Penghapusan hukuman mati
Penghapusan hukuman mati dilandasi oleh adanya pandangan dunia bahwa hukuman mati merupakan bentuk penghinaan yang bersifat kejam dan tidak manusiawi terhadap martabat manusia.[1] Hukuman mati juga dianggap sebagai bentuk pelanggaran atas hak asasi manusia. Sistem peradilan pidana di berbagai negara di dunia mulai menghapuskan hukuman mati dalam konstitusi negara.[2] Penghapusan hukuman mati telah diterapkan oleh sedikitnya ¾ dari jumlah keseluruhan negara yang ada di dunia. Proses penghapusan hukuman mati pada negara-negara tersebut berlangsung secara bertahap dan perlahan-lahan. Negara-negara tersebut telah menerima penghapusan hukuman mati baik secara hukum atau dalam praktiknya secara nyata.[3] Beberapa instrumen hak asasi manusia internasional juga mendukung penghapusan hukuman mati untuk kejahatan yang paling serius. Instrumen ini utamanya ialah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (1966), dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (1966).[4]
Sejak tahun 1971, penghapusan hukuman mati secara universal juga dijadikan sebagai salah satu tujuan yang akan dicapai oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.[5] Dokumen-dokumen Perserikatan Bangsa-Bangsa juga merekomendasikan tahap-tahap penghapusan hukuman mati selama pengadilan berlangsung. Rekomendasi ini berupa pemberian grasi, amnesti dan keringanan hukuman lainnya bagi narapidana.[6] Beberapa gerakan sosial berusaha mempercepat penetapan penghapusan hukuman mati untuk semua jenis tindak pidana. Dukungan atas penghapusan hukuman mati secara jelas dilakukan melalui Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Dalam protokol ini, tiap negara pesertanya diwajibkan untuk menghentikan hukuman mati dan mengambil semua prosedur yang layak untuk menghapuskannya. Dewan Eropa dan Organisasi Negara-Negara Amerika turut mendukung penghapusan atau pemberhentian hukuman mati melalui persetujuan terhadap protokol-protokol yang serupa.[7]
Walaupun sebagian negara telah menghapuskan hukuman mati, beberapa konvensi hak asasi manusia internasional masih mengakui penerapan hukuman mati.[8] Sikap negara-negara di dunia terhadap penghapusan hukuman mati terbagi menjadi dua kelompok, yaitu negara abolisionis dan negara retensionis. Negara abolisionis merupakan negara yang mendukung atau telah menerapkan penghapusan hukuman mati, sedangkan negara retensionis merupakan negara-negara yang menolak penghapusan hukuman mati atau masih menerapkan hukuman mati. Penghapusan hukuman mati masih diperdebatkan oleh ahli hukum dari berbagai negara di dunia. Dalam perkembangannya, jumlah negara retensionis makin berkurang, sedangkan jumlah negara abolisionis makin bertambah.[9] Hingga tahun 2007, kecenderungan global terhadap penghapusan hukuman mati bersifat positif. Kebijakan penghapusan hukuman mati secara de jure atau de facto telah diterapkan oleh mayoritas negara di dunia. Hanya sedikit negara yang masih melaksanakan hukuman mati.[10] Organisasi-organisasi anti hukuman mati sedunia juga membuat hari anti hukuman mati. Ini sebagai bentuk dukungan terhadap penghapusan hukuman mati. Setiap tahun peringatannya diadakan pada tanggal 10 Oktober. Penetapan tanggal disepakati pada sebuah kongres yang diadakan pada bulan Mei tahun 2002 di Roma, Italia.[11]
Sejarah
Pemikiran mengenai penghapusan hukuman mati mulai muncul sejak masa puncak Abad Pertengahan. Pada tahun 1066 Masehi, raja William I (William Sang Penakluk) sebagai raja Inggris memilih menghapuskan hukuman mati bagi penjahat untuk segala jenis kejahatan, kecuali bagi kejahatan perang. Hukuman gantung yang menjadi metode hukuman mati pada masa itu hanya diberlakukan untuk pelaku kejahatan perang. Penghapusan hukuman mati ini hanya berlaku hingga awal abad ke-16. Setelah raja Henry VIII berkuasa di Inggris, hukuman mati kembali diterapkan untuk kasus penyimpangan moral, pungutan liar dalam pajak, penolakan untuk mengakui kejahatan, dan pengkhianatan terhadap kerajaan. Sekitar 72 ribu orang dihukum mati selama masa pemerintahan Henry VIII dengan metode eksekusi pembakaran, hukuman gantung dan pemancungan.[12]
Penghapusan hukuman mati mulai kembali diusulkan oleh para cendekiawan Eropa yang hidup pada abad ke-18 Masehi. Selama berlangsungnya Revolusi Prancis, gagasan mengenai penghapusan hukuman mati dikemukakan oleh Jean-Paul Marat dan Maximilien de Robespierre. Pemikiran kedua tokoh ini kemudian menyebar ke Jerman melalui karya-karya penyair. Beberapa di antaranya ialah Gotthold Ephraim Lessing, Friedrich Gottlieb Klopstock, Justus Möser dan Friedrich Schiller.[13]
Kebijakan penghapusan hukuman mati kembali muncul dari beberapa raja yang berkuasa di wilayah Eropa Utara dan Eropa Barat pada abad ke-19 Masehi. Beberapa di antaranya ialah raja Luís I dari Kerajaan Portugal, raja Johann dari Kerajaan Sachsen, dan raja Oskar dari Kerajaan Swedia.[14] Kerajaan Belanda juga menghapuskan hukuman mati sejak tahun 1870 untuk semua jenis kejahatan kecuali yang berkaitan dengan militer. Selain itu, negara Denmark dan Rumania turut menghapuskan hukuman mati dalam konstitusinya. Perkembangan penghapusan hukuman mati kemudian diikuti oleh negara-negara di Amerika Selatan dan Amerika Tengah pada abad ke-19 Masehi, yaitu Venezuela, Kolombia, Brasil, Uruguay, Chili dan Kosta Rika.[1]
