Hamka

ulama, sastrawan, dan politisi Indonesia beretnis Minangkabau
Revisi sejak 27 Desember 2015 03.11 oleh Nohirara (bicara | kontrib) (Membalikkan revisi 10468167 oleh 202.67.42.35 (bicara): referensi?)

Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah, pemilik nama pena Hamka (17 Februari 1908 – 24 Juli 1981) adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia. Ia melewatkan waktunya sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia terjun dalam politik melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif dalam Muhammadiyah sampai akhir hayatnya. Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo, Jakarta mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia.

Abdul Malik Karim Amrullah
Berkas:Buya Hamka.jpeg
Lahir(1908-02-17)17 Februari 1908
Belanda Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam, Sumatera Barat
Meninggal24 Juli 1981(1981-07-24) (umur 73)
Indonesia Jakarta
Nama penaHamka
KebangsaanIndonesia Indonesia
TemaRoman, tafsir Al-Quran, sejarah Islam
Aliran sastraBalai Pustaka
Karya terkenalTafsir Al-Azhar
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
Di Bawah Lindungan Ka'bah
PasanganSitti Raham
Sitti Khadijah
Orang tuaAbdul Karim Amrullah (ayah)
KerabatAhmad Rasyid Sutan Mansur (kakak ipar)

Dibayangi nama besar ayahnya Abdul Karim Amrullah, Hamka sering melakukan perjalanan jauh sendirian. Ia meninggalkan pendidikannya di Thawalib, menempuh perjalanan ke Jawa dalam usia 16 tahun. Setelah setahun melewatkan perantauannya, Hamka kembali ke Padangpanjang membesarkan Muhammadiyah. Pengalamannya ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki diploma dan kritik atas kemampuannya berbahasa Arab melecut keinginan Hamka pergi ke Mekkah. Dengan bahasa Arab yang dipelajarinya, Hamka mendalami sejarah Islam dan sastra secara otodidak. Kembali ke Tanah Air, Hamka merintis karier sebagai wartawan sambil bekerja sebagai guru agama sementara waktu di Medan. Dalam pertemuan memenuhi kerinduan ayahnya, Hamka mengukuhkan tekadnya untuk meneruskan cita-cita ayahnya dan dirinya sebagai ulama dan sastrawan. Kembali ke Medan pada 1936 setelah pernikahannya, ia menerbitkan majalah Pedoman Masyarakat. Lewat karyanya Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, nama Hamka melambung sebagai sastrawan.

Selama revolusi fisik, Hamka bergerilya dalam Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) menyusuri hutan pengunungan di Sumatera Barat untuk menggalang persatuan menentang kembalinya Belanda. Pada 1950, Hamka membawa keluarga kecilnya ke Jakarta. Meski mendapat pekerjaan di Departemen Agama, Hamka mengundurkan diri karena terjun di jalur politik. Dalam pemilihan umum 1955, Hamka dicalonkan Masyumi sebagai wakil Muhammadiyah dan terpilih duduk di Konstituante. Ia terlibat dalam perumusan kembali dasar negara. Sikap politik Maysumi menentang komunisme dan gagasan Demokrasi Terpimpin memengaruhi hubungannya dengan Sukarno. Usai Masyumi dibubarkan sesuai Dekret Presiden 5 Juli 1959, Hamka menerbitkan malalah Panji Masyarakat tetapi berumur pendek, dibredel oleh Sukarno setelah menurunkan tulisan Hatta—yang telah mengundurkan diri sebagai wakil presiden—berjudul "Demokrasi Kita". Seiring meluasnya pengaruh komunis, Hamka dan karya-karyanya diserang oleh organisasi kebudayaan Lekra. Tuduhan melakukan gerakan subversif membuat Hamka diciduk dari rumahnya ke tahanan Sukabumi pada 1964. Dalam keadaan sakit sebagai tahanan, ia merampungkan Tafsir Al-Azhar.

Seiring peralihan kekuasaan ke Suharto, Hamka dibebaskan pada Januari 1966. Ia mendapat ruang pemerintah, mengisi jadwal tetap ceramah di RRI dan TVRI. Ia mencurahkan waktunya membangun kegiatan dakwah di Masjid Al-Azhar. Ketika pemerintah menjajaki pembentukan MUI pada 1975, peserta musyawarah memilih dirinya sebagai ketua. Namun, Hamka memilih meletakkan jabatannya pada 19 Mei 1981, menanggapi tekanan Menteri Agama untuk menarik fatwa haram MUI atas perayaan Natal bersama bagi umat Muslim. Ia meninggal pada 24 Juli 1981 dan jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta.

Kehidupan awal

Masa kecil

 
Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka yang dijadikan museum sejak 2001, tempat Hamka lahir, diasuh dan tinggal bersama anduangnya selama di Maninjau

Abdul Malik, nama kecil Hamka lahir pada 17 Februari 1908 [Kalender Hijriyah: 13 Muharram 1326] di sebuah dusun Nagari Sungai Batang yang berada di tepian Danau Maninjau, Sumatera Barat. Hamka adalah anak sulung dari empat bersaudara dalam keluarga ulama Abdul Karim Amrullah dari istri keduanya Siti Shafiah. Keluarga ayahnya adalah penganut agama yang taat. Abdul Karim Amrullah yang berjulukan Haji Rasul dikenang sebagai ulama pembaru Islam di Minangkabau, putra dari Muhammad Amrullah. Adapun keluarga ibunya lebih terbuka kepada adat. Pandangan ayah Hamka yang berbenturan dengan tradisi adat dan amalan tarekat mendapat penolakan masyarakat—tetapi tidak melakukan pertentangan terbuka karena menaruh hormat kepada Muhammad Amrullah yang disegani sebagai pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah. Setelah Muhammad Amrullah meninggal, ayah Hamka pindah ke Padangpanjang.

Malik masih berusia empat tahun ketika orangtuanya pindah ke Padang. Ia melewati masa kecil di rumah anduangnya, nenek dari garis ibu. Bersama teman-teman sebaya, Hamka kecil menghabiskan waktu bermain di Danau Maninjau. Mengikuti tradisi anak-anak laki-laki di Minangkabau, Malik belajar mengaji di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal.[1] Pada usia enam tahun, Malik diajak pindah ayahnya ke Padang Panjang, belajar mengaji pada ayahnya sendiri. Malik sempat mendapatkan pengetahuan umum seperti berhitung dan membaca saat masuk ke Sekolah Desa pada tahun 1915, tetapi berhenti setelah tamat kelas dua.[2][3][4][a] Lokasi Sekolah Desa berada di Guguk Malintang, menempati kawasan tangsi militer sehingga memengaruhi pergaulan Malik. Hajir Rasul berencana menyekolahkan Malik di Sekolah Gubernemen tetapi kelas telanjur penuh. Malik kecil membawa perangai nakal karena sering menyaksikan perkelahian antara murid kedua sekolah—karena murid Sekolah Gubernemen memandang rendah murid Sekolah Desa.

