I Gusti Ketut Jelantik

Pahlawan Revolusi Kemerdekaan
(Dialihkan dari Gusti Ketuk Jelantik)

I Gusti Ketut Jelantik (Aksara Bali: ᬇᬕᬸᬲ᭄ᬢᬶᬓᭂᬢᬸᬢ᭄ᬚᭂᬮᬦ᭄ᬢᬶᬓ᭄, meninggal tahun 1849) adalah pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari Karangasem, Bali. Ia merupakan patih Kerajaan Buleleng. Ia berperan dalam Perang Bali I, Perang Jagaraga, dan Perang Bali III yang terjadi di Bali pada tahun 1849. Ia gugur ketika peperangan berakhir, yaitu pada tahun 1849.[2]

I Gusti Ketut Jelantik
ᬇᬕᬸᬲ᭄ᬢᬶᬓᭂᬢᬸᬢ᭄ᬚᭂᬮᬦ᭄ᬢᬶᬓ᭄
Lahir1800
Tukadmungga, Buleleng, Buleleng
Meninggal1849
Jagaraga, Buleleng
PengabdianBuleleng
PangkatPatih
Perang/pertempuranPerang Jagaraga
PenghargaanPahlawan Nasional Indonesia
PasanganI Gusti Ayu Made Geria
I Gusti Ayu Kompyang
Gusti Biyang Made Saji
Jero Sekar[1]
AnakI Gusti Ayu Jelantik
I Gusti Ayu Made Sasih
I Gusti Bagus Weda Tarka

Kehidupan Pribadi

sunting
I Gusti Ketut Jelantik di Kerajaan Buleleng


Dalam satu keterangan disebutkan I Gusti Ketut Jelantik saat muda sering berkunjung ke Desa Kalibukbuk. Di desa itu terdapat sebuah kerajaan kecil dengan aktivitas utama masyarakatnya yaitu bertani.

Produktivitas pertanian I Gusti Ketut Jelantik cukup tinggi, sehingga dia mampu membangun pura yang bernama Pura Bukit Sari. Pada tahun 1828, I Gusti Ketut Jelantik diangkat menjadi Patih Agung Kerajaan Buleleng Bali.[3]

Riwayat Perjuangan

sunting

I Gusti Ketut Jelantik menjadi pemimpin dalam perlawanan terhadap invasi Belanda ke Bali, perlawanan tersebut terjadi beberapa kali di Bali utara selama tahun 1846, 1848, dan 1849.[2]

Perlawanan ini bermula karena pemerintah kolonial Hindia Belanda ingin menghapuskan tawan karang yang berlaku di Bali, yaitu hak bagi raja-raja yang berkuasa di Bali untuk mengambil kapal yang kandas di perairannya beserta seluruh isinya.

Pada kala itu, Belanda berusaha memanipulasi rempah rempah Bali dan melalui pelayaran Hongi, kapal Belanda karam di Bali utara. Kapal tersebut langsung ditawan oleh Kerajaan Buleleng. Ucapannya yang terkenal ketika itu ialah "Apapun tidak akan terjadi. Selama aku hidup, aku tidak akan mengakui kekuasaan Belanda di negeri ini".

Perang Bali I

sunting

Pada tahun 1841, terjadi kesepakatan antara pemerintah Hindia Belanda dan kerajaan-kerajaan lokal di Bali. Namun, kesepakatan ini tidak diterima oleh sebagian besar masyarakat Bali, termasuk Kerajaan Buleleng. Belanda akhirnya melihat kesempatan untuk menyerang Bali dengan memanfaatkan hukum adat Tawan Karang, yang memberikan hak bagi Bali untuk menguasai kapal yang karam di pesisirnya.

Pada tahun 1846, pecah pertempuran antara masyarakat Bali dan Belanda, yang dikenal sebagai Perang Bali I. Perang ini melibatkan puluhan ribu prajurit. Dari pihak Belanda, terdapat 1.280 prajurit yang diangkut dengan 23 kapal perang. Sementara itu, dari pihak Bali, yaitu Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Karangasem, terdapat lebih dari 10.000 prajurit. Dalam perang ini, Belanda berhasil menaklukkan ibu kota Singaraja, yang kemudian diikuti dengan penawaran damai dari pihak Karangasem dan Buleleng.

Peristiwa ini menandai awal dari rangkaian konflik antara Belanda dan kerajaan-kerajaan di Bali yang berlangsung hingga akhir abad ke-19, dengan tujuan memperluas kekuasaan kolonial Belanda di wilayah tersebut.

