Umar bin Abdul Aziz
Umar bin Abdul Aziz (bahasa Arab: عُمَر بْن عَبْد الْعَزِيز بْن مَرْوَان, translit. ʿUmar ibn ʿAbd al-ʿAzīz ibn Marwān; ca 680 – Februari 720), juga dikenal dengan nama Umar II, adalah khalifah Kekhalifahan Umayyah kedelapan, yang memerintah dari tahun 717 hingga kematiannya pada tahun 720. Ia dianggap telah melakukan reformasi yang signifikan terhadap pemerintahan pusat Umayyah, dengan menjadikannya jauh lebih efisien dan egaliter. Pemerintahannya ditandai dengan pengumpulan hadis resmi pertama dan mandat pendidikan universal kepada masyarakat.
Umar bin Abdul Aziz عُمَر بْن عَبْد الْعَزِيز | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Khalifah | |||||||||
Berkuasa | 22 September 717 – 4 February 720 (2 tahun, 137 hari) | ||||||||
Pendahulu | Sulaiman bin Abdul Malik | ||||||||
Penerus | Yazid bin Abdul Malik | ||||||||
Kelahiran | ca 682 Madinah,[1] Hijaz, Kekhalifahan Umayyah | ||||||||
Kematian | ca Februari 720 (39 tahun) Aleppo[1] | ||||||||
Pemakaman | Dayr Sim'an, Syam, Kekhalifahan Umayyah | ||||||||
Istri |
| ||||||||
Keturunan |
| ||||||||
| |||||||||
Wangsa | Umayyah (Marwani) | ||||||||
Ayah | 'Abdul 'Aziz bin Marwan | ||||||||
Ibu | Laila binti Ashim bin 'Umar | ||||||||
Agama | Islam | ||||||||
Nama Arab | |||||||||
Pribadi (Ism) | ʿUmar | ||||||||
Patronimik (Nasab) | ʿUmar bin ʿAbd al-ʿAzīz bin Marwān bin al-Ḥakam bin Abī al-ʿĀṣ bin Umayyah bin ʿAbd as-Syams | ||||||||
Teknonim (Kunyah) | Abu ʿAbdillah |
Dia mengirim utusan ke Tiongkok dan Tibet, mengundang penguasa mereka untuk menerima Islam. Selama tiga tahun pemerintahannya, Islam diterima oleh sebagian besar penduduk Persia dan Mesir. Ia juga memerintahkan penarikan pasukan Muslim di berbagai front seperti di Konstantinopel, Asia Tengah dan Septimania. Meskipun selama pemerintahannya, Bani Umayyah telah memperoleh banyak wilayah taklukan baru di Semenanjung Iberia.
Umar dianggap oleh banyak orang sebagai mujaddid pertama dan Khulafaur Rasyidin kelima, selain Hasan bin Ali menurut beberapa cendekiawan Muslim. Ia dihormati sebagai Umar ats-Tsānī (Umar II) karena kemiripan karakternya dengan kakek buyutnya dari pihak ibu, khalifah Umar bin Khattab.
Kehidupan awal
Umar kemungkinan lahir di Madinah sekitar tahun 680.[2][3] Ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan, berasal dari klan kaya Umayyah yang tinggal di kota, sedangkan ibunya, Laila binti Ashim, adalah cucu dari Khalifah kedua, Umar bin Khattab (m. 634–644).[4] Silsilahnya dari Khalifah Umar yang sangat dihormati nantinya akan banyak ditekankan oleh para sejarawan untuk membedakannya dari penguasa Bani Umayyah lainnya.[2]
Pada saat kelahirannya, cabang Bani Umayyah lainnya, Sufyaniyah, memerintah Kekhalifahan dari ibu kota Damaskus. Ketika Khalifah yang berkuasa Yazid I (m. 680–683) dan putra serta penerusnya, Muawiyah II (m. 683–684), meninggal dalam waktu singkat berturut-turut pada tahun 683 dan 684, otoritas Umayyah runtuh di seluruh Kekhalifahan dan Bani Umayyah di Hijaz, termasuk Madinah, diusir oleh para pendukung khalifah saingannya, Abdullah bin Zubair (m. 683–692). Orang-orang Umayyah yang diusir dari Hijaz berlindung di Suriah, tempat suku-suku Arab yang loyal mendukung dinasti tersebut. Kakek Umar, Marwan I (m. 684–685), akhirnya diakui oleh suku-suku ini sebagai khalifah dan dengan dukungan mereka, menegaskan kembali kekuasaan Umayyah di Suriah.[5]
Pada tahun 685, Marwan menggulingkan gubernur Ibnu Zubair dari Mesir dan mengangkat ayah Umar sebagai gubernur Mesir yang baru.[6] Umar menghabiskan sebagian masa kecilnya di Mesir, khususnya di Hulwan, yang menjadi pusat pemerintahan ayahnya antara tahun 686 dan kematiannya pada tahun 705.[3] Kemudian, Umar menempuh pendidikannya di Madinah,[3] yang telah direbut kembali oleh Bani Umayyah di bawah pimpinan paman Umar, Khalifah Abdul Malik (m. 685–705) pada tahun 692.[7] Setelah menghabiskan sebagian besar masa mudanya di Madinah, Umar mengembangkan hubungan dengan para ulama, orang-orang saleh, serta para perawi hadis di kota itu.[3] Setelah kematian ayah Umar, Abdul Malik memanggil Umar ke Damaskus untuk mengatur pernikahan Umar dengan putrinya, Fatimah.[3] Umar juga memiliki dua istri lainnya: yaitu sepupu dari pihak ibu, Ummu Syu'aib atau Ummu Utsman yang merupakan putri Syu'aib atau Sa'id bin Zabban dari suku Bani Kalb, dan Lamis binti Ali dari Bani al-Harits. Dari istri-istrinya ia diketahui memiliki tujuh anak, serta tujuh anak lainnya dari selir.[8]
Gubernur Madinah
Al-Walid naik takhta pada 705 setelah ayahnya mangkat. Secara silsilah, Al-Walid dan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz adalah sepupu. Melalui pernikahan, mereka berdua adalah saudara ipar. 'Umar menikah dengan Fatimah, saudari Al-Walid, dan Al-Walid merupakan suami Ummul Banin, saudari 'Umar.
