Ketuhanan dalam Buddhisme

Konsep ketuhanan dalam Buddhisme

Ketuhanan dalam agama Buddha berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain, terutama agama rumpun Abrahamik (Samawi). Sebagai akibatnya, konsep-konsep agama Buddha yang berkaitan dengannya juga berlainan dengan konsep-konsep dari agama lain. Buddhisme tidak melibatkan keberadaan pencipta dunia pada pemahamannya mengenai iman, berdoa, terbentuknya alam semesta, munculnya manusia, kiamat, hingga keselamatan atau kebebasan.[1]

Ketuhanan dalam agama Buddha juga tidak berdasarkan kepada sosok mahakuasa sebagai pencipta[2] dan menyatakan bahwa alam semesta diatur oleh pañcaniyāmadhamma atau lima hukum kosmis, yakni Utu Niyāma, Bija Niyāma, Kamma Niyāma, Citta Niyāma, dan Dhamma Niyāma.

Alih-alih fokus pada Tuhan Tertinggi, ibadah umat Buddha lebih fokus pada keyakinan terhadap Tiratana, perenungan Empat Kebenaran Mulia, dan penerapan Jalan Mulia Berunsur Delapan untuk mencapai pencerahan diri (Nibbāna) sehingga sampai pada akhir dari nafsu (taṇhā) yang menyebabkan semua penderitaan kelahiran, usia, tua, penyakit, kematian, kepedihan, ratapan, dan keputusasaan.

Ketiadaan pencipta alam semesta

Penolakan Buddha atas Tuhan Tertinggi (issara) sebagai pencipta yang mahakuasa tertuang pada Devadaha Sutta, Majjhima Nikāya 101:[3]

Buddha juga menyatakan bantahan-Nya pada Titthāyatana Sutta, Aṅguttara Nikāya 3.61:[4]

Umat Buddha menerima keberadaan makhluk hidup di alam yang lebih tinggi, yang dikenal sebagai dewa dan brahma, tetapi mereka belum tentu lebih bijaksana daripada makhluk lainnya. Makhluk-makhluk tersebut juga bukan pencipta dunia. Pada suatu kesempatan, Buddha juga menolak kedudukan Mahābrahmā sebagai Tuhan Tertinggi. Buddha juga sering disebut sebagai guru para dewa.

Dengan memahami bahwa semua hal yang terjadi di dunia ini semata-mata hasil dari proses hukum kosmis, penganut Buddhisme meninggalkan pandangan yang salah (micchādiṭṭhi) tentang penciptaan bahwa dunia ini diciptakan oleh sosok pencipta mahakuasa yang disebut Brahma, Tuhan, atau apa pun sebutannya.[5]

Hukum alam yang Mahakuasa

Dengan tiadanya pencipta dunia, Buddhisme menyatakan bahwa alam semesta dan seluruh isinya diatur oleh lima hukum kosmis (pañcaniyāmadhamma) yang bekerja dengan sendirinya. Dalam agama Buddha, kelima hukum tersebut adalah sebagai berikut.

  1. Utuniyāma, hukum kepastian atau keteraturan musim.
  2. Bijaniyāma, hukum kepastian atau keteraturan biji.
  3. Kammaniyāma, hukum kepastian atau keteraturan kamma (perbuatan).
  4. Cittaniyāma, hukum kepastian atau keteraturan kesadaran.
  5. Dhammaniyāma, hukum kepastian atau keteraturan dhamma.

Kamma sebagai asal mula makhluk

Pada Abhiṇhapaccavekkhitabbaṭhānasutta, Aṅguttara Nikāya 5.57, Buddha menyampaikan bahwa di antara kelima hukum alam tersebut, perbuatan (kamma) sebagiamana diatur oleh hukum kepastian perbuatan (kammaniyāma) bertindak sebagai properti, warisan, asal mula, keluarga, dan perlindungan suatu makhluk.[6]

Setiap hukum tidak berjalan sendiri, artinya satu hukum dapat bekerja bersamaan dengan hukum-hukum lainnya. Oleh karena kamma didefinisikan sebagai kesadaran (citta) dengan eksistensi faktor-mental (cetasika) kehendak (cetanā) di kesadaran baik (kusalacitta) atau kesadaran buruk (akusalacitta), maka kammaniyāma yang mengatur kepastian perbuatan juga melibatkan cittaniyāma yang mengatur kesadaran terciptanya perbuatan.

Ketuhanan Yang Maha Esa

Berdasarkan beberapa pendapat yang berasal dari aliran Theravāda di Indonesia, Nibbāna sebagai keadaan dan tujuan tertinggi dapat dinyatakan sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Buddhisme. Pernyataan dari Sang Buddha yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan Nibbāna dalam agama Buddha terdapat dalam Tatiyanibbānapaṭisaṁyutta Sutta, Udāna 8.3:[7]

Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Sang Buddha yang merupakan konsep Nibbāna yang kemudian diinterpretasikan sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa. Nibbāna sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bahasa Pali adalah "ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ" yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan (ajāta), Tidak Menjelma (abhūta), Tidak Tercipta (akata), dan Tidak Terkondisi/Mutlak (asaṅkhata)". Dalam hal ini, Nibbāna sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sesuatu yang tidak terpersonifikasi atau tanpa-Aku (anatta). Dengan adanya Yang Mutlak atau Yang Tidak Terkondisi (asaṅkhata) maka manusia yang berkondisi (saṅkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (saṃsāra).[1]

Penggunaan istilah Nibbāna (Bahasa Indonesia: Nirwana atau "Kepadaman") hanya merupakan salah satu cara Buddha dalam mengilustrasikan Nibbāna atau Nirwana itu sendiri. Di kesempatan lain, Buddha seringkali menggunakan istilah-istilah lain yang juga merujuk kepada Nibbāna. Pada keseluruhan teks bagian Asaṅkhatasaṁyutta, Saṁyutta Nikāya 43, Buddha menguraikan 33 nama Nibbāna:[8]

  1. Yang Tak Terkondisi (asaṅkhataṁ)
  2. Hancurnya Nafsu-Keinginan, Kebencian, Delusi (rāgakkhaya dosakkhaya mohakkhaya)
  3. Ketidak-Condongan (anata)
  4. Ketanpa-Nodaan (anāsava)
  5. Kebenaran (sacca)
  6. Pantai Seberang (pāra)
  7. Yang Halus (nipuṇa)
  8. Yang Sangat Sulit Dilihat (sududdasa)
  9. Yang Tanpa Penuaan (ajajjara)
  10. Yang Stabil (dhuva)
  11. Ketidak-Hancuran (apalokita)
  12. Ketidak-Berwujudan (anidassana)
  13. Yang Tanpa Proliferasi (nippapañca)
  14. Yang Damai (santa)
  15. Tanpa-Kematian (amata)
  16. Yang Luhur (paṇīta)
  17. Yang Menguntungkan (siva)
  18. Yang Aman (khema)
  19. Hancurnya Nafsu-Keinginan (taṇhākkhaya)
  20. Yang Menakjubkan (acchariya)
  21. Yang Tanpa Penyakit (abbhuta)
  22. Kondisi Tanpa Penyakit (anītika)
  23. Nirwana atau Pemadaman (nibbāna)
  24. Yang Tidak Dirundung (abyābajjha)
  25. Kebosanan atau Ketanpa-keinginan (virāga)
  26. Kemurnian (suddhi)
  27. Kebebasan (mutti)
  28. Yang Tidak Melekat (anālaya)
  29. Pulau (dīpa)
  30. Naungan (leṇa)
  31. Suaka (tāṇa)
  32. Perlindungan (saraṇa)
  33. Tujuan (pāraya)

Sifat-sifat Ketuhanan

Handaka Vijjānanda berpendapat bahwa Tuhan dalam Buddhisme adalah empat sifat luhur yang merujuk pada cattāri brahmavihārā[9]. Brahmavihārā dalam Buddhisme meliputi:

  1. Mettā, cinta kasih.
  2. Karuna, welas asih atau sifat yang timbul karena adanya perasaan iba.
  3. Muditā, turut berbahagia atas jasa yang dilakukan orang lain.
  4. Upekkhā, keseimbangan batin.

Buddha Penemu Dhamma

Dhamma bukanlah ciptaan para Buddha. Para Buddha adalah penemu Dhamma, bukan pencipta Dhamma. Setelah menemukan Dhamma, Buddha mengajarkannya kepada semua makhluk agar mereka yang telah siap dapat memperoleh manfaatnya. Dengan demikian, ada atau tidak ada Buddha, hukum abadi tersebut akan tetap ada sepanjang zaman, sebagaimana disabdakan Buddha pada Uppādā Sutta, Aṅguttara Nikāya 3.136:[10]

Kedudukan Dewa dan Brahma

Dalam kosmologi Buddhisme, dewa adalah sebutan untuk makhluk-makhluk yang menempati alam surga. Dewa seringkali digambarkan sebagai makhluk yang tidak setara dengan manusia, memiliki kesaktian, hidup panjang, namun tetap tunduk pada kematian. Agama Buddha mengenal banyak dewa, namun mereka bukan Tuhan Tertinggi, mereka tidak sempurna dan tidak mahakuasa. Menurut Buddhisme, para dewa, layaknya manusia, juga merupakan makhluk yang sedang dalam usaha mencari kesempurnaan hidup.

 
Kosmologi Buddhis yang meliputi alam surga dan alam Brahmā.

Menurut Buddhisme, brahma adalah sebutan untuk makhluk-makhluk yang menempati alam brahma. Brahma, yang berkedudukan di atas dewa dalam kosmologi Buddhisme, juga bukan merupakan Tuhan Tertinggi. Pada suatu kesempatan (Brahmāyācana Sutta, Saṁyutta Nikāya 6.1[11]), Brahmā Sahampati, sesosok penguasa alam brahmā, juga memohon pengajaran Buddha.

