Suku Karo

kelompok etnik Batak

Suku Karo (tulisen Karo: ᯂᯒᯨ atau ᯂᯒᯭ, Latin: Karo) atau lazim juga disebut Batak Karo (tulisen Karo: ᯆᯗᯂ᯳ ᯂᯒᯨ atau ᯆᯗᯂ᯳ ᯂᯒᯭ, Latin: Batak Karo) adalah suku bangsa atau kelompok etnik yang mendiami wilayah Sumatra Utara dan sebagian Aceh; meliputi Kabupaten Karo, sebagian Kabupaten Aceh Tenggara, sebagian Kabupaten Langkat (Langkat Hulu), Sebagian Kabupaten Dairi, sebagian Kabupaten Simalungun, dan sebagian Kabupaten Deli Serdang serta juga dapat ditemukan di kota Medan dan Kota Binjai. Suku ini merupakan salah satu suku terbesar di Sumatra Utara. Nama suku ini dijadikan sebagai nama salah satu Kabupaten di Sumatra Utara yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa yang disebut Bahasa Karo atau Cakap Karo. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas. Konon, Kota Medan didirikan oleh seorang tokoh Karo yang bernama Guru Patimpus Sembiring Pelawi.

Orang Karo

Kalak Karo
ᯂᯞᯂ᯳ ᯂᯒᯭ
Jumlah populasi
± 1.100.000 (2010)
Daerah dengan populasi signifikan
Sumatra Utara?
       Kabupaten Karo?
       Kabupaten Deli Serdang?
       Kabupaten Langkat?
       Kabupaten Dairi?
       Kabupaten Simalungun?
       Kota Medan?
       Kota Binjai?
Aceh?
       Kabupaten Aceh Tenggara?
Bahasa
Karo, Indonesia, Melayu, Simalungun, Toba, Pakpak
Agama
Kelompok etnik terkait

Sejarah dan etimologi

Suku Karo adalah suku yang mendiami dataran tinggi Karo, Kota Medan, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Simalungun, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Suku ini memiliki bahasa yang disebut bahasa Karo dan memiliki salam khas yaitu Mejuah-juah. Adapun rumah tradisional masyarakat Karo atau yang dikenal dengan nama Siwaluh Jabu yang berarti rumah untuk delapan keluarga, yaitu rumah yang terdiri dari delapan bilik yang masing-masing bilik dihuni oleh satu keluarga. Tiap keluarga yang menghuni rumah itu memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan pola kekerabatan masing-masing.

 
Seorang Wanita Karo mengenakan kain (Gatip Ampar) di atas bahunya dan anting-anting (padung perak), dan seorang Pria Karo kemungkinan mengenakan Julu Berjongkit atau Ragi Santik sebagai penutup pinggul. Foto diambil di salah satu desa di Kabupaten Karo, sekitar tahun 1914-1919.

Wilayah Karo

Siwaluh Jabu
(Rumah tradisional masyarakat Karo)
Siwaluh Jabu tempo dulu di Kabanjahe
Siwaluh Jabu di Desa Dokan

Sering terjadi kekeliruan dalam percakapan sehari-hari dimana wilayah Karo hanya diidentikkan dengan Kabupaten Karo. Padahal, Taneh Karo (Tanah Karo) jauh lebih luas daripada Kabupaten Karo meliputi:

Kabupaten Karo

 
Tanah Karo (1917)

Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Karo. Wilayah yang terkenal di kabupaten ini adalah Berastagi dan Kabanjahe. Berastagi merupakan salah satu kota turis di Sumatra Utara yang sangat terkenal dengan produk pertaniannya yang unggul. Salah satunya adalah buah jeruk dan produk minuman yang terkenal, jus markisa. Mayoritas suku Karo bermukim di daerah pegunungan ini, tepatnya di daerah Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak yang sering disebut sebagai atau "Taneh Karo Simalem". Banyak keunikan-keunikan terdapat pada masyarakat Karo, baik dari geografis, alam, maupun bentuk masakan. Masakan Karo, salah satu yang unik adalah trites. Trites ini disajikan pada saat pesta budaya, seperti pesta pernikahan, pesta memasuki rumah baru, dan pesta tahunan yang dinamakan -kerja tahun-. Trites ini bahannya diambil dari isi lambung sapi/kerbau, yang belum dikeluarkan sebagai kotoran. Bahan inilah yang diolah sedemikian rupa dicampur dengan bahan rempah-rempah sehingga aroma tajam pada isi lambung berkurang dan dapat dinikmati. Masakan ini merupakan makanan istimewa yang di suguhkan kepada yang dihormati.

