Suku Ambon
Suku Ambon (Ambon: orang Ambong) adalah sebuah kelompok etnis dengan ras campuran Austronesia-Melanesia yang terutama mendiami Kepulauan Maluku bagian selatan. Suku Ambon adalah kelompok etnis terbesar di Provinsi Maluku, terutama mendiami wilayah Ambon, Saparua, Seram bagian selatan, Nusalaut, Haruku, dan Ambalau. Suku ini menuturkan bahasa Melayu Ambon dan bahasa-bahasa tana (Asilulu, Hitu, Laha, Soya,[a] dan Tulehu); keduanya termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia.[1]
Jumlah populasi | |
---|---|
ca 1.590.000 | |
Daerah dengan populasi signifikan | |
Indonesia | ca 1.500.000 |
Belanda | ca 90.000 |
Bahasa | |
Ambon, Indonesia, Asilulu | |
Agama | |
Protestan (mayoritas), Islam Sunni, Katolik | |
Kelompok etnik terkait | |
Orang Maluku lainnya |
Suku Ambon merupakan suku yang dikenal paling berpengaruh di antara suku-suku asal Kepulauan Maluku lainnya. Mereka mulai meluaskan pengaruhnya ketika masa penjajahan Portugis. Hal inilah yang menyebabkan sering kali istilah orang Ambon dipadankan dengan orang Maluku.[1] Setelah kedatangan bangsa-bangsa Eropa yang menyusul penyebaran Islam, suku Ambon dicirikan oleh persaingan Islam-Kristennya.[2]
Meskipun suku Ambon berasal dari Kepulauan Maluku, sebagian besar dari mereka tersebar dan membentuk penyebaran bersama orang-orang asal Maluku lainnya dalam jumlah yang besar di Papua, Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat.[3] Beberapa dari mereka pun membentuk diaspora di Belanda, juga bersama-sama dengan orang Maluku lainnya.
Etimologi
Asal-usul nama "Ambon" sendiri tidak dapat ditentukan secara pasti. Namun, yang pasti adalah istilah Ambon diambil dari nama pulau Ambon. Menurut penduduk setempat, nama "Ambon" atau "Ambong" berasal dari kata ombong 'embun' dalam bahasa Ambon. Nama tersebut diperkirakan diberikan karena puncak-puncak gunung di pulau Ambon sendiri sering kali ditutupi oleh embun.[4]
Pada mulanya, istilah orang Ambon atau Ambonezen dalam bahasa Belanda digunakan untuk merujuk pada orang mestizo yang berasal dari pulau Ambon. Namun pada perkembangan selanjutnya, istilah tersebut digunakan untuk mengacu pada orang yang berasal dari Seram, Kepulauan Lease, dan pulau-pulau di sekitarnya.[4] Meskipun pada akhirnya istilah orang Ambon merujuk pada suku Ambon, masih sering ditemukan pars pro toto dengan maksud keseluruhan orang Maluku.[1] Hal yang sama terjadi di Belanda, meskipun pada pertengahan 1960-an para simpatisan Republik Maluku Selatan mulai menekankan penggunaan istilah orang Maluku Selatan atau Zuid-Molukkers agar lebih mencakup etnis lainnya. Hal tersebut berakhir ditolak oleh Pemerintah Belanda yang mengganti istilah tersebut dengan cukup Molukken.[5]
Sejarah
Suku Ambon membagi sejarahnya menjadi enam zaman penting, dimulai dari zaman Nenek Moyang, dilanjutkan oleh Portugis, Vlaming, Pattimura, Kompeni, hingga zaman Republik. Garis besar sejarah suku Ambon dimulai dari Nunusaku di Seram Barat.[6][7][8] Karenanya pun, budaya tradisional Seram menjadi landasan budaya Ambon.[5]
Leluhur
Asal-usul suku Ambon
Sejarah Ambon menurut adat dimulai dari Gunung Nunusaku di Seram yang juga dianggap keramat oleh suku Wemale dan Alune.[9] Nunusaku sendiri dianggap sebagai pusat dunia oleh suku Ambon dan tanah pertama yang muncul dari dasar laut ketika dunia diciptakan serta puncaknya memiliki pohon beringin yang bercabang menjadi tiga sungai: Eti, Tala, dan Sapalewa.[10] Terdapat pula tiga ekor burung merpati putih yang hinggap di ketiga cabang pohon tersebut.[11] Hal ini berhubungan dengan nama Nunusaku sendiri yang terdiri dari dua kata, yaitu nunu atau beringin dan saku atau perlindungan.[12]
Menurut cerita rakyat, semua manusia purba hidup di Nunusaku hingga terjadi pertengkaran besar yang memecah masyarakat tersebut menjadi dua, dikenal sebagai Heka Nunusaku (Perpecahan Nunusaku). Mereka terpecah menjadi Patasiwa yang mengarah ke barat dan mendiami ketiga sungai yang bercabang dari Nunusaku serta Patalima yang mengarah ke timur Seram. Perpecahan lebih lanjut pun terjadi dan dari kelompok tersebut, ada yang meninggalkan Seram dan menetap di Ambon-Lease.[13] Ada pula cerita rakyat yang menyatakan bahwa dua manusia pertama di Nunusaku adalah Yale, dewa matahari, yang berkulit hitam dan istrinya Nibela yang berkulit putih. Mereka membangun kapal dan berlayar di kapal yang terpisah. Namun, kapal Yale segera kandas di Nunusaku dan menjadi leluhur suku Ambon, sedangkan kapal Nibela berlanjut berlayar dan awaknya menjadi leluhur orang Eropa.[14] Hingga kini, cerita tersebut dicampur dengan agama suku Ambon kini. Bagi mereka, Heka Nunusaku setara dengan pembangunan Menara Babel, sementara Gunung Nunusaku adalah Taman Eden. Ketiga burung merpati di cabang pohon beringin Nunusaku sering dianggap mewakili Sem, Ham, dan Yafet, para leluhur manusia. Ada pula yang menyamakan Nunusaku sebagai Gunung Ararat. Mereka percaya hari Penghakiman akan terjadi di Nunusaku.[11]
