Khalid bin Walid
Abū Sulaimān Khālid bin al-Walīd bin al-Mughīrah al-Makhzūmī (bahasa Arab: أبو سليمان خالد بن الوليد بن المغيرة المخزومي; 585–642), meninggal 642 M) adalah seorang komandan Muslim Arab yang melayani nabi Islam Muhammad, khalifah Rasyidin Abu Bakar (m. 632-634) dan Umar bin Khattab (m. 634-644). Dia memainkan peran militer utama dalam Perang Riddah melawan suku-suku pemberontak di Arabia pada tahun 632-633, penaklukan Persia oleh Muslim pada tahun 633-634 dan penaklukan Suriah oleh Muslim pada tahun 634-638.
Khālid bin al-Walīd خالد بن الوليد | |
---|---|
Julukan | Pedang Allah Yang Terhunus |
Lahir | 585 Makkah, Jazirah Arab |
Meninggal | 642 (umur 57) Homs, Syam |
Dikebumikan | Masjid Khalid bin al-Walid |
Pengabdian | Kekhalifahan Rasyidin |
Dinas/cabang | Pasukan Rasyidin |
Lama dinas | 632–638 |
Pangkat | Panglima tertinggi |
Kesatuan | Pengawal berkuda |
Komandan | Panglima tertinggi (632–634) Komandan lapangan (634–638) Komandan Pengawal berkuda (634–638) Gubernur Militer Irak (633–634) Gubernur Chalcis (Qinnasrin), Suriah(637–638) |
Perang/pertempuran | Pertempuran Uhud (625) Pertempuran Mu'tah (629) Pembebasan Mekkah (629/30) Pertempuran Hunain (630) Perang Riddah
|
Pasangan |
|
Anak |
|
Khalid merupakan seorang prajurit berkuda dari klan aristokrat suku Quraisy, Makhzum, yang sebelumnya dengan gigih menentang Muhammad. Ia memainkan peran penting dalam mengalahkan pasukan Muslim di Pertempuran Uhud pada tahun 625 M. Setelah ia masuk Islam pada tahun 627 M atau 629 M, ia diangkat menjadi komandan oleh Muhammad, yang memberikan gelar Saifullah ('Pedang Allah') kepadanya. Khalid mengkoordinir penarikan pasukan Muslim secara aman selama ekspedisi yang gagal ke Mu'ta melawan sekutu Arab dari Bizantium pada tahun 629 dan memimpin kontingen Badui dari tentara Muslim selama perebutan Makkah dan Pertempuran Hunain pada sekitar tahun 630. Setelah wafatnya Muhammad, Khalid ditunjuk untuk menekan atau menundukkan suku-suku Arab di Najd dan Yamama (keduanya wilayah di Arabia tengah) yang menentang negara Muslim yang baru lahir, mengalahkan para pemimpin pemberontak Tulaihah pada Pertempuran Buzakhah pada tahun 632 dan Musailamah pada Pertempuran Aqraba di tahun 633.
Khalid kemudian bergerak melawan suku-suku Arab yang sebagian besar beragama Kristen dan garnisun Persia Sasaniyah di lembah Efrat di Irak. Dia ditugaskan kembali oleh Abu Bakar untuk memimpin pasukan Muslim di Suriah dan dia memimpin anak buahnya di sana dalam sebuah pergerakan yang tidak konvensional melintasi hamparan Gurun Suriah yang panjang dan tak berair, mendongkrak reputasinya sebagai ahli strategi militer. Sebagai hasil dari kemenangan yang menentukan melawan Bizantium di Ajnadain (634), Fahl (634 atau 635), Damaskus (634-635) dan Yarmuk (636), kaum Muslim di bawah Khalid berhasil menguasai sebagian besar Suriah. Dia kemudian diturunkan dari komando tinggi oleh Umar. Khalid melanjutkan tugasnya sebagai letnan kunci dari penggantinya, Abu Ubaidah bin al-Jarrah dalam pengepungan Homs dan Aleppo dan Pertempuran Qinnasrin, semuanya pada tahun 637-638, yang secara kolektif memicu mundurnya pasukan kekaisaran Bizantium di bawah Kaisar Heraclius dari Suriah. Umar memberhentikan Khalid dari jabatannya sebagai gubernur Qinnasrin sesudahnya dan ia meninggal di Madinah pada tahun 642.
Khalid secara umum dianggap oleh para sejarawan sebagai salah satu jenderal Islam awal yang paling cakap dan berpengalaman. Pencapaiannya dikenang secara luas oleh umat muslim Arab. Riwayat-riwayat Islam memuji Khalid atas taktik medan perang dan kepemimpinannya yang efektif pada penaklukan-penaklukan awal yang dilancarkan oleh umat Muslim, tetapi juga menudingnya telah mengeksekusi secara ilegal anggota suku Arab yang telah memeluk Islam, yaitu anggota-anggota Bani Jadhima selama masa hidup Muhammad dan Malik bin Nuwairah selama perang Riddah, begitupula pelanggaran moral dan fiskal di Suriah. Kemasyhuran militernya meresahkan beberapa Muslim awal yang saleh, termasuk Umar bin Khattab, yang takut hal itu dapat berkembang menjadi kultus terhadap individu.
Leluhur dan kehidupan awal
Ayah Khalid adalah al-Walid bin al-Mughirah, seorang penengah perselisihan lokal di Makkah di Hijaz (Arabia barat).[1] Al-Walid diidentifikasi oleh sejarawan Ibnu Hisyam (wafat 833), Ibnu Duraid (wafat 837) dan Ibnu Habib (wafat 859) sebagai "pencemooh" nabi Islam Muhammad yang disinggung dalam surah-surah Al-Qur'an yang turun ketika di Makkah.[1] Dia berasal dari Bani Makhzum, klan terkemuka dari suku Quraisy dan aristokrasi Makkah pra-Islam.[2] Bani Makhzum dianggap berjasa dalam memperkenalkan perdagangan Makkah ke pasar-pasar asing,[3] khususnya Yaman dan Abyssinia (Ethiopia),[2] dan mengembangkan reputasi di kalangan suku Quraisy karena kecerdasan, kebangsawanan dan kekayaan mereka.[3] Kemasyhuran mereka merupakan berkat kepemimpinan kakeknya Khalid dari pihak ayahnya, yakni al-Mughirah bin Abdullah.[3] Paman Khalid dari pihak ayahnya, yaitu Hisyam, dikenal sebagai 'penguasa Makkah' dan tanggal kematiannya digunakan oleh kaum Quraisy sebagai awal dari kalender mereka.[4] Sejarawan Muhammad Abdulhayy Shaban mendeskripsikan Khalid sebagai "seorang pria yang memiliki kedudukan yang cukup tinggi" di dalam klannya dan Makkah secara umum.[5]
Ibu Khalid adalah al-Ashma' binti al-Harits bin Hazn, yang umumnya dikenal sebagai Lubabah as-Sughra ('Lubaba si kecil', untuk membedakannya dari kakak seayahnya, Lubabah al-Kubra) dari suku nomaden Bani Hilal.[6] Lubabah al-Sughra masuk Islam sekitar 622 M dan saudari tirinya dari pihak ayahnya, Maimunah binti al-Harits, menjadi istri dari Muhammad. Melalui hubungan dari pihak ibunya, Khalid menjadi sangat akrab dengan gaya hidup suku Badui (Arab nomaden).[7]
Awal karir militernya
Perlawanan terhadap Muhammad
Kaum Makhzum sangat menentang Muhammad, dan pemimpin utama klan ini, Amr bin Hisyam (Abu Jahl), yang merupakan sepupunya Khalid, mengorganisir aksi boikot terhadap klan Muhammad, Bani Hasyim dari suku Quraish, pada sekitar tahun 616-618.[1] Setelah Muhammad berhijrah dari Makkah ke Madinah di tahun 622, kaum Makhzum di bawah Abu Jahl memimpin perang melawannya sampai mereka dikalahkan di Pertempuran Badar di tahun 624.[1] Sekitar dua puluh lima sepupu ayah Khalid, termasuk Abu Jahl, dan banyak sanak saudara lainnya terbunuh dalam pertempuran itu.[1]
Tahun berikutnya Khalid memimpin sayap kanan kavaleri dari pasukan Makkah yang berhadapan dengan Muhammad pada Pertempuran Uhud di utara Madinah.[8] Menurut sejarawan Donald Routledge Hill, alih-alih melancarkan serangan frontal terhadap barisan Muslim di lereng Gunung Uhud, "Khalid mengadopsi taktik yang cerdas" dengan mengelilingi gunung dan melewati bagian samping pasukan Muslim.[9] Ia maju melalui lembah Wadi Qanat di sebelah barat Uhud sampai akhirnya dicegat oleh pemanah-pemanah Muslim di selatan lembah di Gunung Ruma.[9] Pasukan Muslim memperoleh keunggulan awal dalam pertarungan, tetapi setelah sebagian besar pemanah Muslim meninggalkan posisi mereka untuk bergabung dengan penyerbuan ke perkemahan Makkah, Khalid menyerbu ke dalam celah yang timbul di garis pertahanan belakang pasukan Muslim.[8][9] Dalam pertempuran berikutnya, beberapa lusin pasukan Muslim terbunuh.[8] Narasi-narasi dari pertempuran tersebut mendeskripsikan Khalid mengendarai kuda menembus medan pertempuran, menghabisi para pasukan Muslim dengan tombaknya.[10] Shaban memuji "kejeniusan militer" Khalid sebagai alasan kemenangan suku Quraisy di Uhud, satu-satunya pertempuran di mana suku tersebut mengalahkan Muhammad.[11]
Pada tahun 628 Muhammad dan para pengikutnya menuju Makkah untuk melakukan umrah (peziarahan kecil ke Makkah) dan suku Quraisy mengirimkan 200 kavaleri untuk mencegatnya setelah mendengar keberangkatannya.[12] Khalid adalah pimpinan kavaleri tersebut dan Muhammad menghindari menghadapinya dengan mengambil rute alternatif yang tidak konvensional dan sulit untuk dilalui, yang tertuju ke Hudaibiyah di tepi Makkah. Setelah menyadari perubahan arah Muhammad, Khalid mundur ke Makkah. Sebuah gencatan senjata antara Muslim dan suku Quraish dicapai dalam Perjanjian Hudaibiyah di bulan Maret.[12]
Mualaf dan pengabdian di bawah Muhammad
Pada tahun 6 H (sekitar tahun 627) atau 8 H (sekitar tahun 629) Khalid memeluk Islam di hadapan Muhammad bersama dengan Amr ibn al-As dari suku Quraisy;[13] sejarawan modern Michael Lecker berkomentar bahwa kisah-kisah yang menyatakan bahwa Khalid dan Amr masuk Islam pada tahun 8 H "mungkin lebih dapat dipercaya".[14] Sejarawan Akram Diya Umari menyatakan bahwa Khalid dan Amr memeluk Islam dan pindah ke Madinah setelah Perjanjian Hudaibiyyah, tampaknya setelah kaum Quraish membatalkan tuntutan ekstradisi orang-orang yang baru mualaf ke Makkah.[15] Setelah ia menjadi mualaf, Khalid "mulai mengabdikan semua kegiatan militernya yang cukup besar untuk menyokong negara Muslim yang baru", demikian menurut sejarawan Hugh N. Kennedy.[16]
Khalid berpartisipasi dalam ekspedisi ke Mu'ta di Yordania modern yang diperintahkan oleh Muhammad pada bulan September 629.[17][18] Tujuan dari penyerbuan itu kemungkinan untuk mendapat harta rampasan setelah mundurnya tentara Persia Sasaniyah dari Suriah setelah kekalahannya dari Kekaisaran Bizantium pada bulan Juli. Detasemen Muslim ini dipukul mundur oleh pasukan Bizantium yang sebagian besar terdiri dari suku-suku Arab yang dipimpin oleh komandan Bizantium, Theodore, dan beberapa komandan Muslim berpangkat tinggi terbunuh.[19][20] Khalid mengambil alih komando pasukan setelah kematian para komandan yang ditunjuk dan, dengan penuh kesulitan, mengawasi penarikan mundur kaum Muslim dengan aman.[18][21] Muhammad menghadiahi Khalid dengan menganugerahkan kepadanya gelar kehormatan Saifullah ('Pedang Allah').[21][a]
Pada bulan Desember 629 atau Januari 630, Khalid mengambil bagian dalam penaklukan Makkah oleh Muhammad, yang menyebabkan sebagian besar suku Quraish memeluk Islam.[1] Dalam pertempuran itu Khalid memimpin kontingen nomaden yang disebut muhajirat al-arab ('emigran Badui').[7] Dia memimpin salah satu dari dua serangan utama ke dalam kota tersebut dan pertempuran berikutnya dengan suku Quraish, tiga dari anak buahnya terbunuh sementara dua belas orang Quraish terbunuh, menurut Ibnu Ishaq, penulis biografi abad ke-8 dari Muhammad.[23] Khalid memerintahkan Badui Bani Sulaym berposisi di garda depan pada Pertempuran Hunain di akhir tahun itu. Dalam konfrontasi tersebut, kaum Muslimin, yang diperkuat oleh masuknya para mualaf suku Quraisy, mengalahkan suku Tsaqif - saingan lama suku Quraisy yang berbasis Ta'if - dan sekutu-sekutu nomaden mereka, suku Hawazin.[7] Khalid kemudian ditunjuk untuk menghancurkan berhala al-Uzza, salah satu dewi yang disembah dalam agama Arab pra-Islam, di daerah Nakhla antara Makkah dan Ta'if.[17]
Khalid kemudian dikirim untuk mengajak Bani Jadhima masuk Islam di Yalamlam, sekitar 80 kilometer di selatan Makkah, tapi sumber-sumber tradisional Islam menyatakan bahwa ia menyerang suku tersebut secara ilegal.[17] Dalam versi Ibnu Ishaq, Khalid membujuk para anggota suku Jadhima untuk melucuti senjata dan memeluk Islam, yang kemudian ditindaklanjuti dengan mengeksekusi sejumlah anggota suku sebagai pembalasan dendam atas pembunuhan pamannya, Fakih bin al-Mughira, yang dilakukan oleh suku Jadhima sebelum Khalid memeluk Islam. Dalam narasi Ibnu Hajar al-'Asqalani (w. 1449), Khalid secara keliru menganggap bahwa suku-suku tersebut menjadi mualaf sebagai penolakan atau penghinaan terhadap Islam karena ketidaktahuannya tentang aksen Jadhima sehingga ia menyerang mereka. Dalam kedua versi tersebut, Muhammad menyatakan dirinya tidak bertanggung jawab atas tindakan Khalid tetapi tidak memberhentikan atau menghukumnya.[24]
