Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono

gereja di Indonesia

Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono adalah suatu kompleks biara para rubiah Katolik dari Ordo Trapis (O.C.S.O.) yang terletak di Desa Jetak, Getasan, di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Pertapaan ini didirikan secara resmi pada hari Minggu Palma tanggal 12 April 1987 sebagai biara cabang dari Pertapaan Santa Maria Rawaseneng di Kabupaten Temanggung. Arsitektur Pertapaan Gedono merupakan salah satu karya dari RD Y.B. Mangunwijaya, dan pada tahun 1993 mendapatkan Penghargaan IAI Nasional dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI).

Pertapaan Gedono
Informasi biara
Nama lengkapPertapaan Bunda Pemersatu Gedono
OrdoTrapis (OCSO)
Didirikan12 April 1987
Biara indukPertapaan Santa Maria Rawaseneng, Temanggung
Didedikasikan kepadaMaria Bunda Pemersatu
KeuskupanKeuskupan Agung Semarang
Tokoh
PendiriDom Frans Harjawiyata, OCSO
AbbasIbu Abdis Martha Elisabeth Driscoll, OCSO
Tokoh penting yang terkaitIbu Abdis Cristiana Piccardo, OCSO
Romo Suitbertus Ari Sunardi OCSO
Arsitektur
ArsitekRD Y.B. Mangunwijaya
Situs
LokasiDusun Weru,
Desa Jetak,
Getasan, Semarang,
Jawa Tengah
NegaraIndonesia
Koordinat7°24′19″S 110°28′12″E / 7.40528°S 110.47000°E / -7.40528; 110.47000Koordinat: 7°24′19″S 110°28′12″E / 7.40528°S 110.47000°E / -7.40528; 110.47000[1]
Akses publikYa, selain area klausura

Layaknya para rubiah/rahib dalam biara Trapis lainnya, rubiah-rubiah yang menghuni Pertapaan Gedono menjalani hidup dengan misi doa dan kerja tangan sesuai Peraturan Santo Benediktus. Kerja tangan yang mereka lakukan misalnya mengelola perkebunan sayur dan rumah tangga pertapaan, serta memproduksi hosti, selai, sirup, kue, kefir (semacam yoghurt), dan kartu rohani, yang menjadikan mereka mampu menafkahi hidup sendiri dari hasil pemasarannya.[2]

Dalam acara Pesta Perak 25 Tahun Pertapaan Gedono tanggal 12 Mei 2012 yang juga dihadiri keluarga Frans Seda, Kardinal Julius Darmaatmadja SJ mengatakan: "Tujuh kali sehari, para rubiah Gedono memuji, mencari misteri-Nya, mengagumi, mohon ampun, mendoakan semua: seluruh dunia, seluruh Gereja. Para rubiah hidup dalam keheningan hati dan budi, betapa pun singkatnya, untuk mampu memahami kehendak Tuhan. Para rubiah hidup dalam kasih, memuji, dalam kesederhanaan dan karya. Semua dipersembahkan kepada Tuhan. Terima kasih para rubiah, profisiat, terima kasih."[2]

Pimpinan Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono saat ini adalah Ibu Abdis Martha Elisabeth Driscoll, OCSO, atau Ibu (Mother) Martha Elisabeth Driscoll, OCSO.

Sejarah komunitas

Pendirian

 
Pertapaan Santa Maria Rawaseneng, perintis dan wali dari Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono.

Pada tahun 1962, Dom Bavo van der Ham OCSO sebagai Superior Pertapaan Rawaseneng pada saat itu mengadakan kontak dengan Biara Trapistin Maria Frieden di Dahlem, Jerman agar mereka bersedia merintis biara Trapistin di Indonesia.[3] Setelah proses yang cukup panjang dengan berbagai kendala yang tidak dapat diatasi, Dom Frans Harjawiyata OCSO sebagai Superior Pertapaan Rawaseneng berikutnya—dari hasil permenungannya bersama dengan Dom Ambrose Southey OCSO yang kelak menjadi Abbas Generalis (Pemimpin Umum Ordo Trapis)—menempuh solusi lain dengan cara terlebih dahulu membentuk komunitas rubiah Indonesia di suatu biara di Eropa.[4] Pada tahun 1977 ia menjalin kontak dengan Ibu Cristiana Piccardo OCSO sebagai Abdis Biara Trapistin di Vitorchiano, Italia, dan disepakati bahwa biara tersebut akan menampung serta mendidik para calon rubiah dari Indonesia.[5] Dalam rentang waktu antara tahun 1979[6] – 1985 ada 11 calon rubiah dari Indonesia yang dikirim ke Vitorchiano, 3 di antaranya kemudian mengundurkan diri.[7]