Pada 1916, Zainuddin Labay El Yunusy membuka sekolah agama Diniyah School yang menerapkan sistem kelas di Pasar Usang. Sambil tetap belajar setiap pagi di Sekolah Desa, ia belajar setiap sore di Diniyah School.[5] Diniyah School mengajarkan bahasa Arab dan materi yang diadaptasi dari buku-buku sekolah rendah Mesir. Namun sejak dimasukkan ke Thawalib oleh ayahnya pada tahun 1918, ia tidak dapat lagi mengikuti pelajaran di Sekolah Desa.[6][7] Ia belajar di Diniyah School setiap pagi, sementara sorenya belajar di Thawalib dan malamnya kembali ke surau.[8] Kebanyakan murid Thawalib adalah remaja yang lebih tua dari Malik karena beratnya materi yang dihafalkan. Kegiatan Hamka kecil setiap hari yang demikian diakuinya membosankan dan mengekang kebebasan masa kanak-kanaknya.[9]

Saat berusia 12 tahun, Malik menyaksikan perceraian orangtuanya. Haji Rasul menceraikan Siti Shafiah dan membawa Malik tinggal di Padangpanjang. Hari-hari pertama setelah perceraian, Malik tak masuk sekolah, menghabiskan waktu berpergian berkeliling kampung. Ketika berjalan di pasar, ia menyaksikan seorang buta yang sedang meminta sedekah. Malik yang iba menuntun dan membimbing peminta itu berjalan ke tempat keramaian untuk mendapatkan sedekah sampai mengantarkannya pulang. Namun, ibu tirinya memarahinya saat mendapati Malik di pasar hari berikutnya, "Apa yang awak lakukan itu memalukan ayahmu." Malik pernah pula berjalan kaki menuju Maninjau yang jauhnya 40 km dari Padangpanjang untuk memenuhi kerinduan terhadap ibunya. Setelah lima belas hari Malik meninggalkan sekolah, seorang guru dari Thawalib yang menyangka Malik sakit datang ke rumah, menyampaikan ketidakhadiran Malik. Mengetahui anaknya membolos, Abdul Karim Amrullah marah dan menampar anaknya; tetapi segera memeluk Malik dan meminta maaf.

Perceraian orangtua

Dibayang-bayangi ketakutan terhadap ayahnya, Malik kembali memasuki kelas belajar seperti biasa. Pagi belajar di Sekolah Diniyah, pulang sebentar, berangkat ke Thawalib dan kembali ke rumah menjelang Magrib untuk bersiap pergi mengaji. Ketika ia menemukan bahwa gurunya Zainuddin Labay El Yunusy baru saja membuka bibilotek, tempat penyewaan buku, Malik pergi menyewa buku setiap hari. Setelah rampung membaca, biasanya Malik akan menyalin versinya sendiri. Kadang Malik remaja mengirim surat cinta yang disadurnya dari buku-buku kepada teman perempuan sebayanya. Karena kehabisan uang untuk menyewa, Malik menawarkan diri kepada percetakan milik Bagindo Sinaro tempat koleksi buku diberi lapisan karton sebagai pelindung untuk mempekerjakannya. Ia membantu memotong karton, membuat adonan lem sebagai perakat buku, sampai membuatkan kopi, tetapi sebagai upahnya, ia meminta agar diperbolehkan membaca koleksi buku yang akan disewakan tersebut. Dalam waktu tiga jam sepulang dari Diniyah sebelum berangkat ke Thawalib, Malik mengatur waktunya agar punya waktu membaca. Karena hasil kerjanya yang rapi, ia diperbolehkan membawa buku baru yang belum diberi karton untuk dikerjakan di rumah. Ayahnya yang sering mendapati Malik membaca buku cerita sempat memberi pilihan, "Apakah engkau akan menjadi orang alim nanti atau menjadi orang tukang cerita?"[10][11] Setiap mengetahui ayahnya memperhatikan, Malik meletakkan buku cerita yang dibacanya, mengambil buku agama dan berupra-pura membaca.

Berkas:Masjid Jamik Parabek.PNG
Masjid Jamik Parabek

Permasalahan keluarga membuat Malik sering berpergian jauh seorang diri. Ia meninggalkan kelasnya di Diniyah dan Thawalib, menempuh perjalanan ke Maninjau mengunjungi ibunya. Namun, ia merasa tidak mendapat perhatian sejak ibunya telah menikah lagi dengan seorang saudagar Aceh. Malik didera kebingungan untuk memilih tinggal dengan ibunya atau ayahnya. "Pergi ke rumah ayah bertemu ibu tiri, ke rumah ibu, ada ayah tiri." Mengobati hatinya, Malik mencari pergaulan dengan anak-anak muda Maninjau. Ia turut berlajar silat dan randai, tetapi yang disenanginya adalah mendengar kaba, kisah-kisah yang dinyanyikan bersama alat-alat musik tradisional Minangkabau. Ia berjalan lebih jauh sampai ke Bukittinggi dan Payakumbuh, sempat bergaul dengan penyabung ayam dan joki pacuan kuda. Seorang pamannya, Engku Muaro yang risau melihat sang kemenakan mengantar Malik mengaji dengan seorang ulama Syekh Ibrahim Musa di Parabek, sekitar 5 km dari Bukittinggi saat Malik berusia 14 tahun.[5] Untuk pertama kalinya, Hamka hidup mandiri di Parabek.

Selama belajar di Parabek, Malik remaja mulai berlajar memenuhi kebutuhan harian sebagai santri. Meskipun belajar membawakan diri, kenakalannya masih terbawa. Malik pernah jail menakuti penduduk sekitar asrama yang mengaitkan wabah demam di Parabek dengan keberadaan hantu. Karena tak peraya dan ingin membuktikan bahwa hal tersebut hanya tahayul, Malik menyamar menyerupai ciri-ciri hantu yang berwujud seperti hariamau. Dengan mengenakan serban dan mencoret-coret mukanya degan kapur, Malik berjalan keluar asrama menyembunyikan badannya dalam selimut yang tak terlihat karena malam. Orang-orang yang melihat dan ketakutan keesokan hari berencana membuat perangkap, tetapi Malik segera memberi tahu teman seasramanya tentang kejailannya, meyakinkan bahwa hantu tersebut tidak ada.

