) bahwasanya Organisasi Sionis mengarahkan seluruh usaha pemukiman di masa yang akan datang semata-mata ke Palestina; (2) bahwasanya Organisasi Sionis berterima kasih kepada pemerintah Inggris atas tawaran wilayah otonom di Afrika Timur; dan (3) bahwasanya orang Yahudi yang menyatakan kesediaannya untuk mendukung Program Basel sajalah yang dibenarkan menjadi anggota Organisasi Sionis." Zangwill berkeberatan… Ketika Nordau menegaskan bahwa kongres berhak untuk meloloskan resolusi-resolusi tersebut, Zangwill pun berang. "Anda akan didakwa di hadapan pengadilan sejarah," katanya menantang Nordau… Mulai sekitar pukul 1:30 lewat tengah hari, pada hari Minggu tanggal 30 Juli 1905, seorang Sionis dimaknai sebagai orang yang mengusung Program Basel dan satu-satunya "tafsir sah" dari program tersebut yang membatasi kegiatan pemukiman di Palestina saja. Zangwill dan para pendukungnya tidak dapat menerima "tafsir sah" dari Nordau yang mereka yakini akan mengakibatkan penelantaran massa Yahudi dan visi Herzl. Salah seorang teritorialis mengklaim Usisykin beserta para pemilik hak suara yang sehaluan dengannya sudah nyata-nyata "mengubur Sionisme politik"."[23]
  9. ^ Yonathan Mendel mengemukakan dalam tulisannya sebagai berikut: Persentase orang Yahudi di Palestina sebelum kebangkitan Sionisme dan gelombang-gelombang aliyah tidak dapat dipastikan angkanya, tetapi mungkin sekali berkisar antara 2 sampai 5 persen. Menurut catatan-catatan Kesultanan Utsmaniyah, pada tahun 1878, jumlah keseluruhan penduduk di kawasan yang kini menjadi wilayah Israel/Palestina berjumlah 462.465 jiwa pada tahun 1878. Jumlah keseluruhan ini terdiri atas 403.795 jiwa (87%) umat Islam, 43.659 jiwa (10%) umat Kristen, dan 15.011 jiwa (3%) umat Yahudi (dikutip dalam Alan Dowty, Israel/Palestine, Cambridge: Polity, 2008, hlm. 13). Baca juga Mark Tessler, A History of the Israeli–Palestinian Conflict (Bloomington, IN: Indiana University Press, 1994), hlmn. 43 dan 124.[40]
  10. ^ Schneer mengemukakan bahwa: "Deklarasi Balfour tidak dengan sendirinya merupakan sumber masalah di sebuah negeri yang sebelumnya kurang lebih damai, tetapi Deklarasi Balfour juga bukanlah sekadar papan penunjuk arah belaka di sebuah jalan yang tak bersimpang menuju jurang. Tak seorang pun dapat menduga jalan sejarah Palestina andaikata Deklarasi Balfour tidak pernah ada. Apa yang sudah terjadi adalah akibat dari adanya kekuatan-kekuatan dan faktor-faktor yang sama sekali tidak terduga."[44]
  11. ^ Kedourie menjelaskan pernyataan Buku Putih Churchill tahun 1922 sebagai berikut: "... dusta bahwa pemerintah 'senantiasa' menganggap rancangan Henry McMahon mencakup Wilayet Beirut dan Sanjaq Yerusalem, karena nyatanya dalil ini tidak lebih lama umurnya daripada memorandum Hubert Winthrop Young yang terbit pada bulan November 1920"[63]
  12. ^ Sekembalinya dari Petrograd, sesudah menerima teguran resmi, Sykes menyurati Sir Arthur Nicholson katanya, "dari isi telegram anda, saya khawatir sudah menyusahkan anda sehubungan dengan Picot & Palestina. Namun percayalah, belum ada kerugian apa-apa, P sedang senang-senangnya menikmati puri barunya di Armenia, dan S[azonow] kelihatannya gembira dapat lepas dari keharusan untuk menangani orang Armenia dalam jumlah yang lebih banyak daripada yang sanggup ia tolong. Menurut hemat saya, kaum Sionislah yang kini menjadi kunci situasi-masalahnya adalah bagaimana caranya agar mereka dapat merasa puas?...." Isi surat selengkapnya dapat dibaca di [84]
  13. ^ Menurut penuturan banyak pihak, antara lain Schneer, peran serta Gaster dalam memunculkan Deklarasi Balfour telah disepelekan orang. Para ahli, termasuk James Renton, sudah mengusahakan agar peran sertanya kembali dihargai.[95]