Pada dasawarsa terakhir abad ke-20 Masehi, perkembangan hukum hak asasi manusia internasional mempercepat proses penghapusan hukuman mati dalam konstitusi negara-negara di dunia. Berbagai instrumen hak asasi manusia internasional (instrumen HAM internasional) mulai digunakan setelah Perang Dunia II berakhir. Tujuannya untuk mempercepat penghapusan hukuman mati. Sasaran utama dalam penghapusan hukuman mati ialah negara dunia ketiga yang sebelumnya memperoleh kemerdekaan setelah mengalami imperialisme dan kolonialisme. Instrumen HAM internasional yang digunakan utamanya ialah Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (KHISP). Kovenan ini telah menghasilkan seperangkat instrumen universal yang mendukung perlindungan warga negara dari kekuasaan politik dan membatasi penerapan hukuman mati hanya untuk kejahatan yang paling serius.[15]
Landasan pemikiran
Dalam sejarah dunia, hampir seluruh negara di dunia pernah menerapkan hukuman mati bagi narapidana. Perubahan politik hukum di beberapa negara menyebabkan timbulnya pemikiran mengenai penghapusan hukuman mati. Pemikiran ini mulai muncul pada negara-negara yang menjadikan hak asasi manusia sebagai bagian dari politik negara.[16] Penghapusan hukuman mati dilandasi oleh pemikiran bahwa hukuman mati hanyalah sanksi yang bersifat pembalasan atas kejahatan yang diperbuat oleh narapidana. Hukuman mati dianggap tidak dapat memberikan kesempatan bagi narapidana untuk memperbaiki perilaku sosialnya. Pemikiran tentang penghapusan hukuman mati juga dipengaruhi oleh pemikiran mengenai hak asasi manusia di masing-masing negara. Landasan dasarnya adalah adanya hak untuk hidup.[17]
Pada permulaan abad ke-17 Masehi mulai ada usaha untuk menghapuskan hukuman mati. Pemikiran awalnya ialah ketidakmampuan hukuman mati dalam mengurangi jumlah kasus kejahatan. Pemikiran lain yang turut mendukung penghapus hukuman mati pada masa ini ialah gerakan sosial yang menganggap hukuman mati bersifat kuno, kejam dan bengis.[18] Pemikiran mengenai penghapusan hukuman mati diawali oleh gerakan penghapusan hukuman mati yang dimulai pada tahun 1767. Gagasan pembentukan gerakan penghapusan hukuman mati diperoleh dari sebuah esai berjudul On Crimes and Punishments. Esai ini merupakan karya tulis ilmiah yang dibuat oleh Cessare Beccaria. Inti pembahasan di dalam esai ini ialah bahwa negara tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil hak untuk hidup seseorang. Gerakan penghapusan hukuman mati ini dikenal sebagai gerakan abolisionis. Negara-negara di dunia mulai mengurangi jenis-jenis tindak pidana yang diancam hukuman mati setelah gerakan abolisionis dimulai.[19]
Pemikiran-pemikiran awal dari gerakan abolisionis berasal dari karya tulis cendekiawan Eropa antara lain Montesquieu, Voltaire, Jeremy Bentham, John Bellers, dan John Howard. Perhatian khusus dalam gerakan abolisionis ialah penentangan terhadap praktik hukuman mati yang kejam. Secara tidak langsung, gerakan ini mempengaruhi Austria dan Toskana untuk menghapuskan hukuman mati di dalam konstitusi wilayahnya masing-masing. Karya tulis dari Beccaria juga mempengaruhi para cendekiawan di Amerika Serikat. Pengaruhnya nampak dalam penyusunan rancangan undang-undang mengenai hukuman mati oleh Thomas Jefferson. Rancangan undang-undang ini dibuat sebagai perbaikan terhadap undang-undang hukuman mati yang berlaku di Virginia.[19]
Pemikiran mengenai penghapusan hukuman mati oleh gerakan abolisionis juga mempengaruhi negara-negara yang terletak di Amerika Selatan. Pada tahun 1863, Venezuela menjadi negara pertama yang menghapuskan hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. Sedangkan di kawasan Eropa, gerakan abolisionis mempengaruhi San Marino untuk menjadi negara pertama di Eropa yang menghapuskan hukuman mati. San Marino memulainya dengan menghapuskan hukuman mati untuk kejahatan biasa pada tahun 1848. Kemudian, pada tahun 1865, San Marino menghapuskan hukuman mati untuk semua kejahatan. Selain itu, Rumania bersama dengan San Marino merupakan negara abilisionis di Eropa hingga beberapa dasawarsa. Gerakan abolisionis di luar benua Amerika Selatan dan Eropa tidak mengalami perkembangan yang pesat.[20]
Hak untuk hidup
Hak untuk hidup merupakan hak yang paling mendasar dibandingkan dengan hak asasi manusia yang lainnya. Keberadaan hak untuk hidup menjadi langkah awal bagi pemenuhan hak asasi manusia yang lainnya. Pengaturan hak untuk hidup oleh instrumen hukum internasional menjadi sangat penting khususnya dalam penegakan hak asasi manusia. Kedudukan hak untuk hidup lebih tinggi dibandingkan hak-hak asasi lainnya dalam kemanusiaan. Kondisi ini membuat pemenuhan hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hukuman mati sebagai salah satu bentuk hukuman bagi narapidana dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak untuk hidup. Sebaliknya, penghapusan hukuman mati dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap hak untuk hidup. Beberapa instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan penegakan hak asasi manusia telah mengaitkan antara hak untuk hidup dengan penghapusan hukuman mati.[21]