Miskonsepsi Mahābrahmā

Menurut kosmologi Buddhis, Mahābrahmā, atau Brahma yang Agung, disebutkan dalam Dīgha Nikāya sebagai makhluk yang menempati alam atas.[12] Ia merupakan dewa pemimpin dan penguasa Alam Brahma.[13][14] Kendati sama-sama merupakan agama berbasis darma, Brahma dalam agama Buddha berbeda dengan Brahma dalam agama Hindu yang diyakini sebagai pencipta dunia.

"Mahabrahma dapat menyinari lebih dari ribuan sistem dunia dengan pancaran cahayanya yang cemerlang. Ia dapat melihat segala sesuatu dalam dunia-dunia tersebut, mendengarkan suara-suara, pergi ke tempat mana pun dan kembali sekehendak hatinya dalam seketika, dan membaca pikiran para manusia dan dewa. Berhubungan dengan kekuatan menciptakan dan mengubah sesuatu, mahabrahma dapat menciptakan atau mengubah tubuhnya sendiri atau objek eksternal apa pun menjadi berbagai bentuk. Namun ini hanya bagaikan pertunjukan sulap di mana ketika ia menarik kembali kekuatannya, semuanya akan lenyap. […] Mahabrahma dapat memindahkan ribuan manusia dalam kehidupan sekarang ke surga jika ia menginginkannya. Ia tidak dapat membuat mereka tidak mengalami usia tua dan kematian, bahkan ia tidak dapat menghalangi dan menyelamatkan mereka dari kelahiran kembali di alam yang menderita. Hal ini disebabkan karena unsur-unsur materi dan mental yang menyusun pribadi manusia berada dalam pengaruh hukum alam (Dhamma-niyama) dari kelahiran, usia tua, dan kematian. Ia tidak dapat membuat manusia atau makhluk mana pun terlahir kembali di surga setelah mereka meninggal karena lahirnya kehidupan baru di alam yang baru setelah kematian bukan dalam lingkungan kendali iddhi melainkan dalam kendali Kamma-niyama. […] Di dunia ini orang yang membunuh dan memakan unggas dan selalu mabuk minuman keras pasti jatuh ke alam yang menderita setelah kematian walaupun setiap hari rajin berdoa dan mengunjungi tempat ibadah. Mahabrahma atau ‘Tuhan’ tidak dapat menyelamatkannya bagaimanapun, karena ini berada dalam jangkauan Kamma-niyama dan bukan jangkauan iddhi. Sebaliknya, siapa pun yang tidak mempercayai konsep issara-kutta dan brahma-kutta, yang menyakini hukum kamma dan menjauhi perbuatan buruk dan selalu mengembangkan perbuatan baik, pasti naik ke alam yang bahagia setelah kematiannya. Mahabrahma tidak dapat mencegahnya datang ke surga, karena pengaruh iddhi tidak dapat menolak jalannya hukum moral. Mahabrahma tidak dapat mempertahankan dan menyelamatkan bahkan dirinya sendiri dari kejatuhan ke alam rendah."

Nurwito Nasiman, Pendidikan Agama Budha dan Budi Pekerti untuk SMA Kelas X. pp. 184–185. ISBN 978-602-427-074-2

Menurut agama Buddha, semua hal yang terjadi di dunia ini semata-mata hasil dari proses hukum kosmis, sehingga tiada sosok pencipta yang disebut Brahma, Tuhan, atau apa pun sebutannya.[2] Terjadinya dunia merupakan suatu siklus. Banyak dunia yang terbentuk dan hancur pada masa lampau. Setelahnya, dunia yang baru akan menggantikan dunia yang sekarang pada masa yang akan datang dan seterusnya. Kepercayaan bahwa dunia yang sekarang memiliki awal dan akhir—dengan merenungkan perumpamaan tentang rumah dengan pembangunnya—sampai pada kesimpulan bahwa dunia pasti memiliki pencipta: Sang Pencipta, Mahābrahmā, atau ‘Tuhan’ pada umumnya.[15]

Ada sebuah pokok uraian dalam agama Buddha yang mengantarkan beberapa penulis pada kesimpulan bahwa agama Buddha bersifat non-teis.[16] Kesimpulan ini didasarkan pada pernyataan Sang Buddha sendiri dalam Brahmajāla Sutta di mana Buddha menolak Mahābrahmā sebagai Tuhan, Pencipta, Mahakuasa dan sebagainya. Mahabrahma yang dimaksud dalam Brahmajāla Sutta adalah dewa Brahma yang salah mengerti tentang dirinya sendiri. Pernyataan Sang Buddha tersebut tertuang dalam Brahmajāla Sutta, Dīgha Nikāya 1:[17]

‘Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan Brahmana yang menganut sebagian abadi dan sebagian tidak-abadi, yang menyatakan keabadian sebagian dan ketidak-abadian sebagian akan diri dan dunia dalam empat cara. Atas landasan apakah?

‘Akan tiba waktunya, para bhikkhu, cepat atau lambat setelah rentang waktu yang panjang, ketika dunia ini menyusut. Pada saat penyusutan, makhluk-makhluk sebagian besar terlahir di alam Brahmā Ābhassara. Dan di sana mereka berdiam, dengan ciptaan-pikiran, dengan kegembiraan sebagai makanan, bercahaya, melayang di angkasa, agung—dan mereka hidup demikian selama waktu yang sangat lama.

[Pandangan salah 5] ‘Tetapi akan tiba waktunya, cepat atau lambat setelah rentang waktu yang panjang, ketika dunia ini mulai mengembang. Dalam dunia yang mengembang ini, sebuah istana Brahmā yang kosong muncul. Dan kemudian satu makhluk, karena habisnya masa kehidupannya atau jasa baiknya, jatuh dari alam Ābhassara dan muncul kembali dalam istana-Brahmā yang kosong. Dan di sana ia berdiam, dengan ciptaan-pikiran, dengan kegembiraan sebagai makanan, bercahaya, melayang di angkasa, agung—dan ia hidup demikian selama waktu yang sangat lama.

‘Kemudian dalam diri makhluk ini yang telah menyendiri sekian lama, muncullah kegelisahan, ketidak-puasan dan kekhawatiran, dan ia berpikir: “Oh, seandainya beberapa makhluk lain dapat datang ke sini!” Dan makhluk-makhluk lain, karena habisnya masa kehidupan mereka atau jasa-jasa baik mereka, jatuh dari alam Ābhassara dan muncul kembali di dalam istana-Brahmā sebagai teman-teman bagi makhluk ini. Dan di sana mereka berdiam, dengan ciptaan-pikiran, … dan mereka hidup demikian selama waktu yang sangat lama.

‘Dan kemudian, para bhikkhu, makhluk yang pertama muncul di sana berpikir: “Aku adalah Brahmā, Mahā-Brahmā, Sang Penakluk, Yang Tak Tertaklukkan, Maha-Melihat, Maha-Kuasa, Yang Termulia, Pembuat dan Pencipta, Penguasa, Pengambil Keputusan dan Pemberi Perintah, Ayah dari semua yang telah ada dan yang akan ada. Makhluk-makhluk ini diciptakan olehku. Mengapa demikian? Karena pertama-tama aku memiliki pikiran: “Oh, seandainya beberapa makhluk lain dapat datang ke sini!” itu adalah keinginanku, dan kemudian makhluk-makhluk ini muncul!” Tetapi makhluk-makhluk lain yang muncul belakangan berpikir: “Ini, teman-teman, adalah Brahmā, Mahā-Brahmā, Sang Penakluk, Yang Tak Tertaklukkan, Maha-Melihat, Maha-Kuasa, Yang Termulia, Pembuat dan Pencipta, Penguasa, Pengambil Keputusan dan Pemberi Perintah, Ayah dari semua yang telah ada dan yang akan ada. Mengapa demikian? Kita telah melihat bahwa dia adalah yang pertama di sini, dan bahwa kita muncul setelah dia.”

‘Dan makhluk yang muncul pertama ini hidup lebih lama, lebih indah dan lebih berkuasa daripada makhluk lainnya. Dan mungkin terjadi bahwa beberapa makhluk jatuh dari alam itu dan muncul di dunia ini. Setelah muncul di dunia ini, ia pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Setelah meninggalkan keduniawian, ia melalui usaha, upaya, penerapan, ketekunan dan perhatian benar telah mencapai suatu kondisi tertentu dari konsentrasi pikiran hingga mampu mengingat kehidupan sebelumnya yang terakhir, tetapi tidak mampu mengingat yang sebelum itu. Dan ia berpikir: “Brahmā itu, … ia menciptakan kami, dan ia kekal, stabil, abadi, tidak mengalami perubahan, sama selamanya. Tetapi kami yang diciptakan oleh Brahmā itu, kami tidak kekal, tidak stabil, berumur pendek, ditakdirkan terjatuh, dan kami datang ke dunia ini.” Ini adalah kasus pertama di mana beberapa pertapa dan Brahmana menganut sebagian abadi dan sebagian tidak-abadi."[18]

Konsep tanpa-pencipta

Iman atau keyakinan

Meskipun Buddha menolak adanya sosok pencipta yang mahakuasa, Buddha tetap menekankan pentingnya keyakinan atau iman (saddhā) terhadap Tiratana (Buddha, Dhamma, Saṅgha), hukum kamma, kelahiran kembali, dan Nibbāna.