  14. ^ Sykes diperkenalkan dengan Weizmann and Sokolow oleh James Aratoon Malcolm, pengusaha Inggris keturunan Armenia, dan L. J. Greenberg, editor surat kabar mingguan The Jewish Chronicle.[89]
  15. ^ Dalam History of Zionism yang ditulisnya, Sokolow mengemukakan bahwa ia menjumpai para kardinal dan beraudiensi dengan Sri Paus, tetapi tidak memerinci lebih lanjut.[120] Sokolow menulis tiga laporan mengenai isi pembicaraannya dengan Sri Paus. Satu laporan tulis tangan dalam bahasa Prancis, yang dijadikan acuan oleh Minerbi "karena pembicaraan tersebut mungkin sekali berlangsung dalam dalam bahasa Prancis dan karena laporan tersebut ditulis tangan sendiri oleh Sokolow segera sesudah pertemuan berakhir"[121][122] dan dua laporan lainnya "diketik dalam bahasa Italia beberapa hari seusai audiensi".[121][122] Kreutz, mengikuti Stein, mewanti-wanti bahwa laoran-laporan itu "tentu saja tidak boleh dianggap sebagai sebuah catatan verbatim"[123][124] Minerbi menerjemahkannya sebagai berikut: "Sokolow: Hati saya benar-benar tersentuh bila mengenang kembali peristiwa-peristiwa bersejarah itu. Memang sudah sepatutnya demikian. Izinkanlah saya untuk menambahkan bahwa Roma yang dulu membinasakan Yudea sudah mendapatkan balasan yang setimpal. Roma sudah tiada, sementara orang Yahudi bukan saja masih hidup sampai sekarang, melainkan juga masih cukup berdaya untuk mengklaim kembali negeri mereka. Sri Paus: Ya, ya, memang sudah ditakdirkan demikian; sudah kehendak Tuhan... Sri Paus:...Tetapi hal-ihwal tempat-tempat suci adalah persoalan yang sangat penting bagi kami. Hak-hak suci harus tetap lestari. Kami akan mengatur hal ini dengan Gereja maupun negara-negara Adidaya. Anda harus menghormati hak-hak ini seutuh-utuhnya... Hak-hak ini sudah setua ratusan tahun, dijamin dan dilestarikan oleh semua pemerintahan."
  16. ^ Sekalipun surat tersebut sudah diserahkan Sokolow kepada Ronald Graham, Picot dipanggil ke London pada akhir bulan Oktober untuk menghadiri rapat kabinet dan menjelaskan pendirian Prancis dalam hal pergerakan kaum Sionis. Kaufman mengutip pendapat Stein bahwa mungkin saja dokumen tersebut tidak diteruskan kepada Lord Balfour dan mungkin pula Lord Barfour lupa akan keberadaan surat itu. Selain itu Kaufman juga mengutip pendapat Verete bahwa dokumen tersebut mungkin sekali sudah hilang.[127]
  17. ^ Milner dijadikan anggota kabinet karena pernah bertugas sebagai Komisaris Tinggi untuk Kawasan Selatan Afrika semasa Perang Boer II, perang berskala besar terakhir yang melibatkan Inggris sebelum meletusnya Perang Dunia I
  18. ^ Quigley menulis sebagai berikut: "Deklarasi yang selama ini disebut sebagai Deklarasi Balfour semestinya disebut "Deklarasi Milner" karena sesungguhnya Milnerlah yang menyusunnya, dan rupa-rupanya Milner pula yang paling gigih memperjuangkannya dalam rapat kabinet perang. Fakta ini baru diungkap kepada publik pada tanggal 21 Juli 1937. Ketika itu William Ormsby-Gore, atas nama pemerintah Inggris, mengemukakan di hadapan sidang Majelis Rakyat Jelata bahwa, "draf yang mula-mula diajukan oleh Lord Balfour bukanlah draft akhir yang disetujui kabinet perang. Draf yang disetujui kabinet perang dan kemudian disetujui pula oleh pemerintah negara-negara Blok Sekutu serta pemerintah Amerika Serikat... dan akhirnya terwujud dalam Mandat Liga Bangsa-Bangsa, sesungguhnya disusun oleh Lord Milner. Draf akhir memang harus dikeluarkan atas nama Menteri Luar Negeri, tetapi penyusunnya adalah Lord Milner."[149]

Kutipan

  1. ^ Renton 2007, hlm. 2.