Dalam pandangan hak asasi manusia klasik, hak hidup diartikan sebagai hak untuk bebas dari hukuman mati. Selain itu, pendekatan hak asasi manusia klasik memprioritaskan dan sekaligus memisahkan hak sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial dan budaya. Dalam aspek sosial dan budaya, hak untuk bebas dari hukuman mati tidak diperlakukan setara dengan hak hidup lainnya.[22] Pertentangan antara hak untuk hidup dan penerapan hukuman mati dinyatakan dalam Pasal 3 dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).[23] Hak untuk hidup juga dibahas di dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP) dan salah satu protokolnya.[18] Dua protokol yang membahas hak untuk hidup ialah Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (Protokol Opsional II KIHSP), dan Protokol Nomor 13 Konvensi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Mendasar tentang Penghapusan Hukuman Mati dalam Segala Keadaan.[24] Hak untuk hidup diberikan sejak kehidupan dimulai. Konvensi Bélem do Pará menetapkan bahwa hak untuk hidup berlaku sejak pembuahan berlangsung. Pasal 6 ayat (5) dalam KIHSP menegaskan perlindungan hak untuk hidup terhadap anak yang belum lahir dengan memberikan larangan untuk melaksanakan hukuman mati terhadap wanita yang sedang dalam masa kehamilan.[25]
Ada 3 instrumen hak aasasi internasional bukan perjanjian yang membahas tentang hak untuk hidup dan penghapusan hukuman mati. Instrumen-instrumen ini ialah Resolusi Komisi HAM PBB 2005/59 tentang Hak Asasi Manusia, Resolusi Dewan Umum PBB tentang Moratorium Pelaksanaan Hukuman Mati, dan Komentar Umum Nomor 6 ayat (16) KIHSP. Resolusi Komisi HAM PBB 2005/59 membahas tentang adanya proses hukum yang tidak adil dan tidak sesuai dengan standar internasional dalam hal pemberlakuan hukuman mati di beberapa negara. Selain itu, resolusi ini juga meminta penghentian penerapan hukuman mati kepada negara-negara yang masih memberlakukannya. Resolusi Dewan Umum PBB tentang Moratorium Penggunaan hukuman mati terbagi menjadi 3 yaitu Resolusi A/RES/62/149 (18 Desember 2007), resolusi A/RES/63/168 (18 Desember 2008) dan resolusi A/RES/65/206 (21 Desember 2010). Sedangkan Komentar Umum Number 6 (16) KIHSP merupakan hasil adopsi dari pertemuan Komite HAM PBB yang membahas tentang hak hidup pada tanggal 27 Juli 1982. Topik utamanya ialah pengurangan angka kematian bayi, peningkatan harapan hidup, serta peninjauan pemberlakuan dan pembatasan hukuman mati untuk kejahatan yang paling serius.[26]
Hukum hak asasi manusia internasional
Mahkamah konstitusi di berbagai negara telah menggunakan hukum hak asasi manusia internasional (hukum HAM internasional) sebagai sumber pedoman dalam menafsirkan konstitusi negaranya masing-masing. Di dalam hukum HAM internasional dinyatakan hak untuk hidup, pelarangan penyiksaan dan pemberian kebebasan mendasar yang bersifat universal. Hukum HAM internasional diterapkan menggunakan instrumen HAM internasional yang meliputi konvensi HAM internasional dan protokol yang melengkapinya. Kondisi ini membuat penghapusan hukuman mati secara berangsur-angsur dilakukan pada rancangan konstitusi atau undang-undang di beberapa negara. Penghapusan metode hukuman mati antara lain terdapat dalam resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (resolusi PBB) dan protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Mahkamah Eropa dan Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia (KAHAM). PBB membahas penghapusan hukuman mati di dalam Protokol Opsional II KIHSP dan Resolusi Majelis Umum PBB 44/128. Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia membahasnya selama penyelenggaraan Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (KEHAM) yang diselenggarakan di Strasbourg pada tahun 1950 serta pada Protokol 6 dan Protokol 13 KEHAM. Sedangkan KAHAM diselenggarakan di San José, Kosta Rika pada tangggal 22 November 1969. Hasilnya ialah Protokol Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia.[27]
Instrumen hak asasi manusia internasional
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) merupakan pernyataan internasional yang menyatakan bahwa hak asasi manusia harus dilindungi dalam skala internasional. Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (Negara-negara anggota PBB) menyepakati bersama tentang norma-norma HAM yang terkandung di dalam DUHAM. Perlindungan HAM di dalam DUHAM bersifat umum. Konsep perlindungan HAM di dalam DUHAM menjadi landasan awal untuk pembentukan dua instrumen HAM dengan penjelasan yang lebih spesifik, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB). DUHAM tidak membahas secara langsung mengenai hukuman mati. Keterkaitan DUHAM dengan penghapusan hukuman mati hanya terdapat pada Pasal 3 berupa perlindungan terhadap hak hidup.[28]
