Soekarno
Ir. Soekarno1 (6 Juni 1901 - 21 Juni 1970) adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945 - 1966. Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah penggali Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Soekarno | |
---|---|
Presiden Indonesia ke-1 | |
Masa jabatan 17 Agustus 1945 – 12 Maret 1967 | |
Wakil Presiden | Mohammad Hatta |
Pendahulu Tidak ada | |
Informasi pribadi | |
Lahir | 6 Juni 1901 Surabaya, Jawa Timur |
Meninggal | 21 Juni 1970 Jakarta |
Kebangsaan | Indonesia |
Partai politik | PNI |
Suami/istri | Fatmawati (salah satunya) |
Penghargaan
| |
Sunting kotak info • L • B |
Ia menerbitkan Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial itu, yang konon, antara lain isinya adalah menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga kewibawaannya. Tetapi Supersemar tersebut disalahgunakan oleh Letnan Jenderal Soeharto untuk merongrong kewibawaannya dengan jalan menuduhnya ikut mendalangi Gerakan 30 September. Tuduhan itu menyebabkan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang anggotanya telah diganti dengan orang yang pro Soeharto, mengalihkan kepresidenan kepada Soeharto.
Latar belakang dan pendidikan
Soekarno dilahirkan dengan nama Kusno Sosrodihardjo. Ayahnya bernama Raden Sukemi Sosrodihardjo, seorang guru di Surabaya, Jawa. Ibunya berasal dari Bali.
Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya di Tulungagung, Jawa Timur. Pada usia 14 tahun, seorang kawan bapaknya yang bernama Oemar Said Tjokroaminoto mengajak Soekarno tinggal di Surabaya dan disekolahkan ke Hoogere Burger School (H.B.S.) di sana. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu. Soekarno kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).
Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno berinteraksi dengan Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.
Masa pergerakan nasional
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap Belanda pada bulan Desember 1929, dan memunculkan pledoinya yang fenomenal: Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.
Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Masa penjajahan Jepang
Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk "mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.
Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memperhatikan dan sekaligus memanfaatkan tokoh tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti Jawa Hookokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H Mas Mansyur dan lain lainnya disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.
Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerjasama dengan Jepang sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri.
Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, diantaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945 dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke Rengasdengklok Peristiwa Rengasdengklok.
Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.
Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang,antara lain dalam kasus romusha.
Masa Perang Revolusi
.
Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI,Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi), Panitia Kecil yang terdiri dari sembilan orang/Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air Peta Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang berkembang adalah Soekarno menetapkan moment tepat untuk kemerdekaan Republik Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan tanggal turunnya wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden dikukuhkan oleh KNIP.Pada tanggal 19 September 1945 kewibawaan Soekarno dapat menyelesaikan tanpa pertumpahan darah peristiwa Lapangan Ikada dimana 200.000 rakyat Jakarta akan bentrok dengan pasukan Jepang yang masih bersenjata lengkap.
Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip Christison, Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto setelah mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga berusaha menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun akibat provokasi yang dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang membonceng Sekutu. (dibawah Inggris) meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan gugurnya Brigadir Jendral A.W.S Mallaby.
Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil presiden dan pejabat tinggi negara lainnya.
Kedudukan Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden selaku kepala pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/single executive). Selama revolusi kemerdekaan,sistem pemerintahan berubah menjadi semi-presidensiil/double executive. Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara dan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan. Hal itu terjadi karena adanya maklumat wakil presiden No X, dan maklumat pemerintah bulan November 1945 tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik Indonesia dianggap negara yang lebih demokratis.
Meski sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi kemerdekaan, kedudukan Presiden Soekarno tetap paling penting, terutama dalam menghadapi Peristiwa Madiun 1948 serta saat Agresi Militer Belanda II yang menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan sejumlah pejabat tinggi negara ditahan Belanda. Meskipun sudah ada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin Prawiranegara, tetapi pada kenyataannya dunia internasional dan situasi dalam negeri tetap mengakui bahwa Soekarno-Hatta adalah pemimpin Indonesia yang sesungguhnya, hanya kebijakannya yang dapat menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda.
Masa kemerdekaan
Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno. Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.
Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan rakyat dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya kabinet yang terkenal sebagai "kabinet semumur jagung" membuat Presiden Soekarno kurang mempercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya sebagai "penyakit kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di kalangan Angkatan Udara.
Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat "bom waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang merubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan Indonesia.
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (RRT).
