Sunni (/ˈsni, ˈsʊni/, KBBI: Suni) adalah cabang (firkah) terbesar Islam, yang dianut 85–90% populasi penduduk Muslim. Namanya berasal dari kata Sunnah, yakni meneladani apa yang telah diajarkan Nabi Islam Muhammad.[1] Perbedaan Sunni dengan Syiah berkaitan dengan pertentangan tentang siapa yang pantas sebagai penerus Muhammad yang berujung pada perbedaan antara akidah dan fikih.[2] Menurut tradisi Sunni, Muhammad tidak memiliki penerus dan orang-orang yang terlibat dalam peristiwa Saqifah menunjuk Abu Bakar sebagai khalifah.[2][3][4] Hal ini berbeda dengan pandangan Syiah, yang menganggap bahwa Muhammad menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penerusnya.[5]

Orang yang menganut cabang Islam ini lebih menyebut dirinya sebagai "ahli sunah", atau lebih lengkapnya ahlussunnah wal-jamāʻah ("orang yang mengikuti Sunnah dan berada dalam golongan Jamaah"). Pengikut dari ahlus-sunnah dikenal dengan sebutan Sunni. Sunni sering dijuluki sebagai "Islam Ortodoks",[6][7][8] meski banyak ulama dan pakar agama menentangnya.[9]

Al-Qur'an dan hadis (utamanya yang berada dalam Kutubussittah) dan ijma', menjadi landasan fikih Sunni. Syariah diturunkan dengan mempertimbangkan sumber-sumber tersebut, bersama dengan qiyas, istislah, dan istihsan, menggunakan metode ijtihad yang dikembangkan imam-imam mazhab. Terkait dengan akidah, Sunni berpegang teguh pada rukun iman. Di samping itu, penganut Asy'ariyah dan Maturidiyah menganut pemahaman ilmu kalam serta pemikiran tekstual yang juga disebut sebagai Atsariyah.

Terminologi

Sunnah

Sunnah, secara bahasa bermakna "jalan, cara, atau perilaku walaupun tidak diridai".[10]

Kata bahasa Arab sunnah sudah tua dan berakar pada bahasa pra-Islam. Kata tersebut merujuk pada tradisi yang diikuti mayoritas orang.[11] Istilah tersebut mendapat signifikansi politik yang lebih besar setelah pembunuhan Khalifah ketiga Utsman bin ʿAffan . Dikatakan Malik al-Asytar, seorang sahabat terkenal Ali bin Abi Thalib, didorong selama pertempuran Shiffin melawan Muawiyah bin Abu Sufyan. Setelah pertempuran usai, dirumuskan bagaimana "Sunnah yang benar sebagai alat pemersatu umat, bukan pemecah belah umat" (as-sunna al-ʿādila al-jāmiʿa gairal-mufarriqah) untuk menyelesaikan konflik. Waktu ketika sunnah adalah bentuk pendek dari “sunnah nabi” masih belum diketahui.[12] Pada masa Kekhalifahan Umayyah, gerakan politik seperti Syiah dan Khawarij yang memberontak terhadap pembentukan negara; memimpin pertempuran mereka atas nama "kitab Allah (al-Qur'an) dan Sunnah Nabi-Nya".[13] Selama Perang Saudara Islam Kedua (680–92), istilah sunnah menerima konotasi yang kritis terhadap doktrin Syi'ah. Hal ini dicatat oleh Masrūq bin al-Ajdaʿ (w. 683), yang merupakan seorang Mufti Kufah, bahwa dua khalifah pertama, Abū Bakar ash-Shiddiq dan ʿUmar bin Khattab wajib dicintai dan diakui prioritasnya (Fadā'il). Seorang murid Masruq, asy-Sya'bi (meninggal antara 721 dan 729), yang awalnya memihak Syiah di Kufah selama Perang Saudara, tetapi membelot karena fanatisme mereka dan akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan Khalifah Umayyah ʿAbdul-Malik bin Marwan, mempopulerkan konsep sunnah.[14] Juga diriwayatkan oleh asy-Sya'bi, bahwa dia mengutuk orang-orang yang membenci ʿAisyah dan menganggapnya sebagai pelanggaran sunnah.[15]

Istilah sunnah berbeda dengan frasa yang lebih panjang panjang ahlussunnah wal-jamāʻah atau ahlussunnah, karena kedua tersebut relatif lebih muda. Kemungkinan merujuk kepada Ibnu Taimiyyah, yang menggunakan bentuk pendek tersebut untuk pertama kalinya. [16] Kemudian dipopulerkan oleh ulama pan-Islam seperti Muhammad Rasyid Ridha dalam risalahnya as-Sunnah wasy-Syiʿah au al-Wahhābīyah war-Rāfiḍah: Ḥaqāʾiq Dīnīya Taʾrīḫīyah Ijtimaʿīyah Iṣlaḥīyah ("Sunnah dan Syiah, atau Wahhabisme dan Rafidhah: Sejarah, Fakta Sosiologis, dan Orientasi Reformasinya“) yang diterbitkan pada tahun 1928–29.[17] Istilah "sunnah" biasanya sering digunakan dalam wacana Arab sebagai sebutan bagi Muslim Sunni, serta untuk membedakannya dengan Syiah. Pasangan kata "Sunnah-Syiah" juga digunakan dalam literatur penelitian Barat untuk menunjukkan kontras Sunni-Syiah. [18]

Ahlussunnah

Ahl berarti "keluarga-keluarga, pengikut, penduduk." Dengan demikian ahlussunnah berarti "orang yang mengikuti Sunnah."[19]

Salah satu dokumen pendukung paling awal untuk ahlussunnah berasal dari sarjana Bashrah, Muhammad bin Siri (wafat 728). Namanya disebutkan dalam Shahih Muslim bin al-Hajjaj: "Sebelumnya seseorang tidak bertanya tentang sanad. Tetapi saat fitnah bermula, seseorang berkata: 'Sebutkan kami perawi Anda'. Seseorang kemudian akan menjawabnya: jika mereka adalah ahlussunnah, terimalah hadis mereka. Namun jika mereka adalah ahlul-bid'ah, tolaklah hadis mereka."[20] G.H.A. Juynboll menduga, istilah fitnah dalam pernyataan ini tidak terkait dengan Perang Saudara pertama (665–661) setelah pembunuhan Utsman bin Affan, tetapi Perang Saudara kedua (680–692)[21] ketika umat Islam terpecah. menjadi empat pihak (Abdullah bin Zubair, Bani Umayyah, Syiah di bawah al-Mukhtar bin Abi Ubaid, dan Khawarij). Istilah ahlussunnah ditunjuk dalam situasi ini yang menjauh dari ajaran sesat dari berbagai pihak yang bertikai.[22]

