Pengguna:Okkisafire/Bak pasir

Artikel ini merupakan kajian Intoleransi keberagamaan yang terjadi di Indonesia dari sudut pandang akademis dan sejarah serta berlandaskan referensi yang faktual. Artikel ini bukan mengenai intoleransi ideologi yang menyangkut iman dan kepercayaan yang dianut dalam agama atau kepercayaan tertentu.

Latar belakang sunting

Intoleransi keberagamaan yang terjadi di Indonesia tidak lepas dari peristiwa politik yang telah terjadi selama berabad-abad, semenjak masa menjelang keruntuhan Majapahit sekitar abad ke-14 M hingga pergolakan politik di awal kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik politik dan kepentingan terjadi antara pemeluk agama Siwa-Buddha dengan pemeluk agama Islam yang relatif masih baru masuk ke wilayah Nusantara; antara pemeluk agama Islam dengan pemeluk agama Kristen yang masuk pada masa Kolonial Belanda; dan antar pemeluk agama Islam sendiri yang dibedakan menjadi Islam Putihan dan Islam Abangan.

Pada masa-masa kerajaan di Jawa (abad ke-7 hingga 10 M), agama Hindu dan agama Buddha hidup berdampingan meskipun terpisah satu sama lain.[1] Ricklefs (1985) berpendapat bahwa intoleransi keberagamaan tidak ada dalam pola berpikir masyarakat Jawa.[2] Penyatuan kedua agama hanya tampak pada isi Prasasti Kelurak (782 M) yang bercorak Buddha Mahayana.[note 1] Penyatuan kedua tampak pada akhir masa Kerajaan Singhasari, yaitu bahwa Raja Kertanegara dicandikan dalam wujud Siwa dan Buddha. Pada abad ke-14, penyatuan Siwa-Buddha semakin jelas dalam Kakawin Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular.[1][3][note 2]

Agama Islam masuk ke Jawa pada abad ke-13 M. Agama baru ini menimbulkan pergesekan antar lapisan masyarakat yang diwarnai oleh nuasa politik.[2] Konflik peralihan kekuasaan dan dominasi agama menyebabkan terjadinya pengungsian pemeluk agama lama ke tempat-tempat terpencil dengan tujuan menjaga warisan leluhur dari revolusi sosio-religi yang tengah terjadi. Misalnya pengungsian para bangsawan dan pandita ke Pulau Bali,[4] Ki Ageng Tunggul Wulung ke Dusun Beji di sebelah timur Sungai Progo,[5] Pangeran Singonegoro yang menyepi ke Umbul Jumprit,[6] pengungsian Suku Tengger,[4] dan sebagainya.

Kedatangan Portugis pada abad ke-16 M ke Maluku membawa serta agama Katolik untuk diperkenalkan pada penduduk Kesultanan Ternate yang beragama Islam. Namun, terjadi bentrok akibat kepentingan politik yang berakhir dengan pengusiran Portugis, yang digantikan datangnya pasukan Kerajaan Spanyol. Kesultanan Ternate kemudian meminta bantuan Bangsa Belanda yang membawa Kristen, sehingga juga terjadi pergesekan antara agama Katolik dan Kristen.[2] Puncak penyebaran agama Kristen di Pulau Jawa terjadi pada abad ke-19 M dengan misionaris-misionaris yang tidak hanya berasal dari Belanda, melainkan juga misionari pribumi seperti Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dan Kiai Sadrach. Penyebaran agama Kristen di Tanah Batak sempat memperoleh perlawanan dari Sisingamangaraja XII sebagai perwakilan Parmalim yang menyerukan pengusiran para zending Kristen disertai pengrusakan dan pembakaran. Namun, hal tersebut menjadi alasan pasukan Belanda untuk menaklukkan Batak.[7]

Aktivitas misionaris Katolik dan Kristen dipandang membahayakan kehidupan beragama masyarakat yang saat itu mayoritas sudah beragama Islam. Muhammadiyah dan Persis melihat adanya upaya pengkristenan dan pengatolikan yang dilakukan para misionaris,[note 3] sementara NU dengan kacamata yang lebih luas melihat bahwa Muhammadiyah juga melakukan dakwah dan misionaris.[8][note 4] Gesekan antara Islam dan misionaris Kristen terus berlangsung hingga awal masa kemerdekaan Indonesia. Masing-masing pihak menerbitkan buku-buku apologetik yang antara lain berjudul "Islam Menentang Kraemer" (1925), "Tuhan Yesus Dalam Agama Islam" (1957), dan "Isa Dalam Qur’an Muhammad Dalam Bible" (1959). Bahkan, di tahun 1964 beredar paflet berjudul "Memahami Kegiatan Nasrani" yang memuat rencana kristenisasi dan katolikisasi di Jawa dalam kurun waktu 20 tahun. Isi pamflet tersebut ditolak dan dianggap tidak otentik oleh pihak Kristen dan Katolik.[8][9][note 5]

Diskriminasi yang dialami umat muslim membuat organisasi-organisasi Islam (1930-1940an) membentuk koalisi seperti Madjelis Islam A'la Indonesia (MIAI) dan Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masyumi).[8]

Islam putihan dan Islam abangan sunting

Pergesekan antara Islam putihan dan abangan sudah ada semenjak periode dakwah Walisongo. Golongan putihan adalah para wali yang berdakwah di daerah pesisir dengan pusat di Giri, yaitu Sunan Giri, Sunan Ampel, dan Sunan Drajat. Golongan abangan berdakwah di pedalaman dengan pusat di Gunung Muria, yaitu Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Golongan putihan berdakwah dengan menegakkan syariat dan menolak budaya setempat, sementara golongan abangan menggunakan budaya lokal dalam berdakwah, selama budaya tersebut tidak terlampau bertentangan dengan nilai-nilai Islam.[10]

Golongan putihan atau santri memiliki orientasi politik karena memiliki kedekatan dengan keraton, sementara golongan abangan berorientasi pada dakwah yang merakyat. Terdapat golongan ketiga yang disebut golongan priayi yang lebih condong terhadap pemikiran abangan tetapi merasa memiliki derajat yang lebih tinggi. Para priayi berupaya mengarahkan perkembangan teosofi Islam ke arah "Jawanisasi Islam" melalui berbagai literatur seperti serat, suluk, primbon, dan wirid.[11] Polemik antara pihak keraton dan pesantren memuncak setelah kekalahan Pangeran Diponegoro yang memiliki cita-cita mendirikan negara Islam di Jawa. Setelah berakhirnya perang Padri dan perang Jawa, hubungan kaum ulama dan pihak keraton semakin menjauh. Meskipun demikian, status desa perdikan yang disahkan oleh pemerintahan kolonial setelahnya, serta pemberlakuan Cultuurstelsel pada tahun 1830, memungkinkan kelompok minoritas seperti guru-guru agama memiliki tanah yang luas dan menjadi independen sehingga diperkirakan menjadi penyebab utama islamisasi di Jawa secara berkelanjutan. Selain itu, pembangunan jaringan jalan memungkinkan lebih banyak kaum intelektual muslim dari Arab untuk datang atau intelektual lokal untuk belajar ke luar Jawa. Misalnya Ahmad Rifa'i (1786-1875) yang belajar ke Mekkah dan membawa pulang Mazhab Syafi'i.[12]

Antara paska-Perang Diponegoro (1830an) dan reformasi Islam (1870an), juga lahir beberapa karya sastra yang disebut sebagai "anti-islam" seperti Babad Kediri, Suluk Gatoloco, dan Serat Darmagandhul yang diperkirakan ditulis oleh kalangan priayi yang tidak puas terhadap aktivitas islamisasi di Pulau Jawa, atau menurut Phillipus van Akkeren adalah reaksi terhadap kegagalan politik Islami Pangeran Diponegoro.[note 6] Hal ini berujung pada pelarangan publikasi Suluk Gatholoco berdasarkan UU No 4/PNPS/1963 karena isinya anti-Islam dan porno. Di lain pihak, beberapa kalangan menganggap isi suluk sebenarnya bukan anti-Islam melainkan sebagai pengingat karena pada masa tersebut banyak orang yang mengaggungkan Syariat Islam.[note 7][13]