Salah satu kebijakan Al-Walid adalah mengangkat 'Umar bin 'Abdul 'Aziz sebagai gubernur Madinah.[3] Di masa sebelumnya, Madinah yang menolak kepemimpinan Umayyah ditundukkan secara paksa oleh pihak Umayyah pada Pertempuran al-Harrah pada masa Khalifah Yazid. Gubernur Madinah sebelumnya, Hisyam bin Ismail al-Makhzumi, dikenal sangat keras dalam memerintah. Penunjukan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz dimaksudkan untuk meredam ketegangan antara penduduk Madinah dengan pihak Umayyah dan menjembatani kedua belah pihak.[2] 'Umar mulai menjabat pada bulan Februari atau Maret tahun 706 dan wilayah kewenangannya kemudian diperluas ke Makkah dan Tha'if.[3]
'Umar juga kerap memimpin rombongan haji dan menunjukkan dukungan pada para ulama Madinah, khususnya Said bin al-Musayyib yang merupakan salah satu Tujuh Fuqaha Madinah.[3] 'Umar tidak membuat keputusan tanpa berdiskusi dengan Said terlebih dahulu,[9] salah satunya adalah masalah perluasan Masjid Nabawi. Khalifah Al-Walid memerintahkan perluasan masjid yang menjadikan rumah Nabi Muhammad harus turut direnovasi.[3] 'Umar membacakan keputusan ini di depan penduduk Madinah sehingga banyak dari mereka yang menangis. Berkata Said bin al-Musayyib, "Sungguh aku berharap agar rumah Rasulullah tetap dibiarkan seperti apa adanya sehingga generasi Islam yang akan datang dapat mengetahui yang sesungguhnya tata cara hidupnya yang sederhana".[10]
Dalam menjalankan tugasnya, 'Umar membentuk sebuah dewan syura (musyawarah) yang kemudian bersama-sama dengannya menjalankan pemerintahan provinsi. Mereka yang ditunjuk sebagai anggota dewan syura Madinah adalah:[11]
- Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq
- Sulaiman bin Yasar
- ‘Urwah bin az-Zubair bin 'Awwam
- Kharijah bin Zaid bin Tsabit
- ‘Ubaidallah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah
- Abu Bakar bin ‘Abdur-Rahman al-Makhzumi
- Abu Bakar bin Sulaiman bin Abi Hatsmah
- Salim bin 'Abdullah bin 'Umar bin Khattab
- ‘Abdullah bin ‘Abdullah bin ‘Umar
- ‘Abdullah bin ‘Amin bin Rabiah.
Enam nama pertama yang disebutkan termasuk Tujuh Fuqaha Madinah.
Masa di Madinah itu menjadi masa yang jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, dan keluhan-keluhan resmi ke Damaskus (ibukota kekhalifahan saat itu) berkurang dan dapat diselesaikan di Madinah. 'Umar juga cenderung longgar dalam menghadapi para ulama yang kerap melayangkan kritik terhadap pemerintahan Umayyah.[2] Dalam masalah pribadi, 'Umar bin 'Abdul 'Aziz memiliki gaya hidup yang mewah saat menjadi gubernur.[3] Segala kebijakan yang diambil menjadikan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz sebagai pejabat yang terkenal akan kesalehan dan kebijaksanaannya.