Kemudian pada tahun 630, ketika Muhammad berada di Tabuk, ia mengirim Khalid untuk merebut kota pasar oasis Dumat al-Jandal.[17] Khalid berhasil membuatnya menyerah dan menjatuhkan hukuman berat kepada penduduk kota, salah satu dari para petingginya, Ukaidir bin Abdul Malik as-Sakuni dari suku Kindah, diperintahkan oleh Khalid untuk menandatangani perjanjian kapitulasi dengan Muhammad di Madinah.[25] Pada bulan Juni 631, Khalid diutus oleh Muhammad sebagai kepala dari 480 orang untuk mengundang suku campuran Kristen dan politeis Balharits dari Najran untuk memeluk Islam.[26] Suku tersebut mualaf dan Khalid mengajarkan mereka tentang al-Qur'an dan hukum-hukum Islam sebelum kembali kepada Muhammad di Medinah dengan delegasi Balharith.[26]
Komandan dalam Perang Riddah
Setelah kematian Muhammad pada bulan Juni 632, salah satu sahabat awal dan dekatnya, Abu Bakar, menjadi khalifah. Masalah suksesi pasca Muhammad telah menyebabkan perselisihan di antara umat Islam.[27] Orang-orang Ansar, penduduk asli Madinah yang menyambut Muhammad setelah perpindahannya dari Makkah, berusaha untuk memilih pemimpin mereka sendiri.[28] Pendapat antara sahabat terpecah di antara Muhajirin, sebagian besar penduduk asli Quraisy di Makkah yang berhijrah bersama Muhammad ke Madinah. Ada satu kelompok yang mendukung Ali yang memiliki kekerabatan dengan Muhammad, sementara kelompok yang lain, yang didukung oleh mualaf baru di kalangan bangsawan Quraisy, berkumpul di belakang Abu Bakar. Karena intervensi dari tokoh Muhajirin terkemuka, Umar ibn al-Khattab dan Abu Ubaidah ibn al-Jarrah, orang-orang Ansar menyetujuinya.[27] Khalid adalah pendukung setia suksesi Abu Bakar.[29] Sebuah laporan yang disimpan dalam karya sarjana abad ke-13 Ibnu Abil Hadid mengklaim bahwa Khalid adalah pendukung Abu Bakar, menentang pengangkatan Ali sebagai khalifah, dan menyatakan bahwa Abu Bakar "bukan orang yang perlu [ditanyakan], dan karakternya sudah jelas terlihat".[29]
Sebagian besar suku di Arab, kecuali mereka yang mendiami sekitar Makkah, Madinah dan Ta'if berusaha untuk menghentikan kesetiaan mereka kepada negara Muslim yang baru lahir setelah kematian Muhammad atau memutuskan untuk tidak lagi menjalin hubungan formal dengan Madinah.[30] Sejarah awal Islam menggambarkan upaya Abu Bakar untuk mendirikan atau menegakkan kembali kekuasaan Islam atas suku-suku sebagai Perang Riddah yaitu peperangan yang ditujukan untuk melawan orang yang murtad. Pandangan tentang perang ini oleh sejarawan modern sangat bervariasi. Watt setuju dengan bahwa tindakan suku-suku di Arab yang memutuskan hubungan formal mereka dengan Madinah sebagai oposisi terhadap Islam, sementara Julius Wellhausen dan C. H. Becker berpendapat bahwa suku-suku itu hanya menentang kewajiban pajak (zakat) ke Madinah daripada menolak Islam sebagai agama. Dalam pandangan Leone Caetani dan Bernard Lewis, suku-suku lawan yang telah menjalin hubungan dengan Madinah menganggap kewajiban salat dan zakat mereka sebagai kontrak pribadi dengan Muhammad dan bahwa upaya mereka untuk menegosiasikan persyaratan yang berbeda setelah kematian Muhammad ditolak oleh Abu Bakar, yang kemudian memutuskan untuk menggerakkan kampanye dalam rangka melawan suku-suku tersebut.[31]
Dari enam zona konflik utama di Arab selama perang Riddah, dua diantaranya berpusat di Najd (dataran tengah Arab). Kedua pertempuran tersebut antara lain adalah pertempuran melawan pemberontak dari Asad, Tayy dan suku Ghatafan di bawah Thulaihah dan pemberontakan suku Tamim yang dipimpin oleh Sajah binti al-Harits. Kedua pemimpin pemberontakan itu mengaku sebagai nabi.[32][33] Setelah Abu Bakar menggagalkan ancaman ke Madinah oleh Ghatafan di Pertempuran Dzul Qassa,[34] dia mengirim Khalid melawan suku pemberontak di Najd.[35][b] Khalid adalah calon ketiga Abu Bakar untuk memimpin kampanye setelah dua pilihan pertamanya, Zaid bin Khattab dan Abu Hudzaifah bin Utbah, menolak penugasan tersebut.[37] Pasukannya berasal dari Muhajirin dan Ansar.[37] Sepanjang kampanye, Khalid menunjukkan kemandirian operasional yang cukup besar dan tidak secara ketat mematuhi arahan khalifah.[38] Dalam kata-kata Shaban, "dia hanya mengalahkan siapa pun yang ada di sana untuk dikalahkan".[38]
Pertempuran Buzakhah
Fokus awal Khalid adalah menekan pengikut Thulaihah.[33] Pada akhir 632, dia menghadapi pasukan Tulayha di Pertempuran Buzakhah, yang terjadi di sumur eponim di wilayah bani Asad, tempat suku-suku itu berkemah. Tayy membelot ke Muslim sebelum pasukan Khalid tiba di Buzakhah sebagai hasil mediasi antara kedua belah pihak oleh kepala suku Tayy Adi bin Hatim. Adi kemudian ditugaskan oleh Madinah sebagai pemungut zakat atas sukunya dan saingan leluhurnya yang tak lain adalah bani Asad.[39]
Khalid kemudian berhasil mengalahkan pasukan Asad–Ghatafan dalam pertempuran.[40] Ketika Thulaihah tampak hampir kalah, sebagian pasukan Ghatafan yang berasal dari suku Fazarah di bawah pimpinan mereka Uyainah bin Hishn meninggalkan lapangan sehingga memaksa Thulaihah untuk melarikan diri ke Suriah.[41] Suku Thulaihah, yaitu bani Asad, kemudian tunduk kepada Khalid dan diikuti oleh Bani Amir yang sampai sekarang netral. Bani Amir sejak awal telah menunggu hasil konflik sebelum memberikan kesetiaannya kepada kedua belah pihak.[41] Uyainah kemudian ditangkap dan dibawa ke Madinah.[40] Sebagai akibat dari kemenangan Muslim di Buzakhah, kaum Muslim akhirnya menguasai sebagian besar Najd.[42]
Eksekusi atas Malik bin Nuwairah
Setelah Buzakhah, Khalid melanjutkan melawan pemberontak kepala suku bani Tamim, yaitu Malik bin Nuwairah yang bermarkas di al-Butah, di Wilayah Qasim saat ini.[37] Malik telah ditunjuk oleh Muhammad sebagai pemungut zakat atas bani Tamim di Yarbu, tetapi berhenti meneruskan zakat ini ke Madinah setelah kematian Muhammad.[43] Akibatnya, Abu Bakar memutuskan untuk mengeksekusinya di tangan Khalid.[43] Khalid menghadapi perpecahan dalam pasukannya mengenai kampanye ini ketika orang-orang Ansar awalnya tinggal di belakang karena mengutip instruksi oleh Abu Bakar untuk tidak berkampanye lebih lanjut sampai mereka menerima perintah langsung oleh khalifah.[44] Khalid mengklaim bahwa perintah tersebut adalah hak prerogatifnya sebagai komandan yang ditunjuk oleh khalifah, tetapi dia tidak memaksa Ansar untuk berpartisipasi dan melanjutkan perjalanannya dengan pasukan dari Muhajirin dan Badui pembelot dari Buzakhah dan akibatnya, orang-orang Ansar akhirnya bergabung kembali dengan Khalid setelah mengalami pertimbangan di internal mereka sendiri.[44]
Menurut kisah yang paling umum dalam riwayat Muslim, tentara Khalid bertemu Malik dan sebelas anggota klannya dari Yarbu pada tahun 632. Orang-orang Yarbu tidak melawan dan menyatakan keislaman mereka sehingga mereka dikawal ke kamp Khalid. Khalid memerintahkan agar mereka semua dieksekusi karena keberatan seorang Anshar, yang pernah menculik seorang dari suku tersebut dan berpendapat bahwa tawanan tidak dapat diganggu gugat karena wasiat mereka sebagai Muslim. Setelah itu, Khalid menikah dengan janda Malik Laila binti al-Minhah. Ketika berita tentang tindakan Khalid sampai ke Madinah, Umar yang telah menjadi ajudan utama Abu Bakar, mendesak agar Khalid dihukum atau dibebas tugaskan, tetapi Abu Bakar memaafkannya.[43]
Menurut catatan sejarawan abad ke-8 Saif bin Umar, Malik juga telah bekerja sama dengan nabi palsu Sajah, kerabatnya dari Yarbu, tetapi setelah mereka dikalahkan oleh suku saingan dari Tamim sehingga meninggalkan mereka Malik dan membuatnya mundur ke perkemahannya di al-Butah. Di sana, dia bertemu dengan kelompok kecilnya oleh kaum Muslim.[45] Sejarawan modern Wilferd Madelung mengabaikan versi Saif, menyatakan bahwa Umar dan Muslim lainnya tidak akan memprotes eksekusi Khalid atas Malik jika Malik telah meninggalkan Islam,[46] sementara Watt menganggap cerita tentang Tamim selama perang Riddah secara umum "tidak jelas ... sebagian karena musuh Khalid bin Walid telah memutarbalikkan cerita untuk mengambinghitamkannya".[47] Dalam pandangan sejarawan modern Ella Landau-Tasseron, "kebenaran di balik karier dan kematian Malik akan tetap terkubur di bawah tumpukan tradisi yang saling bertentangan".[45]
Pemberontakan Musailamah dan penaklukan Yamamah
Setelah serangkaian kemunduran dalam konfliknya dengan faksi-faksi bani Tamim yang saling bersaing, Sajah bergabung dengan lawan terkuat Muslim, yaitu Musailamah al-Kazzab, pemimpin suku Bani Hanifah yang menetap di Yamamah,[33][35] perbatasan timur perkebunan di Najd.[48] Musailamah memiliki klaim kenabian sebelum Muhammad hijrah dari Makkah, dan membuat permohonan agar Muhammad mengakui wahyu ilahinya yang berakhir dengan penolakan oleh Muhammad.[49] Setelah Muhammad meninggal, dukungan karena Musailamah melonjak di Yamamah,[50] yang nilai strategisnya tidak hanya terletak pada kelimpahan ladang gandum dan pohon kurma, tetapi juga lokasinya yang menghubungkan Madinah dengan wilayah Bahrain dan Oman di Arab timur.[51] Abu Bakar telah mengirim Syurahbil bin Hasanah dan sepupu Khalid Ikrimah dengan pasukan untuk memperkuat garda gubernur Muslim di Yamamah, yaitu kerabat suku Musailamah Tsumamah bin Utsal.[52] Menurut sejarawan modern Meir Jacob Kister, kemungkinan besar pertempuran tersebut terjadi karena ancaman yang ditimbulkan oleh tentara Muslim yang memaksa Musailamah untuk membentuk aliansi dengan Sajah.[53] Ikrimah dipukul mundur oleh pasukan Musailamah dan setelah itu diperintahkan oleh Abu Bakar untuk memadamkan pemberontakan di Oman dan Mahrah (Arab selatan tengah) sementara Syurahbil tetap berada di Yamamah dengan harapan akan datang pasukan besar Khalid.[54]
Setelah kemenangannya melawan Badui di Najd, Khalid menuju ke Yamamah setelah diberitahu tentang kekuatan militer bani Hanifah dan instruksi oleh Abu Bakar untuk bertindak keras terhadap bani Hanifah jika dia menang.[55] Sejarawan abad ke-12 Ibn Hubaisy al-Asadi berpendapat bahwa pasukan Khalid dan Musailamah masing-masing berjumlah 4.500 dan 4.000. Kister menolak angka yang lebih besar yang dikutip oleh sebagian besar sumber Muslim awal dan menganggapnya sebagai berlebihan.[56] Tiga serangan pertama Khalid terhadap Musailamah di dataran Aqrabah dipukul mundur.[56] Kekuatan para pejuang Musailamah, keunggulan pedang mereka dan ketidakstabilan kontingen Badui dalam barisan Khalid adalah semua alasan yang disebutkan oleh kaum Muslim atas kegagalan awal mereka.[56] Khalid mengindahkan nasihat Tsabit bin Qais yang berasal dari Anshar untuk mengeluarkan orang Badui dari pertarungan berikutnya.[57]
Dalam serangan keempat terhadap bani Hanifah, Muhajirin di bawah Khalid dan Ansar di bawah Tsabit membunuh seorang letnan Musailamah, yang membuat Musailamah melarikan diri dengan sebagian pasukannya.[57] Kaum Muslim mengejar Musailamah ke sebuah kebun besar tertutup yang digunakan Musailamah untuk melakukan perlawanan terakhir melawan kaum Muslim.[57] Kandang itu diserbu oleh kaum Muslim, Musailamah dibunuh dan sebagian besar bani Hanifah terbunuh atau terluka.[57] Markas Musailamah tersebut kemudian dikenal sebagai "kebun kematian" karena banyaknya korban tewas yang dimiliki oleh kedua belah pihak.[33]
