Muhammad Ali dari Siak

pahlawan nasional Indonesia
(Dialihkan dari Marhum Pekan)

Tengku Muhammad Ali (lebih dikenal dengan nama Marhum Pekan[1] ) adalah Sultan Siak ke-5 pada tahun 1766 setelah menggantikan ayahandanya, Sultan Alamuddin, dengan gelar: Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah. Beliau dikenal sebagai pendiri Kota Pekanbaru, ibukota Provinsi Riau.

Marhum Pekan
Yang Dipertuan Besar Siak Sultan Muhammad Ali ibni Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah
Sultan Siak Sri Inderapura ke-5
Berkuasa1766-1779 M
PendahuluSultan Alamuddin Syah
PenerusSultan Yahya
Kematian1791
Pekanbaru, Riau
Pemakaman
Makam Marhum Pekan, Senapelan, Pekanbaru
Istri
  • Tengku Embung Besar binti Tengku Buwang Asmara
Nama anumerta
Marhum Pekan
DinastiSiak
AyahSultan Alamuddin Syah
IbuPutri Jambi
AgamaIslam Sunni

Tengku Muhammad Ali cukup lama mengemban berbagai jabatan penting dalam struktur pemerintahan Kesultanan Siak, hampir 40 tahun lamanya. Menjadi panglima besar di masa Tengku Buwang Asmara (1746-1760), termasuk menjadi panglima utama pada Perang Guntung I, kemudian diangkat menjadi panglima Perang Guntung II di masa Sultan Ismail (1760-1761), dipercaya sebagai panglima besar pada masa Sultan Alamuddin Syah (1761-1766) dan menjadi Raja Muda (1764), menjadi Sultan Kerajaan Siak kelima pada 18 September 1766 sampai 1779, Kemudian kembali menjadi panglima besar sekaligus Yang Dipertuan Tua pada masa pemerintahan Sultan Ismail yang naik takhta untuk kali kedua (1782-1784).

Belum pernah ada dalam sejarah Siak, sosok yang selama itu menduduki berbagai posisi krusial ketika Kerajaan Siak melewati berbagai situasi-situasi genting. Ada tiga tugas berat yang diembankan ke pundaknya, pertama menjaga stabilitas Kerajaan Siak. Kedua, melanjutkan keberlangsungan Kerajaan Siak. Ketiga, menumbangkan hegemoni kekuatan VOC di Melaka yang mengontrol politik, ekonomi wilayah pesisir timur sumatera.

Latar Belakang Kehidupan

sunting

Tengku Muhammad Ali lahir dan tumbuh di Istana Kesultanan Siak di bawah asuhan pamannya, Tengku Buwang Asmara. Ketika Tengku Alamuddin ayahnya memilih meninggalkan Siak tahun 1735, Tengku Muhammad Ali bersama adiknya, Tengku Akil yang ketika itu masih kecil tetap tinggal di Siak.

Panglima Besar

sunting

Ketika mulai tumbuh dewasa, Sultan Siak ke-2 Tengku Buang Asmara, yang tak lain adalah paman beliau sendiri, memberi kepercayaan atas jabatan panglima besar, pemimpin tertinggi semua angkatan perang Siak. Jabatan ini tetap dipegang pada beberapa masa pemerintahan selanjutnya, Sultan Ismail sepupunya (1760-1761), hingga masa pemerintahan ayahnya, Sultan Alamuddin (1761-1766).[2]

Perang Guntung

sunting

Dalam perang Guntung tahun 1752, Tengku Buwang Asmara menunjuk Tengku Muhammad Ali sebagai panglima besar. Ada 12 orang panglima Perang Guntung dalam pertempuran itu, namun tongkat utama komando dipegang oleh Tengku Muhammad Ali sebagai panglima besar. Dalam peperangan itu, serdadu VOC di Loji Guntung tewas semua, kecuali satu orang.