Istilah ahlussunnah selalu dipuji. Abu Hanifah (w. 769), menegaskan bahwa orang-orang ini adalah "orang-orang saleh dan orang-orang Sunnah" (ahlul-ʿadl wa-ahlus-sunnah).[23] Menurut Josef van Ess istilah ini tidak berarti lebih dari "orang beriman yang terhormat dan benar".[24] Di kalangan mazhab Hanafi, sebutan ahlus-sunnah dan ahlul-ʿadl (orang-orang terhormat) dapat dipertukarkan untuk waktu yang lama. Oleh karena itu ulama mazhab Hanafi, Abul-Qāsim as-Samarqandī (w. 953), yang menyusun katekismus untuk Samaniyah, terkadang menggunakan satu ungkapan dan terkadang ungkapan lain untuk kelompoknya sendiri.[25]

Bentuk tunggal dari ahlus-sunna adalah ṣāḥib sunnah (individu pengikut sunnah). [26] Ungkapan ini digunakan misalnya oleh ʿAbdallāh bin al-Mubārak (w. 797) untuk seseorang, yang berlepas diri dari ajaran Syiah, Khawarij, Qadariyah, dan Murji'ah.[27] Selain itu, kata sifat nisbah sunni juga digunakan untuk individu. Demikian tercatat, ulama Quran dari Kufah Abu Bakar bin 'Auyasy (wafat 809) ditanya, bagaimana dia menjadi seorang sunni. Ia menjawab, "Orang yang, ketika firkah-firkah sesat disebutkan, tidak tertarik mengikutinya."[28] Ulama Andalusia, Ibnu Hazm (w. 1064) kemudian mengajarkan, bahwa mereka yang mengaku Islam dapat dibagi menjadi empat kelompok: Ahlussunnah, Muktazilah, Murji'ah, Syiah, dan Khawarij.[29]

Pada abad ke-9, sejumlah orang mulai menambah istilah ahlussunnah dengan tambahan-tambahan positif lainnya. Abu al-Hasan al-Asy'ari merumuskan frasa untuk kelompoknya seperti seperti ahlussunnah wal-istiqāmah ("orang-orang yang mengikuti Sunnah dan teguh pendiriannya"), ahlussunnah wal-ḥadīṡ "orang-orang yang mengikuti Sunnah dan Hadis"),[30] atau ahlul-ḥaqq was-sunnah[31] (“orang-orang yang benar dan mengikuti Sunnah”).

Ahlussunnah wal-jama'ah

Al-Jama'ah, berasal dari kata al-jam'u artinya mengumpulkan sesuatu, dengan mendekatkan sebagian ke sebagian lain, atau mengumpulkan yang bercerai-berai. Kata jama'ah juga berasal dari kata ijtima' (perkumpulan), yang merupakan lawan kata tafaruq (perceraian) dan lawan kata dari furqah (perpecahan). Jama'ah adalah sekelompok orang banyak dan sekelompok manusia yang berkumpul berdasarkan satu tujuan. Selain itu, Jama'ah juga berarti kaum yang bersepakat dalam suatu masalah, atau orang-orang yang memelihara kebersamaan dan kolektifitas dalam mencapai satu tujuan.[32]

Kemunculan ungkapan ahlussunnah wal-jama'ah tidak sepenuhnya jelas. Khalifah Abbasiyah Al-Ma'mūn (memerintah tahun 813–33) mengeluarkan dekrit tentang sekelompok orang, yang mengaku teguh kepada sunnah (nasabū anfusahum ilās-sunnah) dan mengeklaim, mereka adalah "orang-orang pengikut kebenaran, agama dan masyarakat” (ahlul-ḥaqq wad-dīn wal-jamāʿah). [33] Sunnah dan jamaah sudah terhubung di sini. Sebagai pasangan, istilah-istilah ini sudah muncul pada abad ke-9. Tercatat bahwa murid Ahmad bin Hanbal, Harb bin Ismail (wafat 893) menulis kitab berjudul as-Sunnah wal-Jamāʿah, yang kemudian dibantah oleh ulama Muktazilah, Abu Al-Qasim al-Balkhi.[34] Al-Jubba'i (w. 916) mengisahkan dalam Kitāb al-Maqālāt nya, bahwa Ahmad bin Hanbal menggelari murid-muridnya dengan predikat sunnah wal-jama'ah.[35] Hal ini menunjukkan bahwa pengikut mazhab Hambali adalah yang pertama kali menggunakan frasa ahlus-sunnah wal-jamāʿah sebagai sebutan diri.[36]

Akan tetapi, kelompok Karramiyyah yang didirikan oleh Muhammad bin Karram (wafat 859) mengklaim sebagai as-sunnah wal-jama'ah. Mereka menyebut itu karena mereka memuji pendiri mazhab ini setelah memahami sebuah hadis, yang menurutnya nabi Muhammad menubuwatkan bahwa pada akhir zaman akan muncul seorang laki-laki bernama Muhammad bin Karram, yang akan memulihkan sunnah dan jamāʿah dan berhijrah dari Khorasan ke Yerusalem, seperti ketika Muhammad hijrah dari Makkah ke Madinah.[37] Menurut kesaksian ulama Transoksiana, Abul-Yusr al-Bazdawi (w. 1099), Kullabiyah (pengikut ulama Basrian bin Kullab (w. 855)) juga mengeklaim sebagai ahlus-sunnah wal-jama'ah.[38]

Abu al-Hasan al-Asy'ari jarang menggunakan ungkapan ahlus-sunna wal-jama'ah,[39] dan lebih menyukai kombinasi yang lain. Belakangan orang-orang Asy'ariyah seperti al-Isfaranini (w. 1027) dan Abdul-Qahir al-Baghdadi (w. 1078) juga menggunakan ungkapan ahlussunnah wal-jama'ah dan menggunakannya dalam karya-karya mereka untuk merujuk pada mazhab mereka sendiri.[40] Menurut al-Bazdawi semua orang Asy'ari pada masanya mengatakan mereka termasuk ahlus-sunnah wal-jama'ah.[41] Selama ini, istilah tersebut telah digunakan sebagai sebutan diri oleh pengikut Maturidi dan Hanafi di Transoksiana, serta sering digunakan oleh Abu al-Laits as-Samarqandi (wafat 983), Abu Syakur (wafat 1086) dan al-Bazdawi.[42] Mereka menggunakan istilah itu untuk melawan musuh mereka,[43] seperti pengikut Muktazilah. [44] Al-Bazdawī juga membedakan ahlussunnah wal-jama'ah dengan ahli hadis, "karena mereka akan menganut ajaran yang bertentangan dengan Al-Qur'an".[45]

