Keyakinan dalam Buddhisme

Konsep iman dan komitmen religius dalam Buddhisme

Dalam agama Buddha, iman (Pali: saddhā, Sanskerta: śraddhā) merujuk kepada sebuah komitmen diri untuk mempraktikkan ajaran Sang Buddha dan percaya dengan tokoh-tokoh tercerahkan atau sangat berilmu, seperti para Buddha atau bodhisatwa (orang-orang yang berniat untuk menjadi seorang Buddha). Umat Buddha biasanya meraih berbagai obyek iman, namun beberapa umat Buddha secara khusus mencurahkan diri kepada tokoh tertentu, seperti seorang Buddha tertentu. Iman tak hanya pencurahan kepada seseorang, namun berada dalam hubungan dengan konsep Buddha seperti kemanjuran karma dan kemungkinan pencerahan.

Murid Ānanda (kiri) adalah contoh tradisional dari murid saleh dari Buddha.
Terjemahan dari
Iman
Palisaddhā
Sanskertaśraddhā
Tionghoa(T&S)
(Pinyinxìn)
Jepang
(rōmaji: shin)
Korea믿음
(RR: sin-eum)
Tibetanདད་པ
(Wylie: dad pa
THL: dat pa
)
Bengaliশ্রাদ্ধের
Thaiศรัทธา
(RTGS: satthaa)
Vietnamđức tin
Sinhalaශ්‍රද්ධ
Daftar Istilah Buddhis

Iman dalam Buddhisme awal berfokus pada Tiga Mestika, yang meliputi Buddha; ajarannya (dharma); dan terakhir, masyarakat dari para pengikut yang berkembang dalam hal spiritual atau komunitas monastik yang mencari pencerahan (saṅgha). Seorang pengikut saleh disebut upāsaka atau upāsika, sebuah status dimana tak ada persyaratan resmi yang diwajibkan. Buddhisme awal menilai verifikasi pribadi dari keyakinan spiritual memiliki tingkat tertinggi dalam memegang iman semacam itu, dan menganggap naskah-naskah suci, alasan atau iman kepada seorang guru tidaklah sumber-sumber otoritas bernilai. Seperti halnya iman, ini merupakan langkah pertama pada wadah menuju kebijaksanaan dan pencerahan, dan menghadapi rintangan atau menuju tahap akhir dari wadah tersebut. Buddhisme awal tak secara moral menentang persembahan damai kepada dewa-dewi. Sepanjang sejarah agama Buddha, penghormatan dewa-dewi, seringkali berasal dari iman pra-Buddhis dan animis, disepakati atau diubah menjadi praktik dan iman Buddha. Sebagai bagian dari proses tersebut, dewa-dewi semacam itu dinyatakan sebagai bawahan dari Tiga Mestika, yang masih memegang peran utama.

Pada masa berikutnya dari sejarah agama Buddha, khususnya dalam Buddha Mahāyāna, iman memberikan peran yang lebih penting. Mahāyāna mengembangkan konsep Alam Buddha, karena penghormatan kepada para Buddha dan bodhisatwa yang bermukim di Tanah Murni menjadi hal umum. Dengan kebangkitan kultus Sūtra Teratai, iman memegang peran utama dalam praktik agama Buddha, dan perkembangan penghormatan kepada Buddha Amitābha dana Buddhisme Tanah Murni makin mengamplifikasi tren tersebut. Bentuk Jepang dari Buddhisme Tanah Murni, di bawah bimbingan guru Hōnen dan Shinran, meyakini bahwa iman yang dipercaya kepada Buddha Amitābha adalah bentuk praktik yang berbuah, karena aliran tersebut menganggap selibasi, meditasi dan praktik Buddhis lainnya tidaklah terlalu efektif, atau berseberangan dengan nilai iman. Umat Buddha Tanah Murni mengartikan iman sebagai sebuah keadaan yang mirip dengan pencerahan, dengan sebuah esensi dari negasi diri dan humilitas. Dampak iman dalam agama Buddha menjadi hal penting dalam gerakan-gerakan milenarian di beberapa negara Buddha, yang terkadang mengakibatkan kehancuran dinasti-dinasti kerajaan dan perubahan politik penting lainnya.

Kemudian, peran iman meningkat sepanjang sejarah agama Buddha. Namun, dari abad kesembilan belas, di negara-negara seperti Sri Lanka dan Jepang, dan juga di dunia Barat, modernisme Buddha timbul dan mengkritik peran iman dalam agama Buddha. Iman dalam agama Buddha masih memiliki sebuah peran di Asia modern dan dunia Barat, namun dimengerti dan diartikan secara berbeda dari tafsiran-tafsiran tradisional, dengan nilai-nilai modern dan eklestisisme menjadi makin berpengaruh. Komunitas Buddha Dalit, khususnya gerakan Nawayāna, menafsirkan konsep-konsep Buddha dalam sorotan keadaan politik Dalit, dimana terdapat ketegangan antara rasionalisme modernis dan devosi lokal.

Peran dalam ajaran Buddha

Iman diartikan sebagai kepercayaan diri bahwa praktek ajaran Buddha akan membuahkan hasil.[1][2] Iman adalah rasa percaya dan berserah diri kepada tokoh-tokoh yang tercerahkan atau sangat berkembang, seperti para Buddha atau bodhisatwa, atau bahkan bhikkhu atau lama tertentu yang sangat dihormati.[1][3][4] Umat Buddha biasanya mengakui berbagai obyek iman, namun beberapa penganut secara khusus menghormati satu obyek iman tertentu, seperti seorang Buddha tertentu.[1] Namun, agama Buddha tak pernah terorganisir pada sekitaran satu otoritas pusat, baik sebagai orang atau kitab suci. Kitab suci biasanya dijadikan sebagai panduan, dan konsensus soal praktik telah menjadi perdebatan dan diskusi.[5]

Beberapa istilah dipakai dalam agama Buddha untuk iman, yang memiliki aspek kognitif atau afektif:[2]

