"Langit Makin Mendung" adalah cerita pendek Indonesia yang kontroversial. Diterbitkan di majalah Sastra dengan nama pena Kipandjikusmin pada bulan Agustus 1968, cerita ini mengisahkan Muhammad turun ke Bumi bersama malaikat Jibril untuk menyelidiki sebab sedikitnya Muslim yang masuk surga. Mereka menemukan bahwa Muslim di Indonesia mulai melakukan fornikasi (hubungan seks), minum alkohol, berperang sesama Muslim, dan bertindak melawan ajaran-ajaran Islam, teracuni oleh ideologi pemerintahan Soekarno yang menggabungkan nasionalisme, agama, dan komunisme (nasakom). Karena tidak kuasa menghentikan penistaan yang terjadi, Muhammad dan Jibril hanya bisa menyaksikan manuver politik, kejahatan, dan kelaparan di Jakarta dengan menyamar sebagai elang.

"Langit Makin Mendung"
PengarangKipandjikusmin
NegaraIndonesia
BahasaIndonesia
TerbitanSastra
Jenis mediaMajalah

Setelah diterbitkan, "Langit Makin Mendung" dihujani kritik karena penggambaran Allah, Muhammad, dan Jibril, sehingga dilarang terbit di Sumatera Utara dan kantor Sastra di Jakarta diserang massa. Meski penulis dan penerbitnya sudah menyatakan permintaan maaf, kepala editor Sastra, HB Jassin, diadili karena penistaan agama. Ia kemudian dijatuhkan hukuman tunda selama satu tahun. Pandangan kritis terhadap cerita ini beragam. Cerita ini sempat dibanding-bandingkan dengan Divine Comedy karya Dante yang menceritakan pria yang mengadakan perjalanan spiritual ditemani teman spiritual, namun tetap dikritik karena menampilkan Allah, Muhammad, dan Jibril dengan cara negatif. Kasus hukumnya sendiri masih diperdebatkan dan kedua pihak mempermasalahkan kebebasan berekspresi dan lingkup imajinasi.

Latar belakang

Indonesia adalah negara mayoritas Muslim terbesar di dunia. Jumlah ini memberi pengaruh besar terhadap pembangunan Indonesia, baik apda era revolusi nasionalnya maupun era modern.[1] Akan tetapi, jumlah umat yang besar digunakan untuk menjustifikasi dan mempromosikan jabatan politik. Pemerintah kolonial Belanda mengurangi peran para pemuka agama, kyai, dan ulama, agar mereka tidak memakai pengaruhnya untuk merintis pemberontakan. Penguasa masa kini memakainya untuk "mempertahankan status quo", sementara pihak yang mendesak perubahan memakai Islam sebagai jalan menuntut keadilan atau kepentingan politik lain. Hal ini mendorong terjadinya fragmentasi secara umum.[2]

Pada awal 1960-an, Presiden Soekarno mendeklarasikan ideologi negara Nasakom yang berarti Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Nasakom akan melengkapi kebijakan Pancasila yang sudah ada. Deklarasi ini dipandang sebagai bukti meningkatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI),[3] sehingga menciptakan konflik antara PKI dan militer.[4] Di tengah-tengah konfrontasi dengan Malaysia, Soekarno memecat Jenderal Nasution, Komandan Angkatan Darat, dan mengangkat Ahmad Yani, sementara PKI menyebarkan rumor bahwa dewan jenderal yang disponsori CIA berencana menjatuhkan pemerintahan sambil membawa-bawa bukti Dokumen Gilchrist.[4] Akhirnya, kudeta yang diduga disponsori PKI berujung pada kematian enam jenderal[5] dan berakhir dengan pembantaian para terduga komunis dan kejatuhan pemerintahan Soekarno.[6]

Alur

Muhammad dan nabi-nabi Islam lainnya, karena bosan tinggal di jannah (surga) lelah memuja-muji Allah, meminta izin kepada-Nya untuk kembali ke Bumi. Kecewa atas permintaannya, Allah meminta Muhammad menjelaskan sebab ia ingin kembali, padahal Allah sudah memberinya banyak hal. Muhammad menjawab bahwa ia ingin melakukan mengetahui penyebab sedikitnya jumlah Muslim yang masuk surga. Setelah melepaskan kacamata-Nya, Allah merespon bahwa mereka (manusia) telah diracuni kebijakan Nasakom Soekarno dan memberi izin kepada nabi.

