Hukuman mati dan hak asasi manusia

Hukuman mati dan hak asasi manusia merupakan sanksi terberat dalam sistem pidana di Indonesia. Hukuman ini termasuk hukuman paling tua, apabila dilihat dari tinjauan sejarahnya. Oleh karena itu, ada beberapa pihak yang menganggap bahwa hukuman mati sudah tidak sesuai  lagi dengan perikemanusiaan. Namun, Indonesia tetap mempertahankannya. Hukuman mati sudah ada sebelum para penjajah datang ke Indonesia. Penerapannya berlaku untuk sanksi pidana hukuman adat. Secara hukum di Indonesia hukuman mati mulai berlaku sejak UU No. 1 tahun 1946 disahkan.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hingga kini masih mencantumkan hukuman mati dalam kategori pidana pokok (strafrecht), di samping pidana penjara, dan pidana denda.[4]

Peta Penyebaran Negara yang Masih Melakukan Hukuman Mati.[1] Menurut penelitian Amnesti Internasional, masih banyak negara-negara yang masih menjalankan hukuman mati di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.[2] Sebanyak 136 negara masih menjalankan hukuman mati.[2] Namun, terhitung setelah 10 tahun negara-negara tersebut tidak melakukan eksekusi hukuman mati.[2] Sebanyak 50 negara di dunia sudah menghapuskan hukuman mati dari Undang-Undang Pidana yang berlaku.[3]

Awal mula kemunculan hukuman mati menimbulkan banyak pertentangan. Salah satunya muncul dari golongan Abolisioner yang menolak adanya hukuman mati. Alasannya, karena bertentangan dengan hak asasi manusia, terutama dalam bahasan hak untuk hidup. Meskipun timbul pertentangan, masih banyak negara-negara di dunia yang menggunakan hukuman mati sebagai sanksi pidana. Contohnya di Amerika Serikat, di mana 38 dari 50 negara bagian masih memberlakukan hukuman mati sebagai sanksi pidana.[4]

Pada tahun 1986 di Belanda, terbit Kitab Undang-Undang Pidana. Hukuman mati masih dipertahankan di daNamun, ada beberapa ketentuan dalam pelaksanaanya. Hakim boleh memutuskan apakah hukuman eksekusi mati dijatukan di tiang gantungan atau dengan pedang, atau dengan cara diberikan pukulan cemeti dan menancap badan dengan besi panas. Selain itu, ada juga hukuman penjara 20 tahun namun sifatnya masih sementara.[4]

Di abad ke 17 pelaksanaan hukuman mati masih dengan cara yang sadis. Contohnya dengan cara potong leher, menggantung, memukul hingga mati, mematahkan tulang iga, dibakar, dikubur hidup-hidup, ditenggelamkan, dan lain sebagainya. Kini perkembangannya jauh lebih modern. Di Pakistan dan Malaysia hukuman mati dilakukan dengan cara digantung. Di Amerika Serikat dilaksanakan dengan menggunakan kursi listrik, ruang gas, atau pemberian suntik mati.[4]

Pertentangan mengenai hukuman mati pertama kali muncul dari Eropa Barat yang didukung oleh tokoh bernama Cesare Beccaria yang tertuang dalam sebuah tulisan yang diberi judul  On Crime and Punishment pada tahun 1764. Setelah tulisan itu terbit, di abad ke 20 mulai terjadi reaksi untuk mereformasi beberapa kebijakan tentang pelaksanaan hukuman pidana, termasuk di dalamnya membahas tentang perubahan mengenai hukuman mati.[5]

Di tahun 1863, negara Venezuela menjadi negara pertama yang menghapuskan hukuman mati untuk semua jenis kriminalitas. Di tahun 1865, San Marino (di Eropa) juga ikut menghapuskan hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. Di benua Asia, negara-negara yang telah menghapuskan hukuman mati yaitu Kamboja, Timor Timor, Turkmenistan, dan Nepal. Di benua Afrika, negara-negara yang telah menghapuskan hukuman mati di antaranya, Mozambik, Namibia, São Tomé, Príncipe, dan Cave Varde.[5]

Latar Belakang Teori

Teori Absolut (Pembalasan)

Teori absolut memiliki tujuan untuk pembalasan. Satu-satunya syarat untuk pemidaan yaitu kesalahan moral. Pemberian hukuman harus sesuai dan setara dengan kejahatan moral yang dilakukannya. Teori ini tidak memiliki tujuan untuk memperbaiki kesalahan seperti mendidik atau mensosialisasikan pelaku kejahatan.[6] Mutlak pembalasan dari pidana yang dilakukan oleh pelakunya. Orang yang melakukan kejahatan harus ada pembalasan yang berupa pidana (hukuman). Teori ini dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

