Filsafat Yahudi

Revisi sejak 25 Februari 2020 14.59 oleh Nikman (bicara | kontrib) (Siapa memengaruhi siapa?: Perbaikan salah ketik)

Filsafat Yahudi (bahasa Ibrani: פילוסופיה יהודית‎) mencakup semua filsafat yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi atau berkaitan dengan agama Yahudi. Sebelum Haskalah (Pencerahan Yahudi) dan emansipasi Yahudi, filsafat Yahudi didominasi dengan upaya-upaya merekonsiliasi pemikiran-pemikiran baru yang ke dalam tradisi Yahudi Rabinik hingga mengorganisasikan pemikiran-pemikiran yang muncul yang tidak sepenuhnya Yahudi ke dalam kerangka dan pandangan dunia skolastik Yahudi yang unik. Dengan diterimanya mereka dalam dunia modern, bangsa Yahudi dengan pendidikan sekuler mengembangkan filsafat yang sepenuhnya baru untuk memenuhi permintaan dunia.

Penemuan kembali filsafat Yunani kuno pada abad pertengah di antara Geonim dari akademi-akademi Babilon abad ke-10 membawa filsafat rasionalis ke dalam agama Yahudi Alkitab-Talmud. Filsafat itu pada umumnya bersaing dengan Kabala. Kedua aliran itu kemudian menjadi bagian dari literatur Rabinik klasik, meskipun kemunduran rasionalisme skolastik bertepatan dengan peristiwa-peristiwa bersejarah yang menarik Yahudi pada pendekatan Kabbalistik. Bagi orang Yahudi Ashkenazi, emansipasi dan pemikiran sekuler sejak abad ke-18 mengubah cara pandang terhadap filsafat. Komunitas Ashkenazi dan Sefardim kemudian berinteraksi lebih ambivalen dengan budaya sekuler daripada komunitas Yahudi di Eropa Barat. Dalam respons terhadap modernitas yang beragam, pemikiran-pemikiran filosofis Yahudi dikembangkan dengan munculnya berbagai gerakan religius. Perkembangan ini dapat dilihat sebagai kelanjutan atau pemutusan dari kanon filsafat Rabinik pada Abad Pertengahan dan aspek dialektik historis lain dari pemikiran Yahudi, serta menghasilkan beragam sikap Yahudi kontemporer terhadap metode-metode filsafat.

Filsafat Yahudi kuno

Filsafat dalam Alkitab

Literatur Rabinik kadang-kadang memandang Abraham sebagai seorang filsuf. Beberapa cendekiawan Yahudi berpendapat bahwa Abraham memperkenalkan suatu filosofi yang dipelajari dari Melkisedek;[1] Beberapa menganggap Sefer Yetzirah "Kitab Penciptaan" karya Abraham.[2] Satu midras[3] menggambarkan cara Abraham memahami bahwa dunia ini memiliki satu pencipta dan pengarah melalui perbandingan antara dunia dan "sebuah rumah dengan satu cahaya di dalamnya", yang sekarang disebut argumen dari desain. Zabur berisikan ajakan-ajakan untuk memuja kearifan Tuhan melalui ciptaan-ciptaan-Nya; karena itu, beberapa cendekiawan berpendapat bahwa ajaran Yahudi mengandung dasar filosofis.[4] Kitab Pengkhotbah sering dianggap sebagai satu-satunya karya filosofis orisinal dalam Alkitab Ibrani; penulisnya berusaha untuk memahami tempat manusia di dunia dan arti kehidupan.[5]

Filo dari Alexandria

 
Filo

Philo berusaha untuk memadukan dan menyelaraskan filsafat Yunani dan Yahudi melalui alegori, yang ia pelajari dari eksegesis Yahudi dan Stoikisme.[6] Filo berusaha untuk menjadikan filosofinya sebagai sarana untuk mempertahankan dan membenarkan kebenaran-kebenaran agama Yahudi. Kebenaran-kebenaran ini ia anggap tetap dan teguh, dan filsafat digunakan sebagai alat bantu kebenaran, dan sarana untuk sampai pada kebenaran. Untuk tujuan ini, Filo memilih dari prinsip-prinsip filosofis Yunani, menolak prinsip-prinsip yang tidak selaras dengan ajaran Yahudi, seperti doktrin Aristoteles tentang keabadian dan tidak dapat dihancurkannya dunia.

