Emha Ainun Nadjib

Tokoh intelektual muslim asal Indonesia
Revisi sejak 18 Desember 2019 21.50 oleh JJ.Ahmad (bicara | kontrib) (Artikel dikembangkan dengan menambah judul tingkat 2 mengenai aktivitas Emha. Aktivitas di Malioboro, Iowa, Rotterdam dikembangkan pada bagian ini. Masing-masing dikembangkan dalam judul tingkat 3. Pengembangan sesuai sumber-sumber referensi yang ada. Juga dilakukan penambahan foto.)

Muhammad Ainun Nadjib atau biasa dikenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun atau Mbah Nun[4] (lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953; umur 66 tahun) adalah seorang tokoh intelektual Muslim Indonesia. Ia menyampaikan gagasan pemikiran dan kritik-kritiknya dalam berbagai bentuk: puisi, esai, cerpen, film, drama, lagu, musik, talkshow televisi, siaran radio, seminar, ceramah, dan tayangan video. Ia menggunakan beragam media komunikasi dari cetak hingga digital dan sangat produktif dalam berkarya.[5]

Emha Ainun Nadjib
LahirMuhammad Ainun Nadjib
27 Mei 1953 (umur 71)
Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Indonesia
Kebangsaan Indonesia
Nama lainCak Nun, Mbah Nun[1]
Dikenal atasTokoh intelektual Islam
Inisiator Masyarakat Maiyah
Suami/istriNeneng Suryaningsih (cerai 1985)[2]
Novia Kolopaking (1997–sekarang)[3]
AnakSabrang Mowo Damar Panuluh
Ainayya Al-Fatihah
Aqiela Fadia Haya
Jembar Tahta Aunillah
Anayallah Rampak Mayesha
Situs webwww.caknun.com

Ragam dan cakupan tema pemikiran, ilmu, dan kegiatan Cak Nun sangat luas seperti dalam bidang sastra, teater, tafsir, tasawwuf, musik, filsafat, pendidikan, kesehatan, Islam, dan lain-lain.[6] Selain penulis, ia juga dikenal sebagai seniman, budayawan, penyair, dan pemikir, juga kyai. Banyak orang mengatakan Cak Nun adalah manusia multi-dimensi.[7]

Menjelang kejatuhan pemerintahan Soeharto, Cak Nun merupakan salah satu tokoh yang diundang ke Istana Merdeka untuk dimintakan nasihatnya, yang kemudian celetukannya diadopsi oleh Soeharto berbunyi "Ora dadi presiden ora pathèken”.[8] Setelah Reformasi 1998, Cak Nun bersama Kiai Kanjeng memfokuskan berkegiatan bersama masyarakat di pelosok Indonesia. Aktivitasya berjalan terus dengan menginisiasi Masyarakat Maiyah, yang berkembang di seluruh negeri hingga mancanegara.[9] Cak Nun bersama Kiai Kanjeng dan Masyarakat Maiyah mengajak untuk membuka yang sebelumnya belum pernah dibuka. Memandang, merumuskan dan mengelola dengan prinsip dan formula yang sebelumnya belum pernah ditemukan dan dipergunakan.[10]

Kehidupan pribadi

Cak Nun merupakan anak keempat dari 15 bersaudara.[11] Lahir dari pasangan Muhammad Abdul Latief dan Chalimah. Ayah Cak Nun merupakan tokoh agama (kyai) yang sangat dihormati masyarakat Desa Mentoro, Sumobito, Jombang.[12] Begitu juga ibunya merupakan panutan warga yang memberikan rasa aman dan banyak membantu masyarakat.[11] Kakak tertua Cak Nun bersaudara, yaitu Ahmad Fuad Effendy merupakan anggota Dewan Pembina King Abdullah bin Abdul Aziz International Center Saudi Arabia.[13]

Paman Cak Nun, adik ayahnya, yaitu almarhum K.H. Hasyim Latief[14], merupakan pendiri Pertanu (Persatuan Tani dan Nelayan NU), ketua PWNU Jawa Timur, wakil Ketua PBNU, wakil Rais Syuriah PBNU, dan Mustasyar PBNU[15] yang mendirikan Yayasan Pendidikan Maarif (YPM) di Sepanjang, Sidoarjo.[16] Dari garis ayah, Cak Nun bersaudara dengan aktivis masyarakat miskin kota Wardah Hafidz dan Ali Fikri yang masih sepupu ayah Cak Nun.[16] Dari garis ayahnya ini, kakek buyut Cak Nun, yaitu Imam Zahid, adalah murid Syaikhona Kholil Bangkalan bersama dengan K.H. Hasyim Asyari, K.H. Ahmad Dahlan, dan K.H. Romly Tamim.[17]

 
Emha Ainun Nadjib (berdiri paling kanan mengenakan kopiah) di masa kecil bersama keluarganya.

Pendidikan formal Cak Nun dimulai dari Sekolah Dasar di desanya. Karena semenjak kecil ia sangat peka atas segala bentuk ketidakadilan, ia sempat dianggap bermasalah oleh para guru karena memprotes dan menendang guru yang dianggapnya tak berlaku adil.[18] Kemudian oleh ayahnya, ia dikirim ke Pondok Modern Darussalam Gontor. Pada masa tahun ketiganya di Gontor, Cak Nun sempat menggugat kebijakan pihak keamanan Pondok yang dianggapnya tidak berlaku adil. Ia pun memimpin “demonstrasi” bersama santri-santri lain sebagai bentuk protes. Namun protes itu berujung pada dikeluarkannya Cak Nun dari Pondok.[19] Kemudian ia pindah ke Yogyakarta melanjutkan sekolah di SMP Muhammadiyah 4 dan selanjutnya tamat SMA Muhammadiyah 1[20] bersama dengan teman karibnya, Busyro Muqoddas. Usai SMA, Cak Nun diterima di Fakultas Ekonomi UGM. Di “kampus biru” ini, ia bertahan hanya satu semester, atau tepatnya empat bulan saja.[20] Sebenarnya ia juga diterima di Fakultas Filsafat UGM namun tidak mendaftar ulang.

