Kerajaan Sunda

kerajaan di Asia Tenggara

Kerajaan Sunda atau Kerajaan Pasundan adalah kerajaan yang pernah ada antara tahun 669 dan 1579 Masehi di bagian Barat pulau Jawa (Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah sekarang). Kerajaan ini bahkan pernah menguasai wilayah bagian selatan Pulau Sumatra. Kerajaan ini bercorak Hindu dan Buddha,[1] kemudian sekitar abad ke-14 diketahui kerajaan ini telah beribu kota di Pakuan Pajajaran serta memiliki dua kawasan pelabuhan utama di Kalapa dan Banten.[2]

Kerajaan Sunda

932–1579
Wilayah Kerajaan Bersatu Sunda dan Galuh
Wilayah Kerajaan Bersatu Sunda dan Galuh
Ibu kotaBerpindah-pindah antara Pakuan Pajajaran, dan Kawali (Galuh). Pernah juga di Saunggalah (Kuningan)
Bahasa yang umum digunakanBahasa Sunda, Bahasa Jawa Kuno, Bahasa Melayu Kuno
Agama
Hindu, Buddha, Sunda Wiwitan, Islam (mulai abad ke-14)
PemerintahanMonarki
? 
Sejarah 
932
• Invasi Banten ke Pakuan Pajajaran
1579
Mata uangMata uang emas dan perak
Didahului oleh
Digantikan oleh
Tarumanagara
kslKesultanan
Banten
krjKerajaan
Sumedang Larang
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini
Gunung Pulosari, tempat kramat kerajaan Sunda

Keberadaan Sunda bisa dilihat melalui berbagai sumber, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Dari dalam negeri, berupa prasasti-prasasti yang ada di Bogor, Jakarta, dan Banten. Sedangkan sumber tertulis banyak berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, termasuk kronik perjalanan dari berbagai Negara.

Salakanagara, berdasarkan Naskah Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, diperkirakan merupakan kerajaan paling awal yang ada di Nusantara.

Naskah yang dibuat tahun 1677 masehi. Disusun oleh sebuah panitia dengan ketuanya Pangeran Wangsakerta dari Cirebon.

Panitia--yang dipimpin oleh Pangéran--Wangsakerta ini dimaksudkan untuk memenuhi permintaan/amanat ayahnya, Panembahan Girilaya, agar Pangeran Wangsakerta menyusun naskah kisah kerajaan-kerajaan di Nusantara.

Panitia didirikan untuk mengadakan suatu gotrasawala (simposium/seminar) antara para ahli sajarah dari seluruh Nusantara, yang hasilnya disusun dan ditulis menjadi naskah-naskah yang sekarang dikenal sebagai Naskah Wangsakerta.

Gotrasawala ini berlangsung pada tahun 1599 Saka (1677 M), sedangkan penyusunan naskah-naskahnya menghabiskan waktu hingga 21 tahun (selesai 1620 Saka, 1698 M).

Nama ahli dan sejarawan yang membuktikan bahwa tatar Sunda memiliki nilai-nilai sejarah yang tinggi, antara lain adalah Husein Djajadiningrat, Tb. H. Achmad, Hasan Mu’arif Ambary, Halwany Michrob dan lain-lainnya.

Banyak sudah temuan-temuan mereka disusun dalam tulisan-tulisan, ulasan-ulasan maupun dalam buku. Belum lagi nama-nama seperti John Miksic, Takashi, Atja, Saleh Danasasmita, Yoseph Iskandar, Claude Guillot, Ayatrohaedi, Wishnu Handoko dan lain-lain yang menambah wawasan menjadi tambah luas dan terbuka dengan karya-karyanya dibuat baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.

Pendiri Salakanagara, Dewawarman adalah duta keliling, pedagang sekaligus perantau dari Pallawa, Bharata (India) yang akhirnya menetap karena menikah dengan puteri penghulu setempat, sedangkan pendiri Tarumanagara adalah Maharesi Jayasingawarman, pengungsi dari wilayah Calankayana, Bharata karena daerahnya dikuasai oleh kerajaan lain. Sementara Kutai didirikan oleh pengungsi dari Magada, Bharata setelah daerahnya juga dikuasai oleh kerajaan lain.

Tokoh awal yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. Konon, kota inilah yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150, terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang.

Adalah Aki Tirem, penghulu atau penguasa kampung setempat yang akhirnya menjadi mertua Dewawarman ketika puteri Sang Aki Luhur Mulya bernama Dewi Pwahaci Larasati diperisteri oleh Dewawarman. Hal ini membuat semua pengikut dan pasukan Dewawarman menikah dengan wanita setempat dan tak ingin kembali ke kampung halamannya.