Kemasyhuran 'Umar bin 'Abdul 'Aziz menjadikan kelompok syiah dari kawasan Iraq yang dipandang sebagai penentang Umayyah mencari suaka di Madinah lantaran mendapat penindasan dari gubernur tempat mereka berasal, Al-Hajjaj bin Yusuf.[12] 'Umar melayangkan surat kepada Al-Walid mengenai perbuatan Al-Hajjaj, tapi surat itu bocor dan diketahui Al-Hajjaj. Al-Hajjaj menanggapinya dengan mengatakan pada Al-Walid melalui surat bahwa semua kebijakan yang dia ambil dibuat untuk mengamankan keadaan negara, juga kemudian berbalik menyalahkan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz lantaran dipandang terlalu lemah dalam menghadapi para penentang yang dikhawatirkan akan melemahkan pengaruh Umayyah. Sebagai catatan, Al-Hajjaj adalah tangan kanan khalifah sejak masa 'Abdul Malik bin Marwan yang berkuasa selama lebih dari dua dekade. Pengaruh Al-Hajjaj semakin menguat pada masa Al-Walid lantaran Al-Walid merasa berutang budi pada Al-Hajjaj atas dukungannya. Sesuai saran Al-Hajjaj, Al-Walid memberhentikan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz, kemudian mengangkat 'Utsman bin Hayyan sebagai Gubernur Makkah dan Khalid bin 'Abdullah sebagai Gubernur Madinah.[13]
Setelah dicopot jabatannya, 'Umar bin 'Abdul 'Aziz berada di istana Al-Walid di Damaskus.[3][14] Menurut sejarawan 'Abbasiyah Ahmad Al-Ya'qubi, 'Umar melakukan shalat jenazah pada Al-Walid saat dia mangkat pada 715.[15]
Masa Sulaiman
Sepeninggal Al-Walid, Sulaiman bin 'Abdul Malik yang merupakan adik kandungnya dinobatkan sebagai khalifah dan memimpin kekhalifahan dari Yerusalem (Al-Quds). Pada masanya, para pejabat yang berkuasa pada masa Al-Walid dilucuti satu-persatu dari jabatan mereka. Al-Hajjaj sudah meninggal tatkala Sulaiman naik takhta, tapi kerabat dan sekutunya diberhentikan dan mendapat hukuman. Di sisi lain, lawan politik mereka menempati berbagai kedudukan penting pada masa Sulaiman. Salah satu di antaranya adalah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz.
Sulaiman yang juga merupakan sepupu 'Umar sangat memberikan penghormatan padanya.[14] Bersama seorang ulama tabi'in Raja' bin Haiwah, 'Umar menjadi penasihat utama Sulaiman. Dia mendampingi Sulaiman dalam memimpin rombongan haji pada 716 dan sampai kembalinya di Yerusalem. Tampaknya dia juga mendampingi Sulaiman di Dabiq saat kekhalifahan berperang melawan Kekaisaran Romawi.[3]
Pada awalnya, Sulaiman menunjuk salah seorang putranya, Ayyub, menjadi putra mahkota, tetapi Ayyub meninggal lebih dulu pada awal 717.[16] Sulaiman yang saat itu sakit keras kemudian berencana menunjuk putranya yang lain, Dawud, sebagai putra mahkota, tetapi Raja' bin Haiwah tidak sepakat dengan alasan bahwa Dawud sedang berperang di Konstantinopel dan tidak ada kejelasan mengenai kembalinya. Raja' mengusulkan agar mengangkat 'Umar bin 'Abdul 'Aziz sebagai pewaris[3][17][18][19] sebab 'Umar dikenal sebagai salah satu tokoh yang bijaksana, cakap, dan saleh pada masa itu. Sulaiman menyepakati usulan tersebut. Namun demi menghindari perselisihan di dalam tubuh Umayyah antara pihak 'Umar bin 'Abdul 'Aziz dengan saudara-saudara Sulaiman, Sulaiman menetapkan saudaranya, Yazid, sebagai wakil putra mahkota. Hal ini bermakna bahwa setelah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz, Yazid yang akan menjadi khalifah. Raja' yang dipasrahi urusan ini segera mengumpulkan anggota Bani Umayyah di masjid dan meminta mereka bersumpah setia untuk menerima wasiat Sulaiman yang masih dirahasiakan. Setelah mereka menyatakan kepatuhan, barulah Raja' mengumumkan bahwa 'Umar bin 'Abdul 'Aziz yang akan menjadi khalifah sepeninggal Sulaiman. Saudara Sulaiman yang lain, Hisyam, menentang keputusan tersebut, tetapi kemudian diancam akan dijatuhi hukuman, sehingga Hisyam patuh.[18] Saat berada di atas mimbar, 'Umar meminta agar Hisyam yang pertama kali memberikan sumpah setia (bai'at). Hisyam kemudian maju membai'atnya, diikuti hadirin yang lain.[20]
Namun menurut sejarawan Reinhard Eisener, peran Raja' dalam masalah ini dipandang "dilebih-lebihkan". Hal ini lantaran penunjukkan 'Umar dipandang sudah sesuai tradisi. Ayah 'Umar sendiri, 'Abdul 'Aziz, sebenarnya adalah putra mahkota dari ayah Sulaiman, Khalifah 'Abdul Malik.[21] Meski begitu, 'Abdul 'Aziz tidak mewarisi takhta lantaran meninggal lebih dulu dari 'Abdul Malik,[22] sehingga setelah 'Abdul Malik mangkat, tampuk kekhalifahan dialihkan ke putra-putra 'Abdul Malik.