Istrinya, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi. Bersama Novia, ia dikaruniai empat anak, yaitu Ainayya Al-Fatihah (meninggal di dalam kandungan)[21], Aqiela Fadia Haya, Jembar Tahta Aunillah, dan Anayallah Rampak Mayesha.[22] Sabrang Mowo Damar Panuluh adalah salah satu putranya yang kini tergabung dalam grup band Letto.

Aktivitas

Malioboro

Pada akhir tahun 1969 ketika masih SMA, Cak Nun memulai proses kreatifnya dengan hidup “menggelandang” di Malioboro, Yogyakarta selama lima tahun hingga 1975.[23] Kala itu, Malioboro menjadi tempat bertemu para aktivis mahasiswa, sastrawan, dan seniman Yogyakarta.[24] Malioboro menjadi salah satu poros dalam jalur Bulaksumur-Malioboro-Gampingan yang menandakan dialektika intelektual-sastra-seni rupa.[25] Di Malioboro ini, Cak Nun bergabung dengan PSK (Persada Studi Klub), sebuah ruang studi sastra bagi penyair muda Yogyakarta yang diasuh oleh Umbu Landu Paranggi[23], seorang sufi yang hidupnya misterius. Banyak yang mengatakan pertemuan dengan Umbu memberikan pengaruh dalam perjalanan hidup Cak Nun selanjutnya.[26]

PSK yang didirikan tahun 1969 dan aktif hingga 1977 telah melahirkan sejumlah sastrawan terkemuka Indonesia, di antaranya Teguh Ranusastra Asmara, Iman Budhi Santosa, Ragil Suwarna Pragolapati, Linus Suryadi AG, Korrie Layun Rampan, dan Cak Nun sendiri.[27] Keberadaan PSK tidak dapat dipisahkan dengan Mingguan Pelopor Yogya. Kehidupan di PSK, di bawah asuhan Umbu, memang menuntut setiap penyair mudanya untuk berpacu setiap saat dengan “kehidupan puisi”.[25] Di PSK, Cak Nun termasuk yang produktif menghasilkan karya sehingga di usia yang masih belia, belum genap 17 tahun, ia sudah mendapatkan legitimasi sebagai penyair dan disematkan sebagai penyair garda depan yang dimiliki Yogyakarta.[28]

Semasa di Malioboro ini, Cak Nun yang masih SMA sering bolos sekolah karena asyik dengan dunia sastra. Ia pernah membolos hampir 40 hari dalam satu semester. Ini membuat ia mulai tidak disukai guru-gurunya, ditambah rambutnya gondrong yang dianggap melanggar peraturan sekolah. Tapi ia mengatakan bahwa dirinya lebih suka mencari hal-hal yang belum diketahuinya namun tidak didapatkannya di sekolah.[29]

Wartawan

Masih dalam masa berproses bersama PSK di bidang sastra, Cak Nun juga aktif dalam dunia jurnalistik dan kepenulisan, tahun 1973 sampai 1976. Sebagai wartawan serta redaktur beberapa rubrik di Harian Masa Kini Yogyakarta, seperti: Seni-Budaya, Kriminalitas, dan Universitaria, pun redaktur tamu di Harian Bernas selama tiga bulan.[30] Pada usia 24-25, tahun 1977-1978, kualitas esai-esai Cak Nun sudah diakui publik dan diterima harian Kompas. Pada 1981 saat usia Cak Nun 28 tahun, majalah Tempo telah menerima tulisan kolom-kolomnya dan ia menjadi kolumnis termuda majalah itu.[31]

Lima tahun (1970-1975) Cak Nun menggeluti dunia kewartawanan. Berbeda dengan wartawan modern dalam mendefinisikan peran dan tugasnya sebagai penyiar berita, Cak Nun memiliki prinsip kewartawanan yang niscaya berhubungan dengan transendensi. Cak Nun menjelaskannya sebagai berikut:[32]

“Sekurang-kurangnya para wartawan adalah jari-jemari Al-Khabir, yang maha mengabarkan. Para wartawan menyayangi dinamika komunikasi masyarakat, Ar-Rahman. Mereka memperdalam cinta kemasyarakatannya itu, Ar-Rahim. Mereka memelihara kejujuran, kesucian, dan objektivitas setiap huruf yang diketiknya, Al-Quddus. Mereka berkeliling ronda menyelamatkan transparansi silaturahmi, As-Salam. Mereka mengamankan informasi, Al-Mu`min. Mereka mengemban tugas untuk turut menjaga berlangsungnya keseimbangan nilai kebenaran, kebaikan dan keindalan, dalam kehidupan masyarakat: Al-Muhaimin. Mereka menggambar indahnya kehidupan dengan penanya, Al-Mushawwir. Serta berpuluh-puluh lagi peran Tuhan yang didelegasikan kepada kaum jurnalis atau para wartawan”.

Musik Puisi

Tahun 1977/1978, Cak Nun bergabung dengan Teater Dinasti yang didirikan oleh Fajar Suharno, Gajah Abiyoso, dan Tertib Suratmo. Pada masa ini, keterlibatan Cak Nun bersama Teater Dinasti, dan keikutsertaan Teater Dinasti bersama Cak Nun tidak bisa dipisahkan.[33] Bersama Teater Dinasti ini, Cak Nun intensif mementaskan puisi dalam rentang perjalanan sejak 1978 sampai 1987. Ia menggunakan bahasa Jawa “jalanan” dan ungkapan-ungkapan populer yang bersifat oral dan menimbulkan plesetan mendekonstruksi logika, makna, serta humor dalam puisi-puisinya dan mengangkat masalah-masalah sosial.[34] Karya-karyanya bersama Teater Dinasti dianggap menjadi fenomena baru dalam pemanggungan puisi sehingga banyak dibicarakan oleh pengamat kesenian karena diiringi alunan musik dari seperangkat gamelan.[34]

 
Pementasan Musik Puisi Emha Ainun Nadjib bersama Teater/Karawitan Dinasti di akhir tahun 1970-an.

