Shabwah

kecondongan untuk menyimpang dari kebenaran dan mengikuti hawa nafsu

Shabwah (bahasa Arab: الصبوة, translit. aṣ-Ṣabwah) adalah istilah dalam Islam yang merujuk pada kecenderungan seseorang, khususnya pemuda, untuk mengikuti hawa nafsu atau hal-hal yang menyimpang dari kebenaran.[1][2]

Etimologi

sunting

Istilah ini disebutkan dalam hadits yang disabdakan oleh Nabi Islam Muhammad:[Catatan 1]

"Sesungguhnya Allah Ta’ala benar-benar kagum terhadap seorang pemuda yang tidak memiliki shabwah."

— (HR. Ahmad).

Secara etimologi, kata ash-shabwah berasal dari akar kata Arab yang mengandung makna "kecenderungan terhadap kebodohan" atau "kerinduan kepada hal yang tidak benar". Menurut ulama, shabwah mencakup kecondongan seseorang kepada perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama, termasuk dorongan hawa nafsu dan tindakan maksiat. Pemuda yang mampu menahan diri dari shabwah dipandang mulia karena kebiasaan mereka mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah dan amal kebaikan.[3]

Pendapat Ulama

sunting

Dalam karya Raudhatul Muhibbin yang ditulis oleh Ibnul Qayyim, ash-shabwah dikaitkan dengan istilah cinta, namun juga memiliki makna negatif berupa kecenderungan kepada kebodohan. Istilah ini mengalami beberapa variasi, seperti tashaba, shaba, yashbu, shubuw, namun kesemuanya mengarah pada arti yang sama, yaitu "penyimpangan dari kebenaran".[4][5]

Allah memuji pemuda yang mampu menghindari shabwah. Nabi Islam Muhammad juga menyebutkan keutamaan pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah:

"Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah dalam naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, salah satunya adalah pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah."

— (HR. Bukhari dan Muslim).

Menurut Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Minhajul Abidin, terdapat tiga langkah utama yang dianjurkan untuk mengendalikan shabwah atau hawa nafsu, yang mencerminkan pendekatan spiritual dan praktis. Pendapat pertama, mengekang syahwat dan keinginan dapat dilakukan melalui praktik berpuasa. Puasa dianggap sebagai sarana efektif untuk melemahkan dorongan hawa nafsu dan menjaga diri dari perbuatan dosa. Pendapat kedua, memperbanyak ibadah adalah cara lain yang sangat dianjurkan. Ini melibatkan pengurangan waktu tidur, peningkatan frekuensi dzikir, bermunajat kepada Allah, serta pelaksanaan shalat malam. Aktivitas-aktivitas tersebut tidak hanya memperkuat hubungan spiritual dengan Allah tetapi juga membantu seseorang mengatasi kecenderungan negatif dalam dirinya.[4][5]

Selain itu, pendapat ketiganya adalah memohon pertolongan Allah melalui doa. Dengan berserah diri kepada Allah, seorang Muslim dapat meminta kekuatan untuk mengendalikan hawa nafsu, menjauhi maksiat, dan menjalani kehidupan yang sesuai dengan ajaran agama. Langkah-langkah ini, seperti yang dijelaskan oleh Al-Ghazali, mencerminkan pentingnya kombinasi antara pengendalian diri secara fisik, spiritual, dan ketergantungan pada rahmat Allah untuk mencapai kesucian jiwa.[5][4]

Di dalam kitab Faidhul Qadiir Syarah Al-Jami’ Ash-Shagir , Karya Muhammad Abdurrauf Al Munawi dijelaskan makna pemuda yang tidak memiliki shabwah adalah pemuda yang tidak memperturutkan hawa nafsunya, dengan dia membiasakan dirinya melakukan kebaikan dan berusaha keras menjauhi keburukan.[Catatan 2]

Ustaz Khalid Basalamah menjelaskan bahwa pemuda yang tidak memperturutkan hawa nafsu merupakan sosok yang sangat dikagumi oleh Allah. Pemuda seperti ini menjadikan masa mudanya sebagai waktu untuk membiasakan diri melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan. Ia menekankan bahwa kebanyakan anak muda sering tergoda oleh perilaku menyimpang, seperti kehidupan bebas, konsumsi minuman keras, dan perbuatan maksiat lainnya. Namun, pemuda yang luar biasa adalah mereka yang di masa mudanya mampu menghafal Al-Qur'an, rajin melaksanakan shalat malam, dan senantiasa berbakti kepada orang tua. [6]

Ustaz Khalid juga menyebutkan bahwa kekaguman Allah terhadap pemuda semacam ini disebabkan oleh kemampuan mereka untuk tetap teguh dalam keimanan di tengah berbagai godaan duniawi yang biasanya sangat kuat pada usia muda. [6]

Catatan

sunting
  1. ^ (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (4/151), dan at-Thabrani dalam kitab al-Kabîr (17/903, no: 853), dan Abu Ya’la (3/288).
  2. ^ Faidhul Qadiir Syarah Al-Jami’ Ash-Shagir 2/263.

Rujukan

sunting