Tanggal 7 November 1984, Pertapaan Rawaseneng menyatakan persetujuannya untuk menjadi wali Pertapaan Gedono yang akan didirikan. Setelah rencana pendirian Pertapaan Gedono memperoleh izin tertulis pada tanggal 13 Desember 1984 dari Uskup Agung Semarang Mgr. Julius Darmaatmadja SJ, dan Biara Vitorchiano memperoleh persetujuan dari Kapitel Umum OCSO pada tanggal 14 Mei 1985, 11 biarawati diberangkatkan dalam 2 gelombang dari Vitorchiano menuju Gedono pada bulan Januari dan Maret 1987. Kesebelas biarawati perintis tersebut terdiri dari 8 biarawati Indonesia, 2 biarawati Italia, dan seorang biarawati Amerika Serikat —yaitu Ibu Martha Elisabeth Driscoll OCSO sebagai pimpinan mereka.[8] Dan pada hari Minggu Palma tanggal 12 April 1987 dirayakan Misa di Gedono yang dipimpin oleh Romo Abbas Frans Harjawiyata, OCSO sebagai tanda dimulainya hidup kerahiban secara reguler dari komunitas baru ini.[2][9]

"Bunda Pemersatu" dipilih sebagai nama dan pelindung pertapaan ini dengan alasan bahwa para rubiah mewarisi "panggilan khusus" Biara Vitorchiano yang senantiasa "berdoa bagi kesatuan semua orang Kristiani dan perdamaian umat beragama". Tanggal 31 Mei, Pesta Maria Mengunjungi Elisabet, ditetapkan sebagai pesta perayaan Bunda Pemersatu.[10]

Perkembangan

Pada tanggal 26 Januari 1994—bertepatan dengan Pesta St Robertus, St Alberikus, dan St Stefanus Harding[10]—Pertapaan Gedono diangkat menjadi biara otonom dengan status priorat dan Ibu Martha Elisabeth Driscoll, OCSO terpilih sebagai Priorin. Kemudian pertapaan ini diberikan status keabdisan (abbacy) pada tanggal 26 Januari 2000,[11] dan Ibu Martha Driscoll OCSO terpilih sebagai pimpinannya (Abdis).[12] Pelantikannya sebagai abdis dilakukan pada tanggal 11 Februari 2000 dalam Misa yang dipimpin oleh Uskup Agung Semarang Mgr. Ignatius Suharyo.[13]

Dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada bulan Maret 2007, Abdis Martha mengatakan bahwa saat itu Pertapaan Gedono memiliki 37 anggota komunitas dan 4 di antaranya adalah postulan (pra-Novisiat). Dikatakan bahwa para postulan tersebut sebelumnya memiliki pengalaman kerja di kota besar dan memiliki karier yang baik, tetapi mereka merasakan "kekosongan" dalam "kehidupan modern" yang menurut mereka tidak memberi suatu nilai atau arti.[14] Menurut suatu laporan dari tahun 2012, anggota komunitas di Pertapaan Gedono berjumlah sekitar 30-an rubiah.[10]

Pembentukan komunitas di Makau

 
Capela de Nossa Senhora da Penha, Makau

Sejak tahun 2001 Pertapaan Gedono secara berkala kedatangan biarawati-biarawati dari Tiongkok yang hendak mendalami panggilan monastik, karena para rubiah Gedono diberikan tanggung jawab untuk membimbing suatu komunitas di Tiongkok. Abdis Martha dan rubiah Gedono lainnya juga secara rutin berkunjung ke Tiongkok untuk membentuk kaum muda Sistersien di sana.[15] Pada tahun 2007 komunitas rubiah Gedono merasa terdorong untuk membentuk komunitas baru di Tiongkok dan mereka mulai mencari tempat. Abbas Our Lady of Joy Abbey di Pulau Lantau, Hong Kong, mengajukan Makau di pesisir selatan Tiongkok sebagai bahan pertimbangan mereka. Para rubiah tersebut menerimanya dan sang abbas menghubungi Mgr. José Lai, Uskup Makau, yang menyambut permohonan mereka dengan senang hati.[16]

Setelah serangkaian proses lanjutan untuk menegaskan panggilan mereka, pada bulan Juni 2009 tiga rubiah perintis dari Gedono—beserta seorang rubiah Italia—diberangkatkan ke Makau untuk mempelajari bahasa Kanton.[16][17] Dalam rentang waktu tahun 2010 – 2012, tiga rubiah tambahan dari Gedono diutus ke sana untuk turut membantu. Pembentukan komunitas baru tersebut telah disetujui oleh Kapitel Umum OCSO pada bulan September 2011, dan mereka mulai resmi menjalani kehidupan monastik secara kanonik pada hari Minggu Kerahiman Ilahi tanggal 15 April 2012. Untuk sementara mereka ditempatkan di kompleks Capela de Nossa Senhora da Penha (Kapela Maria Bunda Batu Karang), mengerjakan pekerjaan harian seperti membersihkan gereja dan bangunan bersejarah di tempat mereka tinggal, serta membuat kue,[16] sembari menunggu selesainya pembangunan biara di Pulau Coloane.[17] Namanya Biara Trapistin "Our Lady Star of Hope" (Bunda Maria Bintang Pengharapan), dan Pertapaan Santa Maria Rawaseneng ditetapkan sebagai biara induknya.[16][18]