Khalid menugaskan seorang bani Hanifah yang ditawan di awal kampanye, Mujja'ah bin Murarah, untuk menilai kekuatan, moral, dan niat bani Hanifah di benteng Yamamah mereka setelah pembunuhan Musailamah.[35][58] Mujja'ah menyuruh wanita dan anak-anak bani Hanifah untuk berpakaian dan berlagak sebagai pria di gerbang benteng dengan tipu muslihat untuk meningkatkan pengaruh mereka dengan Khalid.[35] Ia menyampaikan kepada Khalid bahwa bani Hanifah masih memiliki banyak pejuang yang bertekad untuk melanjutkan peperangan melawan Muslim.[58] Karena pasukan Muslim mengalami kelelahan, Khalid terpaksa untuk menerima nasihat Mujja'ah untuk gencatan senjata dengan bani Hanifah, terlepas dari arahan Abu Bakar untuk mengejar bani Hanifah dan mengeksekusi tawanan perang dari bani Hanifah.[58]
Perjanjian Khalid dengan bani Hanifah mengharuskan suku tersebut masuk Islam dan menyerahkan senjata dan baju besi mereka serta persediaan emas dan perak.[58] Abu Bakar meratifikasi perjanjian tersebut, meskipun ia tetap menentang Konsesi Khalid dan memperingatkan bahwa Hanifah akan tetap setia selamanya kepada Musailamah.[58] Perjanjian itu selanjutnya disucikan oleh pernikahan Khalid dengan putri Mujja'ah. Menurut Lecker, tipu muslihat Mujja'ah mungkin diciptakan oleh tradisi Islam "untuk melindungi kebijakan Khalid karena perjanjian yang dinegosiasikan ... menyebabkan kerugian besar bagi Muslim".[35] Khalid diberikan sebuah kebun dan ladang di setiap desa yang termasuk dalam perjanjian dengan bani Hanifah, sedangkan desa-desa yang dikecualikan dari perjanjian itu dikenakan hukuman.[7] Di antara desa-desa ini adalah desa Musailamah, yaitu kampung al-Haddar dan Mar'at, yang penduduknya diusir atau diperbudak dan desa-desa tersebut dimukimkan kembali dengan suku-suku dari klan Tamim.[7][59]
Akhir dari perang Riddah
Sumber-sumber tradisional menyebutkan bahwa perlawanan suku-suku Arab dalam perang Riddah berakhir sebelum Maret 633, meskipun beberapa sejarawan seperti Caetani bersikeras bahwa perang Riddah sebenarnya masih berlanjut hingga 634.[33] Suku-suku di Bahrain kemungkinan masih melawan Muslim sampai pertengahan 634. Sejumlah sumber Islam awal menganggap peran Khalid di front Bahrain setelah kemenangannya atas bani Hanifah. Shoufani menganggap ini tidak mungkin, meski ia mengabaikan kemungkinan bahwa Khalid sebelumnya telah menarik pasukannya untuk memperkuat komandan utama Muslim di Bahrain, yaitu Al-Ala' bin al-Hadhrami.[60]
Upaya perang Muslim, di mana Khalid memainkan peran penting dalam mengamankan dominasi Madinah atas suku-suku kuat di Arab, yang berusaha untuk merongrong otoritas Islam di semenanjung Arab, dan memulihkan prestise negara Muslim yang baru lahir.[7] Menurut Lecker, Khalid dan jenderal Quraisy lainnya "mendapatkan pengalaman berharga (selama perang Riddah) dalam memobilisasi pasukan multi-suku besar jarak jauh" dan "diuntungkan dari kenalan dekat Quraisy [sic] dengan politik suku di seluruh Arab".[7]
Kampanye di Irak
Ketika pemberontakan di Yamamah berhasil dipadamkan, Khalid bergerak ke utara menuju wilayah Sasaniyah di Irak.[61][62] Dia mengatur kembali pasukannya yang disebabkan karena sebagian besar sahabat Muhajirin mungkin telah ditarik ke Madinah.[63] Menurut sejarawan Khalil Athamina, sisa-sisa pasukan Khalid terdiri dari orang Arab nomaden dari lingkungan Madinah yang pemimpinnya ditunjuk untuk menggantikan pos komando kosong yang ditinggalkan oleh para sahabat.[63] Sejarawan Fred Donner berpendapat bahwa Muhajirin dan Ansar masih membentuk inti pasukannya, bersama dengan sebagian besar orang Arab nomaden yang kemungkinan berasal dari bani Muzainah, Tayy, Tamim, Bani Asad dan Ghatafan.[64] Komandan kontingen suku yang ditunjuk oleh Khalid adalah Adi bin Hatim dari Tayy dan Ashim bin Amr dari Tamim.[65] Khalid kemudian tiba di perbatasan Irak selatan dengan sekitar 1.000 prajurit pada akhir musim semi atau awal musim panas tahun 633.[66]
Fokus serangan Khalid adalah tepi barat sungai Efrat dan orang-orang Arab nomaden yang tinggal di sana.[67] Rincian rencana perjalanan kampanye tidak konsisten dalam sumber Muslim awal, meskipun Donner menegaskan bahwa "jalan umum kemajuan Khalid di bagian pertama kampanyenya di Irak dapat dilacak dengan cukup jelas".[68] Sejarawan abad ke-9 Ahmad al-Baladzuri dan Khalifah bin Khayyath berpendapat bahwa pertempuran besar pertama Khalid di Irak mengakibatkan kemenangannya atas garnisun Sasaniyah di Ubullah (Apologos kuno, dekat Basra modern) dan desa terdekatnya di Khuraibah, meskipun Ath-Thabari (w. 923) menganggap bahwa bukan Khalid yang memenangkan daerah tersebut karena Ubullah sebenarnya kemudian ditaklukkan oleh Utbah bin Ghazwan al-Mazini.[68] Donner setuju dengan laporan bahwa penaklukan Ubullah oleh Utbah dan itu "lebih lambat dari tahun 634" dan menganggapnya sebagai skenario yang lebih mungkin, meskipun sejarawan Khalid Yahya Blankinship berpendapat "Khālid setidaknya mungkin memimpin penyerangan di sana meskipun (Utbah-lah) yang kemudian menaklukkannya".[69]
Dari sekitar Ubullah, Khalid berbaris ke tepi barat sungai Efrat di mana ia bentrok dengan garnisun Sasania kecil yang menjaga perbatasan Irak dari serangan nomaden.[68] Bentrokan terjadi di beberapa daerah seperti Dzat As-Salasil, Nahr al-Mar'ah (sebuah saluran yang menghubungkan Efrat dengan Tigris tepat di utara Ubullah), Al-Madzar (sebuah kota yang dapat dijangkau hanya beberapa hari di utara dari Ubullah), Ullais (kemungkinan pusat perdagangan kuno Vologesias) dan di Walajah.[68] Dua tempat terakhir berada di sekitar Al-Hirah, kota pasar yang didominasi oleh orang Arab dan pusat administrasi Sasaniyah untuk lembah Efrat tengah.[68]
Pengepungan Al-Hirah adalah pertempuran yang paling signifikan dari kampanye Khalid.[68] Setelah mengalahkan kavaleri Persia kota di bawah komandan Azadhbeh ketika terjadi bentrokan kecil, Khalid dan sebagian pasukannya memasuki kota tak bertembok.[70][71] Sebagian bangsawan dari Al-Hirah adalah orang Kristen Nestorian yang memiliki ikatan darah dengan suku nomaden di pinggiran gurun barat kota, yang mana tempat tinggal mereka dibarikade di istana berbenteng mereka yang tersebar secara merata.[72] Sementara itu, bagian lain dari tentara Khalid menyerbu desa-desa di sekitar Al-Hirah sehingga banyak di antaranya ditangkap atau menyerah untuk dijadikan wilayah pembayar upeti kepada Muslim.[70] Bangsawan Arab Al-Hirah menyerah dalam perjanjian dengan Khalid di mana kota yang dikuasainya harus membayar upeti sebagai imbalan atas jaminan bahwa gereja dan istana Al-Hirah tidak akan diganggu.[70][71] Jumlah tahunan yang harus dibayar Al-Hirah adalah 60.000 atau 90.000 dirham,[73][74] yang akan diteruskan Khalid ke Madinah, menandai upeti pertama yang diterima Khilafah dari Irak.[71]
Selama pertempuran di dalam dan sekitar Al-Hirah, Khalid menerima bantuan penting dari Al-Mutsanna bin Haritsah dan dari sukunya Syaiban, yang telah menyerbu perbatasan ini untuk waktu yang cukup lama sebelum kedatangan Khalid, meskipun tidak jelas apakah kegiatan Al-Mutsannah sebelumnya terkait dengan negara Muslim yang baru lahir.[75] Setelah Khalid pergi, dia meninggalkan Al-Mutsannah yang secara praktis telah menguasai Al-Hirah dan sekitarnya.[76] Dia menerima bantuan serupa dari klan Sadus dari suku Dzuhl di bawah Qutbah bin Qatadah dan Ijl suku di bawah Al-Madz'ur bin Adi selama pertempuran di Ubullah dan Walajah.[77] Tak satu pun dari suku-suku ini, yang semuanya merupakan cabang dari konfederasi Bani Bakar, bergabung dengan Khalid ketika dia beroperasi di luar wilayah suku mereka.[78]
Khalid melanjutkan ke utara di sepanjang lembah Efrat, menyerang kota Anbar di tepi timur sungai, di mana ia mendapatkan persyaratan penyerahan dari komandan Sasaniyah.[70] Setelah itu, dia menjarah desa-desa pasar di sekitarnya yang sering dikunjungi oleh suku-suku dari konfederasi Bakar dan Qudha'ah, sebelum bergerak melawan Ain Al-Tamr, sebuah kota oasis di sebelah barat Efrat yang berada di sekitar 90 kilometer (56 mi) dari selatan Anbar.[70] Khalid menghadapi perlawanan keras di sana oleh suku Namir, memaksanya untuk mengepung benteng kota.[70] Namir dipimpin oleh Hilal bin Aqqah, seorang kepala suku Kristen yang bersekutu dengan Sasaniyah, yang kemudian disalib oleh Khalid setelah mengalahkannya.[79] Ain Al-Tamr menyerah dan Khalid merebut kota Sandaudah di utara.[70] Pada tahap ini, Khalid telah menaklukkan wilayah barat lebih rendah Efrat dan di wiliayah suku nomaden, termasuk Namir, Taghlib, Iyad, Taimullah dan sebagian besar Ijl, serta suku Arab menetap, yang tinggal di sana.[80]
Penilaian modern
Atsaminah meragukan narasi tradisional Islam bahwa Abu Bakar mengarahkan Khalid untuk meluncurkan kampanye di Irak dengan mengutip bahwa Abu Bakar tidak begitu tertarik pada Irak pada saat energi pasukan Muslim lebih difokuskan untuk penaklukan ke Suriah.[81] Tidak seperti Suriah, Irak tidak menjadi fokus ambisi Muhammad atau Muslim awal, dan Quraisy juga tidak begitu menginginkan Irak dibandingkan Suriah yang disebabkan karena pada masa pra-Islam, Suriah adalah jalur perdagangan orang-orang Quraisy.[82] Menurut Shaban, tidak jelas apakah Khalid meminta atau menerima perintah dari Abu Bakar untuk menyerang Irak atau malah Khalid sendiri yang mengabaikan perintah Khalifah untuk pergi ke Suriah.[38] Atsaminah mencatat petunjuk dalam sumber tradisional bahwa Khalid memprakarsai kampanye ke Irak secara sepihak yang tersirat dengan kembalinya Muhajirin yang ada pada jajaran Khalid ke Madinah setelah kekalahan Musailamah kemungkinan mewakili protes mereka terhadap ambisi Khalid di Irak.[83] Shaban berpendapat bahwa anggota suku yang tinggal di Khalid dimotivasi oleh prospek rampasan perang, khususnya di tengah krisis ekonomi di Arab yang muncul setelah perang Riddah.[38]
Menurut Fred Donner, penaklukan suku-suku Arab mungkin merupakan tujuan utama Khalid di Irak dan bentrokan dengan pasukan Persia adalah sebuah konsekuensi akibat keselarasan suku-suku Arab tersebut dengan Kekaisaran Sasaniyah.[80] Dalam pandangan Kennedy, dorongan Khalid menuju perbatasan gurun Irak adalah "kelanjutan alami dari pekerjaannya" menundukkan suku-suku Arab timur laut dan sejalan dengan kebijakan Madinah untuk membawa semua suku Arab nomaden di bawah otoritasnya.[66] Madelung menegaskan Abu Bakar mengandalkan aristokrasi Quraisy selama perang Riddah dan penaklukan Muslim awal dan berspekulasi bahwa khalifah mengirim Khalid ke Irak untuk memberikan keuntungan kepada bani Makhzum di wilayah itu.[84]
Luasnya peran Khalid dalam penaklukan Irak telah diperdebatkan oleh sejarawan modern.[85] Patricia Crone berpendapat bahwa Khalid tidak mungkin memainkan peran apa pun di front Irak. Ia mengutip sebuah kontradiksi dari sumber kontemporer non-Arab,[86] yaitu kronik Armenia dari Sebeos (ca 661) dan Kronik Khuzistan (ca 680).[17] Kronik Sebeos hanya mencatat tentara Arab yang dikirim untuk menaklukkan Irak sebagai Penaklukan Muslim atas Suriah yang masih berlangsung, yang mana ini berlawanan dengan sumber-sumber Islam tradisional, sementara Kronik Khuzistan menyebutkan Khalid sebagai penakluk Suriah saja.[86] Crone memandang laporan-laporan tradisional sebagai bagian dari tema umum dalam sumber-sumber era Abbasiyah yang sebagian besar berbasis di Irak (pasca-750) untuk mengurangi fokus Muslim awal di Suriah demi Irak.[17] Penilaian Crone dianggap sebagai "kritik radikal terhadap sumber (tradisional)" oleh R. Stephen Humphreys,[87] sementara Khalid Yahya Blankinship menyebutnya "terlalu sepihak ... Fakta bahwa Khalid adalah pahlawan utama dalam sejarah tradisi Irak tentu saja menunjukkan ikatan di sana yang bisa datang hanya dari partisipasi awal dalam penaklukannya".[85]