Perang Mempura 1760

sunting

Ketika armada Belanda menyerang Mempura tahun 1760 dengan puluhan kapal-kapal perang besar, Askar Siak dibawah pimpinan Panglima Besar Tengku Muhammad Ali dengan gagah berani menghadangnya di tepi bandar Mempura. Di sinilah terjadi pertempuran besar habis-habisan dari pahlawan-pahlawan Siak melawan Belanda.

Panglima Tengku Muhammad Ali dengan orasi-orasinya telah berhasil membangkitkan semangat juang askar perang Siak yang tampil gagah berani dalam pertempuran itu. Meski Belanda telah melakukan persiapan matang dan dengan kapal-kapal perang besar, sedangkan Armada Siak hanya menggunakan rakit berapi-api dan kapal-kapal berisi mesiu, namun dengan semangat "jihad fi sabilillah" yang menggelora telah membuat ksatria-ksatria Siak berhasil memukul Belanda dengan sangat telak. Beberapa kapal Belanda berhasil ditenggelamkan. Belanda kewalahan dan memilih mundur.

Akibat kekalahan itu Belanda bersiasat untuk menaklukkan Siak dengan cara lain, yakni memboncengi nama Tengku Alamuddin yang dimanipulasi seolah-olah berada di pihak Belanda untuk memadamkan perlawanan Siak.

Sebelum wafat, Tengku Buwang Asmara sudah berwasiat kepada anaknya, Tengku Ismail bahwa tahta Siak seharusnya menjadi hak pamannya, Tengku Alamuddin dengan ucapan "Haram perang sesama saudara! Apabila pamanmu Tengku Alamuddin balik ke Siak ini, segera serahkan tahta kepadanya", pesan Tengku Buwang Asmara.

Demi mendengar bahwa Tengku Alamuddin berada di pihak Belanda, Siak pun menghentikan permusuhan terhadap Belanda.

Kedatangan Tengku Alamuddin kembali di Siak tahun 1761, membuat Sultan Ismail secara sukarela menyerahkan tahta pada pamannya itu berdasarkan wasiat ayahnya. Tengku Alamuddin dinobatkan menjadi Sultan Siak ke 4, yang seharusnya sudah menjadi hak-nya setelah Raja Kecik mangkat, memakai nama Sultan Alamuddin Syah, atau Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah.

Sementara Tengku Muhammad Ali tetap menjabat sebagai panglima besar pada masa pemerintahan ayahnya. Upaya Belanda untuk memboncengi Sultan Alamuddin Syah tidak berhasil, hal ini ditunjukkan dengan sikapnya yang terus menerus melancarkan perlawanan terhadap Belanda pada masa pemerintahannya.

Naik Tahta

sunting

Ketika ayahnya Sultan Alamuddin Syah memindahkan pusat kerajaan dari Mempura Besar ke Senapelan demi menghindari pengaruh Belanda, Tengku Muhammad Ali turut serta. Beliau membangun Istana di Kampung Bukit dan diperkirakan Istana tersebut terletak di sekitar lokasi Mesjid Raya Senapelan sekarang. Sultan kemudian berinisiatif membuat pekan atau pasar di Senapelan namun tidak berkembang. Kemudian usaha yang dirintis tersebut dilanjutkan oleh Muhammad Ali pada tahun 1784 pada masa pemerintahan Sultan Syarif Ali, meskipun lokasi pasar bergeser di sekitar Pelabuhan Pekanbaru sekarang.

Setelah Sultan Alamuddin mangkat di Senapelan pada tahun 1766, Tengku Muhammad Ali naik tahta menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah.

Semasa ia menjabat sebagai sultan, Tengku Muhammad Ali menunjuk keponakannya Sayyid Ali sebagai panglima besar. Sayyid Ali merupakan putra dari adik Muhammad Ali, Tengku Embung Badariyah dan Sayyid Usman Syahabuddin. Ia terus mendampingi pamannya tersebut dalam setiap keadaan, termasuk ketika Muhammad Ali kehilangan kuasa atas tahta Siak dan menetap di Senapelan.