Salah satu sumber tertulis tertua dari suku Ambon di Pulau Ambon adalah Hikayat Tanah Hitu yang menyatakan bahwa terdapat empat gelombang penduduk yang mendiami Pulau Ambon. Gelombang pertama disebut-sebut sebagai orang Alifuru yang berasal dari Pegunungan Nunusaku di Nusa Ina (pulau ibu) dan disebut sebagai penduduk asli, dilanjutkan oleh orang Jawa dari Tuban, rombongan anak laki-laki Raja Jailolo, dan diakhiri oleh gelombang yang berasal dari Goran. Keempatnya pada saat berpindah ke Ambon membawa budaya Batu Muda.[1] Hingga kini, beberapa matarumah di Jazirah Leitimur mengaku bahwa moyang mereka berasal dari Tuban yang tiba sebelum dan pada masa Majapahit.[15] Seorang pangeran bernama Patturi, putra bungsu Raja Tuban, berselisih dengan ayahnya dan meninggalkan Tuban bersama dengan kakak sulungnya, Pattikawa, dan adik perempuannya, Nyai Mas, kemudian singgah beberapa kali di beberapa tempat, yaitu Hatusua di Seram serta Jazirah Leitimur: Latua, Hutumuri, Pasir Putih, dan Suli, sebelum akhirnya menetap di Hitulama. Beberapa rombongannya pun ditinggalkan untuk menetap di persinggahan dan segera mendapatkan kedudukan terkemuka di permukiman baru mereka.[16]
Hindu dan Islam
Kedatangan Hindu ke Maluku Tengah belum dapat dipastikan kapan terjadi. Orang yang paling berkemungkinan membawa Hindu (gaya Jawa) untuk pertama kalinya ke masyarakat Ambon adalah ketiga bangsawan bersaudara dari Tuban: Patturi, Pattikawa, dan Nyai Mas. Namun, yang pasti, Hindu sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Ambon setidaknya pada masa Majapahit menguasai Maluku. Para pengiring ketiga bangsawan bersaudara tersebut adalah yang paling berkemungkinan besar memperkenalkan sistem pemerintahan kerajaan Hindu Jawa kepada Kerajaan Hitu. Hal itulah yang menyebabkan Raja Hitu hanya menjadi lambang persatuan, sementara pemerintahannya dijalankan oleh keempat perdana (patih). Di Hitu sendiri, Patturi dan Pattikawa menurunkan garis perdana Tanahitumessen, sedangkan Nyai Mas menikah dengan Latu Lopulalang (Raja Selaksa Pedang), Raja Nusaniwe.[16] Hal tersebut menyebabkan timbulnya hubungan pertalian darah antara Hitu Hitulama dengan Nusaniwe yang nantinya akan disebut sebagai pela gandong.[17] Seiring dengan banyaknya peninggalan Majapahit pada suku Ambon, Jazirah Leitimur dikatakan sebagai pusat Hindu suku Ambon.[15] Pada kemudian hari, ditemukan bukti-bukti pernikahan politik antara putri-putri Jawa dengan penguasa Ambon, seperti di Soya yang kala itu sudah menjadi negara Hindu. Penguasanya, Latu Selemau (Sri Mahu) memperistri seorang putri Majapahit bernama Vera Ina dan karenanya mendapatkan gelar berbau Jawa yang masih digunakan oleh Raja Soya hingga kini.[b][18] Sistem hubungan antarnegeri yang dikenal dengan uli (persekutuan) mulai muncul pada zaman Hindu seiring dengan dikenalnya paruh masyarakat.[19] Di Saparua, Kerajaan Iha sudah terbentuk pada masa ini, walaupun kehinduannya belum dapat dipastikan.[20]
Waktu masuknya Islam ke Maluku Tengah, khususnya suku Ambon terpecah menjadi beberapa pendapat ahli.[21] Pendapat pertama menyatakan bahwa Islam masuk pada abad XII berkat para pedagang Arab menurut naskah dakwah yang tersedia dan baru berhasil membentuk suatu kekuasaan, yakni Hitu pada abad XIV. Pendapat kedua menyatakan bahwa Islam dibawa oleh para pedagang Arab dan diperkuat oleh datangnya pemuka Hitu untuk berguru ke Jawa, di mana ia bertemu dengan penguasa Ternate dan mempererat hubungan antara keduanya.[22] Pendapat ketiga menyatakan bahwa Islam masuk karena dibawa oleh Ternate yang pada akhir abad XV sudah menjadi Islam dan memperluas kekuasaannya hingga ke Seram.[23] Sementara itu, cerita rakyat menyatakan hal yang berbeda. Seperti di Uli Hatuhaha di utara Haruku, cerita rakyat menyatakan bahwa Islam (aliran Syiah) datang dari Hijaz, Pasai, dan Gresik ataupun Gujarat dan Persia.[24] Bukti sendiri menunjukkan bahwa setidaknya sudah ada belasan keluarga Persia di Ambon pada 1518.[25] Sejarah lisan Iha di Saparua menyatakan bahwa Islam dibawa langsung oleh tiga orang Arab yang datang melalui jalur Buton pada abad XIV. Yang tertua dari ketiganya menjadi Raja Iha, yang kedua Raja Tuhaha, dan yang paling muda menjadi Raja Ullath serta matarumahnya, Nikijuluw, masih memerintah di Ullath.[20]
Pergantian agama menjadi Islam pada negeri-negeri Ambon diawali oleh para raja yang dalam hal ini adalah kepala negeri.[26] Kerajaan yang awal menyatakan dirinya Islam adalah Iha pada awal abad XIV, Sirisori pada 1324, dan Hitu pada 1510 setelah salah satu dari keempat perdana, Patih Tuban, kembali dari Jawa.[20] Sejak kedatangan Islam inilah terbentuk pula kerajaan-kerajaan Ambon bercorak Islam seperti Hitu di Ambon, Hatuhaha di Haruku, dan Iha di Saparua.[27] Bersama dengan Huamual, Hatuhaha dan Iha dikenal sebagai pusat Islam di Maluku Tengah.[25]
Portugis
Kepulauan Maluku yang diincar oleh bangsa Eropa selama ini berhasil disembunyikan keberadaannya oleh bangsa Arab.[28] Kedatangan bangsa Eropa pertama dengan tujuan murni untuk mencari rempah-rempah pertama kali dilakukan oleh bangsa Portugis. Hubungan tercatat pertama suku Ambon dengan Portugis tercatat saat pendaratannya di Nusatelo di barat daya Ambon. Hubungan pertama suku Ambon dengan Portugis merupakan yang kedua tertua di Maluku, setelah sudah didahului oleh orang-orang Banda yang didatangi terlebih dahulu pada Desember 1511.[29] Berita kedatangan Portugis di Nusatelo tercatat dalam Hikayat Tanah Hitu.
