Zenobia

ratu Kekaisaran Palmyrene abad ke-3
(Dialihkan dari Ratu Zenobia)

Septimia Zenobia (dialek Tadmur: dari kiri ke kanan, huruf BETH, TAW, ZAYIN, BETH, YODH : 𐡡𐡶𐡦𐡡𐡩 (Btzby), dibaca Bat-Zabbai; lahir sekitar tahun 240/241 – meninggal setelah tahun 274) adalah Ratu Kekaisaran Tadmur (juga disebut Palmira) di wilayah Siria pada abad ke-3. Terdapat banyak legenda mengenai asal-usulnya, tetapi kemungkinan ia tidak terlahir sebagai rakyat jelata. Ia pernah menikah dengan Odaenathus yang menjadi Raja Tadmur pada tahun 260. Odaenathus berhasil mengangkat status Tadmur menjadi kota terkuat di kawasan Timur Dekat dengan mengalahkan Kekaisaran Sassaniyah dan menstabilkan wilayah Timur Romawi. Setelah Odaenathus tewas dibunuh, Zenobia menjadi wali penguasa untuk anaknya, Vaballathus, dan memegang kekuasaan secara de facto.

Zenobia
Augusta
Penggambaran Zenobia sebagai maharani di bagian depan koin Antoninianus (272 M)
Maharani
Periode272 M
PendahuluGelar diciptakan
PenerusTidak ada
Ratu Tadmur
Periode267–272
PendahuluGelar diciptakan
PenerusTidak ada
Permaisuri Tadmur
Periode260–267
PendahuluGelar diciptakan
PenerusTidak ada
KelahiranSeptimia Btzby (Bat-Zabbai)
Sekitar tahun 240/241
Tadmur, Siria
KematianSetelah tahun 274
PasanganOdaenathus
Keturunan
Nama lengkap
Septimia Zenobia (Bat-Zabbai)
Nama takhta
Septimia Zenobia Augusta
WangsaWangsa Odaenathus

Pada tahun 270, Zenobia melancarkan sebuah serangan yang menjadikannya sebagai penguasa seluruh wilayah Timur Romawi, bahkan ia berhasil mengambil alih wilayah Mesir. Pada pertengahan tahun 271, wilayahnya terbentang dari Ankira di Anatolia tengah hingga Mesir selatan, walaupun secara resmi ia masih tunduk kepada Romawi. Namun, setelah Kaisar Romawi Aurelianus mengobarkan perang melawannya pada tahun 272, Zenobia menyatakan anaknya sebagai kaisar dan mengambil gelar maharani. Pada saat yang sama, ia juga memisahkan Tadmur dari Romawi. Setelah berlangsungnya pertempuran yang sengit, bangsa Romawi berhasil memenangi perang melawan Zenobia. Sang ratu terkepung di ibu kotanya dan ditangkap oleh Kaisar Aurelianus. Zenobia kemudian dibuang ke Roma dan menghabiskan sisa umurnya di sana.

Zenobia adalah seorang penguasa yang berbudaya dan ia mendukung perkembangan intelektualitas di istananya. Ia menerima para cendekiawan dan filsuf. Ia juga toleran terhadap bawahan-bawahannya dan melindungi minoritas agama. Sang ratu berhasil mendirikan pemerintahan yang stabil dan memerintah wilayah dengan beraneka ragam etnis. Zenobia tutup usia setelah tahun 274, dan terdapat banyak kisah mengenai bagaimana ia menjemput ajalnya. Kebangkitan dan kejatuhannya telah mengilhami para sejarawan, seniman, serta penulis, dan ia kini dianggap sebagai simbol patriotisme di Suriah.

Nama dan penampilan

Wajahnya gelap dan berona kehitaman, matanya hitam dan lebih tajam dari biasanya, semangatnya sangat besar, dan kecantikannya luar biasa. Giginya amat putih sampai-sampai banyak yang mengira ia memiliki mutiara alih-alih gigi.

Zenobia lahir sekitar tahun 240–241, meskipun perkiraan ini merupakan hasil terkaan para ahli yang tidak dapat dibuktikan akibat ketiadaan sumber primer yang menguatkan hal tersebut.[2] Ia memiliki gentilicium (nama keluarga) Septimia,[ket. 1][5] dan nama aslinya dalam dialek Tadmur adalah Bat-Zabbai (ditulis "Btzby" dalam alfabet Tadmur,[6] yang berarti "putri Zabbai").[7] Dalam bahasa Yunani (yang merupakan bahasa diplomasi sekaligus bahasa kedua Tadmur yang banyak digunakan di dalam inskripsi-inskripsi), ia memakai nama Zenobia ("ia yang nyawanya berasal dari Zeus").[8] Sejarawan Ath-Thabari dari abad ke-9 di dalam tulisannya yang penuh dengan fiksi[9] menulis bahwa nama sang ratu adalah Na'ila az-Zabba'.[10] Sumber-sumber agama Maniisme memanggilnya "Tadi".[ket. 2][12]

Filolog Wilhelm Dittenberger meyakini bahwa nama Bat Zabbai telah mengalami pemelintiran hingga menghasilkan nama Zenobia.[13] Di Tadmur, nama seperti Zabeida, Zabdila, Zabbai, atau Zabda sering kali diubah menjadi "Zenobios" (maskulin) dan "Zenobia" (feminin) saat ditulis dalam bahasa Yunani.[14] Sejarawan Victor Duruy berkeyakinan bahwa sang ratu menggunakan nama Yunani ini sebagai terjemahan nama aslinya untuk menghormati bawahan-bawahan Yunaninya.[15] Tidak ada patung Zenobia dari zamannya yang telah ditemukan di Tadmur atau di tempat lain, hanya inskripsi di landasan patung; gambar-gambar Zenobia yang paling dikenal adalah gambar dirinya di dalam koin dengan penggambaran yang lebih baik daripada yang sesungguhnya.[16] Pahatan-pahatan Tadmur biasanya bersifat impersonal, tidak seperti pahatan Yunani dan Romawi: patung Zenobia kemungkinan akan menunjukkan gaya pakaian dan perhiasannya, tetapi tidak akan menunjukkan penampilannya yang sebenarnya.[16] Orientalis Inggris William Wright pernah mengunjungi Tadmur menjelang akhir abad ke-19 untuk mencari pahatan sang ratu, tetapi upayanya ini sia-sia.[17]

Selain bukti arkeologis, kehidupan Zenobia juga tercatat di dalam sumber-sumber sejarah kuno, tetapi banyak yang sebenarnya salah atau dikarang-karang; koleksi biografi Romawi yang berjudul Historia Augusta merupakan sumber yang penting, tetapi kurang terandalkan.[18] Penulis (atau para penulis) Historia Augusta mengarang banyak peristiwa dan surat yang dikaitkan dengan Zenobia.[18] Beberapa hal yang tercatat di dalam Historia Augusta ditopang oleh sumber-sumber sejarah lainnya dan lebih dapat dipercaya.[18] Sementara itu, penulis kronik Romawi Timur Joannes Zonaras dianggap sebagai sumber sejarah yang penting dalam upaya untuk menilik kehidupan Zenobia.[18]

Asal-usul, keluarga, dan kehidupan awal

Masyarakat Tadmur merupakan percampuran suku-suku Semit (kebanyakan orang Aram dan Arab). Identitas etnis Zenobia sendiri tidak diketahui secara pasti; sebagai warga Tadmur, kemungkinan besar ia memiliki darah Aram dan Arab.[19] Keterangan mengenai asal-usul Zenobia serta anggota keluarganya sangat jarang ditemui dan saling bertentangan.[20] Tidak ada satu keterangan pun mengenai ibunya, dan identitas ayahnya juga masih diperdebatkan.[21] Sumber-sumber Maniisme menyebutkan "Nafsha", saudari "Ratu Tadmur",[21] tetapi sumber-sumber tersebut tidak jelas dan "Nafsha" mungkin mengacu kepada Zenobia sendiri:[22] Zenobia kemungkinan memang tidak memiliki saudara perempuan.[12]

Historia Augusta memuat rincian kehidupan awal Zenobia, walaupun sumber tersebut tidak terandalkan.[23] Menurut biografi ini, kegemaran sang ratu saat masih kecil adalah berburu.[23] Kemungkian ia bukan golongan rakyat jelata,[23] dan ia seharusnya menerima pendidikan selayaknya putri bangsawan di Tadmur.[24] Historia Augusta juga menyatakan bahwa bahasa ibu Zenobia adalah bahasa Aram Tadmur. Selain itu, ia tidak hanya fasih dalam bahasa Mesir dan Yunani, tetapi juga bisa menuturkan bahasa Latin.[25][26] Ketika umurnya masih sekitar 14 tahun (usia pernikahan yang lumrah pada masa itu), ia menjadi istri kedua Odaenathus, ras (penguasa) Tadmur.[23][21]

Bukti epigraf

Inskripsi di Tadmur yang menghormati Yulius Aurelius Zenobius. Beberapa ahli meyakini bahwa sosok ini adalah ayah Zenobia.

Berdasarkan bukti arkeologi, terdapat sejumlah orang yang mungkin merupakan ayah kandung Zenobia. Nama Yulius Aurelius Zenobius tercantum sebagai strategos Tadmur di dalam sebuah inskripsi dari tahun 231–232; akibat kemiripan nama mereka berdua,[21] pakar numismatisme Alfred von Sallet dan beberapa ahli lainnya menduga bahwa Zenobius adalah ayah Zenobia.[27] Argumen lain yang dapat memperkuat hal ini adalah patung Zenobius yang berada di hadapan landasan yang diduga pernah menjadi tempat berdirinya patung sang ratu di Deretan Tiang Besar Tadmur.[5] Namun, pakar bahasa Jean-Baptiste Chabot menegaskan bahwa patung Zenobius berada di depan patung Odaenathus dan bukan Zenobia, sehingga ia membantah hipotesis ini.[13] Selain itu, satu-satunya gentilicium yang muncul di inskripsi Zenobia adalah "Septimia" (bukan "Yulia Aurelia", yaitu nama yang seharusnya dimiliki oleh Zenobia jika gentilicium ayahnya adalah Aurelius).[5] Ditambah lagi tidak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa sang ratu pernah mengganti gentilicium-nya menjadi Septimia setelah ia menikah.[ket. 3][21][27]

Berdasarkan nama Zenobia dalam dialek Tadmur, ayahnya mungkin disebut Zabbai, walaupun Zabbai bisa juga menjadi nama nenek moyang jauh.[20] Sejarawan Trevor Bryce berpendapat bahwa Zenobia mungkin memiliki hubungan kekerabatan dengan Septimius Zabbai, pemimpin garnisun Tadmur, dan mungkin saja Septimius adalah ayahnya.[20]

Salah satu inskripsi Zenobia menyebutnya dengan nama "Septimia Bat-Zabbai, putri Antiokhos".[29][30] Identitas Antiokhos tidak diketahui secara pasti:[20] nenek moyangnya tidak tercatat di inskripsi-inskripsi Tadmur, dan namanya juga bukan nama yang lumrah di kota tersebut.[31] Hal ini (ditambah dengan makna nama Zenobia dalam dialek Tadmur) membuat para ahli (seperti Harald Ingholt) menduga bahwa Antiokhos mungkin adalah nenek moyang jauh: Raja Seleukia Antiokhos IV Epifanes atau Antiokhos VII Sidetes.[29][31]

Menurut pendapat sejarawan Richard Stoneman, Zenobia tidak akan membuat-buat silsilah yang tidak jelas untuk mengaitkan dirinya dengan para penguasa Kerajaan Makedonia Kuno; apabila ia harus menciptakan silsilah yang baru, ia akan membuat hubungan yang lebih langsung.[23] Stoneman juga menambahkan bahwa Zenobia "punya alasan untuk meyakini" ia adalah keturunan Seleukia.[23] Sejarawan Patricia Southern mengamati bahwa Antiokhos disebutkan tanpa adanya gelar kerajaan atau petunjuk mengenai garis keturunan yang agung, sehingga ia meyakini bahwa sosok Antiokhos ini adalah nenek moyang langsung atau kerabat Zenobia dan bukan raja Seleukia yang hidup tiga abad sebelumnya.[31] Sementara itu, arkeolog Charles Simon Clermont-Ganneau mencoba menyelaraskan nama "Bat Zabbai" dengan inskripsi yang menyebutkan sang ratu sebagai putri Antiokhos. Menurutnya, terdapat dua bersaudara yang pernah ada dalam sejarah, yaitu Zabbai dan Antiokhos. Zabbai wafat tanpa meninggalkan keturunan, sehingga istrinya yang menjanda menikahi saudaranya, Antiokhos. Maka dari itu, menurut hipotesis ini, Zenobia diberi nama "putri Zabbai" karena ia terlahir dari pernikahan levirat.[32]

Sumber-sumber kuno

Dalam Historia Augusta, Zenobia dikatakan sebagai keturunan Kleopatra dan mengaku sebagai keturunan Wangsa Ptolemaios.[ket. 4][14] Menurut Suda (sebuah ensiklopedia Romawi Timur dari abad ke-10),[33] setelah Tadmur menaklukkan Mesir,[34] sejarawan Kalinikos dari Petra menulis sejarah kota Aleksandria sepanjang sepuluh volume yang dipersembahkan untuk Kleopatra.[35] Menurut para ahli modern, yang dimaksud sebagai "Kleopatra" oleh Kalinikos adalah Zenobia.[ket. 5][35][37] Namun, selain dalam bentuk legenda, tidak ada lagi bukti berupa koin atau papirus Mesir yang menyamakan Zenobia dengan Kleopatra;[38] mungkin saja pengaitan ini dikarang oleh musuh-musuh Zenobia untuk merusak namanya.[ket. 6][40] Klaim bahwa Zenobia mungkin memiliki keterkaitan dengan Kleopatra bisa juga muncul akibat motif politik,[19] karena klaim tersebut akan menjadikannya sebagai "penerus sah" takhta Ptolemaios.[41] Kemungkinan Zenobia tidak memiliki hubungan darah dengan Wangsa Ptolemaios[42] dan upaya sumber-sumber sejarah klasik untuk menilik kembali silsilah Zenobia hingga ke Wangsa Ptolemaios melalui Wangsa Seleukia diragukan kebenarannya.[43]

Tradisi Arab dan az-Zabba'

Walaupun beberapa sejarawan Arab telah mengaitkan Zenobia dengan Ratu Syeba, catatan sejarah mereka meragukan.[43] Tradisi Arab pada Abad Pertengahan mengidentifikasi seorang ratu di Tadmur yang bernama az-Zabba',[44] dan catatan mengenai dirinya yang paling romantik berasal dari Ath-Thabari.[45] Menurut Ath-Thabari, sang ratu adalah orang Amalek; ayahnya adalah 'Amr bin Zarib, seorang syekh 'Amālīq yang dibunuh oleh Bani Tanukh.[43] Ath-Thabari mengidentifikasi saudara perempuan az-Zabba' sebagai "Zabibah".[43] Jadhimah bin Malik, raja Tanukh yang membunuh 'Amr bin Zarib, dibunuh oleh az-Zabba'.[45] Menurut Ath-Thabari juga, az-Zabba' memiliki sebuah benteng di tepi Sungai Efrat dan menguasai kota Tadmur.[9]

Catatan sejarah Ath-Thabari tidak menyebut soal bangsa Romawi, Odaenathus, Vaballathus, atau Sassaniyah;[9] catatan ini memusatkan perhatian pada suku-suku dan hubungan antar mereka, serta dipenuhi dengan legenda.[46] Walaupun catatan sejarah ini tampaknya didasarkan pada kisah Zenobia,[9] terdapat kemungkinan bahwa catatan ini mengacu kepada kisah semi-legenda mengenai sejumlah atau seorang ratu Arab nomaden.[47][46] Sementara itu, Benteng Az-Zabba' kemungkinan adalah Halabiye, sebuah benteng yang pernah dipugar oleh Zenobia dan kemudian dinamai darinya.[9]

Ratu Tadmur

Permaisuri

 
Odaenathus, sebuah patung kepala dari dasawarsa 250-an.