Kota Medan

Pendiri Kota Medan adalah seorang putra Karo yaitu Guru Patimpus Sembiring Pelawi. Sebagian sejarawan dan pemerhati budaya juga memercayai bahwa asal mula nama Kota Medan berasal dari bahasa Karo, madan yang berarti "obat". Namun pendapat ini masih menjadi pro dan kontra karena terdapat beberapa versi mengenai asal mula nama Medan.

Kota Binjai

Kota Binjai merupakan daerah yang memiliki interaksi paling kuat dengan Kota Medan disebabkan oleh jaraknya yang relatif sangat dekat dari Kota Medan sebagai ibu kota Provinsi Sumatra Utara. Nama "Binjai" juga dipercaya berasal dari gabungan kedua kosakata bahasa Karo, ben dan i-jei yang artinya "bermalam di sini". Hal tersebut kemudian diucapkan "Binjei" dan menjadi "Binjai" hingga sekarang.

Kabupaten Langkat

Orang Karo di Kabupaten Langkat mendiami daerah hulu, seperti Bahorok, Kutambaru, Sei Bingai, Kuala, Salapian, Selesai, Batang Serangan, dan Serapit. Teluk Aru yang berada di Langkat Hilir juga pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Aru, kerajaan bercorak Karo-Melayu yang dimana menjadi leluhur dari raja dan sultan Melayu Sumatera Timur.

Kabupaten Dairi

Wilayah Kabupaten Dairi pada umumnya subur dengan kemakmuran masyarakatnya melalui perkebunan kopinya yang berkualitas. Sebagian Kabupaten Dairi yang merupakan bagian Taneh Karo adalah:

Kabupaten Aceh Tenggara

Taneh Karo di Kabupaten Aceh Tenggara meliputi:

Kabupaten Deli Serdang

Kabupaten Simalungun

Marga

Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Merga disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok utama (marga inti/pokok), yang disebut dengan merga silima. Kelima merga tersebut adalah:

 
Marga Utama (merga silima)
Ginting Karo-karo Perangin-angin Sembiring Tarigan
Sub-marga Ajartambun Barus Bangun Brahmana Bondong
Babo Bukit Benjerang Bunuhaji Gana-Gana
Beras Gurusinga Kacinambun Busok Gersang
Guru Patih Kaban Keliat Colia Gerneng
Garamata Kacaribu Laksa Depari Jampang
Jandibata Karosekali Limbeng Gurukinayan Kerendam
Jawak Kemit Mano Keling Purba
Manik Ketaren Namohaji Keloko Pekan
Munte Manik Pencawan Kembaren Sibero
Pase Paroka Penggarus Maha Silangit
Seragih Purba Perbesi Meliala/Milala Tambun
Suka Samura Pinem Muham Tambak
Sugihen Sinubulan Sebayang Pandia Tegur
Sinusinga Sinuhaji Singarimbun Pandebayang Tendang
Tumangger Sinukaban Sinurat Pelawi Tua
Sinulingga Sukatendel Sinukapar
Sinuraya Tanjung Sinulaki
Sitepu Ulunjandi Sinupayung
Surbakti Uwir Tekang
Torong
Ujung

Kelima marga Karo tersebut mempunyai sub-marga masing-masing, dimana setiap orang Karo mempunyai salah satu dari merga tersebut. Marga diperoleh secara turun termurun dari ayah, marga ayah juga merga anak. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Jikalau laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut (b)ersenina. Demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru yang sama, maka mereka disebut juga (b)ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring (Sembiring Kembaren).