Alkisah dan kuceriterakan yang empunya ceritera, sekali perastawa sebuah perau sakibesi nusa telo ke laut puluh tiga mengambil ikan. Maka ia datang membawah khabar kepada perdana Jamilu, demikian katanya: Ada kami bertemu sebua perau di laut puluh tiga. Selamanya umur kami hidup dalam dunia belum lagi melihat rupa manusya bagai rupa orang itu. Tubuhnya putih dan matanya seperti mata kucing. Lalu kami tanya kepadanya ia tiada tahu bahasa kami dan kamipun tiada tahu bangsanya. Maka kata perdana Jamilu: Pergilah engkau bawah kemari. Maka kembali pula bawah ia datang ke negeri kepada perdana Jamilu. Lalu ditanya kepadanya: dari mana datang dan apa nama negerimu. Maka ia menyahut: Adapun kami ini datang dari negeri Portugal dan kehendak kami berdagang.[30] |
Alkisah, kuceritakan menurut yang empunya cerita. Suatu ketika, sebuah perahu dari Sakibesi Nusatelo berlayar ke perairan Pulau Tiga untuk menangkap ikan. Maka, ia datang membawa kabar kepada Perdana Jamilu. Katanya, "Kami bertemu dengan sebuah perahu di perairan Pulau Tiga. Seumur kami hidup di dunia ini, belum pernah kami lihat manusia seperti mereka. Tubuh mereka putih dan matanya menyerupai mata kucing. Kami mengajukan pertanyaan kepada mereka, tetapi mereka tidak mengerti bahasa kami dan kami pun tidak tahu bangsa apakah mereka." Maka, kata Perdana Jamilu, "Pergilah engkau, kemudian bawa dia kemari." Maka, kembali pula ia ke negeri membawa mereka kepada Perdana Jamilu. Lalu, ditanyakan kepada mereka, "Dari mana engkau datang dan apa nama negerimu?" Maka, mereka menyahut, "Kami datang dari negeri Portugal dan tujuan kami adalah berdagang."[31] |
Sejak itu, bangsa Portugis dikenal suku Ambon sebagai Farangis.[32] Para Farangis mendirikan berbagai tempat perdagangan dan gudang di Ambon.[c] Di sekitarnya, tumbuhlah permukiman yang menjadi tempat terjadinya banyak perkawinan campur dan penyebaran injil.[35] Farangis pun melakukan perkawinan campur dengan orang-orang Ambon untuk memperkuat pengaruhnya dalam mendirikan jajahan tetap, mengikuti peraturan perkawinan campur dengan orang setempat yang sudah dicanangkan Afonso de Albuquerque sejak Portugis menaklukkan Goa.[36] Hingga kini, mestizo Ambon sudah dibaurkan menjadi suku Ambon. Meskipun demikian, terdapat banyak matarumah, khususnya di negeri-negeri Kristen Leitimur, yang mempertahankan fam Portugisnya.[37] Orang-orang Ambon yang memiliki fam Portugis tidak selalu berarti memiliki keturunan Portugis. Dalam banyak kejadian, orang Ambon mengambil marga ayah baptisnya. Contohnya, Raja Nusaniwe, Sinapatti, diberi nama baptis Thomas de Soysa ketika dibaptis pada 1602. Nama tersebut diambil dari nama seorang wakil laksamana Portugis. Hingga kini, soa de Soysa masih menjadi bangsa raja (soa yang memiliki hak gelar raja turun-temurun) dari Negeri Nusaniwe.[38] Banyak masyarakat mestizo di Ambon yang berakhir meninggalkan Ambon menuju Melaka, Sunda Kecil ataupun Filipina setelah Belanda datang. Mestizo yang tersisa melarikan diri menuju pegunungan dan melakukan perkawinan campur kembali dengan masyarakat setempat.[39] Kepergian banyak orang Portugis, termasuk mestizo, diperkarakan menjadi alasan mengapa fam Portugis cukup jarang ditemukan di suku Ambon.[40]
Permusuhan suku Ambon dengan Portugis mulai memunculkan bibitnya pada 1523 ketika terjadi pertikaian antara Perdana Jamilu dengan tentara Portugis setelah anak perempuannya dilecehkan. Hal tersebut berujung pada berakhirnya kerja sama Hitu-Portugis.[41] Pemerintah Portugis pada mulanya menekan penduduk Muslim setempat, tetapi juga berakhir menekan Kristen setempat.[42] Penekanan ini menimbulkan beberapa pemberontakan yang membuat orang Maluku semakin membenci Portugis.[43] Hitu yang merupakan bawahan Ternate pun terhasut oleh Sultan Khairun untuk melakukan perlawanan.[44]
Iman Katolik
Bangsa Portugis membawa Kekristenan kepada suku Ambon untuk pertama kalinya dalam bentuk Katolik Roma. Sejarah menunjukkan, negeri-negeri Ambon yang sudah menjadi Islam sebelum kedatangan Portugis menolak iman Kekristenan. Sementara itu, negeri-negeri yang menjadi Kristen, termasuk yang meminta untuk dibaptis, merupakan negeri-negeri penyembah roh leluhur yang sudah dipengaruhi oleh agama Hindu dan memang sejak awal menolak Islam.[45] Salah satu titik sejarah yang menjadi penyebab banyak negeri Ambon penyembah roh leluhur meminta dibaptis adalah kemenangan besar Portugis atas kekuatan Muslim setempat pada 1538.[46] Mereka menganggap kemenangan besar Farangis yang jumlahnya lebih kecil atas Muslim yang berkekuatan senjata sama, tetapi lebih besar sebagai bukti bahwa Tuhan orang Kristen luar biasa.