Berdoa

Jika berdoa didefinisikan sebagai suatu aktivitas batin yang memohon atau meminta sesuatu yang diinginkan—misalnya kebahagiaan—kepada dewa, brahmā atau makhluk apa pun yang diyakini bisa memberikannya, maka Buddhisme menolak kegiatan berdoa. Dengan pengertian tersebut, kebahagiaan dianggap hanya bisa didapatkan melalui berdoa dan merupakan hadiah dari makhluk yang diminta. Apabila makhluk tersebut tidak berkenan, maka kebahagiaan tidak bisa terwujud karena tidak ada makhluk lain yang bisa menghalangi kehendaknya; termasuk diri sendiri. Dengan demikian, kebahagiaan menjadi sesuatu yang berada di luar kuasa seseorang. Dengan batasan istilah seperti ini, maka paritta buddhis, seperti Ettāvatā dan Brahmavihārapharaṇa, tidak termasuk dalam terminologi berdoa karena keduanya melibatkan perbuatan baik yang menjadi faktor utama kemunculan kebahagiaan.[19]

Dengan tiadanya pencipta dunia, pandangan Buddhisme mengenai berdoa pun tidak melibatkan kehadiran pencipta dunia. Pada Iṭṭha Sutta, Aṅguttara Nikāya 5.43,[20] Buddha menyatakan bahwa kecantikan, kebahagiaan, kemasyhuran, dan alam surga tidak dapat diperoleh melalui doa-doa atau aspirasi-aspirasi. Kecantikan, kebahagiaan, kemasyhuran, dan alam surga hanya dapat diperoleh dengan mempraktikkan jalan yang menuju padanya. Alih-alih berdoa dengan meminta tercapainya kebahagiaan kepada suatu sosok, Sammāsambuddha mengatakan bahwa sebab dari kebahagiaan adalah mengikuti jalan yang membawa ke kebahagiaan. Jalan yang membawa ke kebahagiaan adalah praktik-praktik kebajikan seperti dāna (praktik berdana), sīla (moralitas) dan lain-lain (dānasīlādikā puññapaṭipadā).[19]

Terbentuknya alam semesta dan terjadinya bumi

Menurut pandangan Buddhis, alam semesta ini sangat luas dengan banyak tata surya yang jumlahnya tidak dapat dihitung. Hal ini diterangkan oleh Sang Buddha sebagai jawaban atas pertanyaan Bhikkhu Ānanda dalam Cūḷanikā Sutta, Aṅguttara Nikāya 3.80:[21]

Dengan demikian, sebuah dvisahassi majjhimanika lokadhatu terdapat 1.000 x 1.000 = 1.000.000 tata surya dan sebuah tisahassi mahasahassi lokadhatu terdapat 1.000.000 x 1.000 = 1.000.000.000 tata surya.

Menurut agama Buddha, manusia pertama bukanlah seorang atau dua orang, tetapi banyak orang. Terjadinya Bumi dan manusia pertama yang tidak melibatkan suatu pencipta dunia diuraikan oleh Sang Buddha dalam Aggañña Sutta, Dīgha Nikāya 27[22] dan Brahmajāla Sutta, Dīgha Nikāya 1.[23] Berikut uraian Aggañña Sutta, Dīgha Nikāya 27:

‘Akan tiba waktunya, Vāseṭṭha, cepat atau lambat setelah rentang waktu yang panjang, ketika dunia ini menyusut. Pada saat penyusutan, makhluk-makhluk sebagian besar terlahir di alam Brahmā Ābhassara. Dan di sana mereka berdiam, dengan ciptaan-pikiran, dengan kegembiraan sebagai makanan, bercahaya, melayang di angkasa, agung—dan mereka hidup demikian selama waktu yang sangat lama. Tetapi cepat atau lambat setelah rentang waktu yang panjang, dunia ini mulai mengembang lagi. Pada saat mengembang ini, makhluk-makhluk dari alam Brahmā Ābhassara, setelah meninggal dunia dari sana, sebagian besar terlahir kembali di alam ini. Di sini mereka berdiam, dengan ciptaan-pikiran, dengan kegembiraan sebagai makanan, bercahaya, melayang di angkasa, agung– dan mereka hidup demikian selama waktu yang sangat lama.

‘Pada masa itu, Vāseṭṭha, hanya ada air, dan diselimuti kegelapan, kegelapan yang membutakan, tidak ada bulan dan tidak ada matahari yang muncul, tidak ada bintang, siang dan malam tidak dapat dibedakan, tidak juga bulan dan dwi-mingguan, tidak juga tahun atau musim, dan tidak ada laki-laki dan perempuan, makhluk-makhluk hanya dikenal sebagai makhluk-makhluk. Dan cepat atau lambat, setelah waktu yang sangat lama, tanah yang lezat muncul dengan sendirinya di atas permukaan air di mana makhluk-makhluk itu berada. Terlihat seperti lapisan yang terbentuk sendiri di atas susu panas ketika mendingin. Tanah ini memiliki warna, bau dan rasa. Seperti warna ghee atau mentega kualitas terbaik, dan sangat manis bagaikan madu murni.

...

‘Kemudian beberapa makhluk yang bersifat serakah berkata: “Aku mengatakan, apakah ini?” dan mengecap tanah lezat itu dengan jarinya. Karena melakukan hal itu, ia menjadi menyukai rasa itu, dan ketagihan muncul dalam dirinya. Kemudian makhluk-makhluk lain, mengambil contoh dari makhluk pertama itu, juga mengecap benda itu dengan jari mereka. Mereka juga menyukai rasa itu, dan ketagihan muncul dalam diri mereka. Maka mereka mulai dengan tangan mereka, memecahkan potongan-potongan benda itu untuk dapat memakannya. Dan akibat dari perbuatan ini adalah cahaya tubuh mereka lenyap. Dan sebagai akibat dari lenyapnya cahaya tubuh mereka, bulan dan matahari muncul, malam dan siang dapat dibedakan, bulan dan dwi-mingguan muncul, dan tahun dan musim-musimnya. Sampai sejauh itu dunia berevolusi.

‘Dan makhluk-makhluk itu terus berpesta tanah lezat dalam waktu yang lama, memakan tanah dan mendapatkan nutrisi dari tanah. Dan karena melakukan hal itu, jasmani mereka menjadi lebih kasar, dan perbedaan penampilan mulai terbentuk di antara mereka. Beberapa makhluk terlihat lebih rupawan, sedangkan yang lain terlihat buruk-rupa. Dan yang rupawan merendahkan yang lainnya, berkata: “Kami lebih rupawan daripada mereka.” Dan karena mereka menjadi sombong dan angkuh akan penampilan mereka, tanah yang lezat itu lenyap. Mengetahui hal ini, mereka berkumpul dan meratap: “Oh rasa itu! Oh rasa itu!” Dan masa kini ketika orang mengucapkan: “Oh rasa itu!” ketika mereka mendapatkan sesuatu yang menarik, mereka mengulangi kalimat kuno tanpa menyadarinya.

‘Dan kemudian, ketika tanah yang lezat lenyap, jamurtumbuh, sejenis cendawan. Jamurini memiliki warna, bau dan rasa. Seperti warna ghee atau mentega kualitas terbaik, dan sangat manis bagaikan madu murni. Dan makhluk-makhluk itu mulai memakan jamur itu. Dan hal ini berlangsung selama waktu yang sangat lama. Dan karena mereka terus-menerus memakan jamur, maka tubuh mereka menjadi lebih kasar lagi, dan perbedaan dalam penampilan mereka lebih nyata lagi. Dan mereka yang rupawan merendahkan yang buruk rupa … Dan karena mereka menjadi sombong dan angkuh akan penampilan mereka, jamur manis itu lenyap. Berikutnya, tanaman merambat muncul, menjulur bagaikan bambu …, dan tanaman itu juga sangat manis, bagaikan madu murni.

‘Dan makhluk-makhluk itu mulai memakan tanaman rambat itu. Dan karena mereka terus-menerus memakan tanaman rambat itu, maka tubuh mereka menjadi lebih kasar lagi, dan perbedaan dalam penampilan mereka lebih meningkat lagi … Dan mereka menjadi semakin sombong, dan karena itu tanaman rambat itu lenyap. Mengetahui hal ini, mereka berkumpul dan meratap: “Aduh, tanaman rambat kita lenyap! Apakah yang telah kita hilangkan!” Dan masa kini ketika orang-orang ditanya mengapa mereka bersedih, mereka mengucapkan: “Oh, apakah yang telah kita hilangkan!” mereka mengulangi kalimat kuno tanpa menyadarinya.

‘Dan kemudian, setelah tanaman merambat lenyap, beras muncul di ruang terbuka, bebas dari dedak dan sekam, harum dan berbutiran bersih. Dan apa yang mereka ambil untuk makan malam akan tumbuh lagi dan masak di pagi harinya, dan apa yang mereka ambil untuk sarapan pagi akan masak lagi di malam hari, tidak ada tanda-tanda telah dipanen. Dan makhluk-makhluk ini mulai memakan beras ini, dan hal ini berlangsung selama waktu yang sangat lama. Dan karena mereka melakukan hal itu, maka tubuh mereka menjadi lebih kasar lagi, dan perbedaan dalam penampilan mereka lebih meningkat lagi. Dan yang perempuan menumbuhkan alat kelamin perempuan, dan yang laki-laki menumbuhkan alat kelamin laki-laki. Dan yang perempuan menjadi tertarik dengan laki-laki, dan yang laki-laki tertarik dengan perempuan, nafsu tumbuh, dan tubuh mereka terbakar oleh nafsu. Dan kemudian, karena terbakar oleh nafsu, mereka terlibat dalam aktivitas seksual. Tetapi mereka yang melihat perbuatan itu melemparkan debu, abu atau kotoran sapi kepada mereka, meneriakkan: “Matilah, engkau binatang kotor! Bagaimana mungkin seseorang melakukan hal demikian terhadap orang lain!” seperti di masa kini, ketika seorang menantu perempuan di bawa keluar, beberapa orang melemparkan kotoran padanya, beberapa melemparkan abu, dan beberapa melemparkan kotoran-sapi, tanpa menyadari bahwa mereka mengulangi perilaku kuno. Apa yang dianggap buruk di masa itu sekarang dianggap baik.