  2. ^ Renton 2007, hlm. 85.
  3. ^ Schölch 1992, hlm. 44.
  4. ^ a b Stein 1961, hlm. 5–9.
  5. ^ a b Liebreich 2004, hlm. 8–9.
  6. ^ Schölch 1992, hlm. 41.
  7. ^ Lewis 2014, hlm. 10.
  8. ^ a b c Friedman 1973, hlm. xxxii.
  9. ^ Schölch 1992, hlm. 51.
  10. ^ a b Cleveland & Bunton 2016, hlm. 229.
  11. ^ a b Cohen 1989, hlm. 29–31.
  12. ^ a b c LeVine & Mossberg 2014, hlm. 211.
  13. ^ Gelvin 2014, hlm. 93.
  14. ^ Rhett 2015, hlm. 106.
  15. ^ Cohen 1989, hlm. 31–32.
  16. ^ Cohen 1989, hlm. 34–35.
  17. ^ a b Rhett 2015, hlm. 107–108.
  18. ^ Weizmann 1949, hlm. 93–109.
  19. ^ Defries 2014, hlm. 51.
  20. ^ Klug 2012, hlm. 199–210.
  21. ^ Hansard, Aliens Bill: HC Deb 02 Mei 1905 jld 145 cc768-808; dan Aliens Bill, HC Deb 10 Juli 1905 jld 149 cc110-62
  22. ^ Rovner 2014, hlm. 51–52.
  23. ^ Rovner 2014, hlm. 81.
  24. ^ Rovner 2014, hlm. 51–81.
  25. ^ Weizmann 1949, hlm. 111.
  26. ^ a b Lewis 2009, hlm. 73–74.
  27. ^ Penslar 2007, hlm. 138–139.
  28. ^ a b Gutwein 2016, hlm. 120–130.
  29. ^ Schneer 2010, hlm. 129–130: "Baron James memohon dengan sangat kepadanya..."
  30. ^ a b Schneer 2010, hlm. 130.
  31. ^ a b Cooper 2015, hlm. 148.
  32. ^ Stein 1961, hlm. 66–67.
  33. ^ Schneer 2010, hlm. 110.
  34. ^ Fromkin 1990, hlm. 294.
  35. ^ Tamari 2017, hlm. 29.
  36. ^ Cleveland & Bunton 2016, hlm. 38.
  37. ^ Quigley 1990, hlm. 10.
  38. ^ Friedman 1973, hlm. 282.
  39. ^ Della Pergola 2001, hlm. 5 dan Bachi 1974, hlm. 5
  40. ^ Mendel 2014, hlm. 188.
  41. ^ Friedman 1997, hlm. 39–40.
  42. ^ a b Tessler 2009, hlm. 144.
  43. ^ Neff 1995, hlm. 159–164.
  44. ^ Schneer 2010, hlm. 14.
  45. ^ Schneer 2010, hlm. 32.
  46. ^ Büssow 2011, hlm. 5.
  47. ^ Reid 2011, hlm. 115.
  48. ^ Defries 2014, hlm. 44.