[47] Banyak dari mereka juga yang menafsirkannya dengan cara yang berbeda, yakni para Farangis mempunyai kekuatan gaib yang menurut apa yang mereka saksikan, diperoleh dari roti suci dan anggur yang diberikan oleh para imam. Tafsiran mereka diperkuat oleh para Farangis yang menyatakan bahwa mereka sedang memakan tubuh dan meminum darah Kristus yang akan memberikan kekuatan, suatu hal yang tak asing bagi suku Ambon yang kala itu masih meminum darah dan memakan otak musuh mereka juga untuk memperoleh kekuatan.[48] Salah satu penggerak utama penginjilan pada masa ini adalah Yesuit. Mereka pun mendirikan sekolah yang secara tidak langsung juga memperkenalkan pendidikan resmi kepada suku Ambon.[49] Hingga 1545, sudah ada 37 negeri Ambon Kristen di Ambon-Lease.[50]
Mereka yang memeluk iman baru ini berharap akan mendapatkan kekuatan dalam menghadapi musuh mereka serta membaurkan iman baru mereka dengan kepercayaan asli mereka. Di setiap negeri Kristen, didirikanlah salib besar dari kayu tempat orang-orang Ambon bernyanyi lagu pujian dan berdoa kepada Tuhan baru mereka beserta leluhurnya tiap malam. Mereka menganggap Tuhan Kristen sebagai sumber kekuatan tambahan, sama seperti dewa-dewi Hindu yang mereka sembah sebelumnya.[48] Seperti pada zaman Islam, pergantian agama suatu negeri menjadi Kristen juga diawali oleh pembaptisan para raja (kepala negeri). Para raja pun segera mendapatkan kekuatan politik, ditndai dengan penambahan gelar Dom dan pemberian nama baru Portugis. Semua orang Ambon yang dibaptis secara alami mendapatkan kewarganegaraan Portugis, begitu juga para budak yang dimerdekakan setelah menjadi Kristen, dikenal dengan sebutan orang Mardika atau orang yang merdeka dalam bahasa Ambon.[26]
Permasalahan yang timbul antara Ternate, penguasa sejati Ambon-Lease, dan Portugis menyebabkan pecahnya kerusuhan Islam-Kristen yang bermula di Maluku Utara.[51] Pada 1558, Ternate di bawah Kaicili (Pangeran) Leliato berlayar ke Maluku Tengah dan memaksa masyarakat pribumi Kristen untuk memeluk Islam, tanpa terkecuali suku Ambon yang sudah memeluk agama Kristen. Beberapa negeri Ambon seperti Nusaniwe, Urimessing, dan Halong mengikuti perintah Leliato—ketiganya kembali memeluk Kristen beberapa tahun kemudian—, sementara negeri lainnya, khususnya Kilang dan Hative, menjadi benteng pertahanan Kristen terakhir sebelum akhirnya dibantu kapal perang Portugis yang tiba pada 1561.[52] Hal inilah yang menyebabkan Ambon-Lease dimekarkan menjadi kekaptenannya sendiri pada 1562, meski masih di bawah pengaruh Ternate[53]. Sejak kedatangan kapal perang Portugis untuk membantu Kilang dan Hative, misi Katolik terhadap negeri-negeri Ambon berkembang cepat dan mulai meluas di Kepulauan Lease. Oma di Haruku, Ullath di Saparua, dan Titawaai di Nusalaut secara berurutan menjadi Kristen pada 1561, 1564, dan 1563.[54] Pembunuhan Gubenur Ambon pertama yang diracuni oleh Ternate membangkitkan keberanian Muslim Ambon untuk menghancurkan negeri-negeri Kristen seperti Baguala di Ambon dan Ullath di Saparua. Serangan Muslim kembali dikalahkan dengan bantuan Portugis yang tiba pada 1569, sekaligus menyebabkan sejumlah negeri, yaitu sebagian Sirisori, Tuhaha, dan Ihamahu di Saparua serta Hutumuri di Ambon memeluk agama Kristen.[55] Pertikaian Islam-Kristen Ambon yang dilatarbelakangi oleh dendam Ternate kembali lagi muncul pada 1570. Selain kembali menyerang Ullath, Ternate juga menyerang Hulaliu di Haruku.[56]
Vlaming
Hubungan antara suku Ambon dan Belanda dimulai pada Maret 1599 ketika kapal Belanda tiba di Hitu dan diterima dengan baik.[57] Kapal Belanda lainnya tiba di Ambon pada 1600 dan berhasil berdagang serta diizinkan untuk mendirikan benteng. Hal ini menimbulkan serangan Portugis yang berakhir dengan kekalahan besarnya dalam melawan pengaruh Belanda pada 1603.[58] Pada Januari 1605, Portugis menyerah di Benteng Ambon dengan damai kepada Belanda.[59]
Budaya
Mata pencaharian
Salah satu dari dua mata pencaharian adati suku Ambon adalah tukang kebun. Suku Ambon menanam berbagai macam sayuran, rempah, dan buah-buahan di ladangnya, di antaranya kasbi (ketela) yang dahulu dibawa oleh Portugis untuk memperbaiki gizi masyarakat setempat.[60] Sagu yang merupakan makanan pokok pun dibudidayakan oleh para tukang kebun, meski dulunya diambil langsung dari alam.[61]
