Agama Weda

Kepercayaan
(Dialihkan dari Brahmanisme Weda)

Agama Weda (disebut juga Wedisme atau Hinduisme Kuno[catatan 1]) merujuk pada ideologi dan praktik-praktik peribadatan kaum penutur rumpun bahasa Indo-Arya di India Kuno setelah 1500 SM.[2][3][4] Ideologi dan praktik-praktik tersebut dituntunkan dalam kitab-kitab Weda, dan menjadi pendahulu dari agama Hindu modern.[5]

Peta India Utara pada akhir periode Weda. Lokasi shakha ditandai dengan warna hijau; sedangkan Gurun Thar berwarna kuning gelap.

Menurut Heinrich von Stietencron, dalam publikasi di Dunia Barat pada abad ke-19, agama Weda diyakini berbeda dengan Hinduisme Modern. Hindu diyakini berasal dari epos-epos Hindu dan Purana melalui sekte Purohita, Tantra, dan Bhakti. Pada abad ke-20, pemahaman yang lebih baik mulai muncul. Agama Weda membagi warisan dan ilmu agamanya dengan Hindu kontemporer, menjadikan sejumlah sarjana menyebut bahwa agama Weda merupakan moyang dari "Hinduisme".[6] Gerakan reformasi Hindu dan Neo-Wedanta telah menekankan warisan Hindu dan "Hinduisme kuno", dan telah diterima di sebagian umat Hindu.[6] Umumnya, agama Weda dianggap sebagai pendahulu agama Hindu, tetapi tidak sama karena bukti-bukti teksnya berbeda.[catatan 2]

Agama ini disebut dalam Weda dan literatur terkait yang terus dilestarikan dari waktu ke waktu oleh banyak mazhab (aliran).[7] Teks Weda sangat jelas, intelektual, dan runtut, tetapi kurang jelas bagaimanakah penerapan teks Weda dalam praktik peribadatan, perwujudan, dan penerapan lainnya dalam kehidupan masyarakatnya.[7] Bukti menyebutkan bahwa Weda berevolusi dalam "dua arah yang berbeda", begitu kata Jamison dan Witzel. Yang satu berevolusi menjadi "sistem ritual yang rumit, mahal, dan terspesialisasi", sedangkan yang lainnya menganggap bahwa itu adalah "abstraksi dan internalisasi prinsip-prinsip yang mendasari ritual dan spekulasi kosmik" dalam diri sendiri. Tradisi ini mempengaruhi agama India lain seperti Buddha dan Jainisme, dan utamanya, Hindu.[8][9] Ritual Weda Śrauta yang kompleks ini terus dilestarikan di Kerala dan wilayah pesisir Andhra.[10]

Sejumlah sarjana menyebut bahwa agama Weda adalah perpaduan antara agama-agama bangsa Indo-Arya, "sinkretisme antara agama kuno Asia Tengah dan Indo-Eropa",[11] yang menyerap "praktik agama dan kepercayaan yang berbeda"[12] dari kebudayaan Baktria–Margiana,[12] serta sisa-sisa kebudayaan Harappa di lembah Sungai Indus.[13]

Penamaan

sunting

Menurut ahli Indologi Jan Heesterman, istilah Wedisme dan Brahmanisme dianggap sebagai "dua istilah yang agak berbeda". Keduanya merujuk pada bentuk-bentuk Hinduisme kuno berdasarkan ideologi yang termaktub dalam kitab-kitab awal.[14] Wedisme adalah versi yang paling tua, begitu menurut Heesterman, dan lebih tua daripada Brahmanisme. Wedisme merujuk pada ideologi bangsa Indo-Eropa yang bermigrasi ke lembah Sungai Indus yang terletak di anak benua India, yang kitabnya adalah Weda dan Upanisad awal.[14] Brahmanisme, menurut Heesterman, merujuk pada agama yang tersebar di suatu daerah yang membentang dari barat laut anak benua India hingga ke lembah Sungai Gangga.[14] Brahmanisme sudah menyertakan kumpulan tulisan Weda dan literatur nonweda seperti Dharmasutra dan Dharmasastra, dan merupakan versi Hinduisme kuno yang memuliakan kaum pemimpin agama (kasta Brahmana).[14] Menurut Encyclopædia Britannica, Brahmanisme tidak hanya memuliakan kaum pemimpin agama (kasta Brahmana) tetapi juga memuliakan Yang Mahakuasa (Brahman) dalam Upanisad awal, mengingat secara etimologis, kedua kata tersebut berkait.[2]

Kata Brahmanisme digagas oleh Gonçalo Fernandes Trancoso (1520–1596) pada abad ke-16,[15] dan berhubungan dengan konsep metafisika Brahman yang berkembang dari ide-ide pasca-Weda selama akhir periode Weda (Upanisad).[16][17][18] Konsep Brahman merujuk pada Zat yang telah ada sejak zaman azali (sebelum penciptaan alam semesta), masa-masa penciptaan, pemeliharaan, dan kehancurannya, dan terjadi dalam siklus yang tiada berhingga.[19][20][21]

Asal usul dan perkembangan

sunting

Siapa yang sungguh-sungguh mengetahui?
Siapakah yang akan memaparkannya di sini?
Dari manakah ini tercipta? Dari manakah datangnya alam semesta yang menjadi ada ini?
Orang-orang bijaksana lebih belakang dari ciptaan alam semesta ini.
Karena itu, siapakah yang mengetahui dari mana munculnya (ciptaan) ini?

— Nasadiyasukta, membahas mengenai asal usul alam semesta, Regweda, 10:129-6 [22][23][24]

Agama Weda dahulunya adalah agama bangsa Indo-Arya,[25][26][catatan 3] dan muncul dari India Utara sejak 1750–500 SM.[28][catatan 4] Bahasa orang Indo-Arya adalah cabang dari rumpun bahasa Indo-Eropa, yang lahir dari kebudayaan Sintashta dan terus berkembang hingga akhirnya menjadi kebudayaan Andronovo, serta diyakini berawal dari budaya Kurgan yang bertumbuh dari stepa Asia Tengah.[31][catatan 6][catatan 7] Periode Weda awal paling banyak diusulkan terjadi pada milenium ke-2 SM.[49]