Tadmur adalah sebuah kota yang tunduk kepada Kekaisaran Romawi dan merupakan bagian dari provinsi Syria Phoenice.[48] Pada tahun 260, Kaisar Romawi Valerianus memimpin pasukannya melawan Kaisar Shapur I dari Sassaniyah yang sebelumnya telah menyerang wilayah timur Romawi, tetapi ia mengalami kekalahan dan ditangkap di dekat Edessa.[49] Odaenathus secara resmi setia kepada Romawi dan kaisarnya, Gallienus (anak Valerianus),[50] tetapi ia kemudian dinyatakan sebagai Raja Tadmur.[51] Setelah berhasil memenangkan sejumlah pertempuran melawan Sassaniyah, ia dimahkotai sebagai Raja Diraja Timur pada tahun 263.[52] Odaenathus memahkotai putra sulungnya, Herodianus, sebagai penguasa pendamping.[53] Selain disematkan dengan gelar kerajaan, Odaenathus juga menerima banyak gelar Romawi. Gelar yang paling penting adalah corrector totius orientis (Gubernur Seluruh Timur), dan ia menguasai wilayah Romawi yang terbentang dari pesisir Laut Hitam hingga Palestina.[54] Pada tahun 267, ketika Zenobia masih berumur akhir dua puluhan atau awal tiga puluhan, Odaenathus dan putra sulungnya dibunuh saat mereka sedang kembali dari medan perang.[53]

Inskripsi pertama yang menyebutkan nama Zenobia sebagai ratu dibuat dua atau tiga tahun setelah kematian Odaenathus, sehingga tidak diketahui secara pasti kapan Zenobia mendapatkan gelar "Ratu Tadmur".[55] Kemungkinan ia sudah mendapatkan gelar tersebut saat suaminya menjadi raja.[55] Sebagai permaisuri, Zenobia tetap berada di balik layar dan tidak disebutkan di dalam catatan sejarah.[56] Menurut catatan-catatan sejarah yang disusun belakangan (seperti yang ditulis oleh Giovanni Boccaccio), Zenobia menemani suaminya dalam peperangan.[57] Apabila hal ini benar, menurut Southern, Zenobia kemungkinan telah melejitkan moral pasukan dan mendapatkan modal politik yang kemudian dapat ia manfaatkan.[56]

Dugaan keterlibatan dalam pembunuhan Odaenathus

Menurut Historia Augusta, Odaenathus dibunuh oleh sepupunya yang bernama Maeonius.[58] Dalam biografi tersebut, anak laki-laki Odaenathus dari istri pertamanya diberi nama Herodes dan diangkat sebagai penguasa pendamping oleh ayahnya.[59] Historia Augusta mengklaim bahwa Zenobia sempat bersekongkol dengan Maeonius karena ia tidak mau anak tirinya menjadi penerus Odaenathus.[58] Historia Augusta tidak mengatakan bahwa Zenobia terlibat dalam rentetan peristiwa yang berujung pada pembunuhan suaminya;[60] catatan tersebut malah menyalahkan kebobrokan moral dan kecemburuan Maeonius.[58] Menurut sejarawan Alaric Watson, kisah yang terkandung di dalam Historia Augusta ini dapat dianggap sebagai fiksi.[61] Walaupun beberapa sejarawan modern menduga bahwa Zenobia terlibat dalam peristiwa pembunuhan suaminya untuk memenuhi ambisi politiknya dan juga karena ia menentang kebijakan pro-Romawi suaminya, ia masih melanjutkan kebijakan-kebijakan Odaenathus pada tahun-tahun pertamanya di atas tampuk kekuasaan.[62]

Wali penguasa

 
Vaballathus, anak kandung Zenobia dan penerus Odaenathus (di bagian depan sebuah koin Antoninianus dari tahun 272 M).

Dalam Historia Augusta, Maeonius sempat menjadi kaisar untuk sesaat, tetapi ia lalu dibunuh oleh pasukan-pasukannya.[60] Namun, tidak ada inskripsi ataupun bukti yang menunjukkan bahwa ia memang pernah berkuasa.[63] Pada masa pembunuhan Odaenathus, Zenobia mungkin sedang bersama suaminya; menurut seorang penulis kronik yang bernama Georgios Synkellos, ia dibunuh di dekat Heraclea Pontica di Bitinia.[64] Proses penyerahan kekuasaan tampaknya berlangsung mulus karena Synkellos melaporkan bahwa pembunuhan Odaenathus dan penyerahan mahkota oleh militer kepada Zenobia berlangsung hanya dalam waktu satu hari.[64] Zenobia mungkin sedang berada di Tadmur, tetapi jika hal ini benar, para prajurit kemungkinan malah akan memilih salah satu perwira mereka sebagai raja, sehingga yang lebih mungkin benar adalah Zenobia memang sedang bersama dengan suaminya.[64] Catatan-catatan sejarah sepakat bahwa Zenobia tidak berjuang untuk naik ke tampuk kekuasaan dan tidak ada bukti yang menunjukkan terjadinya keterlambatan penyerahan takhta dari Odaenathus kepada putra Zenobia yang masih berumur sepuluh tahun, Vaballathus.[65] Walaupun Zenobia tidak pernah mengklaim sebagai penguasa mutlak dan hanya bertindak sebagai wali penguasa untuk anaknya,[66] ia adalah orang yang paling berkuasa di pemerintahan.[67] Vaballathus tetap berada di bawah bayang-bayang ibunya dan tidak pernah menjalankan kekuasaan yang sesungguhnya.[68]

Pengukuhan kekuasaan

Monarki Tadmur pada saat itu masih seumur jagung; kesetiaan kepada monarki tersebut pada mulanya bergantung kepada Odaenathus, sehingga penyerahan kekuasaan kepada seorang penerus lebih sulit untuk dilakukan bila dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan yang sudah ada sejak lama.[69] Odaenathus mencoba memastikan agar dinastinya tetap bertahan dengan memahkotai putra sulungnya sebagai penguasa pendamping, tetapi mereka berdua tewas dibunuh.[70] Zenobia berupaya menekankan keberlanjutan dari mendiang suaminya ke penerusnya, yaitu anak kandungnya sendiri.[70] Vaballathus langsung mendapatkan gelar-gelar ayahnya (berkat tindakan Zenobia). Selain itu, inskripsi pertama yang mencatat keberadaan Vaballathus menyebutnya dengan gelar Raja Diraja.[70][65]

 
Wilayah-wilayah Romawi yang berada di bawah kendali Odaenathus (kuning) dan Kerajaan Tadmur (hijau).

Odaenathus mengendalikan banyak wilayah di kawasan Timur Romawi.[ket. 7] Ia memegang kekuasaan politik dan militer tertinggi di wilayah tersebut. Kedudukannya bahkan melebihi para gubernur Romawi.[72][53] Status yang ia ciptakan sendiri diresmikan oleh Kaisar Gallienus,[73] yang tidak memiliki pilihan lain selain merestuinya.[74] Setelah Raja Odaenathus tewas terbunuh, wewenang dan kedudukan penguasa Tadmur perlu diperjelas. Romawi merasa bahwa Odaenathus adalah seorang pejabat Romawi yang memperoleh kekuasaan dari kaisar, sedangkan Tadmur menganggap jabatan Odaenathus dapat diturunkan kepada anaknya. Pertentangan inilah yang menjadi benih perang antara Romawi dengan Tadmur.[75]

Gelar-gelar Romawi yang dimiliki oleh Odaenathus (seperti dux Romanorum, corrector totius orientis, dan imperator totius orientis) berbeda dengan gelar-gelar kerajaan yang ia miliki, karena gelar-gelar Romawi tidak diwariskan secara turun temurun.[76] Vaballathus dapat dengan sah mengklaim gelar-gelar kerajaan. Namun, ia tidak memiliki hak untuk memperoleh gelar-gelar Romawi, terutama untuk gelar corrector (panglima tinggi militer dan provinsial dalam sistem Romawi), yang dipakai oleh Zenobia untuk anaknya di dalam inskripsi-inskripsi pertama Vaballathus yang menyebutkan gelar Raja Diraja.[70] Walaupun para kaisar Romawi mau menerima pewarisan gelar kerajaan, mereka menentang pewarisan pangkat militer Romawi.[77] Kaisar Gallienus mungkin pernah memutuskan untuk melakukan campur tangan;[30] menurut Historia Augusta, praefectus praetorio Aurelius Heraklianus diutus untuk mengembalikan kekuasaan kaisar di wilayah timur, tetapi ia pada akhirnya dikalahkan oleh pasukan Tadmur.[78] Namun, kebenaran kisah ini meragukan karena Heraklianus turut terlibat dalam peristiwa pembunuhan Gallienus pada tahun 268.[79] Odaenathus dibunuh tidak lama sebelum sang kaisar juga mengalami nasib yang sama, dan Heraklianus tidak mungkin sempat dikirim ke Timur, bertarung melawan pasukan Tadmur, dan kemudian kembali ke Barat agar bisa ikut serta dalam peristiwa pembunuhan sang kaisar.[ket. 8][79]

Masa kekuasaan awal
 
Benteng Halabiye yang diganti namanya menjadi "Zenobia" setelah benteng tersebut dipugar atas perintah sang ratu.

Para sejarawan masih memperdebatkan cakupan wilayah yang dikuasai oleh Zenobia; menurut sejarawan Fergus Millar, kekuasaannya hanya terbatas di Tadmur dan Emesa hingga tahun 270.[ket. 9][81] Jika hal ini benar, peristiwa-peristiwa pada tahun 270 (ketika Zenobia menaklukkan Siria dan Mesir) merupakan suatu hal yang luar biasa.[80] Walaupun begitu, kemungkinan sang ratu menguasai wilayah yang pernah dikendalikan oleh mendiang suaminya.[80] Pandangan ini didukung oleh Southern dan juga sejarawan Udo Hartmann,[82] serta diperkuat oleh sumber-sumber kuno (seperti sejarawan Romawi Eutropius, yang menulis bahwa sang ratu mewarisi kekuasaan suaminya).[80] Historia Augusta juga menyatakan bahwa Zenobia mengambil alih kawasan Timur pada masa kekuasaan Kaisar Gallienus.[80][82] Bukti lebih lanjut yang menopang pandangan mengenai wilayah awal Zenobia yang luas disampaikan oleh sejarawan Romawi Timur Zosimos, yang menuliskan bahwa sang ratu memiliki tempat tinggal di Antiokhia.[ket. 10][80]

Tidak ada peristiwa pemberontakan atau perlawanan terhadap sang ratu yang tercatat dalam sumber-sumber kuno, sehingga ia menjadi penguasa Tadmur tanpa menghadapi perlawanan yang berarti.[ket. 11][84] Tokoh-tokoh yang paling mungkin melawan Zenobia adalah para gubernur Romawi, tetapi sumber-sumber sejarah tidak menyebutkan mengenai upaya mereka untuk menjatuhkan Zenobia atau perang yang dikobarkan oleh Zenobia untuk menundukkan mereka.[85] Menurut Hartmann, para gubernur dan panglima di provinsi-provinsi timur mengakui dan mendukung Vaballathus sebagai penerus Odaenathus.[85] Pada masa awal perwalian Zenobia, ia mencurahkan segala upayanya untuk menjaga wilayah perbatasan dengan Persia dan menundukkan Bani Tanukh di Hauran.[86] Untuk melindungi daerah perbatasan tersebut, sang ratu memperkuat pertahanan di banyak permukiman di tepi Sungai Efrat (termasuk benteng Halabiye yang kelak disebut "Zenobia", serta Zalabiye).[87] Terdapat bukti-bukti tidak langsung mengenai konfrontasi dengan Sassaniyah: Vaballathus memperoleh gelar kemenangan Persicus Maximus ("Yang Berjaya di Persia") kemungkinan sekitar tahun 269. Gelar ini mungkin terkait dengan pertempuran melawan pasukan Persia untuk memperebutkan wilayah Mesopotamia utara yang tidak tercatat dalam sejarah.[ket. 12][88][89]