Selama berasrama, Malik memanfaatkan hari Sabtu yang dibebaskan untuk keluar ke pasar membeli barang keperluan, pergi berkeliling kampung sekitar Parabek. Waktu yang dinantikannya adalah menyaksikan perlombaan burung balam di Kampung Durian. Sebelum perlombaan dimulai, diadakan pidato sambutan dari setiap penghulu. Malik mendapati dirinya tertarik mendengar pidato-pidato tersebut dan berikutnya mencari waktu saat pelantikan penghulu, saat para tetua adat yang mahir berpidato adat berkumpul. Dari sana, Malik mulai mencatat sambil menghafal petikan-petikan pantun dan diksi dalam pidato adat. Demi mendalami minatnya, ia mendatangi beberapa penghulu untuk berguru pidato adat. Kecenderungannya ini kelak membuat keluarga ibunya mewariskan gelar pusaka yang sudah lama tak dipakai, Datuk Indomo kepada Malik.

Perantauan

Malik sering menempuh perjalanan jauh sendirian, berkelana ke sejumlah tempat di Minangkabau sehingga ayahnya memberi julukan "Si Bujang Jauh".[10] Dalam usia baru menginjak 15 tahun, Malik telah berniat pergi ke pulau Jawa. Ia kabur dari rumah, pergi tanpa meminta izin ayahnya. Ia hanya pamit kepada anduangnya di Maninjau. Dari sana Malik memulai perjalanan dengan bekal ongkos yang diberikan andungnya. Ia menempuh perjalanan melalui darat dengan singgah terlebih dahulu di Bengkulu, berencana menemui kerabat satu suku dari ibunya untuk meminta tambahan ongkos. Ketika sampai di pelabuhan dekat Bengkulu, Malik yang merasakan tubuhnya panas sempat bermalam sampai dua hari. Ia mendapat pertolongan dari seorang saudagar yang mengantarnya sampai ke Ketahun. Dalam kondisi sakit, Malik meneruskan perjalan ke Napal Putih dan setelah itu diantarkan ke kerabatnya, sementara tubuhnya mulai diserang cacar. Setelah dua bulan meringkuk menunggu kesehatannya pulih, Malik dipulangkan ke Maninjau. Ia menemui neneknya, sebelum pulang ke Padangpanjang. Bekas luka cacar menyisakan bopeng di sekujur tubuhnya membuat Malik dihindari teman dan kerabatnya.[12]

 
Danau Maninjau, pemandangan sebelah barat Nagari Sungai Batang

Pada Juli 1924, Malik memulai perjalanannya ke Jawa. Malik mengungkapkan keinginannya dan meminta restu kepada ayahnya untuk merantau, berjanji akan belajar agama kepada Ahmad Rasyid Sutan Mansur. Dalam perhentian pertama di Yogyakarta, Malik bertemu dengan pamannya Jafar Amrullah.[13][14] Malik mengambil waktu belajar kepada Bagoes Hadikoesoemo, mempelajari tafsir Baidhawi. Setelah diperkenalkan dengan Sarekat Islam, ia bergabung menjadi anggota dan mendapat kelas belajar kepada HOS Tjokroaminoto, Fakhruddin, dan Suryopranoto.[15][16] Malik mengikuti kelas dengan tekun, sering bertanya dan menyalin pelajaran yang didapatnya. Dari keterlibatannya dengan perserikatan Islam, Malik melihat perhatian umat Islam di Jawa terhadap pendidikan, berbeda dengan di Minangkabau—karena telah seragam memeluk Islam—yang saat itu memperdebatkan penyimpangan praktik Islam. Setelah melewatkan waktu enam bulan di Yogyakarta, Malik meneruskan perjalanan ke Pekalongan, memenuhi janjinya untuk bertemu kakak iparnya Ahmad Rasyid Sutan Mansur. Dari kakak iparnya, Malik mendapatkan kesempatan mengikuti berbagai pertemuan Muhammadiyah dan berlatih berpidato di depan umum. Menyusul ditundanya Kongres Kekhalifahan Internasional pada 1924, ayahnya yang urung berangkat ke Mesir menyempatkan berkunjung ke Pekalongan, meninggalkan pesan kepada Hamka agar kembali ke Padangpanjang untuk membantu membendung penyebaran paham komunis.[17][18] "Kamu harus terus berada di sini bagi meneruskan tanggung jawab menjaga ummah," pesan ayahnya.

Saat kembali ke Padangpanjang, propoganda Partai Komunis Indonesia telah memengaruhi murid-murid Thawalib. Malik menjalankan pesan ayahnya. Ia menuangkan pengetahuannya ke dalam majalah Tabligh Muhammadiyah yang dirintisnya. Gurunya Zainuddin dan pemilik percetakan Bagindo Sinaro ikut membantu pembuatan dan distribusi majalah. Pada saat yang sama, Malik harus membagi waktu untuk berpidato, bolak-balik dari Maninjau ke Padangpanjang. Malik mengambil kesempatan untuk tampil berpidato setiap ayahnya usai memberikan tausyiah. Malik rutin berpidato di Padangpanjang. Ia masih menyempatkan waktunya untuk memberikan pelajaran berpidato. Beberapa orang yang belajar kepada Malik, membuat materi pidato sendiri yang akan dikumpulkan Malik untuk diterbitkan dalam sisipan kumpulan pidato majalah Tabligh Muhammadiyah. Malik melengkapi dan menyunting bagian pidato yang diterimanya sebelum diterbitkan, tetapi tetap mencantumkan nama mereka sendiri. Dari kesibukannya menulis dan menyunting naskah pidato, Malik mulai mengetahui dan menuangkan kemampuannya dalam menulis.