Kepercayaan dan praktik ibadah Weda pada era praklasik diyakini sangat dekat dengan agama Proto-Indo-Eropa yang telah direkonstruksi,[50][catatan 8] dan memiliki kedekatan dengan upacara dalam kebudayaan Andronovo, yang menjadi asal muasal bangsa Indo-Arya diturunkan.[51] Menurut Anthony, agama India tua kemungkinan muncul di antara kaum migran Indo-Eropa pada zona kontak antara Sungai Zeravshan (sekarang Uzbekistan) dan Iran (saat ini).[11] Disebut-sebut sebagai "sinkretisme unsur tua Asia Tengah dan unsur muda Indo-Eropa"[11] yang menyerap "kepercayaan dan praktik peribadatan yang khas"[12] dari kebudayaan Baktria-Margiana.[12] Pengaruh sinkretisme ini adalah hadirnya 383 kosakata non-Indo-Eropa yang diserap, termasuk Dewa Indra dan Soma.[52] Menurut Anthony,

Sifat-sifat dewa kejayaan Iran kuno, Verethragna, telah diserap dalam kepercayaan India kuno sebagai dewa Indra, yang menjadi pusat dari dewa-dewa dalam kebudayaan India kuno. Indra memiliki 250 himne (nyanyian suci), kurang lebih seperempat dari Regweda. Ia dikaitkan lebihnya daripada dewa lain, dengan Soma, obat stimulan (kemungkinan diturunkan dari Ephedra) kemungkinan diserap dari kepercayaan Baktria-Margiana. Kemasyhurannya menjadi ciri khas penutur rumpun bahasa India kuno[40]

Tulisan tertua dalam bahasa India Kuno, bahasa untuk menuliskan Regweda, tidak ditemukan di India barat laut maupun Pakistan, tetapi di Suriah utara, tempat Kerajaan Mitanni berada.[53] Raja-raja Mitanni memiliki gelar dalam bahasa India Kuno, dan istilah-istilah teknis India Kuno banyak digunakan dalam berkuda dan mengendarai kereta perang.[53] Kata bahasa India Kuno r'ta, berarti "tatanan kosmis dan kebenaran", konsepsi yang dipusatkan dalam Regweda, juga muncul dari Kerajaan Mitanni.[53] Dewa-dewa kuno India seperti Indra juga dikenal dalam Kerajaan Mitanni.[54][55][56]

Agama Weda dalam periode akhir Weda juga semakin menguat dalam Kerajaan Kuru,[32] dan hidup berdampingan dengan kepercayaan lokal seperti kultus Yaksa,[57][58][web 1] dan itu adalah hasil dari "perpaduan antara peradaban Harappa dan Indo-Arya".[59] David Gordon White mengutip tiga sarjana arus utama lain yang "dengan tegas membuktikan" bahwa agama Weda berasal dari Peradaban Lembah Indus.[13] Agama orang Indo-Arya terus berkembang kala mereka bermigrasi ke Lembah Gangga setelah sekitar 1100 SM dan menjadi petani yang hidup menetap,[32][60][61] lalu mengalami sinkretisme dengan kepercayaan asli India utara.[57][halaman dibutuhkan][catatan 9]

Sejarah teks

sunting

Teks yang berasal dari Weda, dituliskan dalam bahasa Sanskerta Weda, adalah Empat Weda Samhita, tetapi Brahmana, Aranyaka, dan beberapa Upanisad (Bṛhadāraṇyaka, Chāndogya, Jaiminiya Upanisad Brahmana) juga diyakini berasal dari kala ini. Weda juga mencatat liturgi berkaitan dengan ritual dan kurban. Teks-teks tersebut diyakini juga sebagai kitab suci Hindu modern.[67]

Karakteristik

sunting

Gagasan reinkarnasi, saṃsāra, tidak disebutkan sama sekali dalam kitab-kitab agama Weda purba seperti Regweda.[68][69] Namun, sejumlah bagian terakhir dalam Regweda menyebut gagasan baru yang mengilhami pendekatan konsep "kelahiran kembali", menurut Ranade.[70][71]

Bab-bab awal Weda juga sama sekali tidak menyebut adanya doktrin Karma atau kelahiran kembali tetapi justru menyebutkan konsep mengenai "hidup sesudah mati".[72][73] Menurut Matthew Sayers, bab-bab awal Weda menampilkan pemujaan terhadap roh nenek moyang serta adanya upacara sraddha (memberi sesajen terhadap arwah nenek moyang atau orang yang sudah meninggal). Teks-teks Weda akhir semacam Aranyaka dan Upanisad menjelaskan doktrin keselamatan hidup berdasarkan reinkarnasi, makin menyusutnya pemujaan arwah nenek moyang, serta menafsirkan ritual terdahulunya secara filosofis.[74][75] Asal muasal reinkarnasi dan karma berakar dari Upanisad yang muncul pada akhir kala Weda, mendahului Buddha dan Mahawira.[76][77] Demikian pula, literatur Weda akhir seperti Bṛhadāraṇyaka Upanisad (800 SM) – seperti pada bagian 4.4 – membahas versi awal dari konsep Karma serta sebab-akibatnya.[78][79]

Menurut Olivelle, sejumlah sarjana mengakui bahwa tradisi tersebut adalah "pengembangan organik dan logis terhadap ide-ide yang ditemukan dalam budaya religius Weda", sedangkan yang lain menyebut bahwa budaya itu berasal dari "populasi penduduk asli non-Arya". Perdebatan ilmiah ini terus berlangsung lama hingga saat ini.[80]

Ritual

sunting
 
Upacara Śrauta dilakukan di Kerala

Sejumlah tradisi dan ritual yang dilakukan berdasarkan Weda adalah:[81]

Ritual pembakaran jenazah diketahui muncul sejak zaman periode awal Regweda; yang telah dibuktikan dalam Budaya Cemetery H, bahwa ada rujukan Regweda yang meminta moyang-moyang mereka "dikremasi (agnidagdhá-) atau tidak dikremasi (ánagnidagdha-)".(RW 10.15.14)

Meski banyak nama dewa-dewi muncul dalam Regweda, hanya 33 dewa ada di dalamnya, tiap-tiap dewa ada sebelas di angkasa, di bumi, dan di surga.[84] Dewa-dewi Hindu dibagi menjadi dua kelompok, Deva dan Asura. Deva (Mitra, Baruna, Aryaman, Bhaga, Amsa, dll.) adalah dewa-dewa tatanan kosmis dan sosial, mulai dari alam semesta ke tingkat kerajaan sampai ke tingkat individu. Regweda adalah kumpulan nyanyian (himne) kepada para dewa, paling banyak kepada dewa Indra, dewa Agni, dan Soma, minuman suci orang Indo-Iran.[85] Juga banyak muncul adalah Baruna (sering dipasangkan dengan Mitra) serta kelompok seluruh "Dewa-Dewi Hindu" ( Wiswadewa).[86]

Dalam tradisi Hindu, Resi yang paling dimuliakan adalah Yajnawalkya,[87][88] Atharwan,[89] Atri,[90] Bharadwaja,[91] Maharesi Gautama, Jamadagni,[92] Kasyapa,[93] Wasista,[94] Bregu,[95] Kutsa,[96] Pulastya, Kratu, Pulaha, Wiswamitra Narayana, Kanwa, Resaba, Wamadewa, dan Angiras.[butuh rujukan]

Satya dan rta

sunting

Dalam Weda, setiap etika dan tata perilaku didasarkan pada konsep satya dan ṛta.