Pawai menuju Syam
Semua laporan Islam awal setuju bahwa Khalid diperintahkan oleh Abu Bakar untuk meninggalkan Irak ke Syam untuk mendukung pasukan Muslim yang sudah ada di sana. Sebagian besar dari laporan tersebut menunjukkan bahwa perintah khalifah didorong oleh permintaan bala bantuan oleh komandan Muslim di Suriah.[88] Khalid kemungkinan memulai perjalanannya ke Suriah pada awal April 634.[89] Dia meninggalkan garnisun Muslim kecil di kota-kota Irak yang ditaklukkan di bawah komando militer keseluruhan Al-Mutsannah bin Haritsah.[90]
Urutan kronologis peristiwa setelah operasi Khalid di Ain al-Tamr tidak konsisten dan membingungkan.[91] Menurut Donner, Khalid melakukan dua operasi utama lebih lanjut sebelum memulai perjalanannya ke Syam, yang sering digabungkan oleh sumber dengan peristiwa yang terjadi selama pawai. Salah satu operasinya adalah melawan Dumat al-Jandal dan yang lainnya melawan suku Namir dan Taghlib yang ada di sepanjang tepi barat lembah Efrat hulu sampai ke anak sungai Balikh dan Jabal al-Bisyri pegunungan timur laut Palmyra.[91] Tidak jelas keterlibatan mana yang terjadi lebih dulu, meskipun keduanya merupakan upaya Muslim untuk membawa sebagian besar suku Arab nomaden ke Arab utara dan stepa Suriah di bawah kendali Madinah.[91]
Dalam kampanye Dumat al-Jandal, Khalid diinstruksikan oleh Abu Bakar atau diminta oleh salah satu komandan kampanye, Al-Walid bin Uqbah, untuk memperkuat barisan komandan utama Iyad bin Ghanm dalam pengepungan kota oasis. Kota itu dilindungi oleh persekutuan nomaden dari suku-suku yang berafiliasi dengan konfederasi Bizantium, Ghassan, Tanukh, Salihiyah, Bahra dan Banu Kalb.[92] Khalid meninggalkan Ain al-Tamr menuju Dumat al-Jandal di mana pasukan Muslim gabungan mengalahkan lawan dalam pertempuran sengit.[92] Setelah itu, Khalid mengeksekusi pemimpin kota dari suku Kindah yaitu Ukaidir, yang telah membelot dari Madinah setelah kematian Muhammad, sementara kepala bani Kalb Wadi'a selamat setelah mendapatkan permohonan ampun dari sekutu Tamimnya di kamp Muslim .[93]
Para sejarawan seperti Michael Jan de Goeje dan Caetani menolak sama sekali bahwa Khalid memimpin ekspedisi ke Dumat al-Jandal setelah kampanye Iraknya dan bahwa kota yang disebutkan dalam sumber-sumber tradisional kemungkinan adalah kota dengan nama yang sama di dekat al-Hira. [25] Sejarawan Laura Veccia Vaglieri menyebut penilaian mereka "logis" dan menulis bahwa "tampaknya tidak mungkin Khalid bisa mengambil jalan memutar seperti itu yang akan membawanya sejauh ini keluar dari jalannya sambil menunda pencapaian misinya (untuk bergabung dengan tentara Muslim di Suriah)".[25] Vaglieri menduga bahwa oasis itu ditaklukkan oleh Iyad bin Ghanm atau mungkin Amru bin al-Ash yang mana Amru sebelumnya telah ditugaskan selama perang Riddah dengan menekan Wadi'ah, yang telah membarikade pasukan Amru di Dumat al-Jandal.[25] Crone, menolak peran Khalid di Irak seluruhnya, menegaskan bahwa Khalid telah secara pasti menangkap Dumat al-Jandal dalam kampanye 631 dan dari sana ia meninggalkan gurun tersebut untuk terlibat dalam penaklukan Suriah.[17]
Jadwal perjalanan dan perjalanan melintasi gurun
Titik awal pawai Khalid ke Suriah adalah dari Al-Hirah menurut sebagian besar catatan tradisional, kecuali catatan dari al-Baladhuri, yang menempatkannya di Ain al-Tamr.[94] Pawai umum ini kemudian banyak disebut sebagai "pawai gurun" oleh beberapa sumber setelah terjadinya suatu tahap yang tidak jelas selepas keberangkatan dari Al-Hirah.[95] Saat perjalanan menuju Syam, Khalid dan anak buahnya yang berjumlah antara 500 hingga 800 orang[96] berbaris dari sebuah sumur yang disebut Quraqir dan melintasi hamparan luas gurun tanpa air selama enam hari lima malam sampai mereka mencapai sumber air di tempat bernama Suwa.[97] Karena anak buahnya tidak membawa wadah air yang cukup untuk melintasi jarak ini dengan kuda dan unta mereka, Khalid mengambil sekitar dua puluh ekor unta sebagai asupan air dengan menutup mulut unta-unta tersebut untuk mencegah hewan itu makan sehingga membuat perut mereka hanya dipenuhi air. Setiap hari saat dalam perjalanan, Khalid menyembelih sejumlah unta agar anak buahnya bisa minum air yang tersimpan di perut unta.[96][98] Pemanfaatan unta sebagai penyimpan air dan penempatan sumber air di Suwa merupakan hasil nasehat yang diberikan kepada Khalid oleh pemandunya, Rafi bin Amr dari Tayy.[96][99]
Tidak termasuk operasi yang disebutkan di Dumat al-Jandal dan lembah Efrat bagian atas, catatan tradisional hanya memasukkan dua peristiwa yang menunjukkan rute Khalid ke Suriah setelah keberangkatan dari Al-Hira, yaitu perjalanan gurun antara Quraqir dan Suwa, dan serangan berikutnya melawan suku Bahra di dekat Suwa dan operasi yang mengakibatkan penyerahan Palmyra. Jika kedua perjalanan tersebut tidak dicantumkan, maka besar kemungkinan catatan-catatan tradisional tersebut memiliki perbedaan dalam menelusuri rencana perjalanan Khalid.[100] Berdasarkan catatan ini, Donner merangkum tiga kemungkinan rute yang diambil oleh Khalid ke sekitar Damaskus: dua melalui Palmyra dari utara dan yang melalui Dumat al-Jandal dari selatan.[95] Kennedy mencatat bahwa sumbernya "sama pasti" secara validitasnya tentang rencana perjalanan masing-masing dan "tidak ada yang tahu versi mana yang benar".[96]
Dalam rencana perjalanan Palmyra–Damaskus yang pertama, Khalid berbaris ke atas di sepanjang Efrat dan melewati tempat-tempat yang sebelumnya telah dia potong menuju Jabal al-Bishri dan dari sana berturut-turut bergerak ke barat daya melalui Palmyra, Al-Qaryatain dan Huwwarin sebelum mencapai daerah Damaskus.[99] Dalam rute ini satu-satunya rentang di mana pawai gurun bisa terjadi adalah antara Jabal al-Bishri dan Palmyra, meskipun daerah antara kedua tempat itu memiliki jarak yang kurang dari enam hari perjalanan dan memiliki sejumlah sumber air.[99] Rencana perjalanan Palmyra-Damaskus kedua adalah rute yang relatif cepat antara al-Hira ke Palmyra melalui Ain al-Tamr .[99] Hamparan gurun antara Ain al-Tamr dan Palmyra cukup panjang untuk mendukung pawai enam hari dan memiliki sumber-sumber air yang langka sehingga memungkinan Khalid melalui daerah ini yang cocok dalam catatan tradisional dan tidak ada lagi tempat yang dapat ditafsirkan sebagai Quraqir atau Suwa.[101] Di rute Dumat al-Jandal–Damaskus, terdapat tempat yang ditafsirkan sesuai dengan catatan sejarah tradisional, yaitu situs Qulban Qurajir, terkait dengan "Quraqir" yang terletak di sepanjang tepi timur Wadi Sirhan, dan Sab Biyar yang diidentifikasi dengan Suwa dengan lokasi sekitar 150 kilometer (93 mi) dari timur Damaskus.[101] Rentang antara kedua situs gersang dan sesuai dengan narasi pawai enam hari.[101]
Pawai gurun adalah bagian paling terkenal dari ekspedisi Khalid dan literatur abad pertengahan mengenai penaklukkan Islam secara umum.[97] Kennedy menulis bahwa pawai gurun "telah diabadikan dalam sejarah dan legenda. Sumber-sumber Arab mengagumi daya tahan (Khalid) dan para sarjana modern telah melihatnya sebagai ahli strategi."[96] Dia menegaskan bahwa Khalid "pasti" yang memulai pawai di mana itu adalah "suatu prestasi ketahanan militer yang tak terlupakan", dan "kedatangannya di Suriah merupakan unsur penting dari keberhasilan senjata Muslim di sana".[96] Sejarawan Moshe Gil menyebut pawai itu "suatu prestasi yang tidak ada bandingannya" dan bukti "kualitas Khalid sebagai komandan yang luar biasa".[102]
Sejarawan Ryan J. Lynch menganggap pawai gurun Khalid sebagai konstruksi sastra oleh para penulis tradisi Islam untuk membentuk narasi yang menghubungkan penaklukan Muslim di Irak dan Suriah dan menyajikan peristiwa tersebut sebagai "kejadian tunggal yang diperhitungkan dengan baik" sejalan dengan dugaan motif polemik penulis.[103] Lynch berpendapat bahwa kisah pawai, yang "akan menggairahkan dan menghibur" pembaca Muslim, dibuat dari "fragmen memori sosial " oleh penduduk yang menghubungkan penaklukan kota atau daerah mereka dengan Khalid sebagai sarana "untuk mendapatkan tingkat prestise tertentu melalui asosiasi" dengan "jenderal terkenal".[103]
Penaklukkan Syam
Sebagian besar catatan tradisional mencatat bahwa tentara Muslim pertama kali dikerahkan ke Suriah dari Madinah sekitar awal 13 H (awal musim semi tahun 634 M).[104] Para komandan tentara Muslim di Syam yang terkenal antara lain adalah Amru bin Al-Ash, Yazid bin Abi Sufyan, Syurahbil bin Hasanah dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah,[105] meskipun Abu Ubaidah mungkin belum pernah diperintahkan ke Syam sampai setelah suksesi kekhalifahan kepada Umar pada musim panas tahun 634 M, setelah kematian Abu Bakar.[106] Menurut Donner, sumber-sumber tradisional "cukup awal dalam menanggalkan penempatan tentara Muslim pertama ke Suriah. Kemungkinan besar terjadi pada musim gugur tahun 633 M yang mana ini lebih sesuai dengan anonim Bahasa Suryani Kronik 724, yang menandai bentrokan pertama antara tentara Muslim dan Bizantium hingga Februari. 634".[107] Pada saat Khalid meninggalkan Irak, tentara Muslim di Suriah telah melakukan sejumlah pertempuran kecil dengan garnisun Bizantium lokal dan mendominasi pedesaan Suriah selatan, tetapi tidak tidak mengontrol pusat kota mana pun.[108]
Khalid diangkat menjadi panglima tertinggi tentara Muslim di Suriah.[63] Catatan yang dikutip oleh al-Baladzuri, Ath-Thabari, Ibnu A'tsam al-Kufi, al-Fasawi (w. 987) dan Ibnu Hubaisy al-Asadi berpendapat bahwa Abu Bakar menunjuk panglima tertinggi Khalid sebagai bagian dari penugasannya kembali dari Irak ke Suriah berdasarkan bakat dan catatan militer sang jenderal.[109] Sebuah catatan di al-Baladzuri malah mengaitkan penunjukan Khalid dengan konsensus di antara para komandan yang sudah ada di Suriah, meskipun Atsaminah menegaskan "tidak dapat dibayangkan bahwa orang seperti Amru bin Al-Ash akan setuju untuk keputusan seperti itu secara sukarela".[110] Setelah memangku jabatan kekhalifahan, Umar mungkin telah mengukuhkan Khalid sebagai panglima tertinggi.[111]
Khalid mencapai padang rumput Marj Rahit, sekitar utara Damaskus setelah pasukannya melakukan perjalanan melintasi padang pasir.[112] Dia tiba pada hari Paskah tepat pada tanggal 24 April 634 M,[104][113] yang mana sebagian besar sumber tradisional tersebut benar-benar mengutip tanggal tersebut secara presisi dan kemudian dianggap Donner sebagai kebenaran.[89] Di sana, Khalid menyerang sekelompok Ghassan yang merayakan Paskah sebelum dia atau komandan bawahannya menyerbu Ghouta, sebuah daerah yang menjadi sabuk pertanian di sekitar Damaskus.[114] Setelah itu, Khalid dan para komandan pasukan Muslim sebelumnya, kecuali Amru, berkumpul di Bosra tenggara Damaskus.[114] Pusat perdagangan Bosra, bersama dengan wilayah Hauran di mana Khalid tiba bersama pasukannya, secara historis sering memasok gandum, minyak, dan anggur kepada suku-suku nomaden Arab dan daerah tersebut juga pernah dikunjungi Muhammad selama masa mudanya.[113] Bizantium mungkin tidak telah membangun kembali sebuah garnisun kekaisaran di kota tersebut setelah penarikan pasukan Sasaniyah pada tahun 628 dan tentara Muslim menghadapi perlawanan kecil selama pengepungan tempat tersebut.[113] Bosra menyerah pada akhir Mei 634, membuatnya kota besar pertama di Suriah yang jatuh ke tangan Muslim.[115][116]
