Ali bin Abi Thalib

Khalifah Kekhalifahan Rasyidin ke-4 (m. 656–661) dan Imam Syiah pertama.
Revisi sejak 2 November 2022 16.19 oleh M.Nadian (bicara | kontrib)

‘Alī bin Abī Thālib (Arab: علي بن أﺑﻲ طالب, Persia: علی پسر ابو طالب) (lahir sekitar 13 Rajab 23 SH/599 Masehi – wafat 21 Ramadan 40 Hijriah/661 Masehi) adalah khalifah keempat yang berkuasa dan Imam Syiah pertama. Dia termasuk golongan pemeluk Islam pertama dan salah satu sahabat utama Nabi. Secara silsilah, Ali adalah sepupu dari Nabi Muhammad. Pernikahan Ali dengan Fatimah az-Zahra juga menjadikannya sebagai menantu Nabi Muhammad.

Ali bin Abi Thalib
علي بن أبي طالب
Ali radhiallahu anhu
Khalifah
sudut pandang Sunni
Berkuasa20 Juni 656 – 29 Januari 661
(4 tahun, 224 hari)
PendahuluUtsman bin 'Affan
PenerusHasan bin Ali
Imam
sudut pandang Syi'ah
Berkuasa632–661
PenerusHasan bin Ali
Kelahiran15 September 601 (13 Rajab 21 SH)
Ka'bah, Makkah, Jazirah Arab[1]
Kematian29 Januari 661 (21 Ramadan  40 H)
(usia 59)[2][3]
Kufah, Mesopotamia
Pemakaman

  • Istana Pemerintah, Kufah (menurut Sunni).[4][5][6]
  • Masjid Imam Ali, Najaf (menurut Syiah)
Pasangan
Keturunan
Nama lengkap
'Alī ibn Abī Ṭālib bahasa Arab: علي ابن أبي طالب
Nama dan tanggal periode
Khulafaur Rasyidin: 656–661
SukuBani Hasyim (Quraisy)
AyahAbu Thalib
IbuFatimah binti Asad
AgamaIslam

Sebagai salah satu pemeluk Islam awal, Ali telah terlibat dalam berbagai peran besar sejak masa kenabian, meski usianya terbilang muda bila dibandingkan sahabat utama Nabi yang lain. Ali mengikuti semua perang, kecuali Perang Tabuk, pengusung panji, juga berperan sebagai sekretaris dan pembawa pesan Nabi. Ali juga ditunjuk sebagai pemimpin pasukan pada Perang Khaibar.

Sepeninggal Nabi Muhammad, Ali diangkat sebagai khalifah atau pemimpin umat Islam setelah Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Dalam sudut pandang Sunni, Ali bersama tiga pendahulunya digolongkan sebagai Khulafaur Rasyidin.[7] Di sisi lain, kelompok Syiah memandang bahwa Ali yang harusnya mewarisi kepemimpinan umat Islam begitu mangkatnya Nabi Muhammad atas tafsiran mereka dalam peristiwa Ghadir Khum, membuat kepemimpinan tiga khalifah sebelumnya dipandang tidak sah. Masa kekuasaan Ali merupakan salah satu periode tersulit dalam sejarah Islam karena saat itulah terjadi perang saudara pertama dalam tubuh umat Muslim yang berawal dari terbunuhnya Utsman bin 'Affan, khalifah ketiga. Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai status Ali dan hak kepemimpinannya atas umat Islam, Sunni dan Syiah sepakat mengenai pribadinya yang saleh dan adil.

Perbedaan pandangan mengenai pribadi Ali bin Abi Thalib

Ahlussunnah (Sunni)

Ahlussunnah memandang Ali bin Abi Thalib sebagai salah seorang sahabat Nabi yang terpandang. Hubungan kekerabatan Ali dan Rasulullah sangat dekat sehingga ia merupakan seorang ahlul bait dari Nabi ﷺ. Ahlussunnah juga mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai salah seorang Khulafaur Rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk).