Menurut Syamsuddin al-Maqdisī (hidup akhir abad ke-10), ungkapan ahlussunnah wal-jama'ah menjadi pujian pada masanya, mirip dengan ahlul-ʿadl wat-tauḥīd ("orang-orang yang mengikuti keadilan dan tauhid"), yang digunakan untuk Muktazilah atau sebutan umum seperti Mukminun (“Orang Beriman“) atau aṣḥābul-hudā (“orang-orang yang mendapat petunjuk”) untuk orang Muslim, yang dipandang sebagai orang-orang beriman yang benar. [46] Karena ungkapan ahlussunnah wal-jama'ah digunakan dengan tuntutan keyakinan yang benar, maka dalam penelitian akademis digunakan istilah yang diterjemahkan sebagai "ortodoks".[47]

Mengenai apa sebenarnya istilah jama'ah dalam frasa ahlussunnah wal-jama'ah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ath-Thahawi (wafat 933), dalam rangkumannya terhadap akidah Sunni, istilah jama'ah berbeda dengan istilah Arab furqah ("golongan yang berpecah belah").[48][49] Ath-Thahawi menjelaskan bahwa kata jama'ah dianggap benar dan lurus (ḥaqq wa-ṣawāb) dan furqah sebagai menyimpang dan menyesatkan (zaig wa-ʿaḍāb). [50] Ibnu Taimiyyah berpendapat, bahwa jama'ah sebagai lawan kata dari firqah mengandung makna ijtimāʿ ("kesepakatan bersam"). Selanjutnya ia menghubungkannya dengan prinsip ijmak, sumber hukum ketiga Islam setelah Al-Qur'an dan Sunnah.[51] Ulama Utsmaniyah Muslih ad Din al-Qastallani (wafat 1495) berpendapat bahwa jama'ah berarti "jalan para Sahabat” (ṭarīqat aṣ-ṣaḥābah).[52] Teolog Indonesia modern Nurcholish Madjid (w. 2005) menafsirkan jamaah sebagai konsep inklusif: terbuka untuk pluralisme dan dalam dialog tetapi tidak terlalu menekankan.[53]

Sejarah

•Awal dan Akhir Kekhalifahan

Perselisihan di Masa Kekhalifahan I

Ketika Nabi Muhammad saw wafat, maka terjadilah kesalahpahaman antara golongan Muhajirin dan Anshar siapa yang selanjutnya menjadi pemimpin kaum muslimin. Para sahabat melihat hal ini akan mengakibatkan perselisihan antar kaum muslimin Muhajirin dan Anshar. Setelah masing-masing mengajukan delegasi untuk menentukan siapa Khalifah (pengganti Nabi Muhammad saw). Akhirnya disepakati oleh kaum muslimin untuk mengangkat Sayyidina Abu Bakar ra sebagai khalifah.[butuh rujukan]

Fitnah di Masa Kekhalifahan III

Pada masa kekhalifahan III, Sayyidina Utsman bin Affan ra, terjadi fitnah yang cukup serius di tubuh Islam pada saat itu, yang mengakibatkan syahidnya Khalifah Utsman ra. Pembunuhnya ialah suatu rombongan delegasi yang didirikan oleh Abdullah bin Saba' dari Mesir yang hendak memberontak kepada khalifah dan hendak membunuhnya. Abdullah bin Saba' berhasil membangun pemahaman yang sesat untuk mengadu domba umat Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam. Kemudian masyarakat banyak saat itu, terutama anak buah Abdullah bin Saba' berhasil membunuh Sayyidina Utsman ra dengan sadis ketika beliau sedang membaca Al Qur-an.[butuh rujukan]

Fitnah di Masa Kekhalifahan IV

Saat Sayyidina Ali menjadi khalifah, beliau mengalami kesulitan bertubi-tubi. Orang-orang yang terpengaruh Abdullah bin Saba' terus menerus mengadu domba para sahabat. Usaha mereka berhasil. Para sahabat salah paham mengenai kasus hukum pembunuhan Khalifah Utsman ra. Yang pertama berasal dari ummul mu'minim, Sayyidatina Aisyah ra, yang bersama dengan Sayyidina Thalhah ra dan yang kedua ialah bersama dengan Sayyidina Zubair ra. Mereka berhasil diadu domba hingga terjadilah Perang Jamal atau Perang Unta. Dan kemudian oleh Sayyidina Muawiyah ra yang diangkat oleh Sayyidina Utsman ra sebagai gubernur di Syam, mengakibatkan terjadinya Perang Shiffin. Melihat banyaknya korban dari kaum muslimin, maka pihak yang berselisih mengadakan ishlah atau perdamaian. Para pemberontak tidak senang dengan adanya perdamaian di antara kaum muslimin. Kemudian terjadi usaha pembangkangan oleh mereka yang pada awalnya berpura-pura/ munafik dan merekalah golongan yang disebut Khawarij.[butuh rujukan]

•Tahun Jama'ah

Kaum Khawarij ingin merebut kekhalifahan. Akan tetapi, terhalang oleh Sayyidina Ali dan Sayyidina Muawiyah ra, sehingga mereka merencanakan untuk membunuh keduanya. Ibnu Muljam dari Khawarij berhasil membunuh khalifah, Sayyidina Ali ra pada saat beliau mengimami salat subuh di Kufah, tapi tidak terhadap Sayyidina Muawiyah ra karena dijaga ketat. Bahkan Sayyidina Muawiyah ra berhasil mengkonsolidasikan diri dan umat Islam, berkat kecakapan politik dan ketegaran kepemimpinannya. Karena belajar oleh berbagai pertumpahan darah, kaum muslim secara pragmatis dan realistis mendukung kekuasaan de facto Sayyidina Muawiyah ra. Maka tahun itu, tahun 41 Hijriyah, secara khusus disebut tahun persatuan ('am al-jama'ah).[butuh rujukan]

•Sunnah Madinah

Kaum muslimin mendalami agama berdasarkan Al-Qur'an, dan memperhatikan serta ingin mempertahankan sunnah Nabi di Madinah. Akhirnya ilmu hadits yang berkembang selama beberapa abad, sampai tuntasnya masalah pembukuan hadis sebagai wujud nyata Sunnah pada sekitar akhir abad ke-3 hijriyah. Saat itu, lengkap sudah kodifikasi hadis dan menghasilkan al-Kutub al-Sittah (Buku Yang Enam) yakni oleh al-Bukhari (w. 256 H), Muslim (w. 261 H), Ibnu Majah (w. 273 H), Abu Dawud (w. 275), al-Turmudzi (w. 279 H), dan al-Nasa'i (w. 303 H).[butuh rujukan]