  • Pembalasan berdasarkan tuntutan mutlak dan etika. Tokoh yang mendukung teori ini yaitu Hagel. Ia berpendapat bahwa hukum merupakan wujud dari kemerdekaan, sedangkan kejahatan merupakan tantangan antara keadilan dan hukum.[4]
  • Pembalasan demi keindahan dan kepuasan. Tokoh yang mendukung teori ini yaitu Herbert. Ia berpendapat bahwa rasa tidak puas yang muncul dari masyarakat beserta tuntutannya merupakan akibat dari kejahatan.[4]
  • Pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan. Tokoh yang mendukung teori ini yaitu Stahl Gewin dan Thomas Aquno. Mereka berpendapat bahwa kejahatan adalah pelanggaran terhadap keadilan. Orang yang melakukan kejahatan harus diberi penderitaan, agat perikeadilan Tuhan terpelihara.[4]
  • Pembalasan sebagai kehendak manusia. Tokoh yang mendukung teori ini adalah Jean Jacques Rousseau, Hugo de Groot, Grotius, dan Beccaria. Mereka berpendapat bahwa negara merupakan kehendak manusia, begitupun dengan pemidaan merupakan wujud dari kehendak manusia.[4]

Teori Tujuan (Teori Relatif atau Teori Pebaikan)

Hukuman bertujuan untuk menakut-nakuti calon penjahat. Selain itu, penjahat yang mendapat hukuman dapat memperbaiki dan menyingkirkan penjahat.[4] Teori ini memberikan penjelasan bahwa tindak kejahatan bisa bertemu dengan pembenarannya, dengan syarat memberi manfaat bagi hak warga negara. Hukuman yang memberikan efek penderitaan diperbolehkan, sejauh dibutuhkan untuk menghasilkan pencegahan kerugian yang lebih besar. Hukuman juga dimaksudkan untuk memberikan kesadaran bagi pelaku kejahatan agar menyesali perbuatannya.[6] Teori ini dibagi menjadi empat yaitu:

  • Ancaman pidana merupakan suatu cara untuk menakut-nakuti calon penjahat. Tokoh yang mengemukakan teori ini yaitu Paul Anselm van Feberbach.[4]
  • Perbaikan atau pendidikan bagi penjahat, berupa pidana. Hal itu diharapkan ketika mereka kembali kepada masyarakat, mereka dalam keadaan mental yang baik. Teori ini dikemukakan oleh Grolman van Krause Rader.[4]
  • Penjahat disingkirkan dari lingkungan masyarakat. Hal ini sering disebut perampasan kemerdekaan. Tokoh yang mengemukakan pendapat ini yaitu Ferri dan Garopalo.[4]
  • Membuat norma-norma yang menjadi keterlibatan umum. Teori ini dikemukakan oleh Frans van Litz, Van Hamel, dan Simon.[4]

Teori Gabungan

Teori gabungan dianggap paling cocok untuk diterapkan di Indonesia. Alasannya karena sifatnya manusiawi dan mencerminkan rasa keadilan.[4] Penjatuhan hukuman harus mampu memberi rasa kepuasan, baik untuk hakim atau kepada penjahat itu sendiri. Hukuman tersebut harus seimbang, antara pidana yang diberikan dengan perbuatan kejahatan yang dilakukannya. HAM menyatakan bahwa, setiap orang memiliki hak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan yang kejam, dan penghukuman yang tidak manusiawi, serta meredahkan harga dirinya. Pemberian hukuman dibutuhkan, tetapi harus sewajarnya. Pemberiannya harus spesifik untuk setiap kejahatannya. Seberat apapun hukumannya tidak boleh melebihi jumlah yang dituduhkan. Hukuman yang diberikan harus sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, adil bagi terdakwa maupun korban (masyarakat).[4]  Tujuan dari pemberian hukuman pada teori untuk membalas perbuatan pelaku kejahatan, selain itu juga bertujuan untuk perlindungan masyarakat demi mewujudkan ketertiban. Penderitaan merupakan hal yang wajar diterima oleh pelaku kejahatan, namun pemberiannya harus tetap mempertimbangkan keadaan pribadi pelaku kejahatan maupun masyarakat.[6]

Perkembangan Hukum Internasional

 
Di dalam hukum internasional, PBB memiliki tugas untuk mengawasi dan memberikan perlindungan kepada pelaku hukuman mati, hal ini berkaitan dengan Hak Asasi Manusia. Bentuk upaya yang dilakukan oleh PBB tertuang dalam Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB di tahun 1984. Isinya berupa penjaminan bagi pelaku yang akan dihukum mati. Resolusi tersebut terus diperbaharui, hingga yang terakhir tertuang dalam Resolusi Komisi HAM tahun 2005.[7]

Hukuman mati pertama kali dibahas dalam forum internasional di Konvensi Jenewa tahun 1929 tentang tawanan perang. Isinya memuat tentang prosedur dan cara mengenai pemberian hukuman mati kepada tawanan perang. Peraturan yang dibuat, berlaku hingga kini. Selain itu, Konvensi Jenewa juga membahas tentang warga sipil, yang tidak diperbolehkan mendapatkan hukuman mati di wilayah yang ditempatinya.[5]

Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia

Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia memiliki sifat otoriter sebagai tolak ukur untuk mejalankan norma-norma hak asasi manusia. Status hukum dalam deklarasi ini mengalami perubahan, mengikuti interpretasi kewenangan atas Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Seluruh anggota yang tergabung memiliki komitmen untuk meningkatkan penghargaan terhadap hak asasi manusia. Salah satu pasal yang berkaitan dengan hukuman mati yaitu, Pasal 3 dalam Deklarasi Universal HAM yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak atas penghidupan, kebebasan, dan keselamatan individu. Isi pasal tersebut belum memiliki penekanan yang kuat dalam mengatur atau pelarangan hukuman mati. Pasal ini juga sifatnya masih mendasar, dan tidak berpihak dan menyebutkan bahwa hukuman mati merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak asasi manusia.[5]

Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik

Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik adalah perjanjian internasioanal mengenai hak asasi manusia yang memiliki tujuan untuk mewujudkan standar pencapaian bersama yang sudah ditetapkan dalam Deklarasi Universal Hak-Hal Asasi Manusia. Isi Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang berkaitan dengan hukuman mati tertuang dalam Pasal 6 dan Pasal 7.[5]

Rangkuman isi dari Pasal 6 berisi tentang:

  • Setiap manusia memiliki hak untuk hidup untuk pribadinya. Tidak ada yang bisa merampas hak tersebut.[5]
  • Negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati sebagai sanksi, harus dilaksanakan sesuai kebijakan di mana tidak boleh bertentangan dengan kebijakan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida.[5]
  • Seseorang yang mendapatkan hukuman mati, memiliki hak untuk mendapatkan penggantian hukuman. Amnesti, pengampunan atau penggantian hukuman mati dapat diberikan dalam semua kasus.[5]
  • Hukuman mati tidak dapat diberikan kepada anak yang di bawah delapan belas tahun, dan perempuan yang sedang mengandung.[5]

Pasal 6 Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dirumuskan oleh Komite Ketiga Majelis Umum PPB di tahu 1957. Latar belakangnya, karena pada tahun tersebut masih banyak negara-negara yang memberlakukan hukuman mati. Pasal 7 membahas tentang bahwa tidak boleh memberikan hukuman mati kepada setiap orang dengan alasan untuk merendahkan harga dirinya. Selain itu, tidak boleh melakukan eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan pihak yang bersangkutan.[5]

Kebijakan PBB

Di tahun 1959, pembahasan tentang hukuman mati masuk ke dalam forum PPB, di mana Majelis Umum menyetujui sebuah resolusi untuk meminta Dewan Ekonomi dan Sosial agar mempelajari hukuman mati kembali. Kajiannya meliputi hukum dan pelaksanaanya di beberapa negara. Setelah dikaji, lalu diuji apakah hukuman mati tersebut mempengaruhi efektivitas pengurangan kriminalitas di suatu negara. Di tahun 1962 kajian tersebut selesai. Hasilnya, penghapusan hukuman mati di suatu negara tidak meningkatkan kriminalitas untuk negaranya. Di tahun 1968, Majelis Umum PBB memberikan persetujuan untuk sebuh resolusi tentang perlindungan bagi seseorang yang dijatuhi hukuman mati. Resolusi tersebut berisi tentang bahwa seseorang yang sedang menunggu waktu hukuman matinya tiba, seseorang tersebut masih bisa mendapatkan kesempatan untuk mengajukan banding, hasilnya bisa berupa ampunan atau masih tetap dengan hukuman matinya.[5]

Di tahun 1948. Dewan Ekonomi dan Sosial mebuat sebuah resolusi untuk menjadi perlindungan atas hak-hak orang yang akan menghadapi hukuman mati.[5] Beberapa resolusi itu membahas tentang:

  • Negara yang masih menjalankan hukuman mati, hanya diperbolehkan menjalankannya dengan jaminan bahwa jenis kriminalitas yang dilakukannya termasuk pelanggaran yang sangat berat.[5]
  • Hukuman mati tidak bisa diberikan kepada ibu hamil, orang yang mengalami gangguan jiwa, dan anak yang berusia di bawah 18 tahun.[5]
  • Seseorang yang sudah dijatuhi hukuman mati memiliki hak untuk naik banding dalam pengadilan yang lebih tinggi.[5]
  • Seseorang yang dijatuhi hukuman mati, memiliki hak untuk mengajukan permohonan maaf, pengurangan hukuman.[5]

Sejauh ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengesahkan empat perjanjian internasional mengenai penghapusan hukuman mati. Suatu negara bisa menjadi bagian dari anggota perjanjian tersebut dengan cara meratifikasinya. Ratifikasi diartikan melakukan tindakan internasional di mana negara tersebut menyatakan ikrar sebagai Negara pihak (State Party) dalam perjanjian internasional tersebut. Keempat perjanjian yang telah disahkan tersebut terdiri dari satu yang sifatnya global, dan tiga lainnya bersifat kawasan.[5] Berikut adalah deskripsi rangkuman dari empat Perjanjian Intersnasional tersebut:

