Iha, Saparua Timur, Maluku Tengah

negeri di Kabupaten Maluku Tengah, Maluku

Iha adalah sebuah negeri di Kecamatan Saparua, Maluku Tengah, Maluku, Indonesia. Terletak di Jazirah Hatawano, Iha merupakan salah satu dari tiga negeri beragama Islam di Pulau Saparua.

Iha
Ulupalu Amalatu
Negara Indonesia
ProvinsiMaluku
KabupatenMaluku Tengah
KecamatanSaparua
Luas13 km2
Jumlah penduduk1000 jiwa

Iha adalah salah satu negeri di Pulau Saparua yang masyarakatnya masih menggunakan bahasa Saparua sebagai bahasa percakapan sehari-hari. Bahasa Saparua digolongkan sebagai salah satu ragam bahasa tanah.

Sejarah

Iha adalah salah satu fragmen dari Kerajaan Iha, salah satu kerajaan Islam yang cukup besar di Kepulauan Lease. Pada abad ke-18, Belanda mengizinkan sebagian kecil para pengungsi Kerajaan Iha yang bermukim di pesisir selatan Pulau Seram untuk kembali menetap di Hatawano. Pada masa kembalinya pengungsi Iha, mereka tinggal di tanah sisa yang sempit dan tidak memiliki pertuanan, di antara wilayah Ihamahu dengan Nolloth. Jan Baptist Jozef van Doren (1860) menuliskan bahwa pada tahun 1834 penduduk Iha hanya 70 jiwa, paling kecil di antara seluruh negeri di Saparua. Dua puluh tahun kemudian, penduduk negeri ini meningkat menjadi 247 jiwa, terkecil di Saparua, tetapi hanya terpaut satu jiwa dari Negeri Kulur.

Pada saat pecah kerusuhan (dikenal sebagai tragedi Ambon) pada tahun 1999, warga Iha berjuang mati-matian mempertahankan negeri dan masjid mereka dari serbuan negeri-negeri tetangga. Sampai pada puncaknya tahun 1999, negeri Iha dapat dihancurkan dan di masuki oleh negeri-negeri tetangga. Setelah itu, warga Iha mengungsi dengan kapal perang TNI dan sejumlah boat dan feri meninggalkan negeri tercinta dan meninggalkan harta serta masjid mereka.

Warga negeri Iha yang mengungsi akibat kerusuhan di Maluku tahun 1999 akhirnya menetap di tanah-tanah dati/petuanan negeri lain seperti Liang, Sepa, Tamilouw dan Luhu. Oleh juru bicara negeri Iha, mereka menyebutkan bahwa mungkin 20 atau 30 tahun yang akan datang baru mereka akan kembali lagi ke negeri lama.

Kondisi wilayah

Iha adalah negeri terkecil di Saparua, dengan luas kurang dari 1 km2, Iha tidak memiliki pertuanan sehingga masyarakatnya lebih menggantungkan hidup pada sumber daya laut dengan menjadi nelayan. Negeri ini tergolong sebagai negeri pesisir, dengan wilayahnya berada di tepian Teluk Tuhaha dan Selat Seram. Iha adalah salah satu negeri di Jazirah Hatawano.

Tanah di Iha kurang subur karena terdiri dari bebatuan dan cadas. Hasil alam yang diusahakan oleh masyarakatnya adalah kelapa dan cengkih.

Pemerintah dan lembaga

Negeri Iha dipimpin oleh seorang raja dari matarumah parentah Amahoru.[1] Raja Iha yang sekarang sedang memerintah adalah Raja Muhammad Zain Amahoru.[2] Raja dan seluruh pemerintahan negeri menjalankan administrasi dari Lohy, Pulau Seram. Pengungsian masyarakat Iha hampir 2,5 dekade yang lalu melemahkan dan bahkan menghancurkan pranata adat yang ada, karena beberapa lembaga tradisional seperti kewang dan tradisi sasi tidak lagi berjalan.

Matarumah

Penduduk Iha tergolong ke dalam klan-klan yang dikenal pula sebagai fam atau matarumah. Berikut beberapa matarumah yang ada di Iha.