•Perkembangan Selanjutnya

Ahlus-Sunnah pada masa kekuasaan Bani Umayyah masih dalam keadaan mencari bentuk, hal ini dapat dilihat dengan perkembangan empat madzhab yang ada di tubuh Sunni. Abu Hanifah, pendiri Madzhab Hanafi, hidup pada masa perkembangan awal kekuasaan Bani Abbasiyah.[butuh rujukan]

Penganut

 
Negara dengan lebih dari 95% populasi Muslim.[54]
  Sunni
  Syiah
  Ibadi

Para pengikut Sunni meyakini bahwa sahabat Muhammad adalah penyebar Islam yang andal, karena Allah dan Muhammad meridai mereka. Sumber abad pertengahan bahkan melarang kutukan atau fitnah mereka.[55] Keyakinan ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud, bahwa Muhammad bersabda: "Yang terbaik dari manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka, kemudian generasi setelah mereka." Dukungan untuk pandangan ini juga ditemukan dalam Al-Qur'an, menurut Sunni. [56] Oleh karena itu, riwayat para sahabat juga diperhitungkan untuk pengetahuan iman Islam. Sunni juga percaya bahwa para sahabat adalah mukmin sejati karena para sahabatlah yang diberi tugas untuk memushafkan Al-Qur'an.

Sunni tidak memiliki hierarki formal. Pemimpin agama bersifat nonformal, dan menuntut ilmu untuk menjadi ulama di bidang hukum (syariat) atau akidah (kalam). Kepemimpinan agama dan politik pada prinsipnya terbuka untuk semua umat Islam. [57] Menurut Islamic Center of Columbia, Carolina Selatan, setiap orang yang memiliki kecerdasan dan kemauan bisa menjadi ulama. Selama Salat Jumat, jemaah akan memilih orang berilmu untuk memimpin salat, yang dikenal sebagai khatib (orang yang berkhotbah).[58]

Sebuah studi yang dilakukan Pew Research Center pada tahun 2010 dan dirilis Januari 2011 [59] menemukan bahwa terdapat 1,62 miliar Muslim di seluruh dunia, dan diperkirakan lebih dari 85–90% adalah Sunni.[60]

Ideologi

Manhaj Aqidah

Manhaj Tasawuf

Madzhab Fiqih

Terdapat empat madzhab yang paling banyak diikuti oleh Muslim Sunni. Di dalam keyakinan sunni empat madzhab yang mereka miliki valid untuk diikuti. Perbedaan yang ada pada setiap madzhab tidak bersifat fundamental. Perbedaan madzhab bukan pada hal Aqidah (pokok keimanan) tapi lebih pada tata cara ibadah. Para Imam mengatakan bahwa mereka hanya ber-ijtihad dalam hal yang memang tidak ada keterangan tegas dan jelas dalam Alquran atau untuk menentukan kapan suatu hadis bisa diamalkan dan bagaimana hubungannya dengan hadis-hadis lain dalam tema yang sama. Mengikuti hasil ijtihad tanpa mengetahui dasarnya adalah terlarang dalam hal aqidah, tetapi dalam tata cara ibadah masih dibolehkan, karena rujukan kita adalah Nabi Muhammad saw dan beliau memang tidak pernah memerintahkan untuk beribadah dengan terlebih dahulu mencari dalil-dalilnya secara langsung, karena jika hal itu wajib bagi setiap muslim maka tidak cukup waktu sekaligus berarti agama itu tidak lagi bersifat mudah. [butuh rujukan]

Didirikan oleh Imam Abu Hanifah, Madzhab Hanafi adalah yang paling dominan di dunia Islam (sekitar 32%), penganutnya banyak terdapat di Asia Selatan Turki, Pakistan, India, Bangladesh, Sri Lanka, dan Maladewa), Mesir bagian Utara, separuh Irak, Syria, Libanon dan Palestina (campuran Syafi'i dan Hanafi). [butuh rujukan]

Didirikan oleh Imam Malik, diikuti oleh sekitar 20% muslim di seluruh dunia. Madzhab ini dominan di negara-negara Afrika Barat dan Utara.[butuh rujukan] Madzhab ini memiliki keunikan dengan menyodorkan tatacara hidup penduduk Madinah sebagai sumber hukum karena Nabi Muhammad hijrah, hidup dan meninggal di sana dan kadang-kadang kedudukannya dianggap lebih tinggi dari hadits. [butuh rujukan]

Dinisbatkan kepada Imam Syafi'i memiliki penganut sekitar 28% muslim di dunia. Pengikutnya tersebar di Turki, Irak, Syria, Iran, Mesir, Somalia, Yaman, Indonesia, Thailand, Singapura, Filipina, Sri Lanka dan menjadi mazhab resmi negara Malaysia dan Brunei.[butuh rujukan] [butuh rujukan]

Dimulai oleh para murid Imam Ahmad bin Hanbal. Madzhab ini diikuti oleh sekitar 5% muslim di dunia dan dominan di daerah semenanjung Arab.

TRADISI KEAGAMAAN

Ahlus Sunnah Wal Jama'ah memiliki beberapa tradisi keagamaan yang dibenarkan menurut syariat dan hampir dilakukan oleh semua umat Muslim di dunia, yakni diantaranya:

  • Aqiqah, yaitu suatu sunnah yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya yang umurnya masih kurang dari 10 hari, biasanya dengan menyediakan daging kambing atau sapi kepada tamu atau tetangga di sekitar lingkungan
  • Khitan, yaitu ritual pembersihan kepada seorang anak laki-laki dengan di potong bagian kulit kelamin dan hal ini dianggap baik untuk kesehatan dan perempuan juga dikhitan dengan di potong bagian sedikit sekali kulit kelamin
  • Akad nikah, yaitu persidangan peresmian hubungan seorang laki-laki dan perempuan sesuai syariat agama
  • Zakat dan infaq, pemberian daging hasil kurban atau sebagian harta dan pemberian harta berupa barang dan uang kepada yang berhak
  • Kurban, yaitu pemotongan hewan kurban seperti unta, sapi, kambing, atau domba pada hari idul adha
  • Puasa, yaitu menahan hawa nafsu, makan, dan minum dari waktu fajar sampai matahari terbenam selama satu bulan pada bulan Ramadan setiap tahun.
  • Perayaan maulid Nabi, yaitu bersuka cita atas kelahiran Nabi Muhammad saw dengan cara membaca sejarah kehidupan beliau dan bersedekah di malam tanggal 12 Rabiul Awal
  • Ziarah kubur, yaitu suatu sunnah mengunjungi makam orang beriman sebagai sarana intropeksi diri atas akan datangnya kematian dan fananya kehidupan dunia
  • Tawasul dan Tabaruk

