Khilafah

artikel khilafah Islam
Revisi sejak 29 September 2020 00.25 oleh 182.1.44.231 (bicara) (Departemen Perindustrian: Perbaikan kesalahan ketik)

Khilafah (bahasa Arab: الخلافة, Al-Khilāfah) didefinisikan sebagai sebuah sistem kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Orang yang memimpinnya disebut Khalifah, dapat juga disebut Imam atau Amirul Mukminin. Misalnya ketika Khalifahnya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq beliau dikenal dengan sebutan Khalifatu Ar-Rasulillah (penggantinya Nabi Muhammad), ketika Khalifah Umar bin Khattab beliau disebut Amirul Mukminin (pemimpinnya orang beriman), dan ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib beliau disebut Imam Ali.

Definisi

Khilafah berasal dari kata خلف (kha-la-fa), yang berarti menggantikan. Definisi Khilafah sendiri merupakan preposisi dari kata Khalifah. Kata Khalifah diambil berdasarkan Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 30. [1]

Secara umum, sebuah sistem pemerintahan bisa disebut sebagai Khilafah apabila menerapkan Islam sebagai Ideologi, syariat sebagai dasar hukum, serta mengikuti cara kepemimpinan Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin dalam menjalankan pemerintahan, meskipun dengan penamaan atau struktur yang berbeda, namun tetap berpegang pada prinsip yang sama, yaitu sebagai otoritas kepemimpinan umat Islam di seluruh dunia. Sehingga pada penerapannya, ketika sebuah Negara Khilafah berdiri (atas persetujuan seluruh umat Islam), kemudian dibai'atnya seorang Khalifah, maka pendirian Negara Khilafah maupun pembai'atan Khalifah lain setelahnya menjadi tidak sah. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad tentang pembai'atan Khalifah. [2][3]

Dalam sejarahnya, Khalifah merupakan suatu gelar yang diberikan untuk pemimpin umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad yaitu dengan julukan “Khulafaur Rasyidin” atau “ Amir al-Mu’minin”. Berdasarkan julukan ini pula nama Khalifah itu diambil. Jadi, Khalifah itu sendiri merujuk kepada orang yang memerintah atau menggantikan kedudukan Nabi Muhammad. Sedangkan Khilafah merujuk pada sistem kepemimpinan umat, dengan menggunakan Islam sebagai Ideologi serta undang-undangnya mengacu kepada Al-Qur'an, Hadits, Ijma dan Qiyas.

Sistem Khilafah adalah sistem yang diterapkan di era awal-awal berkembangnya agama Islam. Dalam sejarahnya, pasca wafatnya Nabi Muhammad, para sahabat membai’at Abu bakar untuk menjadi Khalifah. Kemudian Abu Bakar wafat para sahabat membai’at Umar bin Khattab. Kemudian Umar bin Khattab meninggal, para sahabat membai’at Utsman bin 'Affan.

Kemudian Utsman bin Affan meninggal, para sahabat membai’at Ali bin Abi Thalib. Kemudian sistem seperti ini berubah pada pemerintahan Khilafah Umayyah, Abbasiyah, hingga masa Utsmaniyah dimana setelah sang Khalifah wafat, digantikan oleh anaknya. Sistem ini mirip dengan sistem kerajaan pada zaman sekarang. Tetapi yang membedakannya dengan sistem kerajaan ialah kekuasaan Khalifah merupakan kekuasaan yang ditujukan sebagai perwakilan umat dalam menjalankan pemerintahan dan menerapkan Syariat Islam sebagai dasar hukum dan pemerintahan, sedangkan kekuasaan raja merupakan kekuasaan mutlak yang mempunyai kuasa penuh untuk memerintah negaranya (Monarki Absolut) atau hanya memainkan peranan simbolis yang biasanya tidak ikut campur dalam urusan pemerintahan (Monarki Konstitusional).

Khilafah bukan sistem Teokrasi

Dalam sistem teokrasi, aturan yang diterapkan adalah aturan Tuhan yaitu dari aturan agama tertentu. Dari sini muncul kesan adanya kemiripan dengan sistem Khilafah. Namun dari salah satu aspek yang paling mendasar yaitu kekuasaan maka Khilafah sangat berbeda dengan sistem teokrasi. Dalam sistem teokrasi kekuasaan dianggap “takdir” atau penunjukkan Tuhan. Sehingga pemimpinnya menganggap diri sebagai wakil Tuhan, menjadi manusia suci, terbebas dari salah maupun dosa. Sangat berbeda dengan sistem Khilafah, karena Khalifah diangkat oleh umat melalui bai’at. Khalifah juga bukan manusia suci yang bebas dari kesalahan dan dosa. Khalifah bisa dikoreksi dan diprotes oleh umat jika kebijakannya menyimpang dari ketentuan syariat. Khalifah juga bisa salah dan bisa dihukum -yang dalam struktur Khilafah fungsi ini dilakukan oleh mahkamah madzalim- yaitu ketika khalifah menyimpang dari ketentuan syariat Islam.