Pergesekan cara pandang golongan putihan dan abangan masih terjadi hingga masa sekarang. Selepas periode Reformasi, gerakan Islam militan seperti Front Pembela Islam, Hizbut Tahrir Indonesia, Laskar Jihad, dan Jamaah Islamiyah semakin aktif dalam menuntut penerapan syariah bahkan menggelar aksi kekerasan di ruang publik.[14] Aliran-aliran baru seperti Salafi, Wahabi, Majelis Tafsir Al Quran (MTA), Hizbut Tahrir (HTI), dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) menganggap akidah amaliah NU seperti tahlilan, yasinan, dan shalawatan adalah perbuatan bidaah yang haram.[15] Hal tersebut menjadi perhatian Nahdlatul Ulama, yang sekalipun tergolong Islam putihan, akhirnya mengemukakan istilah Islam Nusantara yang sesuai dengan budaya Indonesia.[14]

Meskipun memperoleh dukungan dari presiden ke-7 Indonesia, banyak pihak yang menolak pelabelan "Nusantara" terhadap Islam. Azhar Ibrahim dari Universitas Nasional Singapura memandang Islam Nusantara bisa menjadi teladan bagi negara-negara muslim lain yang sebagian besar mengalami konflik.[16] Islam Nusantara yang memiliki ciri khas Islam Indonesia diklaim mengedepankan nilai-nilai toleransi yang bertolak belakang dengan Islam Arab.[17][18][note 8]

Masa awal kemerdekaan sunting

Menjelang kemerdekaan Indonesia, elit politik di Indonesia terbagi menjadi kelompok yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam dan kelompok nasionalis (terdiri atas Islam sekuler, komunis, dan Kristiani). Pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan pidato Lahirnya Pancasila yang ditindaklanjuti dengan dibentuknya Panitia Sembilan untuk merumuskan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Terjadi perdebatan antara kelompok Nasionalis dan kelompok Islam mengenai sila pertama[note 9] sehingga dibentuk Panitia 94. Akhirnya, tanggal 22 Juni 1945 diperoleh persetujuan berupa Piagam Jakarta yang memenangkan kelompok Islam. Hal tersebut tidak mengakhiri keberatan-keberatan yang diajukan oleh kelompok Kristen (seperti Johannes Latuharhary), kelompok Islam berpendidikan Barat (seperti Hussein Jayadiningrat), dan kelompok abangan/Kejawen (seperti Wongsonegoro), tetapi baru pada tanggal 18 Agustus 1945 ketujuh kata pada Piagam Jakarta dihilangkan akibat tuntutan Umat Kristen di Indonesia Timur.[note 10] Hal tersebut menjadi salah satu titik ketegangan hubungan antara Islam dan Kristen. Hal tersebut juga menyebabkan timbulnya pemberontakan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (1949) yang memproklamasikan Negara Islam Indonesia, dan memperoleh dukungan dari Abdul Kahar Muzakkar dan Daud Beureu'eh.[9] Permasalahan ini juga kembali diangkat oleh Front Pembela Islam melalui Muhammad Rizieq Shihab (1 Juni 2016) yang menuntut Pemerintah Indonesia "kembali pada Pancasila dan UUD 1945 yang asli dan dijiwai Piagam Jakarta".[19][20]

Pada masa demokrasi liberal tahun 1950an, Muhammadiyah melalui Masyumi berupa menjalin kerja sama dengan kelompok Islam tradisional dan Nasrani. Namun, insiden tahun 1952 merupakan titik kritis perpecahan kelompok Islam modern dan tradisional. Sementara itu, Persis menepatkan diri di tengah-tengah konflik antara Islam-Nasrani, Islam-PKI, dan Islam tradisional-reformis. Setelah perpecahan di tahun 1952, NU mengambil sikap oposisi terhadap Masyumi sementara masih bersikap kerja sama dengan Nasrani dan komunis. Persis beranggapan bahwa universitas-universitas Islam di Indonesia masih terlalu liberal sehingga mereka mengirim siswa ke Mesir, Libya, Saudi Arabia, dan Pakistan serta bergabung dalam gerakan muslim global dalam melawan kristenisasi.[8]

Setelah Pemilu 1955, Konstituante dibentuk untuk menghasilkan UUD baru yang menggantikan UUDS 1950, keinginan pembentukan negara Islam kembali mencuat. Hal tersebut menyebabkan Konstituante gagal dalam tugasnya sehingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan kembalinya UUD 1945 sebagai konstitusi negara.[9]

Jatuhnya komunis di Indonesia menyebabkan konflik Islam-Kristiani semakin memanas, yang beberapa kali meletus menjadi konflik terbuka.[2] Alwi Shihab memperkirakan sekitar dua juta umat muslim abangan berpindah agama ke Kristen dan Katolik untuk menghindari pembataian masal terhadap orang komunis.[2] Pertambahan umat Nasrani tersebut dianggap sebagai proses kristenisasi.[21] Pada tahun 1967, pergesekan terjadi akibat sebuah gereja dibangun di Meulaboh yang masyarakatnya tidak ada yang beragama Nasrani. Hingga tahun 1970an, akibat aktivitas misionaris Katolik dalam bentuk pendidikan dan kesehatan, Suara Muhammadiyah banyak memberikan kritik dan serangan terhadap Katolik, antara lain mengenai praktik selibat yang dilakukan oleh rohaniwan Katolik (September 1971), diskriminasi yang dilakukan umat Katolik di Filipina (Oktober 1971), dan proses kristenisasi di Indonesia (1974). Muhammadiyah, Persis, dan Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII) menjalin hubungan dengan organisasi internasional seperti Organisasi Konferensi Islam dan Rabit'at al-Alam al-Islami, untuk menghambat bahaya kristenisasi.[2][8]

Peristiwa sunting

Orde Lama (1945–1965) sunting

Tahun Lokasi Konflik Dampak
1955-1964 Jawa Barat,
Aceh,
Jawa Tengah,
Sulawesi Selatan,
Kalimantan Selatan
Pemberontakan Darul Islam (Negara Islam Indonesia) antara tahun 1942-1962 (hingga 1965 di Sulawesi Selatan) dengan tujuan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. 1. Dua gereja dirusak (1955-1964).[22]
2. Islam radikal dipandang sebagai ekstrim kanan.[9]
3. Salah satu faktor munculnya GAM (1976) oleh menteri LN NII.[23]
4. Munculnya gerakan bawah tanah separatis Islam hingga Orde Reformasi.[24]
1948 Surakarta,
Madiun
Pemberontakan PKI 1948 merupakan pergerakan politik tetapi memiliki dampak penyerangan dan pembunuhan terhadap kaum santri (Masyumi) yang selanjutnya terjadi aksi balas dendam terhadap kaum abangan di Surakarta.[9][25][26] 1. Permusuhan masyumi terhadap PKI[27]
2. PKI dipandang sebagai ekstrim (pemberontak) kiri[25]
1952 Indonesia Pertambahan jumlah aliran kepercayaan baru menurut data Departemen Agama (1951-1965) mengalami pengingkatan yang sangat pesat[9][28] sehingga dikhawatirkan akan berdampak pada kesesatan. Pada tahun 1952, Departemen Agama mengajukan definisi minimum tentang agama yaitu: "ada nabi, memiliki kitab suci, dan ada pengakuan internasional". Hal ini berdampak aliran-aliran kepercayaan tidak diakui sebagai agama.[29] Usulan Depag dicabut karena memperoleh oposisi dari Hindu Bali.[29]
1961 Indonesia Untuk menghindari disintergrasi akibatnya banyaknya aliran agama baru, Departemen agama mengajukan bahwa agama harus mempunyai kitab suci, nabi, kekuasaan mutlak Tuhan Yang Maha Esa, dan suatu sistem hukum bagi para penganutnya.[9] Dari berbagai aliran agama yang ada, hanya enam agama yang berhasil memenuhi kriteria tersebut, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, dan ditegaskan kembali dalam Penetapan Presiden No. 1/Pnps/1965.[29][30] Perlindungan terhadap 6 agama resmi tetapi agama-agama asli Nusantara tidak memperoleh pengakuan sebagai agama di Indonesia,[31][32] melainkan sebagai kebudayaan.[33]