  1. Amahoru
  2. Hatala
  3. Hehamahua
  4. Putuhena

Pasca kekalahan Kerajaan Iha, beberapa fam dari negeri ini berpindah ke negeri-negeri lain di Saparua, seperti fam Taribuka dan Sopacua di Tuhaha; fam Lilitoly di Iha; serta Sopacua, Hehamahua, dan Leatemia di Nolloth.

Demografi

Saat ini penduduk Iha tersebar di Pulau Seram dan Pulau Ambon, menyusul eksodus mereka saat Negeri Iha jatuh ke tangan dan dihancurkan oleh negeri-negeri tetangga yang beragama Kristen. Penduduk Iha di Seram bermukim di Dusun Lohy, pertuanan Negeri Sepa, jumlahnya sekitar 40 kepala keluarga (KK). Sementara, sisanya yang berada di Ambon, bermukim di Dusun Iha, pertuanan Negeri Liang. Sudah lebih dari 23 tahun masyarakat Iha mengungsi. Kebanyakan yang berada di Lengkong sudah siap untuk kembali pulang ke tanah kelahiran. Jumlah mereka sekitar 101 KK.[3] Namun, masyarakat Iha di Lohy masih enggan untuk pulang.[2] Pemerintahan Iha yang dijalankan di Lohy pun masih belum mau untuk pulang,[2] sehingga terjadi konflik internal di kalangan masyarakat Iha terkait masa depan mereka.

Iha merupakan salah satu dari tiga negeri Muslim di Saparua, bersama Kulur dan Sirisori Islam.[4] Terdapat sebuah masjid dalam kondisi rusak di negeri ini, yang tersisa hanya tiang-tiang saja,[3] akibat kerusuhan bernuansa SARA tahun 1999. Sementara itu, semua bangunan lain, baik rumah maupun sekolah semuanya rata dengan tanah. Baru pada 7 Januari 2019 sebuah rumah singgah mulai dibangun bagi anak cucu Iha, khususnya di Lengkong yang merindukan tanah leluhur.[5]

Hubungan sosial

Hubungan dengan negeri-negeri tetangga

Sebelum pecah konflik sektarian yang melanda Maluku pada 1999, secara umum hubungan sosial antara penduduk Iha dengan negeri-negeri tetangga terbilang cukup baik. Iha adalah salah satu dari tiga negeri mayoritas Muslim di Pulau Saparua, bersama Kulur dan Sirisori Islam. Khususnya di wilayah Hatawano, terdapat 5 negeri dan satu kampung, kecuali Iha, semuanya beragama Kristen Protestan. Menurut beberapa tuturan, Masjid Nurul Insan merupakan buah tangan dan bantuan yang diberikan oleh Ihamahu, yang pembangunannya juga dibantu oleh warga Nolloth serta Itawaka. Masyarakat Iha juga terlibat dalam pembangunan gereja di negeri-negeri tetangga, seperti pembangunan GPM Maranatha di Itawaka tahun 1970an.

Pada 1999 Negeri Iha yang penduduknya paling sedikit ini menghadapi gempuran dari pihak Kristen di berbagai arah. Kekuatan yang tidak seimbang memaksa penduduk Iha untuk mengungsi dengan cara berenang ke laut hingga mencapai kapal milik TNI yang berlabuh beberapa puluh meter lepas pantai Iha. Kapal ini nantinya membawa pengungsi Iha ke beberapa lokasi pengungsian, utamanya ke Lohy di Sepa dan Lengkong di Liang. Sampai saat ini, Raja Iha serta seluruh perangkat pemerintahan negeri masih menjalankan administrasi dari pengungsian mereka di Lohy. Masyarakat Iha yang berdiam di Lohy dikenal sebagai Ihalohy, sementara yang berdiam di Lengkong dikenal sebagai Iha Liang. Kelompok pertama beserta Raja Iha terbilang enggan untuk segera kembali ke bekas reruntuhan negeri mereka. Ada pun kelompok kedua, mereka termasuk lebih proaktif terhadap wacana pemulangan masyarakat Iha ke kampung halamannya.