Para rubiah Gedono "ditarik untuk membawa kehidupan monastik ke dalam budaya Makau yang didominasi dengan kasino", untuk menyampaikan bahwa "ada lebih banyak lagi makna hidup sebagai manusia dan kebahagiaan yang dapat ditemukan di tengah dunia perjudian dan semua yang menyertainya".[19] Mgr. José Lai mengatakan, "Kehadiran mereka dapat membantu memperkenalkan kehidupan kontemplatif kepada masyarakat setempat yang menjalani kehidupan sangat materialistis."[17]

Geografi

Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono terletak di Dusun Weru, Desa Jetak, Kecamatan Getasan, di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, kira-kira 15 kilometer ke arah barat daya Kota Salatiga.[20] Pertapaan yang terletak di lereng Gunung Merbabu sisi timur laut ini dapat ditempuh dari jalan raya Salatiga – Boyolali dengan jarak sekitar 7 kilometer, dan jalan menuju ke sana telah sepenuhnya diaspal.[2][21] Pertapaan Gedono kira-kira berjarak 80 kilometer dari Pertapaan Santa Maria Rawaseneng.[22]

Secara umum, Desa Jetak terletak pada ketinggian 1000 mdpl (meter di atas permukaan laut). Satu-satunya sumber air di desa ini terdapat di Dusun Weru B, dan dinamakan Gua Gedono.[23] Namun demikian, pada saat pembangunan kompleks pertapaan tercatat bahwa pihak pertapaan menggunakan sumber air di Kenteng, Desa Tajuk, dan di suatu tempat di Desa Ngaglik, Boyolali.[24] Daerah Gedono dikatakan memiliki kelembapan yang sangat tinggi dengan angin yang sangat kencang, dan berkabut tebal selama beberapa bulan sepanjang tahun.[25]

Tanah Pertapaan Gedono luasnya sekitar 8 hektar, dengan 1 hektar untuk bangunan serta selebihnya terutama untuk area pepohonan, perkebunan, dan pemakaman para rubiah.[20] Tanah di kompleks pertapaan berkontur sengkedan, dibuat dalam tujuh tingkatan dengan total 27 bangunan dan 150 puluh anak tangga. "Desain lerengan" seperti ini agak mirip dengan desa-desa lain di sekitarnya.[26]

Sarana pertapaan

Lahan

Berdirinya Pertapaan Gedono, di lahan yang ditempati sekarang, diawali dari proses pencarian tanah oleh pihak Pertapaan Rawaseneng pada tahun 1962 di Kandangan untuk komunitas rubiah yang akan dibentuknya ini.[27] Proses pencarian berlanjut pada tahun 1979 di sekitar Desa Bedono, di Kecamatan Jambu, Semarang. Karena masih belum menemukan tempat yang tepat, pencarian dilanjutkan pada tahun 1980 dengan meninjau 3 lokasi di sekitar Kota Salatiga dan diputuskan untuk memilih salah satu di antaranya, yaitu di lokasi yang ditempati saat ini yang dinamakan "Gedono" oleh penduduk setempat.[28]

Untuk maksud pembelian tanah negara seluas 85.550 m2 tersebut, maka dibentuk Yayasan Ordo Biarawan-Biarawati Trappist Indonesia (YOPTI) dan dikirimkan surat permohonan pembelian tanah Gedono kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II Semarang, yang segera mengabulkan permintaan mereka.[29] Tanggal 18 September 1980, sembari disaksikan Kepala Desa Jetak, para petani penggarap tanah Gedono menandatangani surat pernyataan bermeterai yang menyatakan bahwa mereka bersedia mengalihkan tanah tersebut kepada YOPTI untuk didirikan pertapaan dengan "ganti rugi" sekitar 40 juta dan YOPTI bertanggung jawab untuk penyediaan air bersih dari sumbernya ke beberapa dusun di Desa Jetak. Melalui sumbangan dari beberapa biara Trapis di Belanda dan Jepang, pembayaran uang pengganti itu terselesaikan pada tanggal 5 Oktober 1981 dan proses pembelian baru sepenuhnya tuntas pada bulan September 1983.[24]

Bangunan

Perencanaan pembangunan kompleks Pertapaan Gedono tahap pertama dimulai pada tahun 1984 dan dikoordinasi oleh pihak Pertapaan Rawaseneng. Disepakati bahwa RD Y.B. Mangunwijaya (dikenal dengan panggilan Romo Mangun), ketua Yayasan Pondok Rakyat, mengerjakan prarencana keseluruhan kompleks pertapaan dan rancangan pembangunan tahap satu.[30] Dana pembangunan diperoleh dari sumbangan perorangan dan lembaga-lembaga di dalam maupun luar negeri.[31] Setelah mendapatkan semua izin yang dibutuhkan, pembangunan tahap satu dimulai dengan peletakan batu pertama pada tanggal 18 November 1985 oleh Romo Suitbertus Ari Sunardi OCSO (kakak Mgr. Ignatius Suharyo) sebagai "mandor" pembangunannya.[2][32]