Falsafah kemasyarakatan

 
Pasangan pengantin pria dan wanita menikah dengan pakaian adat Karo lengkap dengan Uis dan tudung Karo untuk perempuan, serta bekabuluh untuk laki-laki

Hal lain yang penting dalam susunan masyarakat Karo adalah rakut sitelu, yang artinya secara metaforik adalah Tungku Nan Tiga, yang berarti Ikatan yang Tiga. Arti rakut sitelu tersebut adalah Sangkep Nggeluh (Kelengkapan Hidup) bagi orang Karo. Kelengkapan yang dimaksud adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu :

  1. Kalimbubu
  2. Anak Beru
  3. Sembuyak
  • Kalimbubu dapat didefinisikan sebagai keluarga pemberi istri.
  • Anak Beru yaitu keluarga yang mengambil atau menerima istri.
  • Sembuyak adalah keluarga satu galur keturunan merga atau keluarga inti.

Orang Karo mempunyai salam khas yaitu Mejuah-juah atau lengkapnya adalah mejuah-juah kita kerina yang memiliki arti sehat-sehat kita semua, baik-baik kita semua, kedamaian, kesehatan, kebaikan untuk kita semua.

Sistem kekerabatan

 
Kedua mempelai dari suku Karo berbusana adat Karo

Tutur Siwaluh adalah konsep kekerabatan masyarakat Karo, yang berhubungan dengan penuturan, yaitu terdiri dari delapan golongan:

  1. Puang Kalimbubu
  2. Kalimbubu
  3. Senina
  4. Sembuyak
  5. Senina Sipemeren
  6. Senina Sepengalon/Sedalanen
  7. Anak Beru
  8. Anak Beru Menteri

Dalam pelaksanaan upacara adat, Tutur Siwaluh ini masih dapat dibagi lagi dalam kelompok-kelompok lebih khusus sesuai dengan keperluan dalam pelaksanaan upacara yang dilaksanakan, yaitu sebagai berikut :

  1. Puang Kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang
  2. Kalimbubu adalah kelompok pemberi istri kepada keluarga tertentu. Kalimbubu ini dapat dikelompokkan lagi menjadi :
    • Kalimbubu Bena-bena atau Kalimbubu Tua, yaitu kelompok pemberi istri kepada kelompok tertentu yang dianggap sebagai kelompok pemberi istri adalah dari keluarga tersebut. Misalnya A bermerga Sembiring bere-bere Tarigan, maka Tarigan adalah Kalimbubu Si A. Jika A mempunyai anak, maka merga Tarigan adalah Kalimbubu Bena-bena / Kalimbubu Tua dari anak A. Jadi Kalimbubu Bena-bena atau Kalimbubu Tua adalah kalimbubu dari ayah kandung.
    • Kalimbubu Simada Dareh adalah berasal dari ibu kandung seseorang. Kalimbubu Simada Dareh adalah saudara laki-laki dari ibu kandung seseorang. Disebut Kalimbubu Simada Dareh karena mereka yang dianggap mempunyai keturunan sedarah, karena sedarah maka itu juga yang terdapat dalam diri keponakannya.
    • Kalimbubu Iperdemui, yaitu yang berarti kalimbubu yang dijadikan kalimbubu oleh karena seseorang mengawini putri dari satu keluarga untuk pertama kalinya. Maka seseorang itu yang menjadi kalimbubu adalah berdasarkan perkawinan.
  3. Senina, yaitu mereka yang bersaudara karena mempunyai merga dan submerga yang sama.
  4. Sembuyak, yaitu secara harfiah artinya adalah satu dan Mbuyak yang artinya adalah kandungan. Maka artinya adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama. Namun dalam masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina yang berlainan sub-merga juga, dalam bahasa Karo disebut Sindauh Ipedeher (Yang jauh menjadi dekat).
  5. Sipemeren, yaitu orang-orang yang ibu-ibu mereka bersaudara kandung. Bagian ini didukung lagi oleh pihak Siparibanen, yaitu orang-orang yang mempunyai istri yang bersaudara.
  6. Senina Sepengalon atau Sendalanen, yaitu orang yang bersaudara karena mempunyai anak-anak yang memperistri dari beru yang sama.
  7. Anak beru, yang berarti pihak yang mengambil istri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita keluarga tertentu, dan secara tidak langsung melalui perantaraan orang lain, seperti Anak Beru Menteri dan Anak Beru Singikuri. Anak beru ini terdiri lagi sebagai berikut :
    • Anak Beru Tua, adalah anak beru dalam satu keluarga turun temurun. Paling tidak tiga generasi telah mengambil istri dari keluarga tertentu (Kalimbubu-nya). Anak Beru Tua adalah anak beru yang utama, karena tanpa kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak kalimbubu-nya, maka upacara tersebut tidak dapat dimulai. Anak Beru Tua juga berfungsi sebagai Anak Beru Singerana (sebagai pembicara), karena fungsinya dalam upacara adat sebagai pembicara dan pemimpin keluarga dalam keluarga kalimbubu dalam konteks upacara adat.
    • Anak Beru Cekoh Baka Tutup, yaitu anak beru yang secara langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubu-nya. Anak Beru Cekoh Baka Tutup adalah anak saudara perempuan dari seorang kepala keluarga. Misalnya Si A seorang laki-laki, mempunyai saudara perempuan Si B, maka anak Si B adalah Anak Beru Cekoh Baka Tutup dari Si A. Dalam panggilan sehari-hari anak beru disebut juga Bere-bere Mama.
  8. Anak Beru Menteri, yaitu anak berunya si anak beru. Asal kata Menteri adalah dari kata Minteri yang berarti meluruskan. Jadi anak beru minteri mempunyai pengertian yang lebih luas sebagai petunjuk, mengawasi serta membantu tugas kalimbubu-nya dalam suatu kewajiban dalam upacara adat. Ada pula yang disebut Anak Beru Singkuri, yaitu anak beru-nya si Anak Beru Menteri. Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat.