Selain hak untuk hidup, DUHAM juga mencakup hak asasi manusia yang terdapat dalam Piagam PBB. Hak-hak ini meliputi pelarangan penyiksaan atau perlakuan penghukuman lain yang bersifat kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. Selain itu, ada pelarangan penangkapan sewenang-wenang dan pelarangan hukuman berlaku surut. Hak dasar lainnya yang juga dibahas ialah hak atas peradilan yang adil dan hak atas praduga tak bersalah.[29]
Perkembangan pemikiran dari DUHAM kemudian membentuk hukum HAM internasional. Organisasi di seluruh dunia yang membidangi hak asasi manusia telah menerima DUHAM sebagai dokumen hukum HAM internasional. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (Majelis Umum PBB) mengadopsi DUHAM pada tanggal 10 Desember 1948. DUHAM dianggap sebagai pencapaian dalam perjuangan atas kemerdekaan dan martabat manusia. Dalam kaitannya dengan hukuman mati, pernyataan-pernyataan di dalam DUHAM bersifat tidak memihak maupun menentang hukuman mati.[30]
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
Pasal-pasal
Perkembangan instrumen hukum internasional mengenai hukuman mati berlanjut pada tahun 1966. PBB membentuk dua instrumen hukum internasional yaitu Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (KIHSP) dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB). Dalam KIHSP, PBB memberikan perlindungan HAM dalam rumusan hukum yang mengikat. Dalam Pasal 6 Ayat (1) KIHSP dijelaskan bahwa hak hidup dimiliki oleh setiap orang, tidak dapat dihilangkan dan diberi perlindungan secara hukum.[31] Definisi hak untuk hidup diperluas lagi pada Pasal 6 Ayat (2) KIHSP dengan pembahasan pembatasan penggunaan hukuman mati. Kovenan ini menyatakan bahwa negara-negara yang belum menghapus hukuman mati hanya dapat memberlakukan hukuman mati terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius.[32] Pemberlakuan hukuman mati juga tidak boleh bertentangan dengan Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (Konvensi Genodisa). Syarat pemberlakuan hukuman mati yang ditetapkan ialah melalui keputusan akhir yang diselenggarakan dengan pengadilan yang kompeten.[33]
Peluang penghapusan hukuman mati juga terdapat dalam Pasal 6 ayat (4). Pasal ini memberikan hak kepada narapidana untuk memohon amnesti atau penggantian hukuman. Hak ini berlaku dalam semua kasus yang berakhir dengan putusan hukuman mati. Sedangkan pada Pasal 6 Ayat (5) ditetapkan bahwa anak berusia kurang dari 18 tahun tidak boleh menerima hukuman mati. Hal ini juga berlaku bagi wanita yang sedang dalam masa kehamilan.[34] Selanjutnya pada Pasal 6 Ayat (6) ditegaskan mengenai pelarangan penggunaan pasal-pasal KIHSP oleh negara peserta KIHSP untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati.[35]
KIHSP merupakan perjanjian multilateral. Isi KIHSP merupakan hasil adopsi dari DUHAM.[36] Proses adopsi KIHSP telah dimulai sejak tahun 1966, tetapi baru diberlakukan pada tahun 1976. Peserta kovenan berjumlah 154 negara pada tanggal 24 November 2004 dengan 7 negara penandatangan. Di dalam KIHSP juga terdapat dua protokol opsional. Protokol Opsional Pertama Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (Protokol Opsional I KIHSP) berisi penjelasan tentang ketentuan-ketentuan pengaduan perorangan. Hingga 9 Juni 2004, sebanyak 104 negara menerima protokol pertama dengan 5 negara penandatangan. Sedangkan Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (Protokol Opsional II KIHSP) dibuat dengan tujuan untuk menghapus hukuman mati. Protokol kedua diikuti oleh 50 Negara dengan 7 negara penandatangan.[37]
Komentar Umum Nomor 6 KIHSP
Adanya keinginan untuk menerapkan penghapusan hukuman mati juga dibahas di dalam Komentar Umum Nomor 6 KIHSP. Dalam komentar ini dinyatakan bahwa kemajuan dalam penghormatan atas hak hidup dapat diamati melalui upaya abolisi dan penghapusan hukuman mati. Adanya komentar ini merupakan pernyataan yang memberikan informasi bahwa KIHSP memberikan dukungan secara langsung maupun tidak langsung dalam mewujudkan penghapusan hukuman mati.[38]
Protokol Opsional
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik memiliki dua protokol opsional. Protokol Opsional I KIHSP berisi pemberian kewenangan kepada Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (Komite HAM PBB) untuk menerima pengaduan oleh perorangan yang menyatakan dirinya sebagai korban pelanggaran hak.[39] Penerimaan ini dilakukan jika pelanggaran yang diadukan tercantum dalam kovenan.[40] Sedangkan Protokol Opsional IIKIHSP dibuat khusus untuk pelaksanaan penghapusan hukuman mati.[41]
Protokol Opsional II KIHSP ditetapkan pada tanggal 15 Desember 1989 oleh Majelis Umum PBB.[42] Pembentukan protokol ini melalui Resolusi PBB 33/148. Isi Protokol Opsional Kedua KIHSP merupakan hasil adopsi dari KIHSP. Adopsi ini dilakukan karena KIHSP masih memiliki beberapa kekurangan dalam pengaturan mengenai praktik hukuman mati. Perubahan utama di dalam protokol opsional ini ialah norma yang digunakan. Protokol ini melarang pemberlakuan hukuman mati dengan dua alasan. Pertama, adanya hak mendasar manusia untuk hidup sehingga risiko dari menghukum mati orang yang tidak bersalah tidak dapat diterima.[43] Kedua, belum ada bukti yang kuat mengenai efek jera yang dihasilkan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan.[44] Protokol Opsional II KIHSP dibuat berdasarkan kesadaran dan kesepakatan bersama dari negara peserta bahwa penghapusan hukuman mati merupakan bentuk peningkatan dan penghormatan atas martabat manusia.[45]
Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Sejak tahun 1997, sidang tahunan Komisi HAM PBB mulai meminta moratorium hukuman mati kepada negara-negara anggota PBB yang masih memberlakukan hukuman mati.[46] Majelis Umum PBB dan Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (Dewan HAM PBB) juga telah mengeluarkan beberapa rekomendasi mengenai hukuman mati. Rekomendasi dibuat melalui resolusi yang disetujui melalui hasil konsensus mayoritas dalam suatu sidang umum PBB. Tiap resolusi yang dibuat oleh PBB berisi pandangan terhadap isu-isu di dunia. Isi resolusi juga memberikan gambaran mengenai prinsip dan tindakan yang didukung oleh konsensus tersebut. Majelis Umum PBB dan Dewan HAM PBB secara umum mengeluarkan resolusi yang memberikan perlindungan terhadap orang yang berhadapan dengan hukuman mati. Selain itu, isi resolusinya mencakup pelarangan pengggunaan resolusi dalam bentuk delik yang dapat dituntut hukuman mati.[43] Berikut resolusi PBB yang berkaitan dengan penghapusan hukuman mati:[47]
Nama resolusi | Tanggal terbit |
---|---|
Resolusi Majelis Umum PBB 62/149 | 18 Desember 2007 |
Resolusi Majelis Umum PBB 63/168 | 18 Desember 2008 |
Resolusi Majelis Umum PBB 65/206 | 21 Desember 2010 |
Resolusi Majelis Umum PBB 67/176 | 20 Desember 2012 |
Resolusi Dewan HAM PBB 22/11 | 10 April 2013 |
Resolusi Dewan HAM PBB 26/2 | 26 Juni 2014 |
Resolusi Majelis Umum PBB 69/186 | 18 Desember 2014 |
Resolusi Dewan HAM PBB 30/5 | 1 Oktober 2015 |
Resolusi Majelis Umum PBB 71/187 | 19 Desember 2016 |
Resolusi Majelis Umum PBB 62/149
Resolusi Majelis Umum PBB 62/149 berisi anjuran untuk penangguhan pelaksanaan hukuman mati kepada negara-negara anggota PBB. Resolusi ini diterbitkan pada tanggal 18 Desember 2007. Melalui hasil perhitungan suara diketahui bahwa sebagian besar negara anggota PBB menyetujui resolusi ini. Persetujuan diberikan oleh 104 negara, sedangkan 54 negara menyatakan tidak setuju dan 29 negara memilih tidak memberikan suara.[48] Resolusi ini dihasilkan dengan dilandasi oleh Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (Piagam PBB), DUHAM, KIHSP, dan Konvensi Hak-hak Anak. Selain itu, Resolusi Majelis Umum PBB 62/149 juga dibuat dengan mempertimbangkan Resolusi 2005/59.[49] Pandangan utama dalam Resolusi 62/149 Majelis Umum PBB adalah adanya peningkatan dan kemajuan perkembangan hak asasi manusia melalui penangguhan terhadap pemberlakuan hukuman mati. Penyebab lain penangguhan pelaksanaan hukuman mati dalam resolusi ini ialah sebagai pencegahan kesalahan penerapan hukuman mati yang tidak dapat dipulihkan. Selain penangguhan, Resolusi 62/149 Majelis Umum PBB juga menganjurkan kepada negara yang memberlakukan penangguhan untuk segera menghapuskan hukuman mati di dalam tiap tindak pidana. Selain itu, negara-negara yang telah menghapuskan hukuman mati dianjurkan untuk tidak kembali memberlakukan hukuman mati.[50]
Resolusi Majelis Umum PBB 63/168
Setelah penetapan Resolusi Majelis Umum PBB 63/168, Majelis Umum PBB menerbitkan Resolusi Majelis Umum PBB 63/168. Penerbitan resolusi ini dijadikan sebagai bentuk penegasan mengenai penangguhan hukuman mati. Setelah resolusi ini diterbitkan, terjadi peningkatan jumlah negara anggota PBB yang telah memutuskan untuk mendukung penangguhan terhadap hukuman mati. Dalam resolusi ini, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekretaris Jenderal PBB) diminta untuk mengeluarkan laporan kemajuan dalam implementasi Resolusi 62/149. Selain itu, negara-negara anggota yang masih memberlakukan hukuman mati diminta untuk menyediakan informasi tentang hukuman mati yang berlaku ke Sekretaris Jenderal PBB. Dari hasil perhitungan suara diketahui bahwa sebagian besar negara mendukung resolusi ini. Persetujuan diberikan oleh 106 negara dan penolakan sebanyak 46 negara. Sedangkan 34 negara memilih tidak memberikan suara.[51]
Resolusi Majelis Umum PBB 65/206
Resolusi 65/206 Majelis Umum PBB berisi permintaan Majelis Umum PBB kepada negara-negara anggota PBB untuk memberikan garansi perlindungan bagi orang yang berhadapan dengan hukuman mati. Permintaan ini sebagai bentuk penghormatan terhadap standar-standar internasional khususnya resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (Dewan Ekonomi dan Sosial PBB) mengenai garansi perlindungan hak-hak orang yang berhadapan dengan hukuman mati. Resolusi 65/206 Majelis Umum PBB juga berisi mekanisme pelaporan ke sekretari jenderal PBB mengenai hal ini. Majelis Umum PBB juga meminta kepada negara-negara anggota PBB untuk memberikan informasi yang relevan mengenai praktik hukuman mati. Tujuan dari permintaan ini adalah pembangunan kesadaran masyarakat dan membuka peluang diskusi terbuka di tahap nasional mengenai pemberlakuan Resolusi 65/206 Majelis Umum PBB. Majelis Umum PBB juga meminta lembaga legislatif di negara-negara yang telah menghapus praktik hukuman mati untuk berbagi pengalaman mengenai penghapusan hukuman mati. Dari hasil perhitungan suara diketahui bahwa sebagian besar negara mendukung resolusi ini. Persetujuan diberikan oleh 109 negara dan penolakan sebanyak 41 negara. Sedangkan 35 negara memilih tidak memberikan suara.[52]