Masa-masa kejatuhan Soekarno dimulai sejak ia "bercerai" dengan Wakil Presiden Moh. Hatta, pada tahun 1956, akibat pengunduran diri Hatta dari kancah perpolitikan Indonesia. Ditambah dengan sejumlah pemberontakan separatis yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia, dan puncaknya, pemberontakan G 30 S, membuat Soekarno di dalam masa jabatannya tidak dapat "memenuhi" cita-cita bangsa Indonesia yang makmur dan sejahtera.
Soekarno sendiri wafat pada tanggal 21 Juni 1970 di Wisma Yaso, Jakarta, setelah mengalami pengucilan oleh suksesornya yang "durhaka" Jenderal Suharto. Jenazahnya dikebumikan di Kota Blitar, Jawa Timur, dan kini menjadi ikon kota tersebut, karena setiap tahunnya dikunjungi ratusan ribu hingga jutaan wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Terutama pada saat penyelenggaraan Haul Bung Karno.
Tentang nama Soekarno
Nama lengkap Soekarno ketika lahir adalah Kusno Sosrodihardjo. Ketika masih kecil, karena sering sakit-sakitan, menurut kebiasaan orang Jawa; oleh orang tuanya namanya diganti menjadi Soekarno. Di kemudian hari ketika menjadi Presiden R.I., ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah (Belanda). Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah.
Sebutan akrab untuk Ir. Soekarno adalah Bung Karno.
Siapa Ahmad Soekarno?
Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Ahmad Soekarno. Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, "Siapa nama kecil Soekarno?" karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian masyarakat di Indonesia yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama keluarga. Entah bagaimana, seseorang lalu menambahkan nama Ahmad di depan nama Soekarno. Hal ini pun terjadi di beberapa Wikipedia.
Istri Soekarno
Soekarno pernah mempunyai hubungan dengan beberapa wanita. Mereka adalah:
- Oetari
- Inggit Garnasih
- Fatmawati
- Hartini
- Ratna Sari Dewi (nama asli: Naoko Nemoto)
- Haryati
- Yurike Sanger
- Kartini Manoppo
- Heldy Djafar
Beberapa di antaranya kemudian dinikahinya.
Lain-lain
Presiden Indonesia masa jabatan 2001-2004, Megawati Soekarnoputri, adalah putri sulungnya.
Sumber
- (Inggris) Leslie H. Palmier. Sukarno, the Nationalist. Pacific Affairs, vol. 30, No, 2 (Jun. 1957), pp 101-119.
- (Inggris) Bob Hering, 2001, Soekarno, architect of a nation, 1901-1970, KIT Publishers Amsterdam, ISBN 90-6832-510-8, KITLV Leiden, ISBN 90-6718-178-1
- (Belanda) Lambert J. Giebels, 1999, Soekarno. Nederlandsch onderdaan. Biografie 1901-1950. Deel I, uitgeverij Bert Bakker Amsterdam, ISBN 90-351-2114-7
- (Belanda) Lambert J. Giebels, 2001, Soekarno. President, 1950-1970, Deel II, uitgeverij Bert Bakker Amsterdam, ISBN 90-351-2294-1 geb., ISBN 90-351-2325-5 pbk.
- (Belanda) Lambert J. Giebels, 2005, De stille genocide: de fatale gebeurtenissen rond de val van de Indonesische president Soekarno, ISBN 90-351-2871-0
- Cindy Adamas, 1965, "Sukarno, an autobiography as told to Cindy Adams, The Bobs Merryl Company Inc, New York
Lihat pula
ALKISAH [ GATRA Printed Edition ]
Bung Karno Dan Para Isteri Hati yang Melihat Wanita
Jakarta, 7 Juni 2001 00:12 RUMAH bercat hijau di Jalan Bonang 62, Jakarta Pusat, cukup unik. Di tembok terasnya tertulis Srihana-Srihani. Tulisan itu cukup mencolok, berwarna kuning keemasan setinggi 40 sentimeter. Setiap orang yang melintas di depan rumah itu selalu menduga, Srihana-Srihani adalah nama pemilik rumah. Padahal, si empunya rumah bernama Hartini, janda mantan Presiden Soekarno, atau Bung Karno (BK).
Srihana-Srihani adalah nama samaran ketika BK berkirim surat dengan Hartini. Srihana nama samaran BK, sementara Srihani untuk Hartini. Ah, itu kenangan lama. Tapi, saya suka nama samaran pemberian Bapak, katanya mengenang. Seperti apa isi surat-surat itu? Itu urusan pribadi, tapi Bapak selalu menulis yang indah-indah, Hartini menambahkan.
