Deklarasi Bangkok 1993

Deklarasi Bangkok 1993 (berbeda dengan Deklarasi Bangkok 1967) adalah sebuah deklarasi yang dihadiri oleh para menteri dan delegasi dari berbagai negara di Asia, sebagai bentuk komitmen negara-negara Asia kepada nilai-nilai Hak Asasi Manusia dan juga demokrasi di wilayah Asia.[1]

Tujuan sunting

Deklarasi Bangkok 1993 ini diadakan pada 29 Maret sampai 2 April 1993 di Bangkok, Thailand dengan berdasar pada Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 46/116 yang terbit pada 17 Desember 1991. Deklarasi ini dihadiri oleh hampir seluruh negara-negara di Asia, dari Iran sampai Mongolia, dan juga mengikutsertakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berkonsentrasi pada isu-isu Hak Asasi Manusia di kawasan Asia.[2][3]

Deklarasi ini juga sebagai salah satu langkah persiapan negara-negara Asia dalam menyambut Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia yang akan diadakan di Vienna, Austria pada Juni tahun yang sama. Menurut ahli hubungan internasional dari Universitas Columbia, Joanne Bauer, Deklarasi Bangkok 1993 dibuat untuk mengimbangi sekaligus menolak dominasi nilai-nilai Barat (terutama Amerika Serikat dan Eropa) dalam menerjemahkan Hak Asasi Manusia, jadi Deklarasi Bangkok 1993 adalah sebuah langkah negara-negara Asia untuk mengkonsepsikan sendiri Hak Asasi Manusia berdasarkan nilai-nilai Timur atau Asia.[3]

Konsep dan Prinsip sunting

Menurut Miriam Budiardjo, Deklarasi Bangkok 1993 mempertegas berbagai konsep dan prinsip berdasarkan nilai-nilai Asia, antara lain:[4]

  1. Universality. Hak asasi bersifat universal, artinya berlaku untuk semua manusia dari semua ras, agama, etnis, kelas sosial, dan sebagainya.
  2. Indivisibility and Interdependence. Hak asasi tidak boleh dibagi-bagi atau dipilah-pilah dan harus dilihat secara menyeluruh, artinya hak politik, ekonomi, sosial, budaya tidak boleh dipisah, dan semua hak-hak itu saling terkait satu sama lain.
  3. Non-selectivity and Objectivity. Tidak dibenarkan untuk memilih diantara beberapa kategori hak asasi dan menganggap bahwa satu kategori lebih penting dari yang lain. Dalam menilai situasi di beberapa negara tidak diperkenankan adanya standar ganda.
  4. Right to Development. Hak atas pembangunan menjadi penting karena negara Dunia Ketiga masih dalam tahap perkembangan. Hak atas pembangunan juga adalah penegasan daari Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atas Pembangunan (1986).
  5. Non-conditionality and Development Assistance. Pelaksanaan hak asasi tidak boleh menjadi syarat untuk bantuan pembangunan.
  6. National and Regional Particularities. Kekhasan nasional, regional, yang berangkat dari tradisi, budaya, adat, sistem nilai, sejarah, dan agama diantara bangsa-bangsa merupakan hal yang harus dipertimbangkan dalam menjalankan hak asasi.
  7. Right to Self-Determination. Hak menentukan nasib sendiri, artinya adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan, bebas dari penjajahan. Namun, prinsip ini tidak boleh digunakan dalam gerakan separatisme dan seccesionisme yang merusak integrasi dan kedaulatan nasional suatu negara. Prinsip ini juga sekaligus untuk membatasi munculnya etnonasionalisme dan disintegrasi nasional yang sedang dialami oleh Eropa Timur (Uni Soviet dan Yugoslavia) dan juga potensi-potensi tumbuhnya etnonasionalisme yang ada di negara-negara Asia pada saat itu, seperti di Indonesia (Aceh, Timor Timur, dan Papua), Filipina (Moro), Thailand (Pattani), Irak dan Suriah (Kurdi), dan India (Kashmir).

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 243
  2. ^ "Final Declaration of the Regional Meeting for Asia of the World Conference on Human Rights | ヒューライツ大阪". www.hurights.or.jp (dalam bahasa Jepang). Diakses tanggal 2017-12-06. 
  3. ^ a b "The Bangkok Declaration Three years After: Reflections on the State of the Asia-West Dialogue on Human Rights | Carnegie Council for Ethics in International Affairs". www.carnegiecouncil.org (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-06. Diakses tanggal 2017-12-06. 
  4. ^ Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 243 - 244

Bacaan lanjut sunting