Sejarah Mesir Kuno

Mesir kuno meliputi seluruh dunia

Sejarah Mesir Kuno meliputi kurun waktu sejak berdirinya permukiman-permukiman pradinasti di utara Lembah Sungai Nil hingga Mesir ditaklukkan oleh Bangsa Romawi pada 30 SM. Zaman firaun diperkirakan bermula sekitar 3200 SM, yakni sejak kawasan Hulu dan Hilir Mesir bergabung menjadi satu negara sampai jatuh ke tangan Bangsa Makedonia pada 332 SM.

Kronologi

Sejarah Mesir Kuno dibagi-bagi menjadi beberapa periode berdasarkan masa kekuasaan wangsa-wangsa para firaun yang memerintah. Penetapan waktu terjadinya peristiwa-peristiwa penting masih dalam penelitian. Penetapan waktu konservatif sama sekali tidak didukung oleh tanggal pasti yang dapat dipercaya untuk kurun waktu tiga milenia. Berikut ini adalah pembagian periode sejarah Mesir Kuno menurut Kronologi Mesir konvensional.

Zaman Neolitikum Mesir

Periode neolitik

Sungai Nil telah menjadi urat nadi peradaban Mesir sejak para pemburu-peramu yang hidup berpindah-pindah mulai menempati tepiannya pada zaman Pleistosen. Jejak-jejak peradaban bangsa Mesir awal ini berwujud artefak-artefak dan ukiran-ukiran pada batu yang ditemukan di sepanjang teras Sungai Nil dan di oasis-oasis. Bagi bangsa Mesir, Sungai Nil berarti kehidupan dan gurun berarti kematian, walaupun gurunlah yang justru melindungi mereka dari para penginvasi.

Sepanjang tepian Sungai Nil, pada milenium ke-12 SM, sebuah kebudayaan masyarakat yang hidup dari mengirik biji-bijian dan yang telah memanfaatkan peralatan berupa bilah arit jenis terawal muncul menggantikan kebudayaan masyarakat yang hidup dari berburu, menangkap ikan, dan meramu yang masih mengunakan peralatan dari batu. Bukti-bukti juga menunjukkan keberadaan permukiman manusia dan kegiatan penggembalaan ternak di penjuru barat daya Mesir, dekat perbatasan Sudan, sebelum 8000 SM. Akan tetapi menurut Barbara Barich, gagasan bahwa penjinakan bovinae terjadi di Afrika harus ditinggalkan karena bukti-bukti lebih lanjut yang dikumpulkan dalam tiga puluh tahun telah gagal mendukung gagasan itu.[1] Sehubungan dengan pendapat Barich ini, bekas-bekas penjinakan bovinae tertua di Afrika yang telah diketahui adalah yang berasal dari Al Fayyum sekitar 4400 SM.[2] Bukti-bukti geologi dan studi percontohan iklim berbasis komputer menunjukkan bahwa perubahan iklim sekitar 8000 SM mengakibatkan kekeringan mulai melanda lahan penggembalaan ternak yang membentang luas di kawasan utara Afrika dan akhirnya menciptakan Gurun Sahara (sekitar 2500 SM).

Kekeringan yang berkelanjutan memaksa para leluhur bangsa Mesir awal untuk berpindah dan tinggal lebih lama di sekitar Sungai Nil, selain itu juga memaksa mereka untuk mengadopsi gaya hidup yang lebih menetap.

Periode pradinasti

 
Sebuah jambangan Naqada II dihiasi lukisan kawanan kijang, dipamerkan di Louvre.

Lembah Sungai Nil di Mesir pada hakikatnya tidak dapat didiami sebelum dimulainya kegiatan penerabasan dan pengairan lahan di sepanjang tepian sungai.[3] Namun tampaknya sebagian besar kegiatan penerabasan dan pengairan lahan ini telah rampung sekitar 6000 SM. Sekitar masa itu, masyarakat Lembah Sungai Nil sudah terbiasa bertani secara teratur dan mendirikan bangunan-bangunan besar di Lembah Sungai Nil.[4] Pada masa itu, bangsa Mesir di penjuru tenggara Mesir hidup dari menggembalakan ternak dan juga mendirikan bangunan-bangunan besar. Mortar dipergunakan sekitar 4000 SM. Penduduk kawasan lembah dan muara Sungai Nil adalah masyarakat swasembada. Mereka telah membudidayakan jelai dan gandum emmer (sejenis gandum awal) serta menyimpannya dalam ceruk-ceruk yang dialasi anyaman gelagah.[5] Mereka beternak lembu, kambing, dan babi, serta menenun lenan dan menganyam keranjang.[5] Selama periode ini masih terus berlanjut zaman pradinasti yang oleh berbagai pihak diyakini bermula dengan peradaban Naqada.

Antara 5500 dan 3100 SM, pada periode pradinasti Mesir, permukiman-permukiman kecil tumbuh subur di sepanjang tepian Sungai Nil yang bermuara ke Laut Mediterania. Sekitar 3300 SM, menjelang masa pemerintahan Wangsa Mesir pertama, Mesir terdiri atas dua kerajaan yang dikenal dengan nama Mesir Hulu atau Ta Syemau di selatan, dan Mesir Hilir atau Ta Mehu di utara.[6] Perbatasan dua kerajaan ini terletak kira-kira di wilayah Kairo sekarang ini.

Setelah itu muncul peradaban Tasa di Mesir Hulu. Kelompok budaya ini dinamakan menurut nama situs Deir Tasa, tempat ditemukannya kompleks pemakaman. Deir Tasa terletak di tepi timur Sungai Nil, antara Asyut dan Akhmim. Peradaban Tasa dikenal karena tembikar bermulut hitam terawal yang dihasilkannya, yakni jenis gerabah merah dan cokelat yang bagian mulut dan bagian dalamnya diwarnai hitam[7]

Sesudah peradaban Tasa, menyusul peradaban Badari yang dinamakan menurut nama situs Badari, tidak jauh dari Deir Tasa. Kemiripan antara peradaban Tasa dan Badari membuat banyak pihak enggan membeda-bedakan keduanya. Peradaban Badari meneruskan pembuatan tembikar bermulut hitam (dengan kualitas yang jauh lebih baik dari pada jenis sebelumnya), dan diberi nomor penanggalan sekuensi antara 21 dan 29.[8] Meskipun demikian, ada perbedaan penting antara kelompok budaya Tasa dan Badari yang mencegah para cendekiawan untuk menggabungkan saja keduanya, yaitu bahwasanya situs-situs Badari telah mempergunakan alat-alat tembaga selain alat-alat batu, dan oleh karena itu merupakan pemukiman-pemukiman zaman tembaga, sementara situs-situs Tasa masih bercorak neolitik, dan secara teknis dianggap masih tergolong Zaman Batu.[8]

