Suku Karo

kelompok etnik sumatera

Etnik Karo (Karo: ᯂᯒᯨ atau ᯂᯒᯭ, Latin: Karo) adalah suku bangsa atau kelompok etnis yang mendiami wilayah Sumatra Utara dan sebagian Aceh: meliputi Kabupaten Karo, sebagian Kabupaten Aceh Tenggara, sebagian Kabupaten Langkat (Langkat Hulu), Sebagian Kabupaten Dairi, sebagian Kabupaten Simalungun, dan sebagian Kabupaten Deli Serdang serta juga dapat ditemukan di kota Medan & Kota Binjai. Suku ini merupakan salah satu suku terbesar di Sumatra Utara. Nama suku ini dijadikan sebagai nama salah satu Kabupaten di Sumatra Utara yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa yang disebut Bahasa Karo atau Cakap Karo. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas. Konon, Kota Medan didirikan oleh seorang putra Karo yang bernama Guru Patimpus Sembiring Pelawi.

Orang Karo

Kalak Karo
ᯂᯞᯂ᯳ ᯂᯒᯭ
Berkas:Jamin-ginting.jpg
Berkas:Lyodra Photoby WinstonGomez.jpg
Berkas:Masri singarimbun.jpg
Jumlah populasi
± 1.200.000 (2010)
Daerah dengan populasi signifikan
 Indonesia (Sumatera)
Bahasa
Karo, Indonesia, Melayu, Batak, Aceh
Agama
Kelompok etnik terkait

Sejarah & etimologi

Suku Karo adalah suku yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Suku ini memiliki bahasa yang disebut Bahasa Karo dan memiliki salam khas yaitu Mejuah-juah. Adapun Rumah adat Suku Karo atau yang dikenal dengan nama Rumah Siwaluh Jabu‎ yang berarti rumah untuk delapan keluarga, yaitu Rumah yang terdiri dari delapan bilik yang masing-masing bilik dihuni oleh satu keluarga. Tiap keluarga yang menghuni rumah itu memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan pola kekerabatan masing-masing.

 
Seorang Wanita Karo mengenakan kain (Gatip Ampar) di atas bahunya dan anting-anting (padung perak), dan seorang Pria Karo kemungkinan mengenakan Julu Berjongkit atau Ragi Santik sebagai penutup pinggul. Foto diambil di salah satu desa di Kabupaten Karo, sekitar tahun 1914-1919.

Adapun beberapa 5 marga induk pada suku Karo yang biasa disebut "Merga Silima" ialah:

1. Karo/Karo-Karo, diberi nama Karo tujuannya bila nanti leluhurnya telah tiada, Karo lah menjadi gantinya atau sebagai ingatan (asal-usul). Sehingga nama leluhurnya/jati diri tidak hilang dan tetap terjaga untuk identitas masyarakat suku Karo.

2. Ginting, anak kedua.

3. Sembiring, sembiring berasal dari kata simbiring. Ia diberi nama "Si "Mbiring (si hitam) karena dia merupakan yang paling hitam diantara saudaranya.

4. Perangin-angin, diberi nama perangin-angin karena ketika ia lahir angin berhembus dengan kencangnya (angin puting-beliung).

5. Tarigan, anak bungsu.

Eksistensi Kerajaan

Kesultanan Aru Baroman

1225[7]–1613
 
Peta Sumatra tahun 1565 dengan arah selatan di atas. Wilayah "Terre Laru" dapat dilihat di pojok atas dalam "kotak" kiri bawah
Ibu kotaKota Rentang
Bahasa yang umum digunakanKaro
Melayu
Agama
Islam
PemerintahanMonarki
Sejarah 
• Didirikan
1225[7]
• Serangan akhir dari Kesultanan Aceh
1613
Digantikan oleh
kslKesultanan
Deli
 
Sekarang bagian dari  Indonesia
 
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
 
Bantuan penggunaan templat ini

Kesultanan Aru/Karo atau Haru merupakan sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah pantai timur Sumatra Utara sekarang.

Kerajaan Haru-Karo (Kerajaan Aru/Karo) mulai menjadi kerajaan besar di Sumatra, namun tidak diketahui secara pasti kapan berdirinya. Namun, Brahma Putra, dalam bukunya "Karo dari Zaman ke Zaman" mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di Sumatra Utara yang rajanya bernama "Pa Lagan". Menilik dari nama itu merupakan bahasa yang berasal dari suku Karo. Mungkinkah pada masa itu Kerajaan Haru sudah ada? Hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.(Darwan Prinst, SH :2004)

Kerajaan Haru-Karo diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Johor, Malaka, dan Aceh. Terbukti karena kerajaan Haru pernah berperang dengan kerajaan-kerajaan tersebut. Kerajaan Haru pada masa keemasannya, pengaruhnya tersebar mulai dari Aceh Besar hingga ke sungai Siak di Riau.

Terdapat suku Karo di Aceh Besar yang dalam bahasa Aceh disebut Karee. Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya "Aceh Sepanjang Abad" (1981). Ia menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari Batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya "Tarich Atjeh dan Nusantara" (1961) mengatakan bahwa di lembah Aceh Besar disamping terdapat kerajaan Islam terdapat pula kerajaan Karo. Selanjunya disebutkan bahwa penduduk asli atau bumi putera dari ke-20 mukim bercampur dengan suku Karo. "Brahma Putra", dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman" mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah "Manang Ginting Suka".