  • Śraddhā (Sansekerta; Pali: saddhā; Tionghoa klasik: wen-hsin) merujuk kepada sebuah esensi komitmen kepada atau kepercayaan dalam suatu hal lainnya, atau esensi pengikatan atau komitmen untuk berpraktek.[1][6] Contoh-contoh tradisional dari hal ini adalah biksu Ānanda, hadirin Buddha Gautama, dan Vakkali, murid lainnya. Śraddhā seringkali dipandang sebagai kontra-agen dari kehendak buruk dalam pikiran.[7][8] Lawan kata śraddhā adalah āśraddhya, yang merujuk kepada kurangnya kapasitas untuk mengembangkan kepercayaan kepada guru dan ajaran-ajarannya, dan sehingga tak dapat mengembangkan energi pada wadah spiritual.[9] Kata śraddhā berasal dari kata śrat, "dibujuk", dan dhā, "memegang",[note 1] dan sehingga, menurut cendekiawan kajian agama Sung-bae Park, mengindikasikan "kepercayaan diri penuh, tetap berpantang, atau mendukung keyakinan, dalam esensi ketaatan yang kuat".[11]
  • Prasāda (Sansekerta; Pali: pasāda; Tionghoa klasik: ching-hsin) yang lebih afektif ketimbang śraddhā. Dipakai untuk menghormati ritual dan upacara, istilah tersebut merujuk kepada esensi penerimaan diri terhadap pemberkatan dan pengagungan obyek suatu devosi.[12] Kata prasāda berasal dari awalan pra dan sād, yang artinya "tenggelam, duduk", dan diartikan oleh Park sebagai "duduk dalam keadaan jernih dan trankuilitas".[11] Sehingga, prasāda merujuk kepada fokus pikiran penganut, komitmennya dan kualitas puncaknya.[13] Istilah tersebut dideskripsikan dalam istilah yang lebih spontan ketimbang śraddhā.[14]

Iman biasanya dikaitkan dengan Tiga Mestika, yang meliputi Buddha, dharma (ajarannya) dan saṅgha (komunitas). Sehingga, iman seringkali memiliki individual tertentu sebagai obyeknya, namun berbeda dari devosi dalam agama-agama India lainnya (bhakti), ini berhubungan dengan obyek-obyek impersonal seperti kerja karma dan transfer kasih.[15] Ini dipandang berfokus pada atau berujung pada pandangan kanan atau pemahaman aspek-aspek utama dari ajaran budaya, seperti kerja karma, kasih dan kelahiran kembali.[16][17][18] Terkait Tiga Mestika, iman berfokus pada dan merasuk dalam karakteristik Buddha, dharma dan saṅgha.[19] Dengan kaitan dengan kerja karma, iman merujuk kepada anggapan bahwa perbuatan memiliki dampak, perbuatan baik menghasilkan dampak baik, dan perbuatan buruk menghasilkan dampak buruk.[20] Sehingga, iman memberikan panduan dalam menuju kehidupan beramal, moralitas dan kualitas relijius.[21] Iman juga meliputi gagasan seperti alam eksistensi, alamnya yang tetap dan terkondisi, dan pada akhirnya, pencerahan Buddha atau Nirwana dan wadah praktik menuju Nirwana.[16][17][18] Iman menganggap keyakinan bahwa terdapat orang-orang yang mencapai Nirwana dan dapat mengajarinya.[22]

Sejarah

Hajime Nakamura membedakan dua arus dalam agama Buddha, yang ia sebut sebagai kesepakatan devosional dan kesepakatan "pengetahuan dalam".[5] Antropolog Melford Spiro mendiskusikan bhakti (devosi) di satu sisi dan magga (wadah penyampaian) di sisi lain.[23] Dalam agama Buddha, dalam perkembangan pemahaman iman, dua lapisan sejarah dapat dibedakan: Buddhisme awal dan kemudian Buddha Mahāyāna. Beberapa cendekiawan awal abad kedua puluh, seperti Louis de La Vallée-Poussin, Arthur Berriedale Keith dan Caroline Rhys Davids, dikritik oleh para cendekiawan Sri Lanka karena tak membedakan dua hal tersebut.[24][25]

Buddhisme awal

Dalam teks-teks Buddha awal, seperti teks-teks Pāli , saddhā biasanya diterjemahkan menjadi "iman", namun dengan konotasi berbeda ketimbang kata Inggris-nya.[26] Kata tersebut terkadang juga diterjemahkan menjadi "kepercayaan diri", dalam hal percaya diri akan doktrin.[18][27] Menurut cendekiawan John Bishop, iman dalam Buddhisme awal secara esensial merupakan "relijius tanpa teistik".[28] Ini tidaklah berfokus pada Tuhan sebagai pusat agama.[29] Berlawanan dengan Brahmanisme Weda, yang mendahului Buddha, gagasan Buddha awal dari iman lebih terhubung dengan ajaran-ajaran untuk memahami dan menerapkan, ketimbang berfokus pada deitas luar.[30] Ini tak berarti bahwa kesepakatan agama Buddha terhadap realitas tak dipengaruhi oleh tradisi lain: pada saat agama Buddha berkembang, beberapa komunitas agama India mengajarkan kesepakatan kritikal dalam pemahaman kebenaran.[31]

Iman tak sekadar komitmen mental untuk serangkaian prinsip,[32] namun juga memiliki kualitas afektif.[2][33] Para cendekiawan dalam Buddhisme awal membedakan antara iman sebagai kebahagiaan dan ketenagan, membesarkan pikiran pada tingkat yang lebih tinggi;[33] dan iman sebagai sebuah energi yang memproduksi kepercayaan diri, wajib menghadapi cobaan dan pengendalian diri.[2][34] Karena iman membantu menghapuskan perpleksitas, ini menginspirasi dan memberikan energi kepada penganut.[35]

Penganut Buddha kemudian mencurahkan iman kepada Tiga Mestika, yang meliputi Buddha, dharma dan saṅgha, serta nilai disiplin. Namun, dalam teks-teks Buddha awal, iman tak mengartikan tanggapan berlawanan atau kurangnya pengakuan atas deitas lainnya. Meskipun Budha menolak pengurbanan hewan berdarah, ia sendiri tidaklah menentang persembahan damai kepada dewa-dewi, namun menganggap hal tersebut kurang berguna ketimbang persembahan amal kepada saṅgha monastik.[36][32] Sehingga, setiap hal diberi tempat dalam hierarki kegunaan, dimana perilaku moral lebih dihargai ketimbang upacara atau ritual.[37]

Iman adalah konsekuensi dari kekekalan dan persepsi bijak dari penderitaan (dukkha). Refleksi pada penderitaan dan kekekalan menuntut para penganut ke rasa takut dan agitasi (Pali: saṃvega), yang memotivasi mereka untuk mengambil perlindungan kepada Tiga Mestika dan menanam iman sebagai sebuah hasil.[38] Iman kemudian menuntun pada beberapa kualitas mental penting lainnya pada wadah menuju Nirwana, seperti kebahagiaan, konsentrasi dan penglihatan.[39] Namun, iman itu sendiri tak pernah dianggap cukup untuk mencapai Nirwana.[40][41]