Perluasan wilayah

Pada tahun 269, saat Kaisar Klaudius Gothikus sedang mempertahankan perbatasan wilayah Italia dan Balkan dari serangan suku-suku Jermanik, Zenobia terus memperkuat kekuasaannya; para pejabat Romawi di Timur pun harus memutuskan antara membela kaisar atau Zenobia.[90] Tidak diketahui secara pasti kapan dan mengapa sang ratu mulai memutuskan untuk memakai kekuatan militer untuk memperkuat kekuasaannya.[90] Cendekiawan Gary K. Young menduga bahwa para pejabat Romawi menolak mengakui wewenang Tadmur, sehingga ekspedisi militer yang dilancarkan oleh Zenobia dimaksudkan untuk mempertahankan kekuasaan Tadmur.[91] Faktor lain mungkin adalah kelemahan pemerintah pusat di Roma dan ketidakmampuannya dalam melindungi provinsi-provinsi yang jauh. Hal ini mungkin membuat Zenobia merasa yakin bahwa satu-satunya cara untuk menjaga kestabilan di daerah timur adalah dengan mengendalikannya secara langsung.[91] Sejarawan Jacques Schwartz merasa bahwa tindakan-tindakan Zenobia dilandasi pada keinginannya untuk melindungi kepentingan ekonomi Tadmur yang tengah terancam oleh kegagalan Romawi dalam menjaga provinsi-provinsinya.[92] Selain itu, Schwartz menambahkan bahwa konflik kepentingan dagang tampaknya juga dapat menjelaskan perlawanan Bostra dan Mesir terhadap kekuasaan Tadmur.[93] Bani Tanukh di dekat Bostra dan para pedagang di Aleksandria mungkin pernah mencoba menyingkirkan kekuasaan Tadmur, dan hal ini memicu balasan dari Zenobia.[93]

Siria dan serangan terhadap Arabia Petraea
 
Bostra dihancurkan oleh Tadmur pada tahun 270

Pada musim semi tahun 270, ketika Klaudius sedang bertempur melawan suku Goth di pegunungan Trakia, Zenobia mengutus jenderalnya, Septemius Zabdas, untuk memimpin pasukan ke Bostra (ibu kota provinsi Arabia Petraea);[90] sang ratu sepertinya memang sengaja memanfaatkan kesempatan.[94] Di Arabia, seorang gubernur Romawi (dux) yang bernama Trassus (panglima Legio III Cyrenaica)[ket. 13] mencoba menghalau pasukan Tadmur, tetapi upayanya ini gagal dan ia gugur dalam pertempuran.[90] Zabdas menjarah kota Bostra dan menghancurkan kuil Zeus Hammon, tempat pemujaan legiun tersebut.[90] Inskripsi dalam bahasa Latin yang dibuat setelah kekalahan Zenobia mengisahkan kehancuran kota Bostra:[96] "Kuil Iuppiter Hammon, yang dihancurkan oleh musuh-musuh dari Tadmur,  ... dibangun kembali, dengan sebuah patung perak dan pintu-pintu besi (?)".[97] Kota Umm el-Jimal mungkin juga dihancurkan oleh pasukan Tadmur selama upaya Zenobia untuk menundukkan Bani Tanukh.[96]

Setelah berhasil mengalahkan Bostra, Zabdas bergerak ke arah selatan melalui Lembah Yordania dan tidak menghadapi perlawanan yang berarti.[90] Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa Petra pernah diserang oleh sebuah kontingen kecil yang memasuki daerah tersebut.[98] Arabia dan Yudea pada akhirnya tunduk kepada Zenobia.[98] Dominasi Tadmur terhadap Arabia dipastikan dengan adanya banyak batu penanda jarak yang mencantumkan nama Vaballathus.[95] Upaya untuk menundukkan wilayah Siria tidaklah sulit karena Zenobia sudah memiliki banyak pendukung di daerah tersebut, khususnya di Antiokhia,[99] ibu kota tradisional Siria.[83] Peristiwa serangan terhadap Arabia berbarengan dengan penghentian produksi koin atas nama Klaudius di tempat pencetakan koin di Antiokhia, dan hal ini menyiratkan bahwa Zenobia mulai memperkuat kendalinya di Siria.[99] Pada November 270, tempat percetakan ini mulai mengeluarkan koin atas nama Vaballathus.[100]

Batu-batu penanda jarak dari Arabia menyebut Raja Tadmur sebagai gubernur dan panglima Romawi dengan gelar vir clarissimus rex consul imperator dux Romanorum.[95] Pengambilan gelar tersebut mungkin dimaksudkan untuk melegitimasi kekuasaan Zenobia di provinsi tersebut, dan belum menjadi upaya untuk merampas gelar kekaisaran.[101] Hingga saat itu, Zenobia dapat mengatakan bahwa ia bertindak sebagai perwakilan sang kaisar (yang ingin mengamankan wilayah timur kekaisaran), sementara Kaisar Romawi sedang sibuk di benua Eropa.[102] Walaupun gelar Vaballathus terkesan seperti klaim atas takhta kekaisaran, Zenobia masih dapat membenarkan hal tersebut dan membuat seolah-olah Tadmur masih tunduk kepada Romawi;[76] "imperator" di sini mengacu kepada panglima pasukan, bukan gelar kaisar ("imperator caesar").[101]

Penaklukan Mesir dan perang di Asia Kecil

Muncul dugaan bahwa Zenobia menyerang Mesir untuk mengamankan jalur dagang alternatif ke Sungai Efrat yang sempat terputus akibat perang melawan Persia.[103] Namun, dugaan ini mengabaikan fakta bahwa hanya sebagian jalur dagang Sungai Efrat yang terganggu, dan dugaan ini juga mengabaikan ambisi Zenobia.[98] Tidak diketahui secara pasti kapan serangan ini berlangsung; Zosimos memperkirakan bahwa serangan Tadmur ke Mesir dimulai seusai Pertempuran Naissus dan sebelum kematian Kaisar Klaudius, yang berarti serangan ini terjadi pada musim panas tahun 270.[104] Watson memeriksa karya Zonaras dan Synkellos sembari mengabaikan catatan Zosimos. Dari hasil penyelidikan ini, ia memperkirakan serangan ini terjadi pada Oktober 270 (setelah kematian Klaudius).[105] Menurut Watson, Zenobia menaklukkan Mesir untuk memanfaatkan keadaan setelah mendengar kabar meninggalnya Kaisar Klaudius pada bulan Agustus.[98][106] Kemunculan pasukan Tadmur di perbatasan timur Mesir kemungkinan menjadi salah satu pemicu kerusuhan di provinsi tersebut; Zenobia memiliki pendukung dan juga musuh di kalangan orang Mesir.[98]

 
Tadmur pada puncak kejayaannya pada tahun 271.

Kedudukan Romawi semakin diperparah oleh ketidakhadiran praefectus praetorio Mesir, Tenagino Probus, karena ia tengah disibukkan dengan pertempuran melawan bajak laut.[98][104] Menurut Zosimos, pasukan Tadmur dibantu oleh seorang jenderal Mesir yang bernama Timagenes; Zabdas bergerak ke Mesir dengan 70.000 prajurit dan berhasil mengalahkan 50.000 serdadu Romawi.[106][94] Setelah itu, Tadmur menarik pasukan utama mereka dan meninggalkan garnisun yang terdiri dari 5.000 prajurit.[94] Pada awal November,[98] Tenagino Probus kembali ke Mesir dan mengumpulkan sebuah pasukan; ia kemudian berhasil merebut kembali Aleksandria, sehingga Zabdas harus kembali ke Mesir.[94] Sang jenderal Tadmur melancarkan serangan ke Aleksandria, dan ia tampaknya mendapatkan dukungan dari rakyat; kota tersebut lalu jatuh ke tangan Zabdas, dan Tenagino Probus melarikan diri ke selatan.[98] Pertempuran terakhir berlangsung di Benteng Babilon, dan Tenagino Probus sendiri tengah mengungsi di benteng tersebut. Dalam pertempuran ini, Romawi sebenarnya lebih unggul karena mereka sudah memilih lokasi perkemahan mereka dengan baik.[99] Namun, Timagenes sudah mengenal medan di Mesir, dan pasukannya menyergap sisi belakang Romawi. Tenagino Probus lalu bunuh diri dan Mesir jatuh ke tangan Tadmur.[99] Dalam Historia Augusta, suku Blemmyae menjadi salah satu sekutu Zenobia,[107] dan Gary K. Young menyebut serangan Blemmyae serta pendudukan Koptos pada tahun 268 sebagai bukti bahwa Blemmyae bersekutu dengan Tadmur.[108]

Hanya Zosimos yang menyebutkan terjadinya dua serangan, tetapi kebanyakan ahli menolak pernyataan ini.[94] Selama kampanye militer di Mesir, Romawi sedang disibukkan oleh konflik perebutan takhta antara Quintillus dan Aurelianus.[100] Papirus-papirus dan koin-koin Mesir memastikan bahwa Tadmur memang pernah berkuasa di wilayah tersebut. Dari September hingga November 270, papirus-papirus tidak lagi mencantumkan tahun berkuasanya kaisar-kaisar akibat krisis perebutan takhta yang sedang terjadi.[100] Pada bulan Desember, penanggalan berdasarkan tahun kekuasaan kaisar dilanjutkan dengan menggunakan tahun kekuasaan Kaisar Aurelianus dan anak Zenobia, Vaballathus.[100] Koin-koin Mesir dicetak atas nama Aurelianus dan Raja Tadmur pada November 270.[100] Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Zenobia pernah mengunjungi Mesir.[109]

Sementara itu, untuk wilayah Asia Kecil, walaupun operasi militer mungkin sudah pernah dilancarkan oleh bawahan Zabdas yang bernama Septimius Zabbai, serangan ke wilayah tersebut baru benar-benar dimulai setelah Zabdas dan pasukannya tiba di kawasan tersebut pada musim semi tahun 271.[110] Pasukan Tadmur berhasil merebut Galatia, dan menurut Zosimos mereka juga berhasil mencapai kota Ankira.[40] Provinsi Bitinia dan tempat percetakan koinnya di Kizikos masih tetap setia kepada Zenobia, sementara upayanya untuk menundukkan Kalsedon gagal.[110] Perang di Asia Kecil tidak tercatat dengan baik dalam sejarah, tetapi bagian barat kawasan tersebut tidak pernah dikuasai oleh Zenobia;[40][111] tidak pernah ada koin dengan gambar Zenobia atau Vaballathus yang dicetak di Asia Kecil, dan juga tidak ada inskripsi kerajaan Tadmur yang telah ditemukan.[111] Pada Agustus 271, Zabdas sudah kembali ke Tadmur, dan Kekaisaran Tadmur mencapai puncak kejayaannya.[110]

Kekuasaan

Zenobia menguasai wilayah luas yang terdiri dari beraneka ragam suku bangsa; sebagai orang Tadmur, ia terbiasa dengan bahasa dan budaya yang berbeda-beda. Di wilayah yang dipimpinnya, rakyatnya juga dapat menyembah dewa-dewi dari kebudayaan lain.[112] Kerajaan sang ratu secara budaya terbagi menjadi dua kawasan, yaitu kawasan Semit di timur dan kawasan Helenistik. Zenobia mencoba memuaskan keduanya, dan tampaknya ia cukup berhasil mendapatkan dukungan dari berbagai kelompok etnis, budaya, dan politik di wilayahnya.[113] Sang ratu menunjukkan citra seorang penguasa monarki Siria, seorang ratu Helenistik, dan seorang maharani Romawi, sehingga banyak yang bersedia mendukungnya.[114]

Budaya
 
Kolosus Memnon di sebelah kanan gambar ini kemungkinan dipugar oleh Zenobia.

Zenobia mengubah istananya menjadi pusat pembelajaran. Selain itu, dilaporkan terdapat banyak filsuf sofis (filsuf yang hidup sezaman dengan Sokrates) dan cendekiawan di Tadmur pada masa kekuasaannya.[115] Seiring dengan kedatangan para cendekiawan ke kota tersebut, Tadmur mulai menggantikan peran Athena sebagai pusat pembelajaran klasik untuk orang Siria.[115] Filsuf istana yang paling dikenal pada masa itu adalah Longinus,[116] yang datang pada masa kekuasaan Odaenathus dan menjadi guru Zenobia dalam hal paideia (pendidikan ningrat).[117][115] Banyak sejarawan (termasuk Zosimos) yang menuduh Longinus sebagai dalang yang menghasut sang ratu untuk melawan Romawi.[118][117] Pandangan ini menggambarkan sang ratu sebagai sosok yang mudah dipengaruhi,[117] tetapi menurut Southern, tindakan-tindakan Zenobia tidak bisa sepenuhnya dikaitkan dengan Longinus.[34] Sementara itu, cendekiawan-cendekiawan lain yang memiliki hubungan dengan istana Zenobia adalah Nikostratus dari Trapezus dan Kalinikos dari Petra.[119]

Dari abad kedua hingga keempat, para cendekiawan Siria berpendapat bahwa budaya Yunani tidak lahir di Yunani, tetapi diambil dari wilayah Timur Dekat.[119] Menurut Iamblikos, para filsuf besar dari Yunani mengambil gagasan-gagasan dari Timur Dekat dan Mesir.[120] Istana Zenobia kemungkinan didominasi oleh orang-orang dengan pemikiran semacam ini. Narasi intelektual mereka menyajikan dinasti Tadmur sebagai "dinasti kekaisaran Romawi" yang "menggantikan" para penguasa Persia, Seleukia, dan Ptolemaios di kawasan yang konon menjadi "tempat asal budaya Helenistik".[120] Nikostratus membuat tulisan mengenai sejarah Kekaisaran Romawi dari masa Filipus si Arab hingga Odaenathus. Ia juga menggambarkan Odaenathus sebagai "pewaris kekaisaran yang sah" dan membandingkan keberhasilannya dengan masa-masa kekuasaan kaisar lain yang dianggap kacau.[119]

Zenobia melancarkan sejumlah proyek pemugaran di Mesir.[121] Pada zaman kuno, setelah terjadinya gempa bumi pada tahun 27 SM, salah satu patung Kolosus Memnon dilaporkan bisa bernyanyi; suaranya mungkin dihasilkan oleh retakan yang dipicu oleh gempa, karena sinar matahari bereaksi dengan embun di retakan-retakannya.[122] Sejarawan Glen Bowersock menyatakan bahwa sang ratu pernah memugar patung tersebut, sehingga membuatnya "bungkam". Hal ini sesuai dengan pengamatan bahwa catatan-catatan sejarah dari abad ketiga masih menyebutkan soal patung bernyanyi, sementara catatan sejarah pada abad keempat sudah tidak lagi membahasnya.[123]

Agama
 
Dewa-dewa terpenting di Tadmur (kanan ke kiri): Bel, Yarhibol, Aglibol, dan Baalshamin

Zenobia menganut paganisme Tadmur[124] yang memuja sejumlah dewa-dewa Semit, dengan Bel sebagai dewa tertinggi.[125] Zenobia mau menerima orang-orang Kristen dan Yahudi,[112] dan sumber-sumber kuno sendiri membuat banyak klaim mengenai kepercayaan sang ratu;[37] sumber-sumber Maniisme menyatakan bahwa Zenobia menganut agama mereka.[126] Namun demikian, kemungkinan Zenobia memang menoleransi semua kepercayaan untuk mendapatkan dukungan dari kelompok yang dipinggirkan oleh Romawi.[37]