Soal surat-menyurat, BK sangat pintar memanjakan istri-istrinya dengan kata-kata puitis. Seperti surat-suratnya pada Yurike Sanger. Lihat saja cuplikan surat untuk Yurike saat BK tak bisa mengunjunginya.
Dear darling Yury, Today I cannot come. I'm so busy, that I cannot find time to see you. But I do see you in my heart. Take good care of yourself
Gaya puitisnya ternyata menular juga ke Fatmawati. Saat BK meninggal pada 21 Juni 1970, Fatmawati tidak hadir melepas kepergian suaminya. Namun, ia mengirim karangan bunga bertuliskan: Tjintamu jang selalu mendjiwai rakjat. Tjinta Fat.'
Makna pandangan pertama BK tak dapat ditebak. Sekadar perhatian, atau menanamkan simpati bagi perempuan yang kelak diperistrinya. Kadang-kadang, ia melakukan hal yang tak terduga. Saat Fatmawati minta pendapat pada BK tentang pinangan anak wedana terhadapnya, BK malah menjawab pinangan itu untuk dirinya sendiri. BK minta Fatmawati menolak pinangan itu, dan menjanjikan waktu enam bulan untuk menyelesaikan urusan dengan Inggit Ganarsih, istri pertamanya.
Hartini merasa, perhatian BK natural, tidak dibuat-buat, saat pertama kali ia bertemu dengannya di Salatiga. Ketika bersalaman, BK bertanya: rumahnya di mana, anaknya berapa, suaminya siapa. Setelah pertemuan itu, datang sepucuk surat untuk Hartini. Lewat surat-menyurat itulah, hati mereka bertaut.
Yurike Sanger tak menduga saat orang nomor satu di Indonesia kala itu menghampirinya ketika ia menjadi anggota Barisan Bhinneka Tunggal Ika. Barisan pemuda-pemudi berpakaian daerah sebagai pagar betis, saat Presiden Soekarno ada acara resmi dengan tamu negara.
BK menghentikan langkahnya di depan Yurike saat berjalan menuju mobilnya. Siapa namamu? Yurike, Pak, jawabnya sambil tergagap. Sebelum BK pergi, ia sempat berpesan: Yurike tak boleh memakai nama berakhiran ke atau ce. Pakai Yuri saja, ya, pesan BK. Pandangan pertama dan perhatian sangat manusiawi yang dilakukan BK itu membuat Yurike takluk ketika BK meminangnya.
Banyak hal yang membuat para istri dan mantan istri BK menilai BK adalah suami dan bapak yang bertanggung jawab. Sikapnya penuh perhatian, telaten, dan tak pilih kasih. Bapak telaten dan penuh perhatian pada semua istrinya. Kita ndak dibeda-bedakan, kata Hartini. Setiap Jumat sampai Minggu, BK menyempatkan diri berkunjung ke Bogor, tempat Hartini dan kedua anaknya tinggal di pavilyun Istana Bogor.
Ia tahu dan menghormati kewajibannya, kata Yurike. Meskipun, hal itu kadang menjengkelkannya. Maklum, BK punya kebiasaan harus kembali ke Istana Merdeka pagi-pagi sekali, sehabis menginap di rumahnya, di Cipinang Cempedak, Jakarta Timur. Kadang-kadang, BK pergi dengan tergesa dan tak sempat cuci muka.
Semua itu dilakukan agar di mata anak-anaknya, BK tetap menjadi seorang bapak yang penuh perhatian. Bung Karno harus mencium anak-anaknya satu per satu sebelum mereka berangkat ke sekolah. Mengecek pekerjaan rumah dan memeriksanya dengan teliti, tutur Yurike.
Untuk urusan sekolah anak-anak, BK selalu turun tangan. Semua rapor anak-anak, Bapak sendiri yang neken, kata Hartini. Bukan itu saja, jika ada pelajaran yang jelek nilainya, BK turun tangan memberikan penjelasan langsung.
Tanggung jawabnya yang tinggi itu membuat semua istri dan mantan istri BK menaruh hormat kepada sang suami. Dalam sejarah hidup BK, ada delapan wanita yang pernah menjadi istrinya.
Ketika masih mahasiswa, BK dijodohkan dengan Utari, putri pendiri Sarekat Islam (SI), H.O.S. Tjokroaminoto. Saat itu, BK mondok di rumah Haji Sanusi, yang kebetulan aktivis SI, di Bandung.
Dalam perjalanannya, hubungan mereka lebih sebagai kakak beradik. BK justru lebih dekat dengan Inggit Ganarsih, istri Haji Sanusi. Jalinan hubungan itu makin serius, yang mendorong mereka berterus terang kepada Haji Sanusi dan Tjokroaminoto.