Struktur Pemerintahan Khilafah

Khalifah

Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan dan penerapan syariah. Sebab, Islam menjadikan hak pemerintahan dan kekuasaan sebagai milik umat. Untuk itulah umat mengangkat orang yang mewakili mereka dalam menjalankan pemerintahan dan menerapkan syariah yang diwajibkan oleh Allah kepada mereka. [4]

Dalilnya adalah af’âl (perbuatan) dan aqwâl (sabda) Nabi Muhammad serta Ijmak Sahabat tentang kewajiban mengangkat khalifah pengganti Nabi Muhammad setelah wafatnya. Bahkan Sahabat lebih mendahulukan pengangkatan khalifah daripada pemakaman Nabi Muhammad.[5]

Mu’âwinûn at-Tafwîdh

Mu’âwinûn at-Tafwîdh (Wuzarâ’ at-Tafwîdh) adalah para pembantu Khalifah dalam bidang pemerintahan. Mereka diangkat oleh Khalifah untuk bersama-sama memikul tanggung jawab pemerintahan dan kekuasaan. Mereka mendapat mandat untuk mengatur berbagai urusan serta melaksanakannya menurut pendapat dan ijtihadnya sesuai dengan ketentuan syariah. [6]

Dalilnya adalah sabda Nabi Muhammad: “Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang amir (Imam/Khalifah), Allah menjadikan bagi dirinya seorang pembantu (wazîr) yang jujur dan benar. Jika ia lupa, wazir itu akan mengingatkannya, dan jika ia ingat, wazir itu akan membantunya. Jika Allah menghendaki atas amir itu selain yang demikian, Allah menjadikan baginya wazîr yang jahat/buruk. Jika ia lupa, wazir itu tidak mengingatkannya, dan jika ia ingat, wazir itu tidak membantunya.” (HR at-Tirmidzi).

Wuzarâ’ at-Tanfîdz

Wuzarâ’ at-Tanfîdz adalah para pembantu Khalifah dalam bidang administrasi. Pada masa Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin mereka disebut al-kâtib (sekretaris). Tugas mereka hanyalah tugas administrasi, bukan tugas pemerintahan, yakni membantu Khalifah dalam urusan implementasi kebijakan, pendampingan, dan penyampaian kebijakan. [7]

Di antara dalilnya adalah hadis dari Zaid bin Tsabit bahwa Nabi Muhammad telah menyuruh dia untuk mempelajari tulisan Yahudi hingga ia bisa menuliskan surat-surat Nabi (untuk kaum Yahudi), dan membacakannya ketika kaum Yahudi mengirim surat kepada beliau (HR al-Bukhari).

Wali (Gubernur)

Wali adalah orang yang diangkat oleh Khalifah sebagai penguasa (pejabat pemerintah) untuk suatu wilayah (propinsi). Dengan kata lain, wali adalah penguasa negara di tingkat propinsi. [8]

Dalilnya di antaranya adalah hadis dari Burdah, “Rasulullah saw mengutus Abu Musa dan Muadz bin Jabal ke Yaman. Masing-masing diutus untuk memimpin sebuah wilayah. Yaman dibagi menjadi dua wilayah.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Amîrul Jihâd

Departemen Peperangan atau Pertahanan (Dâirah al-Harbiyah) merupakan salah satu instansi negara. Kepalanya disebut Amîr al-Jihâd dan tidak disebut Mudîr al-Jihâd (Direktur Jihad). Hal itu karena Nabi Muhammad menamakan komandan pasukan sebagai amir. [9]

Di antara dalilnya adalah hadis riwayat Ibnu Saad dalam Ath-Thabaqât, bahwa Nabi Muhammad Bersabda, “Yang menjadi amir pasukan (Perang Mu’tah) adalah Zaid bin Haritsah. Jika ia gugur maka Ja‘far bin Abi Thalib; jika ia gugur maka Abdullah bin Rawahah; jika ia gugur maka hendaklah kaum Muslim memilih salah seorang laki-laki di antara mereka lalu mereka jadikan sebagai amir yang memimpin mereka.”