Bahasa dan Aksara

 
Ukiran dari sebuah tulisan ratapan Karo (Bilang-bilang) menggunakan aksara Karo pada media bambu

Bahasa Karo merupakan bahasa Austronesia dan digolongkan dalam Rumpun Bahasa Batak bagian utara[6] yang utamanya dituturkan oleh masyarakat Karo di wilayah Kabupaten Karo, Kabupaten Langkat, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Dairi, dan Kota Medan.

Aksara yang digunakan oleh orang Karo adalah tulisen Karo yang merupakan varian dari Surat Batak. Aksara ini adalah aksara kuno yang dipergunakan oleh masyarakat Karo, akan tetapi pada saat ini penggunaannya sangat terbatas bahkan hampir tidak pernah digunakan lagi.

Kalender Karo

Nama-nama bulan

Adapun nama-nama bulan dan binatang atau benda apa yang bersamaan dengan bulan bersangkutan adalah sebagai berikut:

  • Bulan Sipaka sada merupakan bulan kambing
  • Bulan Sipaka dua merupakan bulan lembu
  • Bulan Sipaka telu merupakan bulan gaya (cacing)
  • Bulan Sipaka empat merupakan bulan padek (katak)
  • Bulan Sipaka lima merupakan bulan arimo (harimau)
  • Bulan Sipaka enem merupakan bulan kuliki (elang)
  • Bulan Sipaka pitu merupakan bulan kayu
  • Bulan Sipaka waluh merupakan bulan tambok (kolam)
  • Bulan Sipaka siwah merupakan bulan gayo (kepiting)
  • Bulan Sipaka sepuluh merupakan bulan belobat, baluat atau balobat (sejenis alat musik tiup)
  • Bulan Sipaka sepuluh sada merupakan bulan batu
  • Bulan Sipaka sepuluh dua merupakan bulan binurung (ikan)

Nama-nama hari

Nama-nama hari pada suku Karo apabila diperhatikan banyak miripnya dengan kata-kata bahasa Sanskerta. Setiap hari dari tanggal itu mempunyai makna atau pengertian tertentu. Oleh karena itu apabila seseorang hendak merencanakan sesuatu, misalnya keberangkatan ke tempat jauh, berperang ke medan laga, memasuki rumah baru dan berbagai kegiatan lainnya. selalu dilihat harinya yang dianggap paling cocok. Di sinilah besarnya peranan "guru si beloh niktik wari" (dukun/orang tua yang pintar melihat hari dan bulan yang baik dan serasi), yang dengan perhitungannya secara saksama, ia menyarankan agar suatu acara yang direncanakan dilakukan pada hari X.