Perkembangan di Indonesia

Berdasarkan data dari Institute for Criminal Justice Reform atau disingkat ICJR menyebutkan bahwa jumlah kasus hukuman mati hingga Oktober 2020 mencapai 173 kasus, dengan total 210 terdakwa. Data ini meningkat dibandingkan dengan tahun lalu, di Oktober 2018 hingga Oktober 2019 tercatat 126 kasus, dengan total 135 jumlah terdakwa. Kasus-kasus tersebut dibagi dalam beberapa rincian yaitu: 1) kasus narkotika dengan jumlah kasus 149 (86%); 2) kasus pembunuhan yang direncanakan 23 kasus (13%); dan kasus terorisme memiliki jumlah kasus sebanyak 1 kasus (1%).[8] Di Indonesia untuk menentukan sanksi terhadap sebuah kejahatan dan pelanggaran diatur dalam hukum pidana. Tujuan dari hukum pidana tersebut yaitu agar seseorang yang berbuat kejahatan mendapat hukuman yang adil, dan berharap agar pelaku kejahatan tersebut tidak mengulangi kejahatannya kembali.[9] Salah satu hukum pidana juga mengatur menganai tentang hukuman mati di dalamnya. Hukuman mati termasuk ke dalam hukuman pokok, apabila dilihat dari jenis hukum positif di Indonesia. Jenis-jenis kejahatan yang bisa dijatuhi hukuman mati di Indonesia di antaranya:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
  • Pasal 104 KUHP, berisi tentang kepada siapa saja yang ingin menyatakan makar (pengkhianatan), dan bertujuan untuk merampas dan menjatuhkan presiden atau wakil presiden, orang tersebut akan dijatuhkan dengan pidana mati atau hukuman penjara seumur hidup, atau kurungan penjara paling lama 20 tahun.[10]
  • Pasal 124 ayat (3) KUHP, berisi tentang hukuman mati bagi siapa saja yang menghancurkan tempat alat perhubungan, gudang persenjataan untuk perang, atau menyerahkannya kepada musuh. Selain itu, hukuman mati juga diberikan kepada pembuat huru-hara dan pemberontakan dari Angkatan Perang.[11]
  • Pasal 140 ayat (3) KUHP, hukuman yang diberikan kepada seseorang yang melakukan pembunuhan tapi direncakan dahulu sebelumnya. Hukuman terberatnya yaitu hukuman mati. Selain itu, bisa juga dijatuhi hukuman kurungan penjara seumur hidup.[12]
  • Pasal 365 ayat (4) KUHP, berisi tentang hukuman berat bagi seseorang atau kelompok yang melakukan pencurian disertai dengan kekerasan hingga korban tersebut mati. Hukuman berat di sini bisa sampai dengan hukuman mati.[13]
  • Pasal 444 KUHP, pemberian hukuman mati kepada orang yang perompakan di laut, pesisir, dan sungai serta menyebabkan kematian bagi korban.[14]
  • Pasal 124 bis KUHP, pemberian hukuman berat kepada orang atau kelompok yang menyebabkan kekacauan dan pemberontakan kepada lembaga pertahanan negara.[15]
  • Pasal 368 ayat (2) KUHP, pemberian hukuman berat kepada orang atau kelompok yang melakukan ancaman kekerasan, pemaksaan, hingga pencurian.[16]
Kitab Undang-Undang Hukum Militer
  • Pasal 64, berisi tentang pemberian hukuman mati, atau kurungan penjara seumur hidup, atau kurungan penjara sementara paling lama dua puluh tahun kepada militer yang membantu musuh atau menimbulkan kerugian bagi negara.[17][18]
  • Pasal 65, berisi tentang pemberian hukuman mati, atau kurungan penjara seumur hidup, atau kurungan penjara sementara paling lama dua puluh tahun kepada militer yang melakukan pemberontakan.[17][18]
  • Pasal 67, pemberian hukuman mati, atau kurungan penjara seumur hidup, atau kurungan penjara sementara paling lama dua puluh tahun karena menjadi mata-mata. (Direvisi dengan UU No. 39 tahun 1947).[17][18]
  • Pasal 68, pemberian hukuman mati, atau kurungan penjara seumur hidup, atau kurungan penjara sementara paling lama dua puluh tahun kepada yang mengkhianati janji ketika perang dan mengadakan perencanaan yang jahat. (Direvisi dengan UU No. 39 tahun 1947).[17][18]
  • Pasal 73, pemberian hukuman mati, atau kurungan penjara seumur hidup, atau kurungan penjara sementara paling lama dua puluh tahun kepada anggota militer yang dengan sengaja menyerahkan diri kepada musuh. (Direvisi dengan UU No. 39 tahun 1947).[17][18]
  • Pasal 74, pemberian hukuman mati, atau kurungan penjara seumur hidup, atau kurungan penjara sementara paling lama dua puluh tahun kepada orang yang sengaja menyerah ketika perang tanpa pemberian perintah yang tegas, serta melenyepkan semangat juang dan mengacaukan masyarakat militer.[17][18]
  • Pasal 76, pemberian hukuman mati, atau kurungan penjara seumur hidup, atau kurungan penjara sementara paling lama dua puluh tahun apabila melakukan kejahatan ketika dirinya diberi amanah sebagai pemegang komando, atau pengurus, atau pengawas dari Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), atau angkatan Udara (AU).[17][18]
  • Pasal 82, pemberian hukuman mati, atau kurungan penjara seumur hidup, atau kurungan penjara sementara paling lama dua puluh tahun kepada perusak perjanjian dan bertentangan dengan hukum serta memihak musuh.[17][18]
  • Pasal 89, pemberian hukuman mati, atau kurungan penjara seumur hidup, atau kurungan penjara sementara paling lama dua puluh tahun karena melakukan pengingkaran jabatan (desersi) ketika perang.[17][18]
  • Pasal 133, pemberian hukuman mati, atau kurungan penjara seumur hidup, atau kurungan penjara sementara paling lama dua puluh tahun kepada pelaku pemberontakan dalam suasana damai, pengingkaran jabatan (desersi), serta mengabaikan pencegahan terjadinya perang atau kejahatan.[17][18]  
  • Pasal 137, pemberian hukuman mati, atau kurungan penjara seumur hidup, atau kurungan penjara sementara paling lama dua puluh tahun kepada Angkatan Perang yang melakukan kekerasan dengan sengaja kepada seseorang atau kelompok.[17][18]
  • Pasal 138, pemberian hukuman mati, atau kurungan penjara seumur hidup, atau kurungan penjara sementara paling lama dua puluh tahun kepada orang yang melakukan kekerasan kepada orang yang sudah mati, orang sakit, atau yang terluka akibat peperangan.[17][18]