Kelompok Karo di Aceh kemudian berubah nama menjadi "Kaum Lhee Reutoih" atau Kaum Tiga Ratus. Penamaan demikian terkait dengan peristiwa perselisihan antara suku Karo dengan suku Hindu di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang tanding. Sebanyak tiga ratus (300) orang suku Karo akan berkelahi dengan empat ratus (400) orang suku Hindu di suatu lapangan terbuka. Perang tanding ini dapat didamaikan dan sejak saat itu suku Karo disebut sebagai kaum tiga ratus dan kaum Hindu disebut kaum empat ratus.

Di kemudian hari terjadi pencampuran antar suku Karo dengan "Suku dari India" dan mereka disebut sebagai kaum Ja Sandang. Golongan lainnya adalah Kaum Imeum Peuet dan Kaum Tok Batee yang merupakan campuran suku pendatang, seperti: Kaum Hindi, Arab, Persia, dan lainnya.

Historiografi

Nama kerajaan ini disebutkan dalam Pararaton, yang tepatnya disebut di dalam Sumpah Palapa:[8]

Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa

Dalam bahasa Indonesia mempunyai arti:[8]

Dia, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa

Sebaliknya tidak tercatat lagi dalam Kakawin Nagarakretagama sebagai negara bawahan sebagaimana tertulis dalam pupuh 13 paragraf 1 dan 2.

Sementara itu dalam Suma Oriental disebutkan bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan yang kuat Penguasa Terbesar di Sumatra yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan memiliki pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing.[9] Dalam laporannya, Tomé Pires juga mendeskripsikan akan kehebatan armada kapal laut kerajaan Aru yang mampu melakukan pengontrolan lalu lintas kapal-kapal yang melalui Selat Melaka pada masa itu.

Dalam Sulalatus Salatin Haru disebut sebagai kerajaan yang setara kebesarannya dengan Malaka dan Pasai. Peninggalan arkeologi yang dihubungkan dengan Kerajaan Haru telah ditemukan di Kota China dan Kota Rantang.

Kontroversi

Banyak diantara orang Karo yang tidak ingin dirinya disebut sebagai bagian dari Batak. Mereka berpendapat bahwa dari asal usul nenek moyang orang Karo saja sudah berbeda dari suku Batak, selain itu budaya dan bahasa Karo juga diyakini berbeda dari Batak. Embel-embel "Batak" diyakini mereka merupakan stereotip yang dimunculkan pada masa kolonial Belanda, dimana suku bangsa non-Melayu yang ada di pesisir dikategorikan sebagai suku Batak yang bermukim di dataran tinggi/pegunungan.[10]

Pernyataan tersebut memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, terutama di masyarakat Suku Batak. Walaupun Karo berdiri sebagai suku sendiri tetapi suku Karo serumpun dengan suku Batak karena dari segi budaya, bahasa, bahkan marga-marga beberapa ada yang mirip bahkan sama atau ada sebagian marga yang se-trah atau ada kaitannya/hubungan dengan marga Batak, hal ini bisa dilihat karena mereka juga memiliki wilayah geografis yang berdekatan. Sejarah Suku Karo Menurut Kol. (Purn) Sempa Sitepu dalam buku "Sejarah Pijer Podi, Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia" menuliskan secara tegas etnis Karo bukan berasal dari si Raja Batak. Ia mengemukakan silsilah etnis Karo yang diperoleh dari cerita lisan secara turun temurun dan sampai kepada beliau yang didengar sendiri dari kakeknya yang lahir sekitar tahun 1838. Secara etimologi, suku Karo merupakan suku tersendiri yang mandiri dan bukan bagian dari Batak. Karena kata Batak pun ciptaan dari para penjajah/pengelana asing untuk mengelompokkan manusia-manusia di daerah pegunungan/pedalaman yang bermakna menghina dan sangat negatif. Arti dari makna/konotasinya ialah: terbelakang, liar dan tak beradab (merujuk kepada suku Toba) atau dalam bahasa Karo disebut "Kalak Tebba" yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai 'Orang Toba'. Menurut orang Karo, kata Batak tidak mewakili identitas/jati diri mereka. Ini adalah hal serius untuk tidak mengatakan Karo adalah Batak karena ini ialah masalah jati diri, mereka memang berbeda. Kemiripan dan beberapa persamaan terjadi karena akulturasi dan asimilasi yang memang tak bisa dielakkan. Karena juga wilayah mereka saling berdekatan. Ini adalah masalah serius agar anak cucu kita nanti tidak kehilangan jati dirinya sebagai orang Karo/kalak Karo.

Wilayah Karo

 
Rumah adat Karo Siwaluh Jabu tempo dulu di Kabanjahe

Sering terjadi kekeliruan dalam percakapan sehari-hari dimana wilayah Karo hanya diidentikkan dengan Kabupaten Karo. Padahal, Taneh Karo jauh lebih luas daripada Kabupaten Karo karena meliputi:

Kabupaten Karo

 
(Tanah Karo 1917).

Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Tanah Karo. Kota yang terkenal dengan di wilayah ini adalah Berastagi dan Kabanjahe. Berastagi merupakan salah satu kota turis di Sumatera Utara yang sangat terkenal dengan produk pertaniannya yang unggul. Salah satunya adalah buah jeruk dan produk minuman yang terkenal yaitu sebagai penghasil Markisa Jus yang terkenal hingga seluruh nusantara. Mayoritas suku Karo bermukim di daerah pegunungan ini, tepatnya di daerah Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak yang sering disebut sebagai atau "Taneh Karo Simalem". Banyak keunikan-keunikan terdapat pada masyarakat Karo, baik dari geografis, alam, maupun bentuk masakan. Masakan Karo, salah satu yang unik adalah trites. Trites ini disajikan pada saat pesta budaya, seperti pesta pernikahan, pesta memasuki rumah baru, dan pesta tahunan yang dinamakan -kerja tahun-. Trites ini bahannya diambil dari isi lambung sapi/kerbau, yang belum dikeluarkan sebagai kotoran. Bahan inilah yang diolah sedemikian rupa dicampur dengan bahan rempah-rempah sehingga aroma tajam pada isi lambung berkurang dan dapat dinikmati. Masakan ini merupakan makanan istimewa yang di suguhkan kepada yang dihormati.