Khalid dan para komandan Muslim menuju ke barat menuju Palestina untuk bergabung dengan Amru sebagai bawahannya dalam Pertempuran Ajnadain yang tak lain adalah konfrontasi besar pertama Muslim dengan Bizantium, pada bulan Juli.[117][118] Pertempuran berakhir dengan kemenangan bagi kaum Muslim dan Bizantium mundur menuju Pella ("Fahl" dalam bahasa Arab), sebuah kota besar timur Sungai Yordania.[117][118] Kaum Muslim mengejar mereka dan membuat kemenangan besar lainnya di Pertempuran Fahl, meskipun tidak jelas apakah Amru atau Khalid yang memegang komando keseluruhan dalam pertempuran tersebut.[119]
Pengepungan Damaskus
Sisa-sisa pasukan Bizantium dari Ajnadain dan Fahl mundur ke utara ke Damaskus, di mana para komandan Bizantium meminta bala bantuan kepada kekaisaran.[120] Khalid kemudian maju[120] dan mungkin mengalahkan unit Bizantium di dataran Marj as-Saffar sebelum mengepung kota Damaskus.[121] Masing-masing dari lima komandan Muslim bersiap untuk memblokir salah satu dari gerbang kota. Khalid lalu ditempatkan di Bab Syarqi (Gerbang Timur).[120][122] Kontingen keenam ditempatkan di Barzeh tepat di utara Damaskus yang kemudian memukul mundur pasukan bantuan yang dikirim oleh kaisar Bizantium Heraclius (m. 575–641).[120][122]
Beberapa tradisi berhubungan dengan perebutan Damaskus oleh Muslim.[121] Narasi yang paling populer dilestarikan oleh Ibnu Asakir yang berbasis di Damaskus (w. 1175). Entah menurut siapa Khalid dan anak buahnya dapat menerobos gerbang timur.[121] Khalid dan anak buahnya memanjat tembok timur kota dan membunuh para penjaga dan pasukan lainnya di Gerbang Timur.[123] Saat pasukannya masuk dari timur, pasukan Muslim yang dipimpin oleh Abu Ubaidah telah masuk dengan damai dari gerbang barat Bab al-Jabiyah setelah negosiasi dengan tokoh-tokoh Damaskus yang dipimpin oleh Manshur bin Sarjun, seorang pejabat tinggi kota.[121][124] Tentara Muslim bertemu di pusat kota di mana persyaratan penyerahan telah disepakati.[124] Di sisi lain, al-Baladzuri justru berpendapat bahwa Khalid masuk dengan damai dari gerbang timur sementara Abu Ubaidahlah yang masuk dari gerbang barat dengan paksa.[121] Penelitian modern umumnya mempertanyakan kedatangan Abu Ubaidah tiba di Suriah pada saat pengepungan. Caetani meragukan beberapa narasi tradisional mengenai pengepungan Abu Ubaidah di gerbang barat, sedangkan orientalis Henri Lammens berpendapat bahwa tokoh yang berada di gerbang barat itu bukanlah Abu Ubaidah melainkan Yazid bin Abu Sufyan.[125]
Dalam versi penulis Suriah yaitu Dionisius dari Tel Mahre (w. 845) dan dari Gereja Ortodoks Yunani Alexandria yaitu patriark Eutikius dari Alexandria (w. 940), Damaskus dipimpin oleh Mansur yang lelah dengan pengepungan dan yakin dengan tekad para pengepung, mendekati Khalid di gerbang timur dengan tawaran untuk membuka gerbang sebagai imbalan atas jaminan keamanan. Khalid menerima dan memerintahkan penyusunan perjanjian kapitulasi.[126] Meskipun beberapa versi, perjanjian Khalid dicatat dalam sumber-sumber Muslim dan Kristen awal,[c] Mereka umumnya setuju bahwa kehidupan penduduk, properti dan gereja harus dijaga, sebagai imbalan atas pembayaran jizyah.[128] Properti kekaisaran disita oleh kaum Muslim.[124][129] Perjanjian itu mungkin berfungsi sebagai model untuk perjanjian kapitulasi yang dibuat di seluruh Suriah, serta Irak dan Mesir, selama penaklukan Muslim awal.[130][d]
Meskipun kisah-kisah yang dikutip oleh Al-Waqidi (wafat 823) dan Ibnu Ishaq setuju bahwa Damaskus menyerah pada Agustus/September 635, mereka memberikan rentang waktu pengepungan yang bervariasi mulai dari empat hingga empat belas bulan.[132][120]
Pertempuran Yarmuk
Pada musim semi tahun 636, Khalid menarik pasukannya dari Damaskus ke ibu kota lama bani Ghassan di Jabiyah di Golan.[121] Dia diminta melakukan pendekatan kepada pasukan Bizantium yang dikirim oleh Heraclius,[121] yang mana pasukan tersebut terdiri dari pasukan kekaisaran yang dipimpin oleh Vahan dan Theodore Trithyrius dan pasukan perbatasan, termasuk kavaleri ringan Arab Kristen yang dipimpin oleh seorang jenderal bani Ghassan Jabalah bin Al-Ayham dan pasukan pembantu Armenia yang dipimpin oleh seorang Georgius (disebut Jaraja oleh orang Arab).[133][134] Ukuran kekuatan masih menjadi diperdebatkan oleh sejarawan modern. Donner berpendapat Bizantium kalah jumlah dengan Muslim dengan perbandingan empat banding satu,[135] Walter E. Kaegi menulis Bizantium "mungkin menikmati keunggulan jumlah pasukan" dengan sekitar 15.000–20.000 atau lebih,[133] dan John Walter Jandora berpendapat bahwa kemungkinan "mendekati keseimbangan dalam jumlah" antara kedua belah pihak dengan Muslim di 36.000 orang (termasuk 10.000 dari tentara Khalid) dan Bizantium sekitar 40.000. [136]
Tentara Bizantium mendirikan kamp di anak sungai Ruqqad di sebelah barat posisi Muslim di Jabiyah.[135] Akibatnya, Khalid memutuskan untuk mundur dan mengambil posisi di utara Sungai Yarmuk,[137] dekat dengan tempat pertemuan antara sungai Ruqqad dengan sungai Yarmuk.[138] Area ini membentang di puncak bukit tinggi, sumber air, rute penting yang menghubungkan Damaskus ke Galilea dan padang rumput bersejarah bani Ghassan.[138] Selama lebih dari sebulan, kaum Muslim menduduki dataran tinggi strategis antara Adzri'at (Dara'ah di masa kini) dan kamp mereka terletak di dekat Dair Ayyub dan mengalahkan Bizantium dalam pertempuran di luar Jabiyah pada 23 Juli 636.[133] Jandora menegaskan bahwa pasukan pendukung Bizantium Kristen Arab dan Armenia telah membelot, tetapi pasukan inti Bizantium tetap "tangguh" yang mana itu terdiri dari barisan depan kavaleri berat dan barisan belakang prajurit infanteri ketika mereka mendekati garis pertahanan Muslim.[139]
Khalid membagi kavalerinya menjadi dua kelompok utama, masing-masing ditempatkan di belakang sayap kanan dan kiri infanteri Muslim untuk melindungi pasukannya dari kemungkinan pengepungan oleh kavaleri berat Bizantium.[139] Dia menempatkan sebuah skuadron elit 200–300 penunggang kuda untuk mendukung pusat garis pertahanannya dan pemanah kiri ditempatkan di kamp Muslim dekat Dayr Ayyub, di mana mereka bisa menjadi yang paling efektif melawan pasukan Bizantium yang masuk.[139] Serangan awal Bizantium terhadap sayap kanan dan kiri umat Islam berturut-turut gagal, tetapi mereka mempertahankan momentum sampai seluruh barisan Muslim mundur atau, seperti yang dikatakan sumber-sumber Kristen kontemporer, pura-pura mundur.[139]
Bizantium mengejar kaum Muslim ke dalam kamp mereka, di mana kaum Muslim membuat kawanan unta mereka tertatih-tatih untuk membentuk serangkaian garis pertahanan yang darinya infanteri bisa bertarung dan kavaleri Bizantium tidak dapat dengan mudah menembusnya.[140] Akibatnya, Bizantium menjadi rentan diserang oleh pemanah Muslim, momentum mereka terhenti dan sayap kiri mereka terbuka.[139] Khalid dan pasukannya menggunakan kesempatan untuk menembus sayap kiri Bizantium, memanfaatkan celah antara infanteri dan kavaleri Bizantium.[133][141][142] Khalid menyelimuti kavaleri berat lawan di kedua sisi, tetapi dengan sengaja meninggalkan celah di mana Bizantium hanya bisa melarikan diri ke utara, jauh dari infanteri mereka.[142] Menurut sejarawan Bizantium abad ke-9 Theophanes, infanteri Bizantium memberontak di bawah Vahan karena kegagalan Theodore untuk melawan serangan terhadap kavaleri. Infanteri kemudian secara berlanjut tetap diarahkan.[143]
Kavaleri Bizantium, sementara itu, telah mundur ke utara ke daerah antara anak sungai Ruqqad dan Allan.[133] Khalid mengirim pasukan untuk mengejar dan mencegah mereka berkumpul kembali.[139] Khalid menindaklanjuti dengan operasi malam hari di mana dia merebut jembatan Ruqqad, satu-satunya rute penarikan yang layak untuk Bizantium.[133] Muslim kemudian menyerang Bizantium pada tanggal 20 Agustus dan membantai sebagian besar pasukan Bizantium.[133] Khalid membuat kepanikan di jajaran Bizantium dan menyebabkan ribuan orang tewas di ngarai Yarmuk ketika mereka berupaya untuk mundur ke barat.[144]
Jandora memuji kemenangan Muslim di Yarmuk yang disebabkan karena "kepemimpinan superior" tentara Muslim, khususnya "kecerdasan" Khalid, dibandingkan tentara Bizantium yang sering berkonflik satu sama lain serta taktik konvensional Theodorus, yang Khalid anggap sangat mudah "diantisipasi".[145] Dalam pandangan Gil, penarikan Khalid di hadapan pasukan Heraclius, pengepungan Damaskus dan serangan balasan di anak sungai Yarmuk "adalah bukti kemampuan pengorganisasian Khalid yang sangat baik dan keahliannya dalam bermanuver di medan perang".[146] Kekalahan Bizantium menandai kehancuran tentara efektif terakhir mereka di Suriah dan membuat Muslim merasakan keuntungan sebelumnya di Palestina dan Transjordania. Keuntungan tersebut membuat tentara Muslim dapat membuka jalan untuk merebut kembali Damaskus[133] pada bulan Desember yang mana kali ini perebutan kembali Damaskus dikomandani oleh Abu Ubaidah,[129] dan membuat Muslim melakukan penaklukan Lembah Beqaa dan akhirnya penaklukkan merembet ke sisa utara Suriah.[133] Dalam penilaian Jandora, Yarmuk adalah salah satu "pertempuran terpenting dalam Sejarah Dunia", yang pada akhirnya mengarah pada kemenangan Muslim yang mana pertempuran tersebut membuat wilayah Kekhalifahan menjadi terbentang luas antara Pegunungan Pirenia dan Asia Tengah.[147]
Penurunan pangkat
Tergantung pada sumbernya, Khalid dipertahankan sebagai panglima tertinggi pasukan Muslim di Suriah antara enam bulan dan dua tahun sejak awal kekhalifahan Umar.[148] Sebagian besar sejarawan modern setuju bahwa pemecatan Khalid oleh Umar mungkin terjadi setelah perang Yarmuk.[149] Khalifah menunjuk Abu Ubaidah untuk menduduki jabatan Khalid dan menugaskan kembali pasukan Muslim yang tersisa dan menundukkan Khalid di bawah komando salah satu letnan Abu Ubaidah. Umar kemudian membuat perintah selanjutnya untuk mengerahkan sebagian besar mantan pasukan Khalid ke Irak.[150] Berbagai penyebab pemecatan Khalid dari komando tertinggi dikutip oleh sumber-sumber Islam awal.[151] Di antaranya adalah pengambilan keputusan secara independen dan minimnya koordinasi dengan pimpinan di Madinah. Selain itu, beberapa kasus yang membuat Khalid dipecat antara lain adalah tuduhan pelanggaran moral yang lebih mendasar seperti eksekusi Malik bin Nuwairah dan menikahi jandanya Malik; tuduhan pembagian harta rampasan kepada anggota bangsawan suku yang merugikan para mualaf yang memenuhi syarat untuk diberi zakat serta alasan lain seperti permusuhan pribadi antara Khalid dan Umar dan kegelisahan Umar atas reputasi kepahlawanan Khalid di kalangan Muslim yang ia khawatirkan dapat berkembang menjadi kultus kepribadian.[152]
Sejarawan modern De Goeje, William Muir dan Andreas Stratos memandang permusuhan Umar dengan Khalid sebagai penyebab pemecatan Khalid. Shaban mengakui permusuhan itu tetapi menegaskan bahwa itu tidak ada hubungannya dengan keputusan khalifah.[148] De Goeje menolak bahwa hibah Khalid kepada bangsawan suku, sebuah praktik umum di antara para pemimpin Muslim awal termasuk Muhammad, sebagai penyebab pemecatannya.[148] Muir, Becker, Stratos dan Philip K. Hitti berpendapat bahwa Khalid akhirnya dipecat karena kebutuhan tentara Muslim di Suriah setelah perempuran Yarmuk untuk mengganti seorang komandan militer di pucuk pimpinan dengan administrator yang cakap seperti Abu Ubaidah.