Pekerjaan adati lainnya, yakni nelayan selalu dimulai dengan berdoa sebelum melaut. Dalam hal pernelayanan juga dikenal dua upacara adat, yaitu turun perahu baru dan turun jaring baru, keduanya dipimpin oleh tokoh agama. Upacara yang pertama disebut dilakukan di atas perahu, sedangkan yang satunya di rumah pemilik jaring. Keduanya memiliki tujuan keselamatan sang nelayan. Selain jaring, dikenal pula alat, seperti sero atau bubu (anyaman bambu yang diletakkan di laut dangkal).[62] Nelayan menangkap ikannya di labuang, daerah penangkapan ikan yang sudah dibagi tiap negeri. Istri para nelayan juga bekerja sebagai jibu-jibu atau penjual ikan pada siang hari.[63]
Sejak zaman Belanda hingga kini, ada banyak orang Ambon yang bekerja sebagai pegawai negeri dan tentara. Hal ini dilatarbelakangi oleh perlakuan khusus oleh pihak Belanda, yakni jalan masuk terhadap sarana pendidikan resmi yang sudah suku Ambon dapatkan sedari zaman penjajahan.[64]
Kekerabatan
Suku Ambon menentukan kekerabatannya berdasarkan garis keturunan ayah dan menetap di lingkungan pihak ayah setelah menikah. Satuan kekerabatan paling kecil adalah tate moyang yang berisikan orang-orang yang memiliki satu moyang, lalu famili (kerabat) yang berisikan keluarga inti dengan sanak saudaranya, baik dari pihak ayah maupun ibu. Satuan famili saling memiliki tanggung jawab untuk membantu saat ada masalah dan upacara mengenai hal-hal penting dalam kehidupan: kelahiran, perkawinan, dan kematian.[65]
Selain itu, dikenal pula matarumah yang berisikan keluarga inti dan keluarga luas terbatas dari garis keturunan laki-laki. Tiap matarumah memiliki dati (tanah keluarga) yang digarap dan dipanen oleh para anak dati, yakni laki-laki di matarumah tersebut dan perempuan yang belum kawin. Ketika kawin, perempuan kehilangan haknya karena dianggap telah mendapatkan hak atas tanah dati suaminya. Kehilangan hak atas tanah dati pun dapat terjadi ketika seseorang pindah ke tempat selain negerinya, tetapi hak dapat diperoleh ketika orang tersebut memutuskan untuk menetap kembali di negeri tersebut.[65] Terdapat pula soa (klan) yang merupakan keluarga besar yang dikepalai oleh seorang orang tua (tetua). Tiap soa ditandai dengan satu atau beberapa fam (marga) sehingga kedua istilah soa dan fam sering kali digunakan bergantian.[64][66]
Pemerintahan
Masyarakat suku Ambon yang masih berada di lingkup budaya Ambon tinggal di negeri (negeri) yang terdiri dari beberapa soa (klan). Negeri dipimpin oleh seorang raja (kepala negeri) yang berasal dari salah satu matarumah dari soa paling tinggi kedudukannya di negeri tersebut. Layaknya raja pada umumnya, gelar raja tersebut diturunkan kepada orang sematarumah raja itu sendiri, walau kini raja dari beberapa negeri dipilih langsung oleh rakyat negerinya.[65] Dalam memerintah negeri, raja didampingi oleh saniri (badan permusyawaratan) yang berisikan seluruh kepala soa di negeri tersebut atau perwakilan dewasanya dan dalam beberapa negeri ditambah para kepala adat. Saniri mengadakan sidang besar berkala setahun sekali di baileo yang dihadiri seluruh jajaran pemerintah negeri, kepala keluarga, dan laki-laki negeri dari negeri tersebut. Hal ini sering disebut sebagai salah satu bentuk kerakyatan langsung.[67] Selain itu, terdapat marinyu sebagai pesuruh raja. Negeri satu dengan yang lainnya saling memiliki hubungan pela (persekutuan).[64] Bentuk pela tertinggi adalah pela keras yang dahulu digunakan untuk menghadapi perang dari pihak luar, seperti dalam perang melawan Portugis dan Belanda di masa lampau.[68]
Selain pela, terdapat pulau uli (persekutuan) berupa Patasiwa (persekutuan sembilan negeri) dan Patalima (persekutuan lima negeri).[d][68] Terdapat beberapa uli yang dikenal, seperti Soya dan Urimessing di Ambon; Hatuhaha dan uli di bawah Oma di Haruku; dan Ina Haha di bawah Titawaai serta Ina Luhu di bawah Ameth di Nusalaut. Beberapa dari uli tersebut dahulu telah berkembang menjadi kerajaan layaknya di Maluku Utara, seperti Tanah Hitu di Ambon dan Iha di Saparua.[69]
Bahasa
Bahasa utama yang dituturkan oleh suku Ambon adalah bahasa Ambon atau Melayu Ambon, salah satu bahasa rumpun Austronesia yang sejatinya merupakan dialek Melayu hasil perkembangan bahasa tanah (asli) yang dipengaruhi kuat oleh bahasa Melayu.[61] Menurut pengelompokan bahasa Maluku, bahasa Ambon termasuk dalam kelompok bahasa Siwalima.[1] Penggunaan bahasa Ambon yang merupakan dialek bahasa Melayu oleh suku Ambon dilatarbelakangi oleh perdagangan dan penjajahan. Kini, bahasa Ambon tak hanya digunakan oleh suku Ambon, tetapi juga digunakan sebagai basantara seluruh Maluku di samping bahasa Indonesia.[70]