Pada tanggal 8 Desember 1980, Cak Nun dan Teater Dinasti mementaskan puisi di Teater Arena Taman Ismail Marzuki (TIM) yang berjudul Tuhan. Pembacaan puisi yang diiringi musik gamelan Jawa pada masa itu merupakan bentuk musikalisasi puisi yang tidak lazim. Karena itu, Cak Nun menyebut pementasan seperti itu sebagai “musik puisi”, bukan musikalisasi puisi.[35] Model pertunjukan demikian diakui Cak Nun sebagai terobosan dan merupakan strategi agar mendekatkan puisi kepada masyarakat di kampung-kampung. Hal ini lazim karena masyarakat pedesaan masih lekat dengan seni tradisi yang memposisikan gamelan Jawa sebagai instrumen utama.[36] Menariknya, gamelan yang digunakan berbeda dengan gamelan pada umumnya, yaitu menggunakan besi, bukan kuningan. Pembacaan puisi dengan menggunakan gamelan besi oleh Cak Nun ini adalah bentuk pembelaan dan perhatiannya pada golongan masyarakat kelas bawah. Konsep bunyi gamelan besi mewakili kelas bawah, dibanding gamelan kuningan dan perunggu yang mewakili golongan elite, bangsawan, ningrat, dan semacamnya.[37]

Puisi-puisi Cak Nun selain dibacakan, juga banyak yang dimusikpuisikan. Pada akhir 1970-an, ia bersama Deded Er Moerad di Yogyakarta aktif menyelenggarakan poetry singing. Pada masa-masa itu pula, proses kreatif Cak Nun dijalani juga bersama Ebiet G Ade (penyanyi), Eko Tunas (cerpenis/penyair), dan EH. Kartanegara (penulis).[38] Keempat nama ini sering disebut Empat E: Emha, Ebiet, Eko, Eha.[39] Kelompok ini acapkali ngamen puisi di kampung-kampung dan kampus-kampus.[38] Ebiet, sebelum menjadi penyanyi terkenal banyak belajar dari Cak Nun dengan menyanyikan puisi karya Emily Dickinson dan Cak Nun.[40]

Teater

Di Teater Dinasti, Cak Nun berkolaborasi dengan Gajah Abiyoso, Fajar Suharno, Simon Hate, Joko Kamto, dan Agus Istiyanto, yang sangat produktif melahirkan ide-ide dan pemikirannya dalam puisi-puisi dan naskah-naskah drama, seperti Keajaiban Lik Par (1980), Mas Dukun (1982), Geger Wong Ngoyak Macan (1989), dan Patung Kekasih (1989).[35] Kemenyatuan Cak Nun dan Teater Dinasti, selain pembacaan puisi, melalui pertunjukan drama teater menyuguhkan keunikan tersendiri di awal tahun 1980-an yang membuatnya semakin dikenal masyarakat sehingga banyak permintaan pementasan.[41]

Cak Nun juga diikutsertakan dalam lokakarya teater tahun 1980 pada Phillippine Educational Theatre Association (PETA), sebuah OAO—konsep teater yang mengusung nilai-nilai organisatoris, artistikal, dan orientatif—di Manila, Filipina.[42] Cak Nun, antara lain bersama Fred Wibowo dan Ariel Heryanto adalah peserta dari Indonesia angkatan pertama.[42] Persinggungan Cak Nun dan kawan-kawan Teater Dinasti dengan metode teater pembebasan PETA di Filipina ini tampaknya memicu mereka memberikan berbagai kegiatan pendidikan politik kepada rakyat melalui teater sebagai wahana ekspresi spirit pembebasan. Teater Dinasti pada era itu merupakan pelopor yang konsen dalam menggarap konsep teater pendidikan.[43]

Iowa, Rotterdam, Berlin

PSK di masa aktifnya sering mengadakan kegiatan dialog sastra bersama Umar Kayam dan sastrawan lainnya yang dipandang mapan di wilayah sastra nasional. Cak Nun dan Linus Suryadi AG dikenal memiliki kedekatan dengan beliau. Tahun 1984, Umar Kayam merekomendasikan Cak Nun untuk mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat.[44]

Sebagai sastrawan, Cak Nun juga diundang dalam beberapa acara internasional. Tahun 1984, Cak Nun diundang untuk mengikuti The International Poetry Reading Festival di Rotterdam Belanda. Seorang profesor di Universitas Leiden, anggota committee festival, yang menentukan siapa saja yang layak diundang ke festival bergengsi itu. Atas saran Siswa Santoso, sahabat Cak Nun ketika aktif dalam diskusi di rumah almarhum Umar Kayam di Yogyakarta pada akhir era 70-an awal 80-an, seorang Emha Ainun Nadjib adalah sosok yang bisa diundang yang dianggap akan “menghidupkan” event itu.[45]

Berawal hanya diundang untuk mengisi festival, keberadaan Cak Nun di Belanda kemudian berlanjut. Profesor Ben White dari ISS Den Haag menyukai pemikiran Cak Nun sehingga didukung untuk berkegiatan mau apa saja di ISS Den Haag selama setahun. Cak Nun bisa kuliah, seminar, konferensi, ke Berlin, ke mana-mana, asalkan untuk mendukung imajinasinya menulis. Tulisan-tulisannya pada periode itu banyak dimuat di buku Dari Pojok Sejarah.[45]

Tahun 1985, Cak Nun mengikuti Festival Horizonte III di Berlin, Jerman. Pada festival ini, ia membacakan puisi-puisinya yang dipadukan dengan ayat-ayat Al-Qur`an.[46] Seperti ketika di Rotterdam, Cak Nun juga kemudian menetap lama di Jerman. Tahun 1983, Cak Nun bersama Gus Dur dan rombongan berkunjung ke Jerman, mereka menginap di kediaman Adnan Buyung Nasution yang sedang studi. Di sini Cak Nun bertemu dengan Pipit Rochiyat Kartawidjaja yang kemudian saling menemukan kecocokan pemikiran. Ketika berkelana di Jerman tahun 1985 itu, Cak Nun tinggal di rumah Pipit. Sebagian tulisan dalam buku Dari Pojok Sejarah juga ditulis di sana.[47]

Mandar

Di Yogyakarta, seorang asli Mandar Sulawesi Barat, alumni APMD Yogyakarta yang kemudian menjadi Pegawai Negeri Sipil yang suka sastra, bersahabat dengan Cak Nun. Namanya Alisjahbana.[48] Di kampungnya sekitar tahun 1983, di Tinambung, Alisjahbana menghimpun puluhan anak muda yang setiap malam mangkal dan bernyanyi-nyanyi di pinggir jalan, liar dan suka mabuk-mabukkan. Anak muda yang tidak mampu mengakses bangku persekolahan dan perkuliahan dihimpun dalam sebuah komunitas yang diarahkan sebagai wahana pembinaan pengembangan seni budaya. Nama komunitas itu adalah Teater Flamboyant.[49]