Departeman Keamanan Dalam Negeri

Departeman Keamanan Dalam Negeri adalah sebuah departemen yang dipimpin oleh kepala polisi. Tugasnya adalah menjaga keamanan di dalam Negara Islam. Namun, dalam kondisi tertentu, yakni ketika kepolisian tidak mampu, bisa ditangani oleh militer dengan izin Khalifah. [10]

Dalilnya adalah hadis dari Anas bin Malik, “Sesungguhnya Qais bin Saad di sisi Nabi saw. memiliki kedudukan sebagai kepala kepolisian, dan ia termasuk di antara para amir.” (HR al-Bukhari).

Departemen Luar Negeri

Departemen Luar Negeri adalah departemen yang mengurusi seluruh urusan luar negeri terkait hubungan Negara Khilafah dengan negara-negara asing, apapun jenis perkara dan bentuk hubungannya; baik perkara yang berkaitan dengan aspek politik dan turunannya, ataupun perkara yang berkaitan dengan aspek ekonomi maupun ekonomi. Semua perkara tersebut diurusi oleh Departemen Luar Negeri, karena semua itu merupakan kepentingan hubungan Negara Khilafah dengan negara-negara lain. [11]

Dalilnya adalah af’âl (perbuatan) Nabi Muhammad. Beliau—sebagai kepala negara—melakukan berbagai hubungan luar negeri dengan sejumlah negara dan institusi yang lain. Nabi Muhammad mengutus Utsman bin Affan untuk berunding dengan kaum Quraisy, sebagaimana beliau juga berunding langsung dengan delegasi kaum Quraisy. Beliau pun mengirim sejumlah utusan kepada para raja, sebagaimana beliau juga pernah menerima utusan dari para raja dan pemimpin negara. Beliau pernah menjalin berbagai kesepakatan dan perjanjian damai (bersifat sementara). Hal yang sama dilakukan juga oleh para khalifah setelah beliau. Mereka menjalin hubungan politik dengan sejumlah negara dan institusi yang lain. Para Khalifah bisa melakukan sendiri semua aktivitas tersebut atau mengangkat wakil untuk melakukannya. Hal ini menunjukkan perlunya ada satu jabatan yang akan mengurusi semua urusan tersebut. [12]

Deri jovandri yg agung ingan; baik berupa pabrik-pabrik yang menjadi milik umum maupun pabrik-pabrik yang menjadi milik pribadi, yang memiliki hubungan dengan industri-industri militer (peperangan). Semua industri dengan berbagai jenisnya itu harus dibangun dengan berpijak pada politik perang. [13]

Dalilnya adalah: Pertama, al-Quran (QS. Al-Anfal [8]:60) [14] yang memerintahkan kaum Muslim untuk menyiapkan kekuatan yang membuat semua musuh merasa ketakutan. Kedua, as-Sunnah. Nabi Muhammad pernah memerintahkan pendirian industri manjaniq (senjata pelontar) dan dababah (semacam tank dari kayu). Ibnu Saad dalam Ath-Thabaqât, dari Makhul, berkata: “Sesungguhnya Nabi saw menggempur penduduk Thaif dengan manjaniq selama empat puluh hari.”

Ketiga, kaidah fikih “Mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi fahuwa wâjib[un] (Suatu kewajiban tidak akan terlaksana dengan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka adanya sesuatu itu hukumnya wajib).” Artinya, perintah menyiapkan kekuatan itu akan terlaksana dengan sempurna jika ada industri persenjataan. [15]

Peradilan

Peradilan adalah lembaga yang bertugas menyampaikan keputusan hukum yang bersifat mengikat. Lembaga ini bertugas menyelesaikan perselisihan di antara sesama rakyat, mencegah hal-hal yang dapat membahayakan hak-hak jamaah (rakyat), dan mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dengan individu di dalam struktur pemerintahan, baik ia seorang penguasa, pegawai maupun pejabat pemerintah di bawah Khilafah. [16]

Peradilan ini bisa ditangani sendiri oleh Khalifah atau Khalifah mengangkat orang lain untuk menjalankannya. Kedua hal ini, masing-masing ada dalilnya dalam as-Sunnah [17] Bahkan terdapat Ijmak Sahabat tentang ketetapan mengangkat para qadhi (hakim). Ibnu Qudamah berkata, “Kaum Muslim (para Sahabat) telah berijmak atas pensyariatan mengangkat para qadhi (hakim).” [18]

Kemaslahatan Umum

Kemaslahatan Umum (Struktur Administrasi) adalah struktur pelaksana pemerintahan, yakni badan-badan pelaksana atas perkara-perkara yang wajib dilaksanakan di dalam sebuah pemerintahan guna memenuhi kepentingan-kepentingan masyarakat umum. [19]

