Pengguna:Okkisafire/Bak pasir
Artikel ini merupakan kajian Intoleransi keberagamaan yang terjadi di Indonesia dari sudut pandang akademis dan sejarah serta berlandaskan referensi yang faktual. Artikel ini bukan mengenai intoleransi ideologi yang menyangkut iman dan kepercayaan yang dianut dalam agama atau kepercayaan tertentu.
Latar belakang
Intoleransi keberagamaan yang terjadi di Indonesia tidak lepas dari peristiwa politik yang telah terjadi selama berabad-abad, semenjak masa menjelang keruntuhan Majapahit sekitar abad ke-14 M hingga pergolakan politik di awal kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik politik dan kepentingan terjadi antara pemeluk agama Siwa-Buddha dengan pemeluk agama Islam yang relatif masih baru masuk ke wilayah Nusantara; antara pemeluk agama Islam dengan pemeluk agama Kristen yang masuk pada masa Kolonial Belanda; dan antar pemeluk agama Islam sendiri yang dibedakan menjadi Islam Putihan dan Islam Abangan.
Pada masa-masa kerajaan di Jawa (abad ke-7 hingga 10 M), agama Hindu dan agama Buddha hidup berdampingan meskipun terpisah satu sama lain.[1] Ricklefs (1985) berpendapat bahwa intoleransi keberagamaan tidak ada dalam pola berpikir masyarakat Jawa.[2] Penyatuan kedua agama hanya tampak pada isi Prasasti Kelurak (782 M) yang bercorak Buddha Mahayana.[note 1] Penyatuan kedua tampak pada akhir masa Kerajaan Singhasari, yaitu bahwa Raja Kertanegara dicandikan dalam wujud Siwa dan Buddha. Pada abad ke-14, penyatuan Siwa-Buddha semakin jelas dalam Kakawin Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular.[1][3][note 2]
Agama Islam masuk ke Jawa pada abad ke-13 M. Agama baru ini menimbulkan pergesekan antar lapisan masyarakat yang diwarnai oleh nuasa politik.[2] Konflik peralihan kekuasaan dan dominasi agama menyebabkan terjadinya pengungsian pemeluk agama lama ke tempat-tempat terpencil dengan tujuan menjaga warisan leluhur dari revolusi sosio-religi yang tengah terjadi. Misalnya pengungsian para bangsawan dan pandita ke Pulau Bali,[4] Ki Ageng Tunggul Wulung ke Dusun Beji di sebelah timur Sungai Progo,[5] Pangeran Singonegoro yang menyepi ke Umbul Jumprit,[6] pengungsian Suku Tengger,[4] dan sebagainya.
Kedatangan Portugis pada abad ke-16 M ke Maluku membawa serta agama Katolik untuk diperkenalkan pada penduduk Kesultanan Ternate yang beragama Islam. Namun, terjadi bentrok akibat kepentingan politik yang berakhir dengan pengusiran Portugis, yang digantikan datangnya pasukan Kerajaan Spanyol. Kesultanan Ternate kemudian meminta bantuan Bangsa Belanda yang membawa Kristen, sehingga juga terjadi pergesekan antara agama Katolik dan Kristen.[2] Puncak penyebaran agama Kristen di Pulau Jawa terjadi pada abad ke-19 M dengan misionaris-misionaris yang tidak hanya berasal dari Belanda, melainkan juga misionari pribumi seperti Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dan Kiai Sadrach. Penyebaran agama Kristen di Tanah Batak sempat memperoleh perlawanan dari Sisingamangaraja XII sebagai perwakilan Parmalim yang menyerukan pengusiran para zending Kristen disertai pengrusakan dan pembakaran. Namun, hal tersebut menjadi alasan pasukan Belanda untuk menaklukkan Batak.[7]
Aktivitas misionaris Katolik dan Kristen dipandang membahayakan kehidupan beragama masyarakat yang saat itu mayoritas sudah beragama Islam. Muhammadiyah dan Persis melihat adanya upaya pengkristenan dan pengatolikan yang dilakukan para misionaris,[note 3] sementara NU dengan kacamata yang lebih luas melihat bahwa Muhammadiyah juga melakukan dakwah dan misionaris.[8][note 4] Gesekan antara Islam dan misionaris Kristen terus berlangsung hingga awal masa kemerdekaan Indonesia. Masing-masing pihak menerbitkan buku-buku apologetik yang antara lain berjudul "Islam Menentang Kraemer" (1925), "Tuhan Yesus Dalam Agama Islam" (1957), dan "Isa Dalam Qur’an Muhammad Dalam Bible" (1959). Bahkan, di tahun 1964 beredar paflet berjudul "Memahami Kegiatan Nasrani" yang memuat rencana kristenisasi dan katolikisasi di Jawa dalam kurun waktu 20 tahun. Isi pamflet tersebut ditolak dan dianggap tidak otentik oleh pihak Kristen dan Katolik.[8][9][note 5]
Diskriminasi yang dialami umat muslim membuat organisasi-organisasi Islam (1930-1940an) membentuk koalisi seperti Madjelis Islam A'la Indonesia (MIAI) dan Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masyumi).[8]
Islam putihan dan Islam abangan
Pergesekan antara Islam putihan dan abangan sudah ada semenjak periode dakwah Walisongo. Golongan putihan adalah para wali yang berdakwah di daerah pesisir dengan pusat di Giri, yaitu Sunan Giri, Sunan Ampel, dan Sunan Drajat. Golongan abangan berdakwah di pedalaman dengan pusat di Gunung Muria, yaitu Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Golongan putihan berdakwah dengan menegakkan syariat dan menolak budaya setempat, sementara golongan abangan menggunakan budaya lokal dalam berdakwah, selama budaya tersebut tidak terlampau bertentangan dengan nilai-nilai Islam.[10]