Meskipun mendapatkan sambutan baik saat kepulangannya, penerimaan masyarakat terhadap Malik adalah sebatas mubalig yang hanya berpidato. Dalam membacakan ayat atau kalimat bahasa Arab, Malik tidak fasih karena tidak memahami tata letak bahasa, ilmu nahu dan sharaf. Hal tersebut dikaitkan karena Malik tidak pernah menyelesaikan pendidikannya di Thawalib. Ia pernah dikatakan sebagai "tukang pidato yang tidak berijazah". Ayahnya mengakui bahwa Malik masih belum cukup ilmu walaupun pandai berceramah dan berdebat dalam hal agama. "Pidato-pidato saja adalah percuma, isi dahulu dengan pengetahuan, barulah ada arti dan manfaatnya pidato-pidatomu itu." Malik berasa kecil hati dengan sindiran ayahnya, merenung nasib dirinya yang tak pernah tamat belajar meski telah berpindah-pindah sekolah. Saat Muhammadiyah membuka sekolah di Padangpanjang, dibuka penerimaan guru. Malik bersama banyak teman-temannya yang pulang dari Jawa ikut melamar. Para pelamar diharuskan mengisi formulir yang menerangkan nama, alamat, dan pendidikan disertai lampiran bukti kelulusan seperti diploma atau ijazah. Pada hari pengumuman pelamar yang lolos sebagai guru, Malik tidak lolos karena tidak memiliki diploma. Hal ini menambah kekecewaan Malik sejak kepulangannya, berpikir untuk kembali pergi meninggalkan kampung halamannya.

Menunaikan ibadah haji

 
Suasana pelaksanaan haji di Masjidil Haram, Mekkah. Perjalanan Hamka ke Mekkah pada tahun 1927 meletupkan inspirasi baginya untuk menulis Di Bawah Lindungan Ka'bah

Kepada andungnya, Malik sering menceritakan kesedihan dan perasaannya. Dari andungnya, Malik teringat bahwa saat kelaharinnya ayahnya berjanji akan mengirimnya belajar ke Mekkah, tetapi Malik tak mendapati persiapan ataupun tanda-tanda dirinya akan diberangkatkan. Ketika itu, umur Malik menjelang 19 tahun, sedangkan ayahnya pergi ke Mekkah pada umur 16 tahun. Dari sana, muncul keinginan Malik untuk pergi belajar ke Mekkah. Karena takut kepada ayahnya, Malik menyampaikan niatnya kepada andungnya seorang. Dari hasil menjual kapas milik andungnya, ia dapat berangkat menggunakan kapal laut. Seorang pamannya, Engku Muaro dan beberapa temannya ikut membantu biaya perjalanan. Pada Februari 1927 bertepatan dengan bulan Rajab, Malik memulai perjalanan ke Mekkah. Ia memilih bulan Rajab karena bertepatan dengan keberangkatan jemaah haji Indonesia. Dari Maninjau, ia menempuh perjalanan darat sampai ke Padang karena keterbatasan ongkos.

Sampai di Mekkah, ia mendapat tumpangan di rumah Syekh Amin Idris. Untuk memenuhi biaya hidup, ia mengambil pekerjaan sebagai pegawai percetakan. Malik menyempatkan waktu istirahatnya untuk membaca buku-buku agama yang terdapat di gudang percetakan. Selama di Mekkah, ia menjadi koresponden Harian Pelita Andalas sekaligus bekerja di sebuah perusahaan percetakan milik Tuan Hamid, putra Majid Kurdi, yang merupakan mertua dari Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.[19][20] Di tempat ia bekerja itu, ia dapat membaca kitab-kitab klasik, buku-buku, dan buletin Islam dalam bahasa Arab, satu-satunya bahasa asing yang dikuasainya.

Menjelang pelaksanaan ibadah haji berlangsung, Hamka bersama beberapa calon jemaah haji lainnya mendirikan organisasi Persatuan Hindia-Timur, sebuah organisasi yang memberikan pelajaran manasik haji kepada calon jemaah haji asal Indonesia.[21] Setelah menunaikan haji, dan beberapa lama tinggal di Tanah Suci, ia berjumpa dengan Agus Salim dan sempat menyampaikan hasratnya untuk menetap di Mekkah, tetapi Agus Salim justru menasihatinya untuk segera pulang.[22] "Banyak pekerjaan yang jauh lebih penting menyangkut pergerakan, studi, dan perjuangan yang dapat engkau lakukan. Karenanya, akan lebih baik mengembangkan diri di tanah airmu sendiri", ujar Agus Salim.[23] Ia pun segera kembali ke tanah air setelah tujuh bulan bermukim di Mekkah. Namun, bukannya pulang ke Padang Panjang, Hamka malah menetap di Medan, kota tempat berlabuhnya kapal yang membawanya pulang.[24]

Karier di Medan

Selama di Medan, ia banyak menulis artikel di berbagai majalah dan sempat menjadi guru agama selama beberapa bulan di Tebing Tinggi.[25] Ia mengirimkan tulisan-tulisannya untuk surat kabar Pembela Islam di Bandung dan Suara Muhammadiyah yang dipimpin Abdul Rozak Fachruddin di Yogyakarta.[26] Selain itu, ia juga bekerja sebagai koresponden di Harian Pelita Andalas dan menuliskan laporan-laporan perjalanan, terutama perjalanannya ke Mekkah pada tahun 1927. Pada tahun 1928, ia menulis romannya yang pertama dalam bahasa Minangkabau berjudul Si Sabariyah. Pada tahun yang sama, ia diangkat sebagai redaktur Majalah Kemajuan Zaman berdasarkan hasil konferensi Muhammadiyah di Padang Panjang.[27] Setahun berikutnya, ia menulis beberapa buku, antara lain: Agama dan Perempuan, Pembela Islam, Adat Minangkabau, Agama Islam, Kepentingan Tabligh, dan Ayat-ayat Mi’raj. Namun, beberapa di antara kayanya tersebut disita karena dianggap berbahaya bagi pemerintah kolonial yang sedang berkuasa ketika itu.

 
Pada 28 Juni 1926, gempa bumi berkekuatan 7,6 SR meluluhlantakkan sebagian besar Padang Panjang, termasuk rumah ayah Hamka di Gatangan, Pasar Usang

Sewaktu di Medan, orang-orang di kampungnya sudah berkali-kali berkirim surat memintanya pulang, tetapi selalu ditolak oleh Hamka. Oleh sebab itu, ayahnya meminta Ahmad Rasyid Sutan Mansur untuk menjemput dan membujuk Hamka pulang.[28] Bujukan kakak iparnya itu akhirnya membuat Hamka luluh, dan kemudian ia pulang ke kampung halamannya di Maninjau, sementara rumah ayahnya di Padang Panjang luluh lantah akibat gempa bumi pada tahun 1926. Setiba di kampung halamannya, ia diterima ayahnya dengan penuh haru hingga menitikkan air mata. Ayahnya terkejut mengetahui Hamka telah berangkat haji dan pergi dengan ongkos sendiri. Ayahnya bahkan berkata, "Mengapa tidak engkau beri tahu bahwa begitu mulia dan suci maksudmu? Abuya (ayah) ketika itu sedang susah dan miskin. Kalau itu maksudmu, tak kayu jenjang dikeping, tak emas bungkal diasah." Mendapat sambutan sehangat itu, ia mulai sadar betapa besar kasih ayahnya terhadap dirinya.[29] Sejak saat itu, pandangan Hamka terhadap ayahnya mulai berubah. Namun, setelah sekitar setahun menetap di Sungai Batang,[30] ia kembali meninggalkan kampung halamannya.