Sulaiman mangkat pada September 717 dan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz didaulat sebagai khalifah tanpa penentangan berarti.[3]
Khalifah
'Umar dibai'at sebagai khalifah pada hari Jum'at setelah shalat Jum'at. Berbeda saat masih menjadi gubernur, gaya hidup 'Umar menjadi sangat sederhana pada saat menjadi khalifah. Gajinya selama menjadi khalifah hanya 2 dirham perhari[23] atau 60 dirham perbulan.
Segera setelah mendengar berita kematian Khalifah Sulaiman, 'Abdul 'Aziz yang merupakan putra Khalifah Al-Walid langsung bergegas menuju Damaskus beserta pasukannya, tanpa mengetahui pihak yang menggantikan Sulaiman. Sebagai catatan, Al-Walid pernah berusaha melepas posisi Sulaiman sebagai putra mahkota untuk diserahkan kepada 'Abdul 'Aziz, tetapi Al-Walid lebih dulu meninggal sebelum keinginannya diresmikan, sehingga Sulaiman yang pada akhirnya menjadi khalifah. 'Umar menyambut 'Abdul 'Aziz dengan tangan terbuka dan menyatakan siap untuk menyerahkan kekuasaan padanya jika itu kehendaknya. Mendengar jawabannya, 'Abdul 'Aziz membalas, "Tidak ada orang selainmu yang aku harapkan mengisi kekuasaan ini."[24]
Administrasi Provinsi
Segera setelah menjadi khalifah, 'Umar merombak ulang administrasi provinsi-provinsi di kekhalifahan.[3] Dia melakukan pemekaran atas provinsi di kawasan timur kekhalifahan yang dibentuk pada masa Khalifah 'Abdul Malik bin Marwan dan Al-Hajjaj bin Yusuf.[17] Gubernur yang ditunjuk Sulaiman untuk provinsi besar ini, Yazid bin Muhallab, diberhentikan dan ditahan lantaran tidak menyetorkan harta rampasan perang dari penaklukan sebelumnya atas kawasan Thabaristan ke kas perbendaharaan negara.[17][25] 'Umar kemudian menunjuk beberapa gubernur baru untuk beberapa provinsi. Perinciannya:[25]
- Kawasan timur
- Kufah: 'Abdul Hamid bin 'Abdurrahman bin Zaid bin Khattab (masih anggota keluarga 'Umar bin Khattab)
- Basrah: 'Adi bin Arthah al-Fazari
- Khorasan: Al-Jarrah bin 'Abdullah
- Sindh: 'Amr bin Muslim al-Bahili
- Al-Jazirah (Mesopotamia Hulu): 'Umar bin Hubairah
- Kawasan barat
- Kawasan lain
- Armenia dan Azerbaijan: Abdul Aziz bin Hatim bin An-Nu'man seperti yang disebutkan Khalifah bin Khayyath dalam Tarikh Khalifah bin Khayyath. Abdul Aziz bin Hatim juga disebutkan menjabat sebagai gubernur Al-Jazirah.[26]
- Kawasan Mesir sendiri gubernur sebelumnya adalah Abdul Malik bin Rifa'ah lalu Umar menggantinya dengan Ayyub bin Syurahbil al-Ashbahi.[27]
- Jund Hims: Yazid bin Al-Hushain bin Numair As-Sakuni.[28]
- Jund al-Urdunn: Ubadah bin Nusai al-Kindi.[28]
- Jund Dimasyq: Muhammad bin Suwaid bin Kultsum al-Fihri[29] dan Adh-Dhahhak bin Abdurrahman al-Asy'ari.[28]
- Jund Qinnasrin: Al-Walid bin Hisyam al-Mu'aithi dan Hilal bin Abdul A'la.[28]
- Jund Filasthin: Nadhr bin Yarim bin Ma'dikarib bin Abrahah bin ash-Shabbah.[28]
Meski pejabat baru yang ditunjuk di kawasan timur ini dulunya pengikut Al-Hajjaj atau dari kelompok Qais, 'Umar menunjuk mereka atas dasar kecakapan, bukan lantaran mereka adalah lawan politik Khalifah Sulaiman.[25] Pilihannya untuk gubernur Al-Andalus dan Ifriqiyah berangkat dari pandangan 'Umar tentang netralitas mereka atas persaingan antara kelompok Qais dan Yamani, juga keadilan mereka terhadap pihak-pihak yang tertindas.[30] 'Umar tampak memilih orang cakap yang dapat dia kendalikan, menunjukkan niatnya untuk benar-benar melakukan pengawasan cermat atas tiap-tiap provinsi.[17] Sejarawan Wellhausen mencatat bahwa 'Umar tidak membiarkan para gubernur mengatur wilayah mereka sendiri hanya karena sudah menyetorkan pendapatan daerah ke pusat, tetapi secara aktif mengawasi administrasi para gubernurnya.[31]
Militer