Resolusi Majelis Umum PBB 67/176
Resolusi 67/176 Majelis Umum PBB berisi perlindungan hukuman mati terhadap anak dan wanita hamil. Dalam resolusi ini, penerapan hukuman mati terhadap anak dan wanita hamil di tingkat nasional dinyatakan sebagai ancaman serius terhadap hak asasi manusia.[53] Pembuatan Resolusi 67/176 Majelis Umum PBB merupakan rekomendasi dari Dewan Ekonomi dan Sosial PBB. Isi Resolusi 67/176 Majelis Umum PBB juga sesuai dengan hukum kemanusiaan internasional. Pembuatan Resolusi 67/176 Majelis Umum PBB dilandasi oleh kegagalan pemberian perlindungan yang kritis oleh pemerintahan negara anggota PBB. Resolusi ini juga menganjurkan ratifikasi Protokol Opsional II KIHSP yang mengatur mengenai penghapusan penerapan hukuman mati. Sebanyak 111 negara menyetujui resolusi ini, sedangkan 41 negara menolak. Sedangkan 34 negara lainnya memilih tidak memberikan suara.[54]
Resolusi Dewan HAM PBB 22/11
Dewan HAM PBB mengadopsi Resolusi 22/11 pada tanggal 21 Maret 2013 dalam sesi ke-22. Resolusi ini membahas tentang hak asasi manusia dari anak yang orang tuanya dihukum mati. Negara yang menjadi pengusul resolusi ini adalah Belgia dan didukung oleh 60 negara lainnya.[54] Resolusi 22/11 Dewan HAM PBB dilandasi oleh ditambahkannya topik mengenai perlindungan anak terhadap praktik hukuman mati di dalam Resolusi 67/176 Majelis Umum PBB. Tindak lanjut dari Resolusi 22/11 dimulai dengan pemanggilan perwakilan masyarakat sipil, dan negara-negara anggota PBB oleh Dewan PBB dalam diskusi panel mengenai anak-anak yang orang tuanya mengalami hukuman mati. Resolusi Dewan HAM PBB 22/11 mendesak dan meminta negara-negara untuk memberikan perlindungan dan pendampingan kepada anak-anak yang orang tuanya mengalami hukuman mati. Permintaan ini dipertimbangkan dengan menggunakan isi Konvensi Hak-Hak Anak. Resolusi ini dibuat dengan pertimbangan kepentingan hidup anak dengan memberikan informasi mengenai orang tuanya dan juga informasi-informasi lain yang terkait dengan itu. Selanjutnya, resolusi ini meminta penyelenggaraan diskusi panel mengenai mengenai topik ini kepada Kantor Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia (Kantor Komisi Tinggi PBB untuk HAM).[55]
Resolusi Dewan HAM PBB 26/2
Dewan HAM PBB mengadopsi Resolusi 26/2 tentang Pertanyaan tentang Hukuman Mati. Pengadopsian dilakukan selama sidang sesi ke-26 pada tanggal 27 Juni 2014. Hasil perhitungan suara diperoleh mayoritas suara dukungan. Sebanyak 29 negara mendukung, penolakan dinyatakan oleh 10 negara, sedangkan 8 negara memilih tidak memberikan suara. Resolusi Dewan HAM PBB 26/2 berisii mekanisme PBB dalam menetapkan prosedur khusus mengenai pelaksanaan hukuman mati. Mekanisme dikhususkan pada dua jenis pelaporan khusus yang bersifat melanggar hak asasi manusia terkait hukuman mati. Pelaporan pertama berkaitan tentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. Pelaporan khusus kedua berkaitan dengan hukuman mati yang tidak melalui proses hukum, tidak ada catatan hukum atau bersifat sewenang-wenang. Resolusi Dewan HAM PBB 26/2 juga membahas mengenai pembentukan traktat yang khusus menangani isu-isu HAM yang berkaitan dengan hukuman mati.[56]
Resolusi Majelis Umum PBB 69/186
Resolusi Majelis Umum PBB 69/186 merupakan penegas terhadap resolusi Majelis Umum PBB sebelumnya yang terkait dengan hukuman mati. Resolusi ini khusus membahas mengenai moratorium praktik hukuman mati. Penerbitan resolusi ini merupakan bentuk persetujuan atas keputusan dan rekomendasi dari Dewan HAM PBB. Isi resolusi ini berkaitan dengan penyelenggataan diskusi mengenai moratorium hukuman mati di tingkat nasional dan regional. Selain itu, dibahas mengenai kesiapan beberapa negara untuk memberikan akses informasi kepada publik mengenai penerapan hukuman mati. Resolusi ini juga menyetujui keputusan Resolusi Dewan HAM PBB 26/2 yang diterbitkan pada tanggal 26 Juni 2014 untuk mengadakan diskusi panel tingkat tinggi. Diskusi diadakan dengan selang waktu 2 tahun sekali. Diskusi membahas pandangan mengenai hukuman mati dari masing-masing negara anggota PBB.[57] Dari hasil perhitungan suara diperoleh persertujuan sebanyak 117, penolakan oleh 37, dan 34 negara memilih tidak memberikan suara. Jumlah pendukung moratorium hukuman mati meningkat pada perhitungan suara ini. Inti dan unsur tambahan di dalam resolusi ini ialah perlindungan mendasar terhadap anak, wanita hamil, dan orang dengan gangguan jiwa.[57]
Resolusi Dewan HAM PBB 30/5
Dewan HAM PBB mengadopsi Resolusi 30/5 pada tanggal 1 Oktober 2015. Bahan pertimbangan utama yang digunakan ialah DUHAM dan KIHSP. Selain itu, Konvensi Hak-Hak Anak serta Konvensi Menolak Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Penyiksaan) juga digunakan sebagai bahan pertimbangan. Isi resolusi ini berupa imbauan kepada negara anggota untuk meratifikasi Protokol Opsional II KIHSP. Dalam resolusi ini juga disampaikan kesimpulan akhir dari Sekretaris Jenderal PBB mengenai pemberlakuan hukuma mati. Hasilnya ialah pandangan bahwa hukuman mati tidaklah sesuai dengan martabat manusia dan hak untuk hidup. Selain itu, disampaikan pula larangan penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia.[57]