Alisjahbana membina mereka agar bisa terarah dan mempunyai prospek dalam hidupnya ke depan. Secara pelan dan bertahap anak-anak muda liar dan suka mabuk-mabukkan itu, bisa terkendali. Salah satu cara ia membangun mimpi mereka, dengan mengenalkan beberapa orang pintarnya Indonesia ke mereka. Salah satunya adalah Cak Nun. Setiap tulisan Cak Nun yang terbit di majalah terkemuka nasional, difotokopi sebanyak mungkin kemudian dibagikan, kemudian malamnya didiskusikan sampai larut. Perlahan tumbuh rasa cinta anak-anak muda itu ke Cak Nun. Tidak satupun tulisannya yang ada di sejumlah media dilewatkan.[49]

Tahun 1987, atas inisiatif anak-anak itu, Cak Nun diundang ke Mandar. Ia disambut dengan gembira. Selama di Mandar, ia melakukan berbagai aktivitas. Memimpin langsung workshop teater, memandu anak-anak muda dalam diskusi dengan aneka topik, mandi ke sungai Mandar, sambil menantang anak-anak Mandar berlomba menyelam.[49] Tidak hanya bagi anak-anak muda ini, kedatangan Cak Nun juga punya arti besar bagi masyarakat Tinambung. Ketika itu Tinambung sedang mengalami kemarau panjang. Cak Nun lalu mengajak masyarakat bersama-sama sembahyang minta hujan. Begitu rampung shalat, hujan turun dengan lebatnya. Dan Cak Nun dianggap membuat keajaiban hingga banyak orang-orang tua mendatanginya di penginapan untuk meminta berkah doa dan pengobatan.[50]

Tanggal 23-26 April 1989, Cak Nun datang kembali ke Tinambung bersama Nevi Budianto untuk kembali mengadakan workshop teater. Kegiatan ini juga diikuti pemuda-pemuda sekitar Tinambung: Polewali, Wonorejo, dan Campalagian.[50] Cak Nun pun sering ke Mandar pada tahun-tahun berikutnya hingga terjalin hubungan persaudaran yang sangat kuat antara mereka.[51] Cak Nun diaulat sebagai orang Mandar yang lahir di Jombang oleh tokoh-tokoh masyarakat Mandar yang berhimpun di Yayasan Sipamandar.[49] Cak Nun juga menjadi dekat dengan tokoh Mandar, yaitu Baharuddin Lopa[52] dan Bunda Cammana.

Tahun 2011, bertempat di Gedung Cak Durasim Surabaya, Cak Nun bersama Masyarakat Maiyah memberikan Ijazah Maiyah dan Syahadah Maiyah kepada mereka yang meneguhkan 5 prinsip nilai-nilai kehidupan: Kebenaran, Kesungguhan, Otensitas, Kesetiaan, Keikhlasan. Dua di antara 12 orang penerimanya adalah orang Mandar: Alisjahbana dan Bunda Cammana.

Kedekatannya dengan masyarakat Mandar, membuat Cak Nun diminta memediasi pertemuan pejuang pembentukan Sulawesi Barat dengan Gus Dur yang ketika itu menjadi Presiden. Dengan terlibatnya Cak Nun, masyarakat Mandar yakin perjuangan pembentukan Sulawesi Barat yang sudah lama diupayakan akan membuahkan hasil. Akhirnya September 2004, Provinsi Sulawesi Barat bisa terwujud.[53]

Lautan Jilbab

Selain bersama Teater Dinasti, di era tahun 1980-an dan awal 1990-an, Cak Nun juga menghasilkan karya-karya naskah pementasan drama seperti Santri-santri Khidlir, Sunan Sableng dan Baginda Faruq, Keluarga Sakinah, Lautan Jilbab, Pak Kanjeng, dan Perahu Retak.[54] Pementasan Lautan Jilbab diangkat dari judul puisi berjudul sama. Puisi ini tercipta pada 16 Mei 1987 secara spontan, sore hari sebelum Cak Nun mengisi acara “Ramadlan in Campus” yang diselenggarakan Jamaah Shalahuddin UGM.[55] Setelah penampilan penyair Taufiq Ismail di boulevard UGM, pentas puisi Lautan Jilbab mendapat sambutan hangat 6000-an orang yang hadir.[56] Puisi ini kemudian mengalami revisi, dari satu judul berkembang menjadi 33 sub judul yang terhimpun dalam buku Syair Lautan Jilbab yang terbit tahun 1989.[40]

Pada masa Orde Baru ketika itu, pemakaian jilbab di kalangan muslimah Indonesia, terutama di sekolah dan di tempat kerja dilarang oleh pemerintah. Karena pemakaian jilbab dianggap sebagai fenomena politik Islam.[57] Atas bentuk represi Orde Baru itu, Cak Nun yang sejak kecil menentang ketidakadilan, memandang tindakan pemerintah ini melanggar hak asasi perempuan untuk berjilbab. Puisi Lautan Jilbab ini merupakan resistensi Cak Nun terhadap pembatasan hak asasi manusia oleh Orde Baru.[58]

Drama Lautan Jilbab pertama kali dipentaskan kelompok Sanggar Shalahuddin UGM. Pementasan ini dianggap memecahkan rekor jumlah penonton. Tidak kurang dari 3000 penonton di malam pertama, dan sekitar 2000 penonton di malam kedua.[59] Karena antusias yang tinggi itu, drama ini dipentaskan di banyak kota selain di Yogyakarta, yaitu di Madiun, Malang, Surabaya, Bandung, Jember, dan Makassar.[60]

Puisi dan pementasan teater Lautan Jilbab tak ubahnya sebuah ajakan perlawanan. Sejak itu pemakaian jilbab punya arti perlawanan terhadap otoritarianisme Orde Baru.[61] Cak Nun mengungkapkan alasan perlawanannya:[61]

Pakai jilbab atau tak berjilbab adalah otoritas pribadi setiap wanita. Pilihan atas otoritas itu silahkan diambil dari manapun: dari studi kebudayaan, atau langsung dari kepatuhan teologis. Yang saya perjuangkan bukan memakai jilbab atau membuang jilbab, melainkan hak setiap manusia untuk memilih.