Bahasa Ambon terpengaruh kuat oleh bahasa Portugis, dapat dilihat dari banyaknya kosakata Portugis yang terserap. Meskipun penjajahan Belanda berlangsung lebih lama, jumlah kosakata serapan bahasa Portugis berbanding lebih besar, jika dibandingkan dengan jumlah kosakata serapan bahasa Belanda. Hal ini disebabkan bangsa Portugis merupakan orang Eropa pertama yang menguasai Maluku sehingga merekalah yang memperkenalkan berbagai barang, cara, gagasan, dan budaya Eropa kepada suku Ambon. Selain itu, macam bunyi dalam bahasa Portugis tidak begitu asing di telinga suku Ambon, bila dibandingkan dengan bahasa Belanda. Bunyi tajam dan adanya suara tenggorokan dianggap menyulitkan orang Ambon dalam melafalkan bahasa Belanda sampai sekarang.[71]
Sementara itu, bahasa tanah yang dituturkan oleh suku Ambon adalah bahasa Asilulu. Saat ini dalam lingkup wilayah budaya Ambon, bahasa Asilulu terbagi menjadi lima belas dialek: lima di Ambon, satu di Haruku, satu di Saparua, satu di Nusalaut, dan tujuh di Seram. Menurut penelitian terbaru, masing-masing dialek memiliki perbedaan dengan kisaran 52 hingga 77 persen.[72]
Setelah Perusahaan Hindia Timur menaklukkan seluruh Kepulauan Ambon-Lease, gereja-gereja dan sekolah-sekolah yang dibangun di kawasan tersebut menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantarnya dan aksara Latin sebagai aksara menulisnya.[73] Keputusan menggunakan bahasa Melayu ini telah melalui langkah panjang yang memberikan tiga pilihan: bahasa Belanda, bahasa Melayu, atau bahasa tanah. Setelah Belanda gagal menerapkan bahasa Belanda, bahasa Melayu dipilih karena bahasa tanah terlalu sulit dipelajari, bahasa Melayu dapat digunakan di mana-mana, dan keadaan pada masa itu ketika suku Ambon menganggap rendah bahasa tanahnya bila dibandingkan dengan bahasa Melayu.[74] Alkitab terjemahan ke dalam bahasa Melayu tinggi oleh Melchior Leijdecker pun mulai diterbitkan pada 1773, disusul oleh terjemahan François Valentijn ke dalam bahasa Melayu yang digunakan di Ambon sehari-hari yang tidak pernah diterbitkan.[75] Alkitab terjemahan Leijdecker dan keterpencilan Maluku Tengah inilah yang mendorong pembakuan bahasa Melayu setempat, yakni bahasa Ambon untuk pertama kalinya.[76] Pada masa selanjutnya hingga kemerdekaan, bahasa Ambon ditulis oleh aksara Latin dan abjad Arab. Aksara Latin digunakan oleh negeri-negeri Kristen, sedangkan abjad Arab digunakan oleh negeri-negeri Islam.[77] Bahasa tanah sebagai bahasa ibu pun perlahan-lahan digantikan kedudukannya oleh bahasa Melayu Ambon.[74]
Struktur sosial
Masyarakat Ambon hidup dalam komunitas tradisional pedesaan yang disebut negeri dan dipimpin oleh seorang kepala pemerintahan yang disebut raja. Komunitas-komunitas tersebut terbagi menjadi kelompok-kelompok terkait teritorial yang disebut soa, yang pada gilirannya menyatukan klan patrilineal yang disebut matarumah. Pernikahan antara masyarakat Ambon hanya dilakukan dalam kelompok yang keduanya tidak memiliki ikatan pela gandong. Bagi masyarakat Ambon, mereka secara tradisional bercirikan penyelesaian perkawinan patrilokal.[78] Hubungan antar anggota masyarakat diatur oleh norma-norma perilaku tradisional yang disebut adat, yang berasal dari adat istiadat nenek moyang. Saat ini, hukum adat sebagian besar mengatur masalah keluarga, keturunan, hukum pertanahan, serta pemilihan posisi kepemimpinan.[79]
Agama
Suku Ambon dikenal sebagai masyarakat yang sangat agamawi.[80] Suku Ambon mayoritas beragama Kristen (terutama Protestan dengan penganut Islam yang signifikan. Islam dibawa oleh para pedagang Arab dan Jawa, sementara Kekristenan datang dalam dua gelombang. Gelombang pertama Kristen adalah dalam bentuk Katolik Roma yang dibawa oleh bangsa Portugis, dilanjutkan oleh Protestan yang dibawa oleh Belanda sejak zaman VOC. Walaupun kedua agama tersebut merupakan agama utama suku Ambon, mereka sendiri masih menjalankan beberapa peninggalan kepercayaan asli mereka, pemujaan roh nenek moyang, yang mereka peluk sebelum datangnya kedua agama tersebut ke Maluku.[64] Persaingan dan pergesekan di antara kaum Kristen dan Islam sempat memuncak pada akhir abad XIX.
Perbedaan sangat tampak di antara kedua kelompok agama tersebut, seperti pada mata pencaharian. Suku Ambon Islam umumnya bekerja dalam bidang perdagangan dan ekonomi, sementara yang Kristen lebih banyak memilih pekerjaan-pekerjaan seperti pegawai negeri, guru, tentara, polisi, dan politikus. Sepanjang sejarah, kaum Kristen pun lebih memperhatikan pendidikan, sedangkan kaum Islam sedari awal berpusat dalam bidang perdagangan, walau tidak dalam jumlah besar. Meskipun demikian, kini kaum Kristen sudah menaruh perhatian pada bidang ekonomi, khususnya jasa, serta pendidikan di kalangan Islam sudah jauh lebih maju dari masa lampau.[81] Kecenderungan merantau pun didapatkan di kalangan Kristen, membentuk penyebaran yang cukup besar, khususnya di Jawa.