 
Saṅgha dideskripsikan sebagai "ladang kasih", karena umat Buddha memberikan persembahan kepada mereka sebagai pembuahan karma tertentu.[42]

Kaum awam Buddha saleh laki-laki dan perempuan masing-masing disebut upāsaka atau upāsika. Untuk menjadi kaum awal, tak ada ritual formal yang diwajibkan.[43][44] Beberapa pasal Kitab Pāli, serta para ahli tafsir pada masa berikutnya seperti Buddhaghosa, menyatakan bahwa kaum awam Buddha dapat pergi ke surga hanya dengan memperkuat iman mereka dalam dan kecintaan untuk Buddha, sehingga dalam pasal lainnya, iman didaftarkan bersama dengan kebajikan-kebajikan lainnya, seperti moralitas, sebagai kaulitas yang memandu penganut menuju surga.[45][46] Selain itu, iman adalah bagian penting dari gagasan kaum awam Buddha, karena mereka dideskripsikan sebagai sikap memandang saṅgha, menyimak ajaran mereka, dan yang terpenting, memberi amal untuk saṅgha. Saddhā dalam kehidupan awam sangat berhubungan dengan dāna (generositas): hadiah kesalehan adalah hadiah paling berpengaruh dalam hal spiritual.[47]

Iman masuk dalam daftar kebajikan untuk kaum awam, dan sehingga dideskripsikan sebagai kualitas progresif untuk para penganut, karena penganut yang baru masuk agama Buddha dikarakteriasikan sebagai "muda dalam devosi".[48] Sehingga, terdapat berbagai daftar kebajikan dimana iman diliputkan,[49][45] dan tradisi awal lainnya juga memberikan peran penting kepada iman, seperti tradisi Sarwāstiwāda.[2] Selain itu, Buddhisme awal mendeskripsikan iman sebagai kualitas berpengaruh dalam pemasuk arus, sebuah keadaan yang mendahului pencerahan.[50][51] Dalam deskripsi standar dari orang-orang yang tergerak maju (mengambil penahbisan sebagai biksu), iman disebut sebagai motivasi penting. Disamping peran tersebut, beberapa pakar Indologi seperti André Bareau dan Lily De Silva meyakini bahwa Buddhisme awal tak memegang nilai yang sama dengan kepercayaan seperti dalam beberapa agama lain, seperti Kristen. Bareau berpendapat bahwa "agama Buddha tak memiliki keselarasan [gagasan] iman murni seperti dalam agama Kristen, ... Gagasan kelahiran buta, sebuah iman absolut dalam firman seorang master, secara bulat berjalan melawan jiwa Buddhisme awal."[52][53] Namun, penerjemah Caroline Rhys Davids tak sepakat dengan pernyataan tersebut, dengan menyatakan bahwa "iman tak kurang penting ketimbang iman untuk semua agama yang memakai namanya".[54][55] Indologis Richard Gombrich berpendapat bahwa agama Buddha tak mendeskripsikan kepercayaan kepada seseorang atau suatu hal yang berwujud melawan akal budi. Selain itu, Gombrich meyakini bahwa Buddha tak berniat untuk membuat sebuah agama yang berfokus pada devosi kepada orangnya, meskipun ia mengakui bahwa devosi semacam itu telah dimulai saat Buddha masih hidup.[56][57] Gombrich menyatakan bahwa terdapat sebuah lahan material dalam naskah-naskah awal yang menjelaskan bagaimana pengaruh iman tersebut,[58] namun berpendapat bahwa "perkembangan upacara dan liturgi Buddha benar-benar sebuah konsekuensi tanpa tujuan secara keseluruhan dari kotbah Buddha".[59]

Memegang perlindungan

 
Dalam Kitab Pāli, biksu Buddha memberikan peran signifikan dalam mempromosikan dan menegakkan iman di kalangan kaum awam.[60][61]

Sejak Buddhisme awal, para penganut mengekspresikan iman mereka melalui tindakan memegang perlindungan, yang disebut tiga lipatan. Dalam hal ini, ini terpusat pada otoritas Buddha sebagai sosok yang paling tercerahkan, dengan menempatkan peran untuk Buddha sebagai guru umat manusia dan para dewā (makhluk surgawi). Ini seringkali meliputi para Buddha lain dari masa lampaui, dan Buddha yang tak bangkit. Kedua, memegang perlindungan menghargai kebenaran dan dampak dari doktrin spiritual Buddha, yang meliputi sifat-sifat fenomena (Pali: saṅkhāra) seperti kekekalan (Pali: anicca) mereka, dan wadah menuju pembebasan.[62][63] Memegang perlindungan berakhir dengan penerimaan penghormatan terhadap komunitas pengikut pengembangan spiritual (saṅgha), yang kebanyakan didefinisikan sebagai komunitas monastik, selain juga meliputi kaum awam dan bahkan para dewā menyediakan mereka pencerahan sebagian atau penuh.[42][64] Buddhisme awal tak meliputi para bodhisatwa dalam Tiga Perlindungan, karena mereka dianggap masih berada pada wadah menuju pencerahan.[65]

Teks-teks awal mendeksripsikan saṅgha sebagai "ladang kasih", karena penganut Buddha awal memberikan persembahan kepada mereka biasanya sebagai pembuahan karma.[42] Para penganut awam mendukung dan menghormati saṅgha, yang mereka yakini akan memberikan kasih kepada mereka dan mengirimkan mereka lebih dekat dengan pencerahan.[66] Pada saat yang sama, biksu Buddha memberikan peran signifikan dalam mempromosikan dan menegakkan iman kaum awam. Meskipun beberapa contoh dalam kitab tersebut disebutkan dari para biksu berkelakuan baik, terdapat juga kasus biksu berkelakuan buruk. Dalam kasus semacam itu, teks-teks tersebut mendeskripsikan bahwa Buddha menanggapinya dengan sensitivitas besar kepada sudut-sudut pandang dari komunitas awam. Saat Buddha menghimpun aturan baru dalam kitab monastik terhadap perilaku buruk monastiknya, ia biasanya menyatakan bahwa perilaku semacam itu harus ditindak, karena tak akan "mendorong orang tidak percaya" dan "orang percaya akan berbalik". Ia mengkecualikan biksu, biksuni dan samanera untuk tak hanya memimpin kehidupan spiritual untuk manfaat mereka sendiri, namun juga menegakkan iman masyarakat. Di sisi lain, mereka tak mengambil tugas menginspirasi iman dalam keadaan yang sangat krisis atau tak diinginkan, contohnya, dengan mengambil profesi lain selain dari sebuah monastik, atau dengan menggalang sanjungan dengan memberikan barang-barang kepada kaum awam.[60][61]