Setelah peradaban Badari, muncul pula Peradaban Amra yang dinamakan menurut nama situs el-Amra, sekitar 120 km di selatan Badari. El-Amra adalah situs pertama tempat golongan budaya ini didapati tidak bercampur dengan kelompok budaya Gerza yang muncul sesudahnya. Meskipun demikian peradaban ini lebih didukung oleh temuan-temuan di situs Naqada sehingga disebut pula peradaban Naqada I.[9] Pembuatan tembikar bermulut hitam masih diteruskan, tetapi pada masa ini mulai pula dihasilkan tembikar garis silang, yakni jenis gerabah yang dihiasi barisan garis-garis putih, rapat, dan paralel, yang kemudian disilangi barisan garis-garis putih, rapat, dan paralel lainnya. Periode peradaban Amra ditempatkan antara 30 dan 39 dalam sistem penanggalan sekuensi yang dibuat Sir William Matthew Flinders Petrie.[10] Perniagaan antara Mesir Hulu dan Hilir berlangsung pada periode peradaban ini, sebagaimana disiratkan oleh barang-barang temuan hasil penggalian. Sebuah jambangan batu dari daerah utara ditemukan di el-Amra, dan tembaga, yang tidak terdapat di Mesir, tampaknya diimpor dari Sinai atau mungkin pula dari Nubia. Obsidian[11] dan emas dalam jumlah yang sangat sedikit[10] sudah pasti diimpor dari Nubia pada periode ini. Perniagaan dengan oase-oase pun demikian.[11]

Sesudah peradaban Badari, menyusul peradaban Gerza yang dinamakan menurut situs Gerza. Dalam periode inilah terbentuk landasan bagi zaman kekuasaan wangsa-wangsa Mesir. Peradaban Gerza, yang lebih merupakan perkembangan yang tak terputus dari peradaban Amra ini, bermula di daerah muara dan bergerak ke wilayah selatan melalui Mesir Hulu; Meskipun demikian, kedatangan peradaban ini tidak berhasil menyingkirkan peradaban Amra di Nubia.[12] Kehadiran peradaban Gerza bertepatan dengan zaman berkurangnya curah hujan secara drastis,[12] sehingga pertanian menjadi sumber utama bahan pangan.[12] Seiring meningkatnya ketersediaan pangan, masyarakat pun mengadopsi gaya hidup yang lebih menetap, dan pemukiman-pemukiman yang besar bertumbuh menjadi kota-kota yang dihuni sekitar 5.000 warga.[12] Pada periode inilah para penghuni kota mulai menggunakan bata lumpur dalam pembangunan kota-kota mereka.[12] Tembaga semakin menggeser pemanfaatan batu sebagai bahan baku dalam pembuatan peralatan[12] dan persenjataan.[13] Perak, emas, lapis lazuli, juga tembikar glasir bening digunakan sebagai hiasan,[14] dan penggilasan untuk membuat celak mata sejak periode Badari mulai dihiasi ukiran-ukiran timbul.[13]

Periode Dinasti

Daftar Dinasti
pada zaman Mesir Kuno

Periode Pra-Dinasti
Periode Proto-Dinasti
Periode Dinasti Awal
ke-1 ke-2
Kerajaan Lama
ke-3 ke-4 ke-5 ke-6
Periode Menengah Pertama
ke-7 ke-8 ke-9 ke-10
ke-11 (hanya Thebes)
Kerajaan Pertengahan
ke-11 (seluruh Mesir)
ke-12 ke-13 ke-14
Periode Menengah Kedua
ke-15 ke-16 ke-17
Kerajaan Baru
ke-18 ke-19 ke-20
Periode Menengah Ketiga
ke-21 ke-22 ke-23
ke-24 ke-25
Periode Akhir
ke-26
ke-27 (Periode Persia Pertama)
ke-28 ke-29 ke-30
ke-31 (Periode Persia Kedua)
Periode Yunani-Romawi
Alexander Agung
Dinasti Ptolemaik
Mesir Romawi
Serbuan Arab

Periode Dinasti Awal

 
Tugu batu Firaun Raneb dari wangsa kedua, memuat hieroglif namanya dalam sebuah serekh yang pada puncaknya bertengger Horus. Dipamerkan di Metropolitan Museum of Art.

Catatan-catatan sejarah Mesir Kuno diawali dengan menyebut Mesir sebagai negara kesatuan yang terwujud sekitar 3150 SM. Menurut tradisi Mesir, Menes, yang diyakini sebagai tokoh pemersatu Mesir Hulu dan Hilir, adalah raja Mesir yang pertama. Budaya, adat-istiadat, karya seni, arsitektur, dan struktur sosial Mesir berkaitan erat dengan agama, luar biasa stabilnya, dan berubah sedikit demi sedikit dalam kurun waktu hampir 3000 tahun.

Kronologi Mesir, yang memuat tahun-tahun pemerintahan raja-raja, berawal pada periode ini. Kronologi Mesir konvensional adalah kronologi yang diterima pada abad ke-20, namun kronologi ini tidak memuat satu pun usulan-usulan revisi penting yang juga telah diajukan dalam abad itu. Dalam satu karya ilmiah saja, arkeolog kerap mengajukan beberapa penetapan waktu yang mungkin, atau bahkan beberapa kronologi utuh yang mungkin. Oleh karena itu, mungkin saja penetapan waktu yang digunakan dalam artikel ini berbeda dari penetapan waktu dalam artikel lain yang bertopik terkait Mesir Kuno. Mungkin pula terdapat beberapa cara dalam mengeja nama-nama tokoh sejarah. Lazimnya para egiptolog membagi kurun waktu pemerintahan para firaun dengan mencontohi daftar yang pertama kali disusun oleh Manetho dalam Aegyptiaca (Sejarah Mesir) yang ditulis di era Wangsa Ptolemaik pada abad ke-3 SM.

Sebelum penyatuan Mesir, wilayah negeri ini terbagi-bagi dan dikuasai desa-desa yang otonom. Sejak kemunculan wangsa-wangsa awal, dan untuk sebagian besar sejarah Mesir selanjutnya, negeri ini dikenal sebagai Dua Negeri. Para pemimpin membentuk administrasi nasional dan melantik gubernur-gubernur kerajaan.