Dalam Weda dan sutras, kata satya (सत्य) berkembang sebagai sebuah konsep etis terkait kebenaran dan memiliki nilai penting dalam kebajikan.[97][98] Hal ini melambangkan sikap benar dan konsisten dalam pemikiran, perkataan, dan perbuatan (perilaku jujur).[97]

Kata dalam bahasa Weda ṛtá dan kata bahasa Avesta yang ekuivalen, aša diyakini diturunkan dari bahasa Proto-Indo-Iran *Hr̥tás "sungguh-sungguh",[99] yang diyakini berasal dari kata bahasa Proto-Indo-Eropa *h2r-tós "tepat, benar", dari akar kata *h2er-. Kata benda turunan ṛta dimaknai sebagai "aturan hukum dan kebenaran ilahi yang berkekuatan tetap".[100] Mahony (1998) menulis, akan tetapi, istilah tersebut dapat diterjemahkan sebagai "sesuatu yang terpasang dengan benar" – meski makna ini tidak dikutip kamus bahasa Sanskerta, diketahui diyakini berasal dari akar kata kerja -, dan secara abstrak dapat dimaknai sebagai "hukum jagat raya" atau "hukum alam", atau lebih sederhananya "kebenaran".[101] Makna ini juga cocok dalam istilah yang serupa dalam bahasa Avesta untuk rta, aša.[102]

Karena sifat-sifat bahasa Sanskerta Weda yang demikian ini, istilah Ṛta dapat digunakan dalam banyak hal, baik langsung maupun tidak langsung, dan baik sarjana India dan Eropa mengalami kesulitan dalam mengartikan Ṛta dalam semua penggunaan yang berbeda dalam Weda, meski maknanya sebagai "perilaku yang diajarkan/dituntunkan" sudah terbukti secara universal.[103]

Istilah ini juga ada dalam agama Proto-Indo-Iran, agama bangsa Indo-Iran.[104] Kata dharma sudah digunakan dalam pemikiran Brahmanisme yang kemudian, yang diketahui sebagai aspek dari ṛta.[105]

Agama pasca-Weda

sunting

Periode Weda diyakini berakhir pada 500 SM. Periode antara 800 dan 200 SM adalah periode formatif bagi Hinduisme, Jainisme, danBuddha.[106][107] Menurut Michaels, periode 500 SM dan 200 SM adalah kala "reformisme asketis".[108] Menurut Michaels, periode antara 200 SM dan 1100 M adalah periode "Hinduisme Klasik", karena ada "titik balik antara agama Weda dan Hindu".[109] Muesse mengusulkan periode perubahan yang lebih panjang, antara 800 SM dan 200 SM, yang ia sebut sebagai "Periode Klasik", yakini pada saat "praktik peribadatan dan kepercayaan tradisional dievaluasi. Brahmana-brahmana dan ritual yang mereka lakukan sudah tidak lagi relevan sebagaimana yang mereka lakukan pada periode Weda".[110]

 
Wiwahasukta (atas), Himne 10.85 pada Regweda banyak dibacakan pada pesta pernikahan ala Hindu.[111][112]

Sejumlah sarjana meyakini bahwa Brahmanisme adalah sinonim dari Hinduisme dan digunakan secara bergantian.[113][114] Yang lain justru menyatakan berbeda, dan transisi antara Brahmanisme menuju mazhab-mazhab Hinduisme dianggap sebagai salah satu bentuk evolusi, yang satu tetap mempertahankan apa yang dituntunkan dalam Weda, atau justru di pihak lain, menciptakan gagasan-gagasan baru.[115] Tradisi besar yang berakar dari Brahmanisme adalah enam filosofi Hindu (Sad Darsana), yang paling utama adalah Wedanta, Samkhya, danYoga.[116]

Wedanta

sunting

Agama Weda yang diikuti Upanisad kemudian berevolusi menjadi Wedanta, yang dianggap oleh beberapa pihak sebagai lembaga utama dalam pendidikan Hindu. Wedanta merujuk pada "tujuan atau akhir dari Weda."[117]

Śrauta

sunting

Menurut David Knipe, sejumlah masyarakat India tetap mempertahankan kebudayaan dan tradisi yang dilakukan berdasarkan agama Weda purba seperti di negara bagian Andhra Pradesh dsb.[118] Terkait dengan kelanjutan tradisi Weda dalam makna yang lebih baru, Jeaneane D. Fowler menulis sebagai berikut:

Terlepas dari sifat Upanisad yang sangat berbeda dalam kaitannya dengan Weda, harus diketahui bahwa kedua sumber tertulis tersebut sama-sama membentuk veda atau "pengetahuan" yang merupakan sastra sruti. Sehingga Upanisad mengembangkan gagasan-gagasan dari Weda terkait formalisme ritual dan tidak dapat dipisahkan. Fakta bahwa Weda paling banyak ditekankan dalam aliran Wedanta: kemanjuran ritual Weda tidak ditolak, tetapi harus ada pembuktian yang menginformasikan hal itu.[119]

Bhakti

sunting

Menurut guru besar Jerman Axel Michaels, dewa-dewi Weda purba mulai lebih sedikit disebut tetapi tidak diabaikan, dan kultus-kultus lokal mengalami asimilasi dalam Weda-Brahmana sebagai Hindu. Dewa Siwa dan Wisnu lebih diagungkan dan dari situ lahirlah Saiwa dan Waisnawa.[120]

Interpretasi mantra-mantra Weda dalam Hindu

sunting

Aliran dan tradisi Hindu memberikan banyak sekali interpretasi mantra, nyanyian, dan doa-doa dalam Weda.