Kota Binjai

Kota Binjai merupakan daerah yang memiliki interaksi paling kuat dengan Kota Medan disebabkan oleh jaraknya yang relatif sangat dekat dari Kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatra Utara. Nama "Binjai" juga dipercaya berasal dari gabungan kedua kosakata Bahasa Karo, ben dan i-jei yang artinya "bermalam di sini". Hal tersebut kemudian diucapkan "Binjei" dan menjadi "Binjai" hingga sekarang.

Kabupaten Langkat

Suku Karo di Langkat mendiami daerah hulu, seperti Bahorok, Kutambaru, Sei Bingai, Kuala, Salapian, dan sebagian Selesai, Batang Serangan, dan Serapit. Teluk Aru yang berada di Langkat Hilir juga pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Aru, kerajaan bercorak Karo-Melayu yang dimana menjadi leluhur dari raja dan sultan Melayu Sumatera Timur.

Kabupaten Dairi

Wilayah Kabupaten Dairi pada umumnya sangat subur dengan kemakmuran masyarakatnya melalui perkebunan kopinya yang sangat berkualitas. Sebagian Kabupaten Dairi yang merupakan bagian Taneh Karo:

Kabupaten Aceh Tenggara

Taneh Karo di Kabupaten Aceh Tenggara meliputi:

Kabupaten Deli Serdang

Kabupaten Simalungun

Kota Medan

 
Suasana kota Medan serta ikon-ikon/tugu dan gedung-gedung/bangunan di kota Medan

Pendiri kota Medan adalah seorang putra Karo yaitu Guru Patimpus Sembiring Pelawi. Sebagian sejarahwan dan pemerhati budaya juga mempercayai bahwa asal mula nama Kota Medan berasal dari Bahasa Karo, Madan yang berarti "obat". Namun pendapat ini masih menjadi pro dan kontra karena terdapat beberapa versi mengenai asal mula nama Medan.

 
Rumah adat Karo Siwaluh Jabu di Desa Dokan

Marga

Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Merga disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok utama (marga inti/pokok), yang disebut dengan merga silima. Kelima merga/marga besar tersebut adalah:

 
Marga Utama
Ginting Karo-karo Perangin-angin Sembiring Tarigan
Sub-marga Ajartambun Barus Bangun/Bangkit Brahmana Bondong
Babo Bukit Benjerang Bunuaji Gana-Gana
Bras Gurusinga Kacinambun Busu Gersang
Gurupatih Kaban Keliat Colia Gerneng
Garamata Kacaribu Laksa Depari Jampang
Jandibata Karo Sekali Limbeng Gurukinayan Krandam
Jawak Kemit Mano Keling Tarigan Purba/Cikala
Ginting Manik Ketaren Namoaji Keloko Pekan
Munthe Karo Manik Pencawan Kembaren Sibero
Pase Paroka Penggarun Maha Silangit
Seragih Karo Purba Perbesi Meliala/Melala/Milala Tambun
Suka/Sinisuka Samura Pinem/Pinim Muham Tambak
Sugihen Sinubulan/Simbulan Sebayang Pandia Tegur
Sinusinga Sinuaji Singarimbun Pandebayang Tendang
Tumangger Sinukaban Sinurat Pelawi Tua
Capa Sinulingga Sukatendel Sinukapar/Sinukapur
Sinuraya Tanjung Sinulaki
Sitepu Ulunjandi Sinupayung
Surbakti Uwir Tekang
Torong Jenabun
Jung/Ujung Kuta Buluh
Jombor Beringen
Prasi
Beliter

Kelima marga Karo tersebut mempunyai sub-marga masing-masing, dimana setiap orang Karo mempunyai salah satu dari merga tersebut. Ada sekitar kurang lebih 95 Marga (Sub-Marga) didalam suku Karo dengan 5 marga induk utama/marga inti (pokok). Marga diperoleh secara turun termurun dari ayah, marga ayah juga merga anak. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Jikalau laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut (b)ersenina. Demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru yang sama, maka mereka disebut juga (b)ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring (Sembiring Kembaren).

Falsafah kemasyarakatan

 
Pasangan pengantin pria & wanita menikah dengan pakaian adat Karo lengkap dengan (uis) & tudung karo untuk perempuan, serta bekabuluh untuk lelaki

Hal lain yang penting dalam susunan masyarakat Karo adalah rakut sitelu, yang artinya secara metaforik adalah Tungku Nan Tiga, yang berarti Ikatan yang Tiga. Arti rakut sitelu tersebut adalah Sangkep Nggeluh (Kelengkapan Hidup) bagi orang Karo. Kelengkapan yang dimaksud adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu :

  1. Kalimbubu
  2. Anak Beru
  3. Sembuyak
  • Kalimbubu dapat didefinisikan sebagai keluarga pemberi istri.
  • Anak Beru yaitu keluarga yang mengambil atau menerima istri.
  • Sembuyak adalah keluarga satu galur keturunan merga atau keluarga inti.