Uskup Athanasios dari Aleksandria menulis bahwa Zenobia tidak "menyerahkan gereja kepada orang Yahudi untuk dijadikan sinagoge";[127] walaupun sang ratu tidak memeluk agama Kristen, ia dapat memahami kekuasaan para uskup di kalangan jemaat.[128] Di Antiokhia (kota yang memiliki komunitas Kristen yang besar), Zenobia dapat mengendalikan gereja dengan menaungi imam-imam terkemuka, kemungkinan juga termasuk Paulos dari Samosata.[128] Ia mungkin pernah memberikan pangkat ducenarius (hakim kecil) kepada Paulos. Paulos sendiri tampaknya juga dilindungi oleh sang ratu, dan Zenobia mungkin telah membantunya mempertahankan gereja keuskupannya setelah ia dicopot dari jabatannya sebagai Uskup Antiokhia oleh sinode uskup-uskup pada tahun 268.[ket. 14][132]

Yudaisme

Dalam waktu kurang dari seratus tahun setelah masa kekuasaan Zenobia, Athanasios dari Aleksandria menyebutnya sebagai seorang "Yahudi" di dalam buku Sejarah Orang Arian. Pernyataan senada dikeluarkan oleh Uskup Agung Ioannes Krisostomus pada tahun 391, seorang penulis kronik Kristen Siria dari sekitar tahun 664, dan Uskup Bar Hebraeus pada abad ke-13.[127] Menurut cendekiawan Prancis Javier Teixidor, Zenobia kemungkinan adalah seorang proselit (orang bukan Yahudi yang masuk agama Yahudi); hal ini dapat menjelaskan hubungannya yang buruk dengan para rabbi. Teixidor meyakini bahwa Zenobia mulai tertarik dengan Yudaisme ketika Longinus sedang berbicara tentang filsuf Porfirius dan ketertarikan filsuf tersebut dengan Perjanjian Lama.[133] Walaupun sumber-sumber Talmud tidak menerangkan Tadmur dalam konteks yang positif karena Odaenathus menindas orang Yahudi Nehardea,[134] Zenobia tampaknya mendapatkan dukungan dari beberapa komunitas Yahudi (terutama di Aleksandria).[110] Di Kairo,[135] telah ditemukan sebuah lempengan yang mengandung inskripsi yang memastikan pemberian kekebalan oleh Raja Ptolemaios Euergetes (I atau II) kepada sebuah sinagoge Yahudi pada perempat terakhir milenium pertama SM.[135] Belakangan, inskripsi di lempengan ini ditulis lagi untuk mengenang pengembalian status kekebalan "atas perintah ratu dan raja".[121][135] Walaupun tanggalnya tidak dicantumkan, huruf-huruf di inskripsi ini berasal dari masa sesudah Kleopatra dan Antonius, dan satu-satunya sosok "ratu dan raja" yang menguasai Mesir setelah Wangsa Ptolemaios adalah Zenobia dan anaknya.[121][136]

Sejarawan E. Mary Smallwood menulis bahwa meskipun Zenobia berhubungan baik dengan komunitas diaspora Yahudi, bukan berarti orang Yahudi Palestina puas dengan Zenobia, dan tampaknya kekuasaan sang ratu ditentang di kawasan tersebut.[134] Terumot menceritakan kisah Rabbi "Ammi" dan Rabbi "Samuel bar Nahmani" yang mengunjungi istana Zenobia dan meminta pembebasan seorang Yahudi ("Zeir bar Hinena") yang ditahan atas perintah Zenobia.[137] Sang ratu menolaknya dan berkata: "Mengapa kalian datang untuk menyelamatkannya? Ia mengajarkan bahwa pencipta kalian melakukan mukjizat untuk kalian. Mengapa tidak biarkan Tuhan menyelamatkannya?"[138] Saat Tadmur dihancurkan oleh pasukan Kaisar Aurelianus, pasukan dari Palestina dengan "gada dan tongkat" berperan penting dalam mengalahkan Zenobia, dan mungkin pasukan ini adalah orang Yahudi.[139]

Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Zenobia terlahir sebagai seorang Yahudi; nama keluarganya dan keluarga suaminya merupakan nama Aram.[133] Dukungan yang diberikan oleh sang ratu kepada Paulos dari Samosata (yang dituduh melakukan "Yahudinisasi")[134] mungkin telah memunculkan dugaan bahwa ia adalah seorang proselit.[37] Hanya sumber-sumber Kristen yang menyebutkan keyahudian Zenobia, dan tidak ada sumber Yahudi yang membuat pernyataan semacam itu.[140]

Pemerintahan

Zenobia kemungkinan menghabiskan sebagian besar waktunya di Antiokhia,[109] ibu kota administratif Siria.[83] Sebelum menjadi monarki, Tadmur memiliki lembaga seperti sebuah kota Yunani (polis) dan dikuasai oleh sebuah senat yang mengatur sebagian besar urusan sipil.[141][142] Odaenathus tetap mempertahankan lembaga-lembaga Tadmur, dan begitu pula dengan Zenobia;[143] sebuah inskripsi Tadmur yang dibuat setelah kekalahan Zenobia mencatat nama Septimius Haddudan, seorang senator Tadmur.[144] Namun, sang ratu tampaknya berkuasa secara autokratik; Septimius Worod, salah satu pejabat paling penting di Tadmur pada masa kekuasaan Odaenathus, menghilang ditelan sejarah setelah Zenobia naik takhta.[145] Sang ratu membuka pintu bagi para bangsawan Timur untuk bergabung dengan pemerintahannya.[112] Penasihat dan punggawa terpenting di istana Zenobia adalah jenderal-jenderalnya, Septemius Zabdas dan Septimius Zabbai;[116] keduanya pernah menjadi jenderal pada masa Odaenathus dan mendapatkan gentilicium "Septimius" darinya.[146]

Odaenathus menghormati hak istimewa kaisar Romawi dalam mengangkat gubernur-gubernur di tingkat provinsi,[147] dan Zenobia meneruskan kebijakan ini pada awal masa kekuasaannya.[148] Walaupun sang ratu tidak turut campur dalam urusan pemerintahan sehari-hari, ia tampaknya memiliki kekuasaan untuk memerintah para gubernur dalam menjaga keamanan di perbatasan.[149] Pada saat Zenobia memberontak melawan Romawi, ia tetap mempertahankan bentuk pemerintahan Romawi,[40] tetapi ia sendirilah yang mengangkat gubernur (khususnya di Mesir,[150] contohnya adalah Yulius Marcellinus yang mulai menjabat pada tahun 270 dan kemudian digantikan oleh Statilius Ammianus pada tahun 271).[ket. 15][149]

Perjanjian dengan Romawi
 
Koin Antoninianus Tadmur yang dicetak di Antiokhia pada tahun 271 M. Koin ini menunjukkan Aurelianus (kiri) sebagai kaisar dan Vaballathus sebagai raja.

Pada mulanya, gelar-gelar yang diambil oleh Zenobia untuk dirinya serta anaknya menunjukkan bahwa ia adalah bawahan Romawi dan pelindung perbatasan timur (gelar semacam ini sendiri juga diwarisi dari Odaenathus).[86] Seiring dengan meluasnya wilayah Tadmur, ia tampaknya berusaha agar ia diakui sebagai mitra kekaisaran di wilayah timur, meskipun ia masih mencitrakan anaknya sebagai sosok yang tunduk kepada kaisar.[152][102][153] Pada akhir tahun 270, koin-koin yang dicetak memiliki gambar Aurelianus dan Vaballathus; Aurelianus diberi gelar "kaisar", sementara Vaballathus hanya "raja".[152] Tahun kekuasaan dalam sampel-sampel koin awal sendiri hanya menyebutkan tahun kekuasaan Aurelianus.[152] Namun demikian, pada Maret 271,[154] koin-koin cetakan Tadmur juga mulai menyebut tahun kekuasaan Vaballathus, walaupun Aurelianus masih digambarkan sebagai penguasa tertinggi karena ia disebutkan terlebih dahulu di dalam penanggalannya.[155] Dengan menyebutkan bahwa masa kekuasaan Vaballathus diawali pada tahun 267 (tiga tahun sebelum Aurelianus mulai berkuasa), Vaballathus seolah menjadi rekan senior Aurelianus.[155]

Masih diperdebatkan apakah Kaisar Romawi menerima kekuasaan Tadmur;[153] kemungkinan bahwa Aurelianus merestui kekuasaan Tadmur di Mesir dapat diasumsikan dari papirus-papirus Oksirinkos yang menyebutkan tahun kekuasaan Aurelianus dan Vaballathus.[152][156] Tidak ada bukti yang menunjukkan keberadaan sebuah perjanjian resmi, dan dugaan mengenai restu Aurelianus hanya dapat ditopang dengan memeriksa penanggalan dalam koin dan papirus.[153] Aurelianus kemungkinan besar tidak mau menerima tatanan semacam ini,[152] tetapi ia tidak mampu mengambil tindakan pada tahun 271 akibat kemelut yang sedang terjadi di wilayah barat.[153][152] Terdapat kemungkinan bahwa ia berpura-pura merestui tindakan Zenobia sementara ia sedang bersiap-siap untuk melancarkan perang melawan Tadmur.[153][152] Alasan lain yang mungkin mendasari restu Aurelianus adalah keinginannya untuk memastikan agar Romawi dapat terus memperoleh pasokan gandum dari Mesir;[157] pada masa ini, pasokan gandum masih tetap dikirim, dan kapal-kapal berlayar ke Roma pada tahun 270 seperti biasanya.[150] Sementara itu, beberapa ahli modern (seperti Harold Mattingly) mengusulkan bahwa Klaudius Gothikus pernah meresmikan sebuah perjanjian dengan Zenobia, dan perjanjian ini kemudian diabaikan oleh Aurelianus.[38]

Menjadi Maharani dan menantang Romawi

 
Koin Zenobia sebagai maharani dengan dewi Juno di bagian belakangnya, 272 M.

Terdapat sebuah inskripsi yang ditemukan di Tadmur dari Agustus 271 yang menyebut Zenobia dengan gelar eusebes (yang saleh);[154] pengambilan gelar yang hanya dipakai oleh maharani Romawi ini dapat dianggap sebagai bagian dari upaya Zenobia untuk memperoleh gelar kekaisaran.[158] Inskripsi lain yang sezaman menyebutnya sebaste, yang merupakan padanan "maharani" dalam bahasa Yunani (Latin: Augusta), tetapi inskripsi ini juga mengakui kaisar Romawi.[158] Satu tanda terima gandum dari akhir tahun 271 bahkan menyamakan Aurelianus dengan Vaballathus, dan menyebut mereka berdua Augusti.[158] Pada akhirnya, Tadmur secara resmi memisahkan diri dari Romawi;[159] tempat percetakan koin di Aleksandria dan Antiokhia tidak lagi memasukkan gambar Aurelianus pada koin-koin sejak April 272 dan mengeluarkan koin-koin tetradrakhma baru atas nama Vaballathus (disebut Augustus) serta Zenobia (disebut Augusta).[158]

Pengambilan gelar kekaisaran oleh Zenobia merupakan lambang pemberontakan melawan Aurelianus sekaligus kemerdekaan dari Romawi.[160] Rentetan peristiwa yang terjadi dan alasan Zenobia menyatakan dirinya sebagai maharani masih belum jelas.[161] Pada paruh kedua tahun 271,[162] Aurelianus dan pasukannya bergerak ke arah timur, tetapi mereka terhambat oleh suku-suku Goth di Balkan;[160] kejadian ini mungkin membuat panik sang ratu yang kemudian mengklaim gelar kekaisaran.[161] Zenobia juga mungkin sadar bahwa konflik dengan Aurelianus sudah tak terhindarkan lagi; pengambilan gelar kekaisaran oleh Zenobia dapat dimanfaatkan untuk mengerahkan pasukan untuk membelanya.[163] Kampanye militer yang dilancarkan oleh Aurelianus mungkin menjadi faktor utama yang memicu pengumandangan Tadmur sebagai kekaisaran dan penghapusan gambar Aurelianus dari koin-koin Tadmur.[158][92]

Kejatuhan

 
Peta yang menunjukkan jalur pergerakan pasukan Aurelianus.