Dr. Bernard Revel, dalam disertasi tentang halakha Karait, menunjuk pada tulisan-tulisan Karait abad ke-10, Jacob Qirqisani, yang mengutip Filo, yang menggambarkan cara para Karait memanfaatkan karya-karya Filo dalam mengembangkan Yahudi Karait. Karya-karya Filo menjadi penting bagi cendekiawan-cendekiawan Kristen Abad Pertengahan yang memanfaatkan karya-karya Karait untuk memberikan kepercayaan pada pernyataan mereka bahwa "ini adalah keyakinan-keyakinan Yahudi", suatu pertalian yang secara teknis benar, tapi memperdaya.

Pengetahuan Yahudi setelah penghancuran Bait Kedua

Setelah Romawi menghancurkan Bait Kedua pada tahun 70 M, Yahudi Bait Kedua menjadi berantakan,[7] tapi tradisi Yahudi dipertahankan, terutama berkat manufer-manufer cerdas Yohanan ben Zakai, yang menyelamatkan Sanhedrin dan memindahkannya ke Yamnia. Spekulasi filosofis bukanlah pusat dari Yahudi Rabinik, meskipun beberapa cendekiawan memandang Mishnah sebagai suatu karya filosofis. Rabi Akiba juga dipandang sebagai tokoh filsafat.[8] Pernyataannya meliputi: 1.) "Betapa manusia disukai karena ia diciptakan menurut suatu gambar; sebagaimana Alkitab mengatakan 'karena suatu gambar, Elokim menciptakan manusia'" (Kej. ix. 6)", 2.) "Segala sesuatu telah diramalkan; tapi kebebasan [atau kehendak] diberikan pada setiap orang", 3.) "Dunia dikendalikan berdasarkan rahmat... tapi keputusan ilahi dibuat berdasarkan banyaknya kebaikan atau kejahatan dalam tindakan seseorang".

Setelah Perang Bar Kokhba, para cendekiawan Rabinik berkumpul di Tiberias dan Safed untuk mengumpulkan dan menilai kembali ajaran Yahudi, hukum, teologi, liturgi, keyakinan-keyakinan, dan struktur kepemimpinannya. Pada tahun 219 M, Akademi Sura (tempat Kalam Yahudi muncul berabad-abad kemudian) didirikan oleh Abba Arika. Selama lima abad kemudian, akademi-akademi Talmud fokus pada pembentukan kembali ajaran Yahudi dan sedikit, jika ada, melanjutkan penyelidikan filsafat.

Siapa memengaruhi siapa?

Yahudi Rabinik memiliki aktivitas filsafat terbatas hingga filsafat ini ditantang oleh Islam, Yahudi Karait, dan Kristen. Dari sudut pandang ekonomi, dominasi perdagangan Radanit direbut dengan pemaksaan peralihan Kristen dan Islam yang terkoordinasi serta penyiksaan, memaksa cendekiawan-cendekiawan Yahudi untuk memahami ancaman-ancaman ekonomi yang baru muncul. Penyelidikan untuk memahami itu memicu pemikiran-pemikiran baru dan pertukaran intelektual di antara para cendekiawan Yahudi dan Islam dalam bidang hukum, matematika, astronomi, logika, dan filsafat. Cendekiawan Yahudi memengaruhi cendekiawan Islam dan cendekiawan Islam memengaruhi cendekiawan Yahudi. Para cendekiawan kontemporer terus berdebat cendekiawan mana yang Muslim dan yang Yahudi. Beberapa "cendekiawan Islam" sebelumnya adalah "cendekiawan Yahudi" yang terpaksa pindah kepercayaan. Beberapa cendekiawan Yahudi dengan keinginan sendiri beralih ke Islam, seperti Abdullah bin Salam. Ada juga beberapa lainnya kemudian kembali ke Yahudi. Dan beberapa cendekiawan lahir dan dibesarkan sebagai pengikut Yahudi, tapi tidak jelas keyakinan religius mereka, seperti Ibnu al-Rawandi, meskipun mereka hidup sesuai dengan kebiasaan masyarakat di sekitar mereka.

Sekitar tahun 700 M, ʿAmr bin ʿUbaid Abu ʿUtsman al-Basri memperkenalkan dua aliran pemikiran yang memengaruhi cendekiawan Yahudi, Islam, dan Kristen:

  1. Qadariyah
  2. Ba hashamiyya Muktazilah

Kisah Ba hashamiyya Muktazilah dan Qadariyah sama pentingnya dengan simbiosis intelektual Yahudi dan Islam di Spanyol yang Islami.