Sunni menambahkan nama Ali di belakang dengan Radhiyallahu Anhu atau semoga Allah ridha padanya. Tambahan ini sama sebagaimana yang juga diberikan kepada sahabat Nabi yang lain.

Sufi

Sufi menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Karramallahu Wajhah atau semoga Allah memuliakan wajahnya. Doa kaum Sufi ini sangat unik, berdasarkan riwayat bahwa dia tidak suka menggunakan wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun.[butuh rujukan] Dibuktikan dalam sebagian riwayat bahwa dia tidak suka memandang ke bawah bila sedang berhubungan intim dengan istri. Sedangkan riwayat-riwayat lain menyebutkan dalam banyak pertempuran, bila pakaian musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedang dia, maka Ali enggan meneruskan duel hingga musuhnya lebih dahulu memperbaiki pakaiannya.

Ali bin Abi Thalib dianggap oleh kaum Sufi sebagai Imam dalam ilmu al-hikmah (divine wisdom) dan futuwwah (spiritual warriorship). Dari dia bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh) atau spiritual-brotherhood. Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi, adalah keturunan dia sesuai dengan catatan nasab yang resmi mereka miliki. Seperti pada tarekat Qadiriyah dengan pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan keturunan langsung dari Ali melalui anaknya Hasan bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab manaqib Syekh Abdul Qadir Jailani (karya Syekh Ja'far Barzanji) dan banyak kitab-kitab lainnya.

Riwayat Hidup

Kelahiran & Kehidupan Keluarga

Kelahiran

Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600 (perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.

Dia bernama asli Assad bin Abu Thalib, bapaknya Assad adalah salah seorang paman dari Muhammad ﷺ. Assad yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah.

Setelah mengetahui anaknya yang baru lahir diberi nama Assad,[butuh rujukan] Ayahnya memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi (derajat di sisi Allah).

Kehidupan Awal

Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, di mana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.

Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi ﷺ karena dia tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi ﷺ bersama istri dia Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak dia kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.

Masa Remaja

Ketika Nabi Muhammad ﷺ menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini, Ali berusia sekitar 10 tahun.[butuh rujukan]

Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi ﷺ karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga dia menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah 'Ihsan') atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi khusus kepada dia tetapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.

Karena bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing.

Didikan langsung dari Nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zahir (eksterior) atau syariah dan batin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.

Kehidupan di Mekkah sampai Hijrah ke Madinah

Ali bersedia tidur di kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi. Dia tidur menampakkan kesan Nabi yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.

Kehidupan Ali di Madinah

Pernikahan

Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali menikah dengan Fatimah az-Zahra, putri Nabi Muhammad. Ali tidak menikah dengan wanita lain ketika Fatimah masih hidup. Tertulis dalam Tarikh Ibnu Atsir, setelah itu Ali menikah dengan Ummu Banin binti Haram, Laila binti Mas'ud, Asma binti Umais, Sahba binti Rabia, Umamah binti Abil Ash, Haulah binti Ja'far, Ummu Said binti Urwah, dan Mahabba binti Imru'ul Qais.[8]

Julukan

Ketika Muhammad mencari Ali menantunya, ternyata Ali sedang tidur. Bagian atas pakaiannya tersingkap dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu Muhammad pun lalu duduk dan membersihkan punggung Ali sambil berkata, "Duduklah wahai Abu Turab, duduklah." Turab yang berarti debu atau tanah dalam bahasa Arab. Julukan tersebut adalah julukan yang paling disukai oleh Ali.

Pertempuran yang diikuti pada masa Nabi

Perang Badar

Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali masih dalam perselisihan, tetapi semua sepaat dia menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.

Perang Khandaq

Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.

Perang Khaibar

Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kukuh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi ﷺ bersabda:

"Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya".

Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, tenyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.