Dalam urusan militer, 'Umar cenderung pasif bila dibandingkan pendahulunya, meskipun sejarawan Cobb mengaitkan sikap 'Umar dengan kekhawatiran akan menipisnya perbendaharaan negara.[3] Wellhausen menegaskan bahwa 'Umar tidak menyukai perang penaklukan, mengetahui bahwa mereka digaji bukan untuk kepentingan Allah, tetapi karena rampasan perang.[14] Segera setelah menjadi khalifah, dia memerintahkan agar pasukan Muslim yang dikomando oleh Maslamah bin 'Abdul-Malik segera ditarik dari pengepungan Konstantinopel dan mundur ke Malatya di kawasan Anatolia Timur/Armenia Barat. Terlepas dari penarikan tersebut, 'Umar terus melakukan serangan musim panas tahunan pada perbatasan Romawi, sebagai bagian dari kewajiban jihad. 'Umar tetap berada di Syria utara, sering kali tinggal di tanah miliknya di Khanasir, tempat dia membangun benteng.[3][32]
Pada suatu waktu pada tahun 717, 'Umar mengirim pasukan ke Azerbaijan selatan di bawah kepemimpinan Ibnu Hatim bin Nu'man al-Bahili untuk menumpas sekelompok bangsa Turki yang melakukan perusakan di kawasan tersebut. Pada 718, dia mengerahkan berturut-turut pasukan Iraq dan Syria untuk menekan pemberontakan Khawarij di Iraq, meski sebagian sumber menyatakan bahwa gerakan perlawanan ini diredam dengan diplomasi.[3] Di sepanjang perbatasan timur laut kekhalifahan, di Transoxiana, Islam sudah memiliki kedudukan mapan di beberapa kota, mencegah 'Umar untuk menarik pasukan Arab dari sana.[33] Meski demikian, dia mencegah untuk melakukan perluasan wilayah lebih jauh ke timur.[25] Pada masa kekuasaannya, pasukan Muslim yang berpusat di Al-Andalus menaklukkan kota Narbonne di kawasan Franka selatan.[34]
Pembaharuan
'Umar bin 'Abdul 'Aziz merupakan seorang ulama dan dia sendiri dikelilingi ulama-ulama besar seperti Muhammad bin Ka'ab dan Maimun bin Mihran. Dia menawarkan tunjangan kepada para guru dan mendorong pendidikan. Melalui teladan pribadinya, dia menanamkan kesalehan, ketabahan, etika bisnis, dan kejujuran moral di masyarakat. Pembaharuan yang dia lakukan termasuk memperketat larangan minum-minuman keras, melarang ketelanjangan publik, menghapus pemandian umum campur laki-laki dan perempuan, dan pemberian dispensasi zakat yang adil. Dia memerintahkan pengerjaan berbagai bangunan umum di Persia, Khorasan, dan Afrika Utara, seperti pembangunan kanal, jalan, karavanserai, dan klinik kesehatan. 'Umar juga melanjutkan program kesejahteraan dari beberapa khalifah Umayyah terakhir dan memperluasnya, termasuk program-program untuk anak yatim dan orang miskin.[35]
'Umar juga dipuji lantaran memerintahkan pengumpulan resmi hadits yang pertama kali lantaran adanya kekhawatiran akan hilangnya sebagian hadits. Mereka yang diperintahkan 'Umar melaksanakan perintah tersebut antara lain Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm dan Ibnu Syihab az-Zuhri.[36]
Beberapa pembaharuan lain yang 'Umar lakukan:[37]
- Melarang pejabat negara untuk berbisnis
- Pekerja tanpa bayaran dianggap ilegal
- Tanah penggembalaan dan cagar alam yang diperuntukkan bagi keluarga para pejabat tinggi dibagikan secara merata pada orang miskin dan tujuan budidaya.
- Mendesak semua pejabat untuk mendengarkan keluhan orang-orang dan pada setiap kesempatan, diumumkan bahwa jika ada yang melihat petugas yang memperlakukan masyarakat tidak sebagaimana mestinya, dia harus melaporkannya dan sang pelapor akan diberikan hadiah mulai dari 100 hingga 300 dirham.
Pada masa sebelumnya, Bani Umayyah terkenal akan permusuhannya terhadap ahlul bait (keluarga Nabi Muhammad) dan mengharuskan para khatib untuk melakukan celaan pada Khalifah 'Ali bin Abi Thalib pada khutbah shalat Jum'at. 'Umar bin 'Abdul 'Aziz kemudian memerintahkan agar kebiasaan itu dihapus.[38] Tanah Fadak yang dikuasai Bani Umayyah sejak masa Khalifah Marwan bin al-Hakam juga dikembalikan kepada Bani Hasyim. Sebagai catatan, tanah Fadak adalah tanah milik Nabi Muhammad di kawasan Khaibar yang berdasar perintah Nabi, hasil dari pengelolaannya diberikan kepada kalangan Bani Hasyim yang membutuhkan.