‘Dan makhluk-makhluk yang pada masa itu melakukan hubungan seksual tidak diperbolehkan memasuki desa atau kota selama satu atau dua bulan. Oleh sebab itu, mereka yang melakukan perbuatan itu secara berlebihan dalam waktu yang lama mulai membangun rumah agar perbuatan mereka tidak terlihat.

‘Kemudian pikiran ini muncul dalam salah satu dari makhluk itu yang cenderung malas: “Mengapa aku harus bersusah payah mengumpulkan beras di malam hari untuk makan malam dan di pagi hari untuk makan pagi. Mengapa aku tidak mengumpulkan sekaligus untuk dua kali makan?” Dan ia melakukan hal itu. Kemudian makhluk lain mendatanginya dan berkata: “Ayo, mari kita mengumpulkan beras.” “Tidak perlu, temanku, aku telah mengumpulkan cukup untuk dua kali makan.” Kemudian makhluk lain, mengikuti teladannya, mengumpulkan cukup beras untuk dua hari sekaligus, berkata: “Ini cukup.” Kemudian makhluk lain mendatangi makhluk kedua dan berkata: “Ayo, mari kita mengumpulkan beras.” “Tidak perlu, temanku, aku telah mengumpulkan cukup untuk dua hari.” hal yang sama untuk 4, kemudian 8 hari. Akan tetapi, ketika makhluk-makhluk itu membuat lumbung beras dan hidup dari lumbung itu, dedak dan sekam mulai membungkus beras itu, dan ketika dipanen, tidak tumbuh lagi, dan tempat panen mulai terlihat, dan beras tumbuh dalam rumpun-rumpun terpisah.

‘Dan kemudian makhluk-makhluk itu berkumpul dan meratap: “Cara-cara jahat meliputi kita: pada mulanya kita adalah ciptaan-pikiran, makan dari kegembiraan … (semua kejadian diulangi hingga yang terakhir, setiap perubahan dikatakan disebabkan oleh ‘cara jahat dan tidak bermanfaat’) … dan beras tumbuh di rumpun-rumpun terpisah. Mari kita membagi beras ini menjadi lahan-lahan dengan perbatasan.” Dan mereka melakukan hal itu.

‘Kemudian, Vāseṭṭha, satu makhluk yang memiliki sifat serakah, sewaktu melihat lahannya sendiri, mengambil lahan lain yang tidak diberikan kepadanya, dan menikmati buahnya juga. Maka mereka menangkapnya dan berkata: “Engkau telah melakukan kejahatan, mengambil lahan makhluk lain seperti itu! Jangan pernah melakukan hal itu lagi!” “Aku tidak akan melakukan hal itu lagi”, ia berkata, tetapi ia melakukan hal yang sama untuk kedua kali dan ketiga kalinya. Sekali lagi mereka menangkapnya dan memarahinya, dan beberapa memukulnya dengan tinju mereka, beberapa menggunakan batu, dan beberapa menggunakan tongkat. Dan demikianlah, Vāseṭṭha, mengambil apa yang tidak diberikan, dan mencela, dan berbohong, dan hukuman berasal-mula.

‘Dan kemudian makhluk-makhluk itu berkumpul dan meratapi munculnya hal-hal jahat di tengah-tengah mereka: mengambil apa yang tidak diberikan, dan mencela, dan berbohong, dan hukuman. Dan mereka berpikir: “Bagaimana jika kita menunjuk satu makhluk tertentu, yang menunjukkan kemarahan ketika kemarahan diperlukan, mencela mereka yang patut dicela, dan mengusir mereka yang patut diusir! Dan sebagai imbalannya, kita akan menyerahkan sebagian dari beraskita.” Maka mereka mendatangi salah satu di antara mereka yang paling tampan, paling menarik, paling menyenangkan dan memiliki kemampuan, dan memintanya untuk melakukan hal itu untuk mereka dan sebagai imbalannya mereka akan memberikan kepadanya sebagian beras mereka, dan ia menyetujuinya.

‘“Pilihan Penduduk” adalah arti dari Mahā-Sammata, yang merupakan gelar pertamayang diperkenalkan. “Tuan Tanah” adalah arti dari Khattiya, gelar kedua. Dan “Ia Menggembirakan Orang Lain dengan Dhamma” adalah arti dari Rājā, gelar ketiga yang diperkenalkan. Inilah kemudian, Vāseṭṭha, yang menjadi asal-usul dari kasta Khattiya, sesuai dengan gelar masa lampau yang diperkenalkan untuk menyebut mereka. Mereka berasal dari makhluk-makhluk yang sama, seperti kita juga, tidak ada perbedaan, dan sesuai dengan Dhamma, bukan sebaliknya.

Dhamma adalah yang terbaik baik bagi manusia;

Dalam kehidupan ini maupun kehidupan berikutnya.

‘Kemudian beberapa makhluk ini berpikir: “Hal-hal jahat telah muncul di tengah-tengah para makhluk, seperti mengambil apa yang tidak diberikan, dan mencela, dan berbohong, hukuman dan pengusiran. Kita harus menyingkirkan hal-hal jahat dan tidak bermanfaat.” Dan mereka melakukan hal itu. “Mereka MenyingkirkanHal-hal Jahat dan Tidak Bermanfaat” adalah arti dari Brahmana, yang merupakan gelar pertama yang diperkenalkan untuk orang-orang demikian. Mereka mendirikan gubuk-gubuk daun di tempat-tempat di dalam hutan dan bermeditasi di dalamnya. Dengan api dipadamkan, dengan penumbuk padi disingkirkan, mengumpulkan dana makanan untuk makan malam dan pagi, mereka pergi ke desa, pemukiman atau ibukota untuk mencari makanan, dan kemudian kembali ke gubuk daun mereka untuk bermeditasi. Orang-orang melihat hal ini dan memperhatikan bagaimana mereka bermeditasi. “Mereka Bermeditasi”adalah arti dari Jhāyaka, yang adalah gelar ke dua yang diperkenalkan.

‘Akan tetapi, beberapa makhluk, tidak mampu bermeditasi di gubuk daun, mereka bertempat tinggal di dekat desa dan pemukiman dan menyusun buku. Orang-orang melihat mereka melihat hal ini dan tidak bermeditasi. “Sekarang Orang-orang Ini Tidak Bermeditasi”adalah arti dari Ajjhāyaka, yang adalah gelar ketiga yang diperkenalkan. Pada masa itu, ini dianggap sebutan yang rendah, tetapi sekarang sebutan ini menjadi lebih tinggi. Inilah kemudian, Vāseṭṭha, yang menjadi asal-usul dari kasta Brahmana, sesuai dengan gelar masa lampau yang diperkenalkan untuk menyebut mereka. Mereka berasal dari makhluk-makhluk yang sama seperti mereka, tidak ada perbedaan, dan sesuai dengan Dhamma, bukan sebaliknya.

Dhamma adalah yang terbaik baik bagi manusia;

Dalam kehidupan ini maupun kehidupan berikutnya.

‘Dan kemudian, Vāseṭṭha, beberapa dari makhluk-makhluk itu, setelah berpasangan, melakukan berbagai jenis perdagangan, dan kata “Berbagai”ini adalah arti dari Vessa, yang menjadi gelar biasa bagi orang-orang demikian. Inilah kemudian, yang menjadi asal-usul dari kasta Vessa, sesuai dengan gelar masa lampau yang diperkenalkan untuk menyebut mereka. Mereka berasal dari makhluk-makhluk yang sama …

‘Dan kemudain, Vāseṭṭha, makhluk-makhluk itu yang tetap melakukan perburuan. “Mereka Yang Rendah Yang Hidup Dari Perburuan”, dan ini adalah arti dari Sudda, yang menjadi gelar biasa bagi orang-orang demikian. Inilah kemudian, yang menjadi asal-usul dari kasta Suddasesuai dengan gelar masa lampau yang diperkenalkan untuk menyebut mereka. Mereka berasal dari makhluk-makhluk yang sama …

‘Dan kemudian, Vāseṭṭha, beberapa Khattiya tidak puas dengan Dhamma-nya sendiri, meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk menjalani kehidupan tanpa rumah, berpikir: “Aku akan menjadi seorang petapa.” Dan seorang Brahmana melakukan hal yang sama, seorang Vessa juga melakukan hal yang sama, dan juga seorang Sudda. Dari empat kasta ini, muncullah kasta petapa.

Mereka berasal dari makhluk-makhluk yang sama seperti mereka, tidak ada perbedaan, dan sesuai dengan Dhamma, bukan sebaliknya.

Dhamma adalah yang terbaik baik bagi manusia;

Dalam kehidupan ini maupun kehidupan berikutnya.

‘Dan, Vāseṭṭha, seorang Khattiya yang menjalani kehidupan yang burukdalam jasmani, ucapan dan pikiran, dan yang memiliki pandangan salah akan, sebagai akibat dari pandangan dan perbuatan salah itu, saat hancurnya jasmani, terlahir kembali di alam sengsara, bertakdir buruk, mengalami kejatuhan, di neraka. Demikian pula dengan seorang Brahmana, Vessa atau Sudda.

‘Sebaliknya, seorang Khattiya yang menjalani kehidupan yang baik dalam jasmani, ucapan dan pikiran, dan yang memiliki pandangan benar akan, sebagai akibat dari pandangan dan perbuatan benar itu, saat hancurnya jasmani, terlahir kembali di alam bahagia, di alam surga. Demikian pula dengan seorang Brahmana, Vessa atau Sudda.

