Musik tradisional Korea adalah jenis musik yang dimainkan oleh rakyat Korea dengan menggunakan alat-alat musik Korea, baik di Korea Utara maupun Korea Selatan.[1] Di Korea Selatan istilahnya adalah han-guk jeontong eum-ak (한국 전통 음악;韓國傳統音樂) atau guk-ak (국악;國樂), sementara di Korea Utara dinamakan minjok eum-ak (민족 음악;民主音樂).[1]

Sejarah

sunting

Musik awal rakyat Korea diketahui dimainkan sebagai bagian dari upacara dan penyembahan kepada dewa-dewa.[2][3][4] Umumnya, bukti-bukti tersebut berasal dari sumber-sumber tertulis Cina kuno.[2][3]

Karena Semenanjung Korea menjorok dari benua Asia bagian timur laut, rakyat Korea telah melakukan pertukaran yang aktif sejak lama dengan bangsa Cina, Mongol, Jepang, Siberia dan Asia Tengah yang ikut memengaruhi kesenian mereka.[3][5]

Tiga Kerajaan (57 SM-668 M)

sunting

Rakyat Korea dikenal pandai menyanyi dan menari sejak zaman kuno.[2] Catatan pertama yang merekam tentang kegemaran rakyat Korea bermusik adalah kitab sejarah Cina abad ke-3, San Guo Zhi.[2] Bangsa Cina kuno menyebut nenek moyang orang Korea dalam artikel tulisan yang berjudul "Barbarian dari Timur" atau Dong-yi.[2][4] Dalam catatan tersebut tertulis:

Setelah musim tanam selesai pada bulan ke-5, mereka selalu melakukan ritual menyembah dewa-dewa dengan membentuk kelompok, menari dan minum sampai malam tanpa istirahat. Alat musik yang mereka gunakan adalah lonceng yang dipukul seperti yang digunakan di Cina untuk menari. Pada bulan Oktober, setelah selesai panen, mereka akan mengulangi ritual yang sama. Setiap desa memberikan persembahan kepada dewa-dewa dengan petunjuk seorang pemimpin yang dinamakan cheonggun, yang dipilih oleh warga desa sendiri.

Goguryeo (37 SM-668 M)

sunting

Rakyat kerajaan Goguryeo, yang tinggal di sebelah utara Semenanjung Korea dan Manchuria, dikenal pada zaman Cina kuno akan kemahiran menyanyi dan menarinya. Bangsawan Dinasti Sui dan Tang menyukai orkes musik dan tarian Goguryeo. Alat musik yang dimainkan di Goguryeo antara lain suling yang dinamakan piri dan mandolin bersenar 5 yang dinamakan pipa yang diperkenalkan dari Asia Tengah.[3] Seorang perdana menteri bernama Wang San-ak menulis ratusan buah lagu berdasarkan permainan alat musik Cina dan menemukan kecapi petik yang dinamakan geomungo.[4] Ork

Silla (57 SM-668 M)

sunting

Di kerajaan Silla, alat musik petik bersenar 12 yang dinamakan gayageum dari Kerajaan Gaya menjadi terkenal.[3] Masyarakat Silla menikmati lagu-lagu religius bertema agama Buddha maupun sekuler.[4] Musik asli mereka dinamakan hyang-ak dan mendapat pengaruh musik Asia Tengah.[3] Seorang musisi terkenal bernama Baek Gyeol menciptakan karya lagu Banga Taryeong yang sampai sekarang masih dinyanyikan.[4]

Baekje (16 SM-660 M)

sunting

Musik dari kerajaan Baekje, negeri di sebelah barat daya Semenanjung Korea, kurang begitu dipahami. Namun diperkirakan, musiknya dipengaruhi oleh musik Cina. Berdasarkan catatan kuno, salah satu nomor musik istana yang masih dimainkan sampai saat ini, sujecheon (harfiah:"hidup abadi bagai surga") didasarkan dari musik kuno Baekje yang berjudul jeong-eup-sa atau kota Jeong-eup.[6]

Kerajaan Gaya paling dikenal akan kontribusinya terhadap penemuan alat musik petik bersenar 12.[3][4] Alat musik ini menyebar ke berbagai kerajaan lain di sekitarnya dan dikenal dengan nama kecapi gaya atau gayageum.

Silla Bersatu (668-935)

sunting

Rakyat Silla Bersatu menikmati seni suara yang dinamakan hyangga atau musik asli.[4] Hyangga ditulis berdasarkan lirik yang bernuansa Buddhisme yang berisi doa dan puji-pujian kepada Buddha.[4] Tema lainnya adalah tentang sekuler dan kehidupan sehari-hari. Hyangga mencerminkan kesenian religius dan sentimen rakyat Silla Bersatu.[4]

Dinasti Goryeo (935-1392)

sunting

Pada masa Dinasti Goryeo, musik Cina (dang-ak) dan musik upacara (Aak) berkembang pesat bersamaan dengan musik asli (hyang-ak).[4] Musik ritual ditampilkan dalam upacara keagamaan Konfusius bersama tari-tarian.[4] Berbagai jenis alat musik baru diciptakan atau diperkenalkan dari Cina.[4] Jenis alat musik yang populer adalah gayageum, geomungo dan janggo.[4]

Dinasti Joseon (1392-1910)

sunting
 
Lukisan "anak penari", karya Kim Hong-do, Dinasti Joseon.