Pembangunan tahap pertama terselesaikan pada bulan April 1988, sehingga para biarawati yang sebelumnya menempati wisma tamu dapat mendiami bangunan khusus untuk mereka.[9] Peresmian Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono oleh pemerintah Indonesia, beserta pemberkatannya oleh Kardinal Justinus Darmojuwono, dilakukan pada tanggal 31 Mei 1988. Pembangunan segera dilanjutkan dengan tahap kedua, langsung di bawah pengawasan Ibu Martha Driscoll OCSO, berupa penyelesaian beberapa kamar tidur, ruangan kerja dan industri, serta kapel. Pembangunan kapel terselesaikan pada tanggal 22 Juli 1991 dan pemberkatannya dilakukan pada tanggal 27 Agustus 1991;[11] sementara pembangunan seluruh bangunan biara terselesaikan pada tahun 1992.[2]

Arsitektur

 
Romo Mangun, arsitek awal Pertapaan Gedono.

Desain Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono pernah mendapatkan penghargaan dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) untuk karya Arsitektur Terbaik,[20][25][26] yaitu Penghargaan IAI Nasional pada tahun 1993.[33] Sebelumnya, pada tahun 1991, karya arsitektur ini telah masuk dalam nominasi Penghargaan IAI untuk Kategori Rumah Tinggal.[34] Menurut Darwis Khudori, ide dasar dari rancangan Pertapaan Gedono didapat dari 3 sumber utama: pihak Trapistin sebagai pemilik yang diwakili oleh Romo Abbas Frans Harjawiyata OCSO, dia sendiri (Darwis Khudori), dan RD Y.B. Mangunwijaya yang biasa dikenal dengan panggilan Romo Mangun sebagai arsitek kepala. Abbas Frans memberikan gambaran yang jelas mengenai ruang-ruang yang dibutuhkan, termasuk macam dan ukurannya, serta tata letaknya. Darwis, seorang insinyur dari Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada dan kelak dosen senior di Universitas Le Havre, merupakan "murid terdekat" Romo Mangun yang ditugaskan olehnya untuk membuat rancangan awal berdasarkan gambaran tersebut.[25][26]

Tektonika dipandang sebagai elemen utama dalam semua rancangan Romo Mangun, sebagaimana terlihat dalam arsitektur Pertapaan Gedono. Penggunaan berbagai bahan alami dari daerah setempat, seperti batu, kayu, dan bambu, merupakan gambaran dari perpaduan antara "kreasi manusia dengan alam" yang juga menjadi salah satu ciri karya arsitektur Romo Mangun.[25] Penggunaan bahan-bahan alam menjadi alasan kuat dalam pembangunan Pertapaan Gedono karena daerah di lereng bukit Gedono memiliki berbagai bahan alami yang dapat dimanfaatkan untuk bangunan, misalnya pasir dari sisi bukit, kayu jati di lahan pertapaan, dan bebatuan yang dapat dibeli dari para penjual batu di daerah sekitar pertapaan sebagai alasan "bernuansa sosial".[26] Batu alam digunakan untuk semua dinding bangunan di kompleks pertapaan, kayu digunakan sebagai plafon sebagian bangunan, sementara bahan-bahan seperti bambu dan kayu banyak digunakan dalam furnitur.[35] Penggunaan bahan-bahan alam pada berbagai bagian selain struktur utama dalam karya arsitektur yang bercirikan "eko-desain" ini juga dimaksudkan agar ada kegiatan rutin untuk merawat ataupun menggantinya, sehingga menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar, kendati biaya pembangunan menjadi sedikit bertambah.[26] Kekhasan lainnya terlihat pada lantai hasil cetakan sendiri,[25] beragam nuansa atau simbol yang sarat makna di elemen-elemen bangunan,[36][37] termasuk pencahayaannya.[26]