‘Dan seorang Khattiya yang telah melakukan kedua jenis perbuatan itu, dalam jasmani, ucapan dan pikiran, dan yang memiliki pandangan campuran akan, sebagai akibat dari pandangan dan perbuatan campuran itu, saat hancurnya jasmani setelah kematian, mengalami kesenangan dan kesakitan. Demikian pula dengan seorang Brahmana, Vessa atau Sudda.

‘Dan seorang Khattiya yang terkendali dalam jasmani, ucapan dan pikiran, dan yang mengembangkan tujuh prasyaratpencerahan, akan mencapai Parinibbānadalam kehidupan ini juga. Demikian pula dengan seorang Brahmana, Vessa atau Sudda.

‘Dan, Vāseṭṭha, siapapun di antara empat kasta, sebagai seorang bhikkhu, menjadi seorang Arahant yang telah menghancurkan kekotoran, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkanbeban, telah mencapai tujuan tertinggi, telah menghancurkan belenggu penjelmaan, dan menjadi terbebaskan melalui pandangan terang tertinggi—ia dinyatakan sebagai yang tertinggi di antara mereka sesuai Dhamma dan bukan sebaliknya.

Dhamma adalah yang terbaik baik bagi manusia;

Dalam kehidupan ini maupun kehidupan berikutnya.

‘Vāseṭṭha, adalah Brahmā Sanankumāra yang mengucapkan syair ini:

“Khattiya adalah yang terbaik di antara semua kasta;

Ia dengan pengetahuan dan perilaku yang baik adalah yang terbaik di antara para dewa dan manusia.”

Syair ini dinyanyikan dengan benar, tidak salah, diucapkan dengan benar, tidak salah, berhubungan dengan manfaat, bukan tidak berhubungan. Dan Aku juga mengatakan hal ini, Vāseṭṭha:

“Khattiya adalah yang terbaik di antara semua kasta;

Ia dengan pengetahuan dan perilaku yang baik adalah yang terbaik di antara para dewa dan manusia.”

Demikianlah Sang Bhagavā berbicara, dan Vāseṭṭha dan Bhāradvāja senang dan gembira mendengar kata-kata Beliau.

Kiamat

Kiamat atau hancur leburnya Bumi dijelaskan pada Sattasūriya Sutta, Aṅguttara Nikāya 7.66.[24] Menurut Buddhisme, kiamat disebabkan oleh terjadinya musim kemarau yang lama sekali. Selanjutnya, dengan berlangsungnya musim kemarau yang panjang ini, muncullah matahari yang kedua. Lalu, dengan berselangnya suatu masa yang lama, matahari ketiga muncul. Kemudian, matahari keempat hingga ketujuh muncul secara bertahap. Pada waktu matahari ketujuh muncul, bumi terbakar hingga menjadi debu dan lenyap bertebaran di alam semesta.

“Para bhikkhu, fenomena-fenomena terkondisi adalah tidak kekal; fenomena-fenomena terkondisi adalah tidak stabil; fenomena-fenomena terkondisi adalah tidak dapat diandalkan. Cukuplah itu untuk menjadi kecewa pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk menjadi bosan pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

“Para bhikkhu, Sineru, raja pegunungan, adalah 84.000 yojana panjangnya dan 84.000 yojana lebarnya; terbenam 84.000 yojana di dalam samudra raya dan menjulang 84.000 yojana di atas samudra raya.

(1) “Akan tiba waktunya, para bhikkhu, ketika hujan tidak turun selama bertahun-tahun, selama ratusan tahun, selama ribuan tahun, selama ratusan ribu tahun. Ketika hujan tidak turun, maka benih-benih kehidupan dan tumbuh-tumbuhan, tanaman obat-obatan, rerumputan, dan pepohonan besar di dalam hutan menjadi layu dan mengering dan menjadi tidak ada lagi. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi, begitu tidak stabilnya, begitu tidak dapat diandalkannya. Cukuplah itu untuk menjadi kecewa pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk menjadi bosan pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(2) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke dua muncul. Dengan munculnya matahari ke dua, maka sungai-sungai kecil dan danau-danau mengering dan menguap dan menjadi tidak ada lagi. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi … Cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(3) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke tiga muncul. Dengan munculnya matahari ke tiga, maka sungai-sungai besar—Gangga, Yamunā, Aciravatī, Sarabhū, dan Mahī - mengering dan menguap dan menjadi tidak ada lagi. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi … Cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(4) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke empat muncul. Dengan munculnya matahari ke empat, maka danau-danau besar dari mana sungai-sungai besar itu berasal—Anotatta, Sīhapapāta, Rathakāra, Kaṇṇamuṇda, Kunāla, Chaddanta, dan Mandākinī - mengering dan menguap dan menjadi tidak ada lagi. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi … Cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(5) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke lima muncul. Dengan munculnya matahari ke lima, maka air di samudra raya menyurut hingga seratus yojana, dua ratus yojana… tiga ratus yojana … tujuh ratus yojana. Air yang tersisa di samudra raya sedalam tinggi tujuh pohon palem, sedalam enam pohon palem … lima pohon palem … empat pohon palem … tiga pohon palem … dua pohon palem … hanya satu pohon palem. Air yang tersisa di samudra raya sedalam tujuh depa … enam depa … lima depa … empat depa … tiga depa … dua depa … satu depa … setengah depa … setinggi pinggang … setinggi lutut … semata kaki. Bagaikan di musim gugur, ketika hujan turun dengan butiran-butiran besar, maka air menggenang di jejak kaki sapi di sana-sini, demikian pula air yang tersisa di samudra raya akan menggenang di sana sini [dalam kolam-kolam] yang berukuran sebesar jejak kaki sapi. Dengan munculnya matahari ke lima, maka air di samudra raya menyurut hingga sendi-sendi jari tangan. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi … Cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(6) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke enam muncul. Dengan munculnya matahari ke enam, bumi ini dan Sineru, raja pegunungan, berasap, berpijar, dan menyala. Bagaikan api pengrajin tembikar, ketika dinyalakan, pertama-tama berasap, berpijar, dan menyala, demikian pula dengan munculnya matahari ke enam, bumi ini dan Sineru, raja pegunungan, berasap, berpijar, dan menyala. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi … Cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(7) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke tujuh muncul. Dengan munculnya matahari ke tujuh, bumi ini dan Sineru, raja pegunungan, meledak terbakar, menyala dengan terang, dan menjadi sebuah kumpulan api yang besar. Ketika bumi ini dan Sineru menyala dan terbakar, apinya tertiup angin, menjulang hingga ke alam brahmā. Ketika kehancuran sedang berlangsung dan dikuasai oleh kumpulan besar panas, maka gunung yang puncaknya setinggi seratus yojanamenjadi hancur; gunung yang puncaknya dua ratus yojana… tiga ratus yojana … empat ratus yojana … lima ratus yojana menjadi hancur.

“Ketika bumi ini dan Sineru terbakar dan menyala, tidak ada abu atau jelaga yang terlihat. Seperti halnya, ketika ghee atau minyak terbakar dan menyala, tidak ada abu atau jelaga yang terlihat. Demikian pula ketika bumi ini dan Sineru terbakar dan menyala, tidak ada abu atau jelaga yang terlihat. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi, begitu tidak stabilnya, begitu tidak dapat diandalkannya. Cukuplah itu untuk menjadi kecewa pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk menjadi bosan pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

“Para bhikkhu, siapakah kecuali mereka yang telah melihat kebenaran akan berpikir atau percaya: ‘Bumi ini dan Sineru, raja pegunungan, akan terbakar, hancur, dan menjadi tidak ada lagi’?

“Di masa lampau, para bhikkhu, terdapat seorang guru bernama Sunetta, pendiri suatu sekte spiritual, seorang yang tanpa nafsu pada kenikmatan-kenikmatan indria. Guru Sunetta memiliki ratusan murid yang kepada mereka ia mengajarkan Dhamma untuk berkumpul dengan alam brahmā. Ketika ia sedang mengajar, mereka yang sepenuhnya memahami ajarannya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam brahmā. Tetapi mereka yang tidak sepenuhnya memahami ajarannya, beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva yang menguasai ciptaan para deva lain; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva yang bersenang dalam penciptaan; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva Tusita; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva Yāma; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva Tāvatiṁsa; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva [yang dipimpin] oleh empat raja dewa. Beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para khattiya makmur; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para brahmana makmur; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para perumah tangga makmur.

“Kemudian, para bhikkhu, Guru Sunetta berpikir: ‘Tidaklah selayaknya jika aku mencapai alam tujuan masa depan yang persis sama dengan para muridku. Biarlah aku mengembangkan cinta kasih lebih jauh lagi. Kemudian selama tujuh tahun Guru Sunetta mengembangkan pikiran cinta kasih. Sebagai konsekuensinya, selama tujuh kappa penghancuran dan pengembangan dunia ia tidak kembali ke alam ini. Ketika dunia sedang hancur, ia mengembara di [alam] cahaya gemerlap. Ketika dunia sedang mengembang, ia terlahir kembali di dalam sebuah istana Brahmā yang kosong.

“Di sana ia adalah Brahmā, Brahmā Agung, penakluk, yang tidak tertaklukkan, maha melihat, maha kuasa. Ia menjadi Sakka, penguasa para deva, sebanyak tiga puluh enam kali. Ratusan kali ia menjadi raja pemutar-roda, seorang raja yang baik yang memerintah sesuai Dhamma, seorang penakluk yang kekuasaannya merentang hingga empat penjuru, seorang yang telah mencapai stabilitas dalam negerinya, yang memiliki tujuh pusaka. Ia memiliki lebih dari seribu putra yang merupakan pahlawan-pahlawan, yang perkasa, mampu menggilas bala tentara musuh-musuh mereka. Ia menguasai setelah menaklukkan bumi ini hingga sejauh batas samudra, bukan dengan kekuatan dan senjata melainkan dengan Dhamma.