Ketika Aki Tirem meninggal, Dewawarman menerima tongkat kekuasaan. Tahun 130 Masehi ia kemudian mendirikan sebuah kerajaan dengan nama Salakanagara (Negeri Perak) beribukota di Rajatapura.

Ia menjadi raja pertama dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara. Beberapa kerajaan kecil di sekitarnya menjadi daerah kekuasaannya, antara lain Kerajaan Agnynusa (Negeri Api) yang berada di Pulau Krakatau.

Rajatapura adalah ibukota Salakanagara yang hingga tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII). Salakanagara berdiri selama 232 tahun, tepatnya dari tahun 130 Masehi hingga tahun 362 Masehi.

Raja Dewawarman I sendiri berkuasa selama 38 tahun dan digantikan anaknya yang menjadi Raja Dewawarman II dengan gelar Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra.

Prabu Dharmawirya tercatat sebagai Raja Dewawarman VIII atau raja Salakanagara terakhir hingga tahun 363, karena sejak itu Salakanagara telah menjadi kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Tarumanagara.  Yang didirikan tahun 358 Masehi oleh Maharesi yang berasal dari Calankayana bernama Jayasinghawarman.

Pada masa kekuasaan Dewawarman VIII, keadaan ekonomi penduduknya sangat baik, makmur dan sentosa, sedangkan kehidupan beragama sangat harmonis.

Sementara Jayasinghawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Calankayana yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya.

Di kemudian hari setelah Jayasinghawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumanagara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.

Daftar nama-nama raja yang memerintah Kerajaan Salakanagara adalah:


Tahun berkuasa Nama raja            Julukan                                                                


130-168 M     Dewawarman I       Prabu Darmalokapala Aji Raksa Gapura Sagara           

168-195 M     Dewawarman II     Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra (Putera tertua Dewawarman I)

195-238 M     Dewawarman III   Prabu Singasagara Bimayasawirya (Putera Dewawarman II)

238-252 M     Dewawarman IV    Menantu Dewawarman II (Raja Ujung Kulon)

252-276 M     Dewawarman V     Menantu Dewawarman IV

276-289 M     Mahisa Suramardini Warmandewi  (Puteri tertua Dewawarman IV & isteri Dewawarman V, karena Dewawarman V gugur melawan bajak laut)

289-308 M     Dewawarman VI    Sang Mokteng Samudera (Putera tertua Dewawarman V)

308-340 M     Dewawarman VII Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati               (Putera tertua Dewawarman VI)

340-348 M     Sphatikarnawa Warmandewi (Puteri sulung Dewawarman VII)

348-362 M     Dewawarman VIII    Prabu Darmawirya Dewawarman (Cucu Dewawarman VI yang menikahi Sphatikarnawa, raja ketujuh Salakanagara

Mulai 362 M Dewawarman IX    Salakanagara telah menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara


Tarumanegara


Kerajaan Tarumanegara merupakan salah satu kerajaan tertua Nusantara. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-4 (tahun 358) hingga abad 7 (tahun 668) masehi dan berpusat di Jawa Barat. Kerajaan Tarumanegara sendiri berasal dari kata “taruma” dan “nagara”. Tarum berasal dari nama sungai di Jawa Barat, yakni Citarum, sedangkan nagara berarti negara.

Pendiri kerajaan ini bernama Rajadirajaguru Jayasingawarman. Keberadaan Kerajaan Tarumanegara bisa dilihat melalui berbagai sumber, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Dari dalam negeri, sumbernya bisa dilihat pada 7 (tujuh) buah prasasti yang ada di Bogor, Jakarta, dan Banten.

Prasasti-prasasti tersebut, antara lain :


  1. prasasti Ciaruteun
  2. prasasti Jambu
  3. prasasti Muara Cianten
  4. prasasti Pasri Awi
  5. prasasti Cidanghiyang
  6. prasasti Tugu
  7. dan prasasti Pasir Muara.


Sedangkan sumber yang berasal dari luar negeri, antara lain berita Fa Hsien, berita Dinasti Sui, dan berita Dinasti Tang. Berita Fa Hsien yang berasal dari tahun 414 mengisahkan soal negeri Ye Po Ti, yang hanya sedikit dijumpai orang beragama Buddha.