  49. ^ a b Lewis 2009, hlm. 115–119.
  50. ^ Weizmann 1983, hlm. 122.
  51. ^ Huneidi 2001, hlm. 79–81.
  52. ^ Weizmann 1983, hlm. 122b.
  53. ^ Weizmann 1983, hlm. 126.
  54. ^ Kamel 2015, hlm. 106.
  55. ^ Huneidi 2001, hlm. 83.
  56. ^ a b Billauer 2013, hlm. 21.
  57. ^ Lieshout 2016, hlm. 198.
  58. ^ Defries 2014, hlm. 50.
  59. ^ Cohen 2014, hlm. 47.
  60. ^ Lewis 2009, hlm. 115.
  61. ^ Lloyd George 1933, hlm. 50.
  62. ^ Posner 1987, hlm. 144.
  63. ^ Kedourie 1976, hlm. 246.
  64. ^ Kattan 2009, hlm. xxxiv (Peta 2), dan hlm. 109.
  65. ^ Kamel 2015, hlm. 109.
  66. ^ Sanders 1984, hlm. 347.
  67. ^ a b Huneidi 2001, hlm. 65.
  68. ^ Antonius 1938, hlm. 169.
  69. ^ Huneidi 2001, hlm. 65–70.
  70. ^ Kattan 2009, hlm. 103.
  71. ^ Kattan 2009, hlm. 101.
  72. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Balfour1919
  73. ^ Kedourie 2013, hlm. 66.
  74. ^ a b Dockrill & Lowe 2002, hlm. 539–543, isi memorandum bersama selengkapnya.
  75. ^ a b Ulrichsen & Ulrichsen 2014, hlm. 155–156.
  76. ^ a b c Schneer 2010, hlm. 75–86.
  77. ^ a b Khouri 1985, hlm. 8–10
  78. ^ a b Kedourie 2013, hlm. 81.
  79. ^ a b Lieshout 2016, hlm. 196.
  80. ^ Halpern 1987, hlm. 48, 133.
  81. ^ Rosen 1988, hlm. 61.
  82. ^ Jeffries 1939, hlm. 112-114.
  83. ^ Friedman 1973, hlm. 119-120.
  84. ^ Kedourie, Elie (1970). "Sir Mark Sykes and Palestine 1915-16". Middle Eastern Studies. 6 (3): 340–345. doi:10.1080/00263207008700157. JSTOR 4282341. 
  85. ^ Dockrill & Lowe 2001, hlm. 228–229.
  86. ^ Lieshout 2016, hlm. 189.
  87. ^ Shlaim 2005, hlm. 251–270.
  88. ^ Hourani 1981, hlm. 211.
  89. ^ a b c Gutwein 2016, hlm. 117–152.
  90. ^ Mathew 2013, hlm. 231–250.
  91. ^ Woodward 1998, hlm. 119–120.
  92. ^ a b Woodfin 2012, hlm. 47–49.
  93. ^ Grainger 2006, hlm. 81–108.
  94. ^ Grainger 2006, hlm. 109–114.
  95. ^ Renton 2004, hlm. 149.
  96. ^ Sokolow 1919, hlm. 52.
  97. ^ a b Schneer 2010, hlm. 198.
  98. ^ Stein 1961, hlm. 373; Stein mengutip isi catatan Sokolow yang tersimpan di Pusat Arsip Sionis.
  99. ^ Schneer 2010, hlm. 200.
  100. ^ Schneer 2010, hlm. 198–200.
  101. ^ a b Zieger 2001, hlm. 97–98.
  102. ^ Zieger 2001, hlm. 91.
  103. ^ Zieger 2001, hlm. 58.
  104. ^ Zieger 2001, hlm. 188–189.
  105. ^ a b Schneer 2010, hlm. 209.
  106. ^ Brecher 1993, hlm. 642–643.
  107. ^ a b Grainger 2006, hlm. 66.
  108. ^ a b Wavell 1968, hlm. 90–91.
  109. ^ a b Lieshout 2016, hlm. 281.