Di kemudian hari dilakukan beberapa perubahan terhadap desain dari Romo Mangun dengan alasan "keamanan dan efisiensi". Lantai rumah-rumah para rubiah yang berupa "rumah panggung" terpaksa diturunkan agar tertutup; para rubiah yang tidur di sana selalu menderita sakit flu karena desain bangunan seperti itu ternyata tidak sesuai dengan keadaan iklim di Gedono.[25][26] Perubahan yang tidak tampak dari luar yaitu penggunaan tembok untuk melapisi dinding batu dari sisi dalam, alasannya adalah angin yang kencang dan kekhawatiran para tamu akan masuknya serangga ataupun ular dari rongga dinding. Karena beberapa hal, hingga awal tahun 1990 bangunan kapel belum juga dibangun dan Romo Mangun menyatakan ketidaksanggupannya.[25][26] Para rubiah merancang sendiri kapel mereka, dibantu seorang arsitek dari Eropa bernama Heinz Frick dengan gaya arsitektur Barat yang "lebih memperhatikan interior daripada eksteriornya".[26] Mereka mengadopsi konsep Romo Mangun, namun orang yang mengerti gaya arsitektur Romo Mangun dianggap dapat mengenali perbedaan-perbedaan yang ada,[25] kendati bangunan kapel tersebut tetap berpadu dalam keselarasan dengan bangunan lainnya.[38] Perbedaan utama yaitu penggunaan kuda-kuda dari baja, karena penggunaan kuda-kuda kayu pada bangunan-bangunan sebelumnya mengakibatkan banyak kebocoran saat hujan. Rencana Romo Mangun untuk membuat bangunan kapel dengan atap kayu bersusun tujuh tidak mereka terapkan; para rubiah merasa bahwa mereka hidup dalam "kesederhanaan dan kekosongan", sementara rancangan seperti itu dipandang sangat mewah.[25] Bagaimanapun Abdis Martha sangat menghargai hasil karya Romo Mangun di Pertapaan Gedono, katanya: "Dia sangat menghargai panggilan hidup kami. Juga banyak unsur yang dia buat agar suasananya semadi. Yang penting nilai, dia tahu itu. Dia mau ini sebagai tempat di mana orang bisa mendekatkan diri pada Tuhan. Karena itu penting juga keindahan alamnya." Romo Suitbertus Ari Sunardi OCSO merupakan pelaksana pembangunan kapel pada pembangunan tahap kedua ini.[26]

Tata ruang

Tata ruang di Pertapaan Gedono dapat dikelompokkan menjadi dua kategori utama, yaitu kawasan yang tertutup (klausura) dan yang terbuka untuk umum dengan izin akses tertentu. Ruangan-ruangan para rubiah, baik para novis maupun yang telah berkaul, di bagian dalam pertapaan termasuk kategori kawasan yang tertutup untuk umum. Kawasan yang terbuka untuk umum di bagian depan pertapaan misalnya beberapa ruang tamu atau pembicara untuk tamu yang hendak berkonsultasi, ruang pertemuan atau aula, dan ruang makan tamu.[39][40] Selain itu terdapat beberapa rumah retret dan "rumah tamu" di dekat lapangan parkir yang berisikan kamar-kamar untuk tamu yang menginap.[41][42] Di depan penginapan tamu terdapat toko yang lazim dikunjungi para tamu, dengan salah satu produk unggulan yang dijual adalah kefir (semacam yoghurt), buka setiap hari dengan jam operasional tertentu.[43]

Kapel merupakan wilayah sentral di pertapaan ini, terletak di antara wilayah tamu di bagian depan dan wilayah rubiah di bagian dalam pertapaan.[26] Bentuknya menyiku, berupa huruf "L",[44] menghadap ke arah timur dan memiliki dua ruang atau bagian besar. Bagian yang sejajar dengan rumah tamu adalah tempat duduk untuk umat atau tamu, sementara bagian yang sejajar dengan lereng bukit merupakan tempat duduk khusus bagi para rubiah yang disusun dalam 2 rangkaian berhadapan.[38] Bagian untuk umat dan bagian untuk rubiah dipisahkan dengan pembatas besi yang jaraknya sekitar satu meter.[45]

Semua ruangan di kompleks Pertapaan Gedono dirancang dalam bangunan-bangunan yang terpisah satu sama lain berdasarkan fungsinya. Sebagai contohnya kapel merupakan satu bangunan, toko satu bangunan, ruang cuci pakaian satu bangunan, ruang makan dan dapur satu bangunan, serta terdapat Pondok Baca Maria di "tengah-tengah alam terbuka" sebagai ruang membaca khusus bagi para rubiah.[20][26]

Sarana di ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan oleh tamu yang berkunjung misalnya stasi-stasi Jalan Salib dan taman di antara bangunan-bangunan yang ada.[42]

Kehidupan monastik

Para rubiah Gedono, seperti halnya semua rubiah dan rahib dari Ordo Trapis, menjalani kehidupan sesuai teladan Santo Benediktus sebagaimana tertulis dalam Peraturan Santo Benediktus yang dibacakan setiap hari seusai Ibadat Pagi (Laudes) pk 05.45.[2] Kehidupan kontemplatif yang mereka lakukan diarahkan sepenuhnya kepada Allah dalam keheningan, doa, dan semangat pertobatan yang berkesinambungan.[20] Karena pertobatan dipandang membutuhkan penyadaran secara terus-menerus, maka kehidupan mereka utamanya "berada dalam Masa Puasa".[46] Kehidupan para rubiah Gedono dijalani tanpa banyak berbicara, sama seperti para rahib Rawaseneng, sehingga orang Jawa mengatakan kalau mereka "mbatin" (berbicara dalam hati).[47]