Para penyerang yang menggempur Iha diketahui beberapa di antaranya merupakan warga Ihamahu dan Itawaka, yang secara adat memiliki hubungan gandong dengan warga Iha. Fakta ini sangat mengejutkan karena rupanya sistem sosial yang ada tidak mampu membendung solidaritas agama dalam konflik bernuansa SARA tersebut. Bagi sebagian pihak, kejatuhan Iha dipandang sebagai pembalasan atas kejatuhan beberapa kampung Kristen, baik di Saparua maupun di luar Saparua. Intensitas penyerangan terhadap Iha ditingkatkan pasca kejatuhan dan dibakar habisnya Negeri Kariu di Pulau Haruku, Waai di Pulau Ambon, dan Sirisori Amalatu di Pulau Saparua.

Proses pemulangan masyarakat Iha dari pengungsian saat ini belum terjadi dikarenakan adanya konflik internal di kalangan mereka. Walaupun demikian, pihak yang ingin pulang telah membangun gapura selamat datang di Iha serta sebuah rumah singgah. Masyarakat Ihalohy yang belum mau pulang sepenuhnya, tiap tahun selalu menziarahi reruntuhan negeri mereka dan membersihkan kuburan. Masyarakat Kecamatan Saparua Timur, khususnya negeri-negeri di Hatawano yang bertetangga dan pernah berkonflik langsung dengan Iha secara umum menerima dan menghendaki pemulangan masyarakat Iha. Selain sebagai negeri tertua, tanpa Iha disebutkan bahwa Saparua Timur belum lengkap dan terus akan menunggu Iha kembali.

Gandong

Cerita kedatangan moyang dengan gosepa dari Pulau Seram menjadi awal mula ikat gandong antara Iha sebagai kakak tertua dengan Tuhaha dan Ullath.[6] Moyang Iha adalah seorang Arab yang bersama adik-adiknya hijrah ke Pulau Seram dan menetap sekian lama di wilayah Sepa, Seram Selatan. Mereka kemudian pergi ke Saparua untuk membangun negeri. Gosepa yang digunakan mendarat di Putiori, di wilayah Itawaka yang sekarang. Mereka meninggalkan Putiori untuk naik ke perbukitan dan mendirikan negeri masing-masing di sana. Moyang Iha bernama Kasim dan kelak di kemudian hari menurunkan fam atau matarumah Amahoru. Moyang Tuhaha bernama Tasim dan anak keturunannya menggunakan nama fam Aipassa. Sementara yang bungsu menurunkan matarumah Nikijuluw di Ullath, serta matarumah Nengkelwa di Kulur dan Ninkeula di Nolloth yang asal-muasalnya dari Ullath. Hingga saat ini, Amahoru masih memiliki kedudukan sah sebagai Raja Iha dan Nikijuluw memegang tampuk pemerintahan di Ullath turun-temurun.[7] Ada pun Aipassa yang menolak perintah VOC untuk merelokasi permukiman ke pesisir melepaskan hak kekuasaannya dan mengalihkannya kepada matarumah Sasabone. Jadilah matarumah ini sebagai pemegang kekuasaan raja di Tuhaha. Pada masa berikutnya, melalui perkawinan keluarga, matarumah Tanalepy juga memiliki hak untuk menjadi Raja Tuhaha.