Hamka pindah ke Medan pada tahun 1936.[31] Di Medan, ia bekerja sebagai editor sekaligus menjadi pemimpin redaksi sebuah majalah pengetahuan Islam yang didirikannya bersama M. Yunan Nasution, yaitu Majalah Pedoman Masyarakat.[32][33] Melalui Pedoman Masyarakat, ia untuk pertama kalinya memperkenalkan nama pena "Hamka".[34] Selama di Medan, ia menulis Di Bawah Lindungan Ka'bah, yang terinspirasi dari perjalanannya ke Mekkah pada tahun 1927.[35] Setelah Di Bawah Lindungan Ka'bah diterbitkan pada tahun 1938, ia menulis Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, yang pada awalnya ditulis sebagai cerita bersambung dalam Pedoman Masyarakat.[36] Selain itu, ia juga menerbitkan beberapa roman dan buku-buku lainnya seperti: Merantau ke Deli, Keadilan Ilahi, Tuan Direktur, Angkatan Baru, Terusir, Di Dalam Lembah Kehidupan, Ayahku, Tasawuf Modern, dan Falsafah Hidup.[37][33] Namun pada tahun 1943, Majalah Pedoman Masyarakat yang dipimpinnya dibredel oleh Jepang, yang ketika itu berkuasa di Indonesia.[38]

Pada masa penjajahan Jepang, Hamka diangkat menjadi penasihat Jepang dalam hal agama Islam.[33] Ia juga diangkat sebagai anggota Syu Sangi Kai (semacam DPR) untuk masalah pemerintahan dan keislaman pada tahun 1944. Ia menerima jabatan ini karena ia percaya dengan janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Namun setelah menduduki jabatan ini, ia justru dianggap sebagai kaki tangan penjajah oleh teman-temannya. Ketika Jepang kalah lalu menyerah pada sekutu, Hamka menjadi sasaran kritik yang tak berkesudahan. Inilah yang menyebabkan Hamka keluar dari Medan kembali ke Minangkabau setelah perang revolusi pecah pada tahun 1945. Hamka juga turut berjuang mengusir penjajah. Ia pernah ikut menentang kembalinya Belanda ke Indonesia dengan bergerilya di dalam hutan di Medan.

Karier dan kehidupan selanjutnya

Muhammadiyah

Setelah perkawinannya dengan Sitti Raham,[29] Hamka aktif dalam kepengurusan Muhammadiyah cabang Minangkabau, yang cikal bakalnya bermula dari perkumpulan Sendi Aman yang didirikan oleh ayahnya pada tahun 1925 di Sungai Batang.[39] Selain itu, ia sempat menjadi pimpinan Tabligh School, sebuah sekolah agama yang didirikan Muhammadiyah pada 1 Januari 1930.[40][41]

Sejak menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Solo pada tahun 1928, Hamka tidak pernah absen menghadiri kongres-kongres Muhammadiyah berikutnya. Sekembalinya dari Solo, ia mulai memangku beberapa jabatan, sampai akhirnya ia diangkat sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang. Seusai Muktamar Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi pada tahun 1930, disusul dengan kongres berikutnya di Yogyakarta, ia memenuhi undangan untuk mendirikan cabang Muhammadiyah di Bengkalis.[42] Selanjutnya pada tahun 1932, ia diutus oleh Muhammadiyah ke Makassar dalam rangka mempersiapkan dan menggerakkan semangat rakyat untuk menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 di Makassar.[43] Selama di Makassar, ia sempat menerbitkan Al-Mahdi, majalah pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan.[27] Pada tahun 1934, setahun setelah menghadiri Kongres Muhammadiyah di Semarang, ia diangkat menjadi anggota tetap Majelis Konsul Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Tengah.[41][44]

Kariernya di Muhammadiyah kian menanjak sewaktu ia pindah ke Medan. Pada tahun 1942, bersamaan dengan jatuhnya Hindia Belanda ke dalam tampuk kekuasaan penjajah Jepang, Hamka terpilih menjadi pimpinan Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Timur menggantikan H. Mohammad Said.[45] Namun pada Desember 1945, ia memutuskan kembali ke Minangkabau dan melepaskan jabatan tersebut. Pada tahun berikutnya, ia terpilih menjadi Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto.[46] Jabatan ini ia rengkuh hingga tahun 1949.[47]

Pada tahun 1953, ia terpilih sebagai pimpinan pusat Muhammadyiah dalam Muktamar Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto. Sejak saat itu, ia selalu terpilih dalam Muktamar Muhammadiyah selanjutnya, sampai pada tahun 1971 ia memohon agar tidak dipilih kembali karena merasa uzur.[48] Akan tetapi, ia tetap diangkat sebagai penasihat pimpinan pusat Muhammadiyah sampai akhir hayatnya.[49]

Meninggal dunia

Setelah mengundurkan diri dari jabatan ketua MUI, kesehatannya menurun. Atas anjuran dokter Karnen Bratawijaya, dokter keluarga itu, ia diopname di Rumah Sakit Pusat Pertamina pada 18 Juli 1981, yang bertepatan dengan awal Ramadan.[50].