Perebutan kuasa oleh Zenobia (yang dimulai pada akhir Maret atau awal April 272) berakhir pada bulan Agustus.[164] Aurelianus melewati musim dinginnya pada tahun 271–272 di Bizantium.[165] Kemungkinan pasukannya menyeberangi Selat Bosporus dan memasuki Asia Kecil pada April 272.[166] Galatia jatuh dengan mudah, sementara ibu kota provinsi di Ankira dapat direbut kembali oleh Aurelianus tanpa menghadapi perlawanan.[167] Semua kota di Asia Kecil membuka pintu gerbangnya untuk pasukan Aurelianus, dan hanya Tiana yang melawan hingga akhirnya kota tersebut juga menyerah. Dengan ini, pasukan Aurelianus dapat menyerbu wilayah Siria yang merupakan wilayah utama Tadmur.[168] Pada saat yang sama, ada juga pasukan Romawi yang dikirim ke Mesir pada Mei 272. Pada awal bulan Juni, Aleksandria direbut kembali oleh Romawi, dan wilayah Mesir lainnya juga jatuh pada minggu ketiga bulan Juni.[167] Zenobia tampaknya telah menarik sebagian besar pasukannya dari Mesir untuk memperkuat pertahanan di Siria, karena jika wilayah Siria jatuh, maka Kekaisaran Tadmur juga akan bubar.[166]

Pada Mei 272, Aurelianus dan pasukannya bergerak menuju Antiokhia.[169] Sekitar 40 km di sebelah utara kota tersebut, ia berhasil mengalahkan pasukan Tadmur (yang dipimpin oleh Zabdas) dalam Pertempuran Immae.[169][170] Akibatnya, Zenobia (yang menunggu di Antiokhia selama pertempuran ini) mundur bersama dengan pasukannya ke Emesa.[171] Untuk menyembunyikan kekalahan ini dan memastikan bahwa ia dapat mundur dengan aman, ia menyebarkan laporan bahwa Aurelianus telah tertangkap; Zabdas menemukan seorang lelaki yang mirip dengan sang kaisar Romawi dan mengaraknya di Antiokhia.[172] Pada hari berikutnya, Aurelianus memasuki kota tersebut, sebelum kemudian bergerak ke selatan bersama pasukannya.[171] Setelah mengalahkan sebuah garnisun Tadmur di sebelah selatan Antiokhia, Aurelianus dan pasukannya meneruskan pergerakan hingga akhirnya mereka berhadapan dengan Zenobia beserta pasukannya dalam Pertempuran Emesa.[173]

Pasukan Tadmur yang terdiri dari 70.000 serdadu berkumpul di dataran Emesa, dan mereka hampir berhasil menghalau pasukan Romawi. Namun, akibat gairah kemenangan, mereka mempercepat pergerakan pasukan mereka ke depan, tetapi tindakan ini malah mengacaukan barisan mereka dan memberi ruang bagi infanteri Romawi untuk mengapit mereka.[173] Zenobia lalu mundur ke Tadmur sesuai dengan nasihat dewan perangnya, dan ia terpaksa meninggalkan perbendaharaannya.[174] Di Tadmur, Zenobia bersiap-siap menghadapi kepungan;[175] Aurelianus memblokade jalur-jalur pasokan makanan,[176] dan mungkin pada saat ini telah dilakukan upaya perundingan yang sia-sia. Menurut Historia Augusta, Zenobia berkata bahwa ia akan melawan Aurelianus dengan bantuan dari Persia; namun, kisah ini mungkin dikarang dan dimanfaatkan oleh kaisar untuk menghubung-hubungkan Zenobia dengan musuh bebuyutan Romawi. Jika persekutuan semacam ini memang pernah dibentuk, perang perbatasan dengan cakupan yang lebih luas seharusnya sudah terjadi; akan tetapi, Persia sama sekali tidak mengirim pasukan untuk membantu Zenobia.[177] Seiring dengan memburuknya keadaan, Zenobia meninggalkan kota Tadmur dan berangkat ke Persia untuk meminta bantuan; menurut Zosimos, ia naik "seekor unta betina, yang tercepat dari yang sejenis dan lebih cepat dari kuda manapun".[174][178]

Penangkapan dan nasib

 
Villa Hadrianus; Zenobia konon menghabiskan sisa waktunya di dunia di sebuah villa di Tibur.

Sesudah mendengar kabar mengenai keberangkatan Zenobia, Aurelianus mengirim sebuah kontingen pasukan yang kemudian berhasil menangkap sang ratu sebelum ia dapat menyeberangi Sungai Efrat;[178] Tadmur menyerah kepada Romawi setelah kabar penangkapan Zenobia mencapai kota tersebut pada Agustus 272.[ket. 16][180][144] Aurelianus mengirim Zenobia dan anaknya ke Emesa untuk diadili. Pengadilan ini diikuti oleh sebagian besar elit di istana Tadmur (termasuk Longinus). Menurut Historia Augusta dan Zosimos, Zenobia menyalahkan para penasihatnya; namun, tidak ada sumber sezaman yang mendeskripsikan pengadilan yang digelar untuk Zenobia, dan yang ada hanya sumber-sumber Romawi dari zaman berikutnya yang tidak menyukai Zenobia. Laporan bahwa sang ratu adalah seorang pengecut tampaknya merupakan hasil propaganda Aurelianus; sang kaisar akan diuntungkan jika Zenobia dikenal sebagai sosok yang egois dan licik agar orang Tadmur tidak menganggapnya sebagai pahlawan.[181] Walaupun Aurelianus menghukum mati sebagian besar tawanannya, ia mengampuni Zenobia dan putranya agar ia dapat mengarak sang ratu dalam pawai kemenangannya.[182]

Nasib Zenobia setelah pengadilan di Emesa tidak diketahui secara pasti, karena para sejarawan meninggalkan catatan-catatan sejarah yang saling bertentangan. Zosimos menulis bahwa ia meninggal dunia sebelum sempat menyeberangi Selat Bosporus dalam perjalanan menuju Roma; menurut kisah ini, Zenobia jatuh sakit atau membiarkan dirinya kelaparan hingga akhirnya meninggal.[183] Ioannes Malalas (seorang penulis kronik yang biasanya tidak terandalkan)[184] menulis bahwa Aurelianus mempermalukan Zenobia dengan mengaraknya di kota-kota di timur di atas seekor unta; di Antiokhia, sang kaisar memerintahkan agar Zenobia dirantai dan didudukkan di atas sebuah mimbar di hipodrom selama tiga hari agar dapat disaksikan oleh penduduk kota.[183][185] Malalas lalu menutup kisah ini dengan mengatakan bahwa Zenobia diarak dalam pawai kemenangan Aurelianus dan lalu dipenggal.[186]

Kebanyakan sejarawan kuno dan modern sepakat bahwa Zenobia diarak dalam pawai kemenangan Aurelianus pada tahun 274;[186] Zosimos merupakan satu-satunya sejarawan yang mengatakan bahwa sang ratu meninggal dunia sebelum sempat dibawa ke Roma, sehingga catatan sejarahnya telah menimbulkan keraguan.[187] Mungkin saja Zenobia dipermalukan seperti yang dikisahkan oleh Malalas, karena Aurelianus kemungkinan ingin menunjukkan bahwa ia berhasil memadamkan pemberontakan Tadmur.[183] Namun, hanya Malalas yang menyebutkan bahwa Zenobia akhirnya dipenggal; menurut sejarawan-sejarawan yang lain, nyawanya diampuni setelah diarak dalam parade kemenangan Aurelianus.[186] Historia Augusta mencatat bahwa Aurelianus memberikan kepada Zenobia sebuah villa di Tibur di dekat Villa Hadrianus, dan di situ Zenobia tinggal bersama dengan anak-anaknya.[188][189] Zonaras menulis bahwa Zenobia menikahi seorang bangsawan,[190] dan Synkellos mengatakan bahwa ia menikahi seorang senator Romawi.[188] Rumah yang konon ditinggalinya menjadi tempat wisata di Roma.[191]

Gelar

 
Kepingan timbal yang menyebut Zenobia sebagai ratu, berasal dari sekitaran tahun 268.

Sang ratu bisa naik ke puncak kekuasaan karena anaknya masih kecil.[192] Inskripsi yang ditemukan di sebuah batu penanda jarak di antara Tadmur dan Emesa dari awal masa kekuasaan Zenobia[193] menyebut dirinya "ratu termasyhur, ibu dari raja diraja";[30] ini adalah inskripsi pertama yang memberinya sebuah gelar resmi.[194] Sebuah kepingan timbal dari Antiokhia juga menyebutkan Zenobia sebagai seorang ratu.[ket. 17][198][197]

Peninggalan pertama yang menyebutkan Zenobia sebagai ratu di Tadmur adalah sebuah inskripsi di landasan sebuah patung yang didirikan untuknya oleh Zabdas dan Zabbai. Inskripsi ini berasal dari Agustus 271 dan menyebutnya "ratu termasyhur dan tersaleh".[194][199] Di sebuah batu penanda jarak yang tidak bertanggal di dekat Biblos, Zenobia diberi gelar Sebaste.[161] Sang ratu tidak pernah diakui sebagai satu-satunya penguasa monarki di Tadmur, walaupun secara de facto ia adalah penguasa tertinggi di kekaisaran; namanya selalu dikaitkan dengan suami atau anaknya kecuali di Mesir (karena di situ terdapat sejumlah koin yang dicetak atas nama Zenobia saja).[67] Berdasarkan hasil penyelidikan terhadap koin-koin Zenobia, ia mengambil gelar Augusta pada tahun 272,[158] dan berkuasa dengan nama Septimia Zenobia Augusta.[200]

Keturunan

 
Septimius Herodianus, mungkin orang yang sama dengan Hairan II, yang bisa jadi adalah anak Zenobia.

Zenobia juga memiliki anak lain selain Vaballathus. Gambar seorang anak yang bernama Hairan (II) dapat dilihat bersama dengan Vaballathus dalam sebuah cap timbal; nama ibu mereka dan tanggal pembuatan tidak terukir di cap tersebut.[201] Udo Hartmann berpendapat bahwa Herodianus sama dengan Hairan I, anak Odaenathus yang muncul di inskripsi-inskripsi Tadmur paling tidak dari tahun 251.[202] Di sisi lain, David S. Potter meyakini bahwa Hairan II adalah anak Zenobia. Ia juga menambahkan bahwa Herodianus sama dengan Hairan II dan bukan Hairan I.[203] Sementara itu, hanya Historia Augusta yang menyebutkan nama Herennianus dan Timolaus sebagai anak-anak Zenobia.[204] Herennianus mungkin merupakan penggabungan nama Hairan dan Herodianus, sementara nama Timolaus bisa jadi hanya karangan,[61] walaupun sejarawan Dietmar Kienast mengusulkan bahwa Timolaus mungkin adalah Vaballathus.[205]

Inskripsi Tadmur yang kontroversial menyebut ibu dari Raja Septimius Antiokhus; nama sang ratu tidak disebutkan di situ, dan Dittenberger menolak untuk mengisi bagian yang hilang dengan nama Zenobia, tetapi banyak ahli (seperti Grace Macurdy) yang merasa bahwa nama yang hilang tersebut adalah nama Zenobia.[200] Septimius Antiokhus mungkin adalah adik Vaballathus, atau mungkin ia digambarkan seperti ini atas dasar politik; Antiokhus dinyatakan sebagai kaisar pada tahun 273 ketika Tadmur memberontak untuk yang kedua kalinya melawan Romawi.[206] Jika Antiokhus memang adalah anak Zenobia, ia mungkin bukan keturunan Odaenathus; Zosimos mendeskripsikannya sebagai bocah berumur lima tahun yang tidak penting.[207] Di sisi lain, Macurdy menyelidiki bahasa yang digunakan oleh Zosimos ketika mendeskripsikan Antiokhus dan berkesimpulan bahwa kemungkinan Antiokhus bukan anak Zenobia, tetapi hubungan keluarga yang mungkin ada dipakai untuk melegitimasi kekuasaan Antiokhus.[200]

Menurut Historia Augusta, keturunan Zenobia menjadi bangsawan Romawi pada masa Kaisar Valens (berkuasa 364–375).[208] Eutropius dan Hieronimus menilik keturunan Zenobia di Roma pada abad keempat dan kelima.[191][189] Upaya ini mungkin dipicu oleh kabar bahwa Zenobia menikah dengan orang Romawi atau kisah mengenai anak Zenobia yang menemaninya dari Tadmur; namun, kebenaran kedua hipotesis ini masih belum pasti.[209] Zonaras adalah satu-satunya sejarawan yang mencatat bahwa Zenobia punya anak perempuan;[209] ia menulis bahwa salah satunya menikahi Aurelianus, dan sang kaisar juga menikahkan putri-putri Zenobia yang lain kepada orang-orang besar di Romawi.[190] Menurut Southern, kabar mengenai pernikahan Aurelianus dengan putri Zenobia merupakan karangan belaka.[188] Sementara itu, sehubungan dengan klaim keturunan, keluarga bankir Girolami mengaku sebagai keturunan Santo Zenobius dari Firenze dari abad keempat,[210] dan klaim hubungan ini pertama kali tercatat pada tahun 1286.[211] Keluarga ini juga menambahkan klaim bahwa santo tersebut adalah keturunan Zenobia, sehingga secara tidak langsung mereka mengatakan bahwa mereka adalah keturunan mantan penguasa wanita Tadmur tersebut.[212]

Penilaian dan peninggalan sejarah

Zenobia sulit untuk dinilai dari sudut pandang sejarah, tetapi ia dianggap sebagai sosok yang berani ketika kekuasaan suaminya sedang terancam. Selain itu, dengan menguasai Tadmur, ia melindungi wilayahnya dari kekosongan kekuasaan setelah kematian Odaenathus.[213] Menurut Watson, ia mengubah apa yang ditinggalkan oleh Odaenathus menjadi "penunjukkan kekuatan yang berkilau".[214] Watson juga berpendapat bahwa Zenobia sebaiknya tidak dianggap sebagai orang yang haus kuasa ataupun sosok pahlawan tanpa pamrih yang memperjuangkan suatu hal; menurut sejarawan David Graf, "Ia menganggap serius gelar dan tanggung jawab yang ia emban untuk anaknya dan programnya jauh lebih menyeluruh dan imajinatif daripada suaminya Odenathus, tidak sekadar lebih ambisius".[214]

Zenobia telah mengilhami banyak cendekiawan, akademisi, musisi, dan aktor; ia adalah sosok yang tenar di Barat dan Timur Tengah.[19] Sebagai seorang ratu kuat dengan akhir yang tragis, ia disandingkan dengan Kleopatra dan Boudica.[19] Legenda mengenai dirinya mengubahnya menjadi seorang idola yang dapat ditafsirkan ulang sesuai dengan kebutuhan penulis dan sejarawan; maka dari itu, Zenobia telah digambarkan sebagai pejuang kemerdekaan, pahlawan kaum tertindas, dan simbol nasional.[12] Sang ratu dipandang sebagai teladan wanita;[215] menurut sejarawan Michael Rostovtzeff, Maharani Katarina yang Agung membandingkan dirinya dengan Zenobia yang dipandang sebagai sosok wanita yang telah mendirikan militer yang kuat dan mengembangkan tradisi kecendekiawanan di istananya.[192] Pada dasawarsa 1930-an, berkat pers feminis yang berbasis di Mesir, Zenobia juga menjadi simbol bagi pembaca majalah wanita di wilayah berbahasa Arab, karena ia dianggap sebagai pemimpin wanita yang kuat dan nasionalis.[216] Tinggalan sejarah terbesarnya dapat dirasakan di Suriah, karena ia menjadi simbol nasional.[217] Zenobia dijadikan simbol oleh kaum nasionalis Suriah. Ia memiliki banyak pengagum di kalangan orang Suriah yang mendapatkan pendidikan di Barat, dan pada tahun 1871, Salim al-Bustani menulis sebuah novel dengan judul Zenobia malikat Tadmor (Zenobia, Ratu Tadmur).[218] Tokoh nasionalis Suriah Ilyas Matar, yang menulis risalah sejarah Suriah pertama dalam bahasa Arab pada tahun 1874[219][220] (al-'Uqud al-durriyya fi tarikh al-mamlaka al-Suriyya; Kalung Mutiara dalam Sejarah Kerajaan Suriah),[221] takjub dengan Zenobia dan memasukkan pembahasan sosok sang ratu ke dalam bukunya.[222] Bagi Matar, Zenobia menghidupkan kembali harapan bahwa sosok semacam itu akan bangkit dan mengembalikan kejayaan Suriah.[222] Dalam risalah sejarah Suriah lainnya yang ditulis pada tahun 1881,[223] Jurji Yanni menyebut Zenobia sebagai "putri tanah air" dan merindukan "masa lalu agung"nya.[224] Yanni juga menggambarkan Aurelianus sebagai seorang penguasa lalim yang menyengsarakan orang Suriah dan merampas kemerdekaannya dengan menangkap Zenobia.[224]