Orde Baru (1966–1998) sunting

Selama Orde Baru, agama menjadi alat kontrol stabilitas politik. Jumlah tempat ibadah yang dibangun sangat banyak, tetapi jumlah kasus penutupan, pengrusakan, dan pembakaran rumah ibadah juga meningkat pesat. Pada tahun 1945-1964 tecatat 2 gereja mengalami pengrusakan, sementara periode tahun 1955-1999 meningkat menjadi 55 buah masjid dan 609 gereja (lebih dari 50% terjadi selama tahun 1995-1999).[22] Berbagai penyelesaian konflik dilakukan secara tertutup dan diakhiri dengan kompromi tanpa proses hukum. Menurut Pdt. Weinata Sairin (2002), kasus pengrusakan gereja yang diselesaikan secara hukum terjadi pada kasus pembakaran GKJ Batang (1995).[20]

Pada periode ini, konflik antara Islam dan Kristen terus terjadi.[31] Untuk menyelesaikan konflik, musyawarah antar-agama pertama kali diprakarsai oleh Menag Muhammad Dahlan di Jakarta pada tanggal 30 November 1967.[34] Musyawarah ini gagal perwakilan Kristen memprotes masalah pembatasan dakwah sementara perwakilan Islam menolak dialog dengan perwakilan Kristen.[31] Namun akhirnya, pada periode Mukti Ali sebagai Menag (1971-1978), dialog antar-agama berhasil dijembatani,[34][35] meskipun masalah kristenisasi berulang kali diangkat kembali dalam berbagai aspek politik dan sosial.[31]

Disamping konflik antara Islam dan Kristen, peran pemerintah Orde Baru dalam menekan ekstrimis kanan melalui tangan militer juga membawa korban dan intoleransi pada pihak Islam. Selain itu, pergesekan antara kelompok Islam koservatif dan Islam moderat juga terjadi dan saling menjatuhkan,[36] misalnya penggusuran masjid milik minoritas Muhammadiyah (1993) yang dianggap melakukan dakwah di Lamongan.[37]

Tahun Lokasi Konflik Dampak
1967 Meulaboh Peristiwa Meulaboh (1967) terjadi pada bulan April, sebuah Gereja Metodis dirusak dengan alasan dibangun pada wilayah yang mayoritas penduduknya adalah muslim.[31] 1. Lokasi gereja dipindah.[31]
2. Salah satu pemicu diterbitkannya SKB Menag-Mendagri No. 1/Ber/MDN-MAG/1969.[38]
Makassar Peristiwa Makassar (1967) pada tanggal 1 Oktober terjadi akibat seorang guru menghina Nabi Muhammad sehingga para pemuda muslim merusak 9 gereja Protestan, 4 gereja Katolik, 1 biara suster, 1 Perguruan Teologika, 2 sekolah Katolik, 1 kantor PMKRI, dan melukai beberapa orang.[21] 1. Diadakan Musyawarah Antar Umat Beragama (30 November 1967).[21]
2. Salah satu pemicu diterbitkannya SKB Menag-Mendagri No. 1/Ber/MDN-MAG/1969.[38]
Indonesia Berdasarkan anjuran Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) yang diketuai oleh Kristoforus Sindhunata, pada tanggal 6 Desember diterbitkan Instruksi Presiden No 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Hal tersebut menyebabkan kebebasan beribadah umat Konghucu menjadi sangat terbatasi.[39][40] Peraturan ini diikuti peraturan-peraturan diskriminatif lain seperti Instruksi Mendagri No 455.2-360 (1968) tentang Penataan Kelenteng-Kelenteng di Indonesia yang menyebabkan kelenteng banyak yang terbengkalai karena renovasi bangunan harus memiliki izin dari pemerintah. Selain itu juga diterbitkan SE Mendagri No.477/1978 yang tidak mengakui Khonghucu sebagai agama resmi.[41][42] Intoleransi terjadi sampai tahun 2000 dengan diterbitkannya Keppres No.6/2000 tentang Pencabutan Inpres No 14/1967 (17 Januari 2000) dan Kepres No.19/2002 tentang Ditetapkannya Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Nasional (9 April 2003).
1969 Slipi Pada bulan April, pengrusakan gedung gereja terjadi dengan alasan tidak mempunyai IMB.[21] Alasan penolakan adalah bahwa sudah terdapat 5 bangunan gereja di Slipi.[31] Salah satu pemicu diterbitkannya SKB Menag-Mendagri No. 1/Ber/MDN-MAG/1969.[38]
Bukittinggi Penolakan pembangunan RS Baptis pada bulan Desember 1969 karena dibangun di pemukiman muslim sehingga dianggap sebagai upaya kristenisasi.[21] Ketua MUI Buya Hamka menyatakan protesnya pada Presiden Soeharto pada tahun 1975 dan menyarankan pemerintah untuk mengambil alih rumah sakit tersebut. Tanggal 23 Desember 1985, RS Baptis diserahkan kepada Mendagri dan menjadi Rumah Sakit Umum Pusat Bukittingi.[43]
1984 Tanjung Priok Peristiwa Tanjung Priok yang mengakibatkan sejumlah korban (36 orang luka dan 23 orang tewas) terjadi pada tanggal 8-12 September 1984.[44]Meskipun dikategorikan sebagai pelanggaran HAM, peristiwa ini diduga merupakan upaya pemerintah Orde Baru untuk menekan pertumbuhan ekstrimis Islam.[36] Peristiwa ini dianggap masih belum diselesaikan dengan tuntas.[44]
1985 Magelang Pada tanggal 21 Januari 1985, Candi Borobudur dibom oleh Islam ekstrimis.
1989 Lampung Peristiwa Talangsari 7 Februari 1989 merupakan salah satu upaya militer pemerintah Orde Baru untuk menekan gerakan ekstrimis Jamaah Islamiyah.[36]
1990 Indonesia Pada tanggal 15 Oktober 1990, tabloid Monitor menampilkan hasil angket tokoh-tokoh yang dikagumi pembaca. Angket tersebut menempatkan Nabi Muhammad pada urutan ke-11 (di bawah peringkat pemimpin redaksi tabloid). Hal tersebut memperoleh reaksi keras dari tokoh-tokoh Islam. Gus Dur menilai adanya kelompok-kelompok tertentu, termasuk yang tergabung dalam ICMI yang berusaha memanipulasi isu agama demi kepentingan mereka. Sebagian tokoh Islam menduga angket ini merupakan konspirasi pihak Katolik (dan Kristen) dalam mendiskreditkan Islam.[21] Arswendo Atmowiloto menyampaikan permintaan maaf dan dihukum penjara 4 tahun 6 bulan semenjak 25 Oktober 1990.[45]
1995 Larantuka Pada tanggal 11 Juni, jemaat Katolik mengeroyok seorang pendatang bernama Taman yang beragama Kristen karena meremat hosti hingga hancur, yang berakibat terjadinya kerusuhan. Kerusuhan terjadi karena penodaan hosti telah terjadi secara berulang di kawasan tersebut.[46] Para perusuh ditangkap dan diadili.[46]
Timor Timur Kerusukan terjadi pada tanggal 2-5 September oleh massa Katolik yang digerakkan isu pelecehan agama oleh sipir penjara bernama Sanusi Abubakar. Kerusuhan menyebabkan pembakaran Pasar Comoro yang didominasi pendatang muslim, pengrusakan masjid Al-Ihwan, dan pengrusakan Kompleks Yayasan Kesejahteraan Islam Nasrullah (Yakin) di Dili, meliputi panti asuhan dan taman kanak-kanak, yang dianggap melakukan proses islamisasi penduduk Timor-Timur. Rombongan Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) melaporkan kasus tersebut ke Komnas HAM sementara Amien Rais menduga kerusuhan tersebut ditunggangi kepentingan politik.[47]
Purwakarta Tanggal 31 Oktober - 2 November terjadi kerusuhan akibat seorang siswi Tsanawiyah bernama Lia Yulianawati dituduh mencuri coklat pada sebuah toko serba ada.[48] Rumor yang beredar menyebutkan siswi tersebut ditampar oleh karyawan toko atau dipaksa mengepel menggunakan jilbabnya.[49]
Pekalongan Tanggal 24 November terjadi kerusuhan akibat seorang penderita skizofrenia bernama Yoe Sing Yung, yang sempat dirawat di Rumah Sakit Jiwa Pusat Magelang selama 4 tahun, merobek al-Quran. Kerusuhan terjadi akibat muncul isu-isu simpang siur yang beredar diantara para santri.[48]
1996 Situbondo Kerusuhan Situbondo terjadi karena Saleh yang beragama Islam dilaporkan oleh KH Achmad Zaini dengan tuduhan menghina agama Islam (12 September). Sidang tanggal 10 Oktober diwarnai kerusuhan dan ada isu bahwa Saleh disembunyikan di Gereja Bukit Sion. Kerusuhan menyebabkan kerusakan, pembakaran, dan perampokan 24 gereja, beberapa sekolah Kristen dan Katolik, satu panti asuhan Kristen, satu kelenteng, dan toko-toko yang milik keturunan Tionghoa di lima kecamatan.[49] Kerusuhan juga menyebabkan korban jiwa sebanyak 5 orang yang tewas terbakar. 120 orang pelaku kerusuhan ditangkap dan diseleksi menjadi 46 orang, 11 diantaranya adalah pelajar Yayasan Ibrahimi, selain sejumlah santri pondok Wali Songo.
Tasikmalaya Kerusuhan menyebabkan kerusakan 83 toko, 4 pabrik, dan 4 gereja pada tanggal 26 Desember.[49] Selain itu, korban meninggal berjumlah 2 orang. Kerusuhan dipicu oleh perlakuan sewenang-wenang oknum-oknum polisi terhadap pengasuh pesantren Riadulum wal Dakwah.[50] Empat orang organisasi mahasiswa Islam dijadikan terdakwa dan dijatuhi hukuman.[50]
1997 Rengasdengklok Kerusukan Rengasdengklok (30 Januari) terjadi akibat tindakan intoleran sebuah keluarga etnis China yang merasa terganggu akibat para pemuda membangunkan warga untuk sahur dengan memukul bedug di Musala Miftahul Jannah. Kerusuhan menyebabkan pengrusakan dan pembakaran 77 rumah, 73 toko, 4 gereja, 2 vihara, 4 pabrik, 2 bank, dan 1 sekolah. Kerusuhan juga disebabkan keresahan warga muslim karena banyak rumah penduduk yang berubah fungsi menjadi tempat ibadah non-masjid.[51]
Banjarmasin Pada tanggal 23 Mei terjadi Kerusuhan Banjarmasin atau Jumat Kelabu. Kerusuhan yang awalnya dipicu kampanye Golkar dengan jemaah sholat jumat yang mengusung atribut PPP merambah menjadi kerusuhan SARA yang mengarah pada etnis Tionghoa, serta pengrusakan gereja Katolik, gereja Kristen, kelenteng, dan sekolah Katolik. Koran Dinamika Berita menyebutkan korban tewas sebanyak 142 orang dengan 132 orang tewas terbakar di Mitra Plaza, yaitu sebagian besar adalah penjarah. Mabes Polri melaporkan korban tewas sebanyak 123 orang, 121 orang tewas di Mitra Plaza.[52] Sebanyak 106 orang perusuh ditangkap untuk dimintai keterangan.[52]
1998 Banyuwangi Pembantaian Banyuwangi 1998 terjadi pada bulan Februari-September. Korban tewas sebanyak 148 orang berasal terduga dukun santet, korban dipenjara sebanyak 118 orang terduga dukun santet, meskipun pada kenyataannya sebagian korban merupakan NU.[53] Penangkapan hanya dilakukan pada warga yang ikut-ikutan membantai. Pelaku intelektual tidak diketahui.[53]
Ketapang Kerusuhan Ketapang terjadi pada tanggal 22 November antara FPI dan para preman etnis Ambon di wilayah tersebut. Kerusuhan dipicu oleh tindakan sewenang-wenang para preman terhadap penduduk Betawi dan pengrusakan masjid Khairul Biqa'. Selain 13 orang tewas, kerusuhan juga menyebabkan 11 gereja dirusak dan dibakar.[54]
Kupang Kerusuhan Kupang (30 November-1 Desember) dimulai dari aksi Gemakristi (Gerakan Perkabungan Umat Kristiani) akibat kerusuhan Ketapang. Aksi berubah menjadi kerusuhan isu pembakaran gereja seingga terjadi pengrusakan dan pembakaran setidaknya 5 masjid, pondok pesantren, pertokoan milik musklim, dan rumah ketua PPP.[55][56]