Para filsuf Mīmāṃsā berpendapat bahwa tidak perlu mendalilkan pencipta dunia, seperti halnya tidak perlu membutuhkan penulis untuk menciptakan Weda atau membutuhkan dewa yang mampu mengabulkan doa-doa dalam ritual.[121] Mīmāṃsā berpendapat bahwa para dewa yang disebut dalam Weda tidak memiliki keberadaan selain dari mantra yang menggunakan nama-nama dewa tersebut. Untuk itu, kekuatan mantra adalah apa yang dilihat sebagai kekuatan para dewa.[122]

Adi Shankara, filsuf abad ke-8 Masehi yang mempersatukan pemikiran arus utama Hinduisme,[123] menginterpretasikan Weda sebagai nondualis atau tunggal.[124] Akan tetapi,gerakan agama baru Arya Samaj memegang pandangan bahwa mantra Weda cenderung monoteis.[125] Bahkan mandala-mandala pertama Regweda (mandala 1 dan 9) berisi himne yang cenderung monoteistik.[126] Bahkan pada pada 1.164.46 Regweda berbunyi:

Indraṃ mitraṃ varuṇamaghnimāhuratho divyaḥ sa suparṇo gharutmān,
ekaṃ sad viprā bahudhā vadantyaghniṃ yamaṃ mātariśvānamāhuḥ
"Mereka memanggilnya Indra, Mitra, Baruṇa, Agni, dan Ia adalah dewa bersayap Garutmān.
Kepada Yang Esa, resi memberinya gelar yang mereka sebut Agni, Yama, Mātariśvan".

Lebih-lebih pada himne 10.129 dan 10.130, juga menyebut adanya satu Tuhan (Ékam sát). Ayat 10.129.7 berbunyi serupa:

iyám vísṛṣṭiḥ yátaḥ ābabhūva / yádi vā dadhé yádi vā ná / yáḥ asya ádhyakṣaḥ paramé vyóman / sáḥ aṅgá veda yádi vā ná véda
"Dialah yang menjadi asal dari penciptaan semua ini, baik apakah Ia menciptakannya semuanya ataupun tidak, yang mata-Nya terus melihat dunia ini dari surga-Nya yang tertinggi. Ia sungguh mengetahuinya, atau mungkin Dia tidak tahu."

Tradisi Sramana

sunting

Tradisi non-Weda śramaṇa ada di samping Brahmanisme.[127][128][catatan 10][catatan 11][catatan 12] Bukan merupakan hasil dari kontak langsung dengan Wedisme, melainkan gerakan adanya hubungan timbal balik dengan tradisi Brahmanisme,[127] mencerminkan "kosmologi dan antropologi pra-Arya yang lebih tua di timur laut India".[129] Jainisme dan Buddhisme diketahui lahir dari budaya śramaṇa .[130]

Ada rujukan Jaina pada 22 tirthankara prasejarah. Dalam pandangan ini, Jainisme berjaya pada zaman Mahawira (secara tradisional muncul pada abad ke-6 SM).[131][132] Buddhisme, secara tradisional muncul dari sekitar tahun 500 SM, dan mengalami kemunduran pada abad ke-5 hingga ke-12 akibat berkembangnya Hindu Purana[133] dan Islam.[134][135]

Orang Kalash

sunting

Menurut sejarawan dan ahli linguistik Sanskerta Michael Witzel, sejumlah ritual suku Kalash memiliki unsur dari agama Weda purba, tetapi yang berbeda adalah terkait keberadaan api suci yang ditempat di samping altar alih-alih "di atas altar" sebagaimana yang ada dalam agama-agama Weda.[136]

