Bahasa Jawa Banyumasan
Bahasa Jawa Banyumasan[3] atau Dialek Banyumasan (bahasa Jawa: ꦧꦱꦗꦮꦧꦚꦸꦩꦱꦤ꧀, translit. Basa Jawa Banyumasan) adalah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di eks-Keresidenan Banyumas, Jawa Tengah dan di Kecamatan Lakbok, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.[4] Dialek ini menjadi salah satu dialek bahasa Jawa yang masih mempunyai kaitan dengan fonetik bahasa Jawa Kuno.
Bahasa Jawa Banyumasan
ꦧꦱꦗꦮꦧꦚꦸꦩꦱꦤ꧀ Basa Jawa Banyumasan | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Dituturkan di | Indonesia | ||||||
Wilayah | Daerah Banyumasan, sebagian barat Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Wonosobo (Jawa Tengah) Kecamatan Lakbok, Kabupaten Ciamis (Jawa Barat) | ||||||
Penutur | 4.914.500 jiwa (2010)[1] | ||||||
| |||||||
Status resmi | |||||||
Diatur oleh | Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah | ||||||
Kode bahasa | |||||||
ISO 639-3 | – | ||||||
Glottolog | bany1247 [2] | ||||||
Portal Bahasa | |||||||
Sejarah
Sejumlah ahli bahasa Jawa menyebut Bahasa Banyumasan sebagai bentuk Bahasa Jawa asli atau tahap awal.[5][6]
Bahasa Banyumasan mengalami tahap-tahap perkembangan sebagai berikut:
- Abad ke 9-13 sebagai bagian dari bahasa Jawa kuno
- Abad ke 13-16 berkembang menjadi bahasa Jawa abad pertengahan
- Abad ke 16-20 berkembang menjadi bahasa / dialek Banyumasan yang terpisah cukup jauh dengan dialek Wetan dan tengah
(Tahap-tahapan ini tidak berlaku secara universal)
Tahap-tahapan perkembangan tersebut sangat dipengaruhi oleh munculnya kerajaan-kerajaan di pulau Jawa yang juga menimbulkan tumbuhnya budaya-budaya feodal. Implikasi selanjutnya adalah pada perkembangan bahasa Jawa yang melahirkan tingkatan-tingkatan bahasa berdasarkan status sosial. Tetapi pengaruh budaya feodal ini tidak terlalu signifikan menerpa masyarakat di wilayah Banyumasan. Meskipun demikian, bahasa krama tetap dibutuhkan untuk berbagai acara formal dan ritual keagamaan. Terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara bahasa Banyumasan dengan bahasa Jawa standar sehingga di masyarakat Banyumasan timbul istilah bandhekan untuk merepresentasikan gaya bahasa Jawa standar, atau biasa disebut bahasa wetanan (timur)..[7]
Menurut M. Koderi (salah seorang pakar budaya & bahasa Banyumasan), kata bandhek secara morfologis berasal dari kata gandhek yang berarti pesuruh (orang suruhan/yang diperintah), maksudnya orang suruhan Raja yang diutus ke wilayah Banyumasan. Para pesuruh ini tentu menggunakan gaya bahasa Jawa standar (Surakarta / Yogyakarta) yang memang berbeda dengan bahasa Banyumasan.[8]
Rumpun bahasa Jawa bagian barat
Terdapat 4 sub-dialek utama dalam dialek bahasa Jawa bagian barat, yaitu Wilayah Utara (Tegalan), Wilayah Selatan (Banyumasan), Wilayah Cirebon - Indramayu (Dermayonan) dan Banten Utara.
Wilayah Utara
Dialek Tegalan dituturkan di wilayah utara, antara lain Brebes, Slawi, Pemalang, dan Tegal.
Wilayah Selatan
Dialek ini dituturkan di wilayah selatan, antara lain, Banyumas, Cilacap, Purwokerto, Purbalingga, Banjarnegara, dan Wonosobo, serta beberapa daerah lain seperti, Bagian Timur Ciamis-Pangandaran, Bagian Selatan Brebes, Bagian Selatan Pekalongan, dan Bagian Barat Kebumen.