Atsaminah meragukan semua alasan yang disebutkan di atas. Ia beralasan bahwa penyebabnya pemecatan tersebut "haruslah vital" karena sebagian besar Suriah tetap berada di bawah kendali Bizantium dan Heraclius tidak meninggalkan provinsi tersebut.[153] Atsaminah berpendapat bahwa "dengan segala keterbatasan militernya", Abu Ubaidah tidak akan dianggap sebagai "pengganti yang layak untuk bakat tak tertandingi Khalid".[153] Madinah tidak memiliki tentara tetap, kebutuhan untuk memindahkan pejuang ke front lain dan ancaman Bizantium untuk keuntungan Muslim di Suriah, semua itu pada akhirnya membutuhkan pembentukan struktur pertahanan yang didasarkan pada suku-suku Arab yang lebih tua di Suriah yang mana mereka telah pernah bergabung sebagai konfederasi Bizantium. Setelah permohonan Madinah kepada konfederasi terkemuka, yaitu Ghassaniyah ditolak, Madinah akhirnya membangun hubungan dengan bani Kalb, Judham dan Lakhm.[154] Suku-suku ini kemungkinan besar menganggap sejumlah besar anggota suku Arab luar dalam pasukan Khalid sebagai ancaman terhadap kekuatan politik dan ekonomi mereka.[155] Pasukan awal Khalid yang terdiri dari 500–800 orang kemudian melebar hingga mencapai 10.000 orang di mana sebagai hasil dari anggota suku yang bergabung dengan barisan pasukannya dari front Irak atau Arab dan sebanyak 30.000–40.000 dengan memperhitungkan keluarga mereka.[156] Atsaminah menyimpulkan Umar memecat Khalid dan memanggil kembali pasukannya dari Suriah sebagai tawaran kepada Kalb dan sekutu mereka.[157]
Operasi di Suriah utara
Abu Ubaidah dan Khalid melanjutkan perjalanan dari Damaskus ke utara ke Homs (disebut Emesa oleh Bizantium) dan mengepung kota itu mungkin pada musim dingin tahun 636–637.[158] Pengepungan dilakukan di tengah sejumlah serangan mendadak oleh para pendukung kerajaan Bizantium dan kota itu menyerah pada musim semi.[158] Sesuai ketentuan penyerahan, pajak dikenakan pada penduduk sebagai imbalan atas jaminan perlindungan atas properti mereka yang terdiri atas gereja, kincir air, dan tembok kota.[159] Seperempat gereja St. Yohanes dicadangkan untuk penggunaan Muslim, dan rumah serta kebun yang ditinggalkan disita dan didistribusikan oleh Abu Ubaidah atau Khalid di antara pasukan Muslim dan keluarga mereka.[159] Karena kedekatannya dengan padang gurun, Homs dipandang sebagai tempat pemukiman yang menguntungkan bagi suku Arab dan menjadi kota pertama di Suriah untuk memperoleh populasi Muslim yang besar.[159]
Informasi tentang penaklukan berikutnya di Suriah utara sangat sedikit dan sebagian bertentangan antara satu sama lain.[160] Khalid dikirim oleh Abu Ubaidah untuk menaklukkan Qinnasrin (disebut Chalcis oleh Bizantium) dan Aleppo di dekatnya.[161] Khalid menghancurkan pasukan Bizantium yang dipimpin oleh beberapa Mina di pinggiran Qinnasrin.[161][162] Di sana, Khalid menyelamatkan penduduk karena permohonan mereka dan mengklaim bahwa mereka adalah orang Arab yang dipaksa wajib militer oleh Bizantium.[162] Dia melanjutkan dengan mengepung kota bertembok Qinnasrin,[163] yang menyerah pada Agustus/September 638.[164] Dia dan Iyad bin Ghanm kemudian meluncurkan serangan Muslim pertama ke Bizantium Anatolia.[165] Khalid menjadikan Qinnasrin sebagai markasnya, menetap di sana bersama istrinya.[163] Khalid diangkat sebagai wakil gubernur Abu Ubaidah di Qinnasrin pada tahun 638.[166] Kampanye melawan Homs dan Qinnasrin menghasilkan penaklukan barat laut Suriah dan mendorong Heraclius untuk meninggalkan markas besarnya di Edessa untuk Samosata di Anatolia dan akhirnya pergi ke ibu kota kekaisaran yaitu Konstantinopel.[167]
Khalid mungkin telah berpartisipasi dalam pengepungan Yerusalem, yang mana kota tersebut menyerah pada tahun 637 atau 638.[168] Menurut al-Tabari, dia adalah salah satu dari saksi Surat jaminan oleh Umar kepada Patriark Sofronius dari Yerusalem yang menjamin keselamatan penduduk dan properti kota.[169]
Pemecatan dan kematian
Menurut Saif bin Umar, pada tahun 638 Khalid dikabarkan telah membagikan rampasan perang secara boros dari kampanye utara Suriahnya, termasuk sejumlah uang kepada bangsawan bani Kindah Al-Asy'ats bin Qais.[170] Umar memerintahkan agar Abu Ubaidah secara terbuka menginterogasi dan membebaskan Khalid dari jabatannya terlepas dari hasil interogasi, serta menempatkan Qinnasrin di bawah pemerintahan langsung Abu Ubaidah.[171] Setelah interogasinya di Homs, Khalid mengeluarkan pidato perpisahan berturut-turut kepada pasukan di Qinnasrin dan Homs sebelum dipanggil oleh Umar ke Madinah.[172] Catatan Saif menyebutkan bahwa Umar mengirim pemberitahuan kepada garnisun Muslim di Suriah dan Irak bahwa Khalid dipecat bukan karena ketidakpantasan tetapi karena banyak pasukan Muslim yang telah "terpikat oleh ilusi (Khalid)" dan dia khawatir bahwa pasukan Muslim akan secara tidak proporsional menaruh kepercayaan mereka kepada Khalid daripada kepada Tuhan.[173]
Pemecatan Khalid tidak menimbulkan reaksi publik, mungkin karena kesadaran yang ada dalam pemerintahan Muslim tentang permusuhan Umar terhadap Khalid yang membuat publik sangat menduga bahwa Khalid akan dipecat. Alasan lain pemecatan Khalid dimungkinkan karena permusuhan yang ada terhadap bani Makhzum secara umum sebagai akibat dari penentangan mereka sebelumnya terhadap Muhammad dan Muslim awal.[174] Dalam kisah Ibnu Asakir, Umar menyatakan di dewan tentara Muslim di Jabiyah pada tahun 638 bahwa Khalid dipecat karena melimpahkan rampasan perang dalam perang kepada pahlawan, bangsawan suku, dan penyair alih-alih menyisihkan jumlah untuk Muslim yang membutuhkan.[150] Tidak ada komandan yang hadir menyuarakan penentangan, kecuali seorang bani Makhzum yang menuduh Umar melanggar mandat militer yang diberikan kepada Khalid oleh Muhammad.[175] Menurut ahli hukum Muslim al-Zuhri (w. 742), sebelum kematiannya pada tahun 639, Abu Ubaidah diangkat Khalid dan Iyad ibn Ghanm sebagai penerusnya,[176] tetapi Umar hanya mengukuhkan Iyad sebagai gubernur distrik Jazirah Homs–Qinnasrin dan mengangkat Yazid bin Abi Sufyan sebagai gubernur di seluruh Suriah untuk wilayah Damaskus, Yordania dan Palestina.[177]
Khalid meninggal di Madinah atau Homs pada 21 H (ca 642 Masehi).[178][179] Dinyatakan dalam hadis bahwa Muhammad berpesan kepada Muslim untuk tidak menyakiti Khalid dan bernubuat bahwa Khalid akan diperlakukan tidak adil meskipun kontribusinya yang luar biasa terhadap Islam.[180] Dalam narasi sastra Islam, Umar menyatakan penyesalannya atas pemecatan Khalid dan para wanita Madinah meratapi kematiannya secara massal. Generasi berikutnya mendeskripsikan Khalid sebagai karakter pahlawan, sama seperti yang digambarkan oleh tradisi Islam saat ini.[180]
Warisan
Khalid dicatat oleh sumber-sumber awal Islam sebagai komandan penaklukan yang paling cakap bahkan setelah pemecatannya dari komando tertinggi.[181] Dia dianggap sebagai "salah satu jenius taktis dari periode Islam awal" oleh Donner.[108] Sejarawan Carole Hillenbrand menyebutnya "yang paling terkenal dari semua jenderal Muslim Arab",[182] dan Humphreys menggambarkannya sebagai "mungkin jendral Arab paling terkenal dan brilian dari perang Riddah dan penaklukan awal".[87] Dalam penilaian Kennedy, Khalid adalah "seorang komandan militer yang brilian dan kejam, tetapi seorang Muslim yang lebih saleh tidak akan pernah merasa nyaman dengannya".[183] Sementara mengakui pencapaian militernya, sumber-sumber Islam awal menyajikan sebuah penilaian yang beragam terhadap Khalid karena konfrontasi awalnya dengan Muhammad di Uhud, reputasinya atas tindakan brutal melawan suku-suku Arab selama perang Riddah dan ketenaran militernya membuat beberapa mualaf saat itu merasa terganggu.[16]
Menurut sejarawan Richard Blackburn, meskipun ada upaya di sumber-sumber awal untuk mendiskreditkan Khalid, reputasinya telah berkembang sebagai "pejuang Islam yang paling tangguh" selama era Muhammad, Abu Bakar dan penaklukan Suriah.[179] Kennedy mencatat bahwa "reputasinya sebagai seorang jenderal besar telah bertahan dari generasi ke generasi dan jalan-jalan dinamai menurut namanya di seluruh dunia Arab".[16] Khalid dianggap sebagai pahlawan perang oleh Muslim Sunni, sementara banyak Muslim Syiah memandangnya sebagai penjahat perang atas eksekusi Malik bin Nuwairah dan pernikahan langsung dengan jandanya yang mana itu bertentangan dengan periode duka tradisional Islam.[184]
Keluarga dan keturunan
Putra sulung Khalid bernama Sulaiman, oleh karenanya Khalid memiliki kunyah Abu Sulaiman yang berarti ayah dari Sulaiman.[185] Khalid menikah dengan Asma', putri Anas bin Mudrik, seorang kepala suku dan penyair terkemuka dari suku Khats'am.[186] Putra mereka Abdurrahman menjadi komandan terkemuka dalam perang Arab–Bizantium dan ajudan dekat Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Suriah dan kemudian pendiri serta khalifah pertama Kekhalifahan Umayyah yang saat itu masih menjabat sebagai wakil gubernur terakhir distrik Homs–Qinnasrin–al-Jazirah.[187][188] Putra Khalid lainnya, Al-Muhajir, adalah pendukung Ali yang saat itu memerintah sebagai khalifah pada tahun 656–661, dan tewas melawan tentara Muawiyah di Pertempuran Siffin pada tahun 657 selama Perang Saudara Muslim Pertama.[187] Setelah kematian Abdurrahman pada tahun 666 yang diduga sebagai karena diracuni oleh Muawiyah, putra Al-Muhajir yang bernama Khalid, berusaha membalas dendam atas pembunuhan pamannya dan ditangkap. Akan tetapi, Muawiyah kemudian membebaskannya setelah Khalid membayar diyat.[189] Putra Abdurrahman yang namanya juga Khalid, adalah seorang komandan kampanye angkatan laut melawan Bizantium pada tahun 668 atau 669.[17][190]
Tidak ada peran signifikan lebih lanjut yang dimainkan oleh anggota keluarga Khalid dalam catatan sejarah.[17] Garis keturunan laki-lakinya berakhir menjelang runtuhnya Kekhalifahan Umayyah pada tahun 750 atau tidak lama setelah itu semua empat puluh keturunan laki-lakinya meninggal dalam wabah di Suriah berdasarkan catatan sejarawan abad ke-11 Ibnu Hazm.[187] Akibatnya, properti keluarganya, termasuk tempat tinggalnya dan beberapa rumah lain di Madinah, diwarisi oleh Ayyub bin Salamah, cicit dari saudara Khalid Al-Walid bin al-Walid. Mereka tetap menjadi milik keturunan Ayyub hingga setidaknya akhir abad ke-9.[191][e]