Orang Karo mempunyai salam khas yaitu Mejuah-juah atau lengkapnya adalah mejuah-juah kita kerina yang memiliki arti sehat-sehat kita semua, baik-baik kita semua, kedamaian, kesehatan, kebaikan untuk kita semua. Kata mejuah-juah biasa diucapkan diawal kalimat (pembuka kata) yakni menjadi salam khas sejak dulu.

Sistem kekerabatan

Tutur Siwaluh adalah konsep kekerabatan masyarakat Karo, yang berhubungan dengan penuturan, yaitu terdiri dari delapan golongan:

  1. Puang Kalimbubu
  2. Kalimbubu
  3. Senina
  4. Sembuyak
  5. Senina Sipemeren
  6. Senina Sepengalon/Sedalanen
  7. Anak Beru
  8. Anak Beru Menteri

Dalam pelaksanaan upacara adat, Tutur Siwaluh ini masih dapat dibagi lagi dalam kelompok-kelompok lebih khusus sesuai dengan keperluan dalam pelaksanaan upacara yang dilaksanakan, yaitu sebagai berikut:

  1. Puang Kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang
  2. Kalimbubu adalah kelompok pemberi istri kepada keluarga tertentu. Kalimbubu ini dapat dikelompokkan lagi menjadi :
    • Kalimbubu Bena-bena atau Kalimbubu Tua, yaitu kelompok pemberi istri kepada kelompok tertentu yang dianggap sebagai kelompok pemberi istri adalah dari keluarga tersebut. Misalnya A bermerga Sembiring bere-bere Tarigan, maka Tarigan adalah Kalimbubu Si A. Jika A mempunyai anak, maka merga Tarigan adalah Kalimbubu Bena-bena / Kalimbubu Tua dari anak A. Jadi Kalimbubu Bena-bena atau Kalimbubu Tua adalah kalimbubu dari ayah kandung.
    • Kalimbubu Simada Dareh adalah berasal dari ibu kandung seseorang. Kalimbubu Simada Dareh adalah saudara laki-laki dari ibu kandung seseorang. Disebut Kalimbubu Simada Dareh karena mereka yang dianggap mempunyai keturunan sedarah, karena sedarah maka itu juga yang terdapat dalam diri keponakannya.
    • Kalimbubu Iperdemui, yaitu yang berarti kalimbubu yang dijadikan kalimbubu oleh karena seseorang mengawini putri dari satu keluarga untuk pertama kalinya. Maka seseorang itu yang menjadi kalimbubu adalah berdasarkan perkawinan.
  3. Senina, yaitu mereka yang bersaudara karena mempunyai merga dan submerga yang sama.
  4. Sembuyak, yaitu secara harfiah artinya adalah satu dan Mbuyak yang artinya adalah kandungan. Maka artinya adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama. Namun dalam masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina yang berlainan sub-merga juga, dalam bahasa Karo disebut Sindauh Ipedeher (Yang jauh menjadi dekat).
  5. Sipemeren, yaitu orang-orang yang ibu-ibu mereka bersaudara kandung. Bagian ini didukung lagi oleh pihak Siparibanen, yaitu orang-orang yang mempunyai istri yang bersaudara.
  6. Senina Sepengalon atau Sendalanen, yaitu orang yang bersaudara karena mempunyai anak-anak yang memperistri dari beru yang sama.
  7. Anak beru, yang berarti pihak yang mengambil istri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita keluarga tertentu, dan secara tidak langsung melalui perantaraan orang lain, seperti Anak Beru Menteri dan Anak Beru Singikuri. Anak beru ini terdiri lagi sebagai berikut :
    • Anak Beru Tua, adalah anak beru dalam satu keluarga turun temurun. Paling tidak tiga generasi telah mengambil istri dari keluarga tertentu (Kalimbubu-nya). Anak Beru Tua adalah anak beru yang utama, karena tanpa kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak kalimbubu-nya, maka upacara tersebut tidak dapat dimulai. Anak Beru Tua juga berfungsi sebagai Anak Beru Singerana (sebagai pembicara), karena fungsinya dalam upacara adat sebagai pembicara dan pemimpin keluarga dalam keluarga kalimbubu dalam konteks upacara adat.
    • Anak Beru Cekoh Baka Tutup, yaitu anak beru yang secara langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubu-nya. Anak Beru Cekoh Baka Tutup adalah anak saudara perempuan dari seorang kepala keluarga. Misalnya Si A seorang laki-laki, mempunyai saudara perempuan Si B, maka anak Si B adalah Anak Beru Cekoh Baka Tutup dari Si A. Dalam panggilan sehari-hari anak beru disebut juga Bere-bere Mama.
  8. Anak Beru Menteri, yaitu anak berunya si anak beru. Asal kata Menteri adalah dari kata Minteri yang berarti meluruskan. Jadi anak beru minteri mempunyai pengertian yang lebih luas sebagai petunjuk, mengawasi serta membantu tugas kalimbubu-nya dalam suatu kewajiban dalam upacara adat. Ada pula yang disebut Anak Beru Singkuri, yaitu anak beru-nya si Anak Beru Menteri. Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat.
 
Kedua mempelai dari suku Karo berbusana adat Karo

Aksara & sistem penulisan

Aksara yang digunakan oleh suku Karo adalah Aksara Karo yang juga merupakan bagian dari jenis varian aksara Batak. Aksara ini adalah aksara kuno yang dipergunakan oleh masyarakat Karo, akan tetapi pada saat ini penggunaannya sangat terbatas sekali bahkan hampir tidak pernah digunakan lagi. Guna melengkapi cara penulisan perlu dilengkapi dengan anak huruf seperti o = ketolongen, x = sikurun, ketelengen dan pemantek.

