Hijrah

Migrasi Nabi Muhammad
(Dialihkan dari Hijrah ke Madinah)

Hijrah (bahasa Arab: هِجْرَة) adalah perpindahan/migrasi Nabi Muhammad dan pengikutnya dari Makkah ke Madinah pada bulan Juni tahun 622.

Hijrah
Nama lainHijrahnya Nabi Muhammad;[1][2] Migrasi Nabi Muhammad; Migrasi; Hijrah; Hegira
Tanggal622
LokasiSemenanjung Arab
PartisipanNabi Muhammad dan Pengikut
HasilPenggantian nama Yatsrib sebagai "Kota Nabi" (Madinah); Perdamaian antara Bani Aus dan Bani Khazraj (kedua suku beragama Islam); Nabi Muhammad sebagai pemimpin dan menyatukan kaum Muslim

Latar belakang

sunting

Awalnya dalam menyebarkan agamanya di Makkah, Nabi Muhammad kerap melakukannya dengan mencaci maki sesembahannya orang-orang Quraisy. Namun rakyat Quraisy bersabar dan hanya mengancam bahwa mereka akan menghina balik sesembahan Nabi Muhammad bila beliau tetap melakukannya. Sehingga turunlah ayat Quran 6:108.[3]

Dan Janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan, tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.

Seorang sahabat Nabi, Abdullah bin Amru melaporkan, ketika dirinya sedang bersama orang-orang musyrik di Hijr, mereka menyebut-nyebut soal Rasulullah, mereka berkata: "Kita tidak pernah bersabar menghadapi seseorang seperti kesabaran kita terhadap lelaki ini. Ia merendahkan kita, mencela nenek moyang kita, mencerca agama kita, memecah-belah kita, dan menghina sesembahan kita. Sungguh, kita sudah sangat bersabar terhadapnya dalam menghadapi perkara besar ini."[4][5]

Tiba-tiba Rasulullah datang berjalan menghampiri Hajar Aswad dan menciumnya, kemudian beliau melakukan thawaf melewati mereka. Saat beliau melintas, beberapa dari mereka menggunakan kata-kata Sang Rasul untuk memperolok beliau. Ibnu Amru melihat ketidaksenangan di wajah Rasulullah. Ketika Rasulullah melintasi mereka untuk kedua kalinya, mereka kembali melakukan hal yang sama. Dan di saat ketiga kalinya melewati mereka, Rasulullah berhenti dan berkata: "Maukah kalian mendengarkan perkataanku, wahai orang-orang Quraisy? Demi jiwaku dalam genggaman-Nya, sungguh aku akan menyembelih kalian."[6][7]

Kata-kata Rasulullah ini begitu menohok sehingga mereka semua yang hadir pun langsung berdiri terdiam. Bahkan orang yang awalnya paling keras olokannya berusaha bersikap sopan dan berkata-kata dengan baik: "Pergilah, Abul Qasim (julukan Sang Rasul), demi Tuhan kau bukanlah orang yang kasar." Rasulullah pun beranjak pergi.[7]

Keesokan harinya, para tokoh Quraisy berkumpul kembali di Hijr. Beberapa dari mereka yang tidak datang di hari sebelumnya marah mengetahui kalau teman-teman mereka diam saja ketika Rasulullah berkata seperti itu. Maka mereka mendatangi Rasulullah dan menanyakan apakah benar Rasulullah telah mengatakan hal-hal yang mereka dengar.

Rasulullah menjawab: "Ya, aku yang mengatakan itu."

Salah seorang dari mereka pun menarik pakaian Rasulullah. Melihat itu, Abu Bakar bangkit untuk membela beliau. Dengan bercucuran air mata, ia berkata: "Apakah kalian akan membunuh seseorang yang mengatakan 'Tuhanku adalah Allah'?!"

Akhirnya mereka pun meninggalkannya.[7][8]

Beberapa orang Quraisy melapor kepada Abu Thalib, paman dari Rasulullah. Mereka meminta supaya dirinya menasihati keponakannya agar berhenti bersikap kurang ajar kepada mereka. Abu Thalib pun menasihati Nabi Muhammad. Namun itu tidak menghentikan Nabi Muhammad dari melecehkan mereka. Orang-orang Quraisy pun mendatangi lagi Abu Thalib. Kali ini mereka mengancam kalau Nabi Muhammad tidak segera berhenti dari perbuatannya maka mereka pun akan turun tangan. Abu Thalib pun mengirimkan surat kepada Nabi Muhammad yang berisi:

Wahai keponakanku, orang-orang telah datang kepadaku dan menceritakan berbagai hal, jadi mohon lindungilah aku dan dirimu, dan jangan bebani aku melebihi apa yang bisa aku tanggung.

Yang mana, Nabi Muhammad pun mendatangi Abu Thalib, dan menjawab:

Wahai paman, jika mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku dengan syarat aku harus meninggalkan jalan ini. Sampai Allah memutuskan atau sampai aku mati, aku tidak akan meninggalkannya.

Nabi Muhammad pun menangis dan pergi.[9]

Hijrah ke Habasyah

sunting

Hijrah ke Abisinia

Pada tahun 9 Sebelum Tarikh Hijriah (613 M) atau tahun 7 Sebelum Tarikh Hijriah (615 M) terdapat peristiwa hijrah pertama yang diperintahkan Nabi Muhammad kepada pengikutnya ke Habasyah (Ethiopia) yang merupakan Kerajaan Kristiani. Nabi sendiri tidak ikut dalam hijrah itu. Salah satu yang ikut pada hijrah tersebut adalah Ramlah binti Abu Sufyan yang kemudian menjadi istri Nabi,[10] ia adalah anak dari Abu Sufyan, salah satu orang terkemuka dari suku Quraisy yang pada saat itu menolak mempercayai kenabian Muhammad.[11] Suku Quraisy pun mengirim utusan ke Ethiopia untuk menjemput mereka pulang ke jazirah Arab, akan tetapi gagal.