Lihat pula

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Sejumlah sarjana seperti Gonda menggunakan Hinduisme kuno, untuk membedakannya dengan "Hinduisme Baru". Istilah ini berbeda secara kronologis. Menurut Encyclopædia Britannica dari agama Weda muncul Brahmanisme, sebuah tradisi keagamaan India kuno. Di situ disebutkan bahwa Brahmanisme adalah ritual berdasarkan tuntunan kasta Brahmana sekaligus kepercayaan terhadap Brahman (Yang Mahakuasa) sebagaimana yang terdapat dalam Upanisad."[1]
  2. ^ Stephanie W. Jamison dan Michael Witzel, Vedic Hinduism, 1992, "... menyebut Hindu Weda sering kali contradictio in terminis karena agama Weda sangat berbeda dari apa yang kita sebut sebagai Hindu – setidaknya miriplah dengan membandingkan agama Yahudi Kuno dari zaman pertengahan dengan agama Kristen modern. Akan tetapi, agama Weda dapat disebut sebagai pendahulu dari Hindu".[7]
  3. ^ Michaels: "Mereka menyebut dirinya sendiri arya (bermakna "manusia unggul," dari bahasa Weda arya) namun terkadang dalam Regweda, arya merujuk pada kebudayaan dan bahasa dan tidak hanya ras."[27]
  4. ^ Tidak ada kepastian kapan agama Weda muncul. Witzel menyebutnya mulai dari 1900 hingga 1400 SM.[29] Flood menyebut 1500 SM.[30]
  5. ^ Teori Migrasi Indo-Arya dipertentangkan oleh sejumlah peneliti,[27][35] karena kurang bukti-bukti sejarah dan kebudayaan,[27] alih-alih berhipotesis sebagai lambatnya proses akulturasi[27] atau transformasi.[33] Namun, data arkeologis dan linguistik terlihat menampilkan adanya perubahan kebudayaan pada 1750 SM,[27] dengan data arkeologis dan linguistik menunjukkan keterkaitan dengan bahasa-bahasa dan agama Indo-Eropa.[36] Menurut Singh, "Pandangan yang mendominasi adalah bahwa orang Indo-Arya datang ke anak benua India sebagai migran."[35]
  6. ^ Orang Indo-Arya adalah penggembala[32] yang bermigrasi ke India Barat Laut setelah peradaban Lembah Indus,[27][33][34][catatan 5] membawa bahasa mereka[37] dan agama.[38][39] Mereka berkerabat dekat dengan bangsa Indo-Arya yang mendirikan Kerajaan Mitanni di Suriah utara[40] (sekitar 1500–1300 SM). Keduanya lahir dari budaya Andronovo[41] pada periode Baktria-Margiana, sekarang bagian dari Afganistan utara,[40] dan berkerabat dengan Indo-Iran, yang terpisah sekitar 1800–1600 SM.[42] Mereka berakar dari budaya Sintashta, dengan adanya pengorbanan penguburan yang menunjukkan kesamaan upacara penguburan dalam Regweda.[43]
    Kemungkinan migrasi tersebut melibatkan sedikit orang.[31] Jonathan Mark Kenoyer menyatakan bahwa "tidak ada bukti arkeologi dan biologi terkait dengan "invasi bangsa Arya" atau "migrasi besar-besaran" ke Lembah Indus antara akhir peradaban Harappa, sekitar 1900 SM hingga awal periode Weda sekitar 600 SM"[44]
    Informasi lebih lanjut, silakan baca:
    • Michael Witzel (2001), "Autochthonous Aryans? The Evidence from Old Indian and Iranian Texts", in Electronic Journal of Vedic Studies (EJVS) 7-3, pp 1–93
    • Shereen Ratnagar (2008), “The Aryan homeland debate in India”, in Kohl, PL, M Kozelsky and N Ben-Yehuda (Eds) Selective remembrances: archaeology in the construction, commemoration, and consecration of national pasts, pp 349–378
    • Suraj Bhan (2002), “Aryanization of the Indus Civilization” in Panikkar, KN, Byres, TJ and Patnaik, U (Eds), The Making of History, pp 41–55.
    • Anthony, David W. (2007), The Horse The Wheel And Language. How Bronze-Age Riders From the Eurasian Steppes Shaped The Modern World, Princeton University Press 
  7. ^ Sejumlah penulis dan ahli arkeologi menentang gagasan migrasi orang Indo-Arya ke India.[45][46] Edwin Bryant menggunakan istilah "Indo-Aryan Controversy" berkait dengan teori Migrasi Indo-Arya dan penentang-penentangnya.[47] Ide ini berada di luar arus utama akademis. Mallory dan Adams menyebut bahwa ada teori lain yang juga memiliki pembuktian serta "juga diterima secara internasional", yakni Hipotesis Anatolia dan migrasi stepa Eurasia.[48] Menurut Upinder Singh, "Tanah air bangsa Indo-Eropa dan Indo-Arya terus diperdebatkan di kalangan filologis, ahli bahasa, sejarawan, ahli arkeologi, dan lain-lain. Pandangan yang dominan adalah bangsa Indo-Arya itu adalah migran. Pandangan lainnya, banyak dianut oleh sarjana India, mereka adalah penduduk asli anak benua tersebut."[35]
    Pandangan tersebut dapat dibaca di:
    * Bryant, Edwin F.; Patton, Laurie L., ed. (2005), The Indo-Aryan Controversy: Evidence and inference in Indian history, London: Routledge, ISBN 0-7007-1463-4 
    Lihat pula teori Out of India
  8. ^ Lihat Kuzʹmina (2007), The Origin of the Indo-Iranians, hlm. 339, untuk publikasi tentang subjek ini hingga 1997.
  9. ^ Hingga akhir abad ke-19, suku Nuristan dari Afghanistan mempraktikkan bentuk primitif dari Hindu hingga akhirnya dipaksa masuk Islam di bawah pengaruh Abdur Rahman Khan.[62][63][64] Akan tetapi, aspek agama Weda purba terus bertahan di penjuru anak benua India, seperti Kerala, tempat Brahmana-brahmana Nambudiri melestarikan upacara Śrauta. Suku Kalash di barat laut Pakistan juga meneruskan praktik peribadatan ala Hinduisme kuno.[65][66]
  10. ^ Cromwell: "Di samping Brahmanisme ada budaya Shramanisme non-Arya yang diyakini berasal dari masa prasejarah."[127]
  11. ^ Y. Masih (2000) In : A Comparative Study of Religions, Motilal Banarsidass Publ : Delhi, ISBN 81-208-0815-0 Page 18. "There is no evidence to show that Jainism and Buddhism ever subscribed to Vedic sacrifices, vedic deities or caste. They are parallel or native religions of India and have contributed to much to [sic] the growth of even classical Hinduism of the present times."
  12. ^ P.S. Jaini, (1979), The Jaina Path to Purification, Motilal Banarsidass, Delhi, p. 169 "Jainas themselves have no memory of a time when they fell within the Vedic fold. Any theory that attempts to link the two traditions, moreover fails to appreciate rather distinctive and very non-Vedic character of Jaina cosmology, soul theory, karmic doctrine and atheism"