Menurut Manetho, raja Mesir yang pertama adalah Menes, tetapi temuan-temuan arkeologi mendukung pandangan bahwa firaun pertama yang menyatakan telah mempersatukan Dua Negeri adalah Narmer (raja terakhir dari periode protodinasti). Namanya terutama dikenal karena Lempengan Narmer yang termasyhur itu. Gambar-gambar yang terukir pada Lempengan Narmer ditafsirkan sebagai tindakan menyatukan Mesir Hulu dan Hilir.

Tata-cara pemakaman golongan elit menghasilkan pembangunan makam-makam mastaba, yang kelak menjadi contoh bagi pembangunan karya-karya konstruksi pada periode Kerajaan Lama, misalnya Piramida Berundak.

Kerajaan Lama

 
Patung Batupasir Kelabu Firaun Menkaura beserta permaisurinya, Ratu Khamerernebty II. Berasal dari kuilnya di Lembah Giza, kini dipamerkan di Museum of Fine Arts, Boston.

Kerajaan Lama lazimnya dianggap sebagai kurun waktu semenjak Mesir diperintah oleh Wangsa Ketiga sampai Wangsa Keenam (2686–2181 SM). Ibukota Kerajaan Mesir selama periode Kerajaan Lama adalah Memphis, tempat yang ditetapkan Djoser sebagai pusat pemerintahannya. Namun mungkin Kerajaan Lama lebih dikenal karena banyaknya piramida yang dibangun pada periode ini sebagai makam firaun. Inilah sebabnya Periode Kerajaan Lama kerap dijuluki "Zaman Piramida." Firaun pertama yang menonjol pada periode ini adalah Djoser (2630–2611 SM) dari Wangsa Ketiga, yang memerintahkan pembangunan sebuah Piramida Berundak di Saqqara, nekropolis Kota Memphis.

Pada periode inilah negara-negara kecil Mesir Kuno yang sebelumnya merdeka berubah menjadi satuan-satuan administratif yang disebut Nome dan yang diperintah oleh Firaun semata. Para mantan pemimpinnya dipaksa menduduki jabatan gubernur atau menjadi pemungut cukai. Bangsa Mesir pada periode ini menyembah firaun sebagai dewa, dan yakin bahwa firaunlah yang menjamin keberlangsungan banjir tahunan yang diperlukan tanaman-tanaman mereka.

Kerajaan Lama dan kekuasaan raja-raja mencapai puncaknya pada Wangsa Keempat. Sneferu, pendiri Wangsa Keempat, diyakini telah memerintahkan pembangunan sekurang-kurangnya tiga piramida; dan jika putera sekaligus penggantinya Khufu, termasyhur sebagai pendiri Piramida Agung Giza, maka Sneferu termasyhur sebagai firaun yang memerintahkan pengangkutan batu dan bata terbanyak dibanding firaun-firaun lainnya. Baik Khufu (Bahasa Yunani Keops), maupun puteranya Khafra (Bahasa Yunani Kefren), dan cucu lelakinya Menkaura (Bahasa Yunani Mikerinus) menjadi masyhur berabad-abad lamanya karena pembangunan piramida-piramida mereka. Untuk mengatur dan memberi makan tenaga kerja yang digunakan dalam pembangunan piramida-piramida ini, diperlukan suatu pemerintahan yang terpusat dengan kekuasaan yang sangat luas, sehingga para egiptolog yakin bahwa Kerajaan Lama pada periode ini telah menunjukkan tahap kecanggihan tersebut. Penggalian-penggalian terkini dekat piramida-piramida di bawah pimpinan Mark Lehner telah menyingkap keberadaan sebuah kota besar yang tampaknya pernah menampung dan menafkahi para pekerja piramida. Sekalipun pernah diyakini bahwa budak-budaklah yang membangun monumen-monumen itu, yakni sebuah teori yang didasarkan pada kisah eksodus Bangsa Israel dalam Alkitab, penelitian yang dilakukan atas makam-makam para tukang yang mengawasi pembangunan piramida-piramida menunjukkan bahwa monumen itu didirikan melalui kerja bakti rakyat jelata yang dikumpulkan dari segenap penjuru Mesir. Tampaknya mereka bekerja ketika luapan banjir tahunan Sungai Nil sedang menutupi ladang-ladang mereka, dan juga merupakan sekumpulan besar para spesialis yang beranggotakan para penatah batu, juru-juru gambar, para matematikawan dan imam-imam.

Wangsa Kelima bermula dengan pemerintahan Userkaf sekitar 2495 SM dan ditandai dengan semakin berkembangnya kultus pemujaan dewa matahari Ra. Akibatnya daya upaya yang dikerahkan untuk membangun kompleks-kompleks piramida selama periode ini lebih sedikit dibanding pada masa pemerintahan Wangsa Keempat, dan lebih besar daya upaya yang dikerahkan untuk mendirikan kuil-kuil pemujaan matahari di Abusir. Hiasan pada kompleks-kompleks piramida menjadi semakin rumit pada periode pemerintahan wangsa ini dan rajanya yang terakhir, Unas, adalah raja pertama yang memerintahkan agar naskah-naskah piramida ditatahkan pada piramidanya. Makin besarnya minat bangsa Mesir akan barang-barang dagangan semisal kayu hitam, wewangian seperti mur dan kemenyan, emas, tembaga dan bermacam-macam logam yang bermanfaat mendorong bangsa Mesir Kuno untuk mengarungi laut lepas. Bukti dari Piramida Sahure, raja kedua dari Wangsa Kelima, menunjukkan adanya perniagaan yang teratur dengan daerah pesisir Suriah untuk mendapatkan kayu Aras. Para firaun juga melakukan ekspedisi-ekspedisi ke Negeri Punt yang termasyhur itu, yang kemungkinan besar berada di Ethiopia dan Somalia sekarang, untuk mendapatkan kayu hitam, gading dan damar wangi.

