Ahmad Husein

(Dialihkan dari Ahmad Hussein)

Kolonel (Purn.) Ahmad Husein (1 April 1925 – 28 November 1998) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia dan pemimpin militer PRRI. Pada tanggal 15 Februari 1958 di Padang dia membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di bawah pimpinan Syafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri dengan tujuan mengoreksi pemerintahan otoriter Soekarno yang dianggap inkonstitusional dan mengabaikan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Tindakan koreksinya itu ternyata mendapat sambutan berupa aksi militer dari pemerintah pusat di Jakarta sehingga menimbulkan perang saudara di Sumatera Barat.[1]

Ahmad Husein
Letnan Kolonel Ahmad Husein
Panglima PRRI Ke-1
Masa jabatan
15 Februari 1958 – 1961
Perdana MenteriSjafruddin Prawiranegara
Sebelum
Pendahulu
jabatan dibentuk
Pengganti
jabatan dihapuskan
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir(1925-04-01)1 April 1925
Padang, Sumatera Barat, Hindia Belanda
Meninggal28 November 1998(1998-11-28) (umur 73)
Jakarta
Anak5
Orang tuaAbdoel Kahar (ayah)
Sa'adiyah (ibu)
PekerjaanMiliter
Dikenal karenaPemimpin PRRI
Karier militer
Pihak
  • Kekaisaran Jepang (1942–1945)
  • Indonesia (1945–1961)
Dinas/cabang TNI Angkatan Darat
Masa dinas1942–1961
Pangkat Kolonel
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Riwayat Hidup

sunting
 
Bekas kantor Badan Keamanan Rakyat di Padang

Ahmad Husein lahir di Padang pada 1 April 1925 dari pasangan Abdoel Kahar seorang pemilik apotik di rumah sakit militer Padang[2] dan usahawan Muhammadiyah, dan Sa’adiyah. Ahmad sebelas orang bersaudara (7 laki-laki, 4 perempuan). Ia bersekolah di HIS Padang dan tamat tahun 1938. Setelah itu ia belajar di Taman Dewasa (setingkat MULO) di Bukittinggi dan tamat tahun 1941. Pada 1943, menyusul masuknya Jepang ke Indonesia, Ahmad Husein mendaftar masuk Gyugun. Di Gyugun, Ahmad terkenal jago tembak.[3]

Menjelang kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik, Ahmad menjadi anggota Badan Keamanan Rakjat (BKR) di Padang. Ia aktif merekrut para pemuda menjadi anggota BKR. Ahmad menjadi komandan tempur Padang Area, yang kemudian dikenal sebagai pasukan Harimau Kuranji.[3]

Seiring dengan perjalanan kemerdekaan Indonesia, terjadi reorganisasi dalam dinas ketentaraan. Di Padang terbentuklah Divisi Banteng. Ahmad Husein aktif dalam divisi ini, dan dalam tahun-tahun yang sulit, menyusul munculnya agresi Belanda I dan II, ia dan kawan-kawannya aktif berjuang mempertahankan kedaulatan republik.[3] Akan tetapi pada kemudian hari, Ahmad Husein kecewa kepada Presiden Soekarno yang pertama kali berjumpa dengannya di Bukittinggi pada 2 Juni 1948. Presiden Soekarno dinilai terlalu berfokus pada pembangunan Jawa dan mengabaikan daerah-daerah.[3]

Pada 15 Februari 1958 Ahmad Husein dengan Dewan Bantengnya mendeklarasikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Jakarta menudingnya berbuat makar kepada NKRI. Presiden Soekarno mengirim tentara pusat ke Sumatera Barat. Gerakan PRRI berhasil dipadamkan tahun 1961. Para pendukungnya lari kocar-kacir, sebagian kembali ke pangkuan RI, termasuk Ahmad Husein. Banyak kajian menunjukkan bahwa Amerika Serikat ikut berperan dalam gerakan itu, karena Soekarno makin condong ke Blok Timur. Rakyat Minangkabau mengalami trauma tragis serta dianggap telah memporak-porandakan tatanan sosial masyarakat Minangkabau.[3]

Setelah menyerah kepada tentara pusat, Ahmad Husein diberi pengampunan/amnesti oleh Presiden Soekarno. Kemudian ia pindah ke Jakarta dan hidup mewah di sana. Ahmad Husein meninggal di Jakarta pada 28 November 1998. Jenazahnya dibawa ke Padang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kuranji.[3]

Ketua Dewan Banteng

sunting

Dewan Banteng yang dibentuk di Padang pada tanggal 20 Desember 1956 adalah cikal bakal dari PRRI, walaupun pada awalnya bertujuan membangun daerah yang dirasa tertinggal dibanding pembangunan di pulau Jawa. Dewan yang diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah itu diketuai oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein.