Citra

Sebagai cabang Islam yang selamat

Sebuah hadis terkenal, yang ditafsirkan sebagai Vaticinium ex eventu, mengatakan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, hanya satu yang akan selamat.[61] Kaum Sunni berpendapat bahwa merekalah yang merupakan firqatun-najiyah (golongan yang diselamatkan). Misalnya, Abu Mansur al-Baghdadi (w. 1037) menjelaskan di awal karya heresiografinya al-Farq bainal-firaq ("Perbandingan Firqah-FIrqah") bahwa ada 20 Rafidhah 20 Khawarij, 20 Qadariyah, 3 Murji'ah, 3 Najjariyah, 3 Karramiyyah, dan terakhir Bakriyyah, Dirariyyah, dan Jahmiyah. Ini adalah 72 sekte yang sesat. Sekte ke-73 yang merupakan “sekte yang diselamatkan” adalah Sunni (ahlussunnah wal-jamaʿah). Menurut al-Baghdadi, mereka terdiri dari dua kelompok, yaitu pengikut Ra'y dan pengikut hadis. Mereka menyepakati dasar-dasar agama (uṣūluddīn). Yang ada hanyalah perbedaan derivasi (furūʿ) dari norma-norma mengenai pertanyaan tentang apa yang halal dan apa yang haram. Perbedaan ini tidak begitu besar sehingga mereka menganggap satu sama lain telah menyimpang dari jalan yang benar.[62]

Sebagai pusat komunitas Islam

Banyak ulama Sunni juga menjadikan Sunni sebagai pusat komunitas Muslim. Gagasan tersebut telah muncul sampai batas tertentu menurut ulama Asy'ariyah, ʿAbdul-Qāhir al-Baghdādī, yang menekankan pada beberapa pertanyaan dogmatis bahwa posisi Sunni berada di tengah-tengah antara posisi kelompok Islam lainnya.[63] Contohnya adalah pertanyaan tentang Qadar, di mana, menurut teori Kasb, berada tepat di tengah antara dua posisi ekstrem Jabariyah dan Qadariyah.

Ulama Hanbali Ibnu Taimiyyah (w. 1328), yang selain dikenal karena sikapnya yang tidak kenal kompromi, juga menganut pandangan ini. Ia mengatakan bahwa Sunni mewakili "bagian tengah di antara firkah umat" (al-wasaṭ fī firaq al-ummah), seperti halnya Umat Islam adalah tengah di antara komunitas agama lainnya. Dia mengilustrasikan ini dengan contoh-contoh berikut:

  • Dalam hal sifat-sifat Allah, kaum Sunni berdiri di tengah-tengah antara Jahmiyyah, yang sepenuhnya menghilangkan sifat-sifat Tuhan, dan Musyabbihah, yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
  • dalam qada dan qadar, Allah berada di tengah-tengah antara Qadariyah dan Jabariyah,
  • pada pertanyaan tentang ancaman dari Tuhan ( waʿid Allah ) mereka berdiri di tengah-tengah antara Murdschi'a dan Waʿīdiyya, sebuah subkelompok dari Qadariyya,
  • Ketika datang ke pertanyaan iman dan agama, mereka berdiri di tengah-tengah antara Haruiyya (= Kharijites) dan Muʿtazilah di satu sisi dan Murji'a dan Jahmiyya di sisi lain,
  • dan berkenaan dengan Sahabat Nabi mereka berdiri di tengah-tengah antara Rafidhah dan Khawarij.[64]

Persaingan antara Asya'irah, Maturidiyah dan Salafi

 
Ahmed el-Tayeb, Imam besar Al-Azhar, salah satu tokoh penting dalam Muktamar Chechnya, memilih undur diri dari keputusan muktamar.

Sejak paruh kedua abad ke-20, timbul persaingan antara kelompok Asya'irah dan Salafiyah, yang saling mengeluarkan lawan-lawannya dari firkah Sunni. Di Indonesia, ulama Asya'irah Sirajuddin Abbas (w. 1980) menulis kitab pada masa 1960-an, yang menyatakan dengan tegas bahwa Ahli Salaf (Salafiyah) bukan bagian dari Sunni. Selain itu, ia menganggap bahwa tidak ada "mazhab Salafi" pada 300 tahun pertama Islam. Sejak saat itu, ia menyimpulkan bahwa orang-orang yang menganut "mazhab Salafi" dianggap "memperkenalkan mazhab yang tidak pernah ada sebelumnya".[65] Menurutnya, hanya Asya'irah yang benar merupakan Sunni. Tulisan-tulisan Abbas sering menjadi rujukan bagi kampanye antisalafi di Aceh pada 2014.[66] Selama kampanye tersebut, banyak sekolah dan madrasah Salafi di Aceh ditutup pemerintah provinsi.[67]

Dengan adanya keraguan atas status Salafi sebagai bagian dari Sunni, Lajnah Daimah di Arab Saudi memutuskan fatwa bahwa Salafi termasuk dalam kelompok Sunni.[68] Seperti halnya Asya'irah, Salafi meyakini bahwa Salafi adalah ajaran Islam Sunni yang benar, dan menolak Asya'irah dan Maturidiyah sebagai bagian dari Sunni.[69] Contohnya adalah Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, dalam tafsirnya terhadap Aqidah Wasithiyah karya Ibnu Taimiyyah pada 2001 menyatakan bahwa Asya'irah dan Maturidiyah bukanlah bagian dari Sunni, karena doktrin akidahnya bertentangan dengan Nabi Muhammad dan para sahabat. Dengan alasan ini pula, kelompok-kelompok ini tidak dibenarkan menggunakan nama Sunni. Sunni adalah orang yang benar-benar mengikuti manhaj salaf, menurut pandangan mereka.[70]

Anggapan Wahabi bahwa Asy'irah bukan kelompok Sunni menjadi pokok bahasan fatwa oleh "Lembaga Fatwa Mesir" pada Juli 2013. Dalam fatwanya itu, lembaga tersebut menolak anggapan tersebut, serta menetapkan bahwa Asya'irah masih mewakili jumhur ulama, dan menekankan bahwa mereka adalah orang-orang yang di masa lalu menolak argumen ateis (syubuhāt al-malāḥidah). Barang siapa menyatakan mereka tidak beriman atau yang meragukan ortodoksi mereka harus takut akan agama mereka.[71] Pada hari yang sama, lembaga fatwa tersebut juga menegaskan bahwa ahlussunnah wal-jama'ah hanya berlaku bagi mereka yang mengikuti pemahaman Asya'irah maupun Maturidiyah.[72]