Pada masa pemerintahan Wangsa Keenam (2345–2181 SM), kekuasaan para firaun mulai sedikit demi sedikit melemah seiring makin besarnya kekuasaan para nomark (gubernur-gubernur daerah). Jabatan-jabatan ini tidak lagi dipegang oleh keluarga kerajaan dan mulai diwariskan turun-temurun, sehingga menciptakan wangsa-wangsa daerah yang agak merdeka dari otoritas pusat yang dipegang firaun. Kekacauan internal timbul pada masa pemerintahan Pepi II (2278–2184 SM) yang cukup lama itu sampai pada akhir kekuasaan Wangsa Keenam. Kematian Pepi II terjadi setelah kematian orang-orang yang dipersiapkan menjadi penggantinya agaknya telah menciptakan perselisihan seputar suksesi yang menjerumuskan negeri ini ke dalam perang saudara hanya beberapa dasawarsa setelah berakhirnya pemerintahan Pepi II. Pukulan terakhir tiba tatkala Mesir dilanda kemarau pada abad ke-22 SM sehingga batas luapan banjir Sungai Nil secara konsisten rendah.[15] Akibatnya adalah keruntuhan Kerajaan Lama disusul bencana kelaparan dan pertikaian selama beberapa dasawarsa.

Periode Menengah Pertama

 
Sebuah model rumah dari tanah liat yang digunakan dalam pemakaman dari Periode Menengah Pertama, dipamerkan di Royal Ontario Museum.

Setelah keruntuhan Kerajaan Lama, tibalah kurun waktu sekitar 200 tahun yang dikenal sebagai Periode Menengah Pertama, yang umumnya diperkirakan mencakup masa pemerintahan serentet firaun yang tidak dikenal mulai akhir kekuasaan Wangsa Keenam sampai Wangsa Kesepuluh, dan sebagian besar masa kekuasaan Wangsa Kesebelas. Sebagian besar firaun-firaun ini adalah raja-raja daerah yang kekuasaannya terbatas pada nome mereka. Ada beberapa naskah fiksi yang dikenal sebagai Ratapan dari awal periode Kerajaan Pertengahan yang memberikan sedikit keterangan mengenai apa saja yang berlangsung pada Periode Menengah Pertama. Beberapa naskah berisi renungan tentang hilangnya tata pemerintahan, naskah-naskah lain menyiratkan invasi "para pemanah Asia". Pada umumnya riwayat-riwayat dalam naskah-naskah tersebut menyoroti sebuah masyarakat yang mengalami hilangnya keteraturan baik dalam masyarakat maupun pada alam sekitarnya.

Sangat mungkin pula pada periode ini terjadi perampokan atas semua piramida dan kompleks-komplek pemakaman. Naskah-naskah Ratapan selanjutnya menyiratkan kenyataan ini, dan menjelang permulaan Kerajaan Pertengahan mumi-mumi dihias dengan mantera-mantera sihir yang sebelumnya dikhususkan bagi piramida raja-raja Wangsa Keenam.

Menjelang 2160 SM sebuah rentetan baru para firaun (Wangsa Kesembilan dan Wangsa Kesepuluh) mempersatukan Mesir Hilir dan mempertahankan keutuhannya dari ibukota mereka di Herakleopolis Agung. Sebuah wangsa tandingan (Wangsa Kesebelas) yang berpangkalan di Thebes mempersatukan kembali Mesir Hulu dan tanpa dapat dicegah lagi timbullah pertentangan antara dua wangsa yang saling bersaing itu. Sekitar 2055 SM bala tentara Thebes mengalahkan para firaun dari kubu Herakleopolis dan mempersatukan kembali Dua Negeri. Pemerintahan firaun pertamanya, Mentuhotep II, menandai bermulanya Kerajaan Pertengahan.

Kerajaan Pertengahan

 
Sebuah arca Mentuhotep II (pendiri Kerajaan Pertengahan) sebagai Dewa Osiris.

Kerajaan Pertengahan adalah periode dalam sejarah Mesir Kuno yang merentang mulai tahun ke-39 pemerintahan Mentuhotep II dari Wangsa Kesebelas sampai akhir kekuasaan Wangsa Ketiga Belas, kira-kira antara 2030 SM dan 1650 SM.

Periode ini terdiri atas dua tahap, tahap yang pertama adalah masa kekuasaan Wangsa Kesebelas yang memerintah di Thebes dan kemudian Wangsa Kedua Belas yang beribukota di el-Lisht. Masa kekuasaan dua wangsa ini mula-mula dianggap sebagai keseluruhan dari periode kerajaan persatuan ini, namun beberapa sejarawan kini[16] beranggapan bahwa bagian pertama dari Wangsa Ketigabelas juga termasuk dalam periode Kerajaan Pertengahan.

Firaun-firaun paling awal dari periode Kerajaan Pertengahan menisbatkan asal-usulnya pada dua nomark dari Thebes, Intef Agung, putera Iku yang mengabdi pada seorang firaun Herakleopolis dari Wangsa Kesepuluh, beserta penggantinya Mentuhotep I. Firaun yang menggantikan Mentuhotep I, Intef I adalah penguasa Thebes pertama yang menggelari dirinya dengan Nama Horus dan oleh karena itu menyatakan diri berhak atas tahta Mesir. Ia dianggap sebagai firaun pertama dari Wangsa Kesebelas. Pernyataan diri itu mengakibatkan rakyat Thebes bertikai dengan para penguasa Dinasti Kesepuluh. Intef I dan saudara lelakinya Intef II beberapa kali melancarkan peperangan ke wilayah utara dan pada akhirnya merebut nome penting, Abydos.

Peperangan berlanjut antara Wangsa Thebes dan Wangsa Herakleopolis sampai pada tahun ke-39 pemerintahan Nebhetepra Mentuhotep II, pengganti kedua dari Intef II. Pada titik ini, kubu Herakleopolis ditaklukkan dan Wangsa Thebes membentangkan jangkauan kekuasaannya ke seluruh Mesir. Mentuhotep II diketahui telah memerintahkan bala tentaranya menyerbu Nubia di wilayah selatan yang telah memerdekakan diri pada Periode Menengah Pertama. Ada pula bukti-bukti pengerahan bala tentara untuk memerangi Palestina. Raja ini menata kembali negeri Mesir dan melantik seorang wazir untuk mengepalai administrasi sipil negeri itu.

Mentuhotep II digantikan oleh puteranya Mentuhotep III, yang mengatur sebuah ekspedisi kembentuk dan mengirim sebuah ekspedisi ke Punt. Pada masa pemerintahannya dihasilkan beberapa karya ukir Mesir yang paling halus. Mentuhotep III digantikan oleh Mentuhotep IV, firaun terakhir wangsa ini. Meskipun namanya tidak tercantum dalam banyak daftar firaun, masa pemerintahannya dibuktikan oleh sejumlah prasasti di Wadi Hammamat yang berisi catatan tentang ekspedisi ke pesisir Laut Merah dan ekspedisi penambangan batu untuk pembuatan monumen-monumen kerajaan. Pemimpin ekspedisi ini adalah wazirnya Amenemhat, yang oleh banyak pihak diduga kelak menjadi Firaun Amenemhet I, raja pertama dari Wangsa Kedua Belas. Oleh karena itu beberapa egiptolog menduga Amenemhet merebut tahta ataupun mengambil alih kekuasaan setelah Mentuhotep IV mangkat tanpa anak.