Pada hari keenam dirawat, ia sempat menunaikan salat Duha dengan bantuan putrinya, Azizah, untuk bertayamum. Siangnya, beberapa dokter datang memeriksa kondisinya, dan kemudian menyatakan bahwa ia berada dalam keadaan koma. Kondisi tersebut tetap berlangsung sampai malam harinya. Tim dokter menyatakan bahwa ginjal, paru-paru dan saraf sentralnya sudah tidak berfungsi lagi, dan kondisinya hanya bisa dipertahankan dengan alat pacu jantung. Pada pukul 10 pagi keesokan harinya, anak-anaknya sepakat untuk mencabut alat pacu jantung, dan Hamka menghembuskan napas terakhirnya tidak lama setelah itu.[51]

Hamka meninggal dunia pada hari Jum'at, 24 Juli 1981 pukul 10 lewat 37 menit dalam usia 73 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumahnya di Jalan Raden Fatah III. Antara pelayat yang hadir untuk memberi penghormatan terakhir dihadiri Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Adam Malik, Menteri Negara Lingkungan Hidup Emil Salim serta Menteri Perhubungan Azwar Anas yang menjadi imam salat jenazahnya.[52] Jenazahnya dibawa ke Masjid Agung dan disalatkan lagi, dan kemudian akhirnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, dipimpin Menteri Agama Alamsjah Ratoe Perwiranegara.[53]

Politik

 
Natsir, Hamka, dan Isa Anshary

Sejak masih muda, Hamka telah terlibat dalam aktivitas politik, yaitu ketika menjadi anggota Sarekat Islam pada tahun 1925 dan, setelah kemerdekaan ia aktif dengan Partai Masyumi.[54] Pada pemilihan umum 1955, ia terpilih menjadi anggota Dewan Konstituante mewakili Jawa Tengah. Akan tetapi pengangkatan tersebut ditolak karena merasa tempat tersebut tidak sesuai baginya. Atas desakan kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur, akhirnya Hamka menerima pengangkatan tersebut.

Di Konstituante, ia bersama Mohammad Natsir, Mohammad Roem, dan Isa Anshari menjadi pihak yang paling konsisten memperjuangkan syariat Islam menjadi dasar negara Indonesia. Dalam pidatonya, Hamka mengusulkan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kembali kalimat tentang "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya", sebagaimana yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Akan tetapi, pemikiran Hamka ditentang keras oleh sebagian besar anggota Konstituante, yang umumnya berasal dari pihak komunis. Selanjutnya, dalam sidang Konstituante di Bandung pada tahun 1957, ia menyampaikan pidato penolakannya atas gagasan Presiden Soekarno yang akan menerapkan Demokrasi Terpimpin. Namun, segala usahanya itu kandas setelah Soekarno membubarkan Dewan Konstituante melalui Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 dan, perjalanan politik Hamka dapat dikatakan berakhir setelah Masyumi ikut dibubarkan oleh Presiden Soekarno.

Sikapnya yang konsisten terhadap agama, menyebabkannya acapkali berhadapan dengan berbagai rintangan, terutama terhadap beberapa kebijakan pemerintah. Keteguhan sikapnya ini membuatnya dipenjarakan oleh Soekarno dari tahun 1964 sampai 1966. Pada awalnya, Hamka diasingkan ke Sukabumi, kemudian ke Puncak, Megamendung, dan terakhir dirawat di rumah sakit Persahabatan Rawamangun, sebagai tawanan. Di dalam penjara ia mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya.[54]

Pada tahun 1977, Hamka dipilih sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia yang pertama. Semasa jabatannya, Hamka mengeluarkan fatwa yang bersisi penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang akan memberlakukan RUU Perkawinan tahun 1973, dan mengecam kebijakan diperbolehkannya merayakan Natal bersama umat Nasrani. Meskipun pemerintah mendesaknya untuk menarik kembali fatwanya tersebut dengan diiringi berbagai ancaman, Hamka tetap teguh dengan pendiriannya.[55] Akan tetapi, pada tanggal 24 Juli 1981, Hamka memutuskan untuk melepaskan jabatannya sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia, karena fatwanya yang tidak kunjung dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Sastra

Hamka juga merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, ia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, ia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.[56]

Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.

Hamka juga banyak menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya lain seperti novel dan cerpen. Pada tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul Si Sabariah. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk roman, sejarah, biografi dan otobiografi, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi, tasawuf, tafsir, dan fiqih. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar. Di antara novel-novelnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli juga menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik peringkat nasional maupun internasional.[56]

Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Kairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.[56]