Peperangan lainnya

Hampir semua peperangan dia ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili Nabi Muhammad untuk menjaga kota Madinah.

Setelah Nabi wafat

Sampai disini hampir semua pihak sepakat tentang riwayat Ali bin Abi Thalib, perbedaan pendapat mulai tampak ketika Nabi Muhammad wafat. Syi'ah berpendapat sudah ada wasiat (berdasar riwayat Ghadir Khum) bahwa Ali harus menjadi Khalifah bila Nabi ﷺ wafat. Tetapi Sunni tidak sependapat, sehingga pada saat Ali dan Fatimah masih berada dalam suasana duka orang-orang Quraisy bersepakat untuk membaiat Abu Bakar.

Menurut riwayat dari Al-Ya'qubi dalam kitab Tarikh-nya Jilid II Menyebutkan suatu peristiwa sebagai berikut. Dalam perjalan pulang ke Madinah seusai menunaikan ibadah haji ( Hijjatul-Wada'), malam hari Rasulullah ﷺ bersama rombongan tiba di suatu tempat dekat Jifrah yang dikenal dengan nama "GHADIR KHUM." Hari itu adalah hari ke-18 bulan Dzulhijah. Ia keluar dari kemahnya kemudia berkhutbah di depan jamaah sambil memegang tangan Imam Ali Bin Abi Tholib r.a. Dalam khutbahnya itu antara lain dia berkata: "Barang siapa menanggap aku ini pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah, pimpinlah orang yang mengakui kepemimpinannya dan musuhilah orang yang memusuhinya".

Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Nabi, Ahlul Bait, dan pengikutnya. Beberapa riwayat berbeda pendapat waktu pem-bai'at-an Ali bin Abi Thalib terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Rasulullah. Ada yang meriwayatkan setelah Nabi dimakamkan, ada yang beberapa hari setelah itu, riwayat yang terbanyak adalah Ali membai'at Abu Bakar setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan setelah meninggalnya Rasulullah demi mencegah perpecahan dalam ummat.

Ada yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula yang menyatakan bahwa kekhalifahan dan kenabian sebaiknya tidak berada di tangan Bani Hasyim.

Sebagai khalifah

Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah 'Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa dia, sehingga akhirnya Ali menerima bai'at mereka. Menjadikan Ali satu-satunya Khalifah yang dibai'at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.

Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Pertempuran Basra. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu'minin Aisyah binti Abu Bakar, Istri Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.

Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah telanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad ﷺ ketika dia masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Pertempuran Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut. Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya.

Pembunuhan di Kufah

Pada tanggal 19 Ramadan 40 Hijriyah, atau 27 Januari 661 Masehi, saat sholat di Masjid Agung Kufah, Ali diserang oleh seorang Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam. Dia terluka oleh pedang yang diracuni oleh Abdurrahman bin Muljam saat ia sedang bersujud ketika sholat subuh.[9] Ali memerintahkan anak-anaknya untuk tidak menyerang orang Khawarij tersebut, Ali malah berkata bahwa jika dia selamat, Abdurrahman bin Muljam akan diampuni sedangkan jika dia meninggal, Abdurrahman bin Muljam hanya diberi satu pukulan yang sama (terlepas apakah dia akan meninggal karena pukulan itu atau tidak).[10] Ali meninggal dua hari kemudian pada tanggal 29 Januari 661 (21 Ramadan 40 Hijriyah).[11][9] Hasan bin Ali memenuhi Qisas dan memberikan hukuman yang sama kepada Abdurrahman bin Muljam atas kematian Ali.[12]

Keluarga

Orangtua dan moyang

Ayah — 'Imran (sekitar 539 – sekitar 619). Lebih dikenal dengan nama Abu Thalib. Pemimpin Bani Hasyim. Salah satu pelindung utama Nabi Muhammad di Makkah. Terdapat perbedaan pendapat, utamanya antara kalangan Sunni dan Syi'ah, mengenai status keislamannya. Menurut Sunni, Abu Thalib tidak masuk Islam sampai akhir hayatnya, sementara Syi'ah memandang bahwa Abu Thalib adalah seorang Muslim.