Pajak
Di masa khalifah Umayyah sebelumnya, Muslim Arab memiliki hak istimewa terkait keuangan daripada Muslim non-Arab. Mualaf dari kalangan non-Arab tetap diwajibkan membayar pajak jizyah seperti saat mereka belum masuk Islam. 'Umar kemudian menghapuskan kebijakan ini dan membebaskan semua Muslim dari pembayaran jizyah, tanpa memandang asal-usul mereka. Meski begitu, 'Umar juga membuat penjagaan agar keuangan negara tidak runtuh saat terjadi gelombang mualaf yang berakibat menyusutnya penerimaan jizyah.[39] Mualaf non-Arab tidak lagi membayar jizyah, tetapi tanah mereka menjadi tanah desa dan dikenakan kharaj atau cukai tanah.[40]
Dakwah
Mengikuti teladan Nabi Muhammad, 'Umar mengirim utusan ke Tiongkok dan Tibet dan mengajak pemimpin mereka memeluk Islam. Di masa 'Umar bin 'Abdul 'Aziz inilah Islam berakar kuat dan diterima sebagian besar masyarakat Persia dan Mesir. Saat para pejabat mengeluhkan merosotnya pendapatan dari jizyah lantaran terjadinya gelombang mualaf, 'Umar membalas bahwa dia menerima tampuk kekhalifahan untuk mengajak orang-orang masuk Islam, bukan menjadi penagih pajak. Jumlah Muslim non-Arab yang semakin besar menjadikan pusat negara bergeser yang semula dari Madinah dan Damaskus menjadi Persia dan Mesir.[35]
'Umar juga mengajak raja-raja di India untuk memeluk Islam dan menjadi bawahan khalifah. Sebagai balasan, mereka tetap mempertahankan kedudukan mereka sebagai raja. Beberapa raja menerima tawaran tersebut dan mulai mengadopsi nama Arab.[41]
Surat dari Raja Sriwijaya
Tercatat Raja Sriwijaya pernah dua kali mengirimkan surat kepada khalifah Bani Umayyah. Surat pertama dikirim kepada Mu'awiyah bin Abu Sufyan, dan yang kedua kepada 'Umar bin 'Abdul 'Aziz. Surat kedua didokumentasikan oleh Ibnu Abd Rabbih (860-940) dalam karyanya Al-Iqdul Farid. Potongan surat tersebut berbunyi:[42]
Dari Rajadiraja...; yang adalah keturunan seribu raja ... kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan yang lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.
Mangkat
Kebijakan pembaharuan yang dilakukan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz mengusik para bangsawan Umayyah karena hak istimewa mereka dihilangkan sebagai bagian dari pembaharuan yang dilakukan 'Umar. Hal ini mendorong mereka menyuap seorang budak milik 'Umar bernama Alas dengan uang sejumlah 1.000 dinar emas dan kebebasan dirinya agar mau meracuni makanan 'Umar. 'Umar yang mengetahui tindakan budaknya kemudian mengambil uang 1.000 dinar tersebut dan dimasukkan ke baitul mal, sedangkan Alas diperintahkan pergi sebagai orang merdeka.[43] Dalam perjalanannya pulang dari Damaskus ke Aleppo, atau saat berada di Khanasir, dia jatuh sakit. 'Umar mangkat antara tanggal 5 sampai 10 Februari 720 pada usia 37 tahun[44] di Dayr Sim'an di Aleppo barat laut.[45] 'Umar membeli sebidang tanah di desa dan menjadi tempat jenazahnya dikebumikan. Sisa-sisa makamnya masih terlihat, makamnya tidak diketahui secara pasti waktu pembuatannya.[46]
Sumber-sumber sejarah Muslim utamanya sepakat akan kesalehan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz dan dia dipandang sebagai seorang pemimpin Muslim teladan, menjadikannya kerap disejajarkan dengan empat khalifah rasyidah. Hal ini berseberangan dengan beberapa khalifah lain dari Bani Umayyah yang kerap dianggap sebagai perampas tak bertuhan dan zalim, sehingga mereka lebih dipandang sebagai seorang raja dan bukan khalifah sejati selayaknya 'Umar bin 'Abdul 'Aziz. Dalam pandangan sejarawan Hawting, penggambaran ini sebagian memang berangkat dari fakta-fakta sejarah serta sifat dan tindakan 'Umar, tetapi selain itu juga didasarkan atas "kebutuhan dan pandangan tradisi." Kennedy menyebut 'Umar sebagai "sosok paling membingungkan di antara penguasa Marwani". Menurut Hawting, sejarawan Jerman Julius Wellhausen menandai perubahan dalam studi Barat mengenai 'Umar yang awalnya dipandang sebagai "idealis yang tak praktis" beralih ke pandangan yang lebih modern sebagai "seorang saleh yang berusaha menyelesaikan masalah pada zamannya dengan jalan yang akan menyesuaikan kebutuhan dinastinya dan negara dengan tuntutan Islam."[39]
Seorang ulama sunni Mughal Syah Waliullah Dehlawi pada abad ke-18 menyatakan,[47] "Seorang mujaddid muncul di tiap akhir abad. Mujaddid pada abad pertama (hijriah) adalah imam ahlus-sunnah, 'Umar bin 'Abdul 'Aziz. Mujaddid abad kedua adalah imam ahlus-sunnah, Muhammad Idris Syafi'i (Imam Asy-Syafi'i). Mujaddid abad ketiga adalah imam ahlus-sunnah, Abu Hasan Asy'ari (Imam Asy'ari). Mujaddin abad keempat adalah Abu 'Abdullah Hakim Naisaburi.