Di Suriah modern, Zenobia dianggap sebagai simbol patriotisme; gambarnya muncul di dalam uang kertas,[217] dan pada tahun 1997 ia menjadi subjek sebuah serial televisi yang bernama Al-Ababeed (Kekacauan).[19] Serial ini ditonton oleh jutaan orang di wilayah berbahasa Arab.[19] Serial ini meninjau konflik Israel-Palestina dari sudut pandang Suriah, dan perjuangan sang ratu dianggap melambangkan perjuangan rakyat Palestina.[217] Zenobia juga menjadi subjek biografi karya Mustafa Tlass, mantan menteri pertahanan Suriah dan salah satu sosok paling penting di negara tersebut.[217]

Mitos, romantisisme, dan budaya populer

Harold Mattingly menyebut Zenobia sebagai "salah satu tokoh paling romantik dalam sejarah".[213] Menurut Southern, "Zenobia yang sesungguhnya sulit dipahami, mungkin tidak dapat digapai, dan para novelis, dramawan, dan sejarawan dapat meresapi bukti-bukti yang tersedia, tetapi masih perlu berspekulasi."[225]

Ia menjadi subjek biografi-biografi karya penulis kuno maupun modern yang bersifat romantik dan juga dilandasi oleh motif ideologi tertentu.[226][227] Historia Augusta adalah contoh yang paling jelas, dan penulisnya sendiri mengakui bahwa karya tersebut ditulis untuk mengkritik Kaisar Gallienus.[227] Menurut Historia Augusta, Gallienus adalah seorang penguasa yang lemah karena ia mengizinkan seorang wanita berkuasa di salah satu wilayahnya dan Zenobia juga menjadi penguasa yang lebih cakap daripada sang kaisar.[228] Narasinya berubah begitu Historia Augusta membahas kehidupan Kaisar Klaudius Gothikus, seorang kaisar yang dipuji dan dinilai berjaya, dan penulis karya tersebut menganggap Zenobia sebagai penerima delegasi kekuasaan dari Klaudius untuk melindungi perbatasan timur kekaisaran.[228] Begitu Historia Augusta masuk ke biografi Aurelianus, pandangan penulis tentang Zenobia langsung berubah; sang ratu digambarkan sebagai sosok pengecut, bersalah, dan kurang ajar.[228] Kebijaksanaannya direndahkan dan tindakannya dianggap sebagai akibat dari tipu muslihat penasihatnya.[46]

Kecantikan Zenobia ditekankan oleh penulis Historia Augusta, yang juga menyematkan kepadanya sifat kewanitaan yang pemalu dan tidak konsisten, yang dianggap sebagai penyebab dirinya mengkhianati para penasihatnya untuk menyelamatkan dirinya sendiri.[229] Jenis kelamin Zenobia menjadi dilema tersendiri bagi penulis Historia Augusta karena dianggap membayang-bayangi kemenangan Aurelianus.[229] Penulis karya tersebut menyematkan banyak sikap maskulin kepada Zenobia agar Aurelianus tampak seperti seorang pahlawan yang berhasil menundukkan seorang ratu Suku Amazon yang berbahaya.[229] Menurut Historia Augusta, Zenobia memiliki suara jantan yang jelas, berpakaian seperti kaisar (dan bukan seorang maharani), menunggangi kuda, ditemani oleh para kasim alih-alih dayang-dayang, ikut dengan pasukannya, minum-minum dengan jenderal-jenderalnya, berkepribadian hemat (tidak seperti stereotipe pada masa itu bahwa wanita itu boros), dan memiliki kegemaran yang dianggap jantan seperti berburu.[230] Giovanni Boccaccio menulis sebuah cerita khayalan dari abad ke-14 yang menggambarkan Zenobia sebagai seorang tomboi pada masa kecilnya yang gemar bergulat dengan lelaki, menjelajahi hutan, dan membunuh kambing-kambing.[231] Sementara itu, "kemurnian" Zenobia juga menjadi subjek kisah-kisah romantik; menurut Historia Augusta, ia membenci hubungan seks dan hanya mengizinkan Odaenathus di atas ranjang untuk menghasilkan keturunan.[231] Citranya sebagai sosok yang murni membuat kagum beberapa sejarawan lelaki; Edward Gibbon menulis bahwa Zenobia lebih murni dan berani daripada Kleopatra.[231] Menurut Boccaccio, Zenobia tetap menjaga keperawanannya ketiga ia bergulat dengan lelaki saat masih kecil.[231]

Dengan datangnya para pengunjung ke Tadmur pada abad ke-17, ketertarikan dunia Barat terhadap Zenobia kembali menyala.[46] Ketertarikan ini mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-19, ketika Lady Hester Stanhope mengunjungi Tadmur dan menulis bahwa rakyatnya memperlakukan dirinya seperti seorang ratu; ia konon disambut dengan nyanyian serta tarian, dan para prajurit Badui berdiri di tiang-tiang kota.[25] Prosesi ini diakhiri dengan upacara pemahkotaan Stanhope sebagai "ratu gurun" di bawah Gerbang Kemenangan Tadmur.[25] William Ware (yang takjub dengan Zenobia) menulis cerita khayal mengenai kehidupannya.[17] Penulis novel Haley Elizabeth Garwood dan dramawan Nick Dear juga pernah menulis tentang sang ratu.[17]

Karya-karya terpilih

Zenobia, Ratu Tadmur (1857), karya Harriet Hosmer
Ratu Zenobia Melihat Tadmur untuk yang Terakhir Kalinya, karya Herbert Gustave Schmalz (1888)
  • Pahatan:
  • Sastra:
  • Lukisan:
  • Ratu Zenobia Berbicara di Depan Pasukannya karya Giambattista Tiepolo; lukisan ini berasal dari awal abad ke-18, tetapi tahun pastinya tidak diketahui.[240] Lukisan ini (bagian dari seri tableaux Zenobia) dilukis oleh Tiepolo di tembok istana keluarga Zenobio di Venesia, walaupun mereka tidak berkerabat dengan sang ratu.[240]
  • Ratu Zenobia Melihat Tadmur untuk yang Terakhir Kalinya (1888) karya Herbert Gustave Schmalz.[241]
  • Opera:

Catatan penjelas

  1. ^ "Septimius" adalah nama belakang keluarga Odaenathus yang menyatakan kesetiaan kepada Dinasti Severus di Romawi,[3] karena kaisarnya, Septimius Severus, memberikan kewarganegaraan Romawi kepada keluarga tersebut pada akhir abad kedua.[4]
  2. ^ Kebanyakan naskah-naskah yang ditulis dalam bahasa Sogdia dari Oasis Turfan; naskah-naskah ini termasuk di dalam Berliner Turfantexte.[11]
  3. ^ Bothe Dittenberger dan von Sallet meyakini bahwa Zenobia memiliki gentilicium Yulia Aurelia pada saat ia menikah dan lalu mengambil gentilicium Septimia setelah kematian suaminya; von Sallet berpendapat bahwa koin yang dicetak atas nama Vaballathus di Aleksandria menyebutkan inisial "Yulius", "Aurelius", dan "Septimius", sebelum nama Vaballathus sendiri.[28] Maka dari itu, kelihatannya Vaballathus juga mengambil nama keluarga ibunya selain nama keluarga ayahnya.[13]
  4. ^ Penulis Historia Augusta mungkin mendasarkan pernyataan ini pada karya Ammianus Marcellinus, yang menulis tentang kebiasaan laki-laki di dalam pemandian dan bagaimana mereka memuji-muji wanita "dengan rayuan yang memalukan seperti yang dilakukan orang Parthia kepada Semiramis, orang Mesir kepada Kleopatra-Kleopatra mereka, orang Kares kepada Artemisia, atau rakyat Tadmur kepada Zenobia".[14] Apabila penulis Historia Augusta memang memakai kata-kata Ammianus, pernyataan mengenai Zenobia dan Kleopatra tidak lagi bisa dipercaya.[14]
  5. ^ Kesimpulan bahwa Kalinikos sedang menyebut Zenobia didasarkan pada fakta bahwa karya tersebut ditulis setelah Tadmur menyerbu Mesir, ditambah dengan fakta-fakta yang sudah diketahui tentang klaim bahwa Zenobia adalah keturunan Kleopatra.[34] Ahli pertama yang mengusulkan bahwa "Kleopatra" mengacu kepada Zenobia adalah Aurel Stein pada tahin 1923, dan pendapatnya diterima oleh sejarawan-sejarawan lainnya.[36]
  6. ^ Orang Romawi memiliki pandangan yang negatif mengenai Kleopatra; ia digambarkan sebagai seorang wanita pengkhianat dan licik yang memanfaatkan kecantikannya untuk kepentingannya sendiri.[39]
  7. ^ Kawasan "Timur Romawi" mengacu kepada semua wilayah Romawi di Asia di sebelah timur Selat Bosporus.[71]
  8. ^ Menurut David Potter, skenario yang mungkin pernah terjadi adalah kampanye militer yang dilancarkan oleh Klaudius Gothikus (penerus Gallienus) pada tahun 270.[78]
  9. ^ Argumen yang sering dipakai untuk memperkuat klaim mengenai wilayah yang kecil adalah percetakan koin di Antiokhia yang tidak mengeluarkan koin atas nama sang ratu atau anaknya sebelum tahun 270.[80] Namun, menurut Southern, hal ini dapat dijelaskan oleh keberadaan Klaudius Gothikus sebagai kaisar, sehingga sang ratu tidak perlu mengeluarkan koin atas nama anaknya.[80] Setelah Klaudius menjemput ajalnya pada tahun 270, jabatan kaisar diperebutkan oleh saudaranya, Quintillus, dan calon dari angkatan darat, Aurelianus, sementara percetakan koin di Antiokhia tidak mengeluarkan koin untuk kedua pengklaim takhta tersebut (kemungkinan atas perintah dari Zenobia, yang tampaknya tidak mengakui Quintillus).[80] Setelah Aurelianus berhasil mengalahkan Quintillus, Zenobia mungkin menganggapnya sebagai kesempatan untuk mendukungnya; koin-koin baru pun memiliki gambar Aurelianus dan juga (untuk pertama kalinya) Vaballathus.[80]
  10. ^ Istana ini mungkin didirikan oleh Odaenathus yang memahkotai anaknya di ANtiokhia,[80] ibu kota historis wilayah Siria.[83]
  11. ^ Menurut Historia Augusta, Kaisar Aurelianus mengirim surat kepada Senat yang mengatakan bahwa orang Mesir, Armenia, dan Arab begitu takut dengan Zenobia sampai-sampai mereka tidak berani memberontak; namun, penulisnya tidak menyebutkan apakah orang Siria juga takut kepada sang ratu atau tidak.[84]
  12. ^ Sumber-sumber kuno menuduh Zenobia bersimpati kepada Persia, dan mengklaim bahwa ia dipuja seperti pemimpin Persia dan minum anggur dengan jenderal-jenderal Persia;[88] namun, tuduhan ini sama sekali tidak berdasar, karena Zenobia justru malah memperkuat pertahanan di wilayah perbatasan dengan Persia.[87]
  13. ^ walaupun namanya hanya disebutkan oleh Ioannes Malalas, bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa kampanye militer di Arabia pernah terjadi.[95]
  14. ^ Paul of Samosata is considered a heretic by mainstream Christianity, accused of denying the preexistence of Christ.[129] Penyebutan pertama mengenai hubungan Zenobia dengan Paulos dari Samosata berasal dari Sejarah Orang Arian dari abad ke-4 karya Athanasios dari Aleksandria.[130] Menurut Eusebius, Paulos lebih senang dipanggil "ducenarius" daripada uskup;[131][128] terdapat bukti yang menunjukkan bahwa ia memegang pangkat ini di bawah naungan Zenobia.[132] Namun, tidak ada bukti bahwa Paulos pernah diundang ke istana Tadmur, dan hubungannya dengan Zenobia dibesar-besarkan oleh sumber-sumber yang dibuat sesudahnya.[112][37] The queen may have supported him as bishop to promote religious tolerance.[112]
  15. ^ Salah satu inskripsi Statilius bertanggal musim semi tahun 272, sehingga ia mungkin diangkat oleh Romawi yang sudah merebut kembali Mesir pada masa itu.[151]
  16. ^ Banyak penulis kuno (termasuk Ioannes Malalas, Rufius Festus, Yordanes, Georgios Synkellos, dan Hieronimus) menuliskan klaim yang salah bahwa Zenobia ditangkap di Immae.[179]
  17. ^ Kepingan ini berasal dari tahun 268.[195] Sandinya di dalam karya Delbert R. Hillers dan Eleonora Cussini yang berjudul "Palmyrene Aramaic Texts" (PAT)[196] adalah PAT 2827, sementara di dalam inskripsinya tertulis: ratu Zenobia.[197]