Kompetisi antara kelompok Salafi dan Asya'irah muncul lagi dalam dua muktamar Sunni tahun 2016, dalam rangka menanggapi terorisme NIIS. Muktamar yang pertama pada 2016 membahas judul "Siapakah ahlussunnah wal-jama'ah?" dilaksanakan di Grozny, Chechnya, pada Agustus 2016 dan didanai oleh Ramzan Kadyrov. Ulama Mesir, India, Syria, Yaman, dan Rusia ikut serta, seperti Imam Besar al-Azhar Ahmed el-Tayeb, serta Mufti Agung India, Sheikh Abubakr Ahmed. Menurut penyelenggara, muktamar ini diharapkan "memperbaiki penyimpangan agama yang serius dan berbahaya oleh para ekstremis yang mencoba mencoreng kehormatan ahlussunnah wal-jama'ah."[73] Muktamar ini menghasilkan deklarasi bahwa kelompok Salafi dan Islamisme seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dll. serta organisasi Takfiri seperti NIIS bukan Islam Sunni.[74] Menanggapi ini, ulama Salafi menggelar muktamar tandingan di Kuwait pada November 2016 dengan judul "Makna Sesungguhnya dari Ahlussunnah wal-Jama'ah" (al-Mafhūm aṣ-ṣaḥīḥ li-ahlussunnah wal-jama'ah). Dalam muktamar ini, mereka juga sepakat menjauhkan diri dari kelompok ekstremis, serta bersikeras bahwa Salafi bukan hanya bagian dari Sunni, melainkan mewakili Sunni sendiri. Muktamar ini dipimpin oleh Ahmad bin Murabit, Mufti Agung Mauritania.[75][76] Beberapa hari kemudian, Imam Besar al-Azhar Ahmed el-Tayeb secara terbuka undur diri dari deklarasi Muktamar Grozny, menegaskan kembali bahwa dia tidak berpartisipasi di dalamnya dan menekankan bahwa dia secara alami memandang kaum Salafi sebagai Sunni.[77]