Bentuk aksara dasar

Induk Surat
a ha ka ba pa na wa ga ja da ra ma ta sa ya nga la nya ca nda mba i u
Karo                                    
 
       

Bentuk-bentuk di atas merupakan bentuk yang digeneralisasi, tidak jarang suatu naskah menggunakan varian bentuk aksara atau tarikan garis yang sedikit berbeda antara satu sama lainnya tergantung dari daerah asal dan media yang digunakan.

Aksara i () dan u () hanya digunakan untuk suku kata terbuka, misal pada kata ina ᯤᯉ dan ulu ᯥᯞᯮ. Untuk suku kata tertutup yang diawali dengan bunyi i atau u, digunakanlah aksara a ( atau ) bersama diaktirik untuk masing-masing vokal, misal pada kata indung ᯀᯪᯉ᯲ᯑᯮᯰ dan umpama ᯀᯮᯔ᯲ᯇᯔ.

Dalam penulisan Karo, bunyi sengau m, n, dan ng sebelum konsonan b, c, d, g, j, k, dan p/ tidak ditulis. Karena itu, kata seperti panta hanya ditulis pata ᯇᯗ. -->

Diakritik

Diakritik (anak surat) adalah tanda yang melekat pada aksara utama untuk mengubah vokal inheren aksara utama yang bersangkutan, bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[11]

Anak Surat
-i -u [1] -e[2] -o -ou -ng -h pemati
Karo  
 
       
 
     
kelawan sikurun ketéléngan kebereten ketolongen kebincaren kejeringen penengen
Catatan

^1 /e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
^2 /ə/ sebagaimana e dalam kata "empat"
^3 diakritik dapat memiliki sejumlah variasi nama yang tidak semuanya dicantumkan dalam tabel ini

Tabel berikut menunjukkan bagaimana diakritik melekat pada aksara dasar ka dalam masing-masing varian aksara:

Induk Surat + Anak Surat
ka ki ku[3] [1] ke[2] ko kou kang kah k
Karo    
 
       
 
     
kelawan sikurun ketéléngan kebereten ketolongen kebincaren kejeringen penengen
Catatan

^1 /e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
^2 /ə/ sebagaimana e dalam kata "empat"
^3 diakritik dapat memiliki sejumlah variasi nama yang tidak semuanya dicantumkan dalam tabel ini

Penulisan suku kata tertutup

Pada penulisan suku kata tertutup yang berpola konsonan-vokal-konsonan, diakritik vokal yang normalnya menempel pada aksara dasar pertama ditempatkan ulang agar menempel dengan aksara dasar kedua dan diaktrik pemati. Aturan ini berlaku untuk semua varian aksara, dan penerapannya dapat dilihat sebagaimana berikut:[11]

komponen penulisan keterangan
  +   +   =   ta + pa + pangolat = tap
  +   +   +   =   ta + -i + pa + pangolat → ta + pa + -i + pangolat = tip
  +   +   +   =   ta + -u + pa + pangolat → ta + pa + -u + pangolat = tup
  +   +   +   =   ta + -é + pa + pangolat → ta + pa + -é + pangolat = tép
  +   +   +   =   ta + -e + pa + pangolat → ta + pa + -e + pangolat = tep
  +   +   +   =   ta + -o + pa + pangolat → ta + pa + -o + pangolat = top

Penulisan diakritik -ng dan -h

Apabila suatu suku kata menggunakan diakritik vokal yang menempel di sebelah kanan aksara dasar, diakritik -ng dan -h ditulis tidak menempel pada aksara dasar namun diaktrik vokal yang bersangkutan. Penerapannya dapat dilihat sebagaimana berikut:[11]

komponen penulisan keterangan
  +   +   =   pa + -i + ing = ping
  +   +   =   pa + -u + -ng = pung
  +   +   =   pa + -i + -h = pih
  +   +   =   pa + -e + -h = peh

Contoh teks

Berikut adalah sebuah ratapan Karo pada bambu dari koleksi Museum fur Völkerkunde Berlin no. IC 39908a. Alih aksara dan terjemahan disadur dari Kozok (1999):[12]