Dalilnya adalah perbuatan (af’âl) Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin dalam mengatur negara. Saat itu urusan administrasi diurus dengan penuh sistematik. Untuk itu perlu ada struktur guna mempermudah pengaturan dalam melaksanakan seluruh kewajiban negara. Oleh karena itu, perlu adanya Departemen Pendidikan, Kesehatan, Pekerjaan, Perhubungan, Pertanian dan sebagainya. Semua ini kembali pada ijtihad dan kebijakan Khalifah mengenai apa dan berapa jumlah Kemaslahatan Umum (Struktur Administrasi) yang dibutuhkan untuk dapat menunaikan segala kewajiban negara dan memenuhi kepentingan (maslahat) masyarakat umum. [20]

Baitul Mal (Kas Negara)

Baitul Mal (Kas Negara) merupakan sebuah badan yang bertanggung jawab atas setiap pendapatan dan belanja negara yang menjadi hak kaum Muslim. [21] Baitul Mal berada di bawah pengawalan Khalifah secara langsung atau di bawah kawalan orang yang dilantik untuk mengurusinya. Nabi Muhammad kadang-kadang menyimpan, memungut dan membagikan sendiri harta kaum Muslim; kadang-kadang beliau mengangkat orang lain untuk menanganinya. Begitu juga dengan Khulafaur Rasyidin sesudah beliau, yang kadang-kadang mengurusi sendiri urusan Baitul Mal, dan kadang-kadang mengangkat orang lain untuk mengurusinya.

Dalil tentang Baitul Mal ini sudah cukup banyak dan masyhur di dalam hadis dan Ijmak Sahabat. [22]

Penerangan

Penerangan merupakan perkara penting bagi dakwah dan negara. Lembaga Penerangan tidak termasuk badan yang melayan kepentingan masyarakat umum, tetapi kedudukannya berhubungan langsung dengan Khalifah sebagai instansi yang mandiri. Dalil dalam hal ini adalah al-Quran (QS. An-Nisa’ [4]: 83) [23] dan as-Sunnah, di antaranya hadis penuturan Ibn Abbas mengenai pembebasan Makkah: “Sungguh, tidak ada kabar sama sekali bagi kaum Quraiys. Karena itu, tidak ada kabar kepada mereka tentang Rasulullah saw., dan mereka tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh Beliau.” (HR Hakim dalam Al-Mustadrak).

Ini menunjukkan bahwa Lembaga Penerangan yang terkait dengan kemanan negara berhubung langsung dengan Khalifah atau struktur yang didirikan untuk tujuan tersebut. [24]

Majelis Umat

Majlis Umat (Majelis Syura) adalah majelis yang terdiri dari para individu yang mewakili kaum Muslim dalam memberikan pendapat sebagai tempat merujuk bagi Khalifah dengan meminta masukan mereka dalam berbagai urusan. Majelis ini juga mewakili umat dalam melakukan muhâsabah (koreksi) terhadap Khalifah dan semua pegawai negara.

Keberadaan Majelis Umat ini diambil dari aktivitas Nabi Muhammad yang sering meminta pendapat sejumlah orang di antara kaum Muhajirin dan Anshar yang mewakili kaum masing-masing; diambil dari perbuatan (af’âl) khusus Nabi Muhammad terhadap beberapa orang tertentu di kalangan Sahabat untuk meminta pendapatnya; serta diambil dari perbuatan para Khulafaur Rasyidin yang sering meminta pendapat para ulama dan ahli fatwa di kalangan mereka. [25]

Kritik

Sarjana Mesir Ali Abdur Raziq menerbitkan bukunya 1925 Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan. Argumen buku ini telah diringkas sebagai "Islam tidak menganjurkan bentuk pemerintahan tertentu".[26] Dia memfokuskan kritiknya baik pada mereka yang menggunakan hukum agama sebagai larangan politik kontemporer dan pada sejarah penguasa yang mengklaim legitimasi oleh kekhalifahan.[27] Raziq menulis bahwa penguasa masa lalu menyebarkan gagasan pembenaran agama untuk kekhalifahan "sehingga mereka dapat menggunakan agama sebagai perisai yang melindungi takhta mereka dari serangan pemberontak".[28]

Buku ini sempat menggoncangkan dunia Islam, karena isinya yang kontroversial. Menurut penulisnya, syariat Islam tidak memberi aturan tentang negara. Pandangan ini memang dianggap sangat radikal, sehingga berbagai reaksi terhadap buku tersebut terus menggema sejak dipublikasikannya tahun 1925 sampai sekarang.[29] Tidak sedikit orang yang memuji isinya karena dianggap mengandung pemikiran-pemikiran baru. Namun, banyak juga yang mencelanya karena isinya dianggap hanyalah kumpulan kekeliruan.