Rujukan

  1. ^ Dodgeon & Lieu 2002, hlm. 73.
  2. ^ Southern 2008, hlm. 4.
  3. ^ Shahîd 1995, hlm. 296.
  4. ^ Matyszak & Berry 2008, hlm. 244.
  5. ^ a b c Sartre 2005, hlm. 551.
  6. ^ Edwell 2007, hlm. 230.
  7. ^ Stoneman 2003, hlm. 2.
  8. ^ Weldon 2008, hlm. 106.
  9. ^ a b c d e Millar 1993, hlm. 433.
  10. ^ Powers 2010, hlm. 148.
  11. ^ Lieu 1998, hlm. 37.
  12. ^ a b c Southern 2008, hlm. 2.
  13. ^ a b c Macurdy 1937, hlm. 126.
  14. ^ a b c d Teixidor 2005, hlm. 201.
  15. ^ Duruy 1883, hlm. 295.
  16. ^ a b Southern 2008, hlm. 3.
  17. ^ a b c Southern 2008, hlm. 16.
  18. ^ a b c d Stoneman 2003, hlm. 10.
  19. ^ a b c d e f Southern 2008, hlm. 1.
  20. ^ a b c d Bryce 2014, hlm. 297.
  21. ^ a b c d e Southern 2008, hlm. 4.
  22. ^ Ball 2016, hlm. 121.
  23. ^ a b c d e f Stoneman 2003, hlm. 112.
  24. ^ a b Stoneman 2003, hlm. 113.
  25. ^ a b c Ball 2016, hlm. 85.
  26. ^ Dodgeon & Lieu 2002, hlm. 73.
  27. ^ a b Hartmann 2001, hlm. 117.
  28. ^ Macurdy 1937, hlm. 125.
  29. ^ a b Dodgeon & Lieu 2002, hlm. 371.
  30. ^ a b c Ando 2012, hlm. 209.
  31. ^ a b c Southern 2008, hlm. 5.
  32. ^ Macurdy 1937, hlm. 127.
  33. ^ Teixidor 2005, hlm. 206.
  34. ^ a b c Southern 2008, hlm. 97.
  35. ^ a b Potter 2014, hlm. 263.
  36. ^ Southern 2008, hlm. 188.
  37. ^ a b c d e Watson 2004, hlm. 65.
  38. ^ a b Southern 2008, hlm. 190.
  39. ^ Burstein 2007, hlm. 68.
  40. ^ a b c d Southern 2008, hlm. 116.
  41. ^ Southern 2008, hlm. 93.
  42. ^ Bryce 2014, hlm. 298.
  43. ^ a b c d Ball 2002, hlm. 78.
  44. ^ Rihan 2014, hlm. 28.
  45. ^ a b Bryce 2014, hlm. 295.
  46. ^ a b c d Southern 2008, hlm. 12.
  47. ^ Bryce 2014, hlm. 296.
  48. ^ Edwell 2007, hlm. 27.
  49. ^ Ando 2012, hlm. 167.
  50. ^ Butcher 2003, hlm. 58.
  51. ^ Dignas & Winter 2007, hlm. 159.
  52. ^ Butcher 2003, hlm. 60.
  53. ^ a b c Goldsworthy 2009, hlm. 61.
  54. ^ Dignas & Winter 2007, hlm. 160.
  55. ^ a b Southern 2008, hlm. 73.
  56. ^ a b Southern 2008, hlm. 72.
  57. ^ Franklin 2006, hlm. 60.
  58. ^ a b c Dodgeon & Lieu 2002, hlm. 81.
  59. ^ Bray 1997, hlm. 276.
  60. ^ a b Bryce 2014, hlm. 292.
  61. ^ a b Watson 2004, hlm. 58.
  62. ^ Southern 2008, hlm. 78.
  63. ^ Brauer 1975, hlm. 163.
  64. ^ a b c Southern 2008, hlm. 81.
  65. ^ a b Southern 2008, hlm. 84.
  66. ^ Southern 2008, hlm. 92.
  67. ^ a b Stoneman 2003, hlm. 119.
  68. ^ Bryce 2014, hlm. 299.
  69. ^ Watson 2004, hlm. 59.
  70. ^ a b c d Watson 2004, hlm. 60.
  71. ^ Ball 2002, hlm. 6.
  72. ^ Young 2003, hlm. 215.
  73. ^ Vervaet 2007, hlm. 137.
  74. ^ Young 2003, hlm. 214.
  75. ^ Ando 2012, hlm. 172.
  76. ^ a b Kulikowski 2016, hlm. 158.
  77. ^ Andrade 2013, hlm. 333.
  78. ^ a b Potter 2014, hlm. 262.
  79. ^ a b Southern 2015, hlm. 150.
  80. ^ a b c d e f g h i j Southern 2008, hlm. 87.
  81. ^ Millar 1971, hlm. 9.
  82. ^ a b Southern 2008, hlm. 186.
  83. ^ a b c Nakamura 1993, hlm. 141.
  84. ^ a b Southern 2008, hlm. 88.
  85. ^ a b Southern 2008, hlm. 89.
  86. ^ a b Bryce 2014, hlm. 299.
  87. ^ a b Southern 2008, hlm. 91.
  88. ^ a b Southern 2008, hlm. 92.
  89. ^ Hartmann 2001, hlm. 267.
  90. ^ a b c d e f Watson 2004, hlm. 61.
  91. ^ a b Young 2003, hlm. 163.
  92. ^ a b Young 2003, hlm. 162.
  93. ^ a b Young 2003, hlm. 164.
  94. ^ a b c d e Southern 2008, hlm. 114.
  95. ^ a b c Southern 2008, hlm. 109.
  96. ^ a b Southern 2008, hlm. 108.
  97. ^ Dodgeon & Lieu 2002, hlm. 75.
  98. ^ a b c d e f g h Watson 2004, hlm. 62.
  99. ^ a b c d Watson 2004, hlm. 63.
  100. ^ a b c d e Southern 2008, hlm. 106.
  101. ^ a b Southern 2008, hlm. 110.
  102. ^ a b Bryce & Birkett-Rees 2016, hlm. 282.
  103. ^ Smith II 2013, hlm. 178.
  104. ^ a b Southern 2008, hlm. 113.
  105. ^ Southern 2008, hlm. 190.
  106. ^ a b Teixidor 2005, hlm. 204.
  107. ^ Stoneman 2003, hlm. 122.
  108. ^ Young 2003, hlm. 76.
  109. ^ a b Teixidor 2005, hlm. 205.
  110. ^ a b c d Watson 2004, hlm. 64.
  111. ^ a b Southern 2008, hlm. 117.
  112. ^ a b c d e Southern 2008, hlm. 86.
  113. ^ Watson 2004, hlm. 66.
  114. ^ Nakamura 1993, hlm. 135.
  115. ^ a b c Andrade 2013, hlm. 335.
  116. ^ a b Southern 2008, hlm. 95.
  117. ^ a b c Southern 2008, hlm. 96.
  118. ^ Schneider 1993, hlm. 19.
  119. ^ a b c Andrade 2013, hlm. 336.
  120. ^ a b Andrade 2013, hlm. 337.
  121. ^ a b c Bowersock 1984, hlm. 32.
  122. ^ Bagnall 2004, hlm. 195.
  123. ^ Bowersock 1984, hlm. 31, 32.
  124. ^ Macurdy 1937, hlm. 123.
  125. ^ Butcher 2003, hlm. 345.
  126. ^ Ball 2016, hlm. 489.
  127. ^ a b Teixidor 2005, hlm. 217.
  128. ^ a b c Teixidor 2005, hlm. 220.
  129. ^ Macquarrie 2003, hlm. 149.
  130. ^ Downey 2015, hlm. 312.
  131. ^ Stoneman 2003, hlm. 149151.
  132. ^ a b Millar 1971, hlm. 1.
  133. ^ a b Teixidor 2005, hlm. 218.
  134. ^ a b c Smallwood 1976, hlm. 532.
  135. ^ a b c Smallwood 1976, hlm. 517.
  136. ^ Smallwood 1976, hlm. 518.
  137. ^ Hartmann 2001, hlm. 330.
  138. ^ Neusner 2010, hlm. 125.
  139. ^ Smallwood 1976, hlm. 533.
  140. ^ Graetz 2009, hlm. 529.
  141. ^ Smith II 2013, hlm. 122.
  142. ^ Smith II 2013, hlm. 127.
  143. ^ Sivertsev 2002, hlm. 72.
  144. ^ a b Hartmann 2001, hlm. 384.
  145. ^ Stoneman 2003, hlm. 117.
  146. ^ Potter 2014, hlm. 257.
  147. ^ Ando 2012, hlm. 171.
  148. ^ Southern 2008, hlm. 8788.
  149. ^ a b Southern 2008, hlm. 88.
  150. ^ a b Southern 2008, hlm. 115.
  151. ^ Watson 2004, hlm. 169.
  152. ^ a b c d e f g Watson 2004, hlm. 67.
  153. ^ a b c d e Southern 2008, hlm. 118.
  154. ^ a b Watson 2004, hlm. 68.
  155. ^ a b Ando 2012, hlm. 210.
  156. ^ Ando 2012, hlm. 211.
  157. ^ Drinkwater 2005, hlm. 52.
  158. ^ a b c d e f Watson 2004, hlm. 69.
  159. ^ Dignas & Winter 2007, hlm. 161.
  160. ^ a b Southern 2015, hlm. 169.
  161. ^ a b c Southern 2008, hlm. 120.
  162. ^ Potter 2014, hlm. 266.
  163. ^ Southern 2008, hlm. 121.
  164. ^ Hartmann 2001, hlm. 359.
  165. ^ Southern 2015, hlm. 170.
  166. ^ a b Southern 2008, hlm. 133.
  167. ^ a b Watson 2004, hlm. 71.
  168. ^ Watson 2004, hlm. 71, 72.
  169. ^ a b Hartmann 2001, hlm. 268.
  170. ^ Watson 2004, hlm. 73.
  171. ^ a b Watson 2004, hlm. 74.
  172. ^ Southern 2008, hlm. 137.
  173. ^ a b Watson 2004, hlm. 75.
  174. ^ a b Watson 2004, hlm. 76.
  175. ^ Powers 2010, hlm. 133.
  176. ^ Southern 2008, hlm. 143.
  177. ^ Southern 2008, hlm. 144.
  178. ^ a b Southern 2008, hlm. 145.
  179. ^ Downey 2015, hlm. 267.
  180. ^ Watson 2004, hlm. 77.
  181. ^ Southern 2008, hlm. 146.
  182. ^ Watson 2004, hlm. 7984.
  183. ^ a b c Southern 2008, hlm. 156.
  184. ^ Dumitru 2016, hlm. 261.
  185. ^ Watson 2004, hlm. 79.
  186. ^ a b c Southern 2008, hlm. 159.
  187. ^ Watson 2004, hlm. 83.
  188. ^ a b c Southern 2008, hlm. 160.
  189. ^ a b Bryce 2014, hlm. 317.
  190. ^ a b Banchich & Lane 2009, hlm. 60.
  191. ^ a b Southern 2015, hlm. 171.
  192. ^ a b Stoneman 2003, hlm. 121.
  193. ^ Millar 1993, hlm. 172.
  194. ^ a b Stoneman 2003, hlm. 118.
  195. ^ Cussini 2012, hlm. 161.
  196. ^ Magnani & Mior 2017, hlm. 106.
  197. ^ a b Cussini 2005, hlm. 27.
  198. ^ Bland 2011, hlm. 133.
  199. ^ Dodgeon & Lieu 2002, hlm. 77.
  200. ^ a b c Macurdy 1937, hlm. 113.
  201. ^ Hartmann 2001, hlm. 111.
  202. ^ Southern 2008, hlm. 9.
  203. ^ Potter 2014, hlm. 85.
  204. ^ Southern 2008, hlm. 10.
  205. ^ Southern 2008, hlm. 174.
  206. ^ Southern 2008, hlm. 5.
  207. ^ Watson 2004, hlm. 81.
  208. ^ Stoneman 2003, hlm. 187.
  209. ^ a b Watson 2004, hlm. 84.
  210. ^ Cornelison 2002, hlm. 436.
  211. ^ Cornelison 2002, hlm. 441.
  212. ^ Cornelison 2002, hlm. 440.
  213. ^ a b Watson 2004, hlm. 87.
  214. ^ a b Watson 2004, hlm. 88.
  215. ^ Slatkin 2001, hlm. 144.
  216. ^ Booth 2011, hlm. 239.
  217. ^ a b c d Sahner 2014, hlm. 134.
  218. ^ Choueiri 2013, hlm. 66.
  219. ^ Iggers, Wang & Mukherjee 2013, hlm. 94.
  220. ^ Abu-Manneh 1992, hlm. 22.
  221. ^ Choueiri 2013, hlm. 226.
  222. ^ a b Choueiri 2013, hlm. 51.
  223. ^ Pipes 1992, hlm. 14.
  224. ^ a b Choueiri 2013, hlm. 57.
  225. ^ Southern 2008, hlm. 16.
  226. ^ Sartre 2005, hlm. 16.
  227. ^ a b Southern 2008, hlm. 10.
  228. ^ a b c Southern 2008, hlm. 11.
  229. ^ a b c Watson 2004, hlm. 85.
  230. ^ Watson 2004, hlm. 86.
  231. ^ a b c d Fraser 2011, hlm. 79.
  232. ^ Kelly 2004, hlm. 8.
  233. ^ Culkin 2010, hlm. 167.
  234. ^ Godman 1985, hlm. 272.
  235. ^ Quintero 2016, hlm. 52.
  236. ^ Stoneman 2003, hlm. 198.
  237. ^ Ruwe 2012, hlm. 30.
  238. ^ Hartmann 2001, hlm. 472.
  239. ^ a b Southern 2008, hlm. 16.
  240. ^ a b c d Southern 2008, hlm. 15.
  241. ^ Stoneman 2003, hlm. 200.
  242. ^ Southern 2008, hlm. 14.
  243. ^ Macy 2008, hlm. 472.
  244. ^ Hansell 1968, hlm. 108.
  245. ^ Gallo 2012, hlm. 254.
  246. ^ Hartmann 2001, hlm. 473.
  247. ^ Fraser 2011, hlm. 86.
  248. ^ Dear 2014, hlm. 118.
  249. ^ Aliksān 1989, hlm. 112.
  250. ^ Wood 2006, hlm. 59.