Keluarga penyair Arab abad ke-12 Ibnu al-Qaysarani mengklaim keturunan dari Al-Muhajir bin Khalid, meskipun sejarawan abad ke-13 Ibnu Khallikan mencatat klaim tersebut bertentangan dengan konsensus sejarawan dan ahli silsilah Arab bahwa garis keturunan Khalid berakhir pada periode awal Islam.[194] Garis keturunan perempuan mungkin telah bertahan dan diklaim pada abad ke-15 oleh seorang Sufi yang bernama Sirajiddon Muhammad bin Ali al-Makhzumi dari Homs.[195] Kizil Ahmed Bey, pemimpin Isfendiyariyah, yang memerintah sebuah kerajaan di Anatolia sampai dianeksasi oleh Utsmaniyah, juga mengaku sebagai keturunan Khalid.[196] Suku Ser yang berbahasa Pashtun yang diperintah oleh Sher Shah, penguasa India abad ke-16, juga mengklaim sebagai keturunan Khalid.[197]
Mausoleum di Homs
Dimulai pada periode Ayyubiyah di Suriah (1182-1260), Homs mendapatkan popularitas karena menjadi lokasi yang diklaim sebagai pemakaman Khalid di Masjid Khalid bin Walid.[198] Pengelana abad ke-12 Ibnu Jubair mencatat bahwa makam tersebut berisi makam Khalid dan putranya yang bernama Abdurrahman.[179] Tradisi Muslim sejak saat itu telah menempatkan makam Khalid di kota.[179] Bangunan itu diubah oleh sultan Ayyubiyah pertama Salahudin (m. 1171–1193) dan diubah lagi pada abad ke-13.[198] Sultan Mamluk Baibars (m. 1260–1277) berusaha untuk memiliki prestasi militer yang sama dengan Khalid dengan memasang prasasti untuk menghormati dirinya sendiri yang diukir di makam Khalid di Homs pada tahun 1266.[182] Selama kunjungan ke makam Khalid pada abad ke-17, cendekiawan Muslim Abdul Ghani al-Nabulsi setuju bahwa Khalid dimakamkan di sana tetapi juga mencatat sebuah periwayatan alternatif bahwa kuburan itu juga menjadi tempat pemakaman cucu Muawiyah, yaitu Khalid bin Yazid.[198] Masjid yang saat ini berdiri berasal dari tahun 1908 ketika pihak berwenang Kekaisaran Utsmaniyah membangun kembali struktur Masjid tersebut.[179][199]
Catatan
- ^ Waktu dan tempat Khalid mendapat julukan Saifullah ("Pedang Tuhan") bervariasi dalam sumber-sumber Islam. Sejarawan dari abad ke-8 dan awal abad ke-9 menunjukkan bahwa gelar tersebut diberikan kepada Khalid oleh Khalifah Abu Bakar (m. 632–634) atas keberhasilannya dalam Perang Riddah melawan suku-suku Arab yang menentang negara Islam. Pada pertengahan hingga akhir abad ke-9, laporan pertama mulai beredar dalam sejarah Islam bahwa Muhammad memberikan gelar kepada Khalid atas perannya melawan Bizantium di Pertempuran Mu'tah.[22]
- ^ Abu Bakar sebelumnya telah mengirim sebagian besar tentara Muslim, di bawah Usamah bin Zaid untuk menyerang Suriah Bizantium, meskipun ada ancaman terhadap kota-kota Muslim di Hijaz oleh suku-suku nomaden yang telah tidak lagi menerima otoritas Muslim.[33][35] Sejarawan Elias Shoufani berpendapat bahwa ekspedisi Usamah adalah ekspedisi yang memiliki kekuatan yang jauh lebih kecil daripada yang semula direncanakan oleh Muhammad dan sehingga Usamah sendiri meragukan jajarannya yang bukan terdiri dari sebagian besar suku Ansar, Muhajirin, dan Badui di wilayah Makkah dan Madinah, melainkan sebagian besar terdiri dari orang-orang miskin, tipe perampok di antara Muslim yang bergantung pada barang rampasan dari serangan sebagai nafkah.[36] Lecker berpendapat bahwa Khalid dikerahkan melawan suku-suku di Najd sebelum kembalinya pasukan Usamah,[35] sementara Watt mencatat Khalid dikirim dengan pasukan besar setelah kembalinya Usamah.[33]
- ^ Sebagian besar catatan Muslim dilacak ke ahli hukum abad ke-8 terkemuka Syam, Abdurrahman al-Auza'i, dan di antara sejarawan Muslim, Ibnu Asakir yang berbasis di Damaskus mencurahkan perhatian paling besar padanya, merekam enam versi teks. Catatan Kristen paling awal dari perjanjian tersebut dicatat oleh penulis Suriah Dionisius dari Tel Mahre dan patriark Melkit Eutikius dari Alexandria.[127]
- ^ Pasukan Muslim melakukan hal serupa perjanjian dengan hampir semua kota yang mereka kepung di Suriah, termasuk Tiberias, Beisan, Homs, Aleppo, Yerusalem, serta Alexandria di Mesir dan kota-kota Mesopotamia Hulu.[131]
- ^ Ketika pertama kali dia masuk Islam, Khalid diberikan sebidang tanah oleh nabi Muhammad tepat di sebelah timur Masjid Nabi di Madinah untuk membangun rumahnya yang selesai dibangun sebelum kematian nadi Muhammad.[192] Itu adalah sebidang kecil dan disebabkan karena pembangunan rumahnya yang relatif terlambat (kebanyakan tanah yang tersedia telah diberikan kepada mualaf sebelumnya), Khalid kemudian sangat mengeluhkan ukurannya tanahnya. Khalid lalu diizinkan oleh Muhammad untuk membangun lebih tinggi rumahnya daripada rumah-rumah lain di Madinah.[193] Khalid menyatakan rumahnya sebagai sumbangan amal, melarang keturunannya menjual atau mengalihkan kepemilikannya.[193] Pada abad ke-12, Kamaluddin Muhammad Asy-Syahrazuri , kepala qadi (hakim Islam) dari dinasti Zengid di Suriah, membeli dan mengubah rumah Khalid di Madinah menjadi ribat ("rumah amal' atau "rumah perawatan") untuk para pria.[193]
Referensi
- ^ a b c d e f Hinds 1991, hlm. 138.
- ^ a b Hinds 1991, hlm. 137–138.
- ^ a b c Lammens 1993, hlm. 171.
- ^ Hinds 1991, hlm. 137.
- ^ Shaban 1971, hlm. 23–24.
- ^ Landau-Tasseron 1998, hlm. 202–203.
- ^ a b c d e f g Lecker 2004, hlm. 694.
- ^ a b c Robinson 2000, hlm. 782.
- ^ a b c Hill 1975, hlm. 37.
- ^ Hill 1975, hlm. 39.
- ^ Shaban 1971, hlm. 23.
- ^ a b Watt 1971, hlm. 539.
- ^ Lecker 1989, hlm. 27, note 25.
- ^ Lecker 1989, hlm. 27.
- ^ Umari 1991, hlm. 121.
- ^ a b c Kennedy 2007, hlm. 76.
- ^ a b c d e f g h i Crone 1978, hlm. 928.
- ^ a b Kaegi 1995, hlm. 72.
- ^ Kennedy 2007, hlm. 71.
- ^ Kaegi 1995, hlm. 71–72.
- ^ a b Zetterstéen 1965, hlm. 235.
- ^ Powers 2009, hlm. 80.
- ^ Umari 1991, hlm. 158.
- ^ Umari 1991, hlm. 172–173.
- ^ a b c d Vaglieri 1965, hlm. 625.
- ^ a b Schleifer 1971, hlm. 223.
- ^ a b Shoufani 1973, hlm. 48–53.
- ^ Madelung 1997, hlm. 31.
- ^ a b Shoufani 1973, hlm. 59.
- ^ Shoufani 1973, hlm. 77– 78.
- ^ Shoufani 1973, hlm. 72–73.
- ^ Lecker 2004, hlm. 692.
- ^ a b c d e f g Watt 1960, hlm. 110.
- ^ Kennedy 2004, hlm. 55.
- ^ a b c d e f g Lecker 2004, hlm. 693.
- ^ Shoufani 1973, hlm. 110–111.
- ^ a b c Kister 2002, hlm. 44.
- ^ a b c d Shaban 1971, hlm. 24.
- ^ Shoufani 1973, hlm. 79–80, 117–118.
- ^ a b Shoufani 1973, hlm. 118.
- ^ a b Bosworth 1960, hlm. 1358.
- ^ Shoufani 1973, hlm. 120.
- ^ a b c Landau-Tasseron 1991, hlm. 267.
- ^ a b Kister 2002, hlm. 44–45.
- ^ a b Landau-Tasseron 1991, hlm. 268.
- ^ Madelung 1997, hlm. 50, note 60.
- ^ Watt 1956, hlm. 139.
- ^ Kister 2002, hlm. 7.
- ^ Kister 2002, hlm. 7, 13–17.
- ^ Kister 2002, hlm. 22–23.
- ^ Kister 2002, hlm. 7–9, 28–29.
- ^ Kister 2002, hlm. 23.
- ^ Kister 2002, hlm. 23–25.
- ^ Kister 2002, hlm. 29.
- ^ Kister 2002, hlm. 33.
- ^ a b c Kister 2002, hlm. 46–47.
- ^ a b c d Kister 2002, hlm. 47.
- ^ a b c d e Kister 2002, hlm. 48.
- ^ Kister 2002, hlm. 4.
- ^ Shoufani 1973, hlm. 134.
- ^ Donner 1981, hlm. 173–174.
- ^ Athamina 1994, hlm. 253–254.
- ^ a b c Athamina 1994, hlm. 255.
- ^ Donner 1981, hlm. 178–179.
- ^ Donner 1981, hlm. 178.
- ^ a b Kennedy 2007, hlm. 104.
- ^ Donner 1981, hlm. 174, 177.
- ^ a b c d e f Donner 1981, hlm. 179.
- ^ Pourshariati 2008, hlm. 190.
- ^ a b c d e f g Donner 1981, hlm. 180.
- ^ a b c Kennedy 2007, hlm. 105.
- ^ Kennedy 2007, hlm. 104– 105.
- ^ Watt 1960, hlm. 111.
- ^ Donner 1981, hlm. 300, note 68.
- ^ Donner 1981, hlm. 181-182.
- ^ Donner 1981, hlm. 183.
- ^ Donner 1981, hlm. 181.
- ^ Donner 1981, hlm. 182.
- ^ Donner 1981, hlm. 184.
- ^ a b Donner 1981, hlm. 185.
- ^ Athamina 1994, hlm. 254.
- ^ Donner 1981, hlm. 176.
- ^ Athamina 1994, hlm. 254–255.
- ^ Madelung 1997, hlm. 45–46.
- ^ a b Blankinship 1993, hlm. 1, note 2.
- ^ a b Lynch 2013, hlm. 29, note 5.
- ^ a b Humphreys 1990, hlm. 72, note 124.
- ^ Donner 1981, hlm. 125.
- ^ a b Donner 1981, hlm. 126.
- ^ Donner 1981, hlm. 189.
- ^ a b c Donner 1981, hlm. 185–186.
- ^ a b Donner 1981, hlm. 186–187.
- ^ Donner 1981, hlm. 187.
- ^ Donner 1981, hlm. 310 , note 155.
- ^ a b Donner 1981, hlm. 121.
- ^ a b c d e f Kennedy 2007, hlm. 75.
- ^ a b Donner 1981, hlm. 121, 126.
- ^ Donner 1981, hlm. 121-122.
- ^ a b c d Donner 1981, hlm. 122.
- ^ Donner 1981, hlm. 120–122.
- ^ a b c Donner 1981, hlm. 123.
- ^ Gil 1997, hlm. 47–48 , catatan 50.
- ^ a b Lynch 2013, hlm. 29.
- ^ a b Donner 1981, hlm. 124–125.
- ^ Donner 1981, hlm. 114.
- ^ Athamina 1994, hlm. 257–258.
- ^ Donner 1981, hlm. 125–126.
- ^ a b Donner 1981, hlm. 111.
- ^ Athamina 1994, hlm. 255–256.
- ^ Athamina 1994, hlm. 256.
- ^ Athamina 1994, hlm. 257.
- ^ Donner 1981, hlm. 120.
- ^ a b c Kennedy 2007, hlm. 77.
- ^ a b Donner 1981, hlm. 124.
- ^ Kennedy 2007, hlm. 77–78.
- ^ Donner 1981, hlm. 129.
- ^ a b Donner 1981, hlm. 129–130.
- ^ a b Kennedy 2007, hlm. 78.
- ^ Donner 1981, hlm. 130.
- ^ a b c d e Kennedy 2007, hlm. 79.
- ^ a b c d e f g Elisséeff 1965, hlm. 279.
- ^ a b Donner 1981, hlm. 132.
- ^ Kennedy 2007, hlm. 79–80.
- ^ a b c Kennedy 2007, hlm. 80.
- ^ Elisséeff 1965, hlm. 279–280.
- ^ Zein & El-Wakil 2020, hlm. 6–7.
- ^ Zein & El-Wakil 2020, hlm. 2–3.
- ^ Zein & El- Wakil 2020, hlm. 33–34.
- ^ a b Elisséeff 1965, hlm. 280.
- ^ Zein & El-Wakil 2020, hlm. 33–34.
- ^ Zein & El-Wakil 2020, hlm. 25, 27, 30.
- ^ Donner 1981, hlm. 131–132.
- ^ a b c d e f g h i Kaegi 2002, hlm. 291.
- ^ Jandora 1985, hlm. 14.
- ^ a b Donner 1981, hlm. 133.
- ^ Jandora 1985, hlm. 13–14.
- ^ Jandora 1985, hlm. 10.
- ^ a b Kaegi 2002, hlm. 290.
- ^ a b c d e f Jandora 1985, hlm. 19.
- ^ Jandora 1985, hlm. 15 –16, 19.
- ^ Kaegi 1995, hlm. 121.
- ^ a b Jandora 1985, hlm. 16, 19.
- ^ Jandora 1985, hlm. 17–18.
- ^ Jandora 1985, hlm. 19–20.
- ^ Jandora 1985, hlm. 20.
- ^ Gil 1997, hlm. 47–48, note 50.
- ^ Jandora 1985, hlm. 8.
- ^ a b c Athamina 1994, hlm. 261.
- ^ Athamina 1994, hlm. 259.
- ^ a b Athamina 1994, hlm. 269.
- ^ Athamina 1994, hlm. 260.
- ^ Athamina 1994, hlm. 260, note 38.
- ^ a b Athamina 1994, hlm. 262.
- ^ Athamina 1994, hlm. 262–263.
- ^ Athamina 1994, hlm. 265–267.
- ^ Athamina 1994, hlm. 266–267.
- ^ Athamina 1994, hlm. 265, 267.
- ^ a b Kennedy 2007, hlm. 85.
- ^ a b c Kennedy 2007, hlm. 86.
- ^ Donner 1981, hlm. 149–150.
- ^ a b Donner 1981, hlm. 149.
- ^ a b Friedmann 1992, hlm. 178.
- ^ a b Kennedy 2007, hlm. 87.
- ^ Elisséeff 1986, hlm. 124.
- ^ Friedmann 1992, hlm. 180.
- ^ Juynboll 1989, hlm. 105–106.
- ^ Donner 1981, hlm. 150.
- ^ Donner 1981, hlm. 151.
- ^ Kennedy 2007, hlm. 92, note 52.
- ^ Juynboll 1989, hlm. 106.
- ^ Juynboll 1989, hlm. 107.
- ^ Juynboll 1989, hlm. 107–108.
- ^ Juynboll 1989, hlm. 108.
- ^ Athamina 1994, hlm. 268–269.
- ^ Athamina 1994, hlm. 269–270.