Referensi

  1. ^ John L. Esposito, ed. (2014). "Sunni Islam". The Oxford Dictionary of Islam. Oxford: Oxford University Press. 
  2. ^ a b Tayeb El-Hibri, Maysam J. al Faruqi (2004). "Sunni Islam". Dalam Philip Mattar. The Encyclopedia of the Modern Middle East and North Africa (edisi ke-Second). MacMillan Reference. 
  3. ^ Fitzpatrick, Coeli; Walker, Adam Hani (2014). Muhammad in History, Thought, and Culture: An Encyclopedia of the Prophet of God [2 volumes]. ABC-CLIO. hlm. 3. ISBN 978-1610691789. 
  4. ^ Madelung, Wilferd (1997). The Succession to Muhammad. Cambridge University Press. hlm. xi. ISBN 0521646960. 
  5. ^ Jafri, Syed Husain Mohammad (27 August 1976). The Origins and Early Development of Shi'a Islam (Millennium (Series)) (The Millennium (Series).). Karachi, Pakistan: Oxford University Press (First Published By Longman Group Ltd and Librairie du Liban 1979). hlm. 19–21. ISBN 978-0195793871. The Shi'a unequivocally take the word in the meaning of leader, master and patron and therefore the explicitly nominated successor of the Prophet. The Sunnis, on the other hand, interpret the word mawla in the meaning of a friend or the nearest kin and confidant. 
  6. ^ John Richard Thackrah (2013). Dictionary of Terrorism (edisi ke-2, revised). Routledge. hlm. 252. ISBN 978-1135165956. 
  7. ^ Nasir, Jamal J., ed. (2009). The Status of Women Under Islamic Law and Modern Islamic Legislation (edisi ke-revised). Brill. hlm. 11. ISBN 978-9004172739. 
  8. ^ George W. Braswell (2000). What You Need to Know about Islam & Muslims (edisi ke-illustrated). B&H Publishing Group. hlm. 62. ISBN 978-0805418293. 
  9. ^ An Introduction to the Hadith. John Burton. Published by Edinburgh University Press. 1996. p. 201. Cite: "Sunni: Of or pertaining sunna, especially the Sunna of the Prophet. Used in conscious opposition to Shi'a, Shi'í. There being no ecclesia or centralized magisterium, the translation 'orthodox' is inappropriate. To the Muslim 'unorthodox' implies heretical, mubtadi, from bid'a, the contrary of sunna and so 'innovation'."
  10. ^ M. Hasyim Asy'ari, Risalah Ahlussunnah Wa al-Jama'ah. Jombang: Maktabah al-Turats al-Islami. 1418H. hlm. 5. ; dikutip dalam: Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur (2016). AM, Ahmad Muntaha, ed. Khazanah Aswaja. Surabaya: Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. hlm. 10. ISBN 978-602-74756-0-1.  Kemudian menambahkan: Dalam istilah syariat (fikih), sunah berarti sesuatu yang dianjurkan untuk dilakukan, tetapi tidak wajib. Sedangkan menurut ulama ushul fiqh, kata Sunah berarti sesuatu yang secara khusus datang dari Nabi, bukan al-Qur'an, dan dapat dijadikan sebagai dalil dalam menetapkan sesuatu hukum-hukum agama. Dalam batasan yang agak luas, dimaksukkan pula dalam kategori Sunah adalah perbuatan, fatwa dan tradisi yang diinisiasi oleh para sahabat (atsar al-shahabi). Sedangkan Sunah dalam batasan ahli kalam (para teolog) ialah keyanikan (i'tiqad) yang didasarkan pada dalil naql (al-Qur'an, hadis, dan qawl atau ucapan Shahabi, bukan semata bersandar pada pemahaman akal (rasio). Dalam pengertian ahli politik, sunah ialah jejak yang ditinggalkan oleh Muhammad dan para Khulafa Rasyidun. Baca as-Syatibi. al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah. hlm. IV/3. , as-Syaukani. Irsyad al-Fuhul. hlm. 31. , Jalal Muhammad Musa (1975). Nasy'at al-Asyariyah wa Tathawwuruh. Bairut: Dar al-Kitab al-Lubhani. hlm. 15. , Muhammad Abu Zahrah. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah fi a-Siyasah wa al-'Aqidah. Bairut: Dar al-Fikri al-'Arabiyah,tth. hlm. 160. .
  11. ^ Ess: Der Eine und das Andere. 2011, Bd. II, S. 1271.
  12. ^ Ess: Der Eine und das Andere. 2011, Bd. II, p. 1272. (German)
  13. ^ Patricia Crone und Martin Hinds: God's Caliph. Religious authority in the first centuries of Islam. Cambridge University Press, Cambridge, 1986. S. 59–61.
  14. ^ Abū Yūsuf Yaʿqūb ibn Sufyān al-Fasawī: Kitāb al-Maʿrifa wa-t-tārīḫ. Ed. Akram Ḍiyāʾ al-ʿUmarī. 3 Bde. Bagdad: Maṭbaʿat Aršād 1975. Bd. II, p. 813. Digitalisat.
  15. ^ Šams ad-Dīn aḏ-Ḏahabī: Siyar aʿlām an-nubalāʾ. Ed. Šuʿaib al-Arnāʾūṭ. 11. Aufl. Muʾassasat ar-Risāla, Beirut, 1996. Bd. IV, S. 300. Digitalisat
  16. ^ Ibn Taimīya: Minhāǧ as-sunna an-nabawīya. Ed. Muḥammad Rašād Sālim. Ǧamiʿat al-Imām Muḥammad Ibn-Saʿid, Riad, 1986. Bd. II, S. 221, 224. Digitalisat
  17. ^ Muḥammad Rašīd Riḍā: as Sunna wa-š-šiʿa au al-Wahhābīya wa-r-Rāfiḍa: Ḥaqāʾiq dīnīya taʾrīḫīya iǧtimaʿīya iṣlaḥīya. Kairo 1928/29. Digitalisat Wikisource
  18. ^ So zum Beispiel bei Mohammad Heidari-Abkenar: Die ideologische und politische Konfrontation Schia-Sunna: am Beispiel der Stadt Rey des 10. – 12. Jh. n. Chr. Inaugural-Dissertation Köln 1992 und Ofra Bengo und Meir Litvak: The Sunna and Shi'a in history. Division and ecumenism in the Muslim Middle East. 1. Aufl. Palgrave Macmillan, New York, 2011.
  19. ^ Said Abu Jaib, al-Qamus al-Fiqhi Lughatan wa Istihalan. hlm. 29. ; dikutip dalam: Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur (2016). AM, Ahmad Muntaha, ed. Khazanah Aswaja. Surabaya: Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. hlm. 10. ISBN 978-602-74756-0-1. .
  20. ^ Ṣaḥīḥ Muslim, Muqaddima, Bāb anna al-isnād min ad-dīn wa-ʾanna r-riwāya lā takūn illā ʿan aṯ-ṯiqāt
  21. ^ G.H.A. Juynboll: Muslim tradition. Studies in chronology, provenance and authorship of early ḥadīṯ. Cambridge University Press, Cambridge u. a. 1983. S. 17f.
  22. ^ Zaman: Religion and politics under the early ʿAbbāsids. 1997, S. 49.
  23. ^ Abū Ḥanīfa: Risāla ilā ʿUṯmān al-Battī. Ed. Muḥammad Zāhid al-Kauṯarī. Kairo, 1949. S. 38. Digitalisat.
  24. ^ Ess: Der Eine und das Andere. 2011, Bd. II, S. 1273.
  25. ^ Ulrich Rudolph: Al-Māturīdī und die sunnitische Theologie in Samarkand. Brill, Leiden 1997. S. 66.
  26. ^ Juynboll: “An Excursus on ahl as-sunnah”. 1998, S. 321.
  27. ^ Ibn Abī Yaʿlā: Ṭabaqāt al-Ḥanābila. 1952, Bd. II, S. 40.
  28. ^ Abū l-Qāsim Hibatallāh al-Lālakāʾī: Šarḥ uṣūl iʿtiqād ahl as-sunna wa-l-ǧamāʿa. 8. Aufl. Ed. Aḥmad Saʿd Ḥamdān. Wizārat aš-šuʾūn al-islāmīya, Riad, 2003. Bd. I, S. 65. Digitalisat – Engl. Übers. bei Juynboll: “An Excursus on ahl as-sunnah”. 1998, S. 319.
  29. ^ Ibn Ḥazm: al-Faṣl fi-l-milal wa-l-ahwāʾ wa-n-niḥal. Ed. Muḥammad Ibrāhīm Naṣr; ʿAbd-ar-Raḥmān ʿUmaira. 5 Bde. Dār al-Ǧīl, Beirut 1985. Bd. II, S. 265.
  30. ^ Ess: Der Eine und das Andere. 2011, Bd. II, S. 1274.