Hubungan gandong antara Iha, Tuhaha, dan Ullath hingga tahun 1980an akhir selalu diperingati dengan diadakannya upacara kora-kora raja. Ada beberapa yang menyebutnya sebagai arumbai raja. Upacara ini diadakan di Hutan Akuno di Ullath sebagai lokasi terakhir pemberhentian gosepa yang dipakai oleh ketiga moyang. Ullath bertindak sebagai penyelenggara dan mengundang pihak pemerintah kecamatan serta pemerintah dan rakyat Iha dan Tuhaha. Hubungan ketiganya juga diabadikan dalam lagu Italili, dengan lirik yang berbunyi Ulupalu dan Beinusa, Beilohy itu Leilisa. Ulupalu adalah teun Iha, sementara Beinusa adalah teun Tuhaha dan Beilohy teun Ullath. Ada pun Leilisa adalah teun Itawaka. Itawaka sendiri sejarahnya bermula saat tanah Kerajaan Iha dibagi-bagi oleh Belanda kepada Ullath. Ullath dan Tuhaha yang merupakan gandong Iha yang telah memeluk Kristen dipaksa oleh VOC dalam penyerangan terhadap Kerajaan Iha. Sebagai balasannya, Tanah Iha di Hatawano dibagikan kepada Ullath, sementara Tuhaha menerima Tanah Matalete dan Hatala. Tanah Iha lantas didiami oleh orang-orang Ullath dibawah pimpinan keluarga atau matarumah Pattipeilohy. Pattipeilohy yang pergi berlayar ke Tanah Iha nantinya mengganti nama fam mereka menjadi Pattipeilaya dan akhirnya menjadi Papilaya. Fakta bahwa Itawaka berasal dari Ullath menyebabkan pada akhirnya Itawaka dimasukkan pula sebagai ke dalam hubungan gandong ketiga negeri, dalam hal ini Itawaka berstatus sebagai adik terkecil atau bongso.

Selain itu, Iha merupakan saudara dan tetangga terdekat bagi Ihamahu. Keduanya adalah fragmen Kerajaan Iha yang hanya berbeda agama. Keduanya memiliki beberapa fam yang sama dan masih berkeluarga. Kedua negeri ini juga masih mempertahankan hubungan gandong dengan Iha (Amaiha)-Kulur (Ulupia), dikarenakan Iha dan Kulur didirikan di dekat Negeri Luhu di Semenanjung Humual oleh para pengungsi dari Kerajaan Iha pasca kekalahan mereka melawan VOC. Sebagian besar masyarakat Iha yang mengungsi nantinya menurunkan Iha di Luhu dan Kulur. Sebagian kecil yang tinggal memeluk Kristen menjadi Ihamahu, dan masyarakat Iha pengungsian yang tetap beragama Islam dalam jumlah yang kecil kembali lagi ke Hatawano dan mendirikan Ulupalu Amalatu yang tidak memiliki pertuanan.

Pela

Iha ber-pela dengan dua negeri, yaitu Kulur di Pulau Saparua dan Samasuru di Pulau Seram. Ada pula yang menyebutkan bahwa Porto juga terikat pela dengan Iha. Namun, hal ini belum dikonfirmasi dengan kedua negeri. Bartels dalam daftar yang dibuatnya menyebutkan bahwa Iha juga memiliki hubungan pela dengan Kaibobo, Booi, dan Hatu. Pela dengan Kaibobo dan Hatu berjenis tampa siri, sementara dengan Samasuru merupakan pela keras berjenis "minum darah".

Referensi

  1. ^ Sumarsono 1993, hlm. 42.
  2. ^ a b c Lukman Mukadar (19 Juli 2023). Picalouhata, Salama, ed. "Warga Iha Lohi Belum Mau Balik ke Kampung Halaman di Saparua". Tribun News Ambon. Ambon. Diakses tanggal 4 Juli 2024. 
  3. ^ a b Fahrul Arrauf (18 Februari 2019). "Pengungsi Iha Lengkong Siap Pulang Kampung Ke Saparua". Kabar Terkini. Ambon. Diakses tanggal 4 Juli 2024. 
  4. ^ Johannes Jacobus de Hollander, Rutger Eck 1898, hlm. 460.
  5. ^ "Rindu Tanah Leluhur, Warga Iha Saparua Bangun Rumah Singgah". Beritabeta. Ambon. 7 Januari 2019. Diakses tanggal 4 Juli 2024. 
  6. ^ Pela Diarsipkan 2019-06-27 di Wayback Machine. di situs web tuhaha.nl
  7. ^ Dieter Bartels 2017, hlm. 534-535.

Pranala luar