Cirebon - Indramayu
Dialek ini dituturkan di sekitar Cirebon, Jatibarang dan Indramayu. Secara administratif, wilayah ini termasuk dalam Provinsi Jawa Barat.
Banten Utara
Dialek ini dituturkan di wilayah Banten utara (wilayah bagian utara Serang, Cilegon dan Tangerang) yang secara administratif termasuk dalam Provinsi Banten.
Selain itu terdapat beberapa sub-sub dialek dalam bahasa Banyumasan, antara lain sub dialek Bumiayu dan lain-lain.
Kosakata
Perbandingan kosakata dialek bahasa Jawa Banyumasan, Tegal, Pekalongan, Indramayu dan Banten:
Dialek Banyumasan | Dialek Tegal | Dialek Pekalongan | Dialek Indramayu | Dialek Banten | Bahasa Indonesia |
---|---|---|---|---|---|
inyong, nyong | ênyong, nyong,aku | nyong, aku | kula, réang, ingsun | kulê, kitê, ingsun | aku, saya |
rika, ko | kowên,rika | sampéyan, kowé | slira, sira, ira | sirê, irê, | kamu, kau |
awaké dhéwék | awaké dhéwék | awaké dhéwé | kita kabeh | kitê | kami |
rika kabèh | kowên kabèh | kowé kabèh | sira kabèh | sirê kabèh | kalian |
kiyé, iki | kiyé, iki | iki | kién, iki | kién, puniki, iki | ini |
kuwé, koh, iku | kuwé, kaé | kuwi, koh | kuèn, kuh, iku | kuèn, iku | itu |
kéné, mengené | kéné, méné | kéné, méné/mréné | kéné, méné | kéné, mérené | sini |
kana, mengana | kana, mana | kana, mono/mrono | kana, mana | kana, merana | sana, mana |
kêpriwé, kêpribé | kêprimén, kêpribén | kêpriyé, kêpige | kêpribén, kêpriwén, kêpriyén | kêprémén, kêlipun | bagaimana |
ora, udu, séjén | ora, dudu, bélih,béléh,séjén | ora, udu, séjé | ora, dudu, bêlih, bli, séjén | orê, udu | tidak, bukan |
Perbandingan kosakata dialek bahasa Jawa Banyumasan dengan bahasa Jawa Standar:
Dialek Banyumasan | Jawa Standar (Surakarta/Yogyakarta) |
Bahasa Indonesia |
---|---|---|
inyong, nyong | aku, awakku, kula | aku, saya |
rika, ko | kowé, sampéyan, awakmu | kamu, kau |
awaké dhéwék | kita, awaké dhéwé | kami |
rika kabéh | kowé kabéh | kalian |
kiyé, iki | iki, ki | ini |
kuwé, koh, iku | kuwi, iku | itu |
kéné, méngéne | kéné, méné | sini |
kana, mengana | kana, mrana | sana |
kêpriwé, kêpribe | kêpiyé, piyé | bagaimana |
ora, udu, séjén | ora, dudu | tidak, bukan |
Baca kegundahan Ahmad Tohari berikut ini:
Dalam kenyataan sehari-hari keberadaan basa banyumasan termasuk dialek lokal yang sungguh terancam. Maka kita sungguh pantas bertanya dengan nada cemas, tinggal berapa persenkah pengguna basa banyumasan 20 tahun ke depan? Padahal, bahasa atau dialek adalah salah satu ciri utama suatu suku bangsa. Jelasnya tanpa basa banyumasan sesungguhnya wong penginyongan boleh dikata akan Terhapus dari Peta etnik bangsa ini. Kekhawatiran belau lainnya: Mana bacaan teks-teks lama Banyumasan seperti babad-babad Kamandaka, misalnya, malah lebih banyak ditulis dalam dialek Jawa wetanan. Jadi sebuah teks yang cukup mewakili budaya dan semangat wong penginyongan harus segera disediakan
Sebuah fakta empiris bahwa penutur asli bahasa Banyumasan (Satria) akan mengalah bila berbicara dengan penutur bahasa wetanan (Satrio). Alasannya, Satria tidak ingin dicap sebagai orang rendahan karena menggunakan bahasa berlogat kasar.
salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan dan melestarikan dialek Banyumasan adalah dengan menggunakan bahasa tersebut di dalam pergaulan baik waktu orang banyumas berada di daerahnya maupun berada di luar daerah. Selain itu salah satu usaha yang lain adalah dengan dimasukkannya bahasa Banyumasan ke dalam kurikulum sekolah sebagai muatan lokal. Lobak sama dengan budin/singkong
"Cengkring" merupakan kata yang digunakan untuk menamai orang yang memiliki sifat "perasa" atau sensitif
Baca kegundahan Ahmad Tohari berikut ini:
Dalam kenyataan sehari-hari keberadaan basa banyumasan termasuk dialek lokal yang sungguh terancam. Maka kita sungguh pantas bertanya dengan nada cemas, tinggal berapa persenkah pengguna basa banyumasan 20 tahun ke depan? Padahal, bahasa atau dialek adalah salah satu ciri utama suatu suku bangsa. Jelasnya tanpa basa banyumasan sesungguhnya wong penginyongan boleh dikata akan Terhapus dari Peta etnik bangsa ini. Kekhawatiran belau lainnya: Mana bacaan teks-teks lama Banyumasan seperti babad-babad Kamandaka, misalnya, malah lebih banyak ditulis dalam dialek Jawa wetanan. Jadi sebuah teks yang cukup mewakili budaya dan semangat wong penginyongan harus segera disediakan
Sebuah fakta empiris bahwa penutur asli bahasa Banyumasan (Satria) akan mengalah bila berbicara dengan penutur bahasa wetanan (Satrio). Alasannya, Satria tidak ingin dicap sebagai orang rendahan karena menggunakan bahasa berlogat kasar.
salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan dan melestarikan dialek Banyumasan adalah dengan menggunakan bahasa tersebut di dalam pergaulan baik waktu orang banyumas berada di daerahnya maupun berada di luar daerah. Selain itu salah satu usaha yang lain adalah dengan dimasukkannya bahasa Banyumasan ke dalam kurikulum sekolah sebagai muatan lokal.
Lihat pula
Referensi
- ^ "Tabel Hasil Sensus Penduduk 2010 Provinsi JAWA Tengah". bps.go.id. Badan Pusat Statistik. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 Oktober 2011. Diakses tanggal 29 Mei 2020.
- ^ Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Jawa Banyumasan". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History.
- ^ Ahmad Tohari, dkk (2014). Kamus Bahasa Jawa Banyumasan-Indonesia. Semarang: Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah. ISBN 9786027664630.
- ^ Peta Bahasa Jawa Provinsi Jawa Barat. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
- ^ Budiono Herusasoto (2008) Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa Dan Watak
- ^ Orang Ngapak Bukannya Kasar, Tapi Blak-blakan dan Apa Adanya[1]
- ^ "Bupati Luncurkan Aplikasi Kamus Bahasa Banyumas" [Banyumas Regent Launches Banyumasan Language Dictionary Application]. banyumaskab.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 January 2020. Diakses tanggal 15 February 2020.
- ^ Dwi Meilani. "MAKALAH BUDAYA BANYUMASAN".
Pranala luar
- Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa (PUEBJ)
- Leksikon bahasa Jawa di Sastra.org
- Bausastra Jawa oleh W.J.S. Poerwadarminta
- Kamus bahasa Indonesia-Jawa
- Kamus bahasa Jawa-Inggris di SEAlang Projects
- Kamus bahasa Jawa Banyumasan - Indonesia—kamus bahasa Jawa dialek Banyumasan terbitan Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah
- Kata - kata umum dialek banyumasan—sebagai sarana belajar orang - orang diluar wilayah bralingmascakeb