Reformasi (1998–sekarang) sunting

Suasana kebebasan pada Orde Reformasi dimanfaatkan orang atau golongan untuk kepentingan dan menurut tafsiran masing-masing.[57] Semenjak Orde Baru berakhir, era kebebasan di Indonesia meluas, demikian pula dengan militansi agama. Pemerintah dinilai tidak menanggapi dengan tegas saat terjadi intoleransi keagamaan, seperti kekerasan, intimidasi, dan sebagainya. Bahkan, peristiwa pengeboman semakin marak semenjak Orde Baru berakhir.[58]

Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), Jalaluddin Rakhmat, mengatakan bahwa intoleransi keberagamaan disebabkan oleh keinginan kelompok mayoritas untuk dominan. Ia berkesimpulan bahwa paham Islam dan Kristen yang dominan selalu cenderung tidak toleran. Ia menyebutkan survei bahwa wilayah Indonesia bagian timur seperti Papua dan Maluku adalah yang paling toleran sementara Jawa Barat yang paling tidak toleran.[59] Temuan peneliti LIPI menyebutkan penyebaran paham radikal meningkat di kalangan anak muda setelah reformasi.[60]

Peran pemerintah dan hukum sunting

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dalam "Dialog Kebangsaan tentang Toleransi Beragama" (Jakarta, 13 Februari 2014) menyatakan bahwa peran pemerintah sangat penting dalam mencegah tindakan intoleransi di Indonesia, misalnya dengan menghilangkan peraturan perundangan yang bertentangan dengan hak asasi manusia dan mencegah pelaksanaan hukum yang timpang antar kelompok sosial.[57] Menurut Human Rights Watch, oknum pejabat pemerintah dan polisi justru memberikan dukungan baik secara diam-diam maupun terbuka kepada kelompok-kelompok militan yang terlibat atau mendukung penyerangan terhadap minoritas, seperti Forum Umat Islam (FUI), Forum Komunikasi Muslim Indonesia (Forkami), Front Pembela Islam, Hizbut Tahrir Indonesia, dan Gerakan Islam Reformis (Garis).[58] Eva Kusuma Sundari, anggota Komisi III DPR-RI menegaskan adanya upaya sistematis kelompok intoleran di Indonesia dengan cara membiayai, mencetak buku, menyusup ke dalam Kementerian Agama, dan mengontaminasi aparat keamanan. Ia menyayangkan adanya kapolres yang merujuk kepada fatwa Muspida dan MUI untuk menegakkan hukum, bukan pada konstitusi.[note 11][61]

Semenjak periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004), Setara Institute melaporkan peningkatan kekerasan terhadap agama dan mazhab minoritas, antara penyerangan terhadap lebih dari 430 gereja dan penyegelan puluhan masjid Ahmadiyah.[58][note 12][62][63] Sesuai laporan ke Komnas HAM serta pemantauan berbagai lembaga seperti Wahid Institute, Setara Institute, dan Moderate Muslim Society], pelanggaran hak kebebasan beragam mengalami peningkatan selama periode tahun 2007-2012. Komnas HAM menilai Indonesia sedang menghadapi keadaan darurat HAM pada akhir tahun 2013. Masyarakat mulai apatis untuk melaporkan tindakan kekerasan dan intoleransi karena kasus-kasus yang ditangani tidak ada yang ditangani secara tuntas oleh lembaga-lembaga pemerintah terkait demi "kerukunan umat beragama", misalnya kasus Sampang tahun 2012.[57][58] Pada tanggal 26 Desember 2012, warga Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, Sampang mengalami penyerangan oleh 200 orang dari mazhab Sunni sehingga terjadi korban tewas 2 orang dan puluhan rumah dibakar. Pemerintah melalui Menag Suryadharma Ali menyatakan bahwa kasus Sampang merupakan murni permasalahan keluarga yang berlarut-larut.[57][64][65] [66]

