Literalisme biblis

istilah yang digunakan dengan beragam makna oleh beragam penulis untuk menyifatkan tafsir Alkitab

Literalisme biblis atau biblisisme adalah istilah yang digunakan dengan beragam makna oleh beragam penulis untuk menyifatkan tafsir Alkitab. Istilah ini dapat berarti "berpatokan kepada huruf yang ada atau kepada makna harfiah",[1] dan harfiah berarti "menurut huruf, kata demi kata, berdasarkan arti leksikal", bukan arti kiasan atau arti metaforis.[2]

Istilah ini juga mengacu kepada metode gramatis-historis, yakni salah satu teknik hermeneutis yang berusaha menyingkap makna suatu teks dengan tidak semata-mata mempertimbangkan kata-kata gramatisnya, tetapi mempertimbangkan pula aspek-aspek sintaksisnya, latar belakang kebudayaan dan kesejarahannya, serta ragam sastranya. Metode historis-gramatis menitikberatkan aspek referensial dari kata-kata di dalam suatu teks tanpa menafikan relevansi aspek-aspek kesastraan, ragam sastra, maupun majas-majas di dalam teks itu (misalnya majas perumpamaan, majas alegori, majas simile, dan majas metafora).[3] Metode ini tidak selamanya melahirkan kebulatan mufakat atas satu tafsir tunggal dari sebuah ayat. Pendekatan hermeneutis terhadap Alkitab ala Kristen fundamentalis dan injili ini dipakai secara luas di kalangan umat Kristen fundamentalis,[4] kontras dengan metode kritis-historis yang dipakai di kalangan Yahudi arus utama dan Kristen Protestan arus utama. Pihak-pihak yang mengaitkan literalisme biblis dengan metode gramatis-historis memakai istilah "leterisme" atau "hurufiyah" untuk menyifatkan tafsir Alkitab yang dilakukan secara "harfiah".[5]

Latar belakang

Kalangan fundamentalis dan injili kadang-kadang menyebut dirinya literalis atau literalis biblis. Para sosiolog juga menggunakan istilah yang sama untuk menyebut keyakinan-keyakinan Kristen konservatif yang tidak hanya mencakup literalisme tetapi juga mencakup keyakinan akan ketanpasalahan Alkitab. Istilah "literalisme biblis" kerap dipakai sebagai istilah peyoratif untuk menyifatkan atau mengolok-olok pendekatan-pendekatan tafsir Kristen fundamentalis dan Kristen injili.[6][7][8]

Menurut hasil jajak pendapat yang dilakukan lembaga Gallup pada tahun 2011, "tiga dari sepuluh warga Amerika Serikat menafsirkan Alkitab secara harfiah, katanya karena Alkitab sungguh-sungguh adalah firman Allah. Hasil tersebut sama dengan hasil jajak pendapat Gallup selama dua dasawarsa terakhir, tetapi lebih rendah daripada rasio dasawarsa 1970-an dan 1980-an. 49% dari pluralitas warga Amerika Serikat mengatakan bahwa Alkitab adalah firman yang diilhamkan Allah tetapi tidak boleh dipahami secara harfiah, yang secara konsisten merupakan pandangan terumum sepanjang hampir 40 tahun pertanyaan ini diajukan Gallup. 17% lagi menganggap Alkitab sebagai pustaka kuno berisi kumpulan cerita yang dicatat manusia."[9]

Sejarah

 
Origenes, gambar imajinatif karya André Thévet

Penghargaan yang tinggi terhadap pustaka-pustaka keagamaan di dalam tadisi-tadisi Yahudi-Kristen tampaknya berkaitan dengan proses kanonisasi Alkitab Ibrani yang berlangsung beberapa abad lamanya, kira-kira sejak tahun 200 SM sampai tahun 200 M. Dalam tradisi Yahudi, perkataan-perkataan tersurat yang dijunjung tinggi itu adalah saluran langsung menuju budi Allah, dan mazhab-mazhab Yahudi Rabani terkemudian mendorong tumbuhnya kesarjanaan penunjang untuk mendampingi agama yang berkesastraan itu.[10] Demikian pula Kanon Alkitab Kristen|kanonisasi Perjanjian Baru oleh Gereja Purba menjadi salah satu aspek penting di dalam pembentukan identitas keagamaan tersendiri bagi Kekristenan.[11] Para petinggi Gereja menggunakan penerimaan atau penolakan terhadap pustaka-pustaka keagamaan tertentu sebagai salah satu indikator utama identitas kelompok. Kebijakan semacam ini juga memainkan peranan di dalam urusan penentuan ekskomunikasi Kristen dan herem Yahudi.[butuh rujukan]

Karena sudah terbiasa membaca dan menafsirkan susastra Helenistis, Bapa Gereja Origenes (184-253 M) mengajarkan bahwa beberapa bagian Alkitab wajib ditafsirkan secara tidak-harfiah. Berkenaan dengan riwayat penciptaan di dalam Kitab Kejadian, Origenes mengemukakan di dalam risalahnya bahwa "siapakah yang sedemikian bodoh sehingga percaya bahwa Allah ... menata sebuah firdaus di Eden, di sebelah timur, lalu menumbuhkan di dalamnya sebatang pohon hayat yang kasat mata lagi dapat diraba ... [dan] barang siapa yang mencicipi buah pohon itu dengan gigi jasmaninya niscaya beroleh kehidupan kekal?"

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ "Literalism". Dictionary.com LLC. Diakses tanggal August 9, 2014. 
  2. ^ "Harfiah". Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring. Diakses tanggal 1 Juli 2021. 
  3. ^ Ryrie, Charles Caldwell (1995). Dispensationalism  (edisi ke-Revisi dan penambahan). Chicago: Moody Press. hlm. 224. ISBN 0-8024-2187-3.  hlm. 81
  4. ^ Bartkowski, John (1996). "Beyond Biblical Literalism and Inerrancy: Conservative Protestants and the Hermeneutic Interpretation of Scripture". Sociology of Religion. 57 (3): 259–272. doi:10.2307/3712156. JSTOR 3712156. 
  5. ^ Ramm, Bernard (1970). Protestant Biblical Interpretation. Baker Book House. ISBN 0-8010-7600-5.  p.48
  6. ^ Laurence Wood, 'Theology as History and Hermeneutics', (2005)
  7. ^ George Regas, 'Take Another Look At Your Good Book', Los Angeles Times, 3 Februari 2000
  8. ^ Dhyanchand Carr, 'Christian Council of Asia: Partnership in Mission, Conference on World Mission and the Role of Korean Churches, November 1995
  9. ^ Jones, Jeffrey M. (July 8, 2011). "In U.S., 3 in 10 Say They Take the Bible Literally". Gallup. 
  10. ^ McDonald & Sanders, penyunting, The Canon Debate, halaman 4.
  11. ^ A Van Der Kooij, dkk. Canonization and Decanonization: Papers Presented to the International Conference of the Leiden Institute for the Study of Religions (Lisor), Diselenggarakan di Leiden 9–10 Januari 1997. hlm. 141.

Kepustakaan