  31. ^ So al-Ašʿarī: Kitāb al-Ibāna ʿan uṣūl ad-diyāna. S. 8. – Engl. Übers. S. 49.
  32. ^ Lihat Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur (2016). AM, Ahmad Muntaha, ed. Khazanah Aswaja. Surabaya: Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. hlm. 10. ISBN 978-602-74756-0-1.  .
  33. ^ Abū Jaʿfar Muḥammad b. Jarīr aṭ-Ṭabarī: Taʾrīḫ ar-rusul wa-l-mulūk. Hrsg. von M. J. de Goeje. Brill, Leiden, 1879–1901. Bd. III, S. 1114, Zeile 4–8 Digitalisat und Ess: Der Eine und das Andere. 2011, Bd. II, S. 1278.
  34. ^ Vgl. Yāqūt ar-Rūmī: Muʿǧam al-Buldān Ed. F. Wüstenfeld. Brockhaus, Leipzig, 1866–1870. Bd. III, S. 213f. Digitalisat und van Ess: Der Eine und das Andere. 2011, S. 332. (german)
  35. ^ Ess: Der Eine und das Andere. 2011, Bd. II, S. 1273f.
  36. ^ Ess: Der Eine und das Andere. 2011, Bd. II, S. 1276.
  37. ^ Ess: Der Eine und das Andere. 2011, Bd. II, S. 1276.
  38. ^ al-Bazdawī: Kitāb Uṣūl ad-Dīn. 2003, S. 250.
  39. ^ Er kommt bei ihm nur einmal vor, nämlich al-Ašʿarī: Kitāb Maqālāt al-islāmīyīn wa-iḫtilāf al-muṣallīn. 1963, S. 471, Zeile 10. Digitalisat
  40. ^ van Ess: Der Eine und das Andere. 2011, S. 681, 718.
  41. ^ al-Bazdawī: Kitāb Uṣūl ad-Dīn. 2003, S. 250.
  42. ^ Ulrich Rudolph: Al-Māturīdī und die sunnitische Theologie in Samarkand. Brill, Leiden 1997. S. 66.
  43. ^ Brodersen: „Sunnitische Identitätssuche im Transoxanien des 5./11. Jahrhunderts.“ 2019, S. 345.
  44. ^ Brodersen: „Sunnitische Identitätssuche im Transoxanien des 5./11. Jahrhunderts.“ 2019, S. 347. (German)
  45. ^ al-Bazdawī: Kitāb Uṣūl ad-Dīn. 2003, S. 254.
  46. ^ Šams ad-Dīn al-Muqaddasī: Kitāb Aḥsan at-taqāsīm fī maʿrifat al-aqālīm. Ed. M. J. de Goeje. 2. Aufl. Brill, Leiden 1906. S. 37. Digitalisat – Französische Übersetzung André Miquel. Institut Français de Damas, Damaskus, 1963. S. 88.
  47. ^ So Kate Chambers Seelye in ihrer Übersetzung von al-Baghdādīs Al-Farq baina l-firaq, siehe Seelye: Moslem Schisms and Sects. 1920, S. 38.
  48. ^ See z. B. aṭ-Ṭaḥāwī: al-ʿAqīda aṭ-Ṭaḥāwīya. 1995, S. 24. – Engl. Übers. Watt: Islamic creeds: a selection. 1994, S. 53.
  49. ^ Siehe z. B. aṭ-Ṭaḥāwī: al-ʿAqīda aṭ-Ṭaḥāwīya. 1995, S. 24. – Engl. Übers. Watt: Islamic creeds: a selection. 1994, S. 53.
  50. ^ aṭ-Ṭaḥāwī: al-ʿAqīda aṭ-Ṭaḥāwīya. 1995, S. 31. – Engl. Übers. Watt: Islamic creeds: a selection. 1994, S. 56.
  51. ^ Ibn Taimīya: al-ʿAqīda al-Wāsiṭīya. 1999, S. 128. – Dt. Übers. Wein S. 99.
  52. ^ Murtaḍā az-Zabīdī: Itḥāf as-sāda al-muttaqīn bi-šarḥ Iḥyāʾ ʿulūm ad-dīn. Muʾassasat at-taʾrīḫ al-ʿArabī, Beirut, 1994. Bd. II, S. 6 Digitalisat
  53. ^ Saleh: Modern Trends in Islamic Theological Discourse in 20th Century Indonesia. 2001, S. 91–96. (German)
  54. ^ Source for distribution is the CIA World Factbook, Shiite/Sunnite distribution collected from other sources. Shiites may be underrepresented in some countries where they do not appear in official statistics.
  55. ^ Coeli Fitzpatrick Ph.D., Adam Hani Walker Muhammad in History, Thought, and Culture: An Encyclopedia of the Prophet of God [2 volumes] ABC-CLIO, 2014 ISBN 978-1610691789 pp. 106–107
  56. ^ Quran, [Qur'an At-Taubah:100]
  57. ^ Simone Chambers, Peter Nosco Dissent on Core Beliefs: Religious and Secular Perspectives Cambridge University Press, 2015 ISBN 978-1107101524 p. 138
  58. ^ Masjid al-Muslimiin. "Organizational Structure Of Islam". The Islamic Center of Columbia (South Carolina). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-10-01. Diakses tanggal 7 December 2013. 
  59. ^ "Region: Middle East-North Africa". The Future of the Global Muslim Population – Executive Summary. Pew Research Center. 2011-01-27. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-03-09. Diakses tanggal 3 April 2013. 
  60. ^ See:
  61. ^ Juynboll: “An Excursus on ahl as-sunnah”. 1998, p. 323f.
  62. ^ al-Baġdādī: Al-Farq baina l-firaq. S. 38f. – Engl. Übers. Chambers Seelye S. 38 (the term ahl as-sunna wa-l-ǧamāʿa is here transalted as “the orthodoxy”).
  63. ^ John B. Henderson: The construction of orthodoxy and heresy: Neo-Confucian, Islamic, Jewish, and early Christian patterns. State University of New York Press, Albany, NY, 1998. p. 107.
  64. ^ Ibn Taimīya: al-ʿAqīda al-Wāsiṭīya. 1999. S. 82. Digitalized Deutsche Übers. Cl. Wein. 1973, S. 84f.
  65. ^ Dhuhri: „The Text of Conservatism“. 2016, p. 46f.
  66. ^ Dhuhri: „The Text of Conservatism“. 2016, p. 49.
  67. ^ Institute for Policy Analysis of Conflict: “The Anti-Salafi Campaign in Aceh”. IPAC-Report No. 32 6. Oktober 2016.
  68. ^ Aḥmad ibn ʿAbd ar-Razzāq ad-Darwīš: Fatāwā al-Laǧna ad-dāʾima li-l-buḥūṯ al-ʿilmīya wal-iftāʾ. Dār al-ʿĀṣima, Riad, 1996. Bd. II, S. 165f. digitalized
  69. ^ Namira Nahouza: Wahhabism and the Rise of the New Salafis. Theology, Power and Sunni Islam. Tauris, London, 2018. p. 144–147.
  70. ^ Muḥammad Ibn ʿUṯaimīn: Šarḥ al-Wāsiṭīya li-Ibn Taimīya. Dār Ibn al-Ǧauzī, ad-Dammām, 2001. p. 53f. Digitalized
  71. ^ Ramy al-Ašāʿira bi-l-ḫurūǧ ʿan ahl as-sunna wa-l-ǧamāʿa Diarsipkan 17 April 2021 di Wayback Machine. Fatwa Nr. 2370 des ägyptischen Fatwa-Amtes vom 24. Juli 2013.
  72. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Daralifta2366
  73. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Grozny
  74. ^ "The Conference of Ulama in Grozny: the Reaction of the Islamic World". islam.in.ua. 
  75. ^ Muʾtamar bi-l-Kuwait raddan ʿalā Ġurūznī as-salaf hum as-sunna... wa-lā li-ṯ-ṯaurāt Arabic CNN 13. November 2016.
  76. ^ ʿAbdallāh Maṣmūdī: Tauṣīyāt Muʾtamar al-Mafhūm aṣ-ṣaḥīḥ li-ahl as-sunna wa-l-ǧamāʿa wa-aṯaru-hū fī l-wiqāya min al-ġulūw wa-t-taṭarruf. Howiyapress.com 13. November 2016.
  77. ^ Aḥmad aṭ-Ṭaiyib: al-Azhar barīʾ min muʾtamar aš-Šīšān.. wa-s-Salafīyūn min ahl as-sunna wa-l-ǧamāʿa Arabic CNN 19. November 2016.

Bacaan lebih lanjut

  1. Branon Wheeler, Applying the Canon in Islam: The Authorization and Maintenance of Interpretive Reasoning in Ḥanafī Scholarship, SUNY Press, 1996
  2. Yudhi, Esha Rachman, ed. (2013). 500 tokoh muslim 500 tokoh muslim dunia paling berpengaruh saat ini. Diterjemahkan oleh Boediwardoyo, Satriyo. Jakarta: PT. Ufuk Publishing House. hlm. 38. ISBN 978-602-7689-52-7. OCLC 960422789. 
  3. Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur (2016). AM, Ahmad Muntaha, ed. Khazanah Aswaja. Surabaya: Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. hlm. 10. ISBN 978-602-74756-0-1. 

Lihat pula

Pranala luar