Masalah ketimpangan hukum misalnya terjadi pada puluhan gereja yang memenuhi syarat hukum pembangunan rumah ibadah tetapi akhirnya dicabut izinnya setelah ditekan kelompok militan Islamis, sekalipun bertentangan dengan keputusan Mahkamah Agung yang memberikan izin.[58] Tindakan intoleransi tersebut dilaporkan dan menjadi topik dalam sidang PBB di Jenewa (Mei 2012), tetapi pelaporan tersebut disayangkan oleh beberapa pihak. KH Hasyim Muzadi menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara muslim yang paling toleran di dunia saat ini; selain menyebutkan bahwa Swiss melarang pembangunan menara masjid, Prancis mempermasalahkan jilbab, dan negara-negara lain yang tidak menghormati agama karena melegalkan pernikahan sejenis.[67] Suara Islam (30-5-2012) melalui artikel berjudul "LSM Liberal Jualan Isu Intoleransi ke PBB" juga menyatakan bahwa isu intoleransi di Indonesia adalah tidak benar; bahwa selain Indonesia mengakui hari raya keenam agama, juga disebutkan bahwa di wilayah umat muslim menjadi minoritas "pendirian masjid juga dipersulit".[33] Bahkan, Harits Abu Ulya di Kantor MUI Jakarta (7 Juni 2012) menduga adanya persekongkolan antara pihak gereja dan jaringan liberal berbentuk LSM sehingga Dewan HAM PBB menuding umat Islam Indonesia intoleran.[68] Sementara itu, Ust. Zainal Abidin Al-Floresi menggugat tudingan bahwa umat Islam di Indonesia intoleran dengan membandingkan terhadap kondisi umat muslim minoritas di negara-negara lain serta adanya stigma negatif terhadap syariat Islam serta kelompok-kelompok Islam.[69]

Pada tahun 2014, Indonesia kembali mendapat sorotan PBB dalam Sidang Dewan HAM PBB sesi ke-26 (10 Juni 2014) mengenai masalah "hak kebebasan berkumpul" kelompok agama atau mazhab minoritas, disamping lemahnya penegakan hukum yang melindungi. Muhamad Subhi dari the Wahid Institute menyebutkan bahwa terdapat pihak-pihak tertentu, bahkan dari pihak penyelenggara negara, yang mempertanyakan tindakan advokasi internasional karena dianggap mempermalukan Indonesia di mata internasional. Ia menyatakan bahwa, "Padahal, pelaporan ke dunia internasional terjadi karena ada kebuntuan di nasional, keengganan di tingkat nasional untuk sungguh-sungguh menyelesaikan ancaman intoleransi."[62]

Komnas HAM dan the Wahid Institute menunjukkan data bahwa masih terjadi pengingkatan tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama di tahun 2015. Intoleransi keberagamaan paling sering dialami jemaat Ahmadiyah. Intoleransi juga dialami oleh komunitas Gafatar.[59]

Perber Menag-Mendagri No. 9/8 Tahun 2006 sunting

SKB Menag-Mendagri No. 1/Ber/MDN-MAG/1969 diterbitkan setelah terjadi beberapa kerusuhan lintas agama. Namun, SKB tersebut tidak memiliki petunjuk pelaksanaan sehingga dalam praktiknya sering mempersulit pembangunan tempat ibadah non-masjid karena menjadi wewenang bupati atau walikota setempat untuk tidak atau memberikan izin. Setelah terjadi berbagai peristiwa intoleransi di tahun 2005 terkait penutupan tempat ibadah, antara Oktober 2005-Maret 2006 dilakukan musyawarah antar majelis-majelis agama (MUI, PGI, KWI, PHDI, dan Walubi) dan SKB tersebut disempurnakan menjadi Perber Menag-Mendagri No. 9/8 Tahun 2006.[31][38][70]

Perber 2006 masih menuai protes karena dianggap tidak memberikan toleransi kepada umat agama yang minoritas, khususnya pasal 13 dan 14 (batasan 90 orang pengguna dan 60 orang dukungan masyarakat setempat).[71] Di samping itu, dikeluarkannya Perber 2006 tersebut memicu peningkatan penolakan tempat-tempat ibadah minoritas hingga pemukulan dan penusukan aktivis dan pendeta Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Bekasi (12 September 2010),[72] meskipun dalam sambutannya, Menag M.M. Basyuni telah menegaskan bahwa tempat ibadah yang telah dipergunakan secara permanen atau memiliki nilai sejarah tetapi belum memiliki IMB sebelum berlakunya Perber 2006, Bupati/Walikota wajib membantu memfasilitasi penerbitannya.[70] Perber ini juga meningkatkan ketegangan antar kelompok-kelompok minoritas dan mayoritas, yaitu bahwa ada usaha-usaha kelompok tertentu untuk mencegah pendirian tempat ibadah melalui penolakan atas nama penduduk setempat atau usaha pencegahan kuota 60 orang pendukung tidak terpenuhi.[72]

Terorisme atas nama agama sunting

Munculnya gerakan terorisme di Indonesia semenjak awal periode Reformasi, seperti kasus bom Mataram dan Poso serta bom malam Natal 2000, Bom Bali 2002, Bom Bali 2005, Bom McDonald's Makassar 2002, Bom Palu 2005, Bom Solo 2011, bom Vihara Ekayana di Jakarta (2013), dan sebagainya dikaitkan dengan Jamaah Islamiyah[73][74] dan ormas-ormas Islam lain seperti Jamaah Ansharut Tauhid (JAT).[75] Meskipun banyak pihak yang menolak kaitan antara Islam dan terorisme,[76] atau mencoba memberikan bukti terorisme yang dilakukan non-muslim,[77][78] hal tersebut tidak mencegah timbulnya Islamofobia di Indonesia.[79][80][81] Misalnya di Bali, munculnya sentimen terhadap Islam paska Bom Bali menyebabkan terjadinya pengawasan ketat terhadap pendatang, penolakan RUU APP, penolakan pembangunan mushola dan masjid, penolakan pendirian bank syariah, sertifikasi halal, dan penolakan pemakaian jilbab.[82]

Menurut Prof. Didin Hafidhuddin, radikalisme dianggap sebagai pangkal dari terorisme meski tidak semua radikalis merupakan teroris. Ia menyatakan bahwa radikalisme diduga memiliki dua ciri, yaitu mudah memberikan cap kafir kepada kelompok lain dan memahami jihad secara sempit dalam arti perang semata.[83] Hal ini senada dengan pernyataan mantan petinggi Jamaah Islamiah (JI) Abdul Rahman Ayub untuk berhati-hati membaca situs internet karena banyak yang berisi doktrin salah kaprah dan mudah mengafirkan seseorang. Menurutnya, jaringan para teroris saat ini melakukan perekrutan anggota melalui dunia maya.[84] Namun, lanjut Prof. Didin Hafidhuddin, penggunaan istilah "terorisme berbasis agama" adalah kurang tepat karena dapat menimbulkan kesan pembenaran bahwa radikalisme yang merupakan akar terorisme diajarkan dalam agama.[83] Bahkan petinggi agama Katolik, Paus Fransiskus, dan agama Buddha, Dalai Lama, menolak pelabelan Islam sebagai teroris.[85][86]

Berbagai tindakan intoleransi sunting

Semenjak kebebasan informasi selama Orde Reformasi, banyak tindakan dan sikap intoleran yang menyebabkan meruncingnya hubungan antar agama. Diantaranya adalah perdebatan haram atau tidaknya mengucapkan selamat Natal[87][88] dan masalah perayaan hari Valentine diantara kaum Muslim yang menyinggung umat Nasrani.[89][90] Selain itu, tindakan pihak-pihak tertentu dalam menyebarkan berita kebohongan mengenai agama Islam (dikenal dengan sebutan "hoax Islami")[91] kerap kali menyebabkan terjadi cyberbullying terhadap masyarakat non-muslim.[92][93]

Pada tahun 2014 terjadi pelarangan penggunaan jilbab pada sekolah-sekolah di Bali[94][95] yang dianggap sebagai suatu tantangan terhadap umat Islam.[96] Selain itu, terdapat juga penolakan terhadap instruksi pemakaian jilbab dan atribut muslim lain menjelang Ramadhan 2014 karena adanya anggapan upaya islamisasi dan sama halnya jika karyawan muslim yang disuruh mengenakan pakaian sinterklas.[82] Pelarangan penggunaan pakaian Sinterklas oleh karyawan muslim sudah ramai semenjak tahun 2013 sebelumnya.[97] Pada tahun 2016, Mendagri Tjahjo Kumolo meminta pemerintah daerah Aceh mengoreksi perda mengenai kewajiban jilbab bagi wanita di Aceh karena berpotensi melanggar HAM.[98]