Hijrah ke Madinah

sunting

Setelah kematian Abu Thalib, dan perselisihan dengan orang-orang Quraisy semakin meningkat. Nabi Muhammad pun berkeputusan untuk memerintahkan kepada kaum muslimin di Makkah untuk berhijrah menuju Madinah. Di sana beliau telah terlebih dahulu mendapatkan pengikut dari suku Aws dan Khazraj. Mereka merupakan dua suku yang berasal dari Yaman yang bermigrasi ke Madinah setelah bocornya bendungan Ma'rib di Yaman. Saat kedua suku tersebut tiba di Madinah di sana sudah terdapat suku-suku Yahudi yang menempati kota tersebut.

Pemuka suku Quraisy tengah mengadakan diskusi untuk pembunuhan Nabi Muhammad di Darun Nadwah. Mereka menyepakati untuk mengutus masing-masing satu pemuda dari tiap kabilah untuk membunuh menggunakan tebasan pedang. Tujuannya agar masing-masing kabilah bekerja sama sehingga Bani Hasyim tidak dapat memberikan serangan balasan dan harus membayar tebusan.[12]

Nabi Muhammad telah mengetahui rencana pembunuhan atas dirinya. Pada malam pertemuan para pemuka suku Quraisy, ia bersama dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq telah memulai hijrah ke Madinah. Akhirnya, Nabi Muhammad tiba di Madinah dengan selamat meskipun selama perjalanan dikejar oleh utusan-utusan pilihan dari suku Quraisy.[13]

Pada September 622, Nabi Muhammad pun membawa pengikutnya berhijrah ke Yatsrib, 320 kilometer (200 mi) utara Mekkah. Yatsrib kemudian berubah nama menjadi Madinat an-Nabi, yang berarti "kota Nabi", tetapi kata an-Nabi menghilang, dan hanya disebut Madinah, yang berarti "kota". Penanggalan Islam yang disebut Hijriah dicetuskan oleh Ali bin Abi Thalib pada tahun 638 atau 17 tahun setelah peristiwa hijrah. Kota tempat tinggal Nabi Muhammad disebut Madinah dan wilayah sekitarnya disebut Yatsrib.

Hari Tanggal Catatan
Hari 1
Kamis
26 Safar SH 1
(17 Juni 622)
Meninggalkan rumah di Mekkah. Tinggal tiga hari di Gua Tsur di dekat Mekkah.
Hari 5
Senin
1 Rabiul awal SH 1
(21 Juni 622)
Meninggalkan Mekkah. Perjalanan ke Madinah.
Hari 16
Jumat
12 Rabiul awal SH 1
(2 Juli 622)
Tiba di Masjid Quba dekat Madinah.
Hari 20
Jumat
16 Rabiul awal SH 1
(6 Juli 622)
Tiba di Madinah untuk salat Jumat.
Hari 30
Jumat
26 Rabiul awal SH 1
(16 Juli 622)
Pindah dari Masjid Quba ke Madinah.

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ "Dates of Epoch-Making Events", The Nuttall Encyclopaedia. (Gutenberg version Diarsipkan 2004-10-11 di Wayback Machine.)
  2. ^ Mahomet is an archaism used for Muhammad. See Medieval Christian view of Muhammad for more information.
  3. ^ Tafsir Ibnu Katsir - Qur'an 6:108. hlm. 272. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-19. Diakses tanggal 2021-08-19. 
  4. ^ Ibnu Hisyam. Sirah Nabawiyah-Ibnu Hisyam. Diterjemahkan oleh Ikhlas Hikmatiar. Qisthi Press. hlm. 128. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-19. Diakses tanggal 2021-08-19. 
  5. ^ عبد الملك بن هشام. "سيرة ابن هشام ت السقا". app.turath.io. hlm. 289–290. Diakses tanggal 19 Agustus 2021. 
  6. ^ "إسلام ويب - السيرة النبوية (ابن هشام) - ذكر ما لقى رسول الله صلى الله عليه وسلم من قومه - حديث ابن العاص عن أكثر ما رأى قريشا نالته من رسول الله صلى الله عليه وسلم- الجزء رقم1". islamweb.net (dalam bahasa Arab). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-19. Diakses tanggal 2021-08-19. 
  7. ^ a b c Ibn Ishaq. Sirat Rasul Allah - The Life of Muhammad. hlm. 131. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-19. Diakses tanggal 2021-08-19. 
  8. ^ Ibnu Hisyam. Sirah Nabawiyah-Ibnu Hisyam. Diterjemahkan oleh Ikhlas Hikmatiar. Qisthi Press. hlm. 128–129. 
  9. ^ Ibn Kathir. Al Sira Al Nabawiyya - The Life of the Prophet Muhammad vol. 1. hlm. 344. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-19. Diakses tanggal 2021-08-19. 
  10. ^ Al-Tabari. The History of Al-Tabari - Volume 39. hlm. 177. 
  11. ^ Ibnu Hisyam. Sirah Nabawiya - Ibnu Hisyam. hlm. 346. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-25. Diakses tanggal 2022-04-06. 
  12. ^ Khaththab 2019, hlm. 114-115.
  13. ^ Khaththab 2019, hlm. 115.

Daftar pustaka

sunting
  • Khaththab, Mahmud Syait (2019). Rasulullah Sang Panglima: Meneladani Strategi dan Kepemimpinan Nabi dalam Berperang. Sukoharjo: Pustaka Arafah. ISBN 978-602-6337-06-1.