Adapun nama yang 30 dalam satu bulan adalah sebagai berikut:

  1. Aditia
  2. Suma
  3. Nggara
  4. Budaha
  5. Beras pati
  6. Cukra enem
  7. Belah naik
  8. Aditia naik
  9. Sumana siwah
  10. Nggara sepuluh
  11. Budaha ngadep
  12. Beras pati tangkep
  13. Cukera dudu (lau)
  14. Belah purnama raya
  15. Tula
  16. Suma cepik
  17. Nggara enggo tula
  18. Budaha gok
  19. Beras pati
  20. Cukra si 20
  21. Belah turun
  22. Aditia turun
  23. Sumana mate
  24. Nggara simbelin
  25. Budaha medem
  26. Beras pati medem
  27. Cukrana mate
  28. Mate bulan ngulak
  29. Dalan bulan
  30. Sami sara

Budaya dan Kesenian

 
Museum Pusaka Karo di Berastagi

Orang Karo mempunyai beberapa kebudayaan tradisional, mulai dari kesenian (sastra), dan tari tradisional. Beberapa tari tradisional Karo adalah:

  • Piso Surit
  • Tari Lima Serangkai
  • Tari Terang Bulan
  • Tari Baka
  • Tari Ndikkar
  • Tari Ndurung
  • Tari Tongkat
  • Tari Sigundari
  • Tari Mbuah Page
  • Tari Tiga Sibolangit
  • Pantun
  • Petatah petitih
  • Petuah
  • Syair (bersyair)
  • Senandung/nandung (dendang)
  • Gendang
  • Guro Aron-aron
  • Gurindam
  • Anding-andingen
  • Kuan-kuanen
  • Bilang-bilang (ratapan)
  • Cakap Lumat
  • Dengang Duka
  • Gundala Gundala
  • Tari sambut/tari penyambutan/tari persembahan (Tari Mejuah-juah)

Seni bela diri (Silat Karo)

Seni bela diri orang karo merupakan Silat Karo yang dalam bahasa Karo disebut ndikar. Kata tersebut mulai jarang digunakan masyarakat Karo sehingga kini asing terdengar. Masyarakat Karo dewasa ini cenderung menyebutnya dengan nama Silat Karo saja.

Kata ndikar untuk penamaan bela diri/silat dalam bahasa Karo kadang kerap disamakan dengan kata pandikar. Kata ndikar hanya untuk menyebut silat/bela diri, sedangkan pandikar merupakan seseorang yang mempunyai ilmu bela diri yang tinggi atau bisa juga orang yang mendalami ilmu bela diri dan memiliki ilmu bela diri.

Seni Musik

 
Instrumen alat-alat musik tradisional Karo.

Alat musik tradisional suku Karo adalah Gendang Karo. Biasanya disebut Gendang “Lima Sedalinen” yang artinya seperangkat gendang tari yang terdiri dari lima unsur.

Unsur disini terdiri dari beberapa alat musik tradisional Karo seperti kulcapi, balobat, surdam, keteng-keteng, murhab, serune, gendang si ngindungi, sendang si nganaki, penganak dan gung. Alat tradisional ini sering digunakan untuk menari, menyanyi dan berbagai ritus tradisi.

Jadi gendang Karo sudah lengkap (lima sedalinen) jika sudah ada serune, gendang si ngindungi, gendang si nganaki, penganak dan gung dalam mengiringi sebuah upacara atau pesta.

Seni Tari

 
Pasangan Karo menari

Tari dalam bahasa Karo disebut "landek". Pola dasar tari Karo adalah posisi tubuh, gerakan tangan, gerakan naik turun lutut (endek) disesuaikan dengan tempo gendang dan gerak kaki. Pola dasar tarian itu ditambah dengan variasi tertentu sehinggga tarian tersebut menarik dan indah.