Amenemhet I mendirikan sebuah ibukota baru bagi Mesir bernama Itjtawy yang diduga terletak tak jauh dari el-Lisht sekarang ini, meskipun Manetho mencatat bahwa Thebes tetap menjadi ibukota. Amenemhet meredakan kekacauan internal dengan kekerasan, membatasi hak-hak para nomark, dan diketahui pernah melancarkan peperangan setidaknya satu kali ke Nubia. Puteranya Senusret I melanjutkan kebijakan ayahnya untuk menguasai kembali Nubia dan dan wilayah-wilayah yang lepas pada Periode Menengah Pertama. Bangsa Libya ditaklukan pada tahun ke-45 masa pemerintahannya dan kemakmuran serta keamanan Mesir kembali pulih.

Senusret III (1878–1839 SM) adalah seorang raja yang gemar berperang. Ia memimpin bala tentara Mesir memasuki pelosok Nubia, dan mendirikan sejumlah benteng raksasa di seluruh wilayah Mesir guna menentukan garis-garis perbatasan resmi yang memisahkan wilayah Mesir dari wilayah yang belum ditaklukkan. Amenemhat III (1860–1815 SM) dianggap sebagai firaun besar terakhir dari Periode Kerajaan Pertengahan.

Populasi Mesir mulai melebihi tingkat produksi pangan pada masa pemerintahan Amenemhat III, yang oleh karena itu memerintahkan eksploitasi atas Fayyum dan peningkatan operasi penambangan di gurun Sinai. Ia juga mengundang orang-orang Asia untuk bermukim di Mesir sebagai tenaga kerja dalam pembangunan monumen-monumen Mesir. Menjelang akhir masa pemerintahannya banjir tahunan Sungai Nil mulai terhenti, yang berakibat makin menyusutnya sumber daya pemerintah. Pada masa kekuasaan Wangsa Ketiga Belas dan Wangsa Keempat Belas Mesir mengalami kemerosotan secara perlahan sehingga pada Periode Menengah Kedua beberapa pemukim Asia yang didatangkan Amenemhet III mampu menguasai Mesir seperti bangsa Hyksos.

Periode Menengah Kedua dan bangsa Hyksos

 
Arca kecil Merankhre Mentuhotep VI, seorang raja kecil dari Wangsa Keenam Belas, memerintah atas wilayah yang dikuasai Thebes ca. 1585 SM.

Periode menengah kedua menandai kurun waktu dalam sejarah Mesir Kuno tatkala negeri itu sekali lagi tercerai-berai antara penghujung Kerajaan Pertengahan dan permulaan Kerajaan Baru. Zaman ini dikenal sebagai zaman ketika bangsa Hyksos (salah satu suku Asia) menunjukkan eksistensinya di Mesir, masa pemerintahan raja-raja bangsa Hyksos inilah yang merupakan masa kekuasaan Wangsa Kelima Belas.

Wangsa Ketiga Belas terbukti tidak mampu mempertahankan keutuhan wilayah Mesir yang begitu luas, dan sebuah keluarga penguasa provinsi berkebangsaan Kanaan yang berlokasi di rawa-rawa sebelah timur muara di Avaris melepaskan diri dari pemerintah pusat serta membentuk Wangsa Keempat Belas. Besar kemungkinan perpecahan wilayah Mesir terjadi tak lama sesudah berkuasanya raja-raja perkasa dari Wangsa Ketiga Belas, Neferhotep I dan Sobekhotep IV sekitar 1720 SM.[17][18] Jika Wangsa Keempat Belas berkebangsaan Kanaan, maka bangsa Hyksos pertama kali muncul dalam sejarah Mesir sekitar 1650 SM tatkala mereka mengambil alih kendali atas kota Avaris dan bergegas ke selatan menuju Memphis, dan dengan demikian mengakhiri masa kekuasaan Wangsa Ketiga Belas dan Wangsa Keempat Belas. Rangkuman riwayat-riwayat tradisional mengenai "invasi" bangsa Hyksos atas Mesir terdapat dalam Aegyptiaca karya Manetho, yang menulis bahwa pada masa itu bangsa Hyksos menguasai Mesir di bawah pimpinan Salitis, pendiri Wangsa Kelima Belas. Meskipun demikian, sekarang ini telah muncul teori baru yang mendapat banyak dukungan bahwa sesungguhnya yang terjadi hanyalah migrasi sederhana yang melibatkan sedikit atau tanpa kekerasan sama sekali.[19] Menurut teori ini, para penguasa Mesir dari Wangsa Ketiga Belas dan Wangsa Keempat Belas tidak sanggup membendung kedatangan para pengungsi baru dari kawasan Levant meninggalkan kerajaan-kerajaan mereka yang sedang terbelit berbagai masalah internal yang besar kemungkinan termasuk bencana kelaparan dan wabah penyakit.[20] Baik dengan kekuatan senjata maupun secara damai, melemahnya kerajaan-kerajaan yang dikuasai Wangsa Ketiga Belas dan Wangsa Keempat Belas sudah cukup untuk menjelaskan mengapa kedua wangsa itu lekas jatuh seiring bangkitnya kekuasaan bangsa Hyksos.