 
Ukiran dari sebuah tulisan ratapan Karo (Bilang-bilang) menggunakan aksara Karo pada media bambu
Huruf/Abjad Karo Alih aksara Latin Terjemahan
ᯔᯂᯀᯪᯛᯨᯀᯒᯪᯂᯬᯗᯩᯉᯬᯆᯪᯞᯰᯆᯪᯞᯰᯂᯪᯉ᯳ᯆᯬᯞᯬᯱᯗᯎᯉ᯳ᯀᯩᯢ maka io ari kuté nu bilang-bilang kin buluh tagan énda inilah ratap tangis di bambu yang menjadi tabung
ᯔᯉ᯳ᯀᯪᯝᯉ᯳ᯉᯬᯒᯪᯉᯬᯒᯪᯂᯧᯉ᯳ᯀᯗᯩᯔᯧᯘᯬᯋᯪᯞᯒᯧᯝᯑᯪᯝᯑᯪ man ingan nuri-nuriken até mesui la erngadi-ngadi sebagai tempat untuk menceritakan penderitaanku yang tiada habisnya
ᯘᯪᯔᯉ᯳ᯗᯬᯒᯪᯉ᯳ᯂᯧᯉ᯳ᯔᯔᯘᯪᯂᯒᯨᯂᯒᯨᯔᯧᯒ᯳ᯎᯉᯆᯧᯒᯩᯘᯪᯆᯪᯒᯪᯰ si man turinken mama si karo-karo mergana beré simbiring tentang aku yang bermarga Karo-karo, yang marga ibunya (beré) Simbiring
ᯘᯪᯞᯇᯘ᯳ᯔᯧᯞᯬᯔᯰ si lampas melumang yang lekas menjadi yatim piatu
ᯘᯪᯗᯧᯒ᯳ᯆᯆᯀᯗᯩᯔᯧᯘᯬᯋᯪᯞᯒᯧᯝᯑᯪᯝᯑᯪ si terbaba até mesui la erngadi-ngadi yang penderitaannya tiada habis
ᯇᯧᯝᯪᯢᯨᯂᯬᯞᯔᯧᯀᯬᯞᯪ péngindoku la mehuli nasibku yang malang ini
ᯉᯢᯩᯆᯪᯆᯪᯂᯬᯂᯒᯪᯉᯂᯗᯂᯬ nandé bibiku karina kataku wahai nandé dan bibiku semua, kataku
ᯀᯩᯢᯗᯬᯒᯰᯂᯬᯗᯬᯒᯪᯂᯧᯉ᯳ énda, turang, kuturiken inilah, sayang, tuturanku

Kalender Karo

Nama-nama bulan

Adapun nama-nama bulan dan binatang atau benda apa yang bersamaan dengan bulan bersangkutan adalah sebagai berikut:

  • Bulan Sipaka sada merupakan bulan kambing
  • Bulan Sipaka dua merupakan bulan lembu
  • Bulan Sipaka telu merupakan bulan gaya (cacing)
  • Bulan Sipaka empat merupakan bulan padek (katak)
  • Bulan Sipaka lima merupakan bulan arimo (harimau)
  • Bulan Sipaka enem merupakan bulan kuliki (elang)
  • Bulan Sipaka pitu merupakan bulan kayu
  • Bulan Sipaka waluh merupakan bulan tambok (kolam)
  • Bulan Sipaka siwah merupakan bulan gayo (kepiting)
  • Bulan Sipaka sepuluh merupakan bulan belobat, baluat atau balobat (sejenis alat musik tiup)
  • Bulan Sipaka sepuluh sada merupakan bulan batu
  • Bulan Sipaka sepuluh dua merupakan bulan binurung (ikan)

Nama-nama hari

Nama-nama hari pada suku Karo apabila diperhatikan banyak miripnya dengan kata-kata bahasa Sanskerta. Setiap hari dari tanggal itu mempunyai makna atau pengertian tertentu. Oleh karena itu apabila seseorang hendak merencanakan sesuatu, misalnya keberangkatan ke tempat jauh, berperang ke medan laga, memasuki rumah baru dan berbagai kegiatan lainnya. selalu dilihat harinya yang dianggap paling cocok. Di sinilah besarnya peranan "guru si beloh niktik wari" (dukun/orang tua yang pintar melihat hari dan bulan yang baik dan serasi), yang dengan perhitungannya secara saksama, ia menyarankan agar suatu acara yang direncanakan dilakukan pada hari X.

Adapun nama yang 30 dalam satu bulan adalah sebagai berikut:

  1. Aditia
  2. Suma
  3. Nggara
  4. Budaha
  5. Beras pati
  6. Cukra enem
  7. Belah naik
  8. Aditia naik
  9. Sumana siwah
  10. Nggara sepuluh
  11. Budaha ngadep
  12. Beras pati tangkep
  13. Cukera dudu (lau)
  14. Belah purnama raya
  15. Tula
  16. Suma cepik
  17. Nggara enggo tula
  18. Budaha gok
  19. Beras pati
  20. Cukra si 20
  21. Belah turun
  22. Aditia turun
  23. Sumana mate
  24. Nggara simbelin
  25. Budaha medem
  26. Beras pati medem
  27. Cukrana mate
  28. Mate bulan ngulak
  29. Dalan bulan
  30. Sami sara

Budaya/kesenian Karo

Suku Karo mempunyai beberapa kebudayaan tradisional, kesenian/seni (sastra) di antaranya tari tradisional:

  • Piso Surit
  • Tari Lima Serangkai
  • 'Tari Terang Bulan'
  • Tari baka
  • Tari ndikkar
  • Tari Ndurung
  • Tari tongkat
  • Tari sigundari
  • Tari mbuah page
  • 'Tari Tiga Sibolangit'
  • Pantun
  • Petatah petitih
  • Petuah
  • Syair (bersyair)
  • Senandung/nandung (dendang)
  • Gendang
  • Guro aron-aron
  • Gurindam
  • Anding-andingen
  • Kuan kuanen
  • Bilang-Bilang (ratapan)
  • Cakap Lumat
  • Dengang Duka
  • Gundala Gundala
  • Tari sambut/tari penyambutan/tari persembahan (tari mejuah-juah)

Seni Bela diri (Silat Karo)

Seni bela diri orang karo merupakan Silat Karo yang dalam Bahasa Karo disebut ndikar. Kata tersebut mulai jarang digunakan masyarakat Karo sehingga kini asing terdengar. Masyarakat Karo sekarang ini cenderung menyebutnya dengan nama Silat Karo saja.