Tarian berkaitan adat misalnya memasuki rumah baru, pesta perkawinan, upacara kematian dan lain-lain. Tarian berkaitan dengan ritus dan religi biasa dipimpin oleh guru (dukun). Misalnya tari mulih-mulih, tari tungkat, erpangir ku lau, tari baka, tari begu deleng, tari muncang, dan lain-lain.

Tarian berkaitan dengan hiburan digolongkan secara umum. Misalnya tari gundala-gundala, tari ndikkar dan lain-lain. Sejak tahun 1960 tari Karo bertambah dengan adanya tari kreasi baru. Misalnya tari lima serangkai yang dipadu dari lima jenis tari yaitu tari morah-morah, tari perakut, tari cipa jok, tari patam-patam lance dan tari kabang kiung. Setelah itu muncul pula tari piso surit, tari terang bulan, tari roti manis dan tari tanam padi.

Seni Ukir/Pahat

Keragaman seni pahat dan ukir suku Karo terlihat dari corak ragam bangunannya. Dulu orang yang ahli membuat bangunan Karo disebut "Pande Tukang".

Hal ini terlihat dari jenis-jenis bangunan Karo seperti rumah Siwaluh Jabu, Geriten, Jambur, Batang, Lige-lige, Kalimbaban, Sapo Gunung, dan Lipo. Seni ukir yang menjadi kekayaan kesenian Karo terlihat pada setiap ukiran bangunannya seperti Ukir Cekili Kambing, Ukir Ipen-Ipen, Ukir Embun Sikawiten, Ukir Lipan Nangkih Tongkeh, Ukir Tandak Kerbo Payung, Ukir Pengeretret, dan Ciken.

Suku Karo juga memiliki drama tradisional yang disebut dengan Gundala-Gundala.

Kegiatan kebudayaan dan adat-istiadat

  • Merdang Merdem = "Kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
  • Mahpah = "Kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
  • Mengket Rumah Mbaru - Pesta perayaan memasuki rumah (adat/ibadat) baru.
  • Mbesur-mbesuri - "Mengenyangkan" memberi makan untuk wanita yang hamil 7 bulan, dengan harapan memenuhi keinginannya sebelum melahirkan.
  • Cawir Metua = Upacara adat/ritual kematian
  • Ndilo Udan - Memanggil hujan.
  • Rebu-rebu - Mirip dengan pesta "kerja tahun".
  • Ngumbung - Hari jeda "aron" (kumpulan pekerja di desa).
  • Erpangir Ku Lau - Penyucian diri (untuk membuang sial).
  • Raleng Tendi - "Ngicik Tendi" , yaitu memanggil jiwa setelah seseorang kurang tenang karena terkejut secara suatu kejadian yang tidak disangka-sangka.
  • Motong Rambai - Pesta kecil keluarga - handai taulan untuk memanggkas habis rambut bayi (balita) yang terjalin dan tidak rapih.
  • Ngaloken Cincin Upah Tendi - Upacara keluarga pemberian cincin permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere atau dari Bibi ke Permain).
  • Manok Sangkepi
  • Mbaba Belo Selambar (MBS) - rangkaian ritus Pernikahan adat Karo
  • Ngaloken Rawit - Upacara keluarga pemberian pisau (tumbuk lada) atau belati atau clurit kecil yang berupa permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere) - keponakan laki-laki.

Kuliner khas

Makanan

 
Rumah makan babi panggang karo di Tigapanah

Kuliner Karo banyak ragamnya, salah satu yang terkenal adalah babi panggang karo, sering disingkat sebagai BPK. Babi panggang karo dibuat dengan cara memanggang babi yang sebelumnya telah diberi bumbu khas, yang di dalamnya terdapat tuba atau andaliman. Umumnya orang Karo yang menjual babi panggang karo di warung makan ataupun restoran, namun tidak jarang juga ditemukan orang non-Karo yang juga menjual hidangan tersebut seperti orang Batak Toba, Nias, dan lain-lain.