Selain perayaan Ekaristi, setiap hari mereka melaksanakan rangkaian Ibadat Harian sebanyak 7 kali; pertama-tama dimulai dengan "Ibadat Malam" (saat ini disebut Ibadat Bacaan atau Officium lectionis) pada pk 03.15, yang dilanjutkan dengan doa hening selama 30 menit dan Lectio Divina (Bacaan Ilahi), kemudian diakhiri dengan Ibadat Penutup (Completorium) pada pk 18.55.[2][21] Lagu-lagu dalam Ibadat Harian di lingkungan Gereja Katolik (khususnya Ritus Roma) umumnya dinyanyikan dengan musik Gregorian, namun Pertapaan Gedono memiliki salah satu kekhasan yaitu penggunaan musik Bizantin dari Kekristenan Timur dalam Ibadat Penutup pada hari Minggu dan hari raya.[48] Selain menggunakan alat musik organ, mereka juga menggunakan cetra—yaitu siter yang konon diciptakan secara khusus untuk liturgi monastik oleh seorang rahib Prancis—pada "Ibadat Malam" dan perayaan Ekaristi hari biasa. Kekhasan lainnya yaitu penggunaan musik Jawa dengan lagu pelog yang diiringi alat musik seperti gender, bonang, dan slentem pada Ibadat Penutup hari biasa;[21][49] teks ibadat tersebut telah mereka hafalkan karena dinyanyikan dalam kapel dengan kondisi gelap.[50]

Para rubiah dikatakan "menguduskan waktu dengan doa dan kerja", rutinitas mereka sehari-hari adalah "keseimbangan antara doa pribadi, doa liturgi, Lectio Divina, dan kerja tangan".[20] Setiap hari mereka mengerjakan semua aktivitas tersebut secara selang-seling, dan semua usaha yang mereka kelola dikerjakan sendiri dengan bantuan beberapa orang dari masyarakat sekitar pertapaan.[2] Pekerjaan-pekerjaan rumah tangga di dalam biara (area klausura atau tertutup untuk umum) dikerjakan sendiri dan hanya dibantu beberapa tukang kebun.[51] Menurut Ibu Abdis Martha Driscoll OCSO, "Kita mengungkapkan diri dan menyerahkan diri melalui tubuh, melalui tindakan-tindakan konkret. Hidup spiritual bukan sesuatu yang abstrak [dan] terpisah dari hidup manusia."[52]

Usaha dan produk yang dihasilkan

 
Salah satu produk kue kering Pertapaan Gedono yang dijual di kantin Gereja Santa Theresia, Jakarta.

Sejak adanya Pertapaan Gedono, masyarakat Desa Jetak yang dahulu hanya mendapat penghasilan dari sektor pertanian dapat memperoleh tambahan penghasilan melalui beragam pekerjaan yang disediakan pihak pertapaan, terutama pada masa panen cengkih. Karenanya pertapaan dianggap memiliki peranan penting dalam peningkatan ekonomi Desa Jetak.[53] Selain terdapat beberapa hektar perkebunan cengkih,[12] dalam kompleks pertapaan juga terdapat perkebunan sayur organik[21] dan peternakan sapi perah. Pada tahun 2013 dilaporkan bahwa mereka memiliki 3 sapi betina untuk memenuhi kebutuhan susu bagi pertapaan, dan masyarakat sekitar dikaryakan dalam pemeliharaan sapi-sapi tersebut. Kelebihan susu yang dihasilkan digunakan untuk pembuatan keju dan kefir.[51]

Sebagai sumber nafkah utama para rubiah, mereka membuat berbagai produk seperti hosti, kue, konsentrat sirup dan selai, kalender, kartu rohani serta ikon devosional.[12][51] Hanya potongan-potongan hosti utuh yang dipasarkan untuk digunakan dalam misa, sementara sisanya diolah menjadi roti khas Gedono. Dikatakan bahwa roti yang mereka buat tidak menggunakan bahan pengawet dan tanpa bahan-bahan campuran lain, sehingga memiliki rasa yang khas dibandingkan dengan roti-roti pada umumnya yang dipasarkan.[27] Pertapaan memiliki mesin khusus untuk mengemas minuman dari buah-buahan yang diproduksi.[51] Industri terbaru mereka dan yang tercepat perkembangannya adalah pembuatan kefir.[12]

Sebagian dari hasil kerja tangan para rubiah tersebut dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, sementara sebagian lainnya diamalkan bagi kaum miskin dan yang membutuhkan. Produk-produk yang mereka hasilkan dipasarkan dalam toko yang terdapat di kompleks pertapaan, dan mereka juga mengirimkannya ke konsumen melalui jasa Pos.[54] Bersama dengan berbagai produk yang dihasilkan Pertapaan Rawaseneng, produk makanan dan minuman dari Gedono dipasarkan secara khusus di pinggir jalan menuju Gua Maria Kerep di atas sebuah mobil pikap bernama "Rumah Lima Roti & Dua Ikan", milik CB Nurjati dan keluarganya.[27]

Pelayanan masyarakat

Selain sebagai mata pencaharian, para rubiah Gedono juga memandang pekerjaan yang mereka lakukan sebagai sarana untuk menyatakan solidaritas kepada masyarakat kecil; kerja tangan dianggap sebagai "kesempatan yang menunjang perkembangan pribadi untuk memberi diri masing-masing kepada sesama".[20] Pelayanan yang mereka lakukan kepada masyarakat di sekitar pertapaan misalnya bantuan berupa alat sekolah kepada anak-anak yang tidak mampu, "pengobatan gratis" (jasa dokter digratiskan, pembelian obat ditetapkan dengan tarif yang murah) setiap bulan, pasar murah, memastikan penyaluran air bersih ke rumah-rumah penduduk, pembuatan MCK, dan lainnya.[55]