Sebagian beragama Hindu dan sebagian beragama lain (Islam?) atau animisme. Kisah ini ditulis dalam bukunya yang berjudul Fa Kao Chi. Ye Po Ti diinterpretasikan oleh para ahli sebagai Kerajaan Tarumanegara. Lalu, berita dari Dinasti Sui yang mengisahkan kalau di tahun 528 dan 535 datang seorang utusan dari To Lo Mo, berasal dari arah selatan.

Dan, Dinasti Tang mengisahkan soal utusan dari To Lo Mo yang datang pada tahun 666 dan 669. Para ahli menyimpulkan, To Lo Mo merupakan Tarumanegara.


Kerajaan Tarumanegara merupakan kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara


Sebelumnya Jayasingawarman yang merupakan raja pertama Tarumanegara telah memerintahkan, pusat kekuasaan berpindah dari Rajatapura ke Tarumanegara.

Makam Jayasingawarman diperkirakan ada di sekitar sungai Gomati, wilayah Bekasi. Setelah Jayasingawarman meninggal dunia, Kerajaan Tarumanegara dipimpin oleh putranya bernama Dharmayawarman yang memerintah dari tahun 382 sampai 395.


Masa Kejayaan Kerajaan Tarumanegara


Raja ketiga Kerajaan Tarumanegara bernama Maharaja Purnawarman yang memerintah dari tahun 395 hingga 434. Di masa Purnawarman, Kerajaan Tarumanegara menjelma menjadi kerajaan besar yang memiliki wilayah luas di pulau Jawa. Pada tahun 397, Purnawarman memusatkan pemerintahannya di dekat pantai, yang diberi nama Sundapura.

Di masa keemasannya, Purnawarman membawahi sebanyak 48 raja kecil, dan daerahnya membentang dari Salakanagara yang sekarang dikenal sebagai Teluk Lada Pandeglang, sampai Purwalingga (kemungkinan Purbalingga, Jawa Tengah).

Sungai Brebes, yang dahulu bernama Ci Pamali, dijadikan batas kekuasaan raja-raja kecil tadi. Menurut prasasti Tugu, pada tahun 417, Purnawarman memerintahkan untuk menggali Sungai Gomati dan Candrabaga yang memiliki panjang 6.112 tombak, atau sekitar 11 kilometer.

Penggalian sungai ini dimaksudkan untuk keperluan irigasi, yang berguna dalam mengaliri air ke sawah-sawah pertanian, mencegah banjir, dan jalur perairan untuk berdagang antardaerah. Berkat usahanya ini, kehidupan ekonomi rakyat Tarumanegara menjadi lebih baik.

Ketika kerja penggalian rampung, Purnawarman mengorbankan 1.000 ekor sapi kepada golongan Brahmana (golongan agama). Ini merupakan bukti bahwa Raja Purnawarman sangat menghormati kedudukan golongan Brahmana. Golongan Brahmana kerap dilibatkan dalam setiap upacara korban di kerajaan atau upacara-upacara keagamaan lainnya.

Di bidang budaya, ditilik dari teknik dan cara penulisan huruf-huruf dalam prasasti-prasasti hasil peninggalan Tarumanegara, bisa dipastikan kalau tingkat kebudayaan rakyat Tarumanegara sudah tinggi. Sebab, keberadaan prasasti-prasasti tersebut menyiratkan kebudayaan tulis-menulis yang berkembang di masa Kerajaan Tarumanegara.


Dua belas orang raja

Selama masa kekuasaannya, Kerajaan Tarumanegara diperintah oleh dua belas orang raja. Setelah Raja Punawarman meninggal dunia, berturut-turut kekuasaan dipegang oleh Wisnuwarman yang memerintah pada tahun 434 sampai 455; Indrawarman yang memerintah pada tahun 455 sampai 515; Candrawarman yang memerintah pada tahun 515 sampai 535, Suryawarman yang memerintah pada tahun 535 sampai 561, Kertawarman yang memerintah pada tahun 561 sampai 628, Sudhawarman yang memerintah pada tahun 628 sampai 639, Hariwangsawarman yang memerintah pada tahun 639 sampai 640; Nagajayawarman yang memerintah pada tahun 640 sampai 666), dan terakhir Linggawarman yang memerintah pada tahun 666 sampai 669.

Pada masa pemerntahan Suryawarman, perhatian diberikan pula ke daerah timur, tidak hanya konsen pada raja-raja daerah. Manikmaya, menantu Suryawarman, pada tahun 526 membangun sebuah kerajaan baru di daerah Kendan, antara Bandung dan Limbangan. Daerah timur pun mengalami perkembangan ketika cicit Manikmaya pada tahun 612 mendirikan Kerajaan Galuh. Kerajaan Tarumanegara runtuh pada tahun 669.