Daftar karya

  1. Kenang-Kenangan Hidup, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
  2. Ayahku (Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangannya), Jakarta: Pustaka Wijaya, 1958.
  3. Khatib al-Ummah, 3 Jilid, Padang Panjang, 1925.
  4. Islam dan Adat, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
  5. Kepentingan Melakukan Tabligh, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
  6. Majalah Tentera, 4 nomor, Makassar, 1932.
  7. Majalah al-Mahdi, 9 nomor, Makassar, 1932.
  8. Bohong di Dunia, cet. 1, Medan: Cerdas, 1939.
  9. Agama dan Perempuan, Medan: Cerdas, 1939.
  10. Pedoman Mubaligh Islam, cet. 1, Medan: Bukhandel Islamiah, 1941.
  11. Majalah Semangat Islam, 1943.
  12. Majalah Menara, Padang Panjang, 1946.
  13. Hikmat Isra’ Mi’raj, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
  14. Negara Islam, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
  15. Islam dan Demokrasi, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
  16. Revolusi Fikiran, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
  17. Dibandingkan Ombak Masyarakat, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
  18. Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.
  19. Revolusi Agama, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.
  20. Sesudah Naskah Renville, 1947 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
  21. Tinjauan Islam Ir. Soekarno, Tebing Tinggi, 1949.
  22. Pribadi, 1950 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
  23. Falsafah Hidup, cet. 3, Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1950.
  24. Falsafah Ideologi Islam, Jakarta: Pustaka Wijaya, 1950.
  25. Urat Tunggang Pancasila, Jakarta: Keluarga, 1951.
  26. Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1952.
  27. K.H. A. Dahlan, Jakarta: Sinar Pujangga, 1952.
  28. Perkembangan Tashawwuf dari Abad ke Abad, cet. 3, Jakarta: Pustaka Islam, 1957.
  29. Pribadi, Jakarta: Bulan Bintang, 1959.
  30. Pandangan Hidup Muslim, Jakarta: Bulan Bintang, 1962.
  31. Lembaga Hidup, cet. 6, Jakarta: Jayamurni, 1962 (kemudian dicetak ulang di Singapura oleh Pustaka Nasional dalam dua kali cetakan, pada tahun 1995 dan 1999).
  32. 1001 Tanya Jawab tentang Islam, Jakarta: CV. Hikmat, 1962.
  33. Cemburu, Jakarta: Firma Tekad, 1962.
  34. Angkatan Baru, Jakarta: Hikmat, 1962.
  35. Ekspansi Ideologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1963.
  36. Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, Jakarta: Tintamas, 1965 (awalnya merupakan naskah yang disampakannya pada orasi ilmiah sewaktu menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Mesir, pada 21 Januari 1958).
  37. Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
  38. Lembaga Hikmat, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1966.
  39. Dari Lembah Cita-Cita, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
  40. Hak-Hak Azasi Manusia Dipandang dari Segi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
  41. Gerakan Pembaruan Agama (Islam) di Minangkabau, Padang: Minang Permai, 1969.
  42. Hubungan antara Agama dengan Negara menurut Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1970.
  43. Islam, Alim Ulama dan Pembangunan, Jakarta: Pusat dakwah Islam Indonesia, 1971.
  44. Islam dan Kebatinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
  45. Mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.
  46. Beberapa Tantangan terhadap Umat Islam pada Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
  47. Kedudukan Perempuan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.
  48. Muhammadiyah di Minangkabau, Jakarta: Nurul Islam, 1974.
  49. Tanya Jawab Islam, Jilid I dan II cet. 2, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
  50. Studi Islam, Aqidah, Syari’ah, Ibadah, Jakarta: Yayasan Nurul Iman, 1976.
  51. Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1976.
  52. Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, cet. 8, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980.
  53. Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
  54. Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
  55. Lembaga Budi, cet. 7, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
  56. Tasawuf Modern, cet. 9, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
  57. Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian, Jakarta: Yayasan Idayu, 1983.
  58. Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
  59. Iman dan Amal Shaleh, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
  60. Renungan Tasawuf, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.
  61. Filsafat Ketuhanan, cet. 2, Surabaya: Karunia, 1985.
  62. Keadilan Sosial dalam Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1985.
  63. Tafsir al-Azhar, Juz I sampai Juz XXX, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
  64. Prinsip-prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
  65. Tuntunan Puasa, Tarawih, dan Idul Fitri, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1995.
  66. Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Jakarta: Tekad, 1963.
  67. Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
  68. Mengembara di Lembah Nil, Jakarta: NV. Gapura, 1951.
  69. Di Tepi Sungai Dajlah, Jakarta: Tintamas, 1953.
  70. Mandi Cahaya di Tanah Suci, Jakarta: Tintamas, 1953.
  71. Empat Bulan di Amerika, 2 Jilid, Jakarta: Tintamas, 1954.
  72. Merantau ke Deli, cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1977 (ditulis pada tahun 1939).
  73. Si Sabariah (roman dalam bahasa Minangkabau), Padang Panjang: 1926.
  74. Laila Majnun, Jakarta: Balai Pustaka, 1932.
  75. Salahnya Sendiri, Medan: Cerdas, 1939.
  76. Keadilan Ilahi, Medan: Cerdas, 1940.
  77. Angkatan Baru, Medan: Cerdas, 1949.
  78. Cahaya Baru, Jakarta: Pustaka Nasional, 1950.
  79. Menunggu Beduk Berbunyi, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
  80. Terusir, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
  81. Di Dalam Lembah Kehidupan (kumpulan cerpen), Jakarta: Balai Pustaka, 1958.
  82. Di Bawah Lindungan Ka'bah, cet. 7, Jakarta: Balai Pustaka, 1957.
  83. Tuan Direktur, Jakarta: Jayamurni, 1961.
  84. Dijemput Mamaknya, cet. 3, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
  85. Cermin Kehidupan, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
  86. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, cet. 13, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
  87. Pembela Islam (Tarikh Sayyidina Abubakar Shiddiq), Medan: Pustaka Nasional, 1929.
  88. Ringkasan Tarikh Ummat Islam, Medan: Pustaka Nasional,1929.
  89. Sejarah Islam di Sumatera, Medan: Pustaka Nasional, 1950.
  90. Dari Perbendaharaan Lama, Medan: M. Arbi, 1963.
  91. Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, cet. 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
  92. Sejarah Umat Islam, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
  93. Sullam al-Wushul; Pengantar Ushul Fiqih (terjemahan karya Dr. H. Abdul Karim Amrullah), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
  94. Margaretta Gauthier (terjemahan karya Alexandre Dumas), cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