Musik pada masa Dinasti Joseon dibagi menjadi 2 jenis, yakni musik istana (jeong-ak) dan musik rakyat (minsok-ak).[3] Rakyat kelas atas dan istana mendengarkan musik istana, yang terdiri dari musik Cina (dang-ak), musik asli Korea (hyang-ak) dan musik ritual Konfusianisme (a-ak).[3]

Periode terpenting bagi bidang musik pada masa Dinasti Joseon adalah masa pemerintahan Raja Sejong yang Agung (1418-1450).[7] Kontribusi Raja Sejong terhadap perkembangan musik Korea dianggap monumental seperti prestasinya dalam bidang politik dan ilmu pengetahuan.[7] Ia mengembangkan sebuah pipa bambu yang dinamakan yulgwan untuk menandai pola titinada musik Korea, mendesain ulang alat musik, menciptakan musik baru dan menciptakan jeongganbo, sistem notasi musik pertama di Asia Timur.[7]

Pada akhir periode Dinasti Joseon, popularitas musik istana semakin menurun, sementara itu musik rakyat dan drama tradisional seperti pansori dan changgeuk, berkembang pesat.[3][4] Musik rakyat mulai diwariskan dari generasi ke generasi.[4] Seni suara yang didasarkan dari lirik penyair terkenal seperti Kim Cheon-taek dan Kim Su-jang mulai populer di antara kaum bangsawan terpelajar.[4]

Musik religius seperti musik agama Buddha dan Shamanisme juga semakin memengaruhi genre musik rakyat Korea pada masa ini.[4] Musik agama Buddha mengalami kebangkitan, antara lain dengan populernya permainan nomor musik yeongsan hoesang, musik religius yang terinspirasi dari peristiwa khotbah Buddha di gunung Gridhrakuta di India.[3] Bentuk syair yang berasal dari zaman Dinasti Goryeo, sijo, semakin digemari.[4] Sijo adalah syair pendek yang dilantunkan bersama permainan alat musik.[4]

Korea Utara dan Korea Selatan

sunting

Karena Korea telah terbagi lebih dari setengah abad, musik tradisional yang diwariskan antara kedua negara telah menjadi cukup berbeda.[1] Musisi Korea Selatan meyakini musik harus melampaui batas politik dan mencapai kemurnian yang tidak menyampaikan pesan propaganda.[1] Musisi Korea Utara pun berpendapat bahwa musik harus melampaui politik namun untuk tujuan yang berbeda.[1] Walaupun memiliki pandangan yang hampir sama mengenai musik, tujuan dan metode yang mereka kembangkan tidak sama.[1]

Di Korea Utara, tidak ada istilah guk-ak (musik tradisional) dan jeon-tong eum-ak juga tak pernah digunakan.[1] Jenis-jenis musik tradisional yang dikenal di Korea Selatan seperti jeong-ak (musik istana), pansori (opera tradisional), musik rakyat dan sanjo (permainan musik solo) tidak dikenal di Korea Utara.[1] Jenis musik tradisional yang dipentaskan di Korea Utara hanya minyo atau nyanyian rakyat.[1] Namun, minyo di Korea Utara tidak dinyanyikan dengan gaya tradisional, melainkan dengan gaya modifikasi yang diiringi aransemen permainan alat musik tradisional yang direvisi dan musik barat.[1]

Semua alat musik tradisional kecuali alat musik perkusi telah mengalami rekonstruksi.[1] Kim Il-sung dalam "Karya-karya pilihan Kim Il-sung, Volume 4, Halaman 154" menuliskan:[1]

Dalam upaya untuk memodernisasikan musik kita, kita harus mempertimbangkan untuk memodifikasi alat musik yang tersedia. Tidaklah mungkin untuk memodernisasikan musik nasional kita dengan alat musik Korea yang kuno, atau cukup mengekspresikan etos pekerja negara kita.

Pernyataan Kim Il-sung ini merupakan awal dari modifikasi alat musik di Korea Utara.[1] Semua alat musik disesuaikan dengan skala musik barat, dan skala 7 not dimodifikasi agar mudah untuk dimainkan.[1] Orang Korea Utara menganggap suara "kasar" alat musik tradisional sebagai suara yang "kotor", sehingga mereka membersihkannya dan membuatnya jelas.[1] Mereka juga memperluas jangkauan alat musik tradisional, sehingga satu jenis alat musik dapat memainkan jenis musik yang berbeda-beda.[1]

Konsep

sunting

Konsep terpenting yang dimiliki oleh musik Korea adalah menghasilkan bentuk "rehat suara" yang sama banyaknya dengan permainan musik itu sendiri.[3][8] Maksudnya, musik Korea mementingkan jeda-jeda dalam permainan alat musiknya.[8] Hal ini berbeda dibandingkan konsep musik barat yang menerapkan permainan yang terus menerus.[8]