Raja terakhirnya bernama Linggawarman yang memerintah pada tahun 666 hingga 669. Linggawarman menyerahkan kekuasaan kepada menantunya yang bernama Tarusbawa


Bermenantukan Raja Sunda dan Raja Sriwijaya


Putri Linggawarman yang lain bernama Sobankancana. menikah dengan Dapunta Hyang Srijayanasa, pendiri Kerajaan Sriwijaya, sebuah kerajaan besar di Sumatra Selatan.

Sudah diuraikan di atas, keberadaan Kerajaan Tarumanegara dibuktikan dengan sumber yang berasal dari dalam negeri berupa prasasti dan luar negeri berupa berita Dinasti Sui, Dinasti Tang, dan Fa Hsien.

Pertama, Prasasti Ciaruteun yang ditemukan di sekitar sungai Ciaruteun-Ciampea, Bogor. Seratus meter dari pertemuan sungai tersebut dengan Ci Sadane; namun pada tahun 1981 diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Ditemukan oleh N. W. Hoepermans pada tahun 1864

Prasasti ini peninggalan Purnawarman. Di prasasti tersebut, terdapat puisi empat baris. Tulisan dengan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta:


“vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam”


Terjemahannya menurut Vogel:


(Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara).

Di prasasti Ciaruteun kita bisa melihat sepasang kaki Raja Purnawarman dan sebuah lukisan mirip laba-laba.

Selain itu, ada pula gambar sepasang "padatala" (telapak kaki), yang menunjukkan tanda kekuasaan fungsinya seperti "tanda tangan" pada zaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya.

Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama "Rajamandala" (raja daerah) Pasir Muara.


Prasasti Telapak Gajah


Dua arca Wishnu dari Cibuaya, Karawang, Jawa Barat. Tarumanagara sekitar abad ke-7 Masehi. Mahkotanya yang berbentuk tabung menyerupai gaya seni Khmer Kamboja.

Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:


   “jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam”


Terjemahannya:


   (Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa).


Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang dan penguasa Guntur.

Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra.

Bahkan diberitakan juga, bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah.

Ukiran bendera dan sepasang lebah itu dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan di antara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya.

Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai "huruf ikal" yang masih belum terpecahkan bacaaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan).

Keterangan pustaka dari Cirebon tentang bendera Taruma dan ukiran sepasang "bhramara" (lebah) sebagai cap pada mahkota Purnawarman harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun.

Kedua, prasasti Pasir Muara tahun 563 masehi yang ditemukan di Pasir Muara Cianten, Ciampea Bogor. Tulisan yang ada di prasasti ini: “sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda”


Terjemahannya menurut Bosch:

(Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda).


Karena angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan "angkanam vamato gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.


Ketiga, Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea


Keempat, prasasti Pasir Awi yang ditemukan di daerah Bukit Pasir Awi, Kabupaten Bogor. Pahat gambar daun dan ranting, buah-buahan, dan sepasang telapak kaki ada di prasasti ini.


Kelima, prasasti Cidanghiyang yang ditemukan di tepi sungai Cidanghiang, Kabupaten Lebak, pada 1947. Tulisan berhuruf Pallawa di prasasti itu: “Vicranto 'yam vanipateh/prabhuh satya parakramah narendra ddhvajabhutena/ srimatah purnnawvarmanah” (Inilah (tanda) keperwiraan keagungan dan keberanian yang sesungguhnya dari raja dunia yang mulia purnawarman yang menjadi panji sekalian raja-raja).


Keenam, prasasti Jambu yang ditemukan di area perkebunan jambu di Bukit Koleangkak, Nanggung, Bogor bagian barat. terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang.


Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris:


“shriman data kertajnyo narapatir - asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam - padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam - bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam”  


Terjemahannya menurut Vogel:


(yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman  yang pernah memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka  yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya).


Ukiran telapak kaki juga ada di prasasti ini.


Ketujuh, prasasti Tugu yang ditemukan di daerah Cilincing, Jakarta Utara pada tahun 1878.