Menurut Niels Murder, seorang sosiolog Belanda yang perhatian kepada perkembangan sosiokultural Indonesia, sejak pentas Lautan Jilbab oleh Cak Nun bersama Sanggar Shalahuddin digelar, busana muslimah berjilbab menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia.[62][63]

ICMI

Cak Nun tidak menamatkan kuliah, tetapi ia dipandang sebagai salah satu intelektual terkemuka di Indonesia. Dekan Fakultas Psikologi UI tahun 1991, Dr. Yaumil Agus Akhir, mengatakan bahwa Cak Nun layak diberi gelar honouris causa, atau bahkan profesor karena pikiran dan wawasannya yang luas dan didukung analisis yang tajam.[64] Pada usianya yang belum genap 40 tahun, Cak Nun dimasukkan ke dalam jajaran kepengurusan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) yang dibentuk pada Desember 1990, dipimpin oleh B. J. Habibie.[65] Terkait hal ini, Cak Nun sejak awal mempertanyakan keterlibatannya di ICMI dengan bersurat langsung ke B. J. Habibie karena namanya dimasukkan dalam jajaran pengurus ICMI tanpa konfirmasi dan persetujuan resmi darinya.[66]

Cak Nun menerima dijadikan Ketua Bidang Dialog Kebudayaan, lantaran B. J. Habibie menjanjikan ICMI mampu menyelesaikan persoalan Waduk Kedungombo.[67] Namun, ICMI tidak berhasil membantu masyarakat Kabupaten Sragen, Boyolali, dan Grobogan, yang tertindas karena tidak mendapatkan ganti rugi tanah yang digunakan Orde Baru untuk pembangunan waduk.[68] Karena itu, Cak Nun memutuskan keluar dari ICMI.[69] Bulan Februari 1991, secara resmi Cak Nun mengirimkan surat pengundurannya langsung kepada B. J. Habibie.[70] Praktis hanya dua bulan ia menjadi pengurus ICMI.

Pak Kanjeng

Pak Kanjeng merupakan naskah Cak Nun, yang dipentaskan untuk mengkritik dan merespons kesemena-menaan penguasa rezim Orde Baru ketika membangun Waduk Kedungombo.[71] Setelah sebelumnya sangat sulit sekali mendapat izin pentas, tanggal 16 dan 17 November 1993 di Purna Budaya Yogyakarta (sekarang menjadi Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri UGM]), lakon Pak Kanjeng dipentaskan. Lakon ini memotret perlawanan Pak Jenggot dalam menolak pembangunan Waduk Kedungombo di Boyolali, Jawa Tengah. Pementasan ini ditampilkan dengan bahasa yang sangat deras, keras, tajam, pintar, dan sarkastis.[72]

Pak Kanjeng diperankan oleh tiga aktor yaitu Joko Kamto, Nevi Budianto, dan Butet Kertaradjasa. Ketiganya masing-masing menggambarkan sebuah pribadi yang terpecah menjadi tiga: yang keras melawan, yang lunak toleran, dan yang ragu-ragu. Itu merupakan tiga faset kejiwaan Pak Kanjeng dalam menghadapi kekuasaan Orde Baru.[71] Pementasan ini digarap oleh Komunitas Pak Kanjeng (yang memang diambil dari judul naskah ini) dengan forum penyutradaraan oleh sembilan sutradara.[71] Selain ketiga pemainnya, dalam forum sutradara ini turut terlibat pula Agus Noor, Indra Tranggono, Djadug Ferianto, dan Cak Nun sendiri.[73] Gagasan berani dan keras dalam pementasan lakon yang mengkritik Orde Baru ini menyebabkan pertunjukannya dilarang di berbagai kota.[74]

Bagi Cak Nun sendiri, Pak Kanjeng bukan terutama sebuah pertunjukan. Melainkan sebuah laboratorium budaya, Laboratorium Pak Kanjeng yang kemudian dalam pementasan-pementasan selanjutnya menjadi Komunitas Pak Kanjeng (KPK). Komunitas ini pada akhirnya mengalami perubahan format, bermetamorfosa menjadi Gamelan Kiai Kanjeng yang diinisiasi oleh Toto Rahardjo. Personel awal adalah Nevi Budianto, Joko Kamto, Bayu Kuncoro, Narto Piul. Selanjutnya beberapa personel baru pun direkrut seperti Bobiet, Joko SP, Azied Dewa, Yoyok Prasetyo, Imoeng, Ismarwanto, dan Giyanto. Kemudian Kiai Kanjeng pada tahun-tahun selanjutnya selalu bersama Cak Nun dalam melayani masyarakat.[75]

Televisi dan Radio

Setelah sebelumnya Cak Nun banyak menyampaikan gagasan dan kritiknya lewat media cetak, seminar, ceramah, pementasan musik puisi dan pertunjukan drama, pada pertengahan 1990-an ia memanfaatkan media audio-visual. Bersama Kiai Kanjeng, pada 29 April 1996 Cak Nun mementaskan musik puisi Talbiyah Cinta di RCTI untuk menyambut Idul Adha.[75] Beberapa seniman terlibat seperti Ita Purnamasari, Novia Kolopaking, Gito Rollies, Dewi Gita, Amak Baldjun, Amoroso Katamsi, dan Wiwiek Sipala.