Sepeninggal 'Umar bin 'Abdul 'Aziz, tampuk kekhalifahan diserahkan kepada sepupunya yang juga saudara seayah Khalifah Al-Walid dan Khalifah Sulaiman, Yazid bin 'Abdul-Malik.
Keluarga
Orangtua
Ayah — 'Abdul 'Aziz. Gubernur Mesir pada 686 sampai wafatnya pada 705. Wakil putra mahkota pada masa Khalifah Marwan. Putra mahkota pada masa Khalifah 'Abdul Malik.
- Kakek — Marwan bin al-Hakam. Khalifah yang berkuasa pada 684 – 685.
- Nenek — Laila binti Zabban. Berasal dari Bani Kalb.
Ibu — Laila. Juga kerap disebut Ummu 'Ashim.
- Kakek — 'Ashim. Ahli fiqih, perawi hadits, dan tabi'in.
- Kakek buyut — 'Umar bin Khattab. Khalifah yang berkuasa pada 634 – 644.
- Nenek buyut — Jamilah binti Tsabit. Berasal dari Bani Aus.
- Nenek — Ummu Ammarah[48]
Pasangan
- Fatimah. Putri 'Abdul Malik bin Marwan, khalifah yang berkuasa pada 685 – 705.
- Lamis binti 'Ali
- Ummu 'Utsman binti Syu'aib
Putra
- 'Abdul Malik
- 'Abdul 'Aziz
- 'Abdullah
- Ibrahim
- Ishaq
- Ya'qub
- Bakar
- Al-Walid
- Musa
- 'Ashim
- Yazid
- Zaban
- 'Abdullah
Putri
- Aminah
- Ummu Ammar
- Ummu 'Abdullah
Silsilah
al-Hakam bin Abi al-Ash | |||||||||||||||
Marwan bin al-Hakam, Khalifah Ummayah (Marwan I) | |||||||||||||||
Aminah binti 'Alqamah al-Kinaniyya | |||||||||||||||
Abdul Aziz bin Marwan | |||||||||||||||
Zabban bin al-Asbagh al-Kalbiyya | |||||||||||||||
Laila binti Zabban | |||||||||||||||
Umar bin Abdul Aziz (Umar II) | |||||||||||||||
Umar bin Khattab, Khulafaur Rasyidin (Umar I) | |||||||||||||||
Ashim bin Umar | |||||||||||||||
Jamilah binti Thabit | |||||||||||||||
Laila binti Ashim (Ummu 'Ashim) | |||||||||||||||
Rujukan
- ^ a b (Inggris) Umar II (Umayyad caliph) Diarsipkan 2016-08-04 di Wayback Machine.. Britannica Online Encyclopedia Diarsipkan 2018-01-26 di Wayback Machine..
- ^ a b c d Wellhausen 1927, hlm. 267.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r Cobb 2000, hlm. 821.
- ^ Cobb 2000, hlm. 821–822.
- ^ Kennedy 2004, hlm. 90–91.
- ^ Kennedy 2004, hlm. 92–93.
- ^ Kennedy 2004, hlm. 98.
- ^ Marsham 2022, hlm. 41.
- ^ Ibn Sa‘d tr. Bewley, 82.
- ^ Abdurrahman, Jamal (2007). Keagungan Generasi Salaf (disertai kisah-kisahnya) (dalam bahasa Indonesia). Darus Sunnah.
- ^ Hinds 1990, hlm. 133.
- ^ Kennedy 2004, hlm. 90.
- ^ Hinds 1990, hlm. 201–202.
- ^ a b c Wellhausen 1927, hlm. 268.
- ^ Biesterfeldt & Günther 2018, hlm. 1001.
- ^ Wellhausen 1927, hlm. 264.
- ^ a b c d Kennedy 2016, hlm. 106.
- ^ a b Hawting 2000, hlm. 72.
- ^ Wellhausen 1927, hlm. 265.
- ^ Powers 1990, hlm. 72–73.
- ^ Eisener 1997, hlm. 822.
- ^ Hawting 2000, hlm. 59.
- ^ (Arab) Jalaluddin Suyuthi (w. 911 H). Tarikh al-Khulafa[pranala nonaktif permanen] (Sejarah Para Khalifah).
- ^ Powers 1990, hlm. 74.
- ^ a b c d Wellhausen 1927, hlm. 269.
- ^ (Arab) Tarikh Dimasyq, Ibnu Asakir Diarsipkan 2023-02-20 di Wayback Machine.
- ^ Ibnu Asakir. "Tarikh Madinah Dimasyq - jilid 37". ar.lib.eshia.ir (dalam bahasa Arab). hlm. 16. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-12-19. Diakses tanggal 2023-12-19.
- ^ a b c d e Crone 1980, hlm. 127.
- ^ Crone 1980, hlm. 126–127.