>

Catatan kaki

keterangan
  1. ^ Ada dua jenis sekolah pemerintah bagi anak-anak Minangkabau, yakni Sekolah Gubernemen dengan jenjang tertinggi sampai kelas empat dan Sekolah Desa dengan jenjang terakhir sampai kelas tiga. Hajir Rasul berencana menyekolahkan Malik di Sekolah Gubernemen, tetapi karena terlambat mendaftar sehingga kelas yang dibuka terlanjur penuh, Malik didaftarkan di Sekolah Desa.
Rujukan
  1. ^ Tamara, dkk 1983, hlm. 78.
  2. ^ Kenang-kenangan 70 tahun... 1983, hlm. 260.
  3. ^ Rahzen 2007, hlm. 246.
  4. ^ Yusuf 2003, hlm. 40.
  5. ^ a b Safrudin 2008, hlm. 198.
  6. ^ Reid dan Marr 1983, hlm. 40.
  7. ^ Yusuf 2003, hlm. 41.
  8. ^ Kenang-kenangan 70 tahun... 1966, hlm. 26.
  9. ^ Yani 2010.
  10. ^ a b Tamara, dkk 1983, hlm. 368.
  11. ^ Roesmar 2002, hlm. 27.
  12. ^ Azra 2002, hlm. 267.
  13. ^ Tamara, dkk 1983, hlm. 238.
  14. ^ Hamka 1982, hlm. 149.
  15. ^ Yusuf 2003, hlm. 43.
  16. ^ Hakim 2005, hlm. 26.
  17. ^ Al-Kumayi 2004, hlm. 24.
  18. ^ Kenang-kenangan 70 tahun... 1983, hlm. 470.
  19. ^ Hakim 2005, hlm. 31.
  20. ^ Mohammad 2006, hlm. 61.
  21. ^ Yusuf 2003, hlm. 46–47.
  22. ^ Rosidi 2008, hlm. 346.
  23. ^ Al-Kumayi 2004, hlm. 25.
  24. ^ Shobahussurur 2008, hlm. 21.
  25. ^ Aiyub 2000, hlm. 142.
  26. ^ Tamara, dkk 1983, hlm. 198.
  27. ^ a b Safrudin 2008, hlm. 201.
  28. ^ Kenang-kenangan 70 tahun... 1983, hlm. 529.
  29. ^ a b Leirissa 1994, hlm. 89.
  30. ^ Hamka 1986, hlm. 318.
  31. ^ Yusuf 2003, hlm. 45.
  32. ^ Zakariya 2006.
  33. ^ a b c Safrudin 2008, hlm. 202.
  34. ^ Teeuw 1980, hlm. 104.
  35. ^ Teeuw 1980, hlm. 105.
  36. ^ Mahayana 2007, hlm. 168.
  37. ^ Hamka 1975, hlm. 28.
  38. ^ Mohammad 2006, hlm. 62.
  39. ^ Hamka 1983, hlm. 73.
  40. ^ Abidin 2005, hlm. 171.
  41. ^ a b Yusuf 2003, hlm. 48.
  42. ^ Kenang-kenangan 70 tahun... 1983, hlm. 472.
  43. ^ Tamara, dkk 1983, hlm. 384.
  44. ^ Hakim 2005, hlm. 27.
  45. ^ Toer, dkk 1999, hlm. 246.
  46. ^ Kenang-kenangan 70 tahun... 1983, hlm. 20.
  47. ^ Muhammadiyah 2005, hlm. 144.
  48. ^ Shobahussurur 2008, hlm. 24.
  49. ^ Al-Kumayi 2004, hlm. 30.
  50. ^ Irfan 2013, hlm. 274.
  51. ^ Irfan 2013, hlm. 279.
  52. ^ Irfan 2013, hlm. 280.
  53. ^ Irfan 2013, hlm. 282.
  54. ^ a b Republika 2011.
  55. ^ Hashim, Rosnani (2010). Reclaiming the Conversation: Islamic Intellectual Tradition in the Malay Archipelago. The Other Press. ISBN 9839541749. 
  56. ^ a b c Irfan 2013, hlm. 290.
Daftar pustaka
  • Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam (2002). Ensiklopedia Islam, Jilid 4. Departemen Agama. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. ISBN 979-8276-65-5. 
  • Shobahussurur (2008). Mengenang 100 tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah Hamka. Jakarta: Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar. ISBN 979-177-850-7. 
  • Herry, Mohammad (2006). Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Gema Insani. ISBN 979-560-219-5. 
  • Hashim, Rosnani (2010). Reclaiming the Conversation: Islamic Intellectual Tradition in the Malay Archipelago. The Other Press. ISBN 983-954-174-9. 
  • "Cukup Allah sebagai Pelindung: Kisah Hamka di Penjara Sukabumi". Republika. 26 November 2011. Diakses tanggal 20 Desember 2011. 
  • Daneel, Inus (2005). Fullness of Life for All—Challenges for Mission in Early 21st Century. Rodopi. ISBN 904-201-971-9. 
  • Rodgers, Susan (1995). Telling Lives, Telling History: Autobiography and Historical Imagination in Modern Indonesia. University of California Press. ISBN 052-008-547-7. 
  • Zakariya, H. (2006). Islamic Reform in Colonial Malaya: Shaykh Tahir Jalaluddin and Sayyid Shaykh Al-Hadi. ProQuest. ISBN 054-286-357-X. 
  • Abdurrahman, M. (2009). Bersujud di Baitullah. Penerbit Buku Kompas. ISBN 979-709-437-5. 
  • Riddell, P. G. Islam and the Malay-Indonesian World: Transmission and Responses. C. Hurst & Co. Publishers. ISBN 185-065-336-4. 
  • Hamka, Afif (2008). Buya Hamka. Uhamka Press. ISBN 602-804-007-X. 
  • Pandoe, M.D.; Pour, Julius (2010). Jernih Melihat Cermat Mencatat: Antologi Karya Jurnalistik Wartawan Senior Kompas. Penerbit Buku Kompas. ISBN 979-709-487-1. 
  • Panitia Peringatan Buku 70 Tahun Buya Prof. Dr. Hamka (1983). Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka. Pustaka Panjimas. 
  • Hamka (1966). Kenang-kenangan Hidup. Kuala Lumpur: Pustaka Antara. 
  • Hamka, Rusydi (1983). Pribadi dan Martabat Buya Prof. Hamka. Jakarta: Pustaka Panjimas. 
  • Tamara, Natsir (1996). Hamka di Mata Hati Umat. Jakarta: Sinar Harapan. 
  • Noer, Deliar (1996). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES. 
  • Noer, Deliar (2001). Membincangkan Tokoh-tokoh Bangsa. Bandung: Mizan. 
  • Mahayana, Maman S (1995). Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern. Jakarta: Grasindo. ISBN 978-979-553-123-4. 
  • Siregar, Bakri (1964). Sedjarah Sastera Indonesia. 1. Jakarta: Akademi Sastera dan Bahasa "Multatuli". OCLC 63841626. 
  • Teeuw, A (1980). Sastra Baru Indonesia. 1. Ende: Nusa Indah. OCLC 222168801. 
  • Rahzen, Taufik (2007). Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia. Blora Institute. ISBN 979-150-938-7. 
  • Safrudin, Irfan (2008). Ulama-ulama Perintis: Biografi Pemikiran dan Keteladanan. Bandung: Majelis Ulama Indonesia. 
  • Reid; Marr, David G. (1983). Dari Raja Ali Haji hingga Hamka. Grafiti Pres. 
  • Yusuf, M. Yunan (2003). Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar. Penamadani. ISBN 979-976-700-8. 
  • Azra, Azyumardi (2002). Historiografi Islam Kontemporer. Gramedia Pustaka Utama. 
  • Abidin, Masoed. Ensiklopedi Minangkabau. Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau. ISBN 979-379-723-1. 
  • Hakim, Ahmad; Thalhah, M. (2005). Politik Bermoral Agama. UII Press. ISBN 979-333-306-5. 
  • Rosidi, Ajip (2008). Yang Datang Telanjang: Surat-surat Ajip Rosidi dari Jepang, 1980–2002. Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 979-910-095-X. 
  • Al-Kumayi, Sulaiman (2004). Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym. Pustaka Nuun. ISBN 979-983-531-3. 
  • "Palagan Hamka dan Lentera "Pram"". Kompas. Jakarta. 2012-03-20. Diakses tanggal 12 Juni 2012. 
  • "Hamka Menggebrak Tradisi". Tempo. Jakarta. 2008-05-19. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 Juni 2012. Diakses tanggal 4 Juni 2012. 
  • Hamka, Irfan (2013). Ayah... Kisah Buya Hamka. Penerbit Republika. ISBN 978-602-8997-71-3. 

Pranala luar

Jabatan organisasi Islam
Didahului oleh:
Tidak ada
Ketua MUI
27 Juli 1975—19 Mei 1981
Diteruskan oleh:
Syukri Ghozali