IbuFatimah binti Asad.

  • Kakek — Asad bin Hasyim
  • Nenek — Fatimah binti Qais

Pasangan dan keturunan

'Ali menikahi delapan istri setelah meninggalnya Fatimah az-Zahra.[8][13]

  • Fatimah (615–632). Putri bungsu Nabi Muhammad dan Khadijah binti Khuwailid.
    • Hasan (624–670). Menjadi khalifah selama enam atau tujuh bulan pada tahun 661.
    • Husain (625–680). Menikah dengan Syahrbanu, putri Yazdegerd III, Kaisar Sasaniyah terakhir. Terbunuh dalam Pertempuran Karbala.
    • Zainab (626–681). Menikah dengan sepupunya, 'Abdullah bin Ja'far bin Abu Thalib.
    • Zainab As-Sughra (Zainab Kecil), juga dikenal dengan Ummu Kultsum. Menikah dengan Umar bin Khattab. Mahar untuk pernikahannya sebesar 40.000 dirham[14] dan mereka hidup sebagai suami istri pada tahun 638.[15] Tercatat Ummu Kultsum pernah memberikan hadiah parfum kepada Permaisuri Martina, istri Kaisar Romawi Timur Heraklius. Sebagai balasan, Martina menghadiahi kalung kepada Ummu Kulstum. Namun 'Umar yang percaya bahwa istrinya tak seharusnya ikut campur dalam urusan kenegaraan akhirnya menyerahkan kalung tersebut ke dalam perbendaharaan negara.[16] Dalam sudut pandang Syi'ah, pernikahan antara Ummu Kulstum dan 'Umar adalah kisah rekaan.[17]
    • Muhsin. Terlahir mati.
  • Khaulah binti Ja'far dari Bani Hanifah. Saat masyarakat Yamamah menolak membayar zakat sepeninggal Nabi Muhammad, Khalifah Abu Bakar memerangi mereka. Khaulah dan beberapa wanita lain ditawan sebagai budak dan dibawa ke Madinah. Saat sukunya mengetahui nasib Asma, mereka mendatangi 'Ali bin Abi Thalib untuk membebaskannya dari perbudakan dan melindungi martabat keluarganya. 'Ali kemudian membeli Asma dan membebaskannya, kemudian menikahinya.
  • Umamah binti Abi al-Ash bin ar-Rabi'. Ibunya adalah Zainab, putri tertua Nabi Muhammad dan Khadijah binti Khuwailid. Ayahnya adalah Abu al-Ash bin ar-Rabi' dari Bani Abdu Syams.
    • Muhammad al-Ausath
  • Fatimah binti Hizam. Juga dikenal dengan Ummul-Banin. Berasal dari Bani Kilab.
  • Laila binti Mas'ud
  • Asma' binti Umais. Secara keseluruhan, Asma menikah sebanyak tiga kali dan 'Ali adalah suami terakhirnya. Suami pertama Asma adalah saudara 'Ali sendiri, Ja'far bin Abi Thalib. Suami keduanya adalah Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
    • Yahya
    • Aun
  • Ash-Shahba' binti Rabi'ah
    • 'Umar
    • Ruqayyah. Dikatakan mengungsi ke anak benua India dan mendakwahkan Islam di sana setelah Pertempuran Karbala.
  • Ummu Sa'id binti Urwah
    • Ummul Hasan
    • Ramlah Kubra
  • Mahabba binti Imru'ul Qais
    • seorang putri, meninggal ketika masih kecil
  • Ummu walad
    • Muhammad al-Ashghar