Tahun 1948, penangkapan Amir Sjarifuddin membuah gaduh dunia politik di Indonesia. Amir Sjarifuddin merupakan tokoh politik sekaligus mantan menteri pertahanan dan perdana menteri. Dia ditangkap dengan alasan terlibat dalam Peristiwa Madiun, yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Di bulan Desember, Amir Syarifuddin dieksekusi mati di Ngalihan, Solo. Tahun 1946, Tan Malaka ditangkap karena mengikuti pertemuan dengan pimpinan Pesatuan Perjuangan. Ketika Peristiwa Madiun terjadi, Tan Malaka dibebaskan. Bulan Februari, 1949 Tan Malaka menghilang. Lima puluh tahun dari kejadian tersebut, seorang peneliti bernama Harry Poeze mengungkapkan bahwa Tan Malaka dibunuh oleh seorang Letnan Dua bernana Sukutjo atas inisiatif pribadi.[19]

Dua kejadian di atas menyimpulkan pada periode ini ada beberapa eksekusi mati yang dipraktikkan di Indonesia tanpa persidangan. Pemerintah pada saat itu belum solid, ketika pengambilan keputusan. Hasil penyelidikan yang panjang, melahirkan kesimpulan bahwa para eksekutor hukuman mati melakukannya atas inisiatif pribadi, dan didukung oleh kepentingan politik. Pada tahun 1973 – 1981, pemerintahan dipimpin oleh Soeharto. Saat itu Indonesia sedang fokus dalam pengembangan perekonomian. Namun, pada saat itu tingkat kriminalitas semakin tinggi. Salah satu kasus yang menyita perhatian publik yaitu kasus Sengkon dan Karta, di tahun 1974. Kasus ini bermula dari perampokan dan pembunuhan pasangan Sulaiman dan Siti di Desa Bojongsari, Bekasi. Polisi menetapkan Karta dan Sengkon sebagai tersangka. Mereka memang tidak mengakui bahwa mereka yang telah melakukan perampokan dan pembunuhan tersebut. Namun, setelah polisi memberi tekanan terhadap mereka, akhirnya mereka mau untuk menandatangani berita acara penangkapan tersebut. Hal mengejutkan terjadi, ada seseorang yang bernama Genul yang mengaku telah membunuh Sulaiman dan Siti. Akhirnya, Genul dijatuhi hukuman 12 tahun kurungan penjara. Hal yang menjadi aneh adalah, meskipun pelaku sebenarnya sudah ditangkap, Sengkon dan Karta tidak langsung dibebaskan dan tetap menjalankan kurungan penjara. Pada periode ini, pemerintah belum mampu menghadapi kasus kriminalitas yang terjadi. Oleh karena itu untuk menekan angka kriminalitas pemerintah membuat jalan pintas dengan cara eksekusi mati tanpa pengadilan.[19]

Kasus penembakan misterius (Petrus) dilakukan oleh aparat keamanan ditahun 1982-1985. Eksekusi mati ini dilakukan kepada mereka yang dituduh pelaku kriminal. Usaha ini menimbulkan beberapa ketidakjelasan dalam penentuan indetitas kriminal tersebut. Selain itu, ada beberapa yang menyebabkan kesalahan eksekusi. Pada tahun 2012 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk Tim Ad Hoc untuk melakukan penyelidikan untuk kasus penembakan misterius (Petrus) ini. Hasilnya, kegiatan Petrus ini tergolong dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia tingkat berat.[19]

Pandangan Masyarakat yang Kontra Penerapan Hukuman Mati

Hukuman mati dianggap hukuman yang merendahkan martabat serta bertolak belakang dengan hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah banyak negara yang menghapuskan hukuman mati dalam pemberian sanksi berat di peradilan. Negara yang tergabung dalam organisasi Uni Eropa dilarang menggunakan hukuman mati dalam sistem pidananya. Hal ini berdasarkan isi dari Pasal 2 Charter of Fundamental Rights of the European Union di tahun 2000.[20] Alasan sebagian masyarakat menentang hukuman mati karena beralasan tidak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab.[4] Isu mengenai hukuman mati pasti akan selalu dihadapkan dengan hak asasi manusia. Selain itu, masyarakat yang tidak setuju dengan hukuman mati karena bersebrangan dengan konstitusi di Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945. Bunyi dari pasal itu yaitu, setiap orang memiliki hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Oleh karena itu, ada beberapa simpulan ketika hukuman mati terus dijalankan, sama dengan mengkhianati konstitusi negara Indonesia, ditambah kedudukan konstitusi berada dijajaran tertinggi dalam hukum negara. Hal yang sangat berbahaya dari hukuman mati yaitu, apabila ada kelalaian dari penegak hukum, yang mengakibatkan kerugian bagi tersangka yang sudah dieksekusi hukuman mati.[21] Di Indonesia, ada beberapa tokoh hukum yang kontra terhadap hukuman mati. Tokoh hukum tersebut di antaranya Bernard Arief Sidharta dan J.E Sahetapy. Alasan mereka menolak tentang hukuman mati, karena dianggap bertentangan dengan Pancasila.[22] Pada abad ke 18 gerakan organsisasi untuk menghapuskan hukuman mati menguat. Hal ini diperkuat dengan ajaran Beccaria yang tertuang dalam buku yang berjudul “Dei Delitti Delie Perie”. Isi rangkuman dari buku tersebut di antaranya:

  • Seluruh manusia sebaiknya mengikuti konsep utilititarian yang mampu memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang.[4]
  • Mencegah kejahatan lebih penting dibandingkan pemberian hukuman atau pidana. Hukuman hanya diperbolehkan jika mampu mencegah terjadinya tindakan kriminal.[4]
  • Tujuan hukuman tidak boleh digunakan untuk balas dendam, tetapi untuk menghalangi orang-orang dari perbuatan kejahatan tersebut.[4]
  • Hukuman mati harus dihapuskan karena tidak mampu menghapuskan kejahatan. Sebagai gantinya hukuman seumur hidup dianggap paling optimal.[4]

Dalam Konvensi Internasional, tentang hukuman mati hanya memberi pembatasan bukan untuk penghapusan. Berdasarkan putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007 hukuman mati harus memperhitungkan empat aspek, yaitu:

  • Pertama, hukuman mati sifatnya alternatif. Bukan menjadi hukuman pokok.[4]
  • Kedua, hukuman mati memiliki masa percobaan selama 10 tahun. Apabila yang dijatuhi hukuman memiliki sikap terpuji bisa diganti dengan hukuman kurungan penjara seumur hidup atau kurungan penjara selama dua puluh tahun.[4]
  • Ketiga, hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kepada anak-anak yang belum dewasa.[4]
  • Keempat, hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kepada perempuan hamil dan kepada yang memiliki penyakit gangguan jiwa.[4]

Di tahun 1949, Negara Jerman telah menghapuskan hukuman mati. Deklamasi Stockholm ditahun 1977 menghasilkan:

  • Hukuman mati biasanya digunakan untuk penindasan sosial, golongan agama, golongan minoritas, dan anggota oposisi politik.[4]
  • Hukuman mati merupakan tindakan kekerasan dan memacu kekerasan lagi.[4]
  • Hukuman mati tidak membuktikan data sebagai penangkal khusus untuk mengurangi kriminalitas.[4]
  • Hukuman mati memiliki sifat erevokabel.[4]

Bersadarkan hal-hal yang sudah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukuman mati tidak dapat menghapuskan kejahatan di masyarakat.

Di bawah ini merupakan negara-negara yang sudah menghapuskan hukuman mati[4], di antaranya:

No. Tahun Negara
1 1976 Portugal, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Kanada, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.

2 1978 Denmark, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Spanyol, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.

3 1979 Luksemburg, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.

Nikaragua, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.

Norwegia, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.

Brasil, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.

Fizi, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.

Peru, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.

4 1981 Prancis, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.

Tanjung Verde, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.

5 1982 Belanda, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.
6 1983 Siprus, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Al Savador, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

7 1984 Argentina, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.
8 1985 Australia, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.
9 1987 Haiti, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Liechtenstein, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Jerman, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

10 1989 Kamboja, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Selandia Baru, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Rumania, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Slovenia, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

11 1990 Nepal, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.
12 1992 Angola, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Swiss, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Paraguay, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.

13 1993 Greece, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Guinea-Bissau , hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Hongkong, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

14 1994 Italia, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.
15 1995 Mauritius, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Moldova, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Spanyol, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

16 1996 Belgia, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.

Pandangan Masyarakat yang Setuju Penerapan Hukuman Mati

Negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati sebagai pidana berat memberikan data bahwa kasus kejahatan menurun. Contoh negara tersebut yaitu Arab Saudi. Di sana, sistem hukum menggunakan hukum Islam. Menurut data dari United Nations Office on Drugs and Crime di tahun 2012. Data kejahatan pembunuhan terhitung sebanyak 1,0 per 100 ribu orang.[20] Menurut J.E Sehetapy, hukuman mati memberikan jaminan bagi pelaku agar tidak mengganggu masyarakat. Hukuman mati merupakan alat represi yang kuat bagi pemerintah Hindia-Belanda, untuk mencapai ketertiban hukum dan menjamin kepentingan masyarakat.[6] Masyarakat yang setuju dengan hukuman mati dianggap memang cocok dijatuhkan kepada penjahat yang sadis dan melakukan kejahatan yang berat. Ada beberapa alasan, sebagian masyarakat setuju dengan hukuman mati. Alasan itu di antaranya:

  • Orang-orang berbahaya harus ditangani dengan hukuman mati agar tidak mengganggu dan menjadi penghalang bagi kemajuan masyarakat.[4]
  • Wujud dari pembalasan.[4]
  • Apabila orang yang melakukan kejahatan berat apabila tidak dihukum mati, ketika Ia bebas akan mengulangi kejahatan yang Ia lakukan.[4]
  • Apabila orang yang melakukan kejahatan berat tidak dibebaskan, akan mengacaukan penjara.[4]
  • Hukuman mati menjadikan orang lain takut hingga tidak berani melakukan kejahatan.[4]