Golongan putihan atau santri memiliki orientasi politik karena memiliki kedekatan dengan keraton, sementara golongan abangan berorientasi pada dakwah yang merakyat. Terdapat golongan ketiga yang disebut golongan priayi yang lebih condong terhadap pemikiran abangan tetapi merasa memiliki derajat yang lebih tinggi. Para priayi berupaya mengarahkan perkembangan teosofi Islam ke arah "Jawanisasi Islam" melalui berbagai literatur seperti serat, suluk, primbon, dan wirid.[11] Polemik antara pihak keraton dan pesantren memuncak setelah kekalahan Pangeran Diponegoro yang memiliki cita-cita mendirikan negara Islam di Jawa. Setelah berakhirnya perang Padri dan perang Jawa, hubungan kaum ulama dan pihak keraton semakin menjauh. Meskipun demikian, status desa perdikan yang disahkan oleh pemerintahan kolonial setelahnya, serta pemberlakuan Cultuurstelsel pada tahun 1830, memungkinkan kelompok minoritas seperti guru-guru agama memiliki tanah yang luas dan menjadi independen sehingga diperkirakan menjadi penyebab utama islamisasi di Jawa secara berkelanjutan. Selain itu, pembangunan jaringan jalan memungkinkan lebih banyak kaum intelektual muslim dari Arab untuk datang atau intelektual lokal untuk belajar ke luar Jawa. Misalnya Ahmad Rifa'i (1786-1875) yang belajar ke Mekkah dan membawa pulang Mazhab Syafi'i.[12]
Antara paska-Perang Diponegoro (1830an) dan reformasi Islam (1870an), juga lahir beberapa karya sastra yang disebut sebagai "anti-islam" seperti Babad Kediri, Suluk Gatoloco, dan Serat Darmagandhul yang diperkirakan ditulis oleh kalangan priayi yang tidak puas terhadap aktivitas islamisasi di Pulau Jawa, atau menurut Phillipus van Akkeren adalah reaksi terhadap kegagalan politik Islami Pangeran Diponegoro.[note 6] Hal ini berujung pada pelarangan publikasi Suluk Gatholoco berdasarkan UU No 4/PNPS/1963 karena isinya anti-Islam dan porno. Di lain pihak, beberapa kalangan menganggap isi suluk sebenarnya bukan anti-Islam melainkan sebagai pengingat karena pada masa tersebut banyak orang yang mengaggungkan Syariat Islam.[note 7][13]
Pergesekan cara pandang golongan putihan dan abangan masih terjadi hingga masa sekarang. Selepas periode Reformasi, gerakan Islam militan seperti Front Pembela Islam, Hizbut Tahrir Indonesia, Laskar Jihad, dan Jamaah Islamiyah semakin aktif dalam menuntut penerapan syariah bahkan menggelar aksi kekerasan di ruang publik. Hal tersebut menjadi perhatian Nahdlatul Ulama, yang sekalipun tergolong Islam putihan, akhirnya mengemukakan istilah Islam Nusantara yang sesuai dengan budaya Indonesia.[14] Meskipun memperoleh dukungan dari presiden ke-7 Indonesia, banyak pihak yang menolak pelabelan "Nusantara" terhadap Islam. Azhar Ibrahim dari Universitas Nasional Singapura memandang Islam Nusantara bisa menjadi teladan bagi negara-negara muslim lain yang sebagian besar mengalami konflik.[15] Islam Nusantara yang memiliki ciri khas Islam Indonesia diklaim mengedepankan nilai-nilai toleransi yang bertolak belakang dengan Islam Arab.[16][17][note 8]
Masa awal kemerdekaan
Menjelang kemerdekaan Indonesia, elit politik di Indonesia terbagi menjadi kelompok yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam dan kelompok nasionalis (terdiri atas Islam sekuler, komunis, dan Kristiani). Pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan pidato Lahirnya Pancasila yang ditindaklanjuti dengan dibentuknya Panitia Sembilan untuk merumuskan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Terjadi perdebatan antara kelompok Nasionalis dan kelompok Islam mengenai sila pertama[note 9] sehingga dibentuk Panitia 94. Akhirnya, tanggal 22 Juni 1945 diperoleh persetujuan berupa Piagam Jakarta yang memenangkan kelompok Islam. Hal tersebut tidak mengakhiri keberatan-keberatan yang diajukan oleh kelompok Kristen (seperti Johannes Latuharhary), kelompok Islam berpendidikan Barat (seperti Hussein Jayadiningrat), dan kelompok abangan/Kejawen (seperti Wongsonegoro), tetapi baru pada tanggal 18 Agustus 1945 ketujuh kata pada Piagam Jakarta dihilangkan akibat tuntutan Umat Kristen di Indonesia Timur.[note 10] Hal tersebut menjadi salah satu titik ketegangan hubungan antara Islam dan Kristen. Hal tersebut juga menyebabkan timbulnya pemberontakan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (1949) yang memproklamasikan Negara Islam Indonesia, dan memperoleh dukungan dari Abdul Kahar Muzakkar dan Daud Beureu'eh.[9] Permasalahan ini juga kembali diangkat oleh Front Pembela Islam melalui Muhammad Rizieq Shihab (1 Juni 2016) yang menuntut Pemerintah Indonesia "kembali pada Pancasila dan UUD 1945 yang asli dan dijiwai Piagam Jakarta".[18][19]