Para penguasa dan petinggi yang berkebangsaan Hyksos berkuasa di daerah muara timur Sungai Nil bersama-sama dengan para bawahan mereka yang berkebangsaan Mesir. Para penguasa Hyksos dari Wangsa Kelima Belas menetapkan Memphis sebagai ibukota dan pusat pemerintahan mereka, serta menjadikan Avaris sebagai tempat tinggal mereka selama musim panas. Kerajaan bangsa Hyksos ini berpusat di bagian timur Delta Nil dan di Mesir tengah tetapi dengan gigih mereka menerobos ke selatan untuk merebut kendali atas wilayah tengah dan wilayah hulu negeri Mesir. Kira-kira bersamaan waktunya dengan kejatuhan Memphis ke tangan bangsa Hyksos, keluarga Mesir yang menguasai Thebes menyatakan kemerdekaannya dan menjadikan dirinya sebagai Wangsa Keenam Belas. Ada pula keluarga penguasa lain di Mesir tengah yang melakukan hal yang sama, yakni memanfaatkan kekosongan pemerintahan akibat keruntuhan Wangsa Ketiga Belas untuk membentuk wangsa baru. Wangsa yang berumur pendek ini dikenal sebagai Wangsa Abydos.[21]

Sekitar 1600 SM bangsa Hyksos sudah berhasil bergerak ke selatan memasuki Mesir tengah, menyingkirkan Wangsa Abydos, dan secara langsung menentang Wangsa Keenam Belas. Wangsa ini terbukti tidak mampu bertahan dan Thebes pun jatuh ke tangan bangsa Hyksos untuk suatu masa yang singkat sekitar 1580 SM.[21] Bangsa Hyksos bergegas mundur ke utara sehingga Thebes kembali menikmati sedikit kemerdekaan di bawah kepemimpinan Wangsa Ketujuh Belas. Semenjak itu, tampaknya hubungan-hubungan bangsa Hyksos dengan kawasan selatan sebagian besar bersifat komersial, meskipun tampaknya para penguasa Thebes mengakui kekuasaan raja-raja Hyksos dan besar kemungkinan juga mempersembahkan upeti kepada mereka selama beberapa waktu.

Wangsa Ketujuh Belas memperjuangkan kemerdekaan Mesir dan kelak memimpin perang kemerdekaan yang mendesak bangsa Hyksos kembali ke Asia. Dua raja terakhir dari wangsa ini adalah Tao II, Sang Pemberani and Kamose. Ahmose I merampungkan penaklukan serta pengusiran bangsa Hyksos dari daerah muara Sungai Nil, memulihkan kekuasaan Thebes atas seluruh Mesir, dan berhasil menegakkan kembali kekuasaan Mesir atas wilayah-wilayah bekas jajahannya di Nubia dan Kanaan.[22] Masa pemerintahannya menandai permulaan masa kekuasaan Wangsa Kedelapan Belas dan permulaan zaman Kerajaan Baru.

Kerajaan Baru

Besar kemungkinan sebagai akibat dari penjajahan bangsa Hyksos selama Periode Menengah Kedua, di zaman Kerajaan Baru bangsa Mesir berupaya membangun pertahanan di antara Levant dan Mesir, serta berhasil memperluas wilayah kekuasaannya ke selatan jauh sampai ke Nubia dan menguasai wilayah-wilayah luas di Timur Dekat. Angkatan perang Mesir bertempur melawan bala tentara Het untuk merebut kendali atas wilayah Suriah sekarang ini.

Wangsa Kedelapan Belas

 
Topeng emas dari mumi Tutankhamun

Pada zaman inilah Mesir mengalami kemakmuran dan kekuasaaan yang besar. Beberapa firaun yang paling penting dan ternama memerintah pada zaman ini. Hatshepsut adalah salah seorang di antara firaun-firaun tersebut. Hatshepsut sendiri merupakan suatu keluarbiasaan karena ia adalah seorang firaun perempuan, suatu peristiwa langka dalam sejarah Mesir. Ia adalah seorang pemimpin yang penuh ambisi dan cakap, menambah jangkauan perniagaan Mesir sampai ke Somalia di selatan dan Mediterania di utara. Ia memerintah selama dua puluh tahun dengan memanfaatkan perpaduan propaganda yang tersebar luas dan kepiawaian dalam berpolitik. Firaun sepemerintahan sekaligus penggantinya Thutmose III (" Napoleon dari Mesir") memperbesar angkatab perang Mesir dan memanfaatkannya dengan hasil yang besar. Menjelang akhir masa pemerintahannya ia memerintahkan penghapusan nama Hatshepsut dari monument-monumen yang dibangun firaun perempuan itu. Ia berperang melawan orang-orang Asia dan merupakan Firaun Mesir yang paling sukses. Amenhotep III secara besar-besaran mendirikan kuil Karnak termasuk pula Kuil Luxor, yang terditi atas dua Pilon, sebuah selasar bertiang dua baris di belakang pintu masuk kuil baru itu, dan sebuah kuil baru untuk Dewi Maat.

Wangsa Kesembilan Belas

 
Mesir dan dunia yang dikenalnya pada 1300 SM.
 
Patung raksasa Ramesses II di kuil yang dibangun baginya di Abu Simbel.

Ramesses I memerintah selama dua tahun dan digantikan oleh puteranya, Seti I. Seti I melanjutkan upaya Horemheb memulihkan kekuatan, kekuasaan, dan kehormatan Mesir. Ia pula yang berjasa atas terbentuknya kompleks kuil di Abydos. Boleh dikata kekuatan Mesir Kuno sebagai sebuah negara-bangsa mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Ramesses II ("yang Agung") dari Wangsa Kesembilan Belas. Ia memerintah selama 67 tahun sejak berusia 18 tahun, melanjutkan usaha pendahulunya, dan mendirikan lebih banyak lagi kuil megah, seperti kuil Abu Simbel di perbatasan dengan Nubia. Ia mencoba merebut kembali wilayah-wilayah di Levant yang pernah dikuasai Wangsa Kedelapan Belas. Perang-perang penaklukan kembali yang dilancarkannya mencapai puncaknya dalam Pertempuran Kadesh pada 1274 SM, tatkala ia memimpin bala tentara Mesir menghadapi pasukan Raja Het Muwatalli II. Catatan riwayat pertempuran ini kelak terkenal sebagai catatan pertama dalam sejarah mengenai serangan militer. Ramesses II termasyhur karena menjadi ayah dari banyak anak yang dilahirkan isteri-isteri dan selir-selirnya; makam yang ia bangun bagi putera-puteranya (banyak dari anak-anaknya yang meninggal dunia mendahuluinya) di Lembah Raja-Raja merupakan kompleks pemakaman terbesar di Mesir.

Para penggantinya meneruskan serangan-serangan militer, meskipun kalangan istana yang semakin resah membuat segala macam urusan bertambah rumit. Ramesses II digantikan oleh puteranya Merneptah yang kemudian digantikan putera Merneptah, Seti II. Kedudukan Seti II tampaknya dipermasalahkan oleh saudara tirinya Amenmesse, yang mungkin saja pernah memerintah untuk sementara waktu dari Thebes. Begitu Seti II mangkat, puteranya Siptah, yang mungkin pernah dijangkiti polio semasa hidupnya, ditetapkan sebagai pewaris tahta oleh Mangkubumi Bay, wazir dari kalangan rakyat jelata berkebangsaan Asia yang memegang kendali di balik layar. At Siptah's early death, tahta diduduki oleh Ibu Suri Twosret, janda Seti II (dan besar kemungkinan adalah saudari Amenmesse). Pada zaman anarki di akhir masa pemerintahan Twosret yang singkat itu, pribumi Mesir bangkit menentang kendali bangsa asing yang berakibat mangkubumi dihukum mati dan Setnakhte didudukkan pada tahta sebagai pendiri Wangsa Kedua Puluh.