“Para bhikkhu, walaupun ia memiliki umur yang sedemikian panjang dan berlanjut selama waktu yang lama, Guru Sunetta masih belum terbebas dari kelahiran, dari usia tua dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan siksaan. Ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak memahami empat hal. Apakah empat ini? Perilaku bermoral yang mulia, konsentrasi yang mulia, kebijaksanaan yang mulia, dan kebebasan yang mulia.

“Perilaku bermoral yang mulia, para bhikkhu, telah dipahami dan ditembus. Konsentrasi yang mulia telah dipahami dan ditembus. Kebijaksanaan yang mulia telah dipahami dan ditembus. Kebebasan yang mulia telah dipahami dan ditembus. Ketagihan pada penjelmaan telah dipotong; saluran penjelmaan telah dihancurkan; sekarang tidak ada lagi penjelmaan baru.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini, Yang Berbahagia, Sang Guru, lebih lanjut mengatakan sebagai berikut:

“Perilaku bermoral, konsentrasi, kebijaksanaan,

dan kebebasan yang tidak terlampaui:

hal-hal ini Sang Gotama yang termasyhur

telah dipahami oleh diriNya sendiri.

“Setelah secara langsung mengetahui hal-hal ini,

Sang Buddha mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu.

Sang Guru, pembuat-akhir penderitaan,

Seorang dengan penglihatan, telah mencapai nibbāna.”

Keselamatan atau kebebasan

Keselamatan atau kebebasan dapat dicapai dalam masa kehidupan kita sebagai manusia. Kebebasan tertinggi menurut Buddhisme adalah Nibbāna. Kebebasan ini seharusnya diketahui oleh orang bersangkutan, seperti yang disabdakan oleh Buddha dalam Parinibbāna Sutta:

Mengenai Bhikkhu Salba, O, Ananda, dengan melenyapkan kekotoran-kekotoran batinnya selama hidupnya itu, maka ia telah memperoleh kebebasan batiniah dari noda, telah mendapatkan kebebasan melalui kebijaksanaan, dan hal itu telah dipahami dan disadarinya sendiri.

Untuk mencapai kebebasan atau keselamatan (Nibbāna), Buddha telah menunjukkan jalan yang dapat dilaksanakan oleh setiap orang. Dengan mengikuti jalan (Jalan Mulia Berunsur Delapan) yang telah ditunjukkan ini, seseorang diyakini dapat mencapai kesucian pada kehidupan sekarang ini juga, seperti yang diuraikan Buddha dalam Mahāsatipaṭṭhāna Sutta, Majjhima Nikāya 10[25] sebagai berikut:

Dalam aliran-aliran

Sang Hyang Adi Buddha

Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1988),[26] Adi Buddha dan tradisi yang menggunakan istilah ini dijelaskan sebagai berikut:

“Adi‐Buddha adalah salah satu sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Buddha. Sebutan ini berasal dari tradisi Aisvarika dalam aliran Mahayana di Nepal, yang menyebar lewat Benggala, hingga dikenal pula di Jawa. Sedangkan Aisvarika adalah sebutan bagi para penganut paham Ketuhanan dalam agama Buddha. Kata ini berasal dari ‘Isvara’ yang berarti ‘Tuhan’ atau ‘Maha Buddha’ atau ’Yang Mahakuasa’, dan ‘ika’ yang berarti ‘penganut’ atau ‘pengikut’.”

“Istilah ini hidup di kalangan agama Buddha aliran Svabhavavak yang ada di Nepal. Aliran ini merupakan salah satu percabangan dari aliran Tantrayana yang tergolong Mahayana. Sebutan bagi Tuhan Yang Maha Esa dalam aliran ini adalah Adi‐Buddha. Paham ini kemudian juga menyebar ke Jawa, sehingga pengertian Adi‐Buddha dikenal pula dalam agama Buddha yang berkembang di Jawa pada zaman Sriwijaya dan Majapahit. Para ahli sekarang mengenal pengertian ini melalui karya tulis B.H. Hodgson. Ia adalah seorang peneliti yang banyak mengkaji hal keagamaan di Nepal.”

“Menurut paham ini seseorang dapat menyatu (moksa) dengan Adi‐Buddha atau Isvara melalui upaya yang dilakukannya dengan jalan bertapa (tapa) dan bersamadhi (dhyana).”

Umat Buddha Indonesia sejak zaman Syailendra dan Mataram Kuno sudah meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Kitab Namasangiti yang ditulis oleh seorang Bhikkhu Indonesia benama Candrakirti, dan simbolisme yang terpancar pada stupa mandala candi Borobudur, memberi bukti bahwa agama Buddha yang dipeluk oleh rakyat Indonesia sejak zaman Sriwijaya, Mataram Kuno, Syailendra, dan Majapahit adalah agama Buddha yang mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa.

Beberapa kitab yang menggunakan istilah Sanghyang Adi Buddha:

1. Naskah Guna Karanda Vyuha

"Sewaktu belum ada apa-apa, Sambhu sudah ada, inilah yang disebut Svayambhu (yang ada dengan sendirinya), dan mendahului segala sesuatu, karena itu disebut juga Sang Adi Buddha."

2. Naskah Sanghyang Kamahayanikan

"Segala puji bagi Sanghyang Adi Buddha, inilah Sanghyang Kamahayanikan yang hendak Kuajarkan kepadamu, kepada putra Buddha (yang juga) keluarga Tathagata, keagungan pelaksanaan Sanghyang Mahayana itulah yang kuajarkan kepadamu."

Herman S. Hendro (1968) dalam tulisannya menyebutkan:

"Stupa besar teratas [Borobudur] jang tertutup adalah lambang dari manusia jang telah mentjapai Kebebasan Mutlak (Nibbana/Nirwana) dan manunggal dengan Sang Adi Buddha. Dalam stupa tersebut dulu terdapat sebuah artja Buddha dalam bentuk kasar dan tak terselesaikan jang menggambarkan Sang Adi Buddha jang tak dapat dibajangkan oleh manusia."

Mahāyāna

Pada dasarnya, aliran Mahāyāna juga meyakini Nibbāna-sebagai-Ketuhanan. Namun, aliran Mahāyāna juga memercayai beberapa paham khusus mengenai hakikat Tuhan Yang Maha Esa, seperti tertera dalam dialog antara Sakyamuni Buddha dengan Mahamati Bodhisattva, yang tercatat dalam kitab suci Lankavatara Sutra sebagai berikut:

"...... untuk alasan ini Mahamati, silahkan para Bodhisattva Mahasattva yang sedang mencari pemujaan kebenaran menghasilkan kesucian Tathagatagarba yang dikenal sebagai Alayavijnanam. Mahamati, bila kau berkata bahwa tak ada Tathagatagarba yang dikenal sebagai Alayavijnanam, maka tak ada juga keterbitan maupun penghilangan dalam ketidakhadiran-Nya. Tathagatagarba dikenal juga sebagai Alayavijnanam. (Lankavatara Sutra Hal. 190).

...... Mahamati, Tathagatagarba (penerangan unggul) memegang di dalam kedua-duanya, yaitu: kebaikan dan kejahatan, dan olehNya semua bentuk keadaan dihasilkan. (Lankavatara Sutra Hal. 190).

......Sesungguhnya Mahamati, para Tathagata, yang sepenuhnya diterangi menyampaikan ajaran Tathagatagarba yang sebetulnya tak dikenal sebagai persamaan dengan buah pikiran sifat egoisnya para ahli filsfat. Maka Mahamati, supaya tak meninggalkan hal kesalahpahaman yang dipelihara oleh para ahli filsafat, kamu harus berjuang untuk mengajar sifat tak egois dan Tathagatagarba.(Lankavatara Sutra XXVIII, hal. 68).

...... Mahamati, bahwa kerajaan Tathagatahood adalah kerajaan Tathagatagarba, dimulai dengan Alayavijnanam adalah teruntuk Bodhisattva Mahasattva, yang seperti kamu juga dihadiahkan kelembutan, kecerdikan yang menembusi kekuatan pemikiran dan pengertiannya adalah sesuai dengan artinya, dan tidak untuk yang lain. Seperti ahli filsafat Sravakah dan Pratyekabuddha, yang terlihat kepada naskah-naskah keagamaan, untuk alasan ini, Mahamati, supaya kamu dan para Bodhisattva Mahasattva yang lain menertibkan diri dalam kerajaan Tathagatahood.

...... Diceritakan oleh saya dalam Naskah undang-undang keagamaan yang berkaitan dengan Ratu Srimala dan dalam hal lain, Bodhisattva dihadiahkan keajaiban, kelembutan, kehalusan, pengetahuan asli telah didukung (oleh kekuatan Rohani saja), bahwa Tathagatagarba dikenal sebagai Alayavijnanam yang lambat laun menjadi bersama dengan ketujuh Vijnana. Ini ditujukan kepada Sravakah yang tak bebas dari ikatan, untuk memperlihatkan kepada mereka sesuatu yang tak egois, dan untuk Ratu Srimala kepada siapa kekuatan kesucian rohani Buddha ditambahkan, kerajaan Tathagata yang asli dituangkan. Ini tak termasuk dalam kerajaan, ada untung karena ini dilanjutkan oleh Sravakah, Pratyekabuddha dan lain-lain filsafat tanpa kecuali. Mahamati, bahwa kerjaan Tathagata adalah kerajaan Tathagatagarba Alayavijnanam teruntuk Bodhisattva Mahasattva"

Mengingat Tuhan Yang Maha Esa sebagai sesuatu yang tidak mungkin terjangkau dalam alam pikiran manusia, maka Sakyamuni Buddha dengan berbagai cara dan dengan memakai berbagai perumpamaan mencoba menjelaskan perihal Tuhan Yang Maha Esa, antara lain dengan menyebutkan sebagai hukum yang tunggal (Saddharma Pundarika Sutra). Tathagatagarba merupakan sumbernya semua Tathagata/Para Buddha Penerangan Unggul, disabdakan oleh Sakyamuni Buddha sebagai terang benderang dan Esa (Lankavatara Sutra XXVIII, hal. 63). Dari dialog antara Sakyamuni Buddha dengan Mahamati Bodhisattva, Mahāyāna memercayai adanya kekuatan yang kekal yang berada di luar jangkauan daya pikiran manusia, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, yang di dalam agama Buddha aliran Mahayana dikenal dengan sebutan Tathagatagarba. Alayavijnanam adalah percikan-percikan dari benih-benih Tathagatagarba (Tuhan Yang Maha Esa) yang terdapat di dalam setiap manusia.