Turun Tahta

sunting

Pada tahun 1779, Sultan Ismail yang telah berkelana di Selat Malaka datang untuk menuntut kembali tahta yang dulu telah dia serahkan kepada Tengku Alamuddin. Sultan Ismail bersikeras agar tahtanya dikembalikan, tetapi Sultan Muhammad Ali menolak.

Sayyid Usman Syahabuddin menyarankan Sultan Muhammad Ali untuk mengalah, namun memberi syarat kepada Sultan Ismail untuk menjadikan Sultan Muhammad Ali sebagai Panglima Besar dan Yang Dipertuan Tua.[2], syarat itu diterima oleh Sultan Ismail. Sultan Ismail naik menjadi Sultan Siak untuk kedua kalinya dari tahun 1779 hingga tahun 1781. Ketika Sultan Ismail wafat tahun 1781, Tengku Yahya anaknya masih sangat muda, sehingga Tengku Muhammad Ali ditunjuk menjadi wali sultan hingga Tengku Yahya mencapai usia yang layak memimpin kerajaan.

Namun Sultan Yahya yang belum dewasa tetap dilantik menjadi sultan di tahun berikutnya, 1782[2].

Mengawal Transisi Kekuasaan

sunting

Dilantiknya Sultan Yahya yang belum dewasa sebagai sultan kembali memunculkan konflik di kalangan keluarga Istana. Sebagian pembesar istana memandang Tengku Muhammad Ali lebih layak atas posisi itu. Melihat pengaruh tersebut Sultan Yahya kembali memindahkan pusat kerajaan dari Senapelan ke Mempura Kecil. Namun kebijakan pemindahan pusat kerajaan ini justru membuat pertentangan kian meruncing.

Sebagian pembesar memunculkan gagasan untuk memberontak kepada Sultan Yahya dan mengangkat Tengku Muhammad Ali sebagai sultan kembali. Namun Tengku Muhammad Ali menolak gagasan tersebut dengan alasan sudah tidak berminat lagi menjadi sultan. Beliau berpandangan bahwa Sayyid Ali, putra dari adiknya, Tengku Embung Badariyah dengan Sayyid Usman Syahabuddin lebih layak untuk menjadi sultan.

Akan tetapi usulan itu ditolak keras oleh Sayyid Usman, demikian pula Tengku Embung Badariyah.

"Bagai menarik rambut di dalam tepung, rambut tidak boleh putus, tepung tidak boleh berserak." demikian petuah Tengku Embung Badariyah.

Namun dukungan dari pembesar-pembesar kerajaan terhadap Tengku Sayyid Ali begitu besar. Mereka menilai Sultan Yahya seorang pemimpin yang lemah dan tidak cakap dalam memerintah.[3] Akibat berbagai desakan dan tekanan, cengkeraman Sultan Yahya atas Siak semakin melemah, ia menyingkir ke Kampar, lalu ke Trengganu, dan wafat di Dungun, Terengganu tahun 1784.

Setelah Sultan Yahya wafat, Tengku Sayyid Ali dilantik menjadi sultan Siak ke-7 dengan gelar Sultan Syarif Ali Abdul Jalil Saifuddin pada tahun 1784. Sementara Tengku Muhammad Ali tetap mendampingi pemerintahan baru, terutama dalam mengawasi ekonomi kerajaan.[2]

Dari Pasar Menjelma Menjadi Kota Pekanbaru

sunting

Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Ali, Sayyid Usman Syahabuddin menyarankan agar Kesultanan Siak kembali membangun pasar sebagai upaya untuk melawan perekonomian Belanda yang telah menguasai berbagai pusat perdagangan dan pasar, sambil menceritakan peristiwa hijrah Rasulullah dari Mekkah ke Madinah, dimana sesampainya di Madinah Rasulullah tidak hanya membangun masjid, namun juga membangun pasar sebagai upaya untuk melawan dominasi Yahudi atas ekonomi Yastrib (Madinah) kala itu lewat pasar mereka, yakni Pasar Bani Qainuqa'.

Sultan Syarif Ali menunjuk Tengku Muhammad Ali untuk membangun pasar tersebut yang memilih lokasi di sekitar Pelabuhan Pekanbaru sekarang. Tengku Muhammad Ali selalu turun langsung mengawasi jalannya pasar.