Masih di tahun 1996, stasiun televisi Indosiar setiap hari menyiarkan program acara Cermin, yang digagas Cak Nun dan Uki Bayu Sejati.[76] Dengan pembawaannya, Cak Nun mengajak para penonton untuk tenang dan rileks ketika menikmati tontonan berdurasi sangat singkat, sekitar satu atau dua menit.[77] Cak Nun muncul di antara tayangan iklan atau acara-acara lainnya, sebanyak 70 episode. Pesan yang disampaikannya cukup variatif. Tak lepas dari sentuhan moral agama dan masalah sosial.[78] Program ini dimaksudkan Cak Nun untuk menyajikan kepada pemirsa, sebuah tayangan yang lebih kontemplatif dan berprioritas moral, di tengah kondisi siaran televisi yang dipenuhi hiburan-hiburan ringan dan hanya mimpi-mimpi.[79] Selain Cermin, di Indosiar Cak Nun juga pernah memproduksi dan menayangkan sebuah talk show yang bernuansa santai tapi berisi tema-tema serius dan kritis. Acara yang tayang setiap Kamis malam ini bernama Gardu.[76]

Cak Nun dilibatkan dalam sebuah perhelatan besar di masa Orde Baru yang mendapat porsi tayangan media sangat penting. Yaitu siaran malam takbiran tahun 1997. Bertempat di kawasan Monumen Nasional (Monas), acara yang bertajuk Gema Zikir dan Takbir digelar.[80] Penting karena Presiden Soeharto memimpin langsung takbiran itu. Sebuah momen langka Soeharto takbiran nasional. Bersama Soeharto dalam takbiran itu adalah Wakil Presiden Try Sutrisno, Rhoma Irama, K.H. Zainuddin MZ, Cak Nun, Prof. Dr. Quraisy Shihab, K.H. Hasan Basri, Muammar Z.A., dan K.H. Ilyas Ruchiyat.[81]

Takbiran yang memang bernuansa politis, namun juga kental dengan unsur budaya. Hadirnya 'raja dangdut' Rhoma Irama dan Cak Nun menjadi magnet tersendiri. Takbir dan zikir penuh warna kesenian nuansa Islami yang tidak monoton.[81] Sebuah penggalan zikir pencerahan di masa menjelang krisis moneter itu disampaikan Cak Nun:[80]

Wahai Engkau pembuka segala pintu. Mohon. Jangan lagi bukakan pintu kelaliman di hati kami. Jangan bukakan lagi pintu kekerasan dan kebrutalan. Jangan bukakan pintu benci dan dengki di dalam jiwa kami. Mohon. Mohon. Jangan bukakan api dari lubuk nafsu kami. Ya Allah. Jangan bukakan pintu kerusuhan-kerusuhan lagi.

Selain televisi, Cak Nun berkomunikasi kepada masyarakat lewat frekuesi radio. Rekaman suara pemikirannya pernah disiarkan Radio Delta FM dalam tajuk Catatan Kehidupan.[82] Bulan Ramadlan tahun 2018 dan 2019, Cak Nun juga menyampaikan pesan-pesannya dalam program Radio Suara Surabaya bertajuk Tasbih.[83]

Cak Nun juga pernah terlibat dalam produksi film Rayya, Cahaya di Atas Cahaya (2011), skenario film ditulis bersama Viva Westi.

Kajian islami

Dalam kesehariannya, Emha terjun langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensi rakyat. Di samping aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padhang Bulan, ia juga berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, rata-rata 10 sampai15 kali per bulan bersama Gamelan Kiai Kanjeng, dan rata-rata 40 sampai 50 acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Kajian-kajian islami yang diselenggarakan oleh Cak Nun antara lain:

  • Jamaah Maiyah Kenduri Cinta sejak tahun 1990-an yang dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki. Kenduri Cinta adalah salah satu forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang dikemas sangat terbuka, nonpartisan, ringan dan dibalut dalam gelar kesenian lintas gender, yang diadakan di Jakarta setiap satu bulan sekali.
  • Mocopat Syafaat Yogyakarta
  • Padhangmbulan Jombang
  • Gambang Syafaat Semarang
  • Bangbang Wetan Surabaya
  • Paparandang Ate Mandar
  • Maiyah Baradah Sidoarjo
  • Obro Ilahi Malang, Hongkong dan Bali
  • Juguran Syafaat Banyumas Raya
  • Maneges Qudroh Magelang
  • Damar Kedhaton Gresik

Dalam pertemuan-pertemuan sosial itu ia melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metode perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.

Teater

Memacu kehidupan multi-kesenian Yogya bersama Halim HD, jaringan kesenian melalui Sanggar Bambu, aktif di Teater Dinasti dan menghasilkan repertoar serta pementasan drama. Beberapa karyanya:

  • Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan 'Raja' Soeharto),
  • Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan),
  • Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern),
  • Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).
  • Kemudian bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun),
  • Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar),
  • Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).
  • Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, serta Duta Dari Masa Depan.
  • Dan yang terbaru adalah pementasan teater Tikungan Iblis yang diadakan di Yogyakarta dan Jakarta bersama Teater Dinasti
  • Teater Nabi Darurat Rasul AdHoc bersama Teater Perdikan dan Letto yang menggambarkan betapa rusaknya manusia Indonesia sehingga hanya manusia sekelas Nabi yang bisa membenahinya (2012)

Bibliografi

Puisi

  • “M” Frustasi (1976),
  • Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978),
  • Sajak-Sajak Cinta (1978),
  • Nyanyian Gelandangan (1982),
  • 99 Untuk Tuhanku (1983),
  • Suluk Pesisiran (1989),
  • Lautan Jilbab (1989),
  • Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990),lalalaw
  • Cahaya Maha Cahaya (1991),
  • Sesobek Buku Harian Indonesia (1993),
  • Abacadabra (1994),
  • Syair-syair Asmaul Husna (1994)