Menurut Mahāyāna, di dalam jiwa setiap manusia sesungguhnya terdapat kesadaran yang kekal, yang merupakan percikan-percikan benih Ketuhanan, Tathagatagarba (Alayavijnanam). Akan tetapi, benih Ketuhanan ini tidak akan tumbuh dengan sendirinya tanpa dipelihara dan dirawat. Dalam hal ini adalah tergantung pada kemauan orang tersebut, apakah dia mau merawat, memelihara dengan baik benih-benih Ketuhanan yang ada didalam dirinya sehingga dia dapat manunggal, bersatu dengan kekekalan, atau sebaliknya. Di dalam memelihara dan merawat benih-benih Ketuhanan inilah perlunya manusia beragama dengan melaksanakan jalan Bodhisatta untuk merawat dan memelihara benih-benih Ketuhanan tersebut agar tidak salah dan tidak keliru dalam pelaksanaannya.[27]

Tiantai, Tendai, Cheontae, dan Nichiren

Aliran Tiantai, Tendai, Cheontae, dan Nichiren memercayai adanya "Mystic Law" (Hukum Mistik) berdasarkan Lotus Sutra (Saddharma Puṇḍarīka Sūtra) yang merupakan salah satu sutra Mahayana yang paling populer dan berpengaruh, dasar di mana aliran-aliran ajaran Buddha Tiantai, Tendai, Cheontae, dan Nichiren didirikan. Menurut Paul Williams, "Bagi banyak penganut Buddha Asia Timur sejak masa awal Saddharma Pundarika Sutra (Lotus Sutra) berisi ajaran terakhir Sang Buddha, lengkap dan cukup untuk keselamatan." [28]

Hukum mistik ini adalah entitas tertinggi atau kebenaran yang menembus semua fenomena di alam semesta, tetapi itu bukan makhluk yang dipersonifikasikan. Ada satu kesatuan tertinggi dari manusia dan hukum tertinggi ini, yaitu tidak ada pemisahan antara manusia (semua manusia) dan gagasan tentang Tuhan ini sebagai Hukum Mistik.

Kebenaran abadi dan tidak berubah yang ada dalam diri kita adalah sumber dari mana kita dapat menarik kebijaksanaan belas kasih yang sesuai dengan keadaan yang berubah, dan keberanian serta keyakinan untuk hidup sesuai dengan kebijaksanaan itu. Ini mistis, bukan magis, karena totalitasnya di luar konseptualisasi manusia; dan upaya untuk mengkotak-kotakkannya, katakanlah dalam bentuk manusia, hanya membatas-batasi. Umat Buddha Tiantai, Tendai, Cheontae, dan Nichiren memandang bahwa realitas tertinggi, kebenaran tertinggi, kemurnian tertinggi ada di dalam setiap manusia. Karena itu, semua orang sebagai sakral dan secara sempurna memiliki potensi untuk menjadi individu yang sangat bahagia dan tercerahkan. Tidak ada 'kita' dan 'mereka', tidak ada yang saleh dan durhaka, semua adalah anak-anak Tuhan yang merupakan entitas dari Hukum Mistik.

Sebutan Nichiren untuk Tuhan adalah "Nam-myoho-renge-kyo", suatu Hukum Mistik. Mereka percaya Tuhan ada baik "di sini" (dalam diri) maupun "di luar sana" (luar diri) dan bahwa cahaya batin ini dapat bersinar dari dalam ketika kita terbangun dan membuka hati kita melalui tindakan memuji "Nam-myoho-renge-kyo".

Secara linguistik, Namu Myōhō Renge Kyō terdiri dari yang berikut ini:

  • Namu 南無 "devoted to" (khusyuk terhadap), transliterasi bahasa Sansekerta namas
  • Myōhō 妙法 "exquisite law" (hukum yang sangat indah)
    • Myō 妙, dari Bahasa Tiongkok Pertengahan mièw, "strange, mystery, miracle, cleverness" (aneh, misteri, mukjizat, kepandaian)
    • 法, dari Bahasa Tiongkok Pertengahan pjap, "law, principle, doctrine" (hukum, asas, doktrin)
  • Renge-kyō 蓮華經 "Lotus Sutra"
    • Renge 蓮華 ""padma (lotus)"" (teratai)
      • Ren 蓮, dari Bahasa Tiongkok Pertengahan len, "lotus" (teratai)
      • Ge 華, dari Bahasa Tiongkok Pertengahan xwæ, "flower" (bunga)
    • Kyō 經, dari Bahasa Tiongkok Pertengahan kjeng, "sutra" (sutra)

Aliran ini telah mulai membayangkan alam semesta dengan cara yang berbeda. Konsep Tuhan sebagai Hukum Mistik sesuai dengan pemahaman yang telah mereka capai sendiri. Mereka akan menemukan, karena sebagian besar penganut Buddha Tiantai, Tendai, Cheontae, dan Nichiren dapat membuktikan, bahwa Hukum Mistik akan, dengan cukup baik, mengisi lubang berbentuk 'Tuhan' dalam diri spiritual mereka.[29]

Vajrayana

Di dalam ajaran Vajrayana – yang berbasis Mahayana — memang dikenal adanya sosok Buddha primordial, yang sebenarnya adalah personifikasi kualitas terdalam dari batin kita di level Dharmakaya. Aliran Nyingma di Tibet yang muncul paling awal menyebutnya sebagai Samantabhadra. Sementara aliran Sarma yang muncul selanjutnya yakni Sakya, Kagyu, Jonang, dan Gelug menyebut sebagai Vajradhara. Di Nepal dikenal istilah Adinata yang berarti "pelindung utama"; juga Swayambhulokanatta yang berarti "pelindung jagat yang tidak dilahirkan". Sementara Buddha primordial dalam aliran Shingon atau tantra Jepang adalah Vairochana.[30][31]

Rangtong

Rangtong berarti “kosong dari sifat diri sendiri”. Ini adalah istilah filosofis dalam agama Buddha Tibet yang digunakan untuk menyebut tentang sifat śūnyatā atau “kekosongan”, yaitu bahwa semua fenomena kosong dari masa lalu dan/atau esensi yang tidak berubah atau “diri”, bahwa kekosongan ini bukanlah kenyataan absolut, melainkan hanya merupakan karakterisasi nominal dari fenomena. Rangtong ingin mengatakan bahwa di dalam realita yang absolut, tiada yang absolut. Hal ini terkait dengan pandangan prasangika, yang berpendapat bahwa tidak ada bentuk penalaran silogisme yang seharusnya digunakan untuk memperdebatkan gagasan keberadaan yang inheren, namun hanya argumen yang menunjukkan implikasi logis dan absurditas posisi berdasarkan eksistensi yang melekat. Pandangan ini merupakan tafsir utama Madhyamaka dari Gelugpa, aliran Buddhisme Vajrayana yang didirikan oleh Lama Tsongkhapa.

Shentong

Shentong, secara harfiah berarti “kekosongan lain”, adalah pandangan minoritas di dalam Madhyamaka Tibet. Aliran ini berpendapat bahwa śūnyatā menyetujui kenyataan relatif kosong dari sifat diri sendiri, namun menyatakan bahwa kenyataan absolut itu sendiri tidak kosong dan benar-benar ada. Realitas absolut ini digambarkan dengan istilah positif, sehingga mirip dengan kebenaran tertinggi dalam konsep Hindu. Shentong disistematisasikan dan diartikulasikan oleh Dolpopa Sherab Gyaltsen (1292-1361), seorang lama dari aliran Jonang, yang identik dengan praktik Tantra Kalachakra. Dalam sejarahnya, pandangan Shentong digilas oleh aliran Gelug yang dominan selama beberapa ratus tahun sejak Dalai Lama kelima, karena alasan politis dan doktrin. Pada tahun 1658, penguasa Gelug juga melarang aliran Jonang karena alasan politik, dan mengubah biarawan dan biara aliran itu menjadi Gelug. Ajaran dan kitab-kitab shentong dilarang, sehingga membuat posisi rangtong sangat dominan dalam corak agama Buddha Tibet dan aliran Jonang nyaris musnah. Namun pada abad ke-19 pandangan Shentong bangkit kembali, dan berlanjut dengan gerakan Rimé (nonsektarian). Saat ini pandangan Shentong hadir lagi dan merasuk terutama di aliran Nyingma dan Kagyu. Dengan mengutip kitab Mahāyāna Sūtra Mahāparinirvāṇa, Sūtra Aṅgulimālīya dan Sātra Śrīmālādevī Siṃhanāda, Dolpopa menyebut bahwa Buddha atau diri sejati yang ada di dalam masing-masing pribadi sebagai kebenaran aktual, tidak dikondisikan atau dihasilkan oleh proses sebab-akibat temporal. Interpretasi Shentong tentang doktrin tathāgatagarbha adalah bahwa Buddha di dalam semua makhluk adalah sifat-sifat yang tidak berubah, permanen, tidak terkondisi. Buddha adalah kualitas kebahagiaan, welas asih, kebijaksanaan, kekuatan, dan sebagainya yang dianggap sebagai sesuatu yang sesungguhnya terus ada permanen dan tak terbatas, walau tertutupi oleh keserakahan, kemarahan, dan kebotohan batin manusia.