Di tahun 2015 hingga tahun 2016, narapidana yang sudah dijatuhi hukuman mati sebanyak 106 orang. Dari jumlah tersebut, baru 18 orang orang yang sudah dieksekusi hukuman mati. 88 orang lainnya masih menunggu penjadwalan eksekusi hukuman mati. Ada beberapa orang yang mengajukan grasi kepada Presiden, namun semunya ditolak.[6]

Ada beberapa ahli yang mengatakan bahwa dorongan suatu negara untuk menghapuskan hukuman mati, datang dari negara yang warga negaranya akan dieksekusi di negara yang menerapkannya. Hal ini wajar dilakukan karena setiap negara berhak untuk melindungi warga negaranya yang berada di luar negeri. Hal ini datang dari negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Ada beberapa negara yang melakukan konsolidasi untuk mencari dukungan penghapusan hukuman mati, dengan alasan tidak sesuai dengat aturan moral. Padahal, di setiap negara memiliki aturan masing-masing dalam penegakan hukumnya. Hukuman mati merupakan sebuah tanda dari pelaksanaan penegakan hukum di suatu negara, dan perwujudan dari kedaulatan.[23]

Sejauh ini negara-negara yang masih menjalankan hukuman mati sebanyak 95 negara. Menurut isi Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Indonesia telah meratifikasinya dengan Undang-Undang No. 12 tahun 2005. Hal ini tertuang dalam Pasal 6 ayat (1), menyatakan bahwa HAM selalu berkaitan dengan adanya hukum. Akibatnya, selalu timbul persoalan hukum antar warga negara dan negaranya. Di masa Yunani Kuno, penerapan hukum akan selalu melindungi rakyatnya dari negaranya (konsep Rechtstaat). Hukuman mati merupakan upaya terakhir (Ultimum Remedium) yang digunakan oleh negara sebagai sanksi, karena tidak ada lagi hukum lainnya yang bisa ditempuh. Hukuman mati berada di posisi teratas secara implisit memberikan indikasi bahwa hukuman mati merupakan hukuman terberat di antara yang lainnya. Jenis hukuman ini mengakibatkan hilangnya kehidupan seseorang di muka bumi. Hal ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 10, Pasal 11, dan seterusnya. Beberapa negara di Timur Tengah dan Afrika Utara, salah satu cara untuk mempertahankan hukuman mati tetap dilaksanakan karena berdasarkan firman yang jelas dari ajaran Islam. Sedangkan di Negara Liberal, pelaksanaan dan pemberian hukuman didasarkan kepada wakil-wakil rakyat yang sudah dipilih, keputusan tersebut sering disebut opini publik. Di Negara bagian Amerika Serikat, penjatuhan hukuman mati didasarkan kepada referendum (popular vote). Selain itu, ada juga yang menggunakan teknik survei, yang dilakukan oleh negara Jerman dan Spayol untuk menentukan penjatuhan hukuman mati untuk teroris.[4]

Di tahun 1977 the America Bar Association (ABA) membuat resolusi yang menganjurkan untuk penangguhan (moratorium) untuk hukuman mati. Isi resolusi itu di antaranya:

  • Memberikan jaminan untuk kasus-kasus humuman mati harus diputuskan secara adil dan tidak memihak ke kerangka due process. [4]
  • Memperkuat ketelitian dan memperkecil risiko orang yang tidak bersalah dihukum mati.[4]

Salah satu negara yang menghormati hak asasi manusia di antaranya Amerika Serikat. Oleh karena itu, di negara tersebut pelaksanaan hukuman mati disesuaikan dengan kejahatan yang diperbuat oleh pelakunya. Sebagai contoh pada kasus pengeboman WTC tahun 1995. Meskipun ada perlindungan hak asasi manusia untuk para pelaku, tetapi hukuman mati tetap dilakukan menimbang perbuatan pelaku yang telah mematikan sekitar 5.000 manusia yang tidak berdosa. Penerapan perlindungan hukuman mati diabaikan meskipun ada ketentuan-ketentuan internasional seperti hukuman mati.[4] Di Indonesia, hingga kini belum ada penjelasan dan ketentuan yang terstruktur dan normatif yang menyebutkan bahwa hukuman mati bertolak belakang dengan hak asasi manusia. Ketika negara melakukan peradilan, dan memberikan pidana hukuman mati, itu bukanlan suatu pelanggaran terhadap hukuman mati, karena sudah sesuai dengan petunjuk dan amanat dari Undang-Undang Dasar, terutama UU No. 39 tahun 1999.[22]

Kasus pemberian hukuman mati kepada kasus narkotika masih menjadi perdebatan. Masyarat yang mendukung pemberian hukuman mati kepada terduga penyalahgunaan narkoba berpendapat bahwa perilaku tersebut termasuk ke dalam kejahatan yang berat serta bertentangan dengan peri kemanusiaan. Kejahatan narkoba dapat merenggut hak hidup, bagi penggunanya serta orang-orang yang mengikutinya. Salah satu kelompok yang mendukung pemberian hukuman mati ini yaitu kelompok retensionis. Mereka berpendapat, hukuman tersebut wajar diberikan dan tidak melanggar Undang-Undang. Salah satu contoh negara yang menerapkan hukuman mati pada kejahatan narkoba yaitu Amerika Serikat. Di Indonesia, dalam menjatuhkan hukuman mati dalam kasus kejahatan narkoba harus dalam pengkajian yang mendalam. Hukuman mati dapat dijatuhkan ketika termasuk dalam jenis kejahatan narkoba yang paling jahat, seperti memproduksi narkoba dan mengedarkannya.[20]