Penyerangan dan pemaksaan agama juga terjadi di Yogyakarta yang sebelumnya dikenal sebagai Kota Toleran menjadi Kota Intoleran,[99] misalnya penyerangan umat Katolik di Sleman (2014 dan 2016),[100][101] serta penutupan Lembaga Rausyan Fikr (2014) akibat MUI Yogyakarta mengeluarkan fatwa sesat atas permintaan Front Jihad Islam (FJI),[102] Hal tersebut menyebabkan mahasiswa Institut Seni Indonesia Yogyakarta menolak gerakan khilafah di kampus mereka.[103]

Catatan sunting

  1. ^ Prasasti Kelurak menyebutkan bahwa pemujaan kepada Siwa, Wisnu, dan Brahma merupakan titik awal kesadaran menuju Manjusri.
  2. ^ Pupuh 139 bait 5 dalam Kakawin Sutasoma tertulis: "Rwanekā dhātu winuwus Buddha Wiswa, bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, mangkang Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa" yang berarti "Konon (mereka) yang terpilih, Buddha dan Wiswa (Siwa), merupakan dua elemen dasar. (Keduanya) tidak tunggal, terpisah, konon karena dapat segera dibagi dua. (Padahal) kebenaran Jina ("yang berhasil menaklukkan", yaitu Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpisah (tetapi juga) tunggal, tak ada kebenaran yang mendua."
  3. ^ Perihal penghapusan Pasal 177 Indische Staatsregeling (IS), Suara Muhammadiyah no I bulan April 1939 menuliskan bahwa "Berdasarkan perintah Allah, Nasrani dan Yahudi dengan taktik mereka masing-masing akan selalu melawan Islam dan berusaha memasukkan muslim ke dalam agama mereka, keluar dari Islam. Oleh sebab itu kita harus selalu waspada dan bersedia untuk berdiri melawan mereka, dengan cara memperkuat dan menyebarkan Islam ke seluruh Indonesia."
  4. ^ NU cenderung mengkritik ketidaksensitifan umat Nasrani terhadap permasalahan yang dihadapi umat Islam serta pemberian subsidi yang tidak adil antara umat Nasrani dan Muslim, yang sekali lagi memicu kemarahan Muhammadiyah. Mereka menyuarakan pemberian subsidi yang adil atau penghapusan subsidi sama sekali. Mengenai permasalahan Pasal 177 dan 178 Indische Staatsregeling (IS), suara mereka terpecah antara mendukung penghapusan kedua pasal, atau hanya Pasal 178, atau mempertahankan keduanya. Meskipun NU berupaya agar tidak terjadi polemik terhadap umat Nasrani, insiden pemakaman di Wonosobo menyebabkan mereka menuntut pemerintah untuk memberikan ketegasan bahwa pemakaman Islam tidak boleh digunakan untuk memakamkan umat Nasrani."
  5. ^ Bisjron A. Wardy (1964) menerbitkan pamflet berjudul "Memahami Kegiatan Nasrani" yang menduga konferensi yang dilakukan gereja-gereja Katolik dan Kristen pada tahun 1962 adalah untuk menyusun rencana pengonversian iman muslim di seluruh Jawa dalam kurun waktu 50 tahun. Kebenaran isi pamflet tersebut ditolak keras oleh pihak Katolik maupun Kristen, mengingat kedua agama tersebut tidak pernah bekerja sama dalam hal misionaris dan bahkan kerap terjadi pergesakan diantara keduanya dari segi iman.
  6. ^ Carel Poensen (1872) beranggapan bahwa dalam segi sastra, Suluk Gatholoco kurang berharga dan vulgar meskipun mengangkat tema tentang akhlak dan kebajikan. Ia berusaha agar karya tersebut tidak tersebar karena isinya yang mempermalukan umat Islam dan para pembawanya, serta "kaum putihan" yang menggerakkan reformasi Islam 1870an.
  7. ^ Damardjati Supadjar, guru besar Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, berpendapat bahwa Suluk Gatholoco merupakan pengingat umat Islam bahwa "setelah syariat yang informatif, masih ada bentuk yang lebih lanjut yaitu tarekat yang transformatif, hakekat yang konformatif, dan pada akhirnya akan berpuncak pada makrifat yang illuminatif." Heru Nurcahyo dalam bukunya yang berjudul "Jalan Jalang Ketuhanan" menyatakan bahwa suluk ini "hadir untuk menuntaskan pemahaman mengenai Islam itu sendiri."
  8. ^ Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj, dalam pembukaan "Istighotsah Menyambut Ramadhan dan Pembukaan Munas Alim Ulama NU", 14 Juni 2015 di Masjid Istiqlal, Jakarta, berkata, "Islam Nusantara memiliki karakter Islam yang ramah, anti radikal, inklusif dan toleran bukan Islam Arab yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara".
  9. ^ Sila pertama yang berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa" dipandang tidak jelas oleh kelompok Islam sehingga diajukan untuk ditambah tujuh kalimat yaitu "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
  10. ^ Pada tanggal 17 Agustus 1945 sore, seorang perwira Angkatan Laut Jepang menyampaikan keberatan kelompok Kristen dan Katolik dari Indonesia Timur kepada Mohammad Hatta. Mohammad Natsir dalam tulisannya yang berjudul "Islam dan Kristen di Indonesia" menyebutkan bahwa mereka tidak bermaksud melakukan diskusi melainkan menyampaikan peringatan bahwa "ada 7 kata yang tercantum dalam Muqqadimah Undang-undang Dasar Republik yang harus dicabut" atau mereka "tidak akan turut serta dalam negara Republik Indonesia." Keputusan diambil dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 yang berlangsung selama 2 jam.
  11. ^ Eva Kusuma Sundari dalam konferensi pers "Melawan Intoleransi Beragama" (Jakarta, 3 Januari 2014) berkata, "Saya juga sedih dengan laporan tiga puluh ponpes yang tradisi filsafatnya kuat tutup di Aceh. Karena semua kelompok intoleran maunya tekstual. Gak mau elaborasi kontekstual yang lebih kontemplatif dan itu terancam di Aceh. Aceh walaupun syari'ah Islam, tetapi dipilih, Islam yang mana. Bukan semua Islam begitu."
  12. ^ Terkait masalah GKI Yasmin, Bona Sigalingging menyatakan bahwa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tidak berniat menyelesaikan intoleransi melainkan melakukan penyangkalan dengan cara mengecilkan persoalan. "SBY gagal total, tanpa kita tahu apakah SBY berniat menyelesaikan ini dalam sisa pemerintahannya." (Tempo, 11 Juni 2014) Di lain pihak, Dirjen Multilateral Kemenlu Hasan Kleib, terkait tudingan bahwa Bandung dicap sebagai kota intoleran, menyatakan bahwa "tuduhan tersebut hanya suara minoritas yang tidak menggambarkan realitas yang lebih luas dari penerapan HAM di kota Bandung". (Rakyat Merdeka Online Group, 1 Agustus 2016)