Sehingga, memegang perlindungan adalah bentuk aspirasi untuk menuntun kehidupan dengan Tiga Mestika pada intinya. Memegang perlindungan dilakukan lewat rumus pendek dimana seseorang menjadikan Buddha, dharma dan saṅgha sebagai perlindungan.[67][64] Pada naskah-naskah Buddha awal, memegang perlindungan adalah sebuah ekspresi ketentuan untuk mengikuti wadah Buddha, namun tak melepaskan tanggung jawab.[63]

Melalui verifikasi

 
Stūpa Buddha di Kesariya, Bihar, India, didirikan untuk menghormati Kalāma Sutta

Iman dapat menuntun para praktisioner untuk memegang perlindungan dalam Tiga Mestika, yang membukakan mereka ke pengalaman spiritual baru yang sebelum tidak mereka ketahui. Ini adalah aspek devosional atau mistis dari iman. Namun, terdapat juga aspek rasional, dimana nilai pemegangan perlindungan berakar pada verifikasi personal.[5] Dalam catatan (sutta) yang disebut Kalāma Sutta, Buddha berargumen melawan pengikutan otoritas suci, tradiisi, doktrin logika, atau menghormati para guru untuk fakta bahwa mereka adalah guru dari orang tersebut.[68] Pengetahuan yang datang dari sumber semacam itu berdasarkan pada kesombongan, kebencian dan delusi dan para penganut Buddha harus memandang pengetahuan semacam itu secara setengah hati dan tak berbutakan. Mereka harus menemukan apakah suatu ajaran itu benar oleh verifikasi personal alih-alih kebenaran spiritual, membedakan mana yang menuntun menuju kesenangan dan manfaat, dan mana yang tidak.[69][70][note 2] Memberikan contoh dari kesepakatan semacam itu, Buddha menyatakan bahwa praktik meninggalkan kesombongan kebencian dan deluci akan bermanfaat bagi praktisioner, tanpa memandang apakah terdapat ganjalan pada retribusi karma dan kelahiran kembali.[71] Sehingga, pengalaman dan penentuan personal dipakai dalam menerima Buddha dan agama Buddha. Namun, seseorang juga harus meminta nasehat dari orang bijak.[45]

Dalam sebuah catatan yang disebut Canki Sutta, Buddha menekankan bahwa keyakinan orang dapat dibedakan dalam dua cara: mereka dapat menjadi cerdas, faktual dan tidak salah kaprahl atau sia-sia, kosong dan palsu. Sehingga, saat seseorang memegang keyakinan tertentu, mereka tak harus memberikan pernyataan "Hanya ini yang benar, yang lainnya palsu," namun sebagai gantinya "menyajikan kebenaran" dengan kesadaran "Ini adalah keyakinanku".[72][70][note 3] Sehingga, catatan tersebut mengkritik wahyu ilahi, tradisi dan laporan lainnya, karena dianggap "iman tak berdasar" dan pengartian tak lengkap dari akuisisi pengetahuan atau kebenaran spiritual.[45][73] Namun dalam Sandaka Sutta, Buddha juga mengkritik akal budi dan logika sebagai alat untuk mencapai kebenaran.[72][73] Sebagai gantinya, pengetahuan intiuitif langsung dan personal diharuskan untuk mencapai kebenaran, saat pengetahuan semacam itu tak terdampak oleh bias.[74][75] Sehingga, kepercayaan dan iman tak dianggap selaras untuk mendatangkan kebenaran, bahkan dalam materi-materi spiritual dimana tradisi agama lain akan merujuk kepada iman. Buddha tak setuju dengan tradisi yang menuntut kepercayaan buta terhadap kitab suci atau guru.[24][75] Dalam satu catatan, saat ditanya soal otoritas Buddha berdasarkan pada ajaran-ajarannya, ia menjawab bahwa ia tak mendasarkan mereka pada tradisi, iman atau akal budi, namun lebih kepada pengalaman personal sebagai sumber otoritas.[76]

 
Buddha menyatakan dalam beberapa catatan, termasuk Vimaṁsaka Sutta, bahwa para muridnya harus menyelidikan dirinya sendiri apakah ia benar-benar tercerahkan dan bertindak murni, dengan mengamatinya selama jangka panjang.[77][78]

Selain itu, penganut Buddha harus memverifikasi kepastian dan kebenaran moral lewat pengalaman personal. Ini kemudian berujung pada penerimaan sementara, yang disebut "menyajikan kebenaran". Iman berpindah dari satu tangan ke tangan lain dengan sikap terbuka atas kehendak untuk mempelajari dan berusaha, memfamiliarisasikan diri sendiri dengan ajaran. Meskipun verifikasi personal dari iman seseorang mendalam, secara mutlak berubah dari "menyajikan" menuju "menemukan" kebenaran.[45][70] Proses verifikasi melibatkan pengalaman biasa, selain juga pengalaman yoga dari penanaman pikiran.[79] Selain itu, Buddha menerapkan kriteria untuk ajarannya sendiri: ia terkualifikasi untuk mengajarkan dharmanya karena ia memverifikasikannya untuk dirinya sendiri, namun tak mempelajarinya dari orang lain atau tanpa akal budi.[80] Buddha menyatakan dalam beberapa catatan, termasuk Vimaṁsaka Sutta, bahwa para muridnya harus menyelidiki dirinya soal apakah ia tercerahkan atau murni dalam pengaruh, dengan mengamatinya selama jangka panjang.[77][78] Beberapa orang yang dideskripsikan dalam Kitab Pāli mengobservasi Buddha dengan cara semacam itu, dan datang ke iman mendasar.[77] Namun, ini tak berarti bahwa Buddha tak menerima tindakan wahyu apapun kepada umatnya: ia mengajarkan bahwa tindakan devosional dapat membantu meningkatkan pikiran praktisioner awam, dan membantu mereka pada wadah menuju kelahiran kembali yang lebih baik dan pencerahan.[81] Sehingga, devosi adalah subyek yang mewajibkan peminatan praktisioner yang serius.[82]