Ketika terjadi gempa bumi di Yogyakarta pada tahun 2006, para korban gempa tidak mampu membiayai pembangunan rumah mereka yang hancur meskipun telah mendapat bantuan bahan-bahan bangunan dari pemerintah. Pertapaan Gedono bekerja sama dengan seorang imam paroki agar dapat mengkaryakan orang-orang di daerah sekitar pertapaan yang kehilangan pekerjaan untuk membangun rumah-rumah para korban gempa, dengan menggunakan dana yang diterima oleh pertapaan dari bantuan luar negeri. Dikatakan bahwa hampir semua dari 85 orang yang kembali mendapatkan pekerjaan itu adalah umat Muslim, sementara keluarga-keluarga yang mereka bantu adalah umat Katolik. Abdis Martha mengatakan, "Ini merupakan suatu pengalaman dari dialog kehidupan dan cinta antara agama-agama."[14]

Meskipun para rubiah di Pertapaan Gedono menjalani kehidupan monastik kontemplatif tertutup, mereka sering kedatangan tamu dari berbagai daerah, termasuk para tamu yang hendak melakukan retret maupun yang sekadar berkunjung.[20] Dengan beberapa persyaratan tertentu mereka melayani umat yang hendak melakukan retret pribadi di sana.[21] Umat Katolik yang tinggal di sekitar pertapaan juga diperkenankan mengikuti misa di Kapel Bunda Pemersatu,[56] kendati tempat duduk umat berada di bagian yang terpisah dengan para rubiah.[57]

Sahabat-Sahabat Cisterciensis Gedono

Sahabat-Sahabat Cisterciensis Gedono (SSCG) merupakan suatu perkumpulan awam Katolik yang dimiliki oleh Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono,[12] secara resmi didirikan pada tanggal 15 Desember 2002 oleh Ibu Abdis Martha Driscoll, OCSO. Mereka terdiri dari kaum awam yang memiliki komitmen untuk menghayati dan menjalankan spiritualitas monastik Sistersien di dalam kehidupan mereka masing-masing di tengah masyarakat, dengan bimbingan sang Abdis dan seorang pembimbing rohani lain. Suatu laporan dari tahun 2014 menyebutkan bahwa perkumpulan tersebut memiliki sekitar 25 anggota yang berasal dari berbagai daerah seperti Semarang, Solo, Bogor, Surabaya, Gombong, Jakarta, Lombok, dan bahkan Singapura.[58]

Pimpinan

Pimpinan komunitas sejak didirikan secara resmi pada tahun 1987:[12]

  • 1987 – 1994: Martha Elisabeth Driscoll, OCSO (Superior)
  • 1994 – 2000: Martha Elisabeth Driscoll, OCSO (Priorin Tituler)
  • Sejak 2000: Martha Elisabeth Driscoll, OCSO (Abdis)