Falsafah permainan musik Korea disebut "lima aliran yin dan yang".[8] Dua belas not dalam satu oktaf dinamakan 6 yin dan 6 yang, yang dilambangkan oleh 12 buah bulan.[8] Terdapat 5 suara mayor, antara lain gung, sang, gak, chi dan woo yang melambangkan lima buah elemen alam (metal, kayu, air, api dan tanah), lima jenis rasa, lima jenis kebajikan dan lima buah organ tubuh vital manusia.[8]

Rakyat Korea umumnya tidak menyukai musik dengan notasi yang absolut dan pasti, sehingga cenderung fleksibel.[8] Dalam setiap permainan alat musik atau menyanyikan lagu tradisional selalu terdapat vibrasi yang dalam waktu bersamaan diperpanjang atau disembunyikan.[8]

Melodi musik Korea penuh dengan ornamentasi, terutama sebelum atau sesudah nada suara utama.[5] Setiap permainannya, selalu terdapat pola ritme pengulangan yang berfungsi memberi warna dan rasa musik.[5]

Tempo adalah hal yang sangat penting dalam membentuk alur permainan musik Korea.[3] Suara nada yang dimainkan dapat menjadi berbeda jika dimainkan dalam tempo yang bervariasi.[3][5] Dua jenis musik, musik istana dan musik rakyat memiliki ciri khas masing-masing.[5] Musik istana kaku, terkontrol dan kurang menunjukkan emosi.[5] Dibandingkan dengan musik klasik negara lain, musik klasik (istana) Korea cenderung lambat sehingga tak dapat diukur dengan metronome.[3] Contohnya, salah satu nyanyian gagok berjudul isak-daeyeob yang terdiri dari 45 kata, dinyanyikan dalam tempo waktu 10 menit.[3] Tempo moderato permainan musik Korea mengikuti sistem pernapasan manusia, sementara musik klasik barat mengikuti detak jantung.[3] Tempo musik klasik barat tiga kali lebih cepat dibanding musik Korea yang menerapkan sistem napas manusia dalam tiap menit.[3] Musik rakyat sebaliknya, bertempo ceria, sederhana, dan penuh dengan emosi dan antusiasme.[5]

Pengaruh musik Cina

sunting

Berdekatan dengan lingkup kebudayaan Cina, Korea mengadaptasi tradisi permainan musik Cina dan masih mempertahankannya sampai saat ini.[3] Musik jenis ini dianggap sebagai warisan kebudayaan penting di Korea, dikarenakan telah punah di Cina itu sendiri.[3] Penghormatan yang tinggi terhadap Cina dan kebudayaannya oleh kaum pemerintah Korea, menghasilkan struktur musik yang terdiri dari 2 jenis.[3] Musik Cina dianggap memiliki tingkat yang lebih tinggi dibanding musik asli Korea.[3] Tradisi musik Cina di Korea hanya dilestarikan oleh kaum istana, sementara rakyat memiliki gaya musiknya sendiri.[5]

Walaupun begitu, para musisi Korea selalu menyeimbangkan permainan musik Cina dan musik asli dan bahkan mengubah gaya musik Cina menjadi khas Korea.[3] Musik hiburan pesta-pesta istana Korea lebih menunjukkan pengaruh Asia Tengah dibanding Cina.[3]

Klasifikasi

sunting

Musik tradisional Korea terbagi atas 2 kategori, musik istana (gungjung-eumak;궁중음악), musik rakyat (minsok-eumak;민속음악), musik militer, musik religius, musik instrumen, dan musik vokal.

Musik istana

sunting
Cuplikan musik istana (jeong-ak) yang berjudul "yeominrak" (여민락;與民樂; "menikmati bersama rakyat").
 
Kitab musik Dinasti Joseon, Akhak kwebeom, menggambarkan alat musik genderang.

Musik istana disebut juga dengan istilah jeong-ak atau musik yang pantas.[3] Musik istana di dibagi menjadi 2 jenis sejak zaman kerajaan Silla, yakni hyang-ak dan tang-ak.[3] Hyang-ak adalah musik asli Korea dan tang-ak adalah musik Cina yang berasal dari Dinasti Tang.[3] Penyatuan Semenanjung Korea oleh Silla yang beraliansi dengan Tang pada abad ke-8, menyebabkan aliran budaya Cina masuk ke Korea.[3] Pada masa-masa berikutnya, musik Cina terus dinamakan dengan istilah tang-ak walaupun terjadi pergantian kekuasaan di negeri tersebut.[3]

Raja Sejong yang Agung dikenal sebagai pionir dalam mengembangkan musik istana Korea.[7] Setelah menetapkan titinada dasar permainan musik, ia mulai mengembangkan berbagai jenis alat musik untuk permainan musik istana.[7] Alat musik istana dikategorikan menjadi 8 jenis berdasarkan bahan pembuatannya: metal, kayu, tembikar, mineral, benang katun, bambu, labu, dan kulit.[7]

Tempo permainan musik istana lambat dan khidmat, dengan nomor musik paling lambat memiliki kurang dari 30 ketukan per menit.[5] Karena musik istana sulit diukur karena konsep musik ini diukur dengan pernapasan.[5] Musik istana Korea masih dilestarikan sampai kini di Korea, mulai dari jenis a-ak, dang-ak, dan hyang-ak.[5]