Wangsa Kedua Puluh

Menurut anggapan banyak pihak, firaun "agung" terakhir dari zaman Kerajaan Baru adalah Ramesses III, putera Setnakhte, yang memerintah tiga dasawarsa sesudah masa pemerintahan Ramesses II. Pada tahun ke-8 masa pemerintahannya, Orang Laut menginvasi Mesir melalui jalan darat dan laut. Ramesses III mengalahkan mereka dalam dua pertempuran besar di darat dan laut. Ia menyatakan telah menjadikan mereka bangsa taklukan serta menempatkan mereka di Kanaan Selatan, meskipun ada bukti bahwa mereka memasuki Kanaan dengan kekuatan senjata. Kehadiran mereka di Kanaan boleh jadi turut berkontribusi atas pembentukan negara-negara baru di kawasan ini seperti Filistia seusai runtuhnya Kekaisaran Mesir. Ramesses III harus pula melawan invasi suku-suku Libya dalam dua kali peperangan di kawasan barat muara Sungai Nil, yakni pada tahun ke-6 dan tahun ke-11 masa pemerintahannya.[23]

Besarnya pembiayaan pertempuran-pertempuran ini terus menguras perbendaharaan Mesir dan ikut menjadi penyebab kemerosotan perlahan Kekaisaran Mesir di Asia. Gentingnya situasi terbuktikan oleh kenyataan bahwa peristiwa pemogokan buruh yang pertama kali tercatat dalam sejarah terjadi pada tahun ke-29 masa pemerintahan Ramesses III, di saat-saat makanan harus dijatah dan keperluan pokok para undagi elit pembangun makam kerajaan beserta para tukang dan pandai di desa Deir el Medina tidak dapat dipasok.[24] Udara dipenuhi sesuatu yang menghalangi sinar matahari mencapai permukaan tanah sekaligus membatasi pertumbuhan pohon secara global selama hampir dua dasawarsa penuh sampai 1140 SM.[25] Diduga penyebabnya adalah erupsi kali ketiga dari gunung api Hekla di Islandia, namun penetapan waktu peristiwa pemogokan itu masih dalam perdebatan.

Segera setelah Ramesses III mangkat, timbul pertikaian berkepanjangan di antara para ahli warisnya. Tiga dari putera-puteranya kelak berturut-turut menduduki tahta, yakni Ramesses IV, Ramesses VI, dan Ramesses VIII. Akan tetapi, pada zaman ini pula Mesir mulai mengalami serangkaian bencana kemarau, tingkat ketinggian banjir Sungai Nil yang di bawah normal, bencana kelaparan, kerusuhan, dan korupsi pejabat negara. Kekuasaan firaun terakhir, Ramesses XI, sedemikian melemahnya sampai-sampai di daerah selatan para Imam Besar Dewa Amun di Thebes bertindak selaku pemimpin de facto Mesir Hulu, sementara Smendes sudah memegang kendali penuh atas Mesir Hilir bahkan sebelum Ramesses XI mangkat. Smendes kelak mendirikan Wangsa Kedua Puluh Satu di Tanis.

Ketuanan Persia

Mesir di bawah kekuasaan Akhemeniyah dapat dibagi menjadi tiga periode: Yang pertama adalah periode pendudukan Persia kali pertama tatkala Mesir dijadikan salah satu daerah pemerintahan dalam Kekaisaran Persia, yang kedua adalah periode jeda ketika Mesir sempat menikmati kemerdekaan, dan yang ketiga adalah periode pendudukan Persia kali kedua sekaligus yang terakhir.

Raja Persia Kambisus menggelari dirinya dengan gelar resmi firaun, Mesuti-Re ("Re telah melahirkan"), dan mempersembahkan kurban kepada dewa-dewa Mesir. Ia mendirikan Wangsa Kedua Puluh Tujuh. Mesir kemudian digabungkan dengan Siprus dan Fenisia menjadi daerah pemerintahan keenam dalam Kekaisaran Akhemeniyah.

Pengganti Kambisus, Darius I Agung dan Ahasyweros menerapkan kebijakan yang sama, berkunjung ke Mesir, dan menghalau sebuah serangan dari orang-orang Athena. Ada kemungkinan bahwa Artahsasta I dan Darius II juga berkunjung ke Mesir, walaupun tidak disebut dalam sumber-sumber yang digunakan dalam artikel ini, dan tidak pula mampu mencegah merebaknya rasa tidak senang di kalangan rakyat Mesir.

Selama perang suksesi seusai masa pemerintahan Darius II, yang pecah pada 404 SM, bangsa Mesir memberontak di bawah pimpinan Amyrtaeus dan berhasil merebut kembali kemerdekaannya. Satu-satunya pemimpin dari Wangsa Kedua Puluh Delapan ini mangkat pada 399 SM, dan kekuasaan pun beralih ke tangan Wangsa Kedua Puluh Sembilan. Wangsa Ketiga Puluh didirikan pada 380 SM dan bertahan sampai 343 SM. Nektanebo II adalah raja pribumi terakhir yang memerintah atas tanah Mesir.

Artahsasta III (358–338 SM) menaklukkan kembali lembah Sungai Nil untuk jangka waktu yang singkat (343–332 SM). Pada 332 SM Mazakes menyerahkan Mesir kepada Aleksander Agung tanpa perang. Kekaisaran Akhemenia telah berakhir, dan untuk sementara waktu Mesir menjadi daerah pemerintahan yang dikepalai seorang satrap dalam kekaisaran Aleksander. Kelak lembah Sungai Nil diperintah oleh Wangsa Ptolemaik dan kemudian oleh bangsa Romawi.