Pada masa demokrasi liberal tahun 1950an, Muhammadiyah melalui Masyumi berupa menjalin kerja sama dengan kelompok Islam tradisional dan Nasrani. Namun, insiden tahun 1952 merupakan titik kritis perpecahan kelompok Islam modern dan tradisional. Sementara itu, Persis menepatkan diri di tengah-tengah konflik antara Islam-Nasrani, Islam-PKI, dan Islam tradisional-reformis. Setelah perpecahan di tahun 1952, NU mengambil sikap oposisi terhadap Masyumi sementara masih bersikap kerja sama dengan Nasrani dan komunis. Persis beranggapan bahwa universitas-universitas Islam di Indonesia masih terlalu liberal sehingga mereka mengirim siswa ke Mesir, Libya, Saudi Arabia, dan Pakistan serta bergabung dalam gerakan muslim global dalam melawan kristenisasi.[8]
Setelah Pemilu 1955, Konstituante dibentuk untuk menghasilkan UUD baru yang menggantikan UUDS 1950, keinginan pembentukan negara Islam kembali mencuat. Hal tersebut menyebabkan Konstituante gagal dalam tugasnya sehingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan kembalinya UUD 1945 sebagai konstitusi negara.[9]
Jatuhnya komunis di Indonesia menyebabkan konflik Islam-Kristiani semakin memanas, yang beberapa kali meletus menjadi konflik terbuka.[2] Alwi Shihab memperkirakan sekitar dua juta umat muslim abangan berpindah agama ke Kristen dan Katolik untuk menghindari pembataian masal terhadap orang komunis.[2] Pertambahan umat Nasrani tersebut dianggap sebagai proses kristenisasi.[20] Pada tahun 1967, pergesekan terjadi akibat sebuah gereja dibangun di Meulaboh yang masyarakatnya tidak ada yang beragama Nasrani. Hingga tahun 1970an, akibat aktivitas misionaris Katolik dalam bentuk pendidikan dan kesehatan, Suara Muhammadiyah banyak memberikan kritik dan serangan terhadap Katolik, antara lain mengenai praktik selibat yang dilakukan oleh rohaniwan Katolik (September 1971), diskriminasi yang dilakukan umat Katolik di Filipina (Oktober 1971), dan proses kristenisasi di Indonesia (1974). Muhammadiyah, Persis, dan Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII) menjalin hubungan dengan organisasi internasional seperti Organisasi Konferensi Islam dan Rabit'at al-Alam al-Islami, untuk menghambat bahaya kristenisasi.[2][8]
Peristiwa
Orde Lama (1945–1965)
Tahun | Lokasi | Konflik | Dampak |
---|---|---|---|
1955-1964 | Jawa Barat, Aceh, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan |
Pemberontakan Darul Islam (Negara Islam Indonesia) antara tahun 1942-1962 (hingga 1965 di Sulawesi Selatan) dengan tujuan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. | 1. Dua gereja dirusak (1955-1964).[21] 2. Islam radikal dipandang sebagai ekstrim kanan.[9] 3. Salah satu faktor munculnya GAM (1976) oleh menteri LN NII.[22] 4. Munculnya gerakan bawah tanah separatis Islam hingga Orde Reformasi.[23] |
1948 | Surakarta, Madiun |
Pemberontakan PKI 1948 merupakan pergerakan politik tetapi memiliki dampak penyerangan dan pembunuhan terhadap kaum santri (Masyumi) yang selanjutnya terjadi aksi balas dendam terhadap kaum abangan di Surakarta.[9][24][25] | 1. Permusuhan masyumi terhadap PKI[26] 2. PKI dipandang sebagai ekstrim (pemberontak) kiri[24] |
1952 | Indonesia | Pertambahan jumlah aliran kepercayaan baru menurut data Departemen Agama (1951-1965) mengalami pengingkatan yang sangat pesat[9][27] sehingga dikhawatirkan akan berdampak pada kesesatan. Pada tahun 1952, Departemen Agama mengajukan definisi minimum tentang agama yaitu: "ada nabi, memiliki kitab suci, dan ada pengakuan internasional". Hal ini berdampak aliran-aliran kepercayaan tidak diakui sebagai agama.[28] | Usulan Depag dicabut karena memperoleh oposisi dari Hindu Bali.[28] |
1961 | Indonesia | Untuk menghindari disintergrasi akibatnya banyaknya aliran agama baru, Departemen agama mengajukan bahwa agama harus mempunyai kitab suci, nabi, kekuasaan mutlak Tuhan Yang Maha Esa, dan suatu sistem hukum bagi para penganutnya.[9] Dari berbagai aliran agama yang ada, hanya enam agama yang berhasil memenuhi kriteria tersebut, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, dan ditegaskan kembali dalam Penetapan Presiden No. 1/Pnps/1965.[28][29] | Perlindungan terhadap 6 agama resmi tetapi agama-agama asli Nusantara tidak memperoleh pengakuan sebagai agama di Indonesia.[30][31] |
Orde Baru (1966–1998)
Selama Orde Baru, agama menjadi alat kontrol stabilitas politik. Jumlah tempat ibadah yang dibangun sangat banyak, tetapi jumlah kasus penutupan, pengrusakan, dan pembakaran rumah ibadah juga meningkat pesat. Pada tahun 1945-1964 tecatat 2 gereja mengalami pengrusakan, sementara periode tahun 1955-1999 meningkat menjadi 55 buah masjid dan 609 gereja (lebih dari 50% terjadi selama tahun 1995-1999).[21] Berbagai penyelesaian konflik dilakukan secara tertutup dan diakhiri dengan kompromi tanpa proses hukum. Menurut Pdt. Weinata Sairin (2002), kasus pengrusakan gereja yang diselesaikan secara hukum terjadi pada kasus pembakaran GKJ Batang (1995).[19]
Pada periode ini, konflik antara Islam dan Kristen terus terjadi.[30] Untuk menyelesaikan konflik, musyawarah antar-agama pertama kali diprakarsai oleh Menag Muhammad Dahlan di Jakarta pada tanggal 30 November 1967.[32] Musyawarah ini gagal perwakilan Kristen memprotes masalah pembatasan dakwah sementara perwakilan Islam menolak dialog dengan perwakilan Kristen.[30] Namun akhirnya, pada periode Mukti Ali sebagai Menag (1971-1978), dialog antar-agama berhasil dijembatani,[32][33] meskipun masalah kristenisasi berulang kali diangkat kembali dalam berbagai aspek politik dan sosial.[30]