Para musisi musik istana mengenakan pakaian berwarna merah (lambang istana kerajaan) dan memainkan musik tanpa konduktor, melainkan dengan seorang pemandu musik yang menandai awal mula, jeda dan akhir permainan musik.[5]

Pada tahun 1493, Dinasti Joseon mencetak kitab musik yang dinamakan Akhak kwebeom.[5] Kitab ini mencatat musik dan tarian secara mendetail, termasuk memberikan petunjuk mempraktikkannya.[5] Rekaman akurat mengenai musik Korea dalam Akhak gwebeom mendahului pencatatan musik serupa di barat.[5] Intisari buku ini adalah musik ritual a-ak, yang dianggap sebagai musik penting untuk menjalankan ritual Konfusianisme.[5]

Musik militer

sunting
 
Chwita

Chwita adalah jenis musik militer yang dimainkan di istana ketika gerbang utama dibuka untuk menyambut kedatangan raja yang pulang dari perjalanan, juga untuk menyambut utusan asing atau pawai militer.[9] Musik chwita dimainkan dengan berbagai jenis alat musik besar dan didominasi oleh alat musik taepyeongso yang memainkan melodi utama.[9] Musik chwita dimulai dengan suara pemimpin musik yang meneriakkan "myonggeum-iha...daechwita!" dengan mengangkat tongkatnya.[9] Permainan musik chwita memiliki 5 buah repertoar: chwita-gilgunak-giltaryong-byeoljutaryong-gunak.[9]

Musik religius

sunting

Musik Konfusianisme

sunting
 
Alat musik pyeon-gyeong, Jongmyo Jerye.

Pada masa pemerintahan Raja Yejong dari Dinasti Goryeo (tahun 1105-1122), musik ritual Konfusianisme diperkenalkan dari Dinasti Song, Cina.[3] Musik ini dinamakan Taeseong-ak atau a-ak.[3] Kaisar Taizu, pendiri Dinasti Ming, menghadiahkan perangkat alat musik ritual kepada Raja Gongmin.[3] Musik ritual Konfusianisme pada masa Dinasti Joseon menjadi penting dan menggantikan Buddhisme sebagai agama negara.[3]

Musik merupakan faktor penting bagi Dinasti Joseon yang menganut Konfusianisme.[7] Dalam Konfusianisme, musik adalah sarana untuk menyempurnakan karakter manusia, memperindah masyarakat dan tradisi serta mengilhami pemerintahan yang lebih baik.[7] Musik tidak hanya menjadi menyenangkan untuk didengar, tetapi juga harus menjadi pelajaran bagi batin.[7] Musik yang buruk akan menjerumuskan masyarakat ke dalam kekacauan dan mengakibatkan kejatuhan negara.[7] Musik yang baik, ye-ak (musik ritual), ditingkatkan untuk memperbaiki lingkungan masyarakat, sementara musik yang kasar dan buruk yang dianggap akan menimbulkan kekacauan, tidak dapat diterima.[7]

Menurut Konfusius, musik yang tidak tepat akan mengakibatkan kejatuhan bagi negara.[7] Saat titinada dasar, tonggak dari semua nada, tidak disetel dengan benar, maka pada akhirnya akan menyebabkan rakyat menderita.[7] Titinada dasar yang fundamental ini dinamakan hwangjeong.[7] Raja Sejong adalah tokoh pertama yang menyadari pengaruh titinada dasar dalam musik Korea.[7] Pipa bambu yulgwan yang memproduksi titinada dasar, tidak hanya mengukur musik, tetapi berfungsi ganda sebagai standar harian untuk mengukur panjang, volume, dan berat.[7] Panjang pipa dijadikan sebagai unit standar panjang, jumlah jelai (palawija) yang muat masuk dalam pipa dianggap sebagai unit standar volume dan berat jelai adalah unit standar berat.[7] Penentuan ukuran panjang pipa yulgwan merupakan hal yang serius bagi kerajaan dan masyarakat Dinasti Joseon.[7]

Musik Buddhisme

sunting
 
Biksu memukul genderang sebelum beribadah, Haeinsa.

Dengan diperkenalkannya agama Buddha kepada masyarakat Korea pada abad ke-4, musik bernapaskan Buddhisme mulai digunakan untuk menyampaikan tujuan-tujuan religius.[10] Buddhisme dijadikan sebagai agama negara oleh Dinasti Goryeo (935-1392) dan kesenian Buddhisme berkembang pesat, tetapi rekaman tertulis hanya sedikit yang tersisa.[10] Pengaruh musik Buddhis cukup besar pada musik rakyat dan bangsawan.[10] Jenis seni suara gagok memiliki kesamaan dalam teknik menyanyi dengan mantra beompae.[10] Musik Buddhis lain, yeongsan hoesang, berkembang dengan permainan alat musik orkestra dan terdiri dari banyak versi berbeda.[10] Musik agama Buddha yang dimainkan pada saat upacara-upacara dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis, yakni yeombul, hwacheong dan beompae.[10]