Utari akhirnya dikembalikan kepada orangtuanya oleh BK, dalam keadaan masih gadis. Sementara itu, Inggit --yang lebih tua 12 tahun dari BK-- dinikahi setelah masa idah cerainya dari Haji Sanusi selesai, pada 1923.
Biaya studi Kusno --begitu panggilan Inggit terhadap BK-- setelah menikah dengan Inggit, ditanggung Inggit sampai ia mendapat gelar insinyur pada 1926. Inggit berperan besar dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan yang dilakukan BK.
Saat BK dipenjarakan di Sukamiskin, karena kegiatan politik, Inggit setia menemani dan menunggu sampai masa hukumannya habis. Karena hanya dia yang boleh menjenguk BK di penjara, otomatis Inggit yang menjadi penghubung antara suaminya dan para pejuang lain, secara sembunyi-sembunyi.
Untuk menulis pesan BK, Inggit menggunakan kertas rokok lintingan. Ketika itu, Inggit memang berjualan rokok buatan sendiri. Rokok yang diikat dengan benang merah hanya dijual kepada para pejuang, di dalamnya berisi pesan-pesan BK.
Hal yang sama juga dilakukan saat BK diasingkan di Ende, Flores (1934), hingga ia dipindah ke Bengkulu (1938). Inggit bisa membesarkan hati BK, memberikan dorongan semangat, membagi suka-duka. Tak mengherankan jika di depan peserta Kongres Indonesia Raya di Surabaya (1932), Soekarno menjuluki Inggit sebagai Srikandi Indonesia.
Meski pernikahan Inggit dengan BK tidak diakaruniai anak, mereka memiliki dua anak angkat: Ratna Djuami dan Kartika. Inggit akhirnya diceraikan BK pada 1942. Alasannya, ia tak mau dimadu, ketika Soekarno mengajukan permohonan menikah dengan Fatimah alias Fatmawati.
Fatmawati adalah anak tunggal pasangan Hassan Din dan Siti Khatidjah, yang saat di Bengkulu mondok di rumah BK. Usianya masih 15 tahun, dan menjadi teman sekolah kedua anak angkat BK dan Inggit di sekolah Katolik, Rooms-Katholik Vakschool.
Alasan ketertarikan BK pada Fatmawati, salah satunya, adalah ingin mendapatkan keturunan setelah 18 tahun menikah tidak dikaruniai putra. Fatmawati menyetujuinya asalkan tidak dimadu. Bahkan, ia akan menerima BK jika sudah menceraikan Inggit secara baik-baik.
Untuk urusan itu, BK meminta pendapat dari rekan seperjuangannya, Bung Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan KH Mas Mansyur. Pada 1943, BK menikah dengan Fatmawati secara wali. Saat itu, usia Fatmawati 19 tahun, dan Soekarno 41 tahun. Nama Fatmawati adalah pemberian BK, yang berarti bunga teratai.
Fatmawati banyak menenami BK sejak menjelang proklamasi kemerdekaan. Ketika BK dan Bung Hatta diculik ke Rengasdengklok, ia menyertainya bersama Guntur yang masih bayi. Di masa kemerdekaan, Fatmawati menjadi ibu negara. Setelah pengakuan kedaulatan RI, keluarga BK tinggal di Jakarta, menempati Istana Merdeka. Dari pernikahan itu, terlahir lima anak: Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh.
Kisah Hartini yang dinikahi BK pada Januari 1952 agak berbeda dari istri sebelumnya. Ia bersedia dimadu. Hartini memutuskan menikah dengan BK setelah mendapat restu dari kedua orangtuanya. Kata orangtua saya, dimadu itu abot (berat), biarpun oleh raja atau presiden, kata Hartini menirukan nasihat orangtuanya.
Sebelum dinikahi, Hartini mengajukan syarat agar Ibu Fatmawati tidak diceraikan dan tetap menjadi first lady. Saya tidak mau Ibu Fat diceraikan, karena kami sama-sama wanita, kata Hartini, yang melahirkan dua anak dari BK: Taufan (almarhum) dan Bayu.
Ratna Dewi Soekarno, atau Dewi Soekarno, 61 tahun, dikenalkan pada BK karena adanya latar politik bisnis. Pertemuan terjadi pada Juni 1959, ketika Bung Karno mengunjungi kelab malam Copacabana di Tokyo. Dewi, nama aslinya Naoko Nemoto, bekerja sebagai penyanyi di kelab malam tersebut. Saat itu usianya masih 19 tahun. Ia menyanyikan Bengawan Solo saat menyambut BK.