Resolusi ini juga meminta agar kondisi penjara diperbaiki sesuai standar internasional dengan tindakan yang manusiawi. Imbauan penyediaan informasi mengenai pidana yang telah atau akan dihukum mati juga disampaikan kepada negara-negara yang masih memberlakukan hukuman mati. Informasi tersebut meliputi gender dan kriteria individu lainnya, serta amnesti dan grasi yang telah diberikan. Informasi ini akan digunakan untuk keperluan debat di tingkat nasional dan internasional.[58]
Resolusi Dewan HAM PBB 30/5 juga meminta negara-negara anggota PBB untuk memastikan kondisi dari anak-anak yang orang tuanya atau walinya mengalami hukuman mati. Berita hukuman mati harus terlebih dahulu diberitahukan kepada keluarga mereka. Anak juga harus diberikan pendamping hukum serta informasi mengenai jadwal dan metode hukuman mati yang akan diberikan. Negara anggota PBB juga harus memberikan hak anak untuk melakukan kunjungan terakhir dengan orang tua yang akan dihukum mati. Rancangan awal dari Resolusi Dewan HAM PBB 30/5 melalui proses amandemen sebelum diadopsi. Perubahan yang dilakukan hanya pada penambahan dan pengurangan dari beberapa paragraf pembuka. Sedangkan isi dari rekomendasi-rekomendasi yang diberikan ke negara-negara anggota PBB tidak mengalami perubahan sama sekali.[59]
Resolusi Majelis Umum PBB 71/187
Resolusi Majelis Umum PBB 71/187 diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 19 Desember 2016. Resolusi ini juga membahas moratorium hukuman mati. Unsur tambahan di dalam reesolusi ini ialah penegasan kembali akan hak kedaulatan dari semua negara untuk mengembangkan sistem hukum mereka sendiri. Negara anggota PBB berhak menentukan hukuman pidana yang sesuai dengan kewajiban-kewajiban hukum internasional mereka. Resolusi ini juga meminta setiap negara anggota PBB untuk memberikan kesempatan amnesti dan kesempatan membicarakan penggantian hukuman mati dengan hukuman lain. Proses komunikasi harus dilakukan secara terbuka dan adil dengan proses pemberian informasi yang cepat.[60] Mayoritas negara anggota PBB menyetujui resolusi ini. Persetujuan diberikan oleh 117 negara dan penolakan sebanyak 40 negara menolak. Sebanyak 31 negara memilih tidak memberikan suara. Beberapa negara mengubah sikapnya dengan kecenderungan kepada penghapusan hukuman mati. Negara ini di antaranya ialah Malawi dan Eswatini. Negara yang awalnya tidak memberikan suara kemudian menyetujuinya ialah Sri Lanka. Sedangkan negara yang dulunya menolak kemudian memilih tidak memberikan suara ialah Zimbabwe. Kondisi ini membuat Resolusi Majelis Umum PBB 71/187 mulai mengalihkan topik penundaan hukuman mati menjadi penghapusan hukuman mati.[61]
Perdebatan
Kejahatan paling serius
Negara-negara yang masih memberlakukan hukuman mati menggunakan konsep tentang kejahatan-kejahatan yang paling serius untuk mempertahankan dukungannya.[62] Pasal 6 KIHSP mengizinkan putusan hukuman mati diberikan pada kasus kejahatan-kejahatan yang paling serius.[63] Kondisi ini merupakan akibat dari pernyataan dalam Pasal 6 KIHSP ayat (2) terkait kejahatan yang paling serius. Dalam pasal ini tidak ada pemberian definisi mengenai kejahatan yang paling serius. Hukuman mati dapat diberikan asalkan sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut serta tidak bertentangan dengan ketentuan Konvensi Genosida. Keputusan akhir dari pengadilan yang berwenang juga menjadi penentu pemberlakuan hukuman mati. Kondisi ini membuat konsep kejahatan paling serius ditafsirkan secara berbeda-beda oleh setiap negara. Penafsiran dipengaruhi oleh kondisi budaya, agama, tradisi, serta keadaan politik dari masing-masing negara.[64]
Ketidakjelasan konsep mengenai kejahatan paling serius juga terjadi dalam Protokol Opsional II KIHSP. Tambahan informasi mengenai kejahatan yang paling serius hanya pada Pasal 2 Ayat (1). Suatu kejahatan hanya akan dianggap sebagai kejahatan paling serius jika kejahatan ini bersifat militer dan dilakukan dalam situasi perang.[65] Sebaliknya, instrumen-instrumen hukum pidana internasional yang paling mutakhir memberikan kecenderungan khusus terhadap pemaknaan mengenai kejahatan paling serius. Tolok ukurnya ialah kejahatan yang menjadi perhatian khusus dari masyarakat internasional. Kejahatan paling serius sesuai dengan pandangan ini ialah genosida, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan perang. Instrumen-instrumen ini juga mendukung penghapusan hukuman mati. Hal ini dapat dilihat pada ketiga statuta pendirian mahkamah pidana internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yakni Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Wilayah Yugoslavia, Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda, dan Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone. Hukuman penjara seumur hidup sebagai hukuman maksimal juga ditetapkan sebagai hukuman maksimal dalam Statuta Roma.[66]