  • Yeombul: merupakan jenis mantra sutra yang dilantunkan pada upacara sehari-hari oleh biksu di dalam kuil dan disebut pula anchaebi sori atau lagu dalam ruangan.[10]
  • Beompae: adalah jenis mantra bakkachaebi sori atau lagu luar ruangan yang dilantunkan pada saat upacara khusus oleh biksu-biksu khusus yang menguasai musik Buddhis.[10]
  • Hwacheong: adalah jenis mantra yang dilantunkan menggunakan bahasa Korea untuk menyebarkan ajaran Buddha dalam bahasa yang mudah dimengerti.[10]

Musik Shamanisme

sunting
 
Jeju chilmeoridang yeongdeung-gut, ritual Shamanisme (gut) yang diiringi permainan musik

Shamanisme adalah kepercayaan tertua rakyat Korea yang menggabungkan unsur-unsur ritual penyembahan dengan musik dan tarian oleh pimpinan seorang dukun (mudang atau baksu).[10] Tidak hanya struktur ritual, tetapi gaya musik dan bentuk tarian masing-masing berbeda berdasarkan daerahnya.[10] Bagian-bagian pertunjukkan musik Shamanisme terdiri syair-syair dan permainan alat musik yang biasa ditampilkan dengan tari-tarian.[10]

Pengaruh musik shamanisme terhadap musik rakyat cukup besar.[10] Beberapa lagu Shamanisme diadaptasi menjadi lagu rakyat (minyo atau sori) yang populer, seperti changbu taryeong (harfiah:"lagu dukun lelaki") dan noraetgarak (harfiah:"melodi lagu") dari Seoul.[10] Jenis kesenian rakyat lain yang diadaptasi dari musik Shamanisme adalah sinawi, sanjo dan tari salpuri.[10]

Musik-musik ritual Shamanisme (gut) memiliki keunikan di masing-masing daerah di Semenanjung Korea, yang dikategorikan menjadi musik gut dari daerah barat laut, tengah, barat daya, timur dan Pulau Jeju.[11]

Musik instrumental

sunting
 
Permainan gayageum sanjo

Permainan musik instrumental disebut dengan istilah gi-ak, yaitu permainan alat musik tradisional, variasinya adalah:

Sanjo adalah permainan musik solo yang berasal dari wilayah selatan Korea. Sanjo berasal dari musik ritual shamanisme. Tempo sanjo dimulai dari yang paling lambat sampai tercepat. Berbagai alat musik dapat dimainkan dengan sanjo seperti geomungo (geomungo sanjo), gayageum (gayageum sanjo), ajaeng (ajaeng sanjo) dan sebagainya.

Musik rakyat

sunting

Musik rakyat Korea dapat dibedakan menjadi banyak jenis, antara lain nongak (musik petani), minyo dan pansori.[2][12]

Nongak

sunting
 
Nongak

Nongak adalah permainan musik petani yang dipentaskan oleh kelompok pemusik yang terdiri dari para petani (nongaktae).[2] Permainan musik nongak diwariskan tanpa diketahui dengan jelas penciptanya.[12] Namun begitu, asal usul nongak diperkirakan telah ada sejak zaman Tiga Kerajaan dari rekaman sejarah Cina kuno.[12] Catatan mengenai nongak juga dapat ditemukan dalam Babad Dinasti Joseon (Sillok), yang dipopulerkan oleh kelompok penghibur keliling.[12]

Saat ini, permainan musik nongak (nongak nori) didasarkan untuk berbagai aktivitas, antara lain ritual desa (gut), latihan militer, aktivitas-aktivitas kerja, atau murni sebagai hiburan.[12] Nongak memiliki variasi berdasarkan daerahnya, antara lain gyeonggi nongak, jwado nongak, udo nongak, honam nongak, samcheonpo nongak, uttari nongak dan yeongnam nongak.[12] Pertunjukkan nongak dapat berlangsung selama beberapa hari, yang meliputi permainan musik di kuil desa, sumur, rumah warga, kantor desa, yang terdiri dari pawai (gil-gut), mengetuk pintu gerbang (mun-gut), dan berjalan mengelilingi tembok halaman sebuah bangunan (heolsa-gut).[12]

Empat jenis alat musik utama nongak adalah kwaenggwari (gong kecil), janggo (genderang panjang), buk (genderang besar) dan jing (gong besar).[12] Para pemain musik lain memainkan alat musik sogo (genderang kecil) dan meniup nabal (trompet).[12]

Samul nori

sunting
 
Samul nori

Samul nori adalah jenis permainan musik tradisional yang berakar dari kesenian menghibur kelompok penghibur keliling (namsadangpae) pada masa lalu.[12] Kelompok namsadang menampilkan hiburan berupa nongak, menari, dan akrobat untuk mencari penghidupan.[12] Pada tahun 1978, jenis musik nongak baru ditampilkan oleh kelompok pemusik tradisional yang terdiri dari 4 orang, dipimpin oleh Kim Duk-soo (lahir 1952).[12] Jenis musik baru ini dinamakan samul nori dan saat ini dianggap sebagai musik tradisional yang bergaya urban.[12] Sejak saat itu, kelompok samul nori bermunculan di seluruh Korea.[12]

Samul nori disebut musik urban yang dibedakan dari nongak dan permainan musik keliling.[12] Berbeda dengan nongak yang ditampilkan dengan berdiri dan menari, samul nori dimainkan dengan duduk untuk mengkonsentrasikan permainan musik secara ritmik.[12]