Dibandingkan prasasti lainnya, tulisan Tugu yang juga wilayah dari Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi merupsakan prasasti ini paling panjang:


”Pura rajadhirajena guruna pinabhahuna khata khyatam purin phrapya. Candrabhagarnavam yayau pravarddhamanadwavincadvatsa (re) crigunaujasa narendradhvajbhunena (bhuten). Crimata Purnnavarmmana prarabhya Phalgune(ne) mase khata krshnatashimithau Caitracukla-trayodcyam dinais siddhaikavinchakai(h). Ayata shatsahasrena dhanusha(m) sacaten ca dvavincena nadi ramya Gomati nirmalodaka pitamahasya rajarshervvidarya cibiravanim.Bhrahmanair ggo-sahasrena(na) prayati krtadakshino” 


Terjemahannya : (Dahulu atas perintah rajadiraja Paduka Yang Mulia Purnwarman, yang menonjol dalam kebahagiaan dan jasanya di atas para raja, pada tahun kedua puluh dua pemerintahannya yang gemilang, dilakukan penggalian di Sungai Candrabhaga setelah sungai itu melampaui ibukota yang masyhur dan sebelum masuk ke laut.


Penggalian itu dimulai pada hari kedelapan bulan genap bulan Phalguna dan selesai pada hari ketiga belas bulan terang bulan Citra, selama dua puluh satu hari. Saluran baru dengan air jernih bernama Sungai Gomati, mengalir sepanjang 6.122 busur melampaui asrama pendeta raja yang dipepundi sebagai leluhur bersama para brahmana. Para pendeta itu diberi hadiah seribu ekor sapi).

Kerajaan Sunda sirna ing bhumi setelah salah satu cicit Prabu Siliwangi memasuki ibu kota kerajaan yaitu Maulana Yusuf pada tahun 1579. Sementara sebelumnya kedua pelabuhan utama Kerajaan Sunda itu juga telah dikuasai oleh Kerajaan Cirebon, Demak dan Banten pada tahun 1527, Kalapa direbut oleh Fatahillah dan Maulana Hasanuddin.


Catatan sejarah dari Cina

Menurut Hirth dan Rockhill,[3] ada sumber Cina tertentu mengenai Kerajaan Sunda. Pada saat Dinasti Sung Selatan, inspektur perdagangan dengan negara-negara asing, Zhao Rugua mengumpulkan laporan dari para pelaut dan pedagang yang benar-benar mengunjungi negara-negara asing. Dalam laporannya tentang negara Jauh, Zhufan Zhi, yang ditulis tahun 1225, menyebutkan pelabuhan di "Sin-t'o". Zhao melaporkan bahwa:

"Orang-orang tinggal di sepanjang pantai. Orang-orang tersebut bekerja dalam bidang pertanian, rumah-rumah mereka dibangun diatas tiang (rumah panggung) dan dengan atap jerami dengan daun pohon kelapa dan dinding-dindingnya dibuat dengan papan kayu yang diikat dengan rotan. Laki-laki dan perempuan membungkus pinggangnya dengan sepotong kain katun, dan memotong rambut mereka sampai panjangnya setengah inci. Lada yang tumbuh di bukit (negeri ini) bijinya kecil, tetapi berat dan lebih tinggi kualitasnya dari Ta-pan (Tuban, Jawa Timur). Negara ini menghasilkan labu, tebu, telur kacang dan tanaman."

Buku perjalanan Cina Shunfeng xiangsong dari sekitar 1430 mengatakan:

"Dalam perjalanan ke arah timur dari Shun-t'a, sepanjang pantai utara Jawa, kapal dikemudikan 97 1/2 derajat selama tiga jam untuk mencapai Kalapa, mereka kemudian mengikuti pantai (melewati Tanjung Indramayu), akhirnya dikemudikan 187 derajat selama empat jam untuk mencapai Cirebon. Kapal dari Banten berjalan ke arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melewati Kalapa, melewati Indramayu, melewati Cirebon."

Catatan sejarah dari Eropa

Laporan Eropa berasal dari periode berikutnya menjelang jatuhnya Kerajaan Sunda oleh kekuatan Kesultanan Banten. Salah satu penjelajah itu adalah Tomé Pires dari Portugal. Dalam bukunya Suma Oriental (1513 - 1515) ia menulis bahwa:

"Beberapa orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda luasnya setengah dari seluruh pulau Jawa; sebagian lagi mengatakan bahwa Kerajaan Sunda luasnya sepertiga dari pulau Jawa dan ditambah seperdelapannya."

Temuan arkeologi

Di wilayah Jawa Barat ditemukan beberapa candi, antara lain Percandian Batujaya di Karawang (abad ke-2 sampai ke-12) yang bercorak Buddha, serta percandian Hindu yaitu Candi Bojongmenje di Kabupaten Bandung yang berasal dari abad ke-7 (sezaman dengan percandian Dieng), dan Candi Cangkuang di Leles, Garut yang bercorak Hindu Siwa dan diduga berasal dari abad ke-8 Masehi. Siapa yang membangun candi-candi ini masih merupakan misteri, namun umumnya disepakati bahwa candi-candi ini dikaitkan dengan kerajaan Hindu yang pernah berdiri di Jawa Barat, yaitu Tarumanagara, Sunda dan Galuh.