Disamping konflik antara Islam dan Kristen, peran pemerintah Orde Baru dalam menekan ekstrimis kanan melalui tangan militer juga membawa korban dan intoleransi pada pihak Islam. Selain itu, pergesekan antara kelompok Islam koservatif dan Islam moderat juga terjadi dan saling menjatuhkan,[34] misalnya penggusuran masjid milik minoritas Muhammadiyah (1993) yang dianggap melakukan dakwah di Lamongan.[35]
Tahun | Lokasi | Konflik | Dampak |
---|---|---|---|
1967 | Meulaboh | Peristiwa Meulaboh (1967) terjadi pada bulan April, sebuah Gereja Metodis dirusak dengan alasan dibangun pada wilayah yang mayoritas penduduknya adalah muslim.[30] | 1. Lokasi gereja dipindah.[30] 2. Salah satu pemicu diterbitkannya SKB Menag-Mendagri No. 1/Ber/MDN-MAG/1969.[36] |
Makassar | Peristiwa Makassar (1967) pada tanggal 1 Oktober terjadi akibat seorang guru menghina Nabi Muhammad sehingga para pemuda muslim merusak 9 gereja Protestan, 4 gereja Katolik, 1 biara suster, 1 Perguruan Teologika, 2 sekolah Katolik, 1 kantor PMKRI, dan melukai beberapa orang.[20] | 1. Diadakan Musyawarah Antar Umat Beragama (30 November 1967).[20] 2. Salah satu pemicu diterbitkannya SKB Menag-Mendagri No. 1/Ber/MDN-MAG/1969.[36] | |
Indonesia | Berdasarkan anjuran Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) yang diketuai oleh Kristoforus Sindhunata, pada tanggal 6 Desember diterbitkan Instruksi Presiden No 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Hal tersebut menyebabkan kebebasan beribadah umat Konghucu menjadi sangat terbatasi.[37][38] Peraturan ini diikuti peraturan-peraturan diskriminatif lain seperti Instruksi Mendagri No 455.2-360 (1968) tentang Penataan Kelenteng-Kelenteng di Indonesia yang menyebabkan kelenteng banyak yang terbengkalai karena renovasi bangunan harus memiliki izin dari pemerintah. Selain itu juga diterbitkan SE Mendagri No.477/1978 yang tidak mengakui Khonghucu sebagai agama resmi.[39][40] | Intoleransi terjadi sampai tahun 2000 dengan diterbitkannya Keppres No.6/2000 tentang Pencabutan Inpres No 14/1967 (17 Januari 2000) dan Kepres No.19/2002 tentang Ditetapkannya Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Nasional (9 April 2003). | |
1969 | Slipi | Pada bulan April, pengrusakan gedung gereja terjadi dengan alasan tidak mempunyai IMB.[20] Alasan penolakan adalah bahwa sudah terdapat 5 bangunan gereja di Slipi.[30] | Salah satu pemicu diterbitkannya SKB Menag-Mendagri No. 1/Ber/MDN-MAG/1969.[36] |
Bukittinggi | Penolakan pembangunan RS Baptis pada bulan Desember 1969 karena dibangun di pemukiman muslim sehingga dianggap sebagai upaya kristenisasi.[20] Ketua MUI Buya Hamka menyatakan protesnya pada Presiden Soeharto pada tahun 1975 dan menyarankan pemerintah untuk mengambil alih rumah sakit tersebut. | Tanggal 23 Desember 1985, RS Baptis diserahkan kepada Mendagri dan menjadi Rumah Sakit Umum Pusat Bukittingi.[41] | |
1984 | Tanjung Priok | Peristiwa Tanjung Priok yang mengakibatkan sejumlah korban (36 orang luka dan 23 orang tewas) terjadi pada tanggal 8-12 September 1984.[42]Meskipun dikategorikan sebagai pelanggaran HAM, peristiwa ini diduga merupakan upaya pemerintah Orde Baru untuk menekan pertumbuhan ekstrimis Islam.[34] | Peristiwa ini dianggap masih belum diselesaikan dengan tuntas.[42] |
1985 | Magelang | Pada tanggal 21 Januari 1985, Candi Borobudur dibom oleh Islam ekstrimis. | |
1989 | Lampung | Peristiwa Talangsari 7 Februari 1989 merupakan salah satu upaya militer pemerintah Orde Baru untuk menekan gerakan ekstrimis Jamaah Islamiyah.[34] | |
1990 | Indonesia | Pada tanggal 15 Oktober 1990, tabloid Monitor menampilkan hasil angket tokoh-tokoh yang dikagumi pembaca. Angket tersebut menempatkan Nabi Muhammad pada urutan ke-11 (di bawah peringkat pemimpin redaksi tabloid). Hal tersebut memperoleh reaksi keras dari tokoh-tokoh Islam. Gus Dur menilai adanya kelompok-kelompok tertentu, termasuk yang tergabung dalam ICMI yang berusaha memanipulasi isu agama demi kepentingan mereka. Sebagian tokoh Islam menduga angket ini merupakan konspirasi pihak Katolik (dan Kristen) dalam mendiskreditkan Islam.[20] | Arswendo Atmowiloto menyampaikan permintaan maaf dan dihukum penjara 4 tahun 6 bulan semenjak 25 Oktober 1990.[43] |
1995 | Larantuka | Pada tanggal 11 Juni, jemaat Katolik mengeroyok seorang pendatang bernama Taman yang beragama Kristen karena meremat hosti hingga hancur, yang berakibat terjadinya kerusuhan. Kerusuhan terjadi karena penodaan hosti telah terjadi secara berulang di kawasan tersebut.[44] | Para perusuh ditangkap dan diadili.[44] |