Musik vokal

sunting

Musik vokal (seong-ak) adalah jenis seni suara yang ditampilkan berdasarkan lirik-lirik cerita rakyat atau lagu rakyat.[butuh rujukan] Jenis musik vokal adalah jeong-ak dan minsok-ak.[butuh rujukan] Jeong-ak terbagi menjadi sijo, gasa dan gagok, sementara minsogak terbagi atas japga, minyo, pansori, musik agama Buddha dan musik Shamanisme.[butuh rujukan] Minyo dan pansori adalah jenis seni suara yang berakar dari tradisi nyanyian rakyat jelata, sementara chapga, sijo, gasa dan gagok adalah nyanyian yang berasal dari kalangan bangsawan dan istana.[8] Kedua jenis seni suara ini memiliki karakteristik yang berbeda.[8] Nyanyian rakyat jelata menerangkan kehidupan rakyat yang jujur, sementara nyanyian bangsawan menyuarakan perasaan dan emosi yang tidak sebebas nyanyian rakyat jelata.[8] Cara menyanyi kedua jenis nyanyian ini juga berbeda.[8] Lagu rakyat cenderung menyanyikan lirik dengan jangkauan nada maksimal, sementara nyanyian istana menggunakan teknik falsetto untuk mencapai jangkauan nada tinggi.[8]

Nyanyian rakyat merupakan cerminan perasaan dan kehidupan mereka yang penuh kesulitan dengan ekspresi tawa, candaan, tangisan dan bahasa kasar.[8] Pertunjukkan mereka selalu ditampilkan di lapangan terbuka.[8] Kehidupan masyarakat kelas atas dicirikan dengan batasan, hal yang dibuat-buat dan artifisial, sehingga berpengaruh pada musik mereka.[8] Mereka menampilkannya di dalam ruangan tertutup.[8]

Minyo atau sori adalah jenis nyanyian tradisional.[12] Istilah minyo berasal dari gabungan kata min (rakyat) dan yo (lagu).[12] Minyo diciptakan oleh musisi yang tidak diketahui dan telah berakar sejak lama.[12] Jenis seni suara ini dikenal sedikit mewariskan teks-teks tertulis dan bervariasi berdasarakan daerah.[12] Rakyat Korea menyanyikan minyo dalam kalimat yang sederhana untuk berbagai aktivitas seperti bekerja, hiburan dan upacara pemakaman.[12] Sebenarnya istilah minyo berasal dari bahasa Jepang pada saat penjajahan di mana gramofon diperkenalkan.[12] Musik-musik yang direkam dengan gramofon pada saat itu adalah jenis minyo baru (sin-minyo) yang ditampilkan oleh penyanyi profesional.[12]

Variasi
sunting

Minyo memiliki ragam yang bervariasi berdasarakan daerah-daerahnya di Korea.[12]

  • Namdo minyo
  • Seodo minyo
  • Gyeonggi minyo
  • Gyeongsang minyo
  • Jeju minyo

Pansori

sunting
 
Pansori.

Pansori adalah jenis seni suara tradisional Korea yang menggunakan suara alami untuk mencapai batas maksimum dengan cara unik.[8] Pansori adalah jenis musik rakyat yang diturunkan dari para penghibur sejak zaman Dinasti Joseon.[8] Lirik-lirik pansori menggambarkan emosi rakyat jelata yang jujur dan terbuka.[8] Saat dalam kondisi perasaan yang bagus, seorang penyanyi pansori dapat bernyani selama berjam-jam, tetapi jika tidak mereka hanya akan tampil satu jam saja.[3]

Arirang

sunting

Arirang adalah jenis nyanyian rakyat yang paling populer di Korea.[12] Nyanyian ini dikenal secara luas sejak perilisan film bisu tahun 1926 karya Na Un-gyu yang juga berjudul sama, Arirang.[12] Arirang pada saat itu menjadi simbol gerakan kemerdekaan melawan penjajahan Jepang.[12] Versi daerah lagu arirang beragam berdasarkan daerahnya, mulai dari Jeongseon arirang, Jindo arirang dan Miryang arirang.[12] Asal usul arirang diketahui berdasarkan cerita rakyat, tetapi penciptanya tak diketahui.[12]

Alat musik

sunting

Alat musik tradisional Korea terbuat dari berbagai bahan alam, seperti kayu dan metal.[8] Jumlah alat musik Korea yang masih digunakan sampai saat ini mencapai 65 jenis.[5] Beberapa di antaranya berasal dari Cina dan hanya digunakan pada upacara keagamaan.[5] Orang Korea menyebut alat musik petik menghasilkan "celah-celah sempit" saat dimainkan atau yang disebut oleh musisi sebagai bagian "rehat" dari suara, terutama pada saat memainkannya dalam tempo lambat secara solo.[8]

Pemain musik tradisional

sunting

Musik tradisional Korea tidak diwariskan melalui metode pencatatan musik (music scores) seperti musik barat, tetapi diturunkan dari pengajaran mulut ke mulut dan menggunakan perasaan.[13] Sejarah personal seorang musisi musik tradisional dianggap penting dan bakat yang dimilikinya dihargai.[13] Pada masa lalu musisi tradisional berada pada kelas sosial yang rendah dalam masyarakat Korea.[13] Namun, mereka menganggap itu adalah nasib mereka untuk hidup sebagai pemusik dan mewariskannya.[13] Banyak di antara mereka telah mengembangkan dan meningkatkan standar musik serta menciptakan musik-musik baru.[13]