Sekitar tahun 733 M, Mar Natronai bin Habibai pindah ke Kairouan, kemudian ke Spanyol. Ia menyalin Bavli Talmud untuk Akademi di Kairouan dari ingatan, kemudian membawa satu salinannya ke Spanyol.[9]

Karaisme

Karait adalah kelompok Yahudi pertama yang aliran Yahudi-nya tunduk pada Muktazilah. Dengan menolak Talmud dan tradisi Rabinik, kaum Karait mengambil kebebasan untuk menginterpretasikan kembali Tanakh. Ini berarti meninggalkan struktur mendasar kepercayaan Yahudi. Beberapa peneliti berpendapat bahwa dorongan utama pembentukan Karaisme adalah reaksi terhadap pesatnya perkembangan Islam Syiah, yang mengakui Yahudi sebagai sesama agama monoteisme, tapi menyatakan bahwa Yahudi memperkecil monoteisme-nya dengan tunduk pada otoritas Rabinik. Kaum Karait menyerap aspek-aspek tertentu dari sekte-sekte Yahudi, seperti para pengikut Abu Isa (Syiah), Maliki (Sunni), dan Yudghanit (Sufi), yang dipengaruhi oleh cendekiawan Islam-Timur, tapi tertahan pada Asy'ariyah saat membahas sains.

Filsafat Yahudi abad ke-20 dan 21

Filsafat Yahudi kontemporer

Para filsuf yang terkait dengan Yahudi Ortodoks

Para filsuf terkait dengan Yahudi Konservatif

Para filsuf yang terkait dengan Yahudi Reformasi dan Progresif

Para filsuf Yahudi yang filsafatnya tidak harus fokus pada tema-tema Yahudi

Pada abad ke-20 dan 21, banyak juga filsuf yang adalah orang Yahudi atau keturunan Yahudi, dan yang latar belakangnya Yahudi mungkin memengaruhi pendekatan mereka ke tingkat tertentu, tetapi tulisan mereka tidak harus difokuskan pada isu-isu khusus untuk Yahudi. Mereka termasuk:

Referensi

  1. ^ Fred L. Horton, Jr. (2005). The Melchizedek Tradition: A Critical Examination of the Sources to the Fifth Century ad and in the Epistle to the Hebrews. Cambridge University Press. hlm. 54. ISBN 0-521-01871-4. 
  2. ^ Kaplan, Aryeh (1997). Sefer Yetzirah. Red Wheel. hlm. xii. ISBN 0-87728-855-0. 
  3. ^ Bereishit Rabba (39,1)
  4. ^ Inglis, John. Medieval Philosophy and the Classical Tradition: In Islam, Judaism and Christianity. hlm. 3. 
  5. ^ Kerns, Dr. Tom. Introduction to Philosophy. 
  6. ^ "Philo Judæus" (dalam bahasa Inggris). JewishEncyclopedia.com. Diakses tanggal 22-10-2012. 
  7. ^ Neusner, Jacob, ed. (1975). Christianity, Judaism and other Greco-Roman cults: studies for Morton Smith at sixty. Studies in Judaism in late antiquity. 12. Brill. hlm. 110. ISBN 90-04-04215-6. 
  8. ^ Levin, Meyer (1971). Beginnings in Jewish Philosophy. Behrman House. hlm. 49. ISBN 0-87441-063-0. 
  9. ^ Louis, Ginzberg. Geonica. hlm. 18. ISBN 1-110-35511-4. 
  10. ^ Pada awal tahun 1934 Karl Popper menulis tentang pencarian pembenaran sebagai "salah satu motif terkuat untuk penemuan ilmiah." Namun, ia menggambarkan dalam Objective Knowledge (1972) keprihatinan awal mengenai kebenaran karena persesuaian yang banyak dikritik. Kemudian muncul teori kebenaran yang dirumuskan oleh ahli logika Alfred Tarski dan diterbitkan tahun 1933. Popper menulis tentang pembelajaran pada tahun 1935 mengenai konsekuensi dari teori Tarski pada kesenangannya yang meningkat. Teori itu menemukan bantahan kritis terhadap kebenaran karena persesuaian dan karena itu, memperbaikinya. Menurut pandangan Popper, teori itu juga mendukung realisme metafisika dan pemikiran regulatif mengenai pencarian kebenaran. Popper menciptakan istilah rasionalisme kritis untuk menggambarkan filosofinya. Para filsuf Yahudi kontemporer yang mengikuti filsafat Popper termasuk Joseph Agassi, Adi Ophir, dan Yehuda Elkana.

Bacaan lanjutan

Daring

Sumber Cetakan

Pranala luar