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b Edy Sedyawati (Januari 2011). "Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa (Warta Hindu Dharma NO. 529)". Parisada Hindu Dharma Indonesia. Diakses tanggal 5-8-2016. 
  2. ^ a b c d e f Sukamto (2015). Perjumpaan Antarpemeluk Agama di Nusantara: Masa Hindu-Buddha Sampai Sebelum Masuknya Portugis. Deepublish. hlm. 1-4. ISBN 6022806917. 
  3. ^ Tim Edu President (2015). Tes CPNS 2015 Edisi Lengkap Sistem CAT. Cmedia. hlm. 68. ISBN 6021609875. 
  4. ^ a b "Tengger; Sejarah, Legenda, dan Budayanya". Wacana. 3-10-2015. Diakses tanggal 5-8-2016. 
  5. ^ Mumfangati, Titi (2007). "Tradisi ziarah makam leluhur pada masyarakat Jawa". Jurnal Sejarah dan Budaya. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. ISSN 1907-9605. 
  6. ^ Dwi Pravita G. (6 Mei 2011). "…Umbul JUMPRIT Sendang MATA AIR Berkah, Yang TAK Pernah KERING…". NRM.News. Diakses tanggal 24 Juli 2016. 
  7. ^ "Penyebaran Agama Kristen di Indonesia". Seputar Pendidikan. 26-11-2014. Diakses tanggal 5-8-2016. 
  8. ^ a b c d e Jeremy Menchik (2016). Islam and Democracy in Indonesia: Tolerance without Liberalism. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 54-56. ISBN 1107119146. 
  9. ^ a b c d e f g Sukamto, Amos (2013). "Ketegangan Antar Kelompok Agama pada Masa Orde Lama sampai Awal Orde Baru: Dari konflik Perumusan Ideologi Negara sampai Konflik Fisik". 1 (1). Jurnal Teologi Indonesia. 
  10. ^ Rizem Aizid (2015). Islam Abangan & Kehidupan. DIPTA. ISBN 978-602-7695-82-5. 
  11. ^ Riyadi, M. Irfan (2012). "Arah Perkembangan Ajaran Theosofi Islam Dalam Literatur Sastra Pujangga Jawa (Pendekatan Genealogi)". 10 (2). Dialogia. 
  12. ^ Michael Laffan (2016). Sejarah Islam di Nusantara. Bentang Pustaka. hlm. 51-55. ISBN 6022910587. 
  13. ^ Aryono (12-12-2012). "Kitab Lelaki Sejati". Historia. Diakses tanggal 6-8-2016. 
  14. ^ a b Syaifullah (25-5-2013). "Munculnya Gerakan Islam Militan Menjadi Tantangan NU". Suara Nahdlatul Ulama. Diakses tanggal 6-8-2016. 
  15. ^ Nur Hidayat Muhammad (2012). Benteng Ahlussunnah Wal Jama’ah (Menolak Faham Salafi, Wahabi, MTA, Hizbut Tahrir Dan LDII). Kediri: Nasyrul Ilmi. 
  16. ^ Mahbib (22-4-2015). "Apa yang Dimaksud dengan Islam Nusantara?". Suara Nahdlatul Ulama. Diakses tanggal 6-8-2016. 
  17. ^ Heyder Affan (15-7-2015). "Polemik di balik istiIah 'Islam Nusantara'". BBC Indonesia. Diakses tanggal 6-8-2016. 
  18. ^ Mohamad Guntur Romli (2016). Islam Kita, Islam Nusantara: Lima Nilai Dasar Islam Nusantara. Jakarta: Ciputat School. 
  19. ^ "Lima Usulan FPI Dalam Simposium Anti PKI". Front Pembela Islam. 20-2-2016. Diakses tanggal 6-8-2016. 
  20. ^ a b Weinata Sairin (2002). Visi Gereja Memasuki Milenium Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 84-98. ISBN 9796871262. 
  21. ^ a b c d e f Jan. S. Maritonang (BPK Gunung Mulia). Sejarah perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. ISBN 9796872218. 
  22. ^ a b Daniel Dhakidae (2003). Cendekiawan dan kekuasaan dalam negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm. 513-516. ISBN 9792203095. 
  23. ^ Kenneth Conboy. Kopassus: Inside Indonesia's Special Forces (edisi ke-November 16, 2002). Equinox Publishing. hlm. 352. ISBN 979-95898-8-6. 
  24. ^ Yenni Kwok (26-8-2013). "Q&A: Indonesia's Terrorism Expert on the Country's Homegrown Jihadis". Time. Diakses tanggal 7-8-2016. 
  25. ^ a b Wright, Jonathan; Casey, Steven (2015). Mental Maps in the Era of Détente and the End of the Cold War 1968–91. Springer. hlm. 124-125. ISBN 1137500964. 
  26. ^ M.C. Ricklefs (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Penerbit Serambi. hlm. 480-482. ISBN 9790241151. 
  27. ^ Firman Noor (2-10-2015). "Masyumi dan Sikap Anti-PKI". Republika. Diakses tanggal 6-8-2016. 
  28. ^ van der Kroef, Justus M. (1961). "New Religious Sects in Java". Far Eastern Survey. 30 (2): 18–15. doi:10.1525/as.1961.30.2.01p1432u. JSTOR 3024260. 
  29. ^ a b c Abdul Moqsit Ghozali (2002). Tubuh, seksualitas, dan kedaulatan perempuan: bunga rampai pemikiran ulama muda. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 145-148. ISBN 9799492580. 
  30. ^ Presiden Republik Indonesia (1965). "PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA". Presiden Republik Indonesia. 
  31. ^ a b c d e f g h Melissa Courch (2013). Law and Religion in Indonesia: Conflict and the courts in West Java. Routledge. ISBN 1134508360. 
  32. ^ "Untuk Kita Renungkan: Mengapa Sebagian Umat Kaharingan Ingin Keluar dari Hindu?". PHDI Provinsi NTT. 8-2013. Diakses tanggal 6-8-2016. 
  33. ^ a b Shodiq Ramadhan (30-5-2012). "LSM Liberal Jualan Isu Intoleransi ke PBB". Suara Islam. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  34. ^ a b Djohan Effendi (2009). Merayakan kebebasan beragama: bunga rampai menyambut 70 tahun. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ISBN 6029556606. 
  35. ^ D. Hendropuspito (2006). Sosiologi Agama. Kanisius. ISBN 9794133787. 
  36. ^ a b c Greg Barton (2003). Biografi Gus Dur. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 230-235. ISBN 9793381256. 
  37. ^ Nurfatoni (14-6-2016). "Dirobohkannya Masjid Kami, Sebuah Kisah Nyata Intoleransi Mayoritas pada Minoritas". PWMU. Diakses tanggal 8-8-2016. 
  38. ^ a b c d Weinata Sairin (2006). Gereja, agama-agama & pembangunan nasional. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 3-16. ISBN 9796873257. 
  39. ^ Benny G. Setiono (2003). Tionghoa dalam Pusaran Politik. TransMedia. hlm. 1008. ISBN 9797990524. 
  40. ^ Premadha Novita Shandy (2014). INSTRUKSI PRESIDEN NO. 14 TAHUN 1967 DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN BUDAYA & EKONOMI KETURUNAN TIONGHOA DI PECINAN SEMARANG, 1967-2002. Semarang: Universitas Diponegoro. 
  41. ^ Todung Mulya Lubis (27 November 2014). "Kolom Agama dalam Perspektif HAM". Kompas. Diakses tanggal 8-8-2016. 
  42. ^ Andika Primasiwi (23-2-2016). "Sepinya Aktivitas Kelenteng Hok Tik Bio Kudus Disayangkan". Suara Merdeka. Diakses tanggal 8-8-2016. 
  43. ^ "Sejarah Rumah Sakit Imanuel". Lampung: Rumah Sakit Imanuel. Diakses tanggal 7-8-2016. 
  44. ^ a b Ady (12-9-2012). "Korban Tanjung Priok Masih Menuntut Keadilan". Hukum Online. Diakses tanggal 8-8-2016. 
  45. ^ AA Ariwibowo (10-2-2010). "Arswendo Atmowiloto Menyesal Lukai Umat". AntaraNews. Diakses tanggal 8-8-2016. 
  46. ^ a b Agus Basri (24-6-1995). "Karena Terpantau dari Balkon". GATRA. Diakses tanggal 8-8-2016. 
  47. ^ Suarjana, I Made; Widjoseno, Genot (21-9-1995). "Ada Bara di Balik Huru-hara SARA". GATRA. Diakses tanggal 8-8-2016. 
  48. ^ a b Agus Basri (2-12-1995). "Rusuh Gara-gara Orang Gila". Majalah Berita Mingguan GATRA. Diakses tanggal 8-8-2016. 
  49. ^ a b c Akhmad danial (2009). Iklan politik TV: modernisasi kampanye politik pasca Orde Baru. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 146-147. ISBN 9791283745. 
  50. ^ a b Rudianto Pangaribuan (5-12-1997). "Menuai Vonis Kambing Hitam". Tempo. Diakses tanggal 8-8-2016. 
  51. ^ "Rengasdengklok, Riwayatmu..." Tempo. 1-2-1997. Diakses tanggal 8-8-2016. 
  52. ^ a b "Siapa Tewas di Banjarmasin, Benarkah Semua Perusuh?". Tempo. 31-5-1997. Diakses tanggal 8-8-2016. 
  53. ^ a b Ika Ningtyas (10-12-2014). "Tragedi Dukun Santet Banyuwangi Mesti Diusut Lagi". Tempo. Diakses tanggal 8-8-2016. 
  54. ^ "Kerusuhan Ketapang 13 Tewas, 11 Gereja Dibakar Dan Dirusak". Suara Pembaruan. 23-11-1998. 
  55. ^ "Kerusuhan di Kupang". Kompas. 1-12-1998. Diakses tanggal 8-8-2016. 