Sejak masa Dinasti Joseon, musisi tradisional Korea dibagi atas dua kategori: musisi musik rakyat dan musisi musik istana.[13] Tradisi ini sampai kini hanya dilestarikan di Korea Selatan.[13] Musisi rakyat umumnya berasal dari keluarga dukun yang mementaskan musik dukun (mu-sok-ak) dari generasi ke generasi.[13] Kelompok warga yang berprofesi sebagai dukun melahirkan banyak musisi musik Korea yang terkenal.[13] Karya-karya musik dukun atau Shamanisme antara lain penampil musik sinawi atau musik instrumental yang diiringi tarian dukun.[13] Jenis musik ini berasal dari Korea bagian selatan.[13] Selain itu dari keluarga musisi ini lahir tradisi menyanyi opera tradisional pansori.[13] Begitu pula dengan pertunjukkan sanjo, menampilkan permainan alat musik secara solo.[13]

Musisi musik istana tidak hanya mewariskan teknik bermain musik istana kepada keturunan mereka, tetapi juga posisi sebagai pemusik istana.[13] Pada masa penjajahan Jepang (1910-1945), para musisi istana mulai mendalami seni suara gagok dan berbagai genre musik lain yang terkenal di masyarakat karena repertoarnya.[13] Sampai kini kelompok pemusik istana berkontribusi banyak terhadap perkembangan dan pelestarian musik klasik.[13]

Musisi musik rakyat

sunting

Pada masa lalu, status dukun (mudang atau baksu) dipandang rendah dalam masyakarat, tetapi pemusiknya mempunyai status lebih baik.[13] Anak-anak dari keluarga dukun selalu dilatih menyanyikan pansori.[13] Pansori dianggap sebagai bentuk musik yang paling bagus dan memiliki prospek cerah.[13] Di daerah asalnya, para musisi pansori dianggap sebagai artis terkenal dan beberapa bahkan dihargai dengan jabatan penting ketika mendapat kesempatan pentas di istana.[13] Itulah sebabnya seorang dukun yang berniat menyempurnakan keahlian bermusiknya, mempelajari pansori dengan giat.[13] Namun begitu, tidak semua keturunan dukun berbakat menyanyi pansori.[13] Mereka yang tidak memiliki keahlian pansori diajarkan keahlian lain seperti jultagi (berjalan di atas tali) atau akrobat.[13] Itulah sebabnya, keluarga dukun sangat erat kaitannya dengan kesenian dan musik tradisional rakyat Korea.[13]

Musisi musik istana

sunting

Musisi musik istana merupakan pemimpin dalam mengembangkan musik klasik Korea sampai saat ini.[13] Keluarga pemusik istana mewariskan kumpulan keahlian dan pengetahuan musik istana kepada keturunannya.[13] Sejak masa Dinasti Joseon, seleksi dan manajemen pemusik istana telah mengalami banyak perubahan.[13] Namun, para musisi yang terkenal berasal dari keluarga pemusik profesional.[13]

Musik Korea saat ini

sunting

Pada masa lalu, seseorang tidak bisa menjadi musisi tanpa lahir dari keluarga pemusik.[13] Pelajaran musik diberikan melalui pelatihan.[13] Dengan perkembangan sistem pendidikan formal, para musisi tradisional pada saat ini menerima pendidikan musik di sekolah.[13] Terdapat banyak sekolah dasar, SMP, SMA, universitas atau sekolah tinggi yang mengkhususkan pada pendidikan musik tradisional.[13] Pada saat ini banyak orang yang menjadi musisi profesional dengan belajar musik tradisional di sekolah-sekolah semacam itu.[13] Namun, bagaimanapun juga, tradisi mewariskan musik dari generasi ke generasi masih tetap dipertahankan.[13] Banyak anak-anak dari pemusik rakyat yang mendalami musik di sekolah musik tradisional yang didirikan oleh orang tua mereka dan sebagian besar menjadi musisi musik rakyat yang profesional.[13]

Pelestarian

sunting

Di awal abad ke-20, sebagian besar musik yang dipertunjukkan, ditulis atau diajarkan di Korea adalah musik tradisional, begitu pula dengan bentuk kesenian yang lain.[14] Namun, perubahan drastis mulai terjadi dengan masuknya budaya asing, khususnya genre kesenian dari barat.[14] Saat ini, sebagian besar pertunjukkan musik yang dipentaskan di Korea adalah karya musik asing.[14] Walau begitu, minat terhadap musik tradisional juga besar.[14]

Awal mula pelestarian musik tradisional sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1920-an, saat nasionalis kultural seperti Choe Nam-seon (1890-1957), Yi Neung-hwa (1865-1945), dan Song Seok-ha (1904-1948) mempromosikan kebudayaan nasional di tengah gencarnya pengaruh kebudayaan Jepang.[12]