Perang Jagaraga

sunting

Perjanjian antara Belanda dengan Kerajaan Buleleng dan Karangasem akhirnya disepakati. Dalam perjanjian tersebut, masyarakat Bali harus segera menyelesaikan segala kewajiban mereka terhadap pemerintah Hindia Belanda. Namun, perjanjian ini tidak bertahan lama. Perang kembali meletus yang dikenal dengan Perang Jagaraga atau Perang Bali II. Perang ini disebut Perang Jagaraga karena I Gusti Ketut Jelantik memusatkan benteng pertahanan di Jagaraga.

Perang Jagaraga terjadi pada tahun 1848, dipimpin oleh I Gusti Ketut Jelantik dengan 16.000 prajurit Bali, termasuk 1.500 orang yang bersenjata senapan api. Di pihak Belanda, terdapat 2.400 prajurit yang berasal dari berbagai daerah, termasuk koloni Belanda di luar negeri. Dalam pertempuran ini, masyarakat Bali berhasil memukul mundur pihak Belanda. Tercatat sebanyak 200 prajurit Belanda tewas, dan sisanya melarikan diri dengan kapal.

Perang Jagaraga menjadi simbol perlawanan masyarakat Bali terhadap penjajahan Belanda, dan menunjukkan keberanian serta semangat juang tinggi dari rakyat Bali dalam mempertahankan tanah air mereka.

Perang Bali III

sunting

Kekalahan dalam Perang Jagaraga menyebabkan pemimpin militer Hindia Belanda mengundurkan diri dari jabatannya. Namun, Belanda kembali menyusun pasukan untuk menyerang Bali demi mempertahankan reputasinya. Perang Bali III terjadi pada tahun 1849. Pasukan Belanda terdiri dari 5.000 prajurit terlatih, 3.000 pelaut, dan 100 kapal. Sementara itu, masyarakat Bali memiliki 33.000 prajurit yang dipimpin oleh I Gusti Ketut Jelantik dan Gusti Ngurah Made Karangasem.

Hindia Belanda yang telah belajar dari dua perang sebelumnya menyusun strategi yang berbeda. Mereka memilih memusatkan serangan di Bali Selatan dengan mendarat di Dusun Padang dan menyerang Klungkung. Selain itu, Belanda juga menjalin koalisi dengan Kerajaan Lombok saat itu dikuasai Karangasem yang dikenal bermusuhan dengan Buleleng. Pada tahun 1849, Raja Buleleng melarikan diri dari serangan Belanda di Buleleng. Bersama penguasa Buleleng, ia pergi ke Karangasem untuk mencari perlindungan, namun akhirnya terbunuh oleh pasukan dari Lombok, yang merupakan sekutu Belanda. Perang ini berakhir dengan puputan, di mana seluruh anggota kerajaan dan rakyatnya berjuang hingga titik darah penghabisan untuk mempertahankan daerah mereka.

Hingga akhirnya pada 16 April 1849, Kerajaan Buleleng resmi jatuh ke tangan Hindia Belanda. Setelah peristiwa tersebut, Raja Buleleng harus mundur ke Gunung Batur di Kintamani. Di tempat inilah perjuangannya berakhir dengan gugurnya Raja. Setelah wafatnya, perjuangan para raja Bali mulai mengalami kemunduran. Seluruh wilayah Bali dengan mudah dikuasai oleh Belanda, kecuali Bali Selatan yang masih melakukan perlawanan. Dalam Perang Bali III, I Gusti Ketut Jelantik dan Raja Buleleng gugur dalam pertempuran. Sementara itu, Penguasa Karangasem memilih melakukan ritual bunuh diri. I Gusti Ketut Jelantik meninggal pada tahun 1849 di Perbukitan Bale Pundak, Gunung Batur, Kintamani, Bali.[4]

Pahlawan Nasional

sunting

Berdasarkan perjuangan yang telah dilakukan oleh I Gusti Ketut Jelantik dalam melawan invasi Belanda di Bali, ia ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI No. 077/TK/Tahun 1993 pada 14 September 1993.

Catatan Kaki

sunting
  1. ^ Atiqoh Hasan. "I Gusti Ketut Jelantik". Diakses tanggal 26 Juli 2018. 
  2. ^ a b Pringle, Robert, 1936- (2004). A short history of Bali : Indonesia's Hindu realm. Crows Nest, N.S.W.: Allen & Unwin. ISBN 1-86508-863-3. OCLC 54517415. 
  3. ^ Redaksi (2024-02-17). "I Gusti Ketut Jelantik, Riwayat Hidup dan Perjuangannya Melawan Belanda di Bali". Pilar Kebangsaan. Diakses tanggal 2024-12-05. 
  4. ^ "√ Biografi I Gusti Ketut Jelantik: Asal, Perjuangan, dan Kisah Hidup - lyceum.id". 2024-05-11. Diakses tanggal 2024-12-05.