Tidak lama kemudian, Muhammad berangkat dari bandara jannah menggunakan buraq (kuda bersayap). Malaikat Jibril menemaninya. Di tengah jalan, mereka bertemu wahana antariksa Soviet. Sempat mendengar bahwa mereka orang kafir, Muhammad pun menyelidikinya. Sayangnya, ia menabrak wahana tersebut, menghancurkan wahana dan buraq-nya, dan menewaskan tiga kosmonot. Muhammad dan Jibril berhasil mendarat di awan. Mereka kemudian melewati Jakarta. Jibril menyebut Jakarta sebagai tempat paling penuh dosa di Bumi. Muhammad marah dengan Jibril yang menyatakan bahwa dari 90 juta Muslim Indonesia, tidak sampai satu juta yang merupakan penganut sejati. Menghadapi fakta bahwa Jakarta adalah tempat kelahiran Nasakom, Muhammad menyatakan bahwa Islam tidak akan pernah mati dan ia pun menunggu di awan.

Sementara itu di Jakarta, wabah flu sedang menjangkiti penduduknya. Salah satu penderita penyakit ini adalah Presiden Soekarno. Ia menyurati Ketua Partai Mao Zedong agar mengirimkan dokter. Mao mengirim dokter yang kemudian meracuni Soekarno untuk melumpuhkannya dan membantu Gerakan 30 September menggulingkan pemerintahan. Racun yang lambat bereaksi ini membuat Soekarno pingsan setelah ia dan menteri-menterinya berpesta pora secara haram. Mereka mengonsumsi daging babi dan kodok dan berzina (seks di luar pernikahan).

Muhammad dan Jibril berubah menjadi elang supaya bisa melihat Jakarta. Mereka melihat prostitusi, perselingkuhan, pencurian, dan minum-minum. Muhammad terkejut melihat zina dan pencurian tidak dihentikan. Ia meminta Jibril membantunya merajam para pelaku perselingkuhan dan memotong tangan para pencuri. Jibril mengatakan bahwa batunya tidak cukup untuk merajam semua orang yang selingkuh dan pedang-pedangnya sudah diganti dengan senjata yang dibeli oleh para "kafir" Soviet dan Amerika Serikat yang "memuja-muja dolar". Mereka melihat seorang menteri bernama Togog yang berupaya memanfaatkan Dokumen Gilchrist untuk menjatuhkan Soekarno. Muhammad menyerah menghadapi Indonesia dan berencana memasang televisi di jannah.

Soekarno akhirnya sembuh dari racun tersebut dan diberitahu soal Dokumen Gilchrist. Ia juga diberitahu bahwa Cina menegosiasikan ulang perjanjian mereka untuk menyuplai senjata militer demi membantu konfrontasi Indonesia dengan Malaysia. Soekarno memakai Dokumen Gilchrist untuk menyebarkan rumor dan rasa tidak percaya di kalangan penduduk, memecat komandan militernya, dan memulangkan duta besar Cina.

Penulisan dan pengaruh

Gaya

Sejumlah kritikus menyebut "Langit Makin Mendung" ditulis dengan bahasa yang blak-blakan dan menyinggung. Jassin berpendapat bahwa gaya ini, meskipun langsung dan kadang-kadang tidak sopan, memiliki unsur ironi, humor, sarkasme, dan sinisisme.[7]

Rilis dan tanggapan

Polemik

Sastra

Hukum

Catatan

Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "pen name" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Tahqiq 1995, hlm. v.
  2. ^ Tahqiq 1995, hlm. v–vii.
  3. ^ Setiono 2008, hlm. 808.
  4. ^ a b c Deakin 1976, hlm. 86.
  5. ^ Setiono 2008, hlm. 879.
  6. ^ Cribb 2002, hlm. 550.
  7. ^ Tahqiq 1995, hlm. 41.
  8. ^ Rampan 2000, hlm. 256.

Daftar pustaka