Timor Timur | Kerusukan terjadi pada tanggal 2-5 September oleh massa Katolik yang digerakkan isu pelecehan agama oleh sipir penjara bernama Sanusi Abubakar. Kerusuhan menyebabkan pembakaran Pasar Comoro yang didominasi pendatang muslim, pengrusakan masjid Al-Ihwan, dan pengrusakan Kompleks Yayasan Kesejahteraan Islam Nasrullah (Yakin) di Dili, meliputi panti asuhan dan taman kanak-kanak, yang dianggap melakukan proses islamisasi penduduk Timor-Timur. Rombongan Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) melaporkan kasus tersebut ke Komnas HAM sementara Amien Rais menduga kerusuhan tersebut ditunggangi kepentingan politik.[45] | ||
Purwakarta | Tanggal 31 Oktober - 2 November terjadi kerusuhan akibat seorang siswi Tsanawiyah bernama Lia Yulianawati dituduh mencuri coklat pada sebuah toko serba ada.[46] Rumor yang beredar menyebutkan siswi tersebut ditampar oleh karyawan toko atau dipaksa mengepel menggunakan jilbabnya.[47] | ||
Pekalongan | Tanggal 24 November terjadi kerusuhan akibat seorang penderita skizofrenia bernama Yoe Sing Yung, yang sempat dirawat di Rumah Sakit Jiwa Pusat Magelang selama 4 tahun, merobek al-Quran. Kerusuhan terjadi akibat muncul isu-isu simpang siur yang beredar diantara para santri.[46] | ||
1996 | Situbondo | Kerusuhan Situbondo terjadi karena Saleh yang beragama Islam dilaporkan oleh KH Achmad Zaini dengan tuduhan menghina agama Islam (12 September). Sidang tanggal 10 Oktober diwarnai kerusuhan dan ada isu bahwa Saleh disembunyikan di Gereja Bukit Sion. Kerusuhan menyebabkan kerusakan, pembakaran, dan perampokan 24 gereja, beberapa sekolah Kristen dan Katolik, satu panti asuhan Kristen, satu kelenteng, dan toko-toko yang milik keturunan Tionghoa di lima kecamatan.[47] Kerusuhan juga menyebabkan korban jiwa sebanyak 5 orang yang tewas terbakar. | 120 orang pelaku kerusuhan ditangkap dan diseleksi menjadi 46 orang, 11 diantaranya adalah pelajar Yayasan Ibrahimi, selain sejumlah santri pondok Wali Songo. |
Tasikmalaya | Kerusuhan menyebabkan kerusakan 83 toko, 4 pabrik, dan 4 gereja pada tanggal 26 Desember.[47] Selain itu, korban meninggal berjumlah 2 orang. Kerusuhan dipicu oleh perlakuan sewenang-wenang oknum-oknum polisi terhadap pengasuh pesantren Riadulum wal Dakwah.[48] | Empat orang organisasi mahasiswa Islam dijadikan terdakwa dan dijatuhi hukuman.[48] | |
1997 | Rengasdengklok | Kerusukan Rengasdengklok (30 Januari) terjadi akibat tindakan intoleran sebuah keluarga etnis China yang merasa terganggu akibat para pemuda membangunkan warga untuk sahur dengan memukul bedug di Musala Miftahul Jannah. Kerusuhan menyebabkan pengrusakan dan pembakaran 77 rumah, 73 toko, 4 gereja, 2 vihara, 4 pabrik, 2 bank, dan 1 sekolah. Kerusuhan juga disebabkan keresahan warga muslim karena banyak rumah penduduk yang berubah fungsi menjadi tempat ibadah non-masjid.[49] | |
Banjarmasin | Pada tanggal 23 Mei terjadi Kerusuhan Banjarmasin atau Jumat Kelabu. Kerusuhan yang awalnya dipicu kampanye Golkar dengan jemaah sholat jumat yang mengusung atribut PPP merambah menjadi kerusuhan SARA yang mengarah pada etnis Tionghoa, serta pengrusakan gereja Katolik, gereja Kristen, kelenteng, dan sekolah Katolik. Koran Dinamika Berita menyebutkan korban tewas sebanyak 142 orang dengan 132 orang tewas terbakar di Mitra Plaza, yaitu sebagian besar adalah penjarah. Mabes Polri melaporkan korban tewas sebanyak 123 orang, 121 orang tewas di Mitra Plaza.[50] | Sebanyak 106 orang perusuh ditangkap untuk dimintai keterangan.[50] | |
1998 | Banyuwangi | Pembantaian Banyuwangi 1998 terjadi pada bulan Februari-September. Korban tewas sebanyak 148 orang berasal terduga dukun santet, korban dipenjara sebanyak 118 orang terduga dukun santet, meskipun pada kenyataannya sebagian korban merupakan NU.[51] | Penangkapan hanya dilakukan pada warga yang ikut-ikutan membantai. Pelaku intelektual tidak diketahui.[51] |
Ketapang | Kerusuhan Ketapang terjadi pada tanggal 22 November antara FPI dan para preman etnis Ambon di wilayah tersebut. Kerusuhan dipicu oleh tindakan sewenang-wenang para preman terhadap penduduk Betawi dan pengrusakan masjid Khairul Biqa'. Selain 13 orang tewas, kerusuhan juga menyebabkan 11 gereja dirusak dan dibakar.[52] | ||
Kupang | Kerusuhan Kupang (30 November-1 Desember) dimulai dari aksi Gemakristi (Gerakan Perkabungan Umat Kristiani) akibat kerusuhan Ketapang. Aksi berubah menjadi kerusuhan isu pembakaran gereja seingga terjadi pengrusakan dan pembakaran setidaknya 5 masjid, pondok pesantren, pertokoan milik musklim, dan rumah ketua PPP.[53][54] |
Reformasi (1998–sekarang)
SKB Menag-Mendagri No. 1/Ber/MDN-MAG/1969 diterbitkan setelah terjadi beberapa kerusuhan lintas agama. Namun, SKB tersebut tidak memiliki petunjuk pelaksanaan sehingga dalam praktiknya sering mempersulit pembangunan tempat ibadah non-masjid karena menjadi wewenang bupati atau walikota setempat untuk tidak atau memberikan izin. Setelah terjadi berbagai peristiwa intoleransi di tahun 2005 terkait penutupan tempat ibadah, antara Oktober 2005-Maret 2006 dilakukan musyawarah antar majelis-majelis agama (MUI, PGI, KWI, PHDI, dan Walubi) dan SKB tersebut disempurnakan menjadi Perber Menag-Mendagri No. 9/8 Tahun 2006.[30][36][55]