Sebagai langkah awal

Iman adalah kepercayaan awal pada Buddha sebagai guru spiritual dan penerimaan awal ajaran-ajaran Buddha. Iman dianggap merupakan manfaat besar dari praktisioner permulaan dari ajaran Buddha.[5][34] Dalam Cula-hatthipadopama Sutta, Buddha mendeskripsikan wadah pencerahan sebagai permulaan dari iman di dalamnya, namun tetap mempraktikkan kebaijkan, meditasi dan kebijaksanaan, berpuncak pada pengabdian terhadap pencerahan. Sehingga, iman awal menyediakan kepercayaan diri untuk meneruskan wadah tersebut menuju tujuan akhir,[83] dan untuk alasan ini, dalam ajaran Buddha awal, iman biasanya didaftarkan sebagai kualitas pertama dalam nilai kebajikan progresif.[48]

Selain saddhā, kata lainnya, pasāda, dan sinonim-sinonim terkaitnya pasanna dan pasidati, terkadang juga diterjemahkan menjadi 'iman', namun memberi nilai yang lebih tinggi ketimbang saddhā. Saddhā mendalam saat beberapa orang berjuang di sepanjang wadah spiritual, dan teks-teks awal terkadang menyebutnya sebagai pasāda,[84][85][86] dan terkadang sebagai bhakti.[21] Pasāda adalah iman dan sikap terhadap seorang guru, namun disertai oleh kejelasan iman, penempatan dan pemahaman.[86] Disiplin yang dipraktikkan tersebut mengembangkan dan menstabilisasi imannya, mendasarkannya pada penglihatan spiritual.[34][87] Ini menuntun imannya menuju "ke-tidak terguncang-an".[88][89]

Sehingga, iman itu sendiri tak mendorong untuk meraih pemberian, namun merupakan langkah awal pada wadah menuju kebijaksanaan dan pencerahan.[90] Beberapa ajaran dalam Buddhisme awal menyebut iman sebagai langkah awal, sementara kebijaksanaan disebutkan sebagai yang terakhir.[91][92] Pada tahap akhir wadah Buddhis, untuk menuju arahant, seorang praktisioner secara bulat mengganti iman dengan kebijaksanaan. Pada titik tersebut, arahant tak lagi berada pada iman secara keseluruhan,[93][94][41] meskipun pada tahap tersebut terkadang sebuah bentuk dari iman terrealisasikan dideskripsikan.[95] Sehingga, Buddha memuji sebagian besar muridnya karena kebijaksanaan mereka, ketimbang iman mereka. Dengan pengecualian adalah biksu Wakkali, yang dipuji oleh Buddha sebagai "orang tertinggi dari orang-orang yang memiliki iman", yang juga diajarkan oleh Buddha untuk berkonsentrasi pada ajaran, ketimbang tokoh Buddha.[34][94][41] Buddha dipandang memandang muridnya Ānanda dengan cara yang sama.[96]

Dalam Kitab Pāli, kesepakatan berbeda dari iman dideskripsikan. Iman yang berkembang pada seseorang, bahkan Buddha sendiri, dipakai sedikit saat makin berhubungan dengan fitur-fitur superfisial—seperti penampilan fisik—dan terlalu sedikit pada ajaran Buddha. Kesepakatan untuk iman semacam itu berujung pada kasih sayang dan kemurkaan dan ketidakmajuan lainnya. Ini adalah sebuah impedimen untuk berjalan dalam langkah-langkah Buddha dan meraih pencerahan, seperti dalam kasus Wakkali. Iman dan devosi harus selalu berpindah dari tangan ke tangan dalam esensi kesetaraan.[97][98][99]

Buddha Mahāyāna

 
Buddha Gautama dengan adegan-adegan dari legenda Awadāna

Pada periode kaisar Ashoka (abad ketiga sampai kedua SM), umat Buddha makin menyoroti iman, karena Ashoka membantu mengembangkan Buddha sebagai agama populer untuk menyatukan kekaisarannya. Tren baru ini berujung pada peningkatan pemujaan stūpa dan peningkatan sastra berlandaskan iman Awadāna.[100][101] Pada abad kedua SM, Buddha makin umum digambarkan melalui gambar-gambar, dan terdapat peralihan dalam tujuan agama India menuju devosionalisme emosional. Ini berujung pada perspektif baru dalam agama Buddha, yang dijelaskan oleh cendekiawan kajian Buddha Peter Harvey sebagai "kesalehn, iman dan kebijaksanaan". Perspektif tersebut menghimpun jalan menuju kebangkitan Buddha Mahāyāna.[102][103]

Pada umumnya, peran iman dalam Buddha Mahāyāna mirip dengan Theravāda[85][23]—dalam ajaran keduanya, iman adalah bagian tak terhindarkan dari praktik.[71] Bahkan dalam Buddhisme Theravāda saat ini, yang bermula dari Buddhisme Pāli, iman masih merupakan bagian penting dalam masyarakat Buddhis tradisional. Umat Theravāda memandang iman dalam Tiga Mestika sebagai unsur protektif dalam kehidupan sehari-hari, khususnya saat dipadukan dengan kehidupan moral.[104] Namun, dengan kebangkitan Buddha Mahāyāna Buddhism, kedalaman dan rangkaian ajaran tentang iman diintensifikasikan. Sejumlah besar bodhisatwa menjadi fokus akan devosi dan iman, memberikan sisi "teistik" kepada Buddha Mahāyāna.[105][106] Dalam Buddhisme awal, terdapat beberapa pasal yang mensugestikan bahwa Buddha dan sosok tercerahkan lainnya memiliki alam yang melampaui dunia. Kemudian, umat Theravāda meyakini bahwa Maitreya, Buddha masa depan, menunggu mereka di surga dan makin menghargai mereka secara bertahap. Selain itu, umat Mahāyāna memegang gagasan lebih lanjut.[107][108] Setelah kematian Buddha, terdapat sebuah esensi menyesal di kalangan komunitas Buddha tentang ketiadaan Buddha di dunia, dan rasa ingin untuk "melihat" Buddha (Sanskerta: darśana) dan meraih kekuatannya.[109][110] Umat Mahāyāna melebarkan pengartian Tiga Mestika untuk meliputkan para Buddha yang berdiam di surga, dan mereka kemudian disebut Buddha sambhogakāya ('perwujudan dari kesenangan Dharma').[110][111] Peningkatan tujuan pada Buddha kelestial tersebut, terwujud di semua waktu dan tempat, dimulai dengan di bawah bayang-bayang peran Buddha Gautama dalam iman Buddha.[112][113] Buddha Tanah Murni banyak memfokuskan imannya ke Buddha kelestial tersebut, khususnya Buddha Amitābha.[114][115]