Kuliner Karo lainnya meliputi: Kidu-kidu, Manuk Getah, Arsik Nurung Mas, Cimpa, Unung-unung, Cincang Bohan, Pagit-pagit, Trites, Gule Kuta-kuta (gulai ayam kampung), Tasak Telu, Mie Keling, Bihun Bebek, Bika Ambon, Lemang Karo, Cipera, Anyang Pakis, Bulung Gadung, dan lain lain.

Minuman

Selain makanan, minuman khas Karo pun banyak macam ragamnya. Minuman yang terkenal adalah Susu Kitik yaitu teh susu telur khas Karo. Minuman ini umumnya disajikan di warung kopi di daerah Karo.

Lagu daerah

Beberapa lagu yang berasal dari daerah Karo adalah:

  • Piso Surit
  • Mbiring Manggis
  • Mejuah-juah
  • Famili Teksi
  • Sora Mido
  • Tengguli Laneng
  • Pincala
  • Si Lampas Melumang
  • O Taneh Karo
  • Deleng Sinabung

Agama (kepercayaan)

 
Gereja GBKP dan masjid yang berhadapan di Perteguhen

Mayoritas orang Karo memeluk agama Kristen Protestan (57.5%), Kristen Katolik (18.7%), Islam (21.3%), dan Pemena (1.1%). Lalu ada sebagian kecil yang beragama Hindu dan Buddha yaitu sekitar 1.4%.

Sebagian kecil orang Karo di Dusun Pintu Besi menganut agama Hindu yang dimana memiliki kemiripan dengan agama Hindu Bali mulai dari tempat ibadah berupa pura hingga upacara keagamaan.[7]

Umumnya pemeluk agama Pemena (agama awal dan agama asli Karo) berada di desa yang berada di dekat atau di kaki Gunung Sinabung.

Pemeluk agama tradisional/kepercayaan lama lainnya dapat ditemui di pedalaman dan mereka nyaris punah. Agama lainnya pun terutama agama Buddha dapat ditemui di perkotaan namun jumlahnya sangat sedikit.

Gereja yang didominasi suku Karo

 
Gereja GBKP Kabanjahe

Tokoh

Galeri

Referensi

  1. ^ Ginting, Ray Brema (2016). "Kristen di Dataran Tinggi Karo Tahun 1890-1906". Kristen di Dataran Tinggi Karo Tahun 1890-1906. Repositori Institusi Universitas Sumatera Utara (RI-USU). 
  2. ^ Ginting, Dewi (2012-08-08). "SEJARAH BERKEMBANGNYA AGAMA ISLAM DI TANAH KARO SUMATERA UTARA PADA TAHUN 1980- 2010". Ginting, Dewi (2012) SEJARAH BERKEMBANGNYA AGAMA ISLAM DI TANAH KARO SUMATERA UTARA PADA TAHUN 1980- 2010. Undergraduate thesis, UNIMED. UNIMED. 
  3. ^ "Katolik di Tanah Karo: Kabanjahe, 1942-1970an". jurnal.ugm.ac.id. Jurnal Lembaran Sejarah, Vol. 11, No. 2, Oktober 2014 | Mahasiswa S1 Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada. Oktober 2014. 
  4. ^ Rasmamana, Edi Putra (2016-09-03). "PENYEBARAN AGAMA BUDDHA PADA MASYARAKAT KARO DI KABUPATEN LANGKAT". Rasmamana, Edi Putra (2016) PENYEBARAN AGAMA BUDDHA PADA MASYARAKAT KARO DI KABUPATEN LANGKAT. Undergraduate thesis, UNIMED. UNIMED. 
  5. ^ Voice of Nature, Volumes 85-95. Yayasan Indonesia Hijau. 1990. hlm. 45. 
  6. ^ https://petabahasa.kemdikbud.go.id/provinsi.php?idp=Sumatra%20Utara
  7. ^ [1]

Bacaan lanjutan terkait

  • Perangin-angin, Martin. (2004). Orang Karo Diantara Orang Batak. Pustaka Sora Mido

Pranala luar