- ^ Madelung 1997, hlm. 61, note 10.
- ^ Madelung 1997, hlm. 60–61.
- ^ Zetterstéen 1965, hlm. 236.
- ^ a b c d e Blackburn 2005, hlm. 75, note 195.
- ^ a b Athamina 1994, hlm. 270.
- ^ Kennedy 2007, hlm. 75–76.
- ^ a b Hillenbrand 1999, hlm. 230.
- ^ Kennedy 2007, hlm. 81.
- ^ Mulder 2014, hlm. 92–93.
- ^ Landau-Tasseron 1998, hlm. 291.
- ^ Della Vida 1978, hlm. 1106.
- ^ a b c Hinds 1991, hlm. 139.
- ^ Blankinship 1993, hlm. 90, note 498.
- ^ Hinds 1991, hlm. 139–140.
- ^ Jankowiak 2013, hlm. 265.
- ^ Elad 2016, hlm. 289.
- ^ Lecker 2019, hlm. 68–70.
- ^ a b c Lecker 2019, hlm. 71.
- ^ De Slane 1842, hlm. 155, 157–158.
- ^ Lammens 1993, hlm. 172.
- ^ Blackburn 2005, hlm. 76, note 197.
- ^ Blackburn 2005, hlm. 76.
- ^ a b c Sirriya 1979, hlm. 116.
- ^ Sirriya 1979, hlm. 121, note 28.
Daftar pustaka
- Athamina, Khalil (1994). "The Appointment and Dismissal of Khālid b. al-Walīd from the Supreme Command: A Study of the Political Strategy of the Early Muslim Caliphs in Syria". Arabica. 41 (2): 253–272. doi:10.1163/157005894X00191. JSTOR 4057449.
- Blackburn, Richard (2005). Journey to the Sublime Porte: The Arabic Memoir of a Sharifian Agent's Diplomatic Mission to the Ottoman Imperial Court in the Era of Suleyman the Magnificent; the Relevant Text from Quṭb al-Dīn al-Nahrawālī's al-Fawā'id al-sanīyah fī al-riḥlah al-Madanīyah wa al-Rūmīyah. Beirut: Orient-Institut. ISBN 3-89913-441-9.
- Blankinship, Khalid Yahya, ed. (1993). The History of al-Ṭabarī, Volume XI: The Challenge to the Empires. Seri SUNY dalam Studi Timur Dekat. Albany, New York: State University of New York Press. ISBN 978-0-7914-0851-3.
- Bosworth, C. E. (1960). "Buzākha". Dalam Gibb, H. A. R.; Kramers, J. H.; Lévi-Provençal, E.; Schacht, J.; Lewis, B.; Pellat, Ch. Encyclopaedia of Islam. Volume I: A–B (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 1358. OCLC 495469456.
- Crone, P. (1978). "Khālid b. al-Walīd". Dalam van Donzel, E.; Lewis, B.; Pellat, Ch.; Bosworth, C. E. Encyclopaedia of Islam. Volume IV: Iran–Kha (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 928–929. OCLC 758278456.
- De Slane, Mac Guckin (1842). Ibn Khallikan's Biographical Dictionary, Volume 1. Paris: Oriental Translation Fund of Great Britain and Ireland. OCLC 833614603.
- Della Vida, G. Levi (1978). "Khathʿam". Dalam van Donzel, E.; Lewis, B.; Pellat, Ch.; Bosworth, C. E. Encyclopaedia of Islam. Volume IV: Iran–Kha (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 1105–1106. OCLC 758278456.
- Donner, Fred M. (1981). The Early Islamic Conquests. Princeton: Princeton University Press. ISBN 0-691-05327-8.
- Elad, Amikam (2016). The Rebellion of Muḥammad al-Nafs al-Zakiyya in 145/762: Ṭālibīs and Early ʿAbbāsīs in Conflict. Leiden: Brill. ISBN 978-90-04-22989-1.
- Elisséeff, Nikita (1965). "Dimashk". Dalam Lewis, B.; Pellat, Ch.; Schacht, J. Encyclopaedia of Islam. Volume II: C–G (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 277–291. OCLC 495469475.
- Elisséeff, Nikita (1986). "Kinnasrīn". Dalam Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Lewis, B.; Pellat, Ch. Encyclopaedia of Islam. Volume V: Khe–Mahi (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 124–125. ISBN 978-90-04-07819-2.
- Friedmann, Yohanan, ed. (1992). The History of al-Ṭabarī, Volume XII: The Battle of al-Qādisīyyah and the Conquest of Syria and Palestine. Seri SUNY dalam Studi Timur Dekat. Albany, New York: State University of New York Press. ISBN 978-0-7914-0733-2.
- Gil, Moshe (1997) [1992]. A History of Palestine, 634–1099. Diterjemahkan oleh Ethel Broido (edisi ke-Revised). Cambridge and New York: Cambridge University Press. ISBN 0-521-40437-1.
- Hill, D. R. (1975). "The Role of the Camel and the Horse in the Early Arab Conquests". Dalam Parry, V. J.; Yapp, M. E. War, Technology and Society in the Middle East. London: Oxford University Press, School of Oriental and African Studies. hlm. 32–43. ISBN 0-19-713581-1.
- Hillenbrand, Carole (1999). The Crusades: Islamic Perspectives. Chicago: Fitzroy Dearborn Publishers. ISBN 1-57958-210-9.
- Hinds, M. (1991). "Makhzūm". Dalam Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Pellat, Ch. Encyclopaedia of Islam. Volume VI: Mahk–Mid (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 137–140. ISBN 978-90-04-08112-3.
- Humphreys, R. Stephen, ed. (1990). The History of al-Ṭabarī, Volume XV: The Crisis of the Early Caliphate: The Reign of ʿUthmān, A.D. 644–656/A.H. 24–35. Seri SUNY dalam Studi Timur Dekat. Albany, New York: State University of New York Press. ISBN 978-0-7914-0154-5.
- Jandora, John W. (1985). "The Battle of the Yarmūk: A Reconstruction". Journal of Asian History. 19 (1): 8–21. JSTOR 41930557.
- Jankowiak, Marek (2013). "The First Arab Siege of Constantinople". Dalam Zuckerman, Constantin. Travaux et mémoires, Vol. 17: Constructing the Seventh Century. Paris: Association des Amis du Centre d'Histoire et Civilisation de Byzance. hlm. 237–320. ISBN 978-2-916716-45-9.
- Juynboll, Gautier H.A., ed. (1989). The History of al-Ṭabarī, Volume XIII: The Conquest of Iraq, Southwestern Persia, and Egypt: The Middle Years of ʿUmar's Caliphate, A.D. 636–642/A.H. 15–21. Seri SUNY dalam Studi Timur Dekat. Albany, New York: State University of New York Press. ISBN 978-0-88706-876-8.
- Kaegi, Walter E. (1995). Byzantium and the Early Islamic Conquests. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 0-521-41172-6.
- Kaegi, Walter E. (2002). "Yarmūk". Dalam Bearman, P. J.; Bianquis, Th.; Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W. P. Encyclopaedia of Islam. Volume XI: W–Z (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 289–292. ISBN 978-90-04-12756-2.
- Kennedy, Hugh (2004). The Prophet and the Age of the Caliphates: The Islamic Near East from the 6th to the 11th Century (edisi ke-Second). Harlow: Longman. ISBN 978-0-582-40525-7.
- Kennedy, Hugh (2007). The Great Arab Conquests: How the Spread of Islam Changed the World We Live In. Philadelphia: Da Capo Press. ISBN 978-0-306-81585-0.
- Kister, M. J. (2002). "The Struggle against Musaylima and the Conquest of Yamama". Jerusalem Studies in Arabic and Islam. 27: 1–56.
- Lammens, Henri (1993) [1927]. "Makhzūm". Dalam Houtsma, M. Th.; Wensinck, A. J.; Levi-Provençal, E.; Gibb, H. A. R.; Heffening, W. E.J. Brill's First Encyclopaedia of Islam, 1913–1936, Volume 5 L–Moriscos (edisi ke-Reprint). Leiden, New York and Koln: E. J. Brill. hlm. 171–172. ISBN 90-04-09791-0.
- Landau-Tasseron, Ella (1991). "Mālik b. Nuwayra". Dalam Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Pellat, Ch. Encyclopaedia of Islam. Volume VI: Mahk–Mid (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 267–269. ISBN 978-90-04-08112-3.
- Landau-Tasseron, Ella, ed. (1998). The History of al-Ṭabarī, Volume XXXIX: Biographies of the Prophet's Companions and their Successors: al-Ṭabarī's Supplement to his History. Seri SUNY dalam Studi Timur Dekat. Albany, New York: State University of New York Press. ISBN 978-0-7914-2819-1.
- Lecker, Michael (1989). "The Estates of 'Amr b. al-'Āṣ in Palestine: Notes on a New Negev Arabic Inscription". Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London. 52 (1): 24–37. doi:10.1017/S0041977X00023041. JSTOR 617911.
- Lecker, Michael (2004). "Al-Ridda". Dalam Bearman, P. J.; Bianquis, Th.; Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W. P. Encyclopaedia of Islam. Volume XII: Supplement (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 692–695. ISBN 978-90-04-13974-9.
- Lecker, Michael (2019). "The Houses of Khālid ibn al-Walīd and ʿAmr ibn al-ʿĀs Near the Prophet's Mosque". Dalam Peleg-Barkat, Orit; Ashkenazi, Jacob; Leibner, Uzi; Aviam, Mordechai; Talgam, Rina. Between Sea and Desert: On Kings, Nomads, Cities and Monks: Essays in Honor of Joseph Patrich. Jerusalem: Ostracon. hlm. 67–73. ISBN 978-965-92534-2-5.
- Lynch, Ryan J. (2013). "Linking Information, Creating a Legend: The Desert March of Khālid b. al-Walīd". Lights: The MESSA Journal of the University of Chicago. 2 (2): 28–41.
- Madelung, Wilferd (1997). The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 0-521-56181-7.
- Mulder, Stephennie (2014). "Seeing the Light: Enacting the Divine at Three Medieval Syrian Shrines". Dalam Roxburgh, David J. Envisioning Islamic Art and Architecture: Essays in Honor of Renata Holod. Leiden and Boston: Brill. hlm. 88–108. ISBN 978-90-04-26402-1.
- Pourshariati, Parvaneh (2008). Decline and Fall of the Sasanian Empire: The Sasanian-Parthian Confederacy and the Arab Conquest of Iran. London and New York: I. B. Tauris. ISBN 978-1-84511-645-3.
- Powers, David S. (2009). Muhammad Is Not the Father of Any of Your Men: The Making of the Last Prophet. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. ISBN 978-0-8122-4178-5.
- Robinson, C. F. (2000). "Uḥud". Dalam Bearman, P. J.; Bianquis, Th.; Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W. P. Encyclopaedia of Islam. Volume X: T–U (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 782–783. ISBN 978-90-04-11211-7.
- Schleifer, J. (1971). "Banuʾl-Ḥārith b. Kaʿb". Dalam Lewis, B.; Ménage, V. L.; Pellat, Ch.; Schacht, J. Encyclopaedia of Islam. Volume III: H–Iram (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 223. OCLC 495469525.
- Shaban, M. A. (1971). Islamic History: A New Interpretation, Volume 1, A.D. 600–750 (A.H. 132) . Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-08137-5.
- Shoufani, Elias S. (1973). Al-Riddah and the Muslim Conquest of Arabia. Toronto: University of Toronto Press. ISBN 0-8020-1915-3.
- Sirriya, Elizabeth (1979). "Ziyārāt of Syria in a "Riḥla" of 'Abd al-Ghanī al-Nābulusī (1050/1641–1143/1731)". The Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland. 111 (2): 109–122. doi:10.1017/s0035869x00135543.
- Umari, Akram Diya (1991). Madīnan Society at the Time of the Prophet, Volume II: The Jihād against the Mushrikūn. Diterjemahkan oleh Huda Khattab. Herndon, Virginia: The International Institute of Islamic Thought. ISBN 0-912463-37-6.
- Vaglieri, L. V. (1965). "Dūmat al-Djandal". Dalam Lewis, B.; Pellat, Ch.; Schacht, J. Encyclopaedia of Islam. Volume II: C–G (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 624–626. OCLC 495469475.
- Watt, W. Montgomery (1956). Muhammad at Medina. Oxford: Clarendon Press. OCLC 3456619.
- Watt, W. Montgomery (1960). "Abū Bakr". Dalam Gibb, H. A. R.; Kramers, J. H.; Lévi-Provençal, E.; Schacht, J.; Lewis, B.; Pellat, Ch. Encyclopaedia of Islam. Volume I: A–B (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 109–111. OCLC 495469456.
- Watt, W. Montgomery (1971). "Al-Ḥudaybiya". Dalam Lewis, B.; Ménage, V. L.; Pellat, Ch.; Schacht, J. Encyclopaedia of Islam. Volume III: H–Iram (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 539. OCLC 495469525.
- Zein, Ibrahim; El-Wakil, Ahmed (2020). "Khālid b. al-Wālid's Treaty with the People of Damascus: Identifying the Source Document through Shared and Competing Historical Memories". Journal of Islamic Studies. 31 (3): 295–328. doi:10.1093/jis/etaa029.
- Zetterstéen, K. V. (1965). "K̲h̲ālid b. al-Walīd b. al-Mughīra al-Makhzūmī". Dalam Gibb, H. A. R.; Kramers, J. H. Shorter Encyclopaedia of Islam. Cornell: Cornell University Press. hlm. 235–236. OCLC 609717677.
Bacaan tambahan
- Kaegi, Walter E. (1991). "Khālid". Dalam Kazhdan, Alexander. The Oxford Dictionary of Byzantium. Oxford and New York: Oxford University Press. ISBN 0-19-504652-8.
- Lynch, Ryan J. (2018). "Khalid b. al-Walid". Dalam Nicholson, Oliver. The Oxford Dictionary of Late Antiquity. Oxford: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-866277-8.