  110. ^ Grainger 2006, hlm. 65.
  111. ^ a b Schneer 2010, hlm. 227–236.
  112. ^ Laurens 1999, hlm. 305.
  113. ^ a b Lieshout 2016, hlm. 203.
  114. ^ Schneer 2010, hlm. 210.
  115. ^ Schneer 2010, hlm. 211.
  116. ^ Schneer 2010, hlm. 212.
  117. ^ Schneer 2010, hlm. 214.
  118. ^ Schneer 2010, hlm. 216.
  119. ^ Friedman 1973, hlm. 152.
  120. ^ Sokolow 1919, hlm. 52–53.
  121. ^ a b Minerbi 1990, hlm. 63–64, 111.
  122. ^ a b Minerbi 1990, hlm. 221; mengutip CZA Z4/728 untuk versi bahasa Prancisnya dan CZA A18/25 untuk versi bahasa Italianya..
  123. ^ Stein 1961, hlm. 407.
  124. ^ Kreutz 1990, hlm. 51.
  125. ^ Manuel 1955, hlm. 265–266.
  126. ^ Kedourie 2013, hlm. 87.
  127. ^ a b Kaufman 2006, hlm. 385.
  128. ^ de Haas 1929, hlm. 89–90.
  129. ^ Friedman 1973, hlm. 246.
  130. ^ Weizmann 1949, hlm. 203.
  131. ^ Palestina dan Deklarasi Balfour, Risalah Kabinet, Januari 1923
  132. ^ Rhett 2015, hlm. 16.
  133. ^ Friedman 1973, hlm. 247.
  134. ^ a b Rhett 2015, hlm. 27.
  135. ^ a b Rhett 2015, hlm. 26.
  136. ^ a b Stein 1961, hlm. 466.
  137. ^ a b c Hurewitz 1979, hlm. 102.
  138. ^ Adelson 1995, hlm. 141.
  139. ^ Hansard, [http://hansard.millbanksystems.com/written_answers/1917/mar/14/war-cabinet Kabinet Perang Inggris : HC Deb 14 Maret 1917 jld. 91 cc1098-9W
  140. ^ Lebow 1968, hlm. 501.
  141. ^ Hurewitz 1979, hlm. 103.
  142. ^ Hurewitz 1979, hlm. 104.
  143. ^ Hurewitz 1979, hlm. 105.
  144. ^ Hurewitz 1979, hlm. 106.
  145. ^ a b c d e f g h i Stein 1961, hlm. 664: "Apendiks: Urutan draf dan teks akhir Deklarasi Balfour"
  146. ^ Lieshout 2016, hlm. 219.
  147. ^ a b Halpern 1987, hlm. 163.
  148. ^ Rhett 2015, hlm. 24.
  149. ^ Quigley 1981, hlm. 169.
  150. ^ Rubinstein 2000, hlm. 175–196.
  151. ^ Huneidi 1998, hlm. 33.
  152. ^ Caplan, Neil (2011-09-19). The Israel-Palestine Conflict: Contested Histories (dalam bahasa Inggris). John Wiley & Sons. ISBN 978-1-4443-5786-8. 
  153. ^ a b Gelvin, James L.; Gelvin, Professor of History James L. (2005-08). The Israel-Palestine Conflict: One Hundred Years of War (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. hlm. 82. ISBN 978-0-521-85289-0. 
  154. ^ Kattan, Victor (2009-07-15). From Coexistence to Conquest: International Law and the Origins of the Arab-Israeli Conflict 1891-1949 (dalam bahasa Inggris). Pluto Press. hlm. 60–61. ISBN 978-0-7453-2579-8. 
  155. ^ Bassiouni, M.; Fisher, Eugene (2012-12-13). "The Arab-Israeli Conflict--Real and Apparent Issues: An Insight Into Its Future from the Lessons of the Past". St. John's Law Review. 44 (3): 431. 

Daftar pustaka

Karya yang dikhususkan

Sejarah umum

Karya buatan pihak-pihak yang terlibat

Pranala luar