Perber 2006 masih menuai protes karena dianggap tidak memberikan toleransi kepada umat agama yang minoritas, khususnya pasal 13 dan 14 (batasan 90 orang pengguna dan 60 orang dukungan masyarakat setempat).[56] Di samping itu, dikeluarkannya Perber 2006 tersebut memicu peningkatan penolakan tempat-tempat ibadah minoritas hingga pemukulan dan penusukan aktivis dan pendeta Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Bekasi (12 September 2010),[57] meskipun dalam sambutannya, Menag M.M. Basyuni telah menegaskan bahwa tempat ibadah yang telah dipergunakan secara permanen atau memiliki nilai sejarah tetapi belum memiliki IMB sebelum berlakunya Perber 2006, Bupati/Walikota wajib membantu memfasilitasi penerbitannya.[55] Perber ini juga meningkatkan ketegangan antar kelompok-kelompok minoritas dan mayoritas, yaitu bahwa ada usaha-usaha kelompok tertentu untuk mencegah pendirian tempat ibadah melalui penolakan atas nama penduduk setempat atau usaha pencegahan kuota 60 orang pendukung tidak terpenuhi.[57]
peningkatan radikalisme pengakuan agama asli, Keputusan Presiden RI no 6 tahun 2000 tgl 17 januari 2000 - Konghucu, berbagai UU konghucu
- 1999 --> Papua, Ambon
- Bom malam Natal 2000, Matarm dan Poso
- Bom bali 2002, 2005
- 2002 --> Maluku lain2 bawah sendiri, Bom McDonald's Makassar 2002
- 2005 --> HKBP Filadelfia
- 2008 --> pengrusakan pura di Lombok, Gereja Kristus Rahmani Indonesia di Pekalongan, Yasmin
- 2009 --> pembakaran gereja di Bekasi
- 2010 --> pengrusakan Gereja Sidang Jemaat Allah di Malang, Panti Asuhan Griya Pamengku Putra dan Sekolah Menengah Teologi Kristen di Purworejo, Gedung Sekolah Katolik Santo Bellarminus, GKI Bakal Jemaat Taman Yasmin di Bogor, valentine
- 2011 --> pembakaran gereja di Temanggung, Penyerangan Cikeusik, bom gereja di Solo
- 2013 --> pembakaran masjid di Asahan, pelarangan ucapan selamat natal (MUI) PBNU, bom vihara Ekayana di Jakarta, gereja tangerang ditutup, HKBP Tamansari, HKBP Setu
- 2014 --> pelarangan jilbab di Bali, penyerangan umat Katolik di Sleman (29 Mei 2014), syiah ditutup
- 2015 --> pembakaran masjid di Papua, gereja di Singkil, rencana teror bom oleh ISIS, pemaksaan Buddhis memeluk Islam di Wonosobo, melarang waisak di Candi bahal, masjid Muhammadiyah
- 2016 --> pembakaran vihara di Tanjung Balai, rosario di sleman (08 Mei 2016), ahmadiyah kendal
- 2016 ---> survei, Kristen Singkil, HTI, gafatar, [islamedia.id/perda-jilbab-aceh-melanggar-ham-harus-dicabut/ jilbab aceh], at taqwa aceh
- dsb
Catatan
- ^ Prasasti Kelurak menyebutkan bahwa pemujaan kepada Siwa, Wisnu, dan Brahma merupakan titik awal kesadaran menuju Manjusri.
- ^ Pupuh 139 bait 5 dalam Kakawin Sutasoma tertulis: "Rwanekā dhātu winuwus Buddha Wiswa, bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, mangkang Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa" yang berarti "Konon (mereka) yang terpilih, Buddha dan Wiswa (Siwa), merupakan dua elemen dasar. (Keduanya) tidak tunggal, terpisah, konon karena dapat segera dibagi dua. (Padahal) kebenaran Jina ("yang berhasil menaklukkan", yaitu Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpisah (tetapi juga) tunggal, tak ada kebenaran yang mendua."
- ^ Perihal penghapusan Pasal 177 Indische Staatsregeling (IS), Suara Muhammadiyah no I bulan April 1939 menuliskan bahwa "Berdasarkan perintah Allah, Nasrani dan Yahudi dengan taktik mereka masing-masing akan selalu melawan Islam dan berusaha memasukkan muslim ke dalam agama mereka, keluar dari Islam. Oleh sebab itu kita harus selalu waspada dan bersedia untuk berdiri melawan mereka, dengan cara memperkuat dan menyebarkan Islam ke seluruh Indonesia."
- ^ NU cenderung mengkritik ketidaksensitifan umat Nasrani terhadap permasalahan yang dihadapi umat Islam serta pemberian subsidi yang tidak adil antara umat Nasrani dan Muslim, yang sekali lagi memicu kemarahan Muhammadiyah. Mereka menyuarakan pemberian subsidi yang adil atau penghapusan subsidi sama sekali. Mengenai permasalahan Pasal 177 dan 178 Indische Staatsregeling (IS), suara mereka terpecah antara mendukung penghapusan kedua pasal, atau hanya Pasal 178, atau mempertahankan keduanya. Meskipun NU berupaya agar tidak terjadi polemik terhadap umat Nasrani, insiden pemakaman di Wonosobo menyebabkan mereka menuntut pemerintah untuk memberikan ketegasan bahwa pemakaman Islam tidak boleh digunakan untuk memakamkan umat Nasrani."
- ^ Bisjron A. Wardy (1964) menerbitkan pamflet berjudul "Memahami Kegiatan Nasrani" yang menduga konferensi yang dilakukan gereja-gereja Katolik dan Kristen pada tahun 1962 adalah untuk menyusun rencana pengonversian iman muslim di seluruh Jawa dalam kurun waktu 50 tahun. Kebenaran isi pamflet tersebut ditolak keras oleh pihak Katolik maupun Kristen, mengingat kedua agama tersebut tidak pernah bekerja sama dalam hal misionaris dan bahkan kerap terjadi pergesakan diantara keduanya dari segi iman.