Pokok-pokok pikiran Ali Abdul Raziq tentang Khilafah dikritik habis-habisan oleh Dhiyauddin al-Rais. Menurut Dhiyauddin, wajibnya menegakkan Khilafah merupakan ijma’ (konsensus) para sahabat dan kaum muslimin, pengakuan syara’ terhadap prinsip ijma merupakan pengakuan terhadap aspirasi ummat secara menyeluruh, seperti yang dinyatakan oleh para mujtahid, sepanjang Khilafah itu telah ditetapkan dengan prinsip ijma’, maka tidak perlu untuk membicarakannya melalui prinsip lain, sebab prinsip ijma’ itu sendiri sudah tentu berdasarkan Alquran dan hadis serta selamanya berkaitan dengan keduanya. Dengan demikian, menurut Dhiyauddin bahwa Ali Abdul Raziq tidak memahami makna prinsip ijma’ yang telah ditetapkan para ulama Islam. [30]

Perbedaan pendapat antara Ali Abdul Raziq dan Dhiyauddin disebabkan perbedaan pandangan mereka tentang ijma’. Ali Abdul Raziq memahami bahwa umat Islam sama sekali tidak pernah mencapai konsensus dalam memilih khalifah yang mana pun dan juga pada masa kapan pun.[31] Namun Dhiyauddin memandang ijma’ yang dimaksud adalah kesepakatan para sahabat dan kaum muslimin terhadap wajibnya menegakkan kekhilafahan.[32] Dengan demikian, ijma’nya berhubungan dengan kekhilafahan, bukan atas siapa orang yang akan dipilih.

Catatan Kaki

  1. ^ “Dan (ingatlah) ketika tuhanmu berkata kepada malaikat, "sesungguhnya aku menjadikan diatas bumi ini seorang Khalifah...” (QS. Al-Baqarah [2]: 30)
  2. ^ "Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada para khalifah dan mereka banyak." Para Shahabat bertanya, "Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?" Muhammad bersabda: Penuhilah bai'at yang pertama, yang pertama saja. Berikanlah kepada mereka hak mereka karena sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang mereka urus." (HR Muslim)
  3. ^ Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 60
  4. ^ An-Nabhani, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, hlm. 47; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 20
  5. ^ An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 114
  6. ^ Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 55
  7. ^ An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 115; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 64
  8. ^ An-Nabhani, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 73
  9. ^ An-Nabhani, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 86
  10. ^ An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 116; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 94
  11. ^ An-Nabhani, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 105
  12. ^ An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 116; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 105
  13. ^ Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 106
  14. ^ "Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan)." (QS. Al-Anfal [8]: 60)
  15. ^ An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 117; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 82
  16. ^ Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 109
  17. ^ An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 117
  18. ^ Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 11/373
  19. ^ Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 128
  20. ^ An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 117; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 128
  21. ^ Zallum, Al-Amwâl fi Dawlah al-Khilâfah, hlm. 15
  22. ^ An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 120; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 135
  23. ^ "Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ulil amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu)." (QS. An-Nisa' [4]: 83)
  24. ^ An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 121; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 143
  25. ^ An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 121; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 147
  26. ^ Elizabeth Suzanne Kassab. Contemporary Arab Thought: Cultural Critique in Comparative Perspective. Columbia University Press, 2010. ISBN 9780231144896 p.40
  27. ^ Bertrand Badie, Dirk Berg-Schlosser, Leonardo Morlino (eds). International Encyclopedia of Political Science, Volume 1. SAGE, 2011. ISBN 9781412959636 p.1350.
  28. ^ Kemal H. Karpat. The Politicization of Islam: Reconstructing Identity, State, Faith, and Community in the Late Ottoman State. Studies in Middle Eastern History. Oxford University Press, 2001 ISBN 9780195136180 pp.242-243.
  29. ^ Dhiyauddin al-Rais, al-Islam wa al-Khilafah fi al-‘Ashr al-Hadits, diterjemahkan oleh Afif Muhammad dengan judul, Islam dan Khilafah, Kritik Terhadap Buku Khilafah dan Pemerintahan Dalam Islam, Ali Abdul Raziq, (Bandung: Pustaka, 1985), h. vii.
  30. ^ ibid, h. 172-173.
  31. ^ Ali Abdul Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm, (Cet. III; Kairo: Syirkah Mahammiyah Mishriyah, 1344 H./1925 M), h. 35
  32. ^ Dhiyauddin al-Rais, op. cit., h. 174.

Pranala luar