Essai/Buku

  • Dari Pojok Sejarah (1985),
  • Sastra yang Membebaskan (1985)
  • Secangkir Kopi Jon Pakir (1990),
  • Markesot Bertutur (1993),
  • Markesot Bertutur Lagi (1994),
  • Opini Plesetan (1996),
  • Gerakan Punakawan (1994),
  • Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996),
  • Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994),
  • Slilit Sang Kiai (1991),
  • Sudrun Gugat (1994),
  • Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995),
  • Bola- Bola Kultural (1996),
  • Budaya Tanding (1995),
  • Titik Nadir Demokrasi (1995),
  • Tuhanpun Berpuasa (1996),
  • Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997),
  • Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997),
  • Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997),
  • 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998),
  • Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998),
  • Kiai Kocar Kacir (1998),
  • Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (Penerbit Zaituna, 1998),
  • Keranjang Sampah (1998) Ikrar Husnul Khatimah (1999),
  • Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000),
  • Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000),
  • Menelusuri Titik Keimanan (2001),
  • Hikmah Puasa 1 & 2 (2001),
  • Segitiga Cinta (2001),
  • Kitab Ketentraman (2001),
  • Trilogi Kumpulan Puisi (2001),
  • Tahajjud Cinta (2003),
  • Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun (2003),
  • Folklore Madura (Agustus 2005, Yogyakarta: Penerbit Progress),
  • Puasa Itu Puasa (Agustus 2005, Yogyakarta: Penerbit Progress),
  • Syair-Syair Asmaul Husna (Agustus 2005, Yogyakarta; Penerbit Progress)
  • Kafir Liberal (Cet. II, April 2006, Yogyakarta: Penerbit Progress),
  • Kerajaan Indonesia (Agustus 2006, Yogyakarta; Penerbit Progress),
  • Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006; Penerbit Kompas),
  • Istriku Seribu (Desember 2006, Yogyakarta; Penerbit Progress),
  • Orang Maiyah (Januari 2007, Yogyakarta; Penerbit Progress,),
  • Tidak. Jibril Tidak Pensiun (Juli 2007, Yogyakarta: Penerbit Progress),
  • Kagum Pada Orang Indonesia (Januari 2008, Yogyakarta; Penerbit Progress),
  • Dari Pojok Sejarah; Renungan Perjalanan Emha Ainun Nadjib (Mei 2008, Yogyakarta: Penerbit Progress)
  • DEMOKRASI La Raiba Fih(cet ketiga, Mei 2010, Jakarta: Kompas)

Penghargaan

Bulan Maret 2011, Emha memperoleh Penghargaan Satyalancana Kebudayaan 2010 dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.[84] Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, penghargaan diberikan berdasarkan pertimbangan bahwa si penerima memiliki jasa besar di bidang kebudayaan yang telah mampu melestarikan kebudayaan daerah atau nasional serta hasil karyanya berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara.[84]