Sebelum masa penjajahan, sistem pendidikan modern telah diperkenalkan di Korea, tetapi pada saat penjajahan dimulai, kurikulum musik belum dimasukkan.[14] Pemerintah kolonial melarang pengajaran musik Korea di sekolah-sekolah sebagai bagian dari kebijakan untuk memusnahkan kebudayaan Korea.[14] Satu-satunya jenis musik yang diajarkan pada masa penjajahan adalah genre musik barat.[14]

Korea bebas dari penjajahan Jepang di akhir Perang Dunia II, tetapi musik tradisional telah terlupakan.[14] Sekolah-sekolah pada saat itu hanya berfokus pada musik klasik barat dan musisi Korea hanya menghasilkan gaya musik barat.[14] Setelah merdeka, pemerintah Korea Selatan melakukan upaya pelestarian terhadap musik tradisional dengan mengakui lagu-lagu rakyat dari berbagai propinsi sebagai aset budaya nasional pada tahun 1960-an.[14] Lalu, kemajuan pesat di bidang ekonomi pada tahun 1980-an ikut mengukuhkan keberadaan musik tradisional.[14] Berbagai universitas di Korea mulai menampilkan musik rakyat dan kelompok musik tradisional.[14] Pada tahun 1990-an, media mulai tertarik untuk merilis seri musik tradisional khas daerah, seperti MBC yang mengeluarkan karya musik rakyat Jeju dan Jeolla Selatan dalam bentuk CD.[14] Pada tahun 1993, film musikal klasik berjudul Seopyeonje menjadi box-office yang ditonton lebih dari 10 juta orang, membuat masyarakat Korea terkesan sehingga tren musik tradisional kembali mendapat tempat.[14]

Manuskrip dan rekaman

sunting

Sejumlah besar volume penelitian yang diproduksi oleh para musisi Korea sejak tahun 1954, didasarkan pada studi mengenai dokumen dan manuskrip musik kuno serta pada genre musik aktual seperti musik rakyat dan pansori.[15] Karena alasan ini, reproduksi manuskrip musik produksi rekaman audio menjadi sangat penting bagi studi musik Korea.[15]

Galeri

sunting

Lihat juga

sunting

Pranala luar

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p (Inggris) Hwang Byung-ki (1994). "Music in North and South Korea" (PDF). Koreana: 10–13. Diakses tanggal 25 Juni 2010.  [pranala nonaktif permanen]
  2. ^ a b c d e f g (Inggris) Wolfgang Brude (1989). "The Korean People's Attitude to Music" (PDF). Koreana: 48–51. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 23 Juni 2010. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah (Inggris) Han Myong-hee (1994). "What Makes Korean Music Different?: A Study of Its Roots and Branches" (PDF). Koreana: 6–9. Diakses tanggal 25 Juni 2010.  [pranala nonaktif permanen]
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s (Inggris) Nahm. Ph. D, Andrew (2009). A Panorama of 5000 Years: Korean History. Hollym International Corp, Elizabeth, New Jersey. hlm. 22, 37, 46, 57–58, 68–70. ISBN 0-930878-68-X. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r (Inggris)Korean Music Diarsipkan 2005-03-27 di Wayback Machine., worldmusiccentre. Diakses pada 28 Juni 2010.
  6. ^ (Indonesia)Bulan bersemayam tinggi, Sujecheon, Jeongeupsa Diarsipkan 2017-03-22 di Wayback Machine., world.kbs.co.kr. 22-03-2017
  7. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r (Inggris) Han Myung-hee (1997). "King Sejong's Musical Achievements" (PDF). Koreana: 30–35. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-03-05. Diakses tanggal 25 Juni 2010. 
  8. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v (Inggris) Han Myung-hee (1993). "Musical Instruments: Conveying the Korean Spirit through Nature" (PDF). Koreana: 38–43. Diakses tanggal 23 Juni 2010. 
  9. ^ a b c d (Inggris)Classical Music Pieces, angelfire. Diakses pada 12 Oktober 2010.
  10. ^ a b c d e f g h i j k l m n o (Inggris)Shamanist Music and Buddhist Music[pranala nonaktif permanen], ncktpa.go.kr. Diakses pada 28 Juni 2010.
  11. ^ Religious Music : Shamanism (PDF). hlm. 159–170. Diakses tanggal 2010-06-16. [pranala nonaktif permanen]
  12. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad (Inggris) Keith Howard (1994). "Korean Folk Songs & Folks Bands" (PDF). Koreana: 19–23. Diakses tanggal 25 Juni 2010.  [pranala nonaktif permanen]
  13. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai (Inggris) Choi Chong-min (1994). "What kind of People Become Traditional Musicians?" (PDF). Koreana. 8: 14–18. Diakses tanggal 29 Juni 2010.  [pranala nonaktif permanen]
  14. ^ a b c d e f g h i j k l m n (Inggris) Lee Bo-hyung (1994). "Tuning in Korean Music: The Year of Traditional Korean Music" (PDF). Koreana. 8: 78–81. Diakses tanggal 1 Juli 2010.  [pranala nonaktif permanen]
  15. ^ a b (Inggris) Song Bang-song (1995). "Korean Music Since Liberation: History and Source Materials" (PDF). Koreana. 9 (4): 42–47. Diakses tanggal 1 Juli 2010.  [pranala nonaktif permanen]