Dimulai dari devosi kepada para Buddha kelestial,[114][115] memajukan sosok-sosok bodhisatwa, mewakili gagasan-gagasan Mahāyāna, secara bertahap menjadi fokus dari ibadah dan kultus ekstensif. Para bodhisatwa tersebut tak memiliki landasan dalam fakta sejarah.[116] Pada abad keenam, penggambaran para bodhisatwa dalam ikonografi Buddha telah menjadi hal umum,[114] seperti bodhisatwa Awalokiteśwara yang mewakili kesalehan, dan kebijaksanaan Manjusri.[117] Catatan tentang para bodhisatwa adan perbuatan baik mereka seringkali meliputi tindakan-tindakan dengan taruhan-taruhan besar, dan para penulis nampaknya mengartikan catatan tersebut lebih kepada devosional ketimbang eksemplar.[118]

Kemudian, pada abad kedua belas dan ketiga belas, tujuan dalam Buddhisme Jepang beralih dari pencerahan personal ke berhubungan dengan alam Buddha universal dan alam-alam dimana para Buddha bermukim.[119] Dengan perkembangan sistem pemikiran Mādhyamaka, Buddha tak lagi dianggap sebagai tokoh sejarah, dan gagasan persatuan esensial dalam seluruh makhluk hidup menjadi bagian intrinsik dari teori dan praktek Buddha.[120] Perkembangan tersebut berujung pada gerakan devosi dari Buddhisme Tanah Murni, sementara dalam Buddhisme Zen, ini berujung pada tujuan mencari Alam Buddha dalam diri sendiri.[121]

Istilah untuk iman yang umum dipakai dalam Buddha Mahāyāna adalah Xin (Tionghoa) dan shin (Jepang): istilah-istilah tersebut dapat merujuk kepada rasa percaya, selain juga penerimaan tak dipertanyakan dari obyek devosi seseorang. Mereka juga dipakai, seperti dalam Buddhisme Chan dan Zen, dengan kaitan terhadap rasa percaya diri bahwa alam Buddha (tathāgatagarbha) tersembunyi dalam pikiran seseorang, dan dapat ditemukan sebagai hal yang mengatur tindakan dari pikiran.[12][122][2] Sehingga, Buddhis Chan dan Zen menganggap iman sebagai salah satu dari Tiga Esensial dalam praktek meditasi, bersama dengan penyelesaian dan keraguan.[123][124] Di sisi lain, Buddhis Tanah Murni membuat pembedaan antara aspek pikiran yang percaya, dan disadarkan oleh praktek devosi dan kerendahan hati kepada Buddha Amitābha, yang disebut sebagai xinji (Tionghoa) atau shinjin (Jepang); dan kebahagiaan dan percaya diri dapat mempertemukan Buddha Amitābha, yang disebut sebagai xinfa (Tionghoa) atau shingyō (Jepang).[122][125][126] Tradisi Tanah Murni mendeskripsikan kesadaran iman sebagai pengalaman transkendental melampaui waktu, mirip dengan keadaan yang mendahului pencerahan.[127] Dalam ajaran guru Tanah Murni Jepang Shinran, pengalaman iman semacam itu, yang ia sebut "Terang" (Jepang: kōmyō) melibatkan para penganut tak hanya merasa secara bulat disertai Buddha Amitābha sebagai determinasinya dan kebijaksanaan untuk menyelamatkan mereka, namun juga merasa secara penuh selaras dengan Amitābha karena ketidakmampuan personal mereka.[128][129]

Disamping perkembangan penting yang terjadi dalam kebangkitan Buddha Mahayana, kesederhanaan pada keadaan yang tak menjadi gerakan devosional telah ada sebelum Mahāyāna. Devotionalisme menjadi hal umum dalam teks dan praktek dalam periode yang sama saat teks-teks Abhidhamma dikompilasikan, bahkan sebelum Mahāyāna berkembang.[130] Selain itu, Buddhisme Theravāda pada masa berikutnya mulai memajukan catatan-catatan hagiografi dari Buddha dan bodhisatwa lain, dan dalam beberapa catatan, Buddha memainkan peran besar dalam pencerahan orang lain.[131]

Buddha Tiantai, Tendai dan Nichiren

 
Fragmen abad kelima dari manuskrip Sutra Teratai Sansekerta dari Rouran, Wei Utara, yang diangkat dari Hetian, provinsi Xinjiang. Disimpan di Museum Mausoleum Raja Nanyue.

Sūtra Teratai, salah satu teks yang paling banyak dipakai (Sanskerta: sūtra) di Asia Tenggara,[132] memajukan gagasan iman.[133] Di Tiongkok dan Jepang pada abad pertengahan, beberapa legenda mukjizat dikaitkan dengan Sūtra Teratai, berkontribusi pada popularitasnya. Para cendekiawan menyatakan bahwa sūtra tesebut memandang Buddha sebagai seorang bapak yang membantu membuat sūtra tersebut menjadi populer.[134]

Sūtra Teratai dikomposisikan dalam dua abad pertama Masehi. Bagian dari "Kultus Buku", umat Mahāyāna menghargai dan memuja Sūtra Teratai seperti beberapa sutra Mahāyāna lainnya, mirip dengan pemujaan stūpa-stūpa sebelum kebangkitan Buddha Mahāyāna. Mereka memuja Sūtra Teratai melebihi sebagian besar sūtra. Sūtra itu sendiri mendeskripsikan jenis berbeda dari devosi untuknya—meraih dan menjaga, membaca, mengutip ulang, mengajar dan mentranskripsikannya—dan sebetulnya dipuja dalam sebagian besar cara. Dalam beberapa salinan, naskah-naskah menggambarkan setiap surat mirip dengan Buddha, tercerahkan dalam sebuah stūpa.[135][136][137]