- ^ Wellhausen 1927, hlm. 269–270.
- ^ Wellhausen 1927, hlm. 270.
- ^ Powers 1989, hlm. 75, catatan 263.
- ^ Wellhausen 1927, hlm. 268–269.
- ^ Wellhausen 1927, hlm. 269, catatan 1.
- ^ a b "Omar bin Abdul Aziz". 11 Desember 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-02-20. Diakses tanggal 2023-04-11.
- ^ "Archived copy". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-03-11. Diakses tanggal 2006-09-28.
- ^ "The Great Khalifah Umar ibn Abdul Aziz - TurnToIslam Islamic Forum & Social Network". www.turntoislam.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-29. Diakses tanggal 2023-04-11.
- ^ Najeebabadi 2000, hlm. 198.
- ^ a b Hawting 2000, hlm. 77.
- ^ Kennedy 2004, hlm. 107.
- ^ Wink 2002, hlm. 207.
- ^ Azra, Azyumardi (2004). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (dalam bahasa Indonesia). Prenada Media. hlm. 27–28.
- ^ Najeebabadi 2000, hlm. 210.
- ^ Wellhausen 1927, hlm. 311.
- ^ Cobb 2000, hlm. 822.
- ^ Kennedy 2016, hlm. 107.
- ^ Izalat al-Khafa, hlm. 77 bagian 7.
- ^ Ibnu Watiniyah. Ibu Sekuat Seribu Lelaki. Puspa Swara. hlm. 17-18. ISBN 9791479925, 9789791479929. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-26. Diakses tanggal 2023-04-11.
Daftar pustaka
- Biesterfeldt, Hinrich; Günther, Sebastian (2018). The Works of Ibn Wāḍiḥ al-Yaʿqūbī (Volume 3): An English Translation. Leiden: Brill. ISBN 978-90-04-35621-4.
- Cobb, P. M. (2000). "ʿUmar (II) b. ʿAbd al-ʿAzīz" . Dalam Bearman, P. J.; Bianquis, Th.; Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W. P. Encyclopaedia of Islam. Volume X: T–U (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 821–822. ISBN 978-90-04-11211-7.
- Crone, Patricia (1980). Slaves on Horses: The Evolution of the Islamic Polity. Cambridge and New York: Cambridge University Press. ISBN 0-521-52940-9.
- Eisener, R. (1997). "Sulaymān b. ʿAbd al-Malik". Dalam Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W. P.; Lecomte, G. Encyclopaedia of Islam. Volume IX: San–Sze (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 821–822. ISBN 978-90-04-10422-8.
- Hawting, G. R. (2000). The First Dynasty of Islam: The Umayyad Caliphate AD 661–750 (2nd Edition). London and New York: Routledge. ISBN 0-415-24072-7.
- Hinds, Martin, ed. (1990). The History of al-Ṭabarī, Volume XXIII: The Zenith of the Marwānid House: The Last Years of ʿAbd al-Malik and the Caliphate of al-Walīd, A.D. 700–715/A.H. 81–95. Seri SUNY dalam Studi Timur Dekat. Albany, New York: State University of New York Press. ISBN 978-0-88706-721-1.
- Kennedy, Hugh N. (2004). The Prophet and the Age of the Caliphates: The Islamic Near East from the 6th to the 11th Century (edisi ke-Second). Harlow, UK: Pearson Education Ltd. ISBN 0-582-40525-4.
- Kennedy, Hugh N. (2016) [2004]. The Prophet and the Age of the Caliphates: The Islamic Near East from the 6th to the 11th Century (edisi ke-Third). London and New York: Routledge. ISBN 978-1-138-78760-5.
- Najeebabadi, Akbar Shah (2000). The History Of Islam; Volume Two. Riyadh, Arab Saudi: Darussalam.
- Powers, Stephan, ed. (1989). The History of al-Ṭabarī, Volume XXIV: The Empire in Transition: The Caliphates of Sulaymān, ʿUmar, and Yazīd, A.D. 715–724/A.H. 96–105. Seri SUNY dalam Studi Timur Dekat. Albany, New York: State University of New York Press. ISBN 978-0-7914-0072-2.
- Powers, David Stephan (1990). The History of al-Tabari, Vol. XXIV., The Empire in Transition; The Caliphates of Sulayman, ‘Umar, and Yazid. New York: State University of New York Press.
- Wellhausen, Julius (1927). The Arab Kingdom and its Fall. Diterjemahkan oleh Margaret Graham Weir. Calcutta: University of Calcutta. OCLC 752790641.
- Wink, André (2002) [first published 1996], Al-Hind: The Making of the Indo-Islamic World (edisi ke-Third), Brill, ISBN 978-0391041738
Umar bin Abdul Aziz Marwani Cabang kadet Bani Umayyah Lahir: 2 November 682 Meninggal: 4 Februari 720
| ||
Jabatan Islam Sunni | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Sulaiman bin 'Abdul Malik |
Khalifah 22 September 717 – 5 Februari 720 |
Diteruskan oleh: Yazid bin 'Abdul Malik |