  56. ^ Ahwan Fanani. "konflik islam kristen di era reformasi". Walisongo Mediation Center. Diakses tanggal 8-8-2016. 
  57. ^ a b c d Asshiddiqie, Jimly (2014). "OLERANSI DAN INTOLERANSI BERAGAMA DI INDONESIA PASCA REFORMASI". Ormas Gerakan Masyarakat Penerus Bung Karno.  line feed character di |title= pada posisi 47 (bantuan)
  58. ^ a b c d e Tim Penulis (28-2-2013). "Atas Nama Agama: Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia". Human Rights Watch. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  59. ^ a b Pebriansyah Ariefana (7-3-2016). "Jalaluddin Rakhmat: Benih Radikalisme dan Intoleransi Indonesia". Suara. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  60. ^ Sri Lestari (22-2-2016). "Sikap intoleran 'kian meluas' di masyarakat Indonesia". BBC. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  61. ^ Ignatius Dwiana (4-1-2014). "Eva Kusuma Sundari: Kelompok Intoleransi Bekerja Sangat Sistematis". Satu Harapan. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  62. ^ a b Maria Rita Hasugian (11-6-2014). "PBB Beri Rapor Merah Soal Toleransi di Indonesia". Tempo. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  63. ^ Sony Fitrah P. (1-8-2016). "Abaikan Saja, Pegiat HAM Tuding Bandung Intoleran Terhadap Agama Cuma Suara Minoritas". RMOLJABAR. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  64. ^ Aryani Kristanti (26-12-2012). "Bentrok Sampang, Djoko Suyanto Salahkan Ulama". Tempo. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  65. ^ Fatkhurrohman Taufiq (27-12-2012). "Polisi Tangkap Delapan Perusuh Sampang". Tempo. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  66. ^ Fatkhurrohman Taufiq (27-12-2012). "Menteri Agama: Konflik Sampang Masalah Keluarga". Tempo. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  67. ^ "Hasyim Muzadi: Tuduhan Intoleransi Agama di Indonesia Tidak Berdasar". Ponpes An-Nashuha. 10-6-2012. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  68. ^ Fatih Mujahid (8-6-2012). "Ada Persekongkolan untuk Tuding Umat Islam Intoleran". Hizbut Tahrir Indonesia. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  69. ^ Zainal Abidin Al-Floresi (24-4-2014). "Umat Islam Tak Toleran? (Menggugat Propaganda Kelompok Liberal)". Sang Pencerah. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  70. ^ a b Muhammad M. Basyuni (17 April 2006). "SAMBUTAN MENTERI AGAMA RI PADA SOSIALISASI PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 9 TAHUN 2006/NOMOR 8 TAHUN 2006". Kemendagri. Diakses tanggal 7-8-2016. 
  71. ^ Yanto Huang. "Cabut Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 ttg Pendirian Rumah Ibadah". Change. Diakses tanggal 7-8-2016. 
  72. ^ a b Benyamin F. Intan (21-9-2010). "Peraturan Bersama Kontraproduktif". Reformed Center for Religion Society. Diakses tanggal 7-8-2016. 
  73. ^ Eko Huda S, Suryanta Bakti Susila (6-5-2011). "Beda NII dan Jamaah Islamiyah". Viva. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  74. ^ Prawira Maulana (24-9-2010). "Mengintip Struktur Jaringan Teroris Jamaah Islamiah". TribunNews. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  75. ^ Indra Wijaya (8-9-2012). "JAT: Kekerasan Atas Nama Syariat Islam, Halal". Tempo. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  76. ^ Regina Fiardini (9-5-2016). ""Teroris Bukan Islam, Islam Bukan Teroris!"". Okezone. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  77. ^ "Bukti Bahwa Muslim Bukanlah Teroris, Ini Faktanya". Wajib Baca. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  78. ^ "Bukti Bahwa Terorisme Sebagian Besar Dilakukan Non-Muslim". Lampu Islam. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  79. ^ Eben Ezer Siadari (22-6-2015). "Cendekiawan Muslim Kritisi Amien Rais tentang Islamofobia di RI". Satu Harapan. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  80. ^ Julkifli Marbun (1-5-2015). "Islamophobia Bisa Muncul di Indonesia". Republika. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  81. ^ "Jika Islam Agama Damai, Mengapa Teroris Banyak yang Muslim?". Kiblat. 2016. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  82. ^ a b Fathurrahman (18-8-2014). "Memahami Pelarangan Jilbab di Bali". HMI News. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  83. ^ a b Didin Hafidhuddin (24-1-2016). "Isu Terorisme dan Dakwah Islam". Republika. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  84. ^ Muh. Syaifulah (29-10-2015). "Eks Petinggi JI: Waspada Isi Internet yang Mudah Mengkafirkan". Tempo. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  85. ^ Novi Christiastuti (1-8-2016). "Paus Fransiskus Tegaskan Islam Bukan Terorisme". Detik. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  86. ^ Pascal S Bin Saju (14-6-2016). "Dalai Lama: Jangan Tuding Muslim Teroris, Semua Agama Punya Orang Jahat". Kompas. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  87. ^ Juven Martua Sitompul (23-12-2013). "Larangan Ucapan Natal dari MUI Picu Protes". Merdeka. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  88. ^ Wiwit Hadi Priyanto (12-12-2012). "Alasan Terlarangnya Mengucapkan Selamat Natal bagi Muslim". Muslim. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  89. ^ Magdalena (12-4-2015). "Merayakan Valentine Day, Berarti Ikut Menuhankan Yesus". EraMuslim. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  90. ^ Adi Warsidi (9-4-2016). "Pemerintah Banda Aceh Haramkan Perayaan Hari Valentine". Tempo. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  91. ^ Norman Duarte (21-6-2015). "5 Berita Hoax tentang Islam yang Sering Dishare (Dan Banyak yang Percaya)". Bombastis. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  92. ^ Candra Wiguna (24-5-2015). "Kumpulan Foto Hoax Pembantaian Muslim di Burma (Myanmar)". Diakses tanggal 9-8-2016. 
  93. ^ Faldi P. (14-7-2015). "Biksu Kena Kanker dan Korban Kekerasan Dijadikan Hoax Rohingya". Muslim Media News. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  94. ^ Ahmad Baraas (21-2-2014). "Komnas HAM: Pelarangan Jilbab Terjadi Hampir di Seluruh Bali". Republika. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  95. ^ Erik Purnama Putra. "Ini Kronologis Pelarangan Pemakaian Jilbab di Bali". Republika. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  96. ^ "Umat Islam Ditantang! Ada Larangan Jilbab di 4 Kabupaten/Kota di Bali". Nahimunkar. 12-1-2014. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  97. ^ Badrul Tamam (18-12-2013). "Karyawan Muslim Haram Kenakan Kostum Sinterklas". Voa Islam. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  98. ^ "Mendagri : Perda Jilbab Aceh Melanggar HAM, Harus Dicabut". Islamedia. 24-2-2016. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  99. ^ Yulianingsih (23-3-2016). "LBH Nilai Yogya Jadi Kota Intoleran". Republika. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  100. ^ Suryo Wibowo (30 Mei 2014). "Umat Katolik di Sleman Diserang Kelompok Bergamis". Tempo. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  101. ^ "Umat Katolik Diserang FPI Karena Doa Rosario". Ngokezone. 8-5-2016. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  102. ^ Adi Mawahibun Idhom (5-1-2014). "Lembaga Kajian Syiah Tutup Gara-gara Surat MUI Yogya". Tempo. Diakses tanggal 9-8-2016. 
  103. ^ "Mahasiswa ISI Yogya menentang gerakan khilafah di kampus". BBC. 17-6-2016. Diakses tanggal 9-8-2016. 

Kategori:Agama dan masyarakat]] Kategori:Diskriminasi beragama]] Kategori:Diskriminasi di Indonesia]] Kategori:Penganiayaan agama]]