Bandotan

spesies tumbuhan
(Dialihkan dari Babadotan)

Bandotan atau Wedusan (Ageratum conyzoides) adalah sejenis gulma pertanian anggota suku Asteraceae. Terna semusim ini berasal dari Amerika tropis, khususnya Brasil, akan tetapi telah lama masuk dan meliar di wilayah Nusantara. Disebut juga sebagai babandotan atau babadotan (Sd.); wedusan (Jw.); dus-bedusan (Md.); rumput balam (Ptk.); serta Billygoat-weed, Goatweed, Chick weed, atau Whiteweed dalam bahasa Inggris, tumbuhan ini mendapatkan namanya karena bau yang dikeluarkannya menyerupai bau kambing.

Bandotan
Bandotan liar di Majalengka
Klasifikasi ilmiah Sunting klasifikasi ini
Kerajaan: Plantae
Klad: Tracheophyta
Klad: Angiospermae
Klad: Eudikotil
Klad: Asterid
Ordo: Asterales
Famili: Asteraceae
Genus: Ageratum
Spesies:
A. conyzoides
Nama binomial
Ageratum conyzoides

Pemerian botanis

sunting

Terna berbau keras, berbatang tegak atau berbaring, berakar pada bagian yang menyentuh tanah, batang gilig dan berambut jarang, sering bercabang-cabang, dengan satu atau banyak kuntum bunga majemuk yang terletak di ujung, tinggi hingga 120 cm. Daun-daun bertangkai, 0,5–5 cm, terletak berseling atau berhadapan, terutama yang letaknya di bagian bawah. Helaian daun bundar telur hingga menyerupai belah ketupat, 2–10 × 0,5–5 cm; dengan pangkal agak-agak seperti jantung, membulat atau meruncing; dan ujung tumpul atau meruncing; bertepi beringgit atau bergerigi; kedua permukaannya berambut panjang, dengan kelenjar di sisi bawah.[1][2]

Bunga-bunga dengan kelamin yang sama berkumpul dalam bongkol rata-atas, yang selanjutnya (3 bongkol atau lebih) terkumpul dalam malai rata terminal. Bongkol 6–8 mm panjangnya, berisi 60–70 individu bunga, di ujung tangkai yang berambut, dengan 2–3 lingkaran daun pembalut yang lonjong seperti sudip yang meruncing. Mahkota dengan tabung sempit, putih atau ungu. Buah kurung (achenium) bersegi-5, panjang lk. 2 mm; berambut sisik 5, putih.[1][2]

Penyebaran dan ekologi

sunting
 
Bandotan di India

Tumbuhan ini menyebar luas di seluruh wilayah tropika, bahkan hingga subtropika. Didatangkan ke Jawa sebelum 1860, kini gulma ini telah menyebar luas di Indonesia.[1] Di Amerika Selatan, tumbuhan ini malah dibudidayakan; menurut catatan sejarah, bandotan memang didatangkan dari Meksiko.[3]

Bandotan sering ditemukan sebagai tumbuhan pengganggu di sawah-sawah yang mengering, ladang, pekarangan, tepi jalan, tanggul, tepi air, dan wilayah bersemak belukar.[2] Ditemukan hingga ketinggian 3.000 m, terna ini berbunga sepanjang tahun dan dapat menghasilkan hingga 40.000 biji per individu tumbuhan. Karenanya, gulma ini dirasakan cukup mengganggu di perkebunan.[1]

Di luar Indonesia, bandotan juga dikenal sebagai gulma yang menjengkelkan di Afrika, Asia Tenggara, Australia, serta di Amerika Serikat.[4][5]

Manfaat

sunting

Di Bogor, babadotan dikenal luas sebagai obat luka. Caranya, dengan menumbuk bandotan dan dicampur dengan minyak goreng, dan dipergunakan untuk obat luar saja.[3] Menurut Heyne,[6] daun tumbuhan ini diremas-remas, dicampur dengan kapur, dioleskan pada luka yang masih segar. Rebusan dari daun juga digunakan untuk obat sakit dada, sementara ekstrak daunnya untuk obat mata yang panas. Akar yang ditumbuk dioleskan ke badan untuk obat demam; ekstraknya dapat diminum. Daunnya bisa dijadikan obat tetes mata, dengan jalan menumbuknya; air tumbukan tersebut, bisa diteteskan ke mata untuk cuci mata. Cara ini umum di Pantai Gading. Di sana pula, bandotan dipergunakan untuk sakit perut, penyembuhan luka, dan untuk menyembuhkan patah tulang.[3]

Zat yang terkandung dalam babadotan yang dilaporkan pada tahun 1987 adalah sebagai berikut: minyak esensial, alkaloid, dan kumarin.[3] Meski demikian, tumbuhan ini juga memiliki daya racun. Di Barat, bandotan juga dimanfaatkan sebagai insektisida dan nematisida.[7] Sementara, penelitian lain menemukan bahwa bandotan dapat menyebabkan luka-luka pada hati dan menumbuhkan tumor.[8][9] Tumbuhan ini mengandung alkaloid pirolizidina.[10]

Catatan kaki

sunting
  1. ^ a b c d Soerjani, M., AJGH Kostermans dan G. Tjitrosoepomo (Eds.). 1987. Weeds of Rice in Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta. p. 60-61 (illust.)
  2. ^ a b c Steenis, CGGJ van. 1981. Flora, untuk sekolah di Indonesia. PT Pradnya Paramita, Jakarta. Hal. 422-423
  3. ^ a b c d Dharma, A.P. (1987). Indonesian Medicinal Plants [Tumbuhan Obat Indonesia]. hal.28 – 29. Jakarta:Balai Pustaka.
  4. ^ Global Compendium of Weeds, Ageratum conyzoides (Asteraceae)
  5. ^ Alan S. Weakley (April 2008). "Flora of the Carolinas, Virginia, and Georgia, and Surrounding Areas". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-10-06. Diakses tanggal 2010-02-19. 
  6. ^ Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, jil. 3:1825-1826. Terj. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta
  7. ^ Ming, L.C. (1999) Ageratum conyzoides: A tropical source of medicinal and agricultural products. p. 469–473. In: J. Janick (ed.), Perspectives on new crops and new uses. ASHS Press, Alexandria, VA.
  8. ^ Sani, Y., Bahri, S. 1994. "Pathological changes in liver due to the toxicity of Ageratum conyzoides (babadotan)". Penyakit Hewan (Indonesia),, v. 26(48): 64-70
  9. ^ Molyneux, R., "Hepatatoxic alkaloids in Afghan and Ethioipian cereal grains: a need for rapid screening methods", AOAC Pacific Northwest Section, Annual Meeting, June 2009.[1][pranala nonaktif permanen]
  10. ^ Fu, P.P., Yang, Y.C., Xia, Q., Chou, M.C., Cui, Y.Y., Lin G., "Pyrrolizidine alkaloids-tumorigenic components in Chinese herbal medicines and dietary supplements", Journal of Food and Drug Analysis, Vol. 10, No. 4, 2002, pp. 198-211

Pranala luar

sunting