Di Museum Nasional Indonesia di Jakarta terdapat sejumlah arca yang disebut "arca Caringin" karena pernah menjadi hiasan kebun asisten-residen Belanda di tempat tersebut. Arca tersebut dilaporkan ditemukan di Cipanas, dekat kawah Gunung Pulosari, dan terdiri dari satu dasar patung dan 5 arca berupa Shiwa Mahadewa, Durga, Batara Guru, Ganesha dan Brahma. Coraknya mirip corak patung Jawa Tengah dari awal abad ke-10.

Di situs purbakala Banten Girang, yang terletak kira-kira 10 km di sebelah selatan pelabuhan Banten sekarang, terdapat reruntuhan dari satu istana yang diperkirakan didirikan pada abad ke-10. Banyak unsur yang ditemukan dalam reruntuhan ini yang menunjukkan pengaruh Jawa Tengah.

Situs-situs arkeologi lain yang berkaitan dengan keberadaan Kerajaan Sunda, masih dapat ditelusuri terutama pada kawasan muara Sungai Ciliwung termasuk situs Sangiang di daerah Pulo Gadung (sekarang Pulo Gadung, Jakarta Timur). Hal ini mengingat jalur sungai merupakan salah satu alat transportasi utama pada masa tersebut.[4]

Naskah Kuno

Selain dari beberapa prasasti dan berita dari luar, beberapa karya sastra dan karya bentuk lainnya dari naskah lama juga digunakan dalam merunut keberadaan Kerajaaan Sunda,[5] antaranya naskah Carita Parahyangan, Pararaton, Bujangga Manik, naskah didaktik Sanghyang siksakanda ng karesian, dan naskah sejarah Sajarah Banten.[6]

Berdirinya kerajaan Sunda

Berdasarkan Prasasti Kebonkopi II, yang berbahasa Melayu Kuno dengan tarikh 932, menyebutkan seorang "Raja Sunda menduduki kembali tahtanya".[7] Hal ini dapat ditafsirkan bahwa Raja Sunda telah ada sebelumnya.[8] Sementara dari sumber Tiongkok pada buku Zhufan Zhi yang ditulis pada tahun 1178 oleh Zhao Rugua menyebutkan terdapat satu kawasan dari San-fo-ts'i yang bernama Sin-to kemudian dirujuk kepada Sunda.[9]

Menurut naskah Wangsakerta, naskah yang oleh sebagian orang diragukan keasliannya serta diragukan sebagai sumber sejarah karena sangat sistematis, menyebutkan Sunda merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 669 (591 Saka). Kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan bagian barat provinsi Jawa Tengah.

Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, dia memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapunta Hyang Sri Jayanasa, yang selanjutnya mendirikan Kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri. Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Dia dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaannya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).

Wilayah kekuasaan

Prasasti Horren yang ditemukan di daerah Campur Darat, Tulungagung, Jawa Timur, diperkirakan dari zaman Kahuripan abad ke-11 M, menyebut Sunda sebagai musuh (satru).[10]

Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah. Kerajaan Sunda yang beribukota di Pajajaran juga mencakup wilayah bagian selatan pulau Sumatra. Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan Banten maka kekuasaan atas wilayah selatan Sumatra dilanjutkan oleh Kesultanan Banten.[2]

Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.

Persekutuan antara Sunda dan Galuh

Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan.[butuh rujukan]

Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kalingga di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa/Sena/Sanna, Raja Galuh ketiga sekaligus teman dekat Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena pada tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh Purbasora. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tetapi lain ayah.[butuh rujukan]

Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan Pajajaran, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara. Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa. Penyerangan ini bertujuan untuk melengserkan Purbasora.[butuh rujukan]

Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun 732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada puteranya Rarkyan Panaraban (Tamperan). Di Kalingga Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran. Rarkyan Panaraban berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya; Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh, serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.[butuh rujukan]

Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tetapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang. Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi dari Galuh, yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).[butuh rujukan]

Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819). Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.[butuh rujukan]

Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti. Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan Kamuninggading menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916). Rakryan Jayagiri berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942. Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).[butuh rujukan]

Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989). Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua raja Airlangga (1019-1042).[butuh rujukan]

Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi (1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tetapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.[butuh rujukan]

Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun (1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur saat Perang Bubat. Karena saat kejadian di Bubat, putranya—Niskalawastukancana—masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).[butuh rujukan]

Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskala Wastu Kancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur. Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).[butuh rujukan]

Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata, yang bergelar Sri Baduga Maharaja.[butuh rujukan]

Raja-raja Kerajaan Sunda-Galuh

Menurut Prasasti Sanghyang Tapak yang berangka tahun 1030 (952 Saka), diketahui bahwa kerajaan Sunda dipimpin oleh Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana Mandala Swaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa. Prasasti ini terdiri dari 40 baris yang ditulis dalam Aksara Kawi pada 4 buah batu, ditemukan di tepi sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nesional dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama berisi tulisan sebagai berikut[11]:

Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.

Prasasti lain yang menyebut raja Sunda adalah Prasasti Batutulis yang ditemukan di Bogor. Berdasarkan Prasasti Batutulis berangka tahun 1533 (1455 Saka), disebutkan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, sebagai raja yang bertahta di Pakuan Pajajaran. Prasasti ini terletak di Jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Prasasti Batutulis dianggap terletak di situs ibu kota Pajajaran.[12] Prasasti ini dikaitkan dengan Kerajaan Sunda. Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dalam bahasa dan aksara Sunda Kuno. Prasati ini dibuat oleh Prabu Sanghiang Surawisesa (yang melakukan perjanjian dengan Portugis) dan menceritakan kemashuran ayahandanya tercinta (Sri Baduga Maharaja) sebagai berikut:

Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan.

Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang.

Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka "Panca Pandawa Mengemban Bumi".

Sayang sekali tidak/belum ditemukan prasasti-prasasti lainnya yang menyebutkan nama-nama raja Sunda setelah masa raja terakhir Tarumanagara sampai masa Sri Jayabupati dan antara masa Sri Jayabupati dan Rahiyang Niskala Watu Kancana. Namun nama-nama raja Sunda lainnya hanya ditemukan pada naskah-naskah kuno.

Naskah kuno Fragmen Carita Parahyangan (koleksi Perpustakaan Nasional Kropak 406) menyebutkan silsilah raja-raja Sunda mulai dari Tarusbawa, penerus raja terakhir Tarumanagara, dengan penerusnya mulai dari Maharaja Harisdarma, Rahyang Tamperan, Rahyang Banga, Rahyangta Wuwus, Prebu Sanghyang, Sang Lumahing Rana, Sang Lumahing Tasik Panjang, Sang Winduraja, sampai akhirnya kepada Rakean Darmasiksa.

Naskah kuno Carita Parahyangan (koleksi Perpustakaan Nasional) menyebutkan silsilah raja setelah masa Tarumanagara. Yang pertama disebutkan adalah Tohaan di Sunda (Tarusbawa). Berikutnya disebutkan nama-nama raja penerusnya seperti Sanjaya, Prabu Maharaja Lingga Buana, raja Sunda yang gugur dikhianati di Bubat (Jawa Timur) yang merupakan ayahnya Rahiyang Niskala Wastu Kancana, sampai Surawisesa.

Sedangkan nama-nama raja penerus Surawisesa yang berperang dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dapat ditemukan dalam sejarah Banten.

Berkas:Pr AG.jpg
Prasasti Kawali di Kabuyutan Astana Gedé, Kawali, Ciamis.

Tahun-tahun masa pemerintaha para raja Sunda secara lebh terperinci dapat ditemukan pada naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):

  1. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723)
  2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)
  3. Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
  4. Rakeyan Banga (739 - 766)
  5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
  6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
  7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
  8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
  9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
  10. Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
  11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
  12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
  13. Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
  14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
  15. Munding Ganawirya (964 - 973)
  16. Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
  17. Brajawisésa (989 - 1012)
  18. Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
  19. Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
  20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
  21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)
  22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
  23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
  24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)
  25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
  26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)
  27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)
  28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
  29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
  30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
  31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
  32. Prabu Bunisora, Adik Linggabuanawisesa (1357-1371)
  33. Prabu Niskala Wastu Kancana putra Linggabuanawisesa (1371-1475)
  34. Prabu Susuktunggal (1475-1482) sebagai Raja Sunda saja, karena sepeninggal Prabu Niskala Wastu Kancana kerajaan dipecah dua di antara Prabu Susuktunggal dan Prabu Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat.
  35. Jayadéwata Sri Baduga Maharaja putra Dewa Niskala, 1482-1521)
  36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
  37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
  38. Prabu Sakti (1543-1551)
  39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
  40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)

Menyebarnya Islam

Islam mulai masuk ke wilayah Tatar Pasundan pada abad ke-7 Masehi. Namun penyebarannya secara signifikan baru dimulai pada abad ke-13 Masehi.