Dalam aturannya pedagang tidak dikenakan pajak sepeserpun, namun dilarang keras melakukan jual beli atas barang-barang yang diharamkan, juga transaksi riba, timbangan menipu, dan monopoli. Pedagang kecil dan saudagar besar memiliki hak sama. Pedagang yang datang lebih pagi berhak atas lapak yang ditempatinya sampai matahari terbenam tanpa boleh digeser siapapun. Pedagang yang melanggar akan dilarang berjualan dipasar itu selamanya.

Dalam waktu yang tak begitu lama pasar tersebut telah berkembang pesat menjadi bandar niaga yang besar.[3] Para saudagar dari berbagai penjuru menjual dagangan mereka ke Senapelan. Orang-orang dari pedalaman sungai berdatangan mengayuh sampan-sampan mereka dengan muatan sayuran, buah-buahan, ikan, serta berbagai kerajinan tangan seperti tikar, perabotan, anyaman, dan lainnya.

Pasar Senapelan semakin terkenal ke berbagai kerajaan di Sumatera, dan orang-orang menyebutnya dengan Pekan Baharu, bermakna "Pusat perdagangan yang baru", yang dikemudian hari disebut dengan Pekanbaru.[2]

Senapelan yang kemudian lebih popular disebut Pekanbaru resmi didirikan pada tanggal 21 Rajab hari Selasa tahun 1204 H bersamaan dengan 23 Juni 1784 M oleh Sultan Muhammad Ali dibawah pemerintahan Sultan Syarif Ali yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kota Pekanbaru.

Kondisi sosial dan perekonomian Kesultanan Siak berangsur pulih, kondisi negeri juga semakin aman tenteram, tak ada lagi pertikaian di kalangan Istana, dan juga tidak pernah terjadi peperangan terbuka dengan Belanda, serta ekonomi kerajaan mulai bangkit membaik dengan jalur perniagaan yang baru di hulu, serta berhasil mematikan bisnis Belanda di Mempura.

Tengku Muhammad Ali wafat di Pekanbaru tahun 1791 dan dimakamkan di komplek pemakaman Makam Marhum Pekan, Senapelan, Pekanbaru. Untuk mengenang jasanya beliau diberi gelar anumerta: Marhum Pekan, karena telah berhasil membangun sentra perekonomian Siak di bandar Senapelan yang kemudian dikenal dengan nama Pekanbaru, yang sekarang menjadi kota Pekanbaru, ibukota Provinsi Riau.

Rujukan

sunting
  1. ^ Siregar, Raja Adil. "Sosok Marhum Pekan, Pendiri Kota Pekanbaru yang Diusulkan Jadi Pahlawan". detiksumut. Diakses tanggal 2022-09-07. 
  2. ^ a b c d e Muchtar Lutfi, Suwardi MS, dkk (1998/ 1999), Sejarah Riau, Biro Bina Sosial Setwilda Tk. I Riau.
  3. ^ a b Samin, S.M. (2006). Dari kebatinan senapelan ke Bandaraya Pekanbaru: menelisik jejak sejarah Kota Pekanbaru, 1784-2005, Pemerintah Kota Pekanbaru bekerjasama dengan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Riau dan Penerbit Alaf Riau

Daftar Kepustakaan

sunting
  • Donald James Goudie, Phillip Lee Thomas, Tenas Effendy, (1989), Syair Perang Siak: a court poem presenting the state policy of a Minangkabau Malay royal family in exile, MBRAS.
  • Christine E. Dobbin, (1983), Islamic revivalism in a changing peasant economy: central Sumatra, 1784-1847, Curzon Press, ISBN 0-7007-0155-9.
  • Journal of Southeast Asian studies, Volume 17, McGraw-Hill Far Eastern Publishers, 1986.
Didahului oleh:
Sultan Alamuddin Syah
Sultan Siak Sri Inderapura
1766 - 1779
Diteruskan oleh:
Sultan Ismail