Referensi

sunting
  1. ^ Brahmanism, Encyclopedia Britannica
  2. ^ a b Vedic religion, Encyclopedia Britannica
  3. ^ Bruce M. Sullivan (2001). The A to Z of Hinduism. Rowman & Littlefield. hlm. 9. ISBN 978-0-8108-4070-6. 
  4. ^ Samuel 2010, hlm. 97-99, 113-118.
  5. ^ Vedic religion, Encyclopedia Britannica, Quote: "It [Vedic religion] takes its name from the collections of sacred texts known as the Vedas. Vedism is the oldest stratum of religious activity in India for which there exist written materials. It was one of the major traditions that shaped Hinduism."
  6. ^ a b Stietencron 2005, hlm. 231–237 with footnotes.
  7. ^ a b c Jamison, Stephanie; Witzel, Michael (1992). "Vedic Hinduism" (PDF). Harvard University. hlm. 2–4. Diakses tanggal 2018-08-04. 
  8. ^ Jamison, Stephanie; Witzel, Michael (1992). "Vedic Hinduism" (PDF). Harvard University. hlm. 1–5, 47–52, 74–77 with footnotes. Diakses tanggal 2018-08-04. 
  9. ^ Geoffrey Samuel. The Origins of Yoga and Tantra: Indic Religions to the Thirteenth Century. Cambridge University. hlm. 113. 
  10. ^ Knipe 2015, hlm. 1-50.
  11. ^ a b c Anthony 2007, hlm. 462.
  12. ^ a b c d Beckwith 2009, hlm. 32.
  13. ^ a b White, David Gordon (2003). Kiss of the Yogini. Chicago: University of Chicago Press. hlm. 28. ISBN 0-226-89483-5. 
  14. ^ a b c d Jan Heesterman (2005). Lindsay Jones, ed. The Encyclopedia of Religion, 2nd Edition. 14. Macmillan Reference. hlm. 9552–9553. ISBN 0-02-865733-0. 
  15. ^ Županov, Ines G. (2005), Missionary Tropics: The Catholic Frontier in India (16th–17th Centuries), University of Michigan Press, hlm. 18–, ISBN 0-472-11490-5 
  16. ^ Jacques Maritain (2005). An Introduction to Philosophy. Rowman & Littlefield. hlm. 6–7 with footnote 1. ISBN 978-0-7425-5053-7. , Quote: "This [the primitive religion of the Vedas] resulted, after a period of confusion, in the formation of a new system, Brahmanism (or Hinduism), which is essentially a philosophy, a metaphysic, a work of human speculation, [...]; footnote 1: "[...] the neuter, Brahman, as the one impersonal substance."
  17. ^ Oliver Leaman (2002). Eastern Philosophy: Key Readings. Routledge. hlm. 64–65. ISBN 978-1-134-68918-7. , Quote: "The early Upanishads are primarily metaphysical treatises concerned with identifying the Brahman, the ground of the universe. [...] The essence of early Brahmanism is the search for the Absolute and its natural development is in Vedantin monism which claims that the soul is identical with the Absolute."
  18. ^ Madeleine Biardeau (1994). Hinduism, the anthropology of a civilization. Oxford University Press. hlm. 17–22. 
  19. ^ Monier Monier-Williams (1891). Brāhmanism and Hindūism: Or, Religious Thought and Life in India, as Based on the Veda and Other Sacred Books of the Hindūs. J. Murray. hlm. 2–3. 
  20. ^ For the metaphysical concept of Brahman, see: Julius Lipner (2012). Hindus: Their Religious Beliefs and Practices. Routledge. hlm. 251–252, 283, 366–369. ISBN 978-1-135-24061-5. ; Roy W. Perrett (1998). Hindu Ethics: A Philosophical Study. University of Hawaii Press. hlm. 53–54. ISBN 978-0-8248-2085-5. ;Bruce M. Sullivan (2001). The A to Z of Hinduism. Rowman & Littlefield. hlm. 137. ISBN 978-0-8108-4070-6. 
  21. ^ James Lochtefeld, Brahman, The Illustrated Encyclopedia of Hinduism, Vol. 1: A–M, Rosen Publishing. ISBN 978-0823931798, page 122
  22. ^ Kenneth Kramer (January 1986). World Scriptures: An Introduction to Comparative Religions. Paulist Press. hlm. 34–. ISBN 978-0-8091-2781-8. 
  23. ^ David Christian (1 September 2011). Maps of Time: An Introduction to Big History. University of California Press. hlm. 18–. ISBN 978-0-520-95067-2. 
  24. ^ Upinder Singh (2008). A History of Ancient and Early Medieval India: From the Stone Age to the 12th Century. Pearson Education India. hlm. 206–. ISBN 978-81-317-1120-0. 
  25. ^ Kuz'mina 2007, hlm. 319.
  26. ^ Singh 2008, hlm. 185.
  27. ^ a b c d e f Michaels 2004, hlm. 33.
  28. ^ Michaels 2004, hlm. 32-36.
  29. ^ Witzel 1995, hlm. 3-4.
  30. ^ Flood 1996, hlm. 21.
  31. ^ a b Anthony 2007.
  32. ^ a b c Witzel 1995.
  33. ^ a b Flood 1996, hlm. 30-35.
  34. ^ Hiltebeitel 2007, hlm. 5.
  35. ^ a b c Singh 2008, hlm. 186.
  36. ^ Flood 1996, hlm. 33.
  37. ^ Samuel 2010, hlm. 53-56.
  38. ^ Flood 1996, hlm. 30.
  39. ^ Hiltebeitel 2007, hlm. 5-7.
  40. ^ a b c Anthony 2007, hlm. 454.
  41. ^ Anthony 2007, hlm. 410-411.
  42. ^ Anthony 2007, hlm. 408.
  43. ^ Anthony 2007, hlm. 375, 408–411.
  44. ^ Kenoyer, M., 1998. Ancient Cities of the Indus Valley Civilization, p. 174. Oxford: Oxford University Press.
  45. ^ Bryant 2001.
  46. ^ Bryant, Edwin. 2001. The Indo-Aryan Controversy, p. 342
  47. ^ Bryant 2005.
  48. ^ Mallory & Adams 2006, hlm. 460-461.
  49. ^ Pletcher, Kenneth (2010). The History of India. Britannica Educational Publishing. hlm. 60. 
  50. ^ Roger D. Woodard (18 August 2006). Indo-European Sacred Space: Vedic and Roman Cult. University of Illinois Press. hlm. 242–. ISBN 978-0-252-09295-4. 
  51. ^ Kus'mina 2007, hlm. 319.
  52. ^ Anthony 2007, hlm. 454-455.
  53. ^ a b c Anthony 2007, hlm. 49.
  54. ^ Anthony 2007, hlm. 50.
  55. ^ Flood 2008, hlm. 68.
  56. ^ Melton & Baumann 2010, hlm. 1412.
  57. ^ a b Samuel 2010.
  58. ^ Basham 1989, hlm. 74-75.
  59. ^ White 2006, hlm. 28.
  60. ^ Samuel 2010, hlm. 48-51, 61–93.
  61. ^ Hiltebeitel 2007, hlm. 8-10.
  62. ^ Minahan, James B. (2014). Ethnic Groups of North, East, and Central Asia: An Encyclopedia (dalam bahasa English). ABC-CLIO. hlm. 205. ISBN 9781610690188. Living in the high mountain valleys, the Nuristani retained their ancient culture and their religion, a form of ancient Hinduism with many customs and rituals developed locally. Certain deities were revered only by one tribe or community, but one deity was universally worshipped by all Nuristani as the Creator, the Hindu god Yama Raja, called imr'o or imra by the Nuristani tribes. 