- ^ Carel Poensen (1872) beranggapan bahwa dalam segi sastra, Suluk Gatholoco kurang berharga dan vulgar meskipun mengangkat tema tentang akhlak dan kebajikan. Ia berusaha agar karya tersebut tidak tersebar karena isinya yang mempermalukan umat Islam dan para pembawanya, serta "kaum putihan" yang menggerakkan reformasi Islam 1870an.
- ^ Damardjati Supadjar, guru besar Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, berpendapat bahwa Suluk Gatholoco merupakan pengingat umat Islam bahwa "setelah syariat yang informatif, masih ada bentuk yang lebih lanjut yaitu tarekat yang transformatif, hakekat yang konformatif, dan pada akhirnya akan berpuncak pada makrifat yang illuminatif." Heru Nurcahyo dalam bukunya yang berjudul "Jalan Jalang Ketuhanan" menyatakan bahwa suluk ini "hadir untuk menuntaskan pemahaman mengenai Islam itu sendiri."
- ^ Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj, dalam pembukaan "Istighotsah Menyambut Ramadhan dan Pembukaan Munas Alim Ulama NU", 14 Juni 2015 di Masjid Istiqlal, Jakarta, berkata, "Islam Nusantara memiliki karakter Islam yang ramah, anti radikal, inklusif dan toleran bukan Islam Arab yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara".
- ^ Sila pertama yang berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa" dipandang tidak jelas oleh kelompok Islam sehingga diajukan untuk ditambah tujuh kalimat yaitu "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
- ^ Pada tanggal 17 Agustus 1945 sore, seorang perwira Angkatan Laut Jepang menyampaikan keberatan kelompok Kristen dan Katolik dari Indonesia Timur kepada Mohammad Hatta. Mohammad Natsir dalam tulisannya yang berjudul "Islam dan Kristen di Indonesia" menyebutkan bahwa mereka tidak bermaksud melakukan diskusi melainkan menyampaikan peringatan bahwa "ada 7 kata yang tercantum dalam Muqqadimah Undang-undang Dasar Republik yang harus dicabut" atau mereka "tidak akan turut serta dalam negara Republik Indonesia." Keputusan diambil dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 yang berlangsung selama 2 jam.
Lihat pula
Referensi
- ^ a b Edy Sedyawati (Januari 2011). "Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa (Warta Hindu Dharma NO. 529)". Parisada Hindu Dharma Indonesia. Diakses tanggal 5-8-2016.
- ^ a b c d e f Sukamto (2015). Perjumpaan Antarpemeluk Agama di Nusantara: Masa Hindu-Buddha Sampai Sebelum Masuknya Portugis. Deepublish. hlm. 1-4. ISBN 6022806917.
- ^ Tim Edu President (2015). Tes CPNS 2015 Edisi Lengkap Sistem CAT. Cmedia. hlm. 68. ISBN 6021609875.
- ^ a b "Tengger; Sejarah, Legenda, dan Budayanya". Wacana. 3-10-2015. Diakses tanggal 5-8-2016.
- ^ Mumfangati, Titi (2007). "Tradisi ziarah makam leluhur pada masyarakat Jawa". Jurnal Sejarah dan Budaya. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. ISSN 1907-9605.
- ^ Dwi Pravita G. (6 Mei 2011). "…Umbul JUMPRIT Sendang MATA AIR Berkah, Yang TAK Pernah KERING…". NRM.News. Diakses tanggal 24 Juli 2016.
- ^ "Penyebaran Agama Kristen di Indonesia". Seputar Pendidikan. 26-11-2014. Diakses tanggal 5-8-2016.
- ^ a b c d e Jeremy Menchik (2016). Islam and Democracy in Indonesia: Tolerance without Liberalism. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 54-56. ISBN 1107119146.
- ^ a b c d e f g Sukamto, Amos (2013). "Ketegangan Antar Kelompok Agama pada Masa Orde Lama sampai Awal Orde Baru: Dari konflik Perumusan Ideologi Negara sampai Konflik Fisik". 1 (1). Jurnal Teologi Indonesia.
- ^ Rizem Aizid (2015). Islam Abangan & Kehidupan. DIPTA. ISBN 978-602-7695-82-5.
- ^ Riyadi, M. Irfan (2012). "Arah Perkembangan Ajaran Theosofi Islam Dalam Literatur Sastra Pujangga Jawa (Pendekatan Genealogi)". 10 (2). Dialogia.
- ^ Michael Laffan (2016). Sejarah Islam di Nusantara. Bentang Pustaka. hlm. 51-55. ISBN 6022910587.
- ^ Aryono (12-12-2012). "Kitab Lelaki Sejati". Historia. Diakses tanggal 6-8-2016.
- ^ Syaifullah (25-5-2013). "Munculnya Gerakan Islam Militan Menjadi Tantangan NU". Suara Nahdlatul Ulama. Diakses tanggal 6-8-2016.
- ^ Mahbib (22-4-2015). "Apa yang Dimaksud dengan Islam Nusantara?". Suara Nahdlatul Ulama. Diakses tanggal 6-8-2016.
- ^ Heyder Affan (15-7-2015). "Polemik di balik istiIah 'Islam Nusantara'". BBC Indonesia. Diakses tanggal 6-8-2016.
- ^ Mohamad Guntur Romli (2016). Islam Kita, Islam Nusantara: Lima Nilai Dasar Islam Nusantara. Jakarta: Ciputat School.
- ^ "Lima Usulan FPI Dalam Simposium Anti PKI". Front Pembela Islam. 20-2-2016. Diakses tanggal 6-8-2016.
- ^ a b Weinata Sairin (2002). Visi Gereja Memasuki Milenium Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 84-98. ISBN 9796871262.
- ^ a b c d e f Jan. S. Maritonang (BPK Gunung Mulia). Sejarah perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. ISBN 9796872218.
- ^ a b Daniel Dhakidae (2003). Cendekiawan dan kekuasaan dalam negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm. 513-516. ISBN 9792203095.
- ^ Kenneth Conboy. Kopassus: Inside Indonesia's Special Forces (edisi ke-November 16, 2002). Equinox Publishing. hlm. 352. ISBN 979-95898-8-6.