Referensi

  1. ^ "Riwayat Panggilan 'Mbah Nun'". CakNun.com. Diakses tanggal 6 Desember 2019. 
  2. ^ "Anak Petani Menggores Tinta Emas". Majalah SINAR. 1 Maret 1997. 
  3. ^ "Film 90-an, Novia Kolopaking Antara Sitti Nurbaya-Keluarga Cemara". bintang.com. Diakses tanggal 24 Agustus 2016. Ia menikah dengan budayawan Emha Ainun Nadjib pada 1997. 
  4. ^ "Riwayat Panggilan 'Mbah Nun'". CakNun.com. Diakses tanggal 3 Desember 2019. 
  5. ^ "Terus Berkarya". CakNun.com. 8 Oktober 2019. Diakses tanggal 3 Desember 2019. 
  6. ^ "Kata Mereka Tentang Cak Nun, KiaiKanjeng, dan Maiyah". CakNun.com. 18 Oktober 2019. Diakses tanggal 3 Desember 2019. 
  7. ^ Rahardjo, Toto (2006). "Teman Siapa Saja". Jalan Sunyi Emha. Jakarta: Kompas. hlm. xviii. ISBN 979-709-255-0. Seorang host suatu talk show di sebuah stasiun televisi swasta, Jaya Suprana, bertanya kepada orang ini, "Orang selalu mengatakan bahwa Anda adalah manusia multi-dimensional. Sekurang-kurangnya kegiatan Anda di masyarakat memang sangat beragam. Apa pendapat Anda sendiri?" 
  8. ^ Oetama, Jakob (2006). "Pengantar Jakob Oetama". Jalan Sunyi Emha. Jakarta: Kompas. hlm. xvii. ISBN 979-709-255-0. Kehadiran buku ini tentu ditunggu khalayak pembaca, tidak hanya oleh para pengagum, tetapi juga pengritik sosok yang menyeletukkan kalimat 'ora dadi presiden ora pathèken', saat bersama sejumlah tokoh diundang Soeharto sebelum lengser. 
  9. ^ Hashman, Ade (2019). Cinta, Kesehatan, dan Munajat Emha Ainun Nadjib. Yogyakarta: Bentang. hlm. 176. ISBN 978-602-291-589-8. 
  10. ^ "Emha Ainun Nadjib". CakNun.com. Diakses tanggal 3 Desember 2019. 
  11. ^ a b Hadi, Sumasno (2017). Semesta Emha Ainun Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran. Bandung: Mizan. hlm. 50. ISBN 978-602-441-010-0. 
  12. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran. hlm. 49. 
  13. ^ "Perjuangan Cak Fuad Menjaga Bahasa Al-Qur`an di Kancah Dunia". CakNun.com. 24 Januari 2017. Diakses tanggal 3 Desember 2019. 
  14. ^ Masjkur, Ahmad Udi (27 April 2019). "KH Hasyim Latief, Sang Komandan Tempur Hizbullah". Indonesiana.id. Diakses tanggal 4 Desember 2019. 
  15. ^ "Tokoh NU KH Hasjim Latief Meninggal Dunia". NU Online. 20 April 2005. Diakses tanggal 4 Desember 2019. 
  16. ^ a b Ali, Fahmi (25 April 2015). "KH Hasyim Latief Sepanjang". Catatan Fahmi Ali. Diakses tanggal 4 Desember 2019. 
  17. ^ Putra, Erik Purnama (4 Agustus 2015). "Kisah Kedekatan KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan". Republika. Diakses tanggal 4 Desember 2019. 
  18. ^ Nugraha, Latief S (2018). Sepotong Dunia Emha. Yogyakarta: Octopus. hlm. 94. ISBN 978-602-727-437-2. 
  19. ^ Jabrohim (2003). Tahajjud Cinta Emha Ainun Nadjib: Sebuah Kajian Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 1. 
  20. ^ a b Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 53. 
  21. ^ Yuswanto, Teguh (1 Juli 1998). "Novia Kolopaking: Lebih Baik Dia di Surga". Tabloid BINTANG. 
  22. ^ Sepotong Dunia Emha. hlm. 157. 
  23. ^ a b Sepotong Dunia Emha. hlm. 80–81. 
  24. ^ Sepotong Dunia Emha. hlm. 84. 
  25. ^ a b Sepotong Dunia Emha. hlm. 85. 
  26. ^ Salam, Aprinus; Alfian, M Alfan; Susetya, Wawan (2014). Kitab Ketentraman: Dari Khasanah Emha Ainun Nadjib. Bekasi: Penjuru Ilmu. hlm. 133. ISBN 978-602-0967-07-3. 
  27. ^ Sepotong Dunia Emha. hlm. 88. 
  28. ^ Sepotong Dunia Emha. hlm. 89. 
  29. ^ Sepotong Dunia Emha. hlm. 90. 
  30. ^ Tahajjud cinta Emha Ainun Nadjib. hlm. 28. 
  31. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 56. 
  32. ^ Wardhana, Sutirman Eka (2017). Yogya Bercerita: Catatan 40 Wartawan Ala Jurnalisme Malioboro. Yogyakarta: Tonggak Pustaka. hlm. 77. ISBN 978-602-745-877-2. 
  33. ^ H.D., Halim (1995). "Fenomena Emha". Terus Mencoba Budaya Tanding. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. xvi. 
  34. ^ a b Sepotong Dunia Emha. hlm. 131. 
  35. ^ a b Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 58. 
  36. ^ Pratama, Rony K (22 Maret 2019). "Maiyah Sebagai Pendidikan Alternatif Sosial Kemasyarakatan (3)". CakNun.com. Diakses tanggal 4 Desember 2019. 
  37. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 59. 
  38. ^ a b Sepotong Dunia Emha. hlm. 130. 
  39. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 57. 
  40. ^ a b Tahajjud Cinta Emha Ainun Nadjib. hlm. 31. 
  41. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 60. 
  42. ^ a b Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 61. 
  43. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 62. 
  44. ^ Sepotong Dunia Emha. hlm. 194. 
  45. ^ a b Karim, Ahmad (4 Oktober 2019). "Menggelandang di Belanda". CakNun.com. Diakses tanggal 13 Desember 2019. 
  46. ^ Agustian, Fahmi (17 Oktober 2016). "Soto Handuk Celupan Sepatu Ala Chef Pipit Rochiyat". CakNun.com. Diakses tanggal 13 Desember 2019. 
  47. ^ "Diskusi bersama Pak Pipit Rochiyat Kartawidjaja". CakNun.com. 27 September 2016. Diakses tanggal 13 Desember 2019. 
  48. ^ Mustofa, Helmi (1 April 2017). "Pak Nevi Asisten Pengobatan Cak Nun". CakNun.com. Diakses tanggal 12 Desember 2019. 
  49. ^ a b c d Ismail, Hamzah (8 April 2018). "Orang Mandar yang Lahir di Jombang: Jejak Mbah Nun di Tanah Mandar". CakNun.com. Diakses tanggal 12 Desember 2019. 
  50. ^ a b Budianto, Nevi (11–17 Juni 1989). "Di Tinambung Mandar, Sulawesi Selatan, Emha Dimintai Berkah dan Pengobatan". Minggu Pagi. 
  51. ^ Mustofa, Helmi (24 Maret 2018). "Contoh Hubungan Erat Antar Dua Etnis". CakNun.com. Diakses tanggal 12 Desember 2019. 
  52. ^ "Korek Jress di Bandara". CakNun.com. Diakses tanggal 12 Desember 2019. 
  53. ^ Rahardjo, Toto (29 April 2016). "Rihlah Cammanallah: Perjalanan ke Bunda Cammana". CakNun.com. Diakses tanggal 12 Desember 2019. 
  54. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 63. 
  55. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 64. 
  56. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 65. 
  57. ^ Jo, Hendi. "Jilbab Terlarang di Era Orde Baru". Historia. Diakses tanggal 5 Desember 2019. 
  58. ^ Sepotong Dunia Emha. hlm. 109. 
  59. ^ Kitab Ketentraman: Dari Khasanah Emha Ainun Nadjib. hlm. 147. 
  60. ^ Sepotong Dunia Emha. hlm. 107. 
  61. ^ a b "Lautan Jilbab". CakNun.com. Diakses tanggal 5 Desember 2019. 
  62. ^ Mulder, Niels (2001). Ruang Batin Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: LKiS. hlm. 27. ISBN 978-979-896-634-7. 
  63. ^ Mulder, Niels (2007). Di Jawa: Petualangan Seorang Antropolog. Yogyakarta: Kanisius. hlm. 268. ISBN 978-979-211-467-6. 
  64. ^ "Emha Layak Dapat Gelar Doktor HC". Kedaulatan Rakyat. 12 Mei 1991. 
  65. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran. hlm. 67. 
  66. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 69. 
  67. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 70. 
  68. ^ Betts, Ian Leonard (2006). Jalan Sunyi Emha. Jakarta: Kompas. hlm. 28. ISBN 979-709-255-0. 
  69. ^ Mustofa, Helmi (12 Maret 2018). "Wah, Mbah Nun Mundur Dari ICMI". CakNun.com. Diakses tanggal 5 Desember 2019. 
  70. ^ "Setelah Pengurus Diumumkan". Majalah TEMPO. 23 Februari 1991. 
  71. ^ a b c "Pak Kanjeng". CakNun.com. Diakses tanggal 5 Desember 2019. 
  72. ^ "Lakon Politik Pak Kanjeng". Majalah TEMPO. 27 November 1993. 
  73. ^ Sepotong Dunia Emha. hlm. 118. 
  74. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 76. 
  75. ^ a b Majid, Munzir (10 Oktober 2016). "Penabuh Gong". KenduriCinta.com. Diakses tanggal 5 Desember 2019. 
  76. ^ a b Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 78. 
  77. ^ Kurniawan, Didik W (10 April 2017). "Masih di Depan 'Cermin'". CakNun.com. Diakses tanggal 6 Desember 2019. 
  78. ^ "Emha Ainun Nadjib Tampil di Indosiar". Majalah GATRA. 20 Januari 1996. 
  79. ^ Jalan Sunyi Emha. hlm. 36. 
  80. ^ a b "Silatnas Politik Cak Nun". Majalah SINAR. 1 Maret 1997. 
  81. ^ a b Ginting, Selamat (16 Juni 2018). "Soeharto, Tabir dan Takbir 1997". Republika. Diakses tanggal 6 Desember 2019. 
  82. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 80. 
  83. ^ "Ramadlan di Suara Surabaya". CakNun.com. Diakses tanggal 6 Desember 2019. 
  84. ^ a b "Menbudpar Sematkan Satyalencana Kebudayaan 2010". antaranews.com. 24 Maret 2011. Diakses tanggal 24 Agustus 2016. 

Pranala luar