  63. ^ Barrington, Nicholas; Kendrick, Joseph T.; Schlagintweit, Reinhard (18 April 2006). A Passage to Nuristan: Exploring the Mysterious Afghan Hinterland (dalam bahasa English). I.B. Tauris. hlm. 111. ISBN 9781845111755. Prominent sites include Hadda, near Jalalabad, but Buddhism never seems to have penetrated the remote valleys of Nuristan, where the people continued to practice an early form of polytheistic Hinduism. 
  64. ^ Weiss, Mitch; Maurer, Kevin (31 December 2012). No Way Out: A Story of Valor in the Mountains of Afghanistan (dalam bahasa English). Berkley Caliber. hlm. 299. ISBN 9780425253403. Up until the late nineteenth century, many Nuristanis practiced a primitive form of Hinduism. It was the last area in Afghanistan to convert to Islam—and the conversion was accomplished by the sword. 
  65. ^ West, Barbara A. (19 May 2010). Encyclopedia of the Peoples of Asia and Oceania (dalam bahasa English). Infobase Publishing. hlm. 357. ISBN 9781438119137. The Kalasha are a unique people living in just three valleys near Chitral, Pakistan, the capital of North-West Frontier Province, which borders Afghanistan. Unlike their neighbors in the Hindu Kush Mountains on both the Afghani and Pakistani sides of the border the Kalasha have not converted to Islam. During the mid-20th century a few Kalasha villages in Pakistan were forcibly converted to this dominant religion, but the people fought the conversion and once official pressure was removed the vast majority continued to practice their own religion. Their religion is a form of Hinduism that recognizes many gods and spirits ... given their Indo-Aryan language, ... the religion of the Kalasha is much more closely aligned to the Hinduism of their Indian neighbors that to the religion of Alexander the Great and his armies. 
  66. ^ Bezhan, Frud (19 April 2017). "Pakistan's Forgotten Pagans Get Their Due" (dalam bahasa English). Radio Free Europe/Radio Liberty. Diakses tanggal 31 July 2017. About half of the Kalash practice a form of ancient Hinduism infused with old pagan and animist beliefs. 
  67. ^ Dominic Goodall (2001). Hindu Scriptures. Motilal Banarsidass. hlm. ix–xx. ISBN 978-81-208-1770-8. 
  68. ^ A.M. Boyer: Etude sur l'origine de la doctrine du samsara. Journal Asiatique, (1901), Volume 9, Issue 18, S. 451–453, 459–468
  69. ^ Yuvraj Krishan: . Bharatiya Vidya Bhavan, 1997, ISBN 978-81-208-1233-8
  70. ^ Stephen J. Laumakis 2008, hlm. 90–99.
  71. ^ R.D.Ranade (1926). A Constructive Survey of Upanishadic Philosophy. Bharatiya Vidya Bhavan. hlm. 147–148. Quote: [...] in certain other places [of Rigveda], an approach is being made to the idea of Transmigration. [...] There we definitely know that the whole hymn is address to a departed spirit, and the poet [of the Rigvedic hymn] says that he is going to recall the departed soul in order that it may return again and live." 
  72. ^ Stephen J. Laumakis 2008, hlm. 90.
  73. ^ Atsushi Hayakawa (2014). Circulation of Fire in the Veda. LIT Verlag Münster. hlm. 66–67, 101–103 with footnotes. ISBN 978-3-643-90472-0. 
  74. ^ Matthew R. Sayers (2013). Feeding the Dead: Ancestor Worship in Ancient India. Oxford University Press. hlm. 1–9. ISBN 978-0-19-989643-1. <; Also see Matthew Rae Sayer's thesis submitted to University of Texas, pp. 12
  75. ^ McGovern, Nathan (2015-11-01). "Feeding the Dead: Ancestor Worship in Ancient India . By Matthew R. Sayers". The Journal of Hindu Studies. 8 (3): 336–338. doi:10.1093/jhs/hiv034. ISSN 1756-4255. 
  76. ^ Damien Keown (2013). Buddhism: A Very Short Introduction. Oxford University Press. hlm. 28, 32–38. ISBN 978-0-19-966383-5. 
  77. ^ Laumakis, Stephen J. (2008-02-21). An Introduction to Buddhist Philosophy (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 9781139469661. 
  78. ^ Herman Wayne Tull (1989). The Vedic Origins of Karma: Cosmos as Man in Ancient Indian Myth and Ritual. State University of New York Press. hlm. 1–3, 11–12. ISBN 978-0-7914-0094-4. 
  79. ^ Brihadaranyaka Upanishad 4.4.5-6 Berkley Center for Religion Peace & World Affairs, Georgetown University (2012)
  80. ^ Gavin Flood (2008). The Blackwell Companion to Hinduism. John Wiley & Sons. hlm. 273. ISBN 978-0-470-99868-7. 
  81. ^ Prasoon, (Prof.) Shrikant. Indian Scriptures. Pustak Mahal (11 August 2010). Ch.2, Vedang, Kalp. ISBN 978-81-223-1007-8.
  82. ^ Ralph Thomas Hotchkin Griffith, The Texts of the White Yajurveda. Translated with a Popular Commentary (1899), Benaras, 1987 Reprint: ISBN 81-215-0047-8.
  83. ^ Bloomfield Maurice. Hymns of the Atharva Veda. Kessinger Publishing (1 June 2004). P. 1-8. ISBN 1419125087.
  84. ^ Singhal, K. C; Gupta, Roshan. The Ancient History of India, Vedic Period: A New Interpretation. Atlantic Publishers and Distributors. ISBN 8126902868. P. 150.
  85. ^ "Botany of Haoma", from Encyclopædia Iranica. Accessed 15 June 2012
  86. ^ Renou, Louis. L'Inde Classique, vol. 1, p. 328, Librairie d'Ameriqe et d'Orient. Paris 1947, reprinted 1985. ISBN 2-7200-1035-9.
  87. ^ Frits Staal (2008). Discovering the Vedas: Origins, Mantras, Rituals, Insights. Penguin Books. hlm. 3, 365. ISBN 978-0-14-309986-4. 
  88. ^ Patrick Olivelle (1992). The Samnyasa Upanisads: Hindu Scriptures on Asceticism and Renunciation. Oxford University Press. hlm. 92, 140–146. ISBN 978-0-19-536137-7. 
  89. ^ Roshen Dalal (2010). Hinduism: An Alphabetical Guide. Penguin Books. hlm. 48. ISBN 978-0-14-341421-6. 
  90. ^ Roshen Dalal (2010). Hinduism: An Alphabetical Guide. Penguin Books. hlm. 49. ISBN 978-0-14-341421-6. 