- ^ Yenni Kwok (26-8-2013). "Q&A: Indonesia's Terrorism Expert on the Country's Homegrown Jihadis". Time. Diakses tanggal 7-8-2016.
- ^ a b Wright, Jonathan; Casey, Steven (2015). Mental Maps in the Era of Détente and the End of the Cold War 1968–91. Springer. hlm. 124-125. ISBN 1137500964.
- ^ M.C. Ricklefs (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Penerbit Serambi. hlm. 480-482. ISBN 9790241151.
- ^ Firman Noor (2-10-2015). "Masyumi dan Sikap Anti-PKI". Republika. Diakses tanggal 6-8-2016.
- ^ van der Kroef, Justus M. (1961). "New Religious Sects in Java". Far Eastern Survey. 30 (2): 18–15. doi:10.1525/as.1961.30.2.01p1432u. JSTOR 3024260.
- ^ a b c Abdul Moqsit Ghozali (2002). Tubuh, seksualitas, dan kedaulatan perempuan: bunga rampai pemikiran ulama muda. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 145-148. ISBN 9799492580.
- ^ Presiden Republik Indonesia (1965). "PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA". Presiden Republik Indonesia.
- ^ a b c d e f g h Melissa Courch (2013). Law and Religion in Indonesia: Conflict and the courts in West Java. Routledge. ISBN 1134508360.
- ^ "Untuk Kita Renungkan: Mengapa Sebagian Umat Kaharingan Ingin Keluar dari Hindu?". PHDI Provinsi NTT. 8-2013. Diakses tanggal 6-8-2016.
- ^ a b Djohan Effendi (2009). Merayakan kebebasan beragama: bunga rampai menyambut 70 tahun. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ISBN 6029556606.
- ^ D. Hendropuspito (2006). Sosiologi Agama. Kanisius. ISBN 9794133787.
- ^ a b c Greg Barton (2003). Biografi Gus Dur. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 230-235. ISBN 9793381256.
- ^ Nurfatoni (14-6-2016). "Dirobohkannya Masjid Kami, Sebuah Kisah Nyata Intoleransi Mayoritas pada Minoritas". PWMU. Diakses tanggal 8-8-2016.
- ^ a b c d Weinata Sairin (2006). Gereja, agama-agama & pembangunan nasional. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 3-16. ISBN 9796873257.
- ^ Benny G. Setiono (2003). Tionghoa dalam Pusaran Politik. TransMedia. hlm. 1008. ISBN 9797990524.
- ^ Premadha Novita Shandy (2014). INSTRUKSI PRESIDEN NO. 14 TAHUN 1967 DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN BUDAYA & EKONOMI KETURUNAN TIONGHOA DI PECINAN SEMARANG, 1967-2002. Semarang: Universitas Diponegoro.
- ^ Todung Mulya Lubis (27 November 2014). "Kolom Agama dalam Perspektif HAM". Kompas. Diakses tanggal 8-8-2016.
- ^ Andika Primasiwi (23-2-2016). "Sepinya Aktivitas Kelenteng Hok Tik Bio Kudus Disayangkan". Suara Merdeka. Diakses tanggal 8-8-2016.
- ^ "Sejarah Rumah Sakit Imanuel". Lampung: Rumah Sakit Imanuel. Diakses tanggal 7-8-2016.
- ^ a b Ady (12-9-2012). "Korban Tanjung Priok Masih Menuntut Keadilan". Hukum Online. Diakses tanggal 8-8-2016.
- ^ AA Ariwibowo (10-2-2010). "Arswendo Atmowiloto Menyesal Lukai Umat". AntaraNews. Diakses tanggal 8-8-2016.
- ^ a b Agus Basri (24-6-1995). "Karena Terpantau dari Balkon". GATRA. Diakses tanggal 8-8-2016.
- ^ Suarjana, I Made; Widjoseno, Genot (21-9-1995). "Ada Bara di Balik Huru-hara SARA". GATRA. Diakses tanggal 8-8-2016.
- ^ a b Agus Basri (2-12-1995). "Rusuh Gara-gara Orang Gila". Majalah Berita Mingguan GATRA. Diakses tanggal 8-8-2016.
- ^ a b c Akhmad danial (2009). Iklan politik TV: modernisasi kampanye politik pasca Orde Baru. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 146-147. ISBN 9791283745.
- ^ a b Rudianto Pangaribuan (5-12-1997). "Menuai Vonis Kambing Hitam". Tempo. Diakses tanggal 8-8-2016.
- ^ "Rengasdengklok, Riwayatmu..." Tempo. 1-2-1997. Diakses tanggal 8-8-2016.
- ^ a b "Siapa Tewas di Banjarmasin, Benarkah Semua Perusuh?". Tempo. 31-5-1997. Diakses tanggal 8-8-2016.
- ^ a b Ika Ningtyas (10-12-2014). "Tragedi Dukun Santet Banyuwangi Mesti Diusut Lagi". Tempo. Diakses tanggal 8-8-2016.
- ^ "Kerusuhan Ketapang 13 Tewas, 11 Gereja Dibakar Dan Dirusak". Suara Pembaruan. 23-11-1998.
- ^ "Kerusuhan di Kupang". Kompas. 1-12-1998. Diakses tanggal 8-8-2016.
- ^ Ahwan Fanani. "konflik islam kristen di era reformasi". Walisongo Mediation Center. Diakses tanggal 8-8-2016.
- ^ a b Muhammad M. Basyuni (17 April 2006). "SAMBUTAN MENTERI AGAMA RI PADA SOSIALISASI PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 9 TAHUN 2006/NOMOR 8 TAHUN 2006". Kemendagri. Diakses tanggal 7-8-2016.
- ^ Yanto Huang. "Cabut Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 ttg Pendirian Rumah Ibadah". Change. Diakses tanggal 7-8-2016.
- ^ a b Benyamin F. Intan (21-9-2010). "Peraturan Bersama Kontraproduktif". Reformed Center for Religion Society. Diakses tanggal 7-8-2016.