Dewan Banteng terbentuk setelah melalui dua kali pertemuan para perwira aktif maupun pensiunan yang berasal dari Divisi IX Banteng, suatu divisi dalam Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) yang dibentuk pada masa Perang Kemerdekaan tahun 1945 - 1950 melawan kolonialis Belanda. Sebelumnya divisi yang telah dibubarkan pemerintah itu membawahi teritorial Sumatra Tengah (Sumbar, Riau, Kepulauan Riau dan Jambi sekarang). Salah satu resimen Komando Divisi IX Banteng yaitu Resimen 6 dianggap sebagai pasukan terbaik di Sumatra.

Pertemuan pertama yang berlangsung di Jakarta pada 21 September 1956 dilanjutkan dengan pertemuan kedua di Padang dari tanggal 20 sampai 24 November 1956 yang dihadiri 612 orang perwira aktif dan pensiunan yang berasal dari divisi yang telah bubar itu. Pada tanggal 20 Desember 1956 terbentuklah Dewan Banteng yang dilandasi oleh keinginan untuk membangun daerah yang dirasa tertinggal.

Selain kesejahteraan rakyat yang diabaikan dan kondisi prajurit yang memprihatinkan, faktor lain yang juga menjadi pendorong terbentuknya dewan itu adalah ketidak puasan para perwira dan prajurit yang berasal dari Divisi IX Banteng yang dibubarkan pemerintahan pusat. Penciutan Komando Divisi IX Banteng menjadi Brigade Banteng lalu berlanjut menjadi Resimen Infanteri 4 yang kemudian dilebur kedalam Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan (TT I BB) yang berkedudukan di Medan. Ahmad Husein-pun hanya menjadi Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB.

Keberadaan Dewan Banteng tidak hanya didukung oleh para perwira militer mantan anggota Divisi Banteng, tetapi juga oleh semua elemen masyarakat di Sumatra Tengah seperti partai politik, kaum ulama, intelektual, pemuda dan kaum adat, kecuali Partai Komunis Indonesia (PKI), sehingga melahirkan semboyan ketika itu yang berbunyi: "Timbul Tenggelam Bersama Dewan Banteng". Namun dalam pendiriannya Dewan Banteng tetap mengakui Pemerintahan Republik Indonesia di bawah Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Djuanda serta Jenderal A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

Tuntutan Dewan Banteng

sunting
  • Pemberian serta pengisian otonomi luas bagi daerah-daerah dalam rangka pelaksanaan sistem pemerintahan desentralisasi serta pemberian perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang wajar, layak dan adil.
  • Dihapuskannya segera sistem sentralisme yang dalam kenyataannya mengakibatkan birokrasi yang tidak sehat dan juga menjadi pokok pangkal dari korupsi, stagnasi pembangunan daerah, hilangnya inisiatif dan kegiatan daerah serta kontrol.
  • Pembentukan kembali Komando Pertahanan Daerah dalam arti teritorial, operatif dan administratif yang sesuai dengan pembagian administratif dari Negara Republik Indonesia dewasa ini dan merupakan komando utama dalam Angkatan Darat.
  • Ditetapkannya eks. Divisi IX Banteng Sumatra Tengah sebagai kesatuan militer yang menjadi satu korps dalam Angkatan Darat.

Setelah itu Ahmad Husein sebagai Ketua Dewan Banteng, mengambil alih jabatan Gubernur Sumatra Tengah dari tangan Gubernur Ruslan Mulyoharjo. Tindakan Ahmad Husein itu tidak mendapatkan hukuman, malah Pemerintah Pusat memenuhi tuntutan Dewan Banteng dengan membentuk Komando Militer di Sumatra Tengah yaitu Komando Militer Daerah Sumatra Tengah (KMDST) yang terlepas dari Komando Tentara Teritorium (TT) I Bukit Barisan yang berkedudukan di Medan, sedangkan Ahmad Husein diangkat menjadi Panglima KMDST dengan pangkat Kolonel. Dalam hal ini beberapa tuntutan Dewan Banteng dipenuhi oleh pemerintah pusat.