Daftar Referensi

  1. ^ Tim BBC News, Media (15 Oktober 2018). "Negara mana yang masih menerapkan hukuman mati? Bagaimana dengan Indonesia?". BBC News Indonesia. Diakses tanggal 2021-06-26. 
  2. ^ a b c Amnesty International Indonesia, Media (2020-04-21). "Penghapusan hukuman mati makin mendesak • Amnesty Indonesia". Amnesty Indonesia. Diakses tanggal 2021-06-26. 
  3. ^ Media, Kompas Cyber (2021-04-21). "Di Tengah Wabah Covid-19, Hukuman Mati di Negara Ini Meroket Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2021-06-26. 
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al Asmarawati, Tina (2013). Hukuman Mati dan Permasalahannya di Indonesia. Yogyakarta: CV. Budi Utama. hlm. 5–14. ISBN 978-602-280-166-5. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y Anggara, dkk (2017). Politik Kebijakan Hukuman di Indonesia dari Masa ke Masa. Jakarta: Institute for Criminal Justic Reform. hlm. 1–123. ISBN 978-602-6909-76-3. 
  6. ^ a b c d e Wardiono Kelik, dkk (2020). Eksekusi Pidana Mati Tindak Pidana Narkotika. Surakarta: Muhammadiyah University Press. hlm. 13–16. ISBN 9786023613342. 
  7. ^ HAG, Media (28 Juni 2016). "8 Panduan PBB untuk Negara yang Mengadopsi Hukuman Mati". Hukumonline.com (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2021-06-26. 
  8. ^ Andre Budiman Adighama, dkk (2020). Laporan Situasi Kebijakan Hukuman Mati di Indonesia 2020: Mencabut Nyawa di Masa Pandemi (PDF). Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform. hlm. 1–42. ISBN 9786026909763. 
  9. ^ Nugraha, Jevi (2020-10-13). "Mengenal Tujuan Hukum Pidana Beserta Fungsinya, Perlu Dipahami". merdeka.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-24. 
  10. ^ Media, Kompas Cyber (2019-05-20). "Sejumlah Tokoh Terjerat Pasal Makar, Begini Pandangan Ahli Hukum... Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2021-06-24. 
  11. ^ Human Rights Papua, Media (25 Februari 2016). "Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP". humanrightspapua.org. Diakses tanggal 2021-06-24. 
  12. ^ Yan David Bonitua*, Pujiyono (2017-02-09). "SIKAP DAN PANDANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP EKSISTENSI SANKSI PIDANA MATI DI INDONESIA". Diponegoro Law Journal. 6 (1): 1–18. 
  13. ^ Sutrisno, dkk (25 Desember 2020). "BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN DALAM PASAL 365 AYAT (4) KUHP. A. Pengertian Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan - PDF Free Download". adoc.pub (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-25. 
  14. ^ Wardani, Koko Arianto; Wahyuningsih, Sri Endah (2017-12-10). "Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia". Jurnal Hukum Khaira Ummah (dalam bahasa Inggris). 12 (4): 951–958. doi:10.14710/lr.v10i1.12458. 
  15. ^ Tombi, Mikha (2017-03-15). "TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN HUKUMAN MATI MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA". LEX PRIVATUM (dalam bahasa Inggris). 5 (2): 115–122. doi:10.22437/jssh.v4i2.10999. ISSN 2337-4942. 
  16. ^ Jam'an Kurnia, Abi (16 Agustus 2018). "Pasal untuk Menjerat Pelaku Pengancaman". Hukumonline.com (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2021-06-25. 
  17. ^ a b c d e f g h i j k l Kania, Dede (2014). "CITA POLITIK HUKUM PIDANA MATI DI INDONESIA". Jurnal Ilmu Hukum. 4 (2): 161–179. doi:10.30652/jih.v4i2.2787. 
  18. ^ a b c d e f g h i j k l Gandini Kamilah, Ajeng (2015-09-09). "Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM)". Portal Hukuman Mati Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-07-03. 
  19. ^ a b c Artiono Arba'i, Yon (2012). Aku Menolak Hukuman Mati. Jakarta: KPG. hlm. 89–102. ISBN 978-9799104083. 
  20. ^ a b c Arya Brata, Roby (2015-03-09). "Pro Kontra Hukuman Mati (Bagi Pelaku Kejahatan Narkoba)". Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. Diakses tanggal 2021-07-10. 
  21. ^ Yusuf, Muchammad Fandi; Yusuf, Muchammad Fandi (2020). "Pro Kontra Hukuman Mati - Bahasan.ID". bahasan.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-25. 
  22. ^ a b Besar, Binus Media Online (28 Januari 2015). "HAM, HUKUMAN MATI, DAN PANDANGAN BISMAR SIREGAR". Business Law. Diakses tanggal 2021-07-10. 
  23. ^ Maharani, Esthi (2015-01-18). "Ini Lima Alasan Hukuman Mati Harus Dilakukan". Republika Online. Diakses tanggal 2021-06-25.