Menurut Shentong, kebenaran tertinggi, yang disebut oleh istilah seperti tathāgatagarbha (Esensi Buddha), dharmadhātu (Dimensi Kebenaran), dan dharmakāya (Tubuh Kebenaran), adalah keadaan permanen atau kekal. Menurutnya, semuanya berkaitan dengan ranah Nirvana, dan menjadi satu dengan sifat Buddha. Menurut Dolpopa, yang diutarakannya ini bukan sekadar pandangan intelektual, tapi pengalaman langsung tentang kebahagiaan dan realitas tertinggi yang telah dialaminya.[32]

Tridharma (Sam Kauw Hwee / San Jiao Hui)

Dengan masuknya pengaruh Buddhisme, kemudian muncul suatu aliran yang disebut Thian Tao (Tian Dao) atau Tridharma yang merangkum ketiga ajaran, yaitu Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme. Aliran Tridharma menggunakan sebutan "Thian" yang mengarah kepada Tuhan Yang Maha Esa.[33] Aliran ini mempertegas nama dan kedudukan Siang Te. Menurut aliran ini, alam semesta ini terdiri dari tiga tingkat, yaitu Li Tian (Nirwana), Qi Tian (Kayangan) dan Xiang Tian (Bumi). Tuhan Yang Maha Esa disebut sebagai Bing Bing Siang Te (Ming Ming Shang Di) dan berkedudukan di Li Tian / Nirwana.

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ a b Cornelis Wowor, M.A. "Ketuhanan Yang Mahaesa Dalam Agama Buddha". Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id.
  2. ^ a b Nasiman, Nurwito. 2017 (III). Pendidikan Agama Budha dan Budi Pekerti untuk SMA Kelas X. pp. 175-176. ISBN 978-602-427-074-2. "Dengan memahami bahwa semua hal yang terjadi di dunia ini semata-mata hasil dari proses hukum kosmis, kita diharapkan dapat meninggalkan konsep yang salah tentang penciptaan bahwa dunia ini diciptakan oleh sosok pencipta yang disebut brahma, Tuhan, atau apa pun sebutannya."
  3. ^ Anggara, Indra. "MN 101: Devadahasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  4. ^ Anggara, Indra. "AN 3.61: Titthāyatanasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  5. ^ Nasiman, Nurwito. 2017 (III). Pendidikan Agama Budha dan Budi Pekerti untuk SMA Kelas X. pp. 175-176. ISBN 978-602-427-074-2. "Dengan memahami bahwa semua hal yang terjadi di dunia ini semata-mata hasil dari proses hukum kosmis, kita diharapkan dapat meninggalkan konsep yang salah tentang penciptaan bahwa dunia ini diciptakan oleh sosok pencipta yang disebut brahma, Tuhan, atau apa pun sebutannya."
  6. ^ Anggara, Indra. "AN 5.57: Abhiṇhapaccavekkhitabbaṭhānasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2023-06-26. 
  7. ^ Anggara, Indra. "Ud 8.3: Tatiyanibbānapaṭisaṁyuttasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  8. ^ Anggara, Indra. "SN 43: Asaṅkhatasaṁyutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2023-04-24. 
  9. ^ Vijjānanda, Handaka. Dhamma untuk Anak. Ehipassiko Foundation. 
  10. ^ Anggara, Indra. "AN 3.136: Uppādāsutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  11. ^ Anggara, Indra. "SN 6.1: Brahmāyācanasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  12. ^ Peter Harvey (2013). An Introduction to Buddhism: Teachings, History and Practices. Cambridge University Press. hlm. 35–36. ISBN 978-0-521-85942-4. 
  13. ^ Richard K. Payne; Taigen Dan Leighton (2006). Discourse and Ideology in Medieval Japanese Buddhism. Routledge. hlm. 57–58. ISBN 978-1-134-24210-8. 
  14. ^ Joseph Edkins. Chinese Buddhism: A Volume of Sketches, Historical, Descriptive and Critical. Trübner. hlm. 224–225. 
  15. ^ Nasiman, Nurwito. 2017 (III). Pendidikan Agama Budha dan Budi Pekerti untuk SMA Kelas X. ISBN 978-602-427-074-2. "Dalam mencari sebab pertama permulaan dunia, mereka gagal. Namun, dengan merenungkan tentang rumah dan bangunan dengan perancang dan pembangunnya, mereka sampai pada kesimpulan bahwa dunia ini pasti memiliki penciptanya dan ia pastilah Sang Pencipta, mahabrahma, atau ‘Tuhan’."
  16. ^ Corneles Wowor, M.A. "Ketuhanan Yang Mahaesa Dalam Agama Buddha". Website Buddhis Samaggi Phala. "Mereka antara lain: 1. Helmut von Glasenapp, Buddhism, A Non-Theistic Religion. 2. Douglas M. Burns, M.D., Buddhism, Science and Atheism. Kedua penulis ini menitikberatkan pengertian atau konsep Ketuhanan seperti konsep Ketuhanan yang ada pada agama lain di luar agama Buddha. Mereka menanggapi dengan serius tentang Maha Brahma sebagai pencipta yang ditolak oleh Sang Buddha. Bila Maha Brahma dilegitimasikan sebagai atau sama dengan Ketuhanan dalam agama tersebut, ini berarti bahwa Ketuhanan dalam agama tersebut pun turun derajatnya menjadi dewa atau manusia! Jelas pandangan seperti ini adalah keliru. Menurut pandangan Buddhis, Maha Brahma yang disebutkan dalam Brahmajala Sutta adalah mahluk yang belum mencapi tingkat kesucian, dan pada suatu waktu kelak bila karma baik Maha Brahma tersebut untuk hidup di alam Maha Brahma itu telah habis, maka Maha Brahma itu akan terlahir di alam yang lebih rendah yaitu di alam para dewa (devaloka) atau terlahir sebagai manusia. Banyak penulis yang berpandangan seperti di atas, tapi karena terbatasnya waktu maka cukup dua penulis itu yang disinggung di sini."
  17. ^ Anggara, Indra. "DN 1: Brahmajālasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  18. ^ Sutta Pitaka, Digha Nikaya I, Proyek Pengadaan Kitab Suci Buddha hal 22-24. "Kecuali alam Suddhavasa (Aviha, Atappa, Sudassa, Sudassi dan Akahittha) dari 31 alam ini yaitu 26 alam pernah menjadi tempat kelahiran dari mahluk yang telah menjadi manusia sekarang. Dengan kata lain kita dapat terlahir di 26 alam tersebut, tapi selama kita belum mencapai kesucian atau kebebasan mutlak maka alam kehidupan kita berubah terus. Terlahir kembali menurut pandangan Buddhis yaitu kelahiran seseorang di antara 31 alam kehidupan tersebut. Dalam ungkapan "Bila seorang meninggal dunia maka ia akan langsung terlahir kembali" ini berarti orang tersebut langsung terlahir kembali di salah satu alam dari 31 alam, dan kelahiran ini tergantung dari amal perbuatan selama hidup juga sampai di mana kematangan batinnya. Lima alam Suddhavasa adalah khusus tempat kelahiran para anagami dan dari alam-akam Suddhavasa ini mereka akan parinibbana yang berarti tidak akan terlahir lagi sebagai mahluk di alam mana pun. Nibbana (nirvana) bukan alam tetapi sesuatu keadaan batin yang bebas dari belenggu."
  19. ^ a b Kheminda, Ashin. "Berdoa Dari Sudut Pandang Buddhisme". Dhammavihari Buddhist Studies. Diakses tanggal 2022-09-19. 
  20. ^ Anggara, Indra. "AN 5.43: Iṭṭhasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  21. ^ Anggara, Indra. "AN 3.80: Cūḷanikāsutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  22. ^ Anggara, Indra. "DN 27: Aggaññasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  23. ^ Anggara, Indra. "DN 1: Brahmajālasutta—Indra Anggara". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  24. ^ Anggara, Indra. "AN 7.66: Sattasūriyasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  25. ^ Anggara, Indra. "MN 10: Mahāsatipaṭṭhānasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  26. ^ Ensiklopedi Nasional Indonesia (1988). Jakarta: Cipta Adi Pustaka
  27. ^ 2014. Biksu Dutavira Mahasthavira (Koordinator Dewan Sangha Walubi).
  28. ^ Williams 1989, p. 149.
  29. ^ Phillip Hammond and David W. Machacck, “Soka Gakkai in America,” (Oxford University Press Inc., New York 1999).
  30. ^ Dolpopa Sherab Gyaltshen (2006). Mountain doctrine: Tibet’s fundamental treatise on other-emptiness and the Buddha-matrix. Ithaca, NY: Snow Lion Publications.
  31. ^ Stearns, Cyrus (2010). The Buddha from Dölpo: a study of the life and thought of the Tibetan master Dölpopa Sherab Gyaltsen. Ithaca, NY: Snow Lion Publications.
  32. ^ Thera, Nyanaponika. “Buddhism and the God-idea”. The Vision of the Dhamma. Kandy, Sri Lanka: Buddhist Publication Society. (accesstoinsight.org)
  33. ^ Singgih, Marga (2017). "Tridharma Selayang Pandang". Jakarta: Perkumpulan Tridharma.

Pranala luar