Pra-kedatangan Islam dan Kristen
Suku Ambon sebelum kedatangan Islam dan Kristen memuja roh, percaya pada makhluk-makhluk halus, roh-roh leluhur, dan kekuatan-kekuatan gaib. Dalam pemujaan roh suku Ambon, dikenal gagasan upu ama (makhluk halus baik) dan makhluk halus jahat, demikian pula Upu Lanite dan Upu Datu yang mereka anggap sebagai maha pencipta dunia.[82] Roh leluhur bersifat melindungi bila orang-orang tersebut melaksanakan adat, tetapi menghukum bila mereka tidak melaksanakannya. Sementara itu, kekuatan gaib dipercayai ada pada benda-benda pusaka, hewan, atau tumbuhan tertentu sehingga mereka harus diperlakukan baik agar membawa kebaikan dan kekuatan, seperti kain merah yang dianggap sebagai penangkal penyakit dan bahaya.[80] Bukti arkeologi pun menunjukkan gua-gua beserta lukisannya yang tersebar di seluruh penjuru Maluku, khususnya Seram, yang melukiskan tangan, manusia, hewan, dan perahu; dipercayai bersangkutan dengan kematian.[83] Hingga kini gua-gua tersebut masih dianggap keramat oleh orang-orang Maluku, sehingga tidak boleh dimasuki sebelum diadakan upacara.[84] Kepercayaan seperti inilah yang melahirkan upacara-upacara adat yang masih dilaksanakan hingga kini.[80]
Salah satu peninggalan pemujaan roh yang paling dekat dengan suku Ambon hingga sekarang adalah nae baileu (cuci negeri).[64] Pada upacara adat tersebut, negeri harus dibersihkan, termasuk baileo, rumah, dan pekarangan yang dilanjutkan dengan makan dan minum bersama. Dipercayai bahwa penyakit akan datang dan panen tidak akan berhasil bila upacara ini tidak dilaksanakan. Mereka pun mempercayai bahwa upacara tersebut dapat menjadi perantara masyarakat negeri dengan nenek moyang dan Tuhan.[80] Selain upacara adat tersebut, suku Ambon di Pulau Ambon masih ada tempat-tempat yang dikenal sebagai tempat pemujaan untuk memohon kekuatan baik: Batu Marawael di Hatalai, Tampayang Setan di Gunung Sirimau, dan Batu Teong di Urimessing. Hingga kini dikenal juga tiup-tiup (mantra) untuk menyembuhkan orang sakit dan tali kaeng (ikat pinggang) yang masih digunakan dalam pakaian pengantin sebagai penangkal bahaya.[82] Perpaduan antara kepercayaan asli dan agama utama suku Ambon sekarang ini masih dipertahankan di beberapa negeri dan negeri.[85]
Kristen
Arus pertama Kristen di suku Ambon masuk bersamaan dengan Portugis yang membawa Katolik sejak kedatangannya pada 1512, kurang dari satu abad setelah sebagian suku Ambon mulai memeluk Islam. Meskipun demikian, pada kala itu berbeda dengan mereka yang ada di Hitu (utara Ambon), kebanyakan suku Ambon di Leitimur (selatan Ambon), Lease, dan Seram masih memeluk kepercayaan asli mereka, khususnya mereka yang tinggal di pedalaman dan pegunungan.[86] Benteng-benteng yang dibangun di kawasan ini oleh Portugis menjadi pusat penginjilan yang pertama kali dilakukan oleh para penginjil kapal,[e] membentuk kelompok Kristen Ambon pertama. Penginjil yang benar-benar ditujukan untuk menyebarkan ajarannya kepada orang Maluku, termasuk suku Ambon baru datang pada 1522. Setidaknya telah ada 37 negeri Kristen di Ambon-Lease pada 1545.[50]
Lihat pula
- Rumah baileo, rumah adat suku Ambon dan orang Maluku yang berperan sebagai balai negeri di negeri-negeri Ambon.
- Daftar fam Ambon, daftar fam yang digunakan di belakang nama pemberian oleh masyarakat suku Ambon.
- Daftar fam Ambon yang berasal dari luar Maluku Tengah, daftar fam Ambon yang berasal dari luar Maluku Tengah beserta asalnya.
- Maluku Tengah, kawasan di tengah Kepulauan Maluku yang berada dalam pengaruh kuat suku Ambon.
- Orang Maluku, istilah yang digunakan untuk merujuk pada suku-suku yang berasal dari Kepulauan Maluku.
Catatan kaki
Catatan
- ^ Saat ini bahasa tana Soya sudah tidak digunakan lagi dalam percakapan sehari-hari, tetapi masih digunakan dalam upacara adat di negeri Soya.
- ^ Gelar tersebut merupakan Latu Selemau Agam Raden Mas Sultan Labu Inang Mojopahit yang dapat diterjemahkan sebagai Penguasa Selemau, Tuan Emas yang Jantan, Putra Bungsu Sultan Majapahit. Kata sultan pada gelar kemungkinan besar baru ditambah belakangan.[18]
- ^ Pada zaman penjajahan oleh bangsa Eropa, istilah Ambon dalam sejarah tertulis sering kali tidak merujuk pada Pulau Ambon saja, melainkan Kepulauan Ambon yang meliputi Pulau Ambon dan Kepulauan Lease (Saparua, Haruku, dan Nusalaut),[33] ataupun kawasan Maluku Tengah yang meliputi Kepulauan Ambon-Lease, Seram, dan Buru (tidak termasuk Kepulauan Banda).[34]
- ^ Uli Siwa dan Uli Lima di Maluku Utara; Ursiu dan Lorlim Maluku Tenggara.
- ^ Penginjil yang ditugaskan untuk memenuhi kebutuhan rohani para penjelajah Portugis.
Rujukan
- ^ a b c d e Melalatoa 1995a, hlm. 27.
- ^ Bartels 2017a, hlm. xxxi.
- ^ Na'im & Syaputra 2011, hlm. 41.