Wangsa Ptolemaios

Pada 332 SM Aleksander III dari Makedonia menaklukkan Mesir tanpa perlawanan berarti dari pihak Persia. Ia disambut rakyat Mesir sebagai Sang Pembebas. Ia mengunjungi Memphis, dan berziarah ke tempat kediaman juru tenung Dewa Amun di Oasis Siwa. Juru tenung itu menyatakan bahwa Aleksander adalah putera Amun. Ia mampu mengambil hati rakyat Mesir karena sikap hormat yang ditunjukkannya pada agama mereka, tetapi ia menempatkan orang-orang Yunani pada semua jabatan tinggi di negeri itu, dan mendirikan sebuah kota baru yang bercorak Yunani, Aleksandria, untuk dijadikan ibukota Mesir yang baru. Kemakmuran Mesir kemudian dimanfaatkan untuk mendanai rencana penaklukan Aleksander atas seluruh Kekaisaran Persia. Pada permulaan 331 SM ia siap untuk bertolak, dan kemudian memimpin bala tentaranya menuju Fenisia. Ia meninggalkan Kleomenes sebagai nomark yang berkuasa selama ia berada di luar Mesir. Aleksander tidak pernah kembali lagi ke Mesir.

Setelah Aleksander mangkat di Babilon pada 323 SM, timbul krisis suksesi di antara para panglimanya. Mula-mula Perdikkas memerintah Kekaisaran Makedonia selaku wali dari saudara tiri Aleksander Arridaios, yang kelak menjadi Filipus III dari Makedonia, dan kemudian selaku wali dari Philip III dan putera Aleksander yang masih bayi Aleksander IV dari Makedonia, yang belum lahir tatkala ayahnya mangkat. Perdikkas menunjuk Ptolemaios, salah seorang pengiring terdekat Aleksander, menjadi satrap di Mesir. Ptolemaios memerintah Mesir sejak 323 SM atas nama raja-bersama Filipus III dan Aleksander IV. Akan tetapi begitu kekaisaran yang dibangun Aleksander Agung mulai terpecah-belah, Ptolemaios segera menjadikan dirinya sebagai penguasa mesir yang mandiri. Ptolemaios berhasil mempertahankan Mesir dari invasi Perdikkas pada 321 SM, dan memperkokoh kedudukannya di Mesir dan sekitarnya selama Perang Diadokhoi (322–301 SM). Pada 305 SM, Ptolemaios mulai mempergunakan gelar raja-raja. Sebagai Ptolemaios I Soter ("Sang Juru Selamat"), ia mendirikan Wangsa Ptolemaios yang berkuasa atas Mesir selama hampir 300 tahun.

Anak-cucu Ptolemaios di kemudian hari mengikuti tradisi Mesir dengan menikahi saudara kandung mereka, memerintahkan gambar diri mereka ditatahkan pada monument-monumen umum dalam gaya seni dan busana Mesir, serta menganut keyakinan bangsa Mesir.[26][27] Peradaban hellenistik terus tumbuh subur di Mesir bahkan sesudah ditaklukkan oleh kaum Muslim. Wangsa Ptolemaios harus menghadapi pemberontakan-pemberontakan pribumi Mesir dan terlibat dalam peperangan melawan bangsa asing maupun perang saudara yang mengakibatkan kemerosotan dan aneksasi kerajaan itu oleh bangsa Romawi.

Referensi

  1. ^ Barich, B. E. (1998) People, Water and Grain: The Beginnings of Domestication in the Sahara and the Nile Valley. Roma: L' Erma di Bretschneider (Studia archaeologica 98).
  2. ^ Barich et al. (1984) Ecological and Cultural Relevance of the Recent New Radiocabon dates from Libyan Sahara. In: L. Krzyzaniak and M. Kobusiewicz [eds.], Origin and Early Development of Food-Producing Cultures in Northeastern Africa, Poznan, Poznan Archaeological Museum, pp. 411–17.
  3. ^ Carl Roebuck, The World of Ancient Times (Charles Schribner's Sons Publishing: New York, 1966) p. 51.
  4. ^ Redford, Donald B. Egypt, Canaan, and Israel in Ancient Times. (Princeton: University Press, 1992), p. 6.
  5. ^ a b Carl Roebuck, The World of Ancient Times, p. 52.
  6. ^ Adkins, L. and Adkins, R. (2001) The Little Book of Egyptian Hieroglyphics, p155. London: Hodder and Stoughton. ISBN .
  7. ^ Gardiner (1964), p.388
  8. ^ a b Gardiner (1964), p.389
  9. ^ Grimal (1988) p.24
  10. ^ a b Gardiner (1964), 390.
  11. ^ a b Grimal (1988) p.28
  12. ^ a b c d e f Redford, Donald B. Egypt, Canaan, and Israel in Ancient Times. (Princeton: University Press, 1992), p. 16.
  13. ^ a b Gardiner (1694), p.391
  14. ^ Redford, Donald B. Egypt, Canaan, and Israel in Ancient Times. (Princeton: University Press, 1992), p. 17.
  15. ^ The Fall of the Old Kingdom by Fekri Hassan
  16. ^ Callender, Gae. The Middle Kingdom Renasissance from The Oxford History of Ancient Egypt, Oxford, 2000
  17. ^ Janine Bourriau, The Second Intermediate Period (c. 1650–1550 BC) in "The Oxford History of Ancient Egypt," ed: Ian Shaw, (Oxford University Press: 2002), paperback, pp.178–179 & 181
  18. ^ Bulletin of the American Schools of Oriental Research (BASOR) 315, 1999, pp.47–73.
  19. ^ Booth, Charlotte. The Hyksos Period in Egypt. p.10. Shire Egyptology. 2005. ISBN 0-7478-0638-1
  20. ^ Manfred Bietak: Egypt and Canaan During the Middle Bronze Age, BASOR 281 (1991), pp. 21–72 see in particular p. 38
  21. ^ a b Kim Ryholt: The Political Situation in Egypt during the Second Intermediate Period, Museum Tusculanum Press, (1997)
  22. ^ Grimal, Nicolas. A History of Ancient Egypt p. 194. Librairie Arthéme Fayard, 1988.
  23. ^ Nicolas Grimal, A History of Ancient Egypt, Blackwell Books, 1992. p.271
  24. ^ William F. abbey , The Strikes in Ramses III's Twenty-Ninth Year, JNES 10, No. 3 (July 1951), pp. 137–145
  25. ^ Frank J. Yurco, "End of the Late Bronze Age and Other Crisis Periods: A Volcanic Cause" in Gold of Praise: Studies on Ancient Egypt in Honor of Edward F. Wente, ed: Emily Teeter & John Larson, (SAOC 58) 1999, pp.456–458
  26. ^ Bowman (1996) pp25-26
  27. ^ Stanwick (2003)