  91. ^ Roshen Dalal (2010). Hinduism: An Alphabetical Guide. Penguin Books. hlm. 66–67. ISBN 978-0-14-341421-6. 
  92. ^ Roshen Dalal (2010). Hinduism: An Alphabetical Guide. Penguin Books. hlm. 175. ISBN 978-0-14-341421-6. 
  93. ^ Roshen Dalal (2010). Hinduism: An Alphabetical Guide. Penguin Books. hlm. 200–201. ISBN 978-0-14-341421-6. 
  94. ^ Roshen Dalal (2010). Hinduism: An Alphabetical Guide. Penguin Books. hlm. 447–448. ISBN 978-0-14-341421-6. 
  95. ^ Roshen Dalal (2010). Hinduism: An Alphabetical Guide. Penguin Books. hlm. 74. ISBN 978-0-14-341421-6. 
  96. ^ Roshen Dalal (2010). Hinduism: An Alphabetical Guide. Penguin Books. hlm. 218. ISBN 978-0-14-341421-6. 
  97. ^ a b KN Tiwari (1998), Classical Indian Ethical Thought, Motilal Banarsidass, ISBN 978-8120816077, page 87
  98. ^ A Dhand (2002), The dharma of ethics, the ethics of dharma: Quizzing the ideals of Hinduism, Journal of Religious Ethics, 30(3), pages 347–372
  99. ^ "AṦA (Asha "Truth") – Encyclopaedia Iranica". Iranicaonline.org. Diakses tanggal 2013-02-21. 
  100. ^ Monier-Williams (1899:223b)
  101. ^ Mahony (1998:3).
  102. ^ Oldenberg (1894:30). Cf. also Thieme (1960:308).
  103. ^ Cf. Ramakrishna (1965:45–46).
  104. ^ Duchesne-Guillemin 1963, hlm. 46.
  105. ^ Day, Terence P. (1982). The Conception of Punishment in Early Indian Literature. Ontario: Wilfrid Laurier University Press. P. 42-45. ISBN 0-919812-15-5.
  106. ^ Michaels 2004, hlm. 36-38.
  107. ^ Flood 1996, hlm. 82, 224–49.
  108. ^ Michaels 2004, hlm. 36.
  109. ^ Michaels 2004, hlm. 38.
  110. ^ Muesse 2003, hlm. 115.
  111. ^ N Singh (1992), The Vivaha (Marriage) Samskara as a Paradigm for Religio-cultural Integration in Hinduism, Journal for the Study of Religion, Vol. 5, No. 1, pp. 31–40
  112. ^ Swami Vivekananda (2005). Prabuddha Bharata: Or Awakened India. Prabuddha Bharata Press. hlm. 362, 594. 
  113. ^ Jacques Maritain; E. I. Watkin (2005). An Introduction to Philosophy. Rowman & Littlefield. hlm. 7. ISBN 978-0-7425-5053-7. 
  114. ^ Catherine A. Robinson (2014). Interpretations of the Bhagavad-Gita and Images of the Hindu Tradition: The Song of the Lord. Routledge. hlm. 164 with footnote 9. ISBN 978-1-134-27891-6. 
  115. ^ Mircea Eliade (2011). History of Religious Ideas, Volume 2: From Gautama Buddha to the Triumph of Christianity. University of Chicago Press. hlm. 44–46. ISBN 978-0-226-02735-7. 
  116. ^ Mircea Eliade (2011). History of Religious Ideas, Volume 2: From Gautama Buddha to the Triumph of Christianity. University of Chicago Press. hlm. 49–54. ISBN 978-0-226-02735-7. 
  117. ^ Robert E. Hume, Professor Emeritus of History of Religions at the Union Theological Seminary, wrote in Random House's The American College Dictionary (1966): "It [Vedānta] is concerned with the end of the Vedas, both chronologically and teleologically."
  118. ^ Knipe 2015, hlm. 41-45, 220-223.
  119. ^ P. 46 Perspectives of Reality: An Introduction to the Philosophy of Hinduism By Jeaneane D. Fowler
  120. ^ Michaels 2004, hlm. 40.
  121. ^ Neville, Robert. Religious ruth. hlm. 51. 
  122. ^ Coward, Harold. The perfectibility of human nature in eastern and western thought. hlm. 114. 
  123. ^ Johannes de Kruijf and Ajaya Sahoo (2014), Indian Transnationalism Online: New Perspectives on Diaspora, ISBN 978-1-4724-1913-2, page 105, Quote: "In other words, according to Adi Shankara's argument, the philosophy of Advaita Vedanta stood over and above all other forms of Hinduism and encapsulated them. This then united Hinduism; (...) Another of Adi Shankara's important undertakings which contributed to the unification of Hinduism was his founding of a number of monastic centers."
  124. ^ Sharma, Chandradhar (1962). "Chronological Summary of History of Indian Philosophy". Indian Philosophy: A Critical Survey. New York: Barnes & Noble. hlm. vi. 
  125. ^ Light of Truth by Swami Dayanand Saraswati, Chapter 7
  126. ^ Macdonell, Arthur Anthony. Vedic Mythology. Forgotten Books (23 May 2012). P. 17. ISBN 1440094365.
  127. ^ a b c S. Cromwell Crawford, review of L. M. Joshi, Brahmanism, Buddhism and Hinduism, Philosophy East and West (1972)
  128. ^ Dr. Kalghatgi, T. G. 1988 In: Study of Jainism, Prakrit Bharti Academy, Jaipur
  129. ^ Zimmer 1989, hlm. 217.
  130. ^ Svarghese, Alexander P. 2008. India : History, Religion, Vision And Contribution To The World. p. 259-60.
  131. ^ Helmuth von Glasenapp, Shridhar B. Shrotri. 1999. Jainism: an Indian religion of salvation. P.24. "Thus not only nothing, from the philosophical and the historical point of view, comes in the way of the supposition that Jainism was established by Parsva around 800 BCE, but it is rather confirmed in everything that we know of the spiritual life of that period."
  132. ^ Dundas, Paul. 2002. The Jains. P.17. "Jainism, then, was in origin merely one component of a north Indian ascetic culture that flourished in the Ganges basin from around the eighth or seventh centuries BCE."
  133. ^ "Buddhism". (2009). In Encyclopædia Britannica. Retrieved 26 November 2009, from Encyclopædia Britannica Online Library Edition.
  134. ^ P. 78 – 83 Freeing the Buddha: Diversity on a Sacred Path—large Scale Concerns By Brian Ruhe
  135. ^ P. 110 A text book of the history of Theravāda Buddhism by K. T. S. Sarao, University of Delhi. Dept. of Buddhist Studies
  136. ^ Witzel, Michael (2004), "Kalash Religion (extract from 'The Ṛgvedic Religious System and its Central Asian and Hindukush Antecedents, in A. Griffiths; J. E. M. Houben (eds.), The Vedas: Texts, Language and Ritual, Groningen: Forsten, pp. 581–636; see section 1.5.2

Sumber

sunting
Sumber cetak
Sumber web

Daftar pustaka

sunting

Pranala luar

sunting