Dengan dicomblangi Masao Kubo, Direktur Utama Tonichi Inc, hubungan mereka berlanjut sampai ke pelaminan, 3 Maret 1962. Berkat peran Dewi itulah, Tonichi mendapat banyak proyek dari Pemerintah RI.
Kehadiran Dewi mampu menyisihkan Sakiko Kanase, yang lebih dulu diperkenalkan kepada BK oleh perusahaan Kinoshita. Sakiko, yang sempat masuk Islam dan berganti nama menjadi Saliku Maisaroh, kecewa dan bunuh diri, tiga minggu setelah Dewi menikah dengan BK.
Dewi, yang belakangan pernah menghebohkan dengan buku Madamme D'Syuga, pada awalnya kurang mendapat simpati di kalangan putra-putri BK. Guntur, misalnya, memelesetkan nama Dewi menjadi Deweh. Dan ia menjuluki istri-istri BK, selain Fatmawati, sebagai hinul-hinul markindul.
Di sisi lain, Dewi sangat berbakat di bidang politik. Dialah yang merekatkan hubungan BK yang retak dengan militer pasca-G-30-S/PKI. Dewi berupaya mengakrabkan kembali Soekarno dengan Jenderal Soeharto, dan Jenderal Nasution. Dengan BK, Dewi dianugerahi satu putri, Kartika Sari Dewi Soekarno.
Pernikahan BK dengan Haryati tidak banyak terekspose. Ia tidak begitu menonjol dibandingkan dengan istri-istri BK lainnya. Pada 1980-an, namanya mencuat saat berperkara soal tanah hadiah dari BK di Jalan Comal, Surabaya. Atau, saat ia kehilangan kancing-kancing baju dan sekaligus beberapa baju peninggalan BK. Setelah bercerai dengan BK, Haryati menikah dengan Sakri. Dari pernikahannya dengan BK, ia dikaruniai satu putri, Ayu Gembirowati.
Yurike Sanger, atau Yuri, adalah istri terakhir dan termuda BK. Saat dinikahi, usianya baru sweet seventeen, dan masih kelas II SMA. Anggota Barisan Bhinneka Tunggal Ika itu pada dasarnya seorang yang minder dan pemalu. Ia justru menjadi percaya diri setelah sering diajak ngobrol oleh BK. Hanya orang minder sajalah yang tidak berani menghadapi, dan melarikan diri dari persoalan yang menghadangnya, kata Yurike menirukan pesan BK.
Kalau saya tidak menerima tawaran Ibu Lia untuk menjadi Barisan Bhinneka Tunggal Ika, tak mungkin saya bisa bertemu dan hidup bersama dengan Bung Karno, tuturnya. Yuri mengaku cepat dewasa dalam berpikir, karena BK banyak mengajari berbagai hal, termasuk bagaimana harus menempatkan diri.
Sekarang, genap satu abad lahirnya Bung Karno. Rangkaian seremoni disiapkan untuk menggelar gawe besar itu. Hartini, salah satu istri BK yang masih hidup, mengaku terharu mendengar akan digelarnya acara tersebut. Saya merasa terharu, dan senang, kata penggemar warna hijau botol itu. Saya ingat saat-saat terakhir Bapak. Dikucilkan. Hanya boleh ketemu sama keluarganya, dan dokter saja.
Di usianya yang 77 tahun, Hartini kini menghabiskan waktunya dengan aktivitas yang ringan. Kegiatan saya sehari-hari, ya, ngebon (berkebun), ngaji, baca koran, menata rumah, arisan, kadang belanja. Itu saja. Nggak neko-neko (aneh-aneh). Hidupnya sangat sederhana. Sebagai janda presiden, ia mendapat tunjangan pensiun dari pemerintah. Jumlahnya? Ia tak mau menyebut angka. Ya, kalau jujur, tidak cukup untuk kebutuhan rumah tangga. Tapi, saya selalu berupaya agar bisa membayar rekening listrik, telepon, pembantu....
Ketika ditanya tentang pengalamannya yang paling berkesan bersama BK, wanita yang tidak berkebaya sejak BK meninggal itu menuturkan, Selama mendampingi Bapak, seluruh hidup saya sangat berkesan. Makanya, saya sangat berterima kasih, Allah telah menunjuk saya mendampingi Bapak sampai akhir hayatnya, katanya dengan suara serak dan mata berkaca-kaca.
[Dewi Sri Utami] [Edisi Khusus Gatra Nomor 29 Beredar 4 Juni 2001] URL: http://www.gatra.com/2001-06-07/versi_cetak.php?id=6900