Kata ndikar untuk penamaan bela diri/silat dalam Bahasa Karo kadang kerap disamakan dengan kata Pandikar. Kata ndikar hanya untuk menyebut silat/bela diri, sedangkan pandikar merupakan seseorang yang mempunyai ilmu bela diri yang tinggi atau bisa juga orang yang mendalami ilmu bela diri dan memiliki ilmu bela diri.

Seni Musik

 
Instrumen alat-alat musik tradisional Karo.

Alat musik tradisional suku Karo adalah Gendang Karo. Biasanya disebut Gendang “Lima Sedalinen” yang artinya seperangkat gendang tari yang terdiri dari lima unsur.

Unsur disini terdiri dari beberapa alat musik tradisional Karo seperti Kulcapi, Balobat, Surdam, Keteng-keteng, Murhab, Serune, Gendang si ngindungi, Gendang si nganaki, Penganak dan Gung. Alat tradisional ini sering digunakan untuk menari, menyanyi dan berbagai ritus tradisi.

Jadi Gendang Karo sudah lengkap (lima sedalinen) jika sudah ada Serune, Gendang si ngindungi, Gendang si nganaki, Penganak dan Gung dalam mengiringi sebuah upacara atau pesta.

Seni Tari

Tari dalam bahasa Karo disebut “Landek.” Pola dasar tari Karo adalah posisi tubuh, gerakan tangan, gerakan naik turun lutut (endek) disesuaikan dengan tempo gendang dan gerak kaki. Pola dasar tarian itu ditambah dengan variasi tertentu sehinggga tarian tersebut menarik dan indah.

Tarian berkaitan adat misalnya memasuki rumah baru, pesta perkawinan, upacara kematian dan lain-lain. Tarian berkaitan dengan ritus dan religi biasa dipimpin oleh guru (dukun). Misalnya Tari Mulih-mulih, Tari Tungkat, Erpangir Ku Lau, Tari Baka, Tari Begu Deleng, Tari Muncang, dan lain-lain.

Tarian berkaitan dengan hiburan digolongkan secara umum. Misalnya Tari Gundala-gundala, Tari Ndikkar dan lain-lain. Sejak tahun 1960 tari Karo bertambah dengan adanya tari kreasi baru. Misalnya tari lima serangkai yang dipadu dari lima jenis tari yaitu Tari Morah-morah, Tari Perakut, Tari Cipa Jok, Tari Patam-patam Lance dan Tari Kabang Kiung. Setelah itu muncul pula tari Piso Surit, tari Terang Bulan, tari Roti Manis dan tari Tanam Padi.

Seni Ukir / Pahat

Keragaman seni pahat dan ukir suku Karo terlihat dari corak ragam bangunannya. Dulu orang yang ahli membuat bangunan Karo disebut “Pande Tukang.”

Hal ini terlihat dari jenis-jenis bangunan Karo seperti Rumah Siwaluh Jabu, Geriten, Jambur, Batang, Lige-lige, Kalimbaban, Sapo Gunung, dan Lipo. Seni ukir yang menjadi kekayaan kesenian Karo terlihat pada setiap ukiran bangunannya seperti Ukir Cekili Kambing, Ukir Ipen-Ipen, Ukir Embun Sikawiten, Ukir Lipan Nangkih Tongkeh, Ukir Tandak Kerbo Payung, Ukir Pengeretret, dan Ciken.

Suku Karo juga memiliki drama tradisional yang disebut dengan Gundala-Gundala.

Kegiatan kebudayaan & adat-istiadat

  • Merdang merdem = "Kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
  • "Mahpah" = "Kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
  • Mengket Rumah Mbaru - Pesta perayaan memasuki rumah (adat - ibadat) baru.
  • 'Mbesur-mbesuri' - "Mengenyangkan" memberi makan untuk wanita yang hamil 7 bulan, dengan harapan memenuhi keinginan nya sebelum melahirkan.
  • Cawir metua = Upacara adat/ritual kematian
  • Ndilo Udan - Memanggil hujan.
  • Rebu-rebu - Mirip pesta "kerja tahun".
  • Ngumbung - Hari jeda "aron" (kumpulan pekerja di desa).
  • Erpangir Ku Lau - Penyucian diri (untuk membuang sial).
  • "Raleng Tendi" - "Ngicik Tendi" , yaitu memanggil jiwa setelah seseorang kurang tenang karena terkejut secara suatu kejadian yang tidak disangka-sangka.
  • 'Motong Rambai' - Pesta kecil keluarga - handai taulan untuk memanggkas habis rambut bayi (balita) yang terjalin dan tidak rapih.
  • "Ngaloken Cincin Upah Tendi" - Upacara keluarga pemberian cincin permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere atau dari Bibi ke Permain).
  • Manok Sangkepi
  • Maba Belo Selamber (MBS)
  • 'Ngaloken Rawit' - Upacara keluarga pemberian pisau (tumbuk lada) atau belati atau clurit kecil yang berupa permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere) - keponakan laki-laki.

Kuliner Khas Karo

Makanan

 
Rumah makan Babi Panggang Karo di Kecamatan Tigapanah

Kuliner Karo sangat banyak ragamnya, salah satunya yang terkenal ialah Babi panggang Karo atau kerapkali disingkat sebagai BPK. BPK adalah makanan yang diproduksi dengan cara dipanggang dan diberi bumbu rempah-rempah yang khas, bumbu ini dinamakan Tuba atau juga bisa disebut andaliman. Umumnya orang Karo yang menjual BPK di warung makan ataupun restoran, namun tidak jarang juga ditemukan orang non-Karo yang juga menjual hidangan tersebut seperti orang Toba, Nias, dan lain lain.