Banyak keturunan Ali yang tewas terbunuh dalam Pertempuran Karbala. Keturunannya yang masih ada saat ini merupakan para keturunan dari Hasan dan Husain (anak Fatimah), Muhammad bin al-Hanafiyah (anak Khaulah), Abbas (anak Ummul Banin), dan Umar (anak Ash-Shahba').[8]

Keturunan Ali melalui putranya Hassan dikenal dengan Syarif, dan dari jalur Hussein dikenal dengan Sayyid. Sebagai keturunan langsung Nabi Muhammad, mereka dihormati oleh Sunni dan Syi'ah. Keturunan Ali secara kesuluruhan dari para istrinya dikenal sebutan dengan Alawiyin atau Alawiyah.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Rahim, Husein A.; Sheriff, Ali Mohamedjaffer (1993). Guidance From Qur'an (dalam bahasa Inggris). Khoja Shia Ithna-asheri Supreme Council. Diakses tanggal 11 April 2017. 
  2. ^ Shad, Abdur Rahman. Ali Al-Murtaza. Kazi Publications; 1978 1st Edition. Mohiyuddin, Dr. Ata. Ali The Superman. Sh. Muhammad Ashraf Publishers; 1980 1st Edition. Lalljee, Yousuf N. Ali The Magnificent. Ansariyan Publications; January 1981 1st Edition.
  3. ^ Sallaabee, Ali Muhammad. Ali ibn Abi Talib (volume 2). hlm. 621. Diakses tanggal 15 December 2015. 
  4. ^ Majmu' al-Fatawa, Ibnu Taimiyah, (27 / 446)
  5. ^ Wafayat al-A'yan, Ibnu Khallikan, (4 / 55)
  6. ^ Tarikh Baghdad, Al-Khathib al-Baghdadi, (1 / 136)
  7. ^ Biographies of the Prophet's companions and their successors, Ṭabarī, translated by Ella Landau-Tasseron, pp.37-40, Vol:XXXIX
  8. ^ a b c Sayyid Sulaiman Nadwi (2015). Ali bin Abi Thalib. Puspa Swara. hlm. 62. ISBN 978-979-1479-87-5. 
  9. ^ a b Tabatabaei 1979, hlm. 192
  10. ^ Kelsay 1993, hlm. 92
  11. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Iranica
  12. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Madelung 1997 p=309
  13. ^ The Life of Hadrat Ali
  14. ^ Muhammad ibn Jarir al-Tabari. Tarikh al-Rusul wa'l-Muluk. Translated by Smith, G. R. (1994). Volume 14: The Conquest of Iran, hlm. 101. Albany: State University of New York Press.
  15. ^ Muhammad ibn Jarir al-Tabari. Tarikh al-Rusul wa'l-Muluk. Translated by Juynboll, G. H. A. (1989). Volume 13: The Conquest of Iraq, Southwestern Persia, and Egypt, hlm. 109-110. Albany: State University of New York Press.
  16. ^ Muhammad ibn Jarir al-Tabari. Tarikh al-Rusul wa'l-Muluk. Translated by Humphreys, R. S. (1990). Volume 15: The Crisis of the Early Caliphate, hlm. 28. Albany: State University of New York Press
  17. ^ Umar's Marriage to Umm Kulthum in Shiite Narrations. (n.d) Retrieved from https://www.al-islam.org/critical-assessment-umm-kulthums-marriage-umar-sayyid-ali-al-husayni-al-milani/section-4-umars.

Pranala luar

Ali bin Abi Thalib
Cabang kadet Quraisy
Lahir: 15 September 601 Meninggal: 29 Januari 661
Jabatan Islam Sunni
Didahului oleh:
'Utsman bin 'Affan
Khalifah
20 Juni 656 – 29 Januari 661
Diteruskan oleh:
Hasan bin 'Ali
Jabatan Islam Syi'ah
Jabatan baru Imam
632–661
Diteruskan oleh:
Hasan bin 'Ali