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Pertapaan Gedono, WikiMapia, diakses tanggal 13-05-2016 
  2. ^ a b c d e f g h i Perayaan Syukur 25 Tahun Gedono, hidupkatolik.com, 10-06-2012, diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-06-25, diakses tanggal 2016-05-13 
  3. ^ Andriyani 2014, hlm. 25-26
  4. ^ (Italia) Cristiana Piccardo (1999), Pedagogia Viva: Cîteaux novecento anni dopo, Editoriale Jaca Book, hlm. 161, ISBN 9788816303447 
  5. ^ Andriyani 2014, hlm. 27
  6. ^ (Italia) Gedono, Monache Trappiste di Vitorchiano, diakses tanggal 14-05-2016 
  7. ^ Andriyani 2014, hlm. 28
  8. ^ Andriyani 2014, hlm. 39-41
  9. ^ a b Andriyani 2014, hlm. 42
  10. ^ a b c Melahirkan pada Usia 25 Tahun, hidupkatolik.com, 10-06-2012, diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-06-24, diakses tanggal 2016-05-14 
  11. ^ a b Andriyani 2014, hlm. 43
  12. ^ a b c d e f (Inggris) Gedono, Ordo Cisterciensis Strictioris Observantiae, diakses tanggal 13-05-2016 
  13. ^ Natalia G.S 2011, hlm. 111
  14. ^ a b (Inggris) Mother Martha Driscoll, OCSO (2007), "There are 37 of us now at Gedono", AIM USA Volume 16 No. 1 (PDF), Alliance for International Monasticism, hlm. 7, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-07-01, diakses tanggal 2016-05-18 
  15. ^ Andriyani 2014, hlm. 44
  16. ^ a b c d (Inggris) Community Our Lady Star of Hope, www.trappistine-community-our-lady-star-of-hope.org, diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-08-11, diakses tanggal 30-04-2016 
  17. ^ a b c (Inggris) Trappist nuns to set up in Macau, ucanews.com, 19-01-2010 
  18. ^ (Inggris) Macau, Ordo Cisterciensis Strictioris Observantiae, diakses tanggal 30-04-2016 
  19. ^ (Inggris) Tarrawarra Vol. 42 No. 1 (PDF), Tarrawarra Abbey, July 2010, hlm. 5, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-03-04, diakses tanggal 2016-05-17 
  20. ^ a b c d e f g h Budi Cahyono (21-12-2008), Di Balik Tembok Bukit Gedono, Suara Merdeka, diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-08-12, diakses tanggal 2016-05-14 
  21. ^ a b c d e Erwin Susilo (30-01-2013), Keheningan Gedono, Gereja Santo Laurensius, Paroki Alam Sutera, diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-08-04, diakses tanggal 2016-05-13 
  22. ^ (Inggris) David Nicholson (1988), Liturgical Music in Benedictine Monasticism: A Post-Vatican II Survey, 3, Mount Angel Abbey, hlm. 125 
  23. ^ Andriyani 2014, hlm. 21
  24. ^ a b Andriyani 2014, hlm. 30-31
  25. ^ a b c d e f g h i Pancaran Kebenaran Seorang Arsitek (PDF), Kliping Galeri Nasional Indonesia, KOMPAS, 28-07-2002, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-08-03, diakses tanggal 2016-05-30 
  26. ^ a b c d e f g h i j k l Hendra Wibawa (02-02-2014), Biara Trappist, Yayasan Pantau 
  27. ^ a b c Mgr. Johannes Pujasumarta, Syukur atas 60 Tahun Pertapaan Rawaseneng, www.pujasumarta.web.id, diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-06-02, diakses tanggal 14-05-2016 
  28. ^ Andriyani 2014, hlm. 28-29
  29. ^ Andriyani 2014, hlm. 29-30
  30. ^ Andriyani 2014, hlm. 35
  31. ^ Andriyani 2014, hlm. 34
  32. ^ Andriyani 2014, hlm. 35-37
  33. ^ Laporan Akhir IAI Jakarta 2009 - 2012 (PDF), Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jakarta, 22-12-2012, hlm. 66, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-08-07, diakses tanggal 2016-05-30 
  34. ^ Rony Gunawan Sunaryo (Juli 2007), "Mengikuti Langkah Pikir Romo Mangun : Sebuah Tinjauan Mengenai Metode Perancangan Arsitektur Yusuf Bilyarta Mangunwijaya", Dimensi Teknik Arsitektur, 35 (1), Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra, hlm. 45 
  35. ^ Natalia G.S 2011, hlm. 121-123
  36. ^ Andriyani 2014, hlm. 57-59
  37. ^ Natalia G.S 2011, hlm. 116-117, 121
  38. ^ a b Natalia G.S 2011, hlm. 114-115
  39. ^ Andriyani 2014, hlm. 56
  40. ^ Natalia G.S 2011, hlm. 113-114
  41. ^ Andriyani 2014, hlm. 57
  42. ^ a b Natalia G.S 2011, hlm. 120-121
  43. ^ Natalia G.S 2011, hlm. 117-119
  44. ^ Tri Lokon (25-12-2011), Natal Yang Sunyi dan Hening dari Pertapaan Gedono, Kompasiana 
  45. ^ Andriyani 2014, hlm. 55-56
  46. ^ Berita WKICU (PDF), WKICU, Maret 2004, hlm. 5 [pranala nonaktif permanen]
  47. ^ Jost. Kokoh, Pr. (2013), Tanda, Penerbit Kanisius, hlm. 128, ISBN 9789792122770, diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-06-03, diakses tanggal 2016-05-15 
  48. ^ "Kata Pengantar", Bunda Pemersatu - Buku Pendamping untuk Kaset Bunda Pemersatu, PML 102-U (edisi ke-Cetakan ketiga, 1999), Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi, 1991 
  49. ^ Gregorian Jawa, Minus Latin, TEMPO, 11-04-2016 
  50. ^ Inkulturasi di Gedono - Ibadat Penutup dan Lagu-Lagu Lepas Inkulturatif, PML 1044, CD Audio, Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi 
  51. ^ a b c d Mgr. Johannes Pujasumarta (17-04-2013), Kunjungan pada Pertapaan Rubiah Trapis Gedono, www.pujasumarta.web.id, diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-07-07, diakses tanggal 2016-05-14 
  52. ^ Suster Averina OP (03-03-2015), Dosa Itu Pemberontakan Spiritual yang Terungkap dalam Tubuh, Kata Abdis, penakatolik.com 
  53. ^ Andriyani 2014, hlm. 85-86
  54. ^ Andriyani 2014, hlm. 71
  55. ^ Andriyani 2014, hlm. 83-85
  56. ^ Andriyani 2014, hlm. 86
  57. ^ Natalia G.S 2011, hlm. 115
  58. ^ Andriyani 2014, hlm. 79

Sumber kutipan

Pranala luar