Kuliner Karo lainnya meliputi: Kidu-kidu, Manuk Getah, Arsik Nurung Mas, Cimpa, Unung-unung, Cincang Bohan, Pagit-pagit, Trites, Gule Kuta-kuta (gulai ayam kampung), bubur pedas, Tasak Telu, Mie Keling, sayur gurih taucho, lomok-lomok, Bihun Bebek, Bika Ambon, Lemang Karo, Cipera, Anyang Pakis, Bulung Gadung, dan lain lain.

Minuman

Selain makanan, minuman khas Karo pun banyak macam ragamnya. Minuman yang terkenal adalah Susu Kitik yaitu teh susu telur khas Karo. Minuman ini umumnya disajikan di warung kopi di daerah Karo. Selain itu, ada lagi minuman2 khas Karo. Diantaranya adalah: Roco timun, jus martebe, sirup markisa, es kolak durian, bandrek dan lain-lain.

Lagu daerah Karo

Beberapa lagu yang berasal dari Daerah Karo adalah:

  • Piso Surit
  • Mbiring Manggis
  • Mejuah-juah
  • Famili Teksi
  • Sora Mido
  • Tengguli Laneng
  • Pincala
  • Si Lampas Melumang
  • O Taneh Karo
  • Deleng Sinabung

Keyakinan (agama)

 
Gereja GBKP dan Masjid yang berhadapan di Desa Perteguhen

Mayoritas orang Karo memeluk agama Kristen sekitar 70% (mayoritas Protestan 55% dan 15% Katolik), dan Islam 29%. Sekitar 1% sisanya beragama Buddha, Hindu, dan juga agama lainnya terutama yang masih menganut aliran kepercayaan lama/kuno yang merupakan agama keyakinan awal/asli suku Karo yakni Pemena[13] yang juga biasa disebut (Pelebegu/Sipelebegu, Perbegu) lebih tepatnya aliran: Animisme, Dinamisme, & Paganisme atau bisa juga disebut sebagai Agama Tradisional (Tradisionalisme) yang umumnya menyembah berhala, percaya pada roh-roh halus, benda-benda gaib/mistik, hal-hal mistis, makhluk gaib, atau juga dukun (perdukunan).

Sebagian kecil masyarakat Karo di desa Pintu Besi, Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hilir, Deli Serdang menganut agama Hindu yang dimana memiliki kemiripan dengan agama Hindu Bali mulai dari tempat ibadah berupa pura hingga upacara keagamaan. [14]

Rata-Rata pemeluk agama Pemena/Agama Tradisional (agama awal & agama asli Karo) berada di desa2/kuta2 (dalam bahasa Karo yang berarti kampung/desa) utamanya yang berada didekat/dikaki gunung Sinabung juga terdapat di wilayah pedalaman dan penganut agama ini kini nyaris punah. Agama Lainnya pun terutama seperti agama Buddha dapat kita temui di perkotaan (Medan), khususnya di kabupaten Langkat, sebagian Deli Serdang, Sebagian Tanah Karo/Kabupaten Karo khususnya di Berastagi sekitar wisata (taman alam Lumbini/sekitar bangunan kuil pagoda) namun jumlahnya sangat sedikit.

Gereja yang didominasi suku Karo

 
Gereja GBKP Kota Kabanjahe

Tokoh-tokoh Karo

Galeri

Referensi

  1. ^ Ginting, Ray Brema (2016). "Kristen di Dataran Tinggi Karo Tahun 1890-1906". Kristen di Dataran Tinggi Karo Tahun 1890-1906. Repositori Institusi Universitas Sumatera Utara (RI-USU). 
  2. ^ Ginting, Dewi (2012-08-08). "SEJARAH BERKEMBANGNYA AGAMA ISLAM DI TANAH KARO SUMATERA UTARA PADA TAHUN 1980- 2010". Ginting, Dewi (2012) SEJARAH BERKEMBANGNYA AGAMA ISLAM DI TANAH KARO SUMATERA UTARA PADA TAHUN 1980- 2010. Undergraduate thesis, UNIMED. UNIMED. 
  3. ^ "Katolik di Tanah Karo: Kabanjahe, 1942-1970an". jurnal.ugm.ac.id. Jurnal Lembaran Sejarah, Vol. 11, No. 2, Oktober 2014 | Mahasiswa S1 Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada. Oktober 2014. 
  4. ^ Rasmamana, Edi Putra (2016-09-03). "PENYEBARAN AGAMA BUDDHA PADA MASYARAKAT KARO DI KABUPATEN LANGKAT". Rasmamana, Edi Putra (2016) PENYEBARAN AGAMA BUDDHA PADA MASYARAKAT KARO DI KABUPATEN LANGKAT. Undergraduate thesis, UNIMED. UNIMED. 
  5. ^ [1]
  6. ^ Voice of Nature, Volumes 85-95. Yayasan Indonesia Hijau. 1990. hlm. 45. 
  7. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Brahma Putro
  8. ^ a b Mangkudimedja, R.M., 1979, Serat Pararaton. Alih aksara dan alih bahasa Hardjana HP. Jakarta: Departemen P dan K, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
  9. ^ Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols
  10. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-08-22. Diakses tanggal 2018-08-22. 
  11. ^ a b c Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama uni
  12. ^ Kozok 1999, hlm. 122-124.
  13. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Karo
  14. ^ [2]

Bacaan lanjutan terkait

  • Perangin-angin, Martin. (2004). Orang Karo Diantara Orang Batak. Pustaka Sora Mido

Pranala luar