- ^ a b Leirissa, Ohorella & Latuconsina 1999, hlm. 66.
- ^ a b Bartels 2017a, hlm. 32.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 437–438.
- ^ Melalatoa 1995a, hlm. 300.
- ^ Melalatoa 1995b, hlm. 671.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 438.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 439–440.
- ^ a b Bartels 2017b, hlm. 442.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 439.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 440.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 441.
- ^ a b Bartels 2017b, hlm. 519.
- ^ a b Bartels 2017b, hlm. 520.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 521.
- ^ a b Bartels 2017b, hlm. 516.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 526.
- ^ a b c Bartels 2017b, hlm. 535.
- ^ Leirissa, Ohorella & Latuconsina 1999, hlm. 17.
- ^ Leirissa, Ohorella & Latuconsina 1999, hlm. 17–18.
- ^ Leirissa, Ohorella & Latuconsina 1999, hlm. 18.
- ^ Leirissa, Ohorella & Latuconsina 1999, hlm. 18–19.
- ^ a b Bartels 2017b, hlm. 533.
- ^ a b Bartels 2017b, hlm. 563.
- ^ Leirissa, Ohorella & Latuconsina 1999, hlm. 27.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 537.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 539.
- ^ Assagaf 2015, hlm. 25.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 541.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 542.
- ^ Widjojo 2009, hlm. 19.
- ^ Bartels 2017a, hlm. 388.
- ^ Abdurachman 2008, hlm. 4, 127.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 550.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 553.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 553–554.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 552–553.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 555.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 548–549.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 562–563.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 566.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 567.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 561.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 560.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 561–562.
- ^ a b Bartels 2017b, hlm. 562.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 559.
- ^ a b Abdurachman 2008, hlm. 5.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 567–568.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 568–569.
- ^ Abdurachman 2008, hlm. 15.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 569.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 570.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 572.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 572–573.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 573–574.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 574.
- ^ Abdurachman 2008, hlm. 7, 174.
- ^ a b Hidayah 2015, hlm. 20.
- ^ Takaria & Pieter 1998, hlm. 27, 121.
- ^ Melalatoa 1995a, hlm. 28.
- ^ a b c d e Hidayah 2015, hlm. 21.
- ^ a b c Melalatoa 1995a, hlm. 29.
- ^ Suwondo 1977, hlm. 24.
- ^ Suwondo 1977, hlm. 27.
- ^ a b Melalatoa 1995a, hlm. 30.
- ^ Suwondo 1977, hlm. 43.
- ^ Wahidah (21 Maret 2016). "Keterancaman Bahasa-Bahasa Daerah di Maluku Akibat Dominasi Bahasa Melayu Ambon". Kantor Bahasa Maluku. Ambon: Kantor Bahasa Maluku. Diakses tanggal 3 Oktober 2020.
- ^ Bartels 2017b, hlm. 575.
- ^ Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. "Bahasa Asilulu". Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia. Jakarta Timur: Badan Bahasa, Kemdikbud. Diakses tanggal 3 Oktober 2020.
- ^ Leirissa, Ohorella & Latuconsina 1999, hlm. 88–89.
- ^ a b End 2007, hlm. 71.
- ^ Leirissa, Ohorella & Latuconsina 1999, hlm. 89.
- ^ Leirissa, Ohorella & Latuconsina 1999, hlm. 90.
- ^ Leirissa, Ohorella & Latuconsina 1999, hlm. 85.
- ^ Frank L. Cooley (1962). Ambonese kin groups. Ethnology. Vol. 1. hlm. 102. OCLC 882992239.
- ^ Frank L. Cooley (1966). "Altar and Throne in Central Moluccan Societies". Indonesia: A Semi-Annual Journal Devoted to Indonesia's Culture, History and Social and Political Problems. Indonesia, No. 2: 140. ISSN 0019-7289.
- ^ a b c d Melalatoa 1995a, hlm. 32.
- ^ Pieris 2004, hlm. 76–77.
- ^ a b Leirissa, Ohorella & Latuconsina 1999, hlm. 11.
- ^ Melalatoa 1995a, hlm. 31.
- ^ Melalatoa 1995a, hlm. 31–32.
- ^ Leirissa, Ohorella & Latuconsina 1999, hlm. 12.
- ^ Leirissa, Ohorella & Latuconsina 1999, hlm. 28.
Daftar pustaka
- Melalatoa, M. Junus (1995a). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (PDF). Jilid A–K. Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Bartels, Dieter (2017a) [1994]. Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Muslim-Kristen Hidup Berdampingan di Maluku Tengah. Jilid I: Kebudayaan. Diterjemahkan oleh Rijoly, Frans. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-602-424-150-6.
- Melalatoa, M. Junus (1995b). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (PDF). Jilid L–Z. Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Na'im, Akhsan; Syaputra, Hendry (2011). Sumarwanto; Iriantono, Tono, ed. Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. ISBN 978-979-064-417-5.
- Leirissa, R.Z.; Ohorella, G.A.; Latuconsina, Djuariah (1999). Sejarah Kebudayaan Maluku (PDF). Jakarta: Proyek lnventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ISBN 979-9335-07-8.
- Assagaf, Husen (2015). "Posisi Islam dalam Sejarah Pemerintahan Negeri Adat di Pulau Ambon". Dialektika. 9 (2). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-04-17. Diakses tanggal 2020-12-08.
- Abdurachman, Paramita R. (2008). Thung, Ju Lan; Widodo, Eko; Adenan, Musiana, ed. Bunga Angin Portugis di Nusantara: Jejak-Jejak Kebudayaan Portugis di Nusantara (dalam bahasa Indonesia dan Inggris). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 978-602-433-027-9.
- Hidayah, Zulyani (2015). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (edisi ke-2). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-929-2.
- Suwondo, Bambang (1977). Sejarah Daerah Maluku. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- End, Th. van den (2007) [1980]. Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia Th. 1500–1860-an. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. ISBN 978-979-415-188-4.