Meskipun penerapan teori dari Sūtra Teratai mempengaruhi para cendekiawan tradisional, praktik-praktik devosional terkait sūtra tersebut lebih berdampak pada agama Buddha.[138] Aliran Tiantai Tiongkok (abad ke-6) dan bentuk Jepang-nya pada masa berikutnya, Tendai, makin mempromosikan pemujaan terhadap Sūtra Teratai, dengan memadukan devosi terhadap Buddha Amitābha.[139][140] Aliran-aliran tesebut meyakini bahwa sūtra tersebut merupakan hal tertinggi di antara seluruh ajaran Buddha, dan menuntun menuju pencerahan dalam kehidupan saat ini.[141] Beberapa aliran dari periode Kamakura (abad kedua belas sampai keempat belas), memegang wahyu pada Sūtra Teratai untuk mendirikan apa yang mereka pandang sebagai kendaraan atau wadah tunggal dari dharma, dan mereka hanya meyakini praktik ini yang menuntun masyarakat menuju tanah Buddha ideal.[142]

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Beberapa cendekiawan tak sepakat dengan pengartian tersebut. Selain itu, śraddhā dalam Weda diartikan sebagai "sikap pikiran berdasarkan pada kebenaran".[10]
  2. ^ Catatan tersebut dapat ditemukan di dunia maya di Kalāma Sutta, diterjemahkan oleh Soma Thera
  3. ^ Catatan tersebut dapat ditemukan di: Bhikkhu, Thanissaro. "Canki Sutta: With Canki". Diakses tanggal 2017-05-26. 