Daftar pustaka

  • Abu-Manneh, Butrus (1992). "The Establishment and dismantling of the province of Syria, 1865–1888". Dalam Spagnolo, John P. Problems of the modern Middle East in historical perspective: essays in honour of Albert Hourani. Ithaca Press (for the Middle East Centre, St. Antony's College Oxford). ISBN 978-0-86372-164-9. 
  • Aliksān, Jān (1989). التشخيص والمنصة: دراسات في المسرح العربي المعاصر (dalam bahasa Arab). اتحاد الكتاب العرب. OCLC 4771160319. 
  • Ando, Clifford (2012). Imperial Rome AD 193 to 284: The Critical Century. Edinburgh University Press. ISBN 978-0-7486-5534-2. 
  • Andrade, Nathanael J. (2013). Syrian Identity in the Greco-Roman World. Cambridge University Press. ISBN 978-1-107-01205-9. 
  • Bagnall, Roger S. (2004). Egypt from Alexander to the Early Christians: An Archaeological and Historical Guide. Getty Publications. ISBN 978-0-89236-796-2. 
  • Ball, Warwick (2002). Rome in the East: The Transformation of an Empire. Routledge. ISBN 978-1-134-82387-1. 
  • Ball, Warwick (2016). Rome in the East: The Transformation of an Empire (edisi ke-2). Routledge. ISBN 978-1-317-29635-5. 
  • Banchich, Thomas; Lane, Eugene (2009). The History of Zonaras: From Alexander Severus to the Death of Theodosius the Great. Routledge. ISBN 978-1-134-42473-3. 
  • Bland, Roger (2011). "The Coinage of Vabalathus and Zenobia from Antioch and Alexandria". The Numismatic Chronicle. The Royal Numismatic Society. 171. ISSN 2054-9202. 
  • Booth, Marilyn (2011). "Constructions of Syrian identity in the Women's press in Egypt". Dalam Beshara, Adel. The Origins of Syrian Nationhood: Histories, Pioneers and Identity. Taylor & Francis. ISBN 978-0-415-61504-4. 
  • Bowersock, Glen Warren (1984). "The Miracle of Memnon". Bulletin of the American Society of Papyrologists. The American Society of Papyrologists. 21. ISSN 0003-1186. 
  • Brauer, George C. (1975). The Age of the Soldier Emperors: Imperial Rome, A.D. 244–284. Noyes Press. ISBN 978-0-8155-5036-5. 
  • Bray, John Jefferson (1997). Gallienus: A Study in Reformist and Sexual Politics. Wakefield Press. ISBN 978-1-86254-337-9. 
  • Bryce, Trevor (2014). Ancient Syria: A Three Thousand Year History. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-100292-2. 
  • Bryce, Trevor; Birkett-Rees, Jessie (2016). Atlas of the Ancient Near East: From Prehistoric Times to the Roman Imperial Period. Routledge. ISBN 978-1-317-56210-8. 
  • Burstein, Stanley Mayer (2007) [2004]. The Reign of Cleopatra. University of Oklahoma Press. ISBN 978-0-8061-3871-8. 
  • Butcher, Kevin (2003). Roman Syria and the Near East. Getty Publications. ISBN 978-0-89236-715-3. 
  • Choueiri, Youssef (2013) [1989]. Modern Arab Historiography: Historical Discourse and the Nation-State (edisi ke-revised). Routledge. ISBN 978-1-136-86862-7. 
  • Cornelison, Sally J. (2002). "A French King and a Magic Ring: The Girolami and a Relic of St. Zenobius in Renaissance Florence". Renaissance Quarterly. University of Chicago Press on behalf of the Renaissance Society of America. 55 (2). ISSN 0034-4338. 
  • Culkin, Kate (2010). Harriet Hosmer: A Cultural Biography. University of Massachusetts Press. ISBN 978-1-55849-839-6. 
  • Cussini, Eleonora (2005). "Beyond the spindle: Investigating the role of Palmyrene women". Dalam Cussini, Eleonora. A Journey to Palmyra: Collected Essays to Remember Delbert R. Hillers. Brill. ISBN 978-90-04-12418-9. 
  • Cussini, Eleonora (2012). "What Women Say and Do (in Aramaic Documents)". Dalam Lanfranchi, Giovanni B.; Morandi Bonacossi, Daniele; Pappi, Cinzia; Ponchia, Simonetta. Leggo! Studies Presented to Frederick Mario Fales on the Occasion of His 65th Birthday. Leipziger Altorientalistische Studien. 2. Otto Harrassowitz Verlag. ISBN 978-3-447-06659-4. ISSN 2193-4436. 
  • Dear, Nick (2014). Nick Dear Plays 1: Art of Success; In the Ruins; Zenobia; Turn of the Screw. Faber & Faber. ISBN 978-0-571-31843-8. 
  • Dignas, Beate; Winter, Engelbert (2007). Rome and Persia in Late Antiquity: Neighbours and Rivals. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-84925-8. 
  • Dodgeon, Michael H; Lieu, Samuel N. C (2002). The Roman Eastern Frontier and the Persian Wars AD 226–363: A Documentary History. Routledge. ISBN 978-1-134-96113-9. 
  • Downey, Glanville (2015) [1961]. History of Antioch. Princeton University Press. ISBN 978-1-4008-7773-7. 
  • Drinkwater, John (2005). "Maximinus to Diocletian and the 'crisis'". Dalam Bowman, Alan K.; Garnsey, Peter; Cameron, Averil. The Crisis of Empire, AD 193–337. The Cambridge Ancient History. 12. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-30199-2. 
  • Dumitru, Adrian (2016). "Kleopatra Selene: A Look at the Moon and Her Bright Side". Dalam Coşkun, Altay; McAuley, Alex. Seleukid Royal Women: Creation, Representation and Distortion of Hellenistic Queenship in the Seleukid Empire. Historia – Einzelschriften. 240. Franz Steiner Verlag. ISBN 978-3-515-11295-6. ISSN 0071-7665. 
  • Duruy, Victor (1883) [1855]. "II". History of Rome and of the Roman people, from its origin to the Invasion of the Barbarians. VII. Diterjemahkan oleh C. F. Jewett Publishing Company. Jewett. OL 24136924M. 
  • Edwell, Peter (2007). Between Rome and Persia: The Middle Euphrates, Mesopotamia and Palmyra Under Roman Control. Routledge. ISBN 978-1-134-09573-5. 
  • Franklin, Margaret Ann (2006). Boccaccio's Heroines: Power and Virtue in Renaissance Society. Ashgate Publishing, Ltd. ISBN 978-0-7546-5364-6. 
  • Fraser, Antonia (2011) [1988]. Warrior Queens: Boadicea's Chariot. Hachette UK. ISBN 978-1-78022-070-3. 
  • Gallo, Denise (2012). Gioachino Rossini: A Research and Information Guide. Routledge. ISBN 978-1-135-84701-2. 
  • Godman, Peter (1985) [1983]. "Chaucer and Boccaccio's Latin Works". Dalam Boitani, Piero. Chaucer and the Italian Trecento. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-31350-6. 
  • Goldsworthy, Adrian (2009). The Fall Of The West: The Death Of The Roman Superpower. Hachette UK. ISBN 978-0-297-85760-0. 
  • Graetz, Heinrich (2009) [1893]. Lowy, Bella, ed. History of the Jews: From the Reign of Hyrcanus (135 B. C. E) to the Completion of the Babylonian Talmud (500 C. E. ). II. Cosimo, Inc. ISBN 978-1-60520-942-5. 
  • Hansell, Sven Hostrup (1968). Works for solo voice of Johann Adolph Hasse, 1699–1783. Detroit studies in music bibliography. 12. Information Coordinators. OCLC 245456. 
  • Hartmann, Udo (2001). Das palmyrenische Teilreich (dalam bahasa Jerman). Franz Steiner Verlag. ISBN 978-3-515-07800-9. 
  • Iggers, Georg G; Wang, Q. Edward; Mukherjee, Supriya (2013). A Global History of Modern Historiography. Routledge. ISBN 978-1-317-89501-5. 
  • Kelly, Sarah E. (2004). "Zenobia, Queen of Palmyra". Dalam Pearson, Gail A. Notable Acquisitions at the Art Institute of Chicago. 2. University of Illinois Press. ISBN 978-0-86559-209-4. 
  • Kulikowski, Michael (2016). Imperial Triumph: The Roman World from Hadrian to Constantine. Profile Books. ISBN 978-1-84765-437-3. 
  • Lieu, Samuel N. C (1998). Emmel, Stephen; Klimkeit, Hans-Joachim, ed. Manichaeism in Central Asia and China. Nag Hammadi and Manichaean Studies. 45. Brill. ISBN 978-90-04-10405-1. ISSN 0929-2470. 
  • Macquarrie, John (2003). Stubborn Theological Questions. Hymns Ancient and Modern Ltd. ISBN 978-0-334-02907-6. 
  • Macurdy, Grace Harriet (1937). Vassal-Queens and Some Contemporary Women in the Roman Empire. The Johns Hopkins University Studies in Archaeology. 22. The Johns Hopkins Press. OCLC 477797611. 
  • Macy, Laura Williams (2008). The Grove Book of Opera Singers. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-533765-5. 
  • Magnani, Stefano; Mior, Paola (2017). "Palmyrene Elites. Aspects of Self-Representation and Integration in Hadrian's Age". Dalam Varga, Rada; Rusu-Bolinde, Viorica. Official Power and Local Elites in the Roman Provinces. Routledge. ISBN 978-1-317-08614-7. 
  • Matyszak, Philip; Berry, Joanne (2008). Lives of the Romans. Thames & Hudson. ISBN 978-0-500-25144-7. 
  • Millar, Firgus (1971). "Paul of Samosata, Zenobia and Aurelian: the Church, Local Culture and Political Allegiance in Third-Century Syria". Journal of Roman Studies. The Society for the Promotion of Roman Studies. 61. doi:10.2307/300003. OCLC 58727367. 
  • Millar, Fergus (1993). The Roman Near East, 31 B.C.-A.D. 337. Harvard University Press. ISBN 978-0-674-77886-3. 
  • Nakamura, Byron (1993). "Palmyra and the Roman East". Greek, Roman, and Byzantine Studies. Duke University, Department of Classical Studies. 34. ISSN 0017-3916. 
  • Neusner, Jacob (2010). Narrative and Document in the Rabbinic Canon: The Two Talmuds. 2. Rowman & Littlefield. ISBN 978-0-7618-5211-7. 
  • Pipes, Daniel (1992) [1990]. Greater Syria: The History of an Ambition. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-536304-3. 
  • Potter, David S (2014). The Roman Empire at Bay, AD 180–395. Routledge. ISBN 978-1-134-69477-8. 
  • Powers, David S. (2010). "Demonizing Zenobia: The legend of al-Zabbā in Islamic Sources". Dalam Roxani, Eleni Margariti; Sabra, Adam; Sijpesteijn, Petra. Histories of the Middle East: Studies in Middle Eastern Society, Economy and Law in Honor of A.L. Udovitch. Brill. ISBN 978-90-04-18427-5. 
  • Quintero, María Cristina (2016). Gendering the Crown in the Spanish Baroque Comedia. Routledge. ISBN 978-1-317-12961-5. 
  • Rihan, Mohammad (2014). The Politics and Culture of an Umayyad Tribe: Conflict and Factionalism in the Early Islamic Period. I.B.Tauris. ISBN 978-1-78076-564-8. 
  • Ruwe, Donelle (2012). "Zenobia, Queen of Palmyra: Adelaide O'Keeffe, the Jewish Conversion Novel, and the Limits of Rational Education". Eighteenth-Century Life. Duke University Press. 36 (1). ISSN 0098-2601. 
  • Sahner, Christian (2014). Among the Ruins: Syria Past and Present. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-939670-2. 
  • Sartre, Maurice (2005). The Middle East Under Rome. Harvard University Press. ISBN 978-0-674-01683-5. 
  • Schneider, Eugenia Equini (1993). Septimia Zenobia Sebaste (dalam bahasa Italia). Roma : "L'Erma" di Bretschneider. ISBN 978-88-7062-812-8. 
  • Shahîd, Irfan (1995). Byzantium and the Arabs in the Sixth Century (Part1: Political and Military History). 1. Dumbarton Oaks Research Library and Collection. ISBN 978-0-88402-214-5. 
  • Sivertsev, Alexei (2002). Private Households and Public Politics in 3rd–5th Century Jewish Palestine. Texts and Studies in Ancient Judaism. 90. Mohr Siebeck. ISBN 978-3-16-147780-5. 
  • Slatkin, Wendy (2001) [1985]. Women Artists in History: From Antiquity to the Present (edisi ke-4). Prentice Hall. ISBN 978-0-13-027319-2. 
  • Smallwood, E. Mary (1976). The Jews Under Roman Rule: From Pompey to Diocletian. Brill. ISBN 978-90-04-04491-3. 
  • Smith II, Andrew M. (2013). Roman Palmyra: Identity, Community, and State Formation. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-986110-1. 
  • Southern, Patricia (2008). Empress Zenobia: Palmyra's Rebel Queen. A&C Black. ISBN 978-1-4411-4248-1. 
  • Southern, Patricia (2015). The Roman Empire from Severus to Constantine. Routledge. ISBN 978-1-317-49694-6. 
  • Stoneman, Richard (2003) [1992]. Palmyra and Its Empire: Zenobia's Revolt Against Rome. University of Michigan Press. ISBN 978-0-472-08315-2. 
  • Teixidor, Javier (2005). "Palmyra in the third century". Dalam Cussini, Eleonora. A Journey to Palmyra: Collected Essays to Remember Delbert R. Hillers. Brill. ISBN 978-90-04-12418-9. 
  • Vervaet, Frederik J. (2007). "The Reappearance of the Supra-Provincial Commands in the Late Second and Early Third Centuries C.E.: Constitutional and Historical Considerations". Dalam Hekster, Olivier; De Kleijn, Gerda; Slootjes, Daniëlle. Crises and the Roman Empire: Proceedings of the Seventh Workshop of the International Network Impact of Empire, Nijmegen, June 20–24, 2006. Impact of Empire. 7. Brill. ISBN 978-90-04-16050-7. 
  • Watson, Alaric (2004) [1999]. Aurelian and the Third Century. Routledge. ISBN 978-1-134-90815-8. 
  • Weldon, Roberta (2008). Hawthorne, Gender, and Death: Christianity and Its Discontents. Springer. ISBN 978-0-230-61208-2. 
  • Wood, Mary P. (2006). "From Bust to Boom: Women and Representations of Prosperity in Italian Cinema of the Late 1940s and 1950s". Dalam Morris, Penelope. Women in Italy, 1945–1960: An Interdisciplinary Study. Springer. ISBN 978-0-230-60143-7. 
  • Young, Gary K. (2003). Rome's Eastern Trade: International Commerce and Imperial Policy 31 BC – AD 305. Routledge. ISBN 978-1-134-54793-7. 

Bacaan lanjut

  • Andrade, Nathanael (2018). Zenobia: Shooting Star of Palmyra. Oxford University Press. ISBN 978-0-190-63881-8. 
  • Burgersdijk, Diederik, ed. (2008). Zenobia van Palmyra. Vorstin Tussen Europese en Arabische Traditie. Armada: Tijdschrift voor Wereldliteratuur (dalam bahasa Belanda). 53. Uitgeverij Wereldbibliotheek. ISBN 978-9-028-42256-8. 
  • Woltering, Robbert A.F.L (2014). "Zenobia or al-Zabbāʾ: The Modern Arab Literary Reception of the Palmyran Protagonist". Middle Eastern Literatures. Routledge. 17 (1). ISSN 1475-262X. 

Pranala luar