Pada tahun 1416, Laksamana Zheng He dari Dinasti Ming melakukan ekspedisi ke-5 menuju Nusantara. Dalam rombongannya terdapat Syekh Hasanuddin, juga dikenal sebagai Syekh Quro yang berasal dari Champa. Saat armada Zheng He singgah di Karawang, Syekh Hasanuddin beserta pengikutnya turun dan bermukim di Tanjungpura. Atas izin Prabu Niskala Wastu Kancana, Syekh Hasanuddin mendirikan pesantren bernama Pondok Qura di Tanjungpura, yang merupakan pesantren tertua di Jawa Barat. Ia kemudian menjadi guru dari Nyi Mas Subanglarang, salah-satu istri dari Prabu Sri Baduga Maharaja yang menganut Islam.

Masa penurunan

Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, mengakibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh.[butuh rujukan]

Hubungan dengan kerajaan lain

Singasari

Dalam Nagarakretagama, disebutkan bahwa setelah Kertanagara menaklukkan Bali (1206 Saka), kerajaan-kerajaan lain turut bertekuk lutut, tidak terkecuali Sunda. Jika ini benar, adalah aneh jika di kemudian hari, kerajaan Majapahit sebagai penerus yang kekuasaannya lebih besar justru tidak menguasai Sunda, sehingga nama Sunda harus termuat dalam sumpahnya Gajah Mada.[butuh rujukan] Tetapi bisa jadi di masa peralihan yakni saat runtuhnya Singhasari oleh pasukan dari China, menjadikan kerajaan Sunda lepas dari cengkeraman Singhasari. Maka setelah Majapahit melanjutkan Singhasari, kerajaan itu berusaha untuk menguasai sunda.

Majapahit

Menurut Kidung Sunda, Majapahit berusaha untuk menaklukan Kerajaan Sunda dan beberapa kali melakukan penyerangan tetapi berhasil digagalkan. Upaya terakhir Majapahit untuk memperluas kekuasaannya adalah dengan upaya penyatuan melalui perkawinan antara raja Hayam Wuruk dari Majapahit dan putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Kerajaan Sunda tetapi usaha ini pun gagal dan berakhir dengan tragedi Bubat.

Eropa

Kerajaan Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti Inggris,[butuh rujukan] Prancis[butuh rujukan] dan Portugis. Kerajaan Sunda bahkan pernah menjalin hubungan politik dengan bangsa Portugis. Dalam tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugis yang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon [13](yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda).

Garis waktu

Templat:Kerajaan Sunda

Lihat pula

Bacaan lanjut

Catatan kaki

  1. ^ Geoffrey C. Gunn, (2011), History Without Borders: The Making of an Asian World Region, 1000-1800, Hong Kong University Press, ISBN 988-8083-34-1
  2. ^ a b Guillot, Claude. (1990). The Sultanate of Banten. Gramedia Book Publishing Division. ISBN 979-403-922-5. 
  3. ^ Hirth, F., Rockhill, W.W., (1911). Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi. St Petersburg
  4. ^ Uka Tjandrasasmita, (2009), Arkeologi Islam Nusantara, Kepustakaan Populer Gramedia, ISBN 979-9102-12-X
  5. ^ Noorduyn, Kerajaan Sunda dan Pakuan Pajajaran dilihat dari sumber-sumber prasasti dan naskah-naskah lama, Panitia Seminar, 1991
  6. ^ Nana Supriatna, Mamat Ruhimat, Kosim, IPS Terpadu (Sosiologi, Geografi, Ekonomi, Sejarah), PT Grafindo Media Pratama, ISBN 979-758-337-6
  7. ^ Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono, (1995), La principauté de Banten Girang, Archipel, Vol. 50, pp 13-24
  8. ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1993), Sejarah nasional Indonesia: Zaman kuno, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-408-X
  9. ^ Soekmono, R. (2002), Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2. Kanisius. ISBN 979-413-290-X.
  10. ^ Berita Penelitian Arkeologi No. 37. 1986 kac. 112-5 [1]
  11. ^ Zahorka, Herwig (2007). The Sunda Kingdom of West Java From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor. Yayasan Cipta Loka Caraka. 
  12. ^ Indonesian palaeography: a history of writing in, Volume 4, Issue 1 By J. G. de Casparis
  13. ^ Herwig Zahorka (2007). The Sunda Kingdoms of West Java: From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor. Yayasan Cipta Loka Caraka.