Di Stadion Benteng (kini bernama Lapangan Imam Bonjol), Kepala Staf TNI Angkatan Darat Abdul Haris Nasution melantik Letkol Ahmad Husein sebagai Panglima Komando Militer Daerah Sumatera Tengah.[4]

Pada tanggal 22 Desember 1956, dua hari sesudah terbentuknya Dewan Banteng, Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan mengumumkan pembentukan Dewan Gajah di Medan dan menyatakan melepaskan diri dari Pemerintahan PM Djuanda lalu menyatakan wilayah teritorialnya dalam keadaan Darurat Perang (SOB). Aksi Kolonel Maludin Simbolon itu mendapat reaksi keras dari pemerintah pusat dengan memerintahkan KSAD Jenderal A.H. Nasution untuk memecat Kolonel Simbolon dan menggantinya dengan Letnan Kolonel Djamin Ginting. Selanjutnya langkah tersebut-pun diikuti oleh pembentukan Dewan Garuda di Sumatera Selatan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Barlian dan Dewan Manguni di Sulawesi di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ventje Sumual.

Panglima PRRI

sunting
 
Kolonel Dahlan Djambek, Burhanuddin Harahap, Ahmad Husein, Sjafruddin Prawiranegara, Kolonel Maludin Simbolon, dan Muhammad Sjafei
 
Makam Ahmad Husein di Kuranji, Padang

Tuntutan Dewan Banteng tentang otonomi, sistem pemerintahan desentralisasi, perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang adil, penyerahan mandat Perdana Menteri Djuanda kepada Mohammad Hatta dan Hamengku Buwono IX, pembentukan zaken kabinet dan tuntutan agar Presiden kembali sebagai Presiden Konstitusional serta beberapa tuntutan lainnya tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat. Hal ini mengakibatkan Dewan Banteng tidak lagi mengirimkan penghasilan Daerah Sumatra Tengah ke Pemerintah Pusat, tetapi dipakai untuk pembangunan daerah. Bahkan Dewan Banteng juga melakukan barter hasil-hasil alam Sumatra Tengah dengan pihak luar negeri. Seluruh dana yang didapat dari hasil bumi itu digunakan untuk pembangunan daerah. Hanya dalam beberapa bulan saja terlihat hasil yang nyata berbeda dengan keadaan sebelumnya, bahkan pembangunan Sumatra Tengah di bawah Dewan Banteng dianggap sebagai yang terbaik di Indonesia pada waktu itu. Apa yang dilakukan Dewan Banteng tersebut membuat hubungan daerah Sumatra Tengah dengan pemerintah pusat menjadi tegang.

Setelah rapat di Sungai Dareh, Sumatra Tengah pada tanggal 9 Januari 1958, akhirnya Ahmad Husein membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tanggal 15 Februari 1958 dengan mengangkat Syafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri berikut kabinetnya. Sementara itu di Sulawesi Utara, Letnan Kolonel D.J. Somba mengikutinya dengan membentuk Gerakan Piagam Perjuangan Semesta (Permesta).

Setelah melalui beberapa perundingan yang tidak menghasilkan kesepakatan ditengah situasi yang menegangkan akhirnya pemerintah mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk membungkam aspirasi daerah-daerah tersebut. Terjadilah perang saudara yang cukup banyak memakan korban jiwa di Sumatera Barat.

Referensi

sunting
  1. ^ * Asnan, Gusti (2007). Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat Tahun 1950-an. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 9789794616406. 
  2. ^ Salam, Fahri. "Sejarah PRRI: Para Kolonel Pembangkang Menentang Jakarta". tirto.id. Diakses tanggal 2022-07-19. 
  3. ^ a b c d e f "Minang Saisuak #227 – Kolonel Ahmad Husein (1925-1998)". Dr. Suryadi | LIAS - SAS Indonesië, Universiteit Leiden, Belanda (dalam bahasa Inggris). 2015-07-05. Diakses tanggal 2022-07-19. 
  4. ^ Djalal, Nasrul; Hendrik, Makmur (2018). Pelaku dan saksi sejarah angkatan 66 Sumatera Barat bertutur tentang Tritura. Erka. ISBN 978-602-0738-03-1. 

Bacaan lanjutan

sunting

Pranala luar

sunting