Kutipan

  1. ^ a b c d Gómez 2004b, hlm. 277.
  2. ^ a b c d e f Buswell & Lopez 2013, Śraddhā.
  3. ^ Kinnard 2004, hlm. 907.
  4. ^ Melton, J. Gordon (2010). "Relics" (PDF). Dalam Melton, J. Gordon; Baumann, Martin. Religions of the world: a comprehensive encyclopedia of beliefs and practices (edisi ke-2nd). Santa Barbara, California: ABC-CLIO. hlm. 2392. ISBN 978-1-59884-204-3. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 22 November 2017. 
  5. ^ a b c d Nakamura 1997, hlm. 392.
  6. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 388–9.
  7. ^ Buswell & Lopez 2013, Ānanda, Pañcabala, Śraddhā.
  8. ^ Conze 2003, hlm. 14.
  9. ^ Buswell & Lopez 2013, Āśraddhya.
  10. ^ Rotman 2008, Footnotes n.23.
  11. ^ a b Park 1983, hlm. 15.
  12. ^ a b Gómez 2004b, hlm. 278.
  13. ^ Findly 2003, hlm. 200.
  14. ^ Rotman 2008, Seeing and Knowing.
  15. ^ Rotman 2008, Seeing and Knowing, Getting and Giving.
  16. ^ a b Buswell & Lopez 2013, Śraddhā, Mūrdhan, Pañcabala, Xinxin.
  17. ^ a b Conze 2003, hlm. 78.
  18. ^ a b c Findly 2003, hlm. 203.
  19. ^ Barua 1931, hlm. 332–3.
  20. ^ Findly 2003, hlm. 205–6.
  21. ^ a b Barua 1931, hlm. 333.
  22. ^ Robinson & Johnson 1997, hlm. 35.
  23. ^ a b Spiro 1982, hlm. 34 n.6.
  24. ^ a b Suvimalee 2005, hlm. 601.
  25. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 384–5.
  26. ^ De Silva 2002, hlm. 214.
  27. ^ Gombrich 1995, hlm. 69–70.
  28. ^ Bishop, John (30 March 2016). "Faith". Dalam Zalta, Edward N. The Stanford Encyclopedia of Philosophy (edisi ke-Winter 2016). Metaphysics Research Lab, Stanford University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 November 2017. Diakses tanggal 17 August 2017. 
  29. ^ Gombrich 1995, hlm. 71.
  30. ^ Findly 1992, hlm. 258.
  31. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 277.
  32. ^ a b Lamotte 1988, hlm. 74–5.
  33. ^ a b Werner 2013, hlm. 45.
  34. ^ a b c d De Silva 2002, hlm. 216.
  35. ^ Barua 1931, hlm. 332.
  36. ^ Giustarini, G. (2006). "Faith and renunciation in Early Buddhism: saddhā and nekkhamma". Rivista di Studi Sud-Asiatici (I): 162. Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 September 2014. 
  37. ^ Lamotte 1988, hlm. 81.
  38. ^ Trainor 1989, hlm. 185–6.
  39. ^ Harvey, Peter (2013). "Dukkha, non-self, and the "Four Noble Truths"" (PDF). Dalam Emmanuel, Steven M. A companion to Buddhist philosophy. Chichester, West Sussex: Wiley-Blackwell. hlm. 31, 49. ISBN 978-0-470-65877-2. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 22 November 2017. 
  40. ^ Thomas 1953, hlm. 258.
  41. ^ a b c Jayatilleke 1963, hlm. 384.
  42. ^ a b c Harvey 2013, hlm. 246.
  43. ^ Tremblay, Xavier (2007). "The spread of Buddhism in Serindia" (PDF). Dalam Heirman, Ann; Bumbacher, Stephan Peter. The spread of Buddhism (edisi ke-online). Leiden: Brill Publishers. hlm. 87. ISBN 9789004158306. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 22 November 2017. 
  44. ^ Lamotte 1988, hlm. 247.
  45. ^ a b c d e De Silva 2002, hlm. 215.
  46. ^ Thomas 1953, hlm. 56, 117.
  47. ^ Findly 2003, hlm. 200, 202.
  48. ^ a b Findly 2003, hlm. 202.
  49. ^ Lamotte 1988, hlm. 74.
  50. ^ Harvey 2013, hlm. 85, 237.
  51. ^ De Silva 2002.
  52. ^ De Silva 2002, hlm. 214–5.
  53. ^ Ergardt, Jan T. (1977). Faith and knowledge in early Buddhism : an analysis of the contextual structures of an arahant-formula in the Majjhima-Nikāya. Leiden: Brill (penerbit ). hlm. 1. doi:10.2307/2054272. ISBN 9004048413. Der Buddhismus kennt keinen dem des Christentums vergleichbaren reinen Glauben, ... Die Idee eines blinden Glaubens, eines absoluten Vertrauens in die Worte eines Meisters ist dem Geist des alten Buddhismus ganz entgegengesetzt. 
  54. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 383.
  55. ^ Findly 2003, hlm. 201.
  56. ^ Gombrich 2006, hlm. 119–22.
  57. ^ Gombrich 2009, hlm. 199.
  58. ^ Gombrich 2006, hlm. 120–22.
  59. ^ Gombrich 2009, hlm. 200.
  60. ^ a b Wijayaratna 1990, hlm. 130–1.
  61. ^ a b Buswell & Lopez 2013, Kuladūșaka.
  62. ^ Harvey 2013, hlm. 245.
  63. ^ a b Kariyawasam, A.G.S. (1995). Buddhist Ceremonies and Rituals of Sri Lanka. The Wheel Publication. Kandy, Sri Lanka: Buddhist Publication Society. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 March 2013. Diakses tanggal 23 October 2007. 
  64. ^ a b Robinson & Johnson 1997, hlm. 43.
  65. ^ Buswell & Lopez 2013, Paramatthasaṅgha.
  66. ^ Werner 2013, hlm. 39.
  67. ^ Irons 2008, hlm. 403.
  68. ^ Suvimalee 2005, hlm. 604.
  69. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 390.
  70. ^ a b c Fuller 2004, hlm. 36.
  71. ^ a b Blakkarly, Jarni (5 November 2014). "The Buddhist Leap of Faith". ABC. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 July 2017. Diakses tanggal 24 July 2017. 
  72. ^ a b Suvimalee 2005, hlm. 603.
  73. ^ a b Kalupahana 1976, hlm. 27–8.
  74. ^ Kalupahana 1976, hlm. 27–9.
  75. ^ a b Holder 2013, hlm. 225–6.
  76. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 169–71.
  77. ^ a b c De Silva 2002, hlm. 215–6.
  78. ^ a b Jayatilleke 1963, hlm. 390–3.
  79. ^ Hoffmann 1987, hlm. 409.
  80. ^ Holder 2013, hlm. 227.
  81. ^ Werner 2013, hlm. 43–4.
  82. ^ Tuladhar-Douglas, William (2005). "Pūjā: Buddhist pūjā" (PDF). Dalam Jones, Lindsay. Encyclopedia of religion. 11 (edisi ke-2nd). Detroit: Thomson Gale. hlm. 7496. ISBN 0-02-865980-5. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-03-02. 
  83. ^ Suvimalee 2005, hlm. 602–3.
  84. ^ De Silva 2002, hlm. 214, 216.
  85. ^ a b Harvey 2013, hlm. 31.
  86. ^ a b Trainor 1989, hlm. 187.
  87. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 297.
  88. ^ Suvimalee 2005, hlm. 601–2.
  89. ^ De Silva 2002, hlm. 217.
  90. ^ Findly 1992, hlm. 265.
  91. ^ Harvey 2013, hlm. 237.
  92. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 396–7.
  93. ^ Barua 1931, hlm. 336.
  94. ^ a b Lamotte 1988, hlm. 49–50.
  95. ^ Hoffmann 1987, hlm. 405, 409.
  96. ^ Findly 1992, hlm. 268–9.
  97. ^ Harvey 2013, hlm. 28.
  98. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 388.
  99. ^ Werner 2013, hlm. 47.
  100. ^ Harvey 2013, hlm. 103.
  101. ^ Swearer, Donald K. (2010). The Buddhist world of Southeast Asia (PDF) (edisi ke-2nd). Albany: State University of New York Press. hlm. 77. ISBN 978-1-4384-3251-9. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 22 November 2017. 
  102. ^ Harvey 2013, hlm. 103, 105.
  103. ^ Smart 1997, hlm. 282.
  104. ^ Spiro 1982, hlm. 15m1.
  105. ^ Harvey 2013, hlm. 172.
  106. ^ Leaman 2000, hlm. 212.
  107. ^ Reynolds & Hallisey 1987, hlm. 1064.
  108. ^ Conze 2003, hlm. 154.
  109. ^ Getz 2004, hlm. 699.
  110. ^ a b Barber 2004, hlm. 707.
  111. ^ Smart 1997, hlm. 283–4.
  112. ^ Reynolds & Hallisey 1987, hlm. 1067.
  113. ^ Snellgrove 1987, hlm. 1078–9.
  114. ^ a b c Harvey 2013, hlm. 175.
  115. ^ a b Leaman 2000, hlm. 215.
  116. ^ Conze 2003, hlm. 150.
  117. ^ Higham 2004, hlm. 210.
  118. ^ Derris 2005, hlm. 1084.
  119. ^ Bielefeldt 2004, hlm. 389–90.
  120. ^ Murti, T.R.V. (2008) [1955]. The central philosophy of Buddhism: a study of the Mādhyamika system. London: Routledge. hlm. 6. ISBN 1-135-02946-6. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-22. 
  121. ^ Kiyota, Minoru (1985). "Tathāgatagarbha Thought: A Basis of Buddhist Devotionalism in East Asia". Japanese Journal of Religious Studies. 12 (2/3): 222. doi:10.2307/30233958 (tidak aktif 2018-01-29). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-20. 
  122. ^ a b Bielefeldt 2004, hlm. 390.
  123. ^ Buswell & Lopez 2013, Sanyao, Zongmen huomen.
  124. ^ Powers 2013, dai funshi ("great resolve").
  125. ^ Gómez 2004b, hlm. 279.
  126. ^ Buswell & Lopez 2013, Xinxin.
  127. ^ Harvey 2013, hlm. 255.
  128. ^ Dobbins 2002, hlm. 29.
  129. ^ Bloom, Alfred (1987). "Shinran" (PDF). Dalam Jones, Lindsay. Encyclopedia of religion. 12 (edisi ke-2nd). Detroit: Thomson Gale. hlm. 8355. ISBN 0-02-865981-3. Archived from the original on 2017-03-02. 
  130. ^ Schopen 2004, hlm. 496.
  131. ^ Derris 2005, hlm. 1085, 1087.
  132. ^ Shields 2013, hlm. 512.
  133. ^ Shields 2013, hlm. 512, 514.
  134. ^ Shields 2013, hlm. 512, 514–5.
  135. ^ Stone 2004a, hlm. 471, 474.
  136. ^ Buswell & Lopez 2013, Saddharmapuṇḍarīkasūtra.
  137. ^ Gummer, Natalie (2005). "Buddhist books and texts: Ritual uses of books" (PDF). Dalam Jones, Lindsay. Encyclopedia of religion. 2 (edisi ke-2nd). Detroit: Thomson Gale. hlm. 1262. ISBN 0-02-865997-X. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-03-02. 
  138. ^ Stone 2004a, hlm. 474.
  139. ^ Harvey 2013, hlm. 227.
  140. ^ Stone 2004a, hlm. 475.
  141. ^ Stone 2004a, hlm. 475–6.
  142. ^ Shields 2013, hlm. 514, 519, 521.

Sumber

Pranala luar