Definisi lain terhadap kejahatan paling serius diberikan oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB. Kejahatan paling serius diartikan sebagai kejahatan yang disengaja dengan konsekuensi logis yang bersifat mematikan atau sangat berat.[67] Definisi ini awalnya diberikan dalam Pengamanan untuk Menjamin Perlindungan Hak-hak Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati. Pada tahun 1984, definisi ini diadopsi oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB dengan sedikit revisi. Definisi ini tetap tidak membatasi hukuman mati hanya untuk pembunuhan berencana. Akibatnya, negara-negara tertentu terus memberlakukan hukuman mati untuk pasar gelap bagi narkoba, tindak pidana politik dan agama serta perilaku seksual yang di negara lain tidak termasuk tindak pidana.[15] Negara retensionis menolak pandangan bahwa hukuman mati merupakan bentuk pelanggaran terhadap kemanusiaan, khususnya dalam kasus narkoba. Dalam pandangan negara retensionis, narkoba merupakan salah satu bentuk kejahatan luar biasa yang mengancam hak hidup banyak orang, sehingga hukuman mati bukan juga dianggap tidak menjadi pelanggaran atas konstitusi negara.[68]
Gagasan yang berkebalikan dengan hak asasi manusia dapat timbul karena perbedaan pemaknaan terhadap kejahatan paling serius. Kondisi ini membuat keinginan politik tetap menjadi bagian dari usaha perwujudan traktat untuk hukuman mati.[15] Gerakan abolisionis di berbagai negara berusaha meyakinkan bahwa hukuman mati melanggar hak asasi manusia yang diterima secara universal, khususnya pada kasus kejahatan paling serius. Pada banyak negara di Asia, pengapusan hukuman mati dianggap sebagai bentuk imperialisme budaya yang tidak dapat dipercaya dan diandalkan. Pemerintah-pemerintah di kawasan Asia menyakini bahwa kebijakan pidana harus bersifat unik dan ditentukan oleh keadaan politik, sosial, dan budaya masing-masing. Pembenaran terhadap hukuman mati terjadi di Timur Tengah dan Asia Selatan seiring dengan meningkatnya terorisme di dua kawasan ini. Sedangkan negara retensionis di Asia Tenggara memperoleh pembenaran pelaksanaan hukuman mati melalui rasionalisasi dampak kerugian akibat perdagangan narkoba.[67]
Opini publik
Negara-negara abolisionis umumnya menghapuskan hukuman mati karena adanya tuntutan masyarakat umum maupun dukungan dari pada kaum elit. Sebaliknya, kaum elit di negara-negara retensionis juga dapat menggunakan opini publik untuk menolak penghapusan hukuman mati.[69] Penghapusan hukuman mati dianggap dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap penegakan hukum. Dalam pandangan ini, penghapusan hukuman mati memerlukan konsensus publik terlebih dahulu sebelum dapat diterapkan ke masyarakat.[70] Para elit di dalam negara abolisionis maupun retensionis meliputi politikus, tokoh agama, tokoh masyarakat dan sistem peradilan pidana. Selain itu, para wartawan dan media massa yang cukup berpengaruh dalam pembentukan opini di masyarakat juga dapat dimasukkan sebagai kaum elit. Opini publik yang dihasilkan dapat mempengaruhi kondisi politik dan pemerintahan di suatu negara termasuk dalam hal pengambilan sikap terhadap penghapusan hukuman mati.[71]
Efek jera
Salah satu alasan dukungan terhadap pelaksanaan hukuman mati oleh golongan retensionis yaitu anggapan bahwa hukuman mati merupakan satu-satunya hukuman yang tepat dan adil bagi kejahatan-kejahatan yang berat dan yang sukar diampuni. Efek menakutkan dari hukuman mati secara psikologis dianggap dapat digunakan untuk melindungi masyarakat. Hukuman mati juga dapat mencegah penjahat mengulangi kejahatan yang sama atau kejahatan lain di masa depan. Hukuman mati dijadikan sebagai pelajaran agar kejahatan tidak terulang sehingga secara tidak langsung dapat mengurangi jumlah kasus kejahatan.[72] Fakta mengenai anggapan ini ialah pada negara Arab Saudi yang menerapkan hukuman mati untuk kasus pembunuhan dan narkoba. Dari data yang dikumpulkan oleh Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Narkoba dan Kejahatan, tingkat pembunuhan di Arab Saudi hanya 1 per 100 ribu orang pada tahun 2012. Dalam perbandingan yang sama, jumlah ini lebih kecil dibandingkan dengan negara maju seperti Finlandia (2,2), Belgia (1,7) dan Rusia (10,2).[73]
Dalam fakta lain, pemberlakuan hukuman mati juga belum memberikan efek jera terhadap para pelaku pidana bila dibandingkan dengan penjara seumur hidup. Pada tahun 1998 dan 2002, PBB mengadakan survei yang menunjukkan bahwa jumlah narapidana tetap meningkat di negara-negara yang memberlakukan hukuman mati khususnya pada kasus pembunuhan.[74] Di Amerika Serikat diadakan survei kepada sejumlah ahli kriminologi dengan kesimpulan bahwa penerapan hukuman mati tidak menimbulkan efek jera.[75] Survei ini dilakukan sebanyak dua kali pada tahun yang berbeda dengan rentang waktu yang berjauhan. Survei pertama pada tahun 1996 dengan jumlah ahli kriminologi yang dijadikan sebagai subjek penelitian sebanyak 84% dari total keseluruhan ahli kriminologi di Amerika Serikat. Survei kedua diadakan pada tahun 2009, dengan persentase peserta sebanyak 88%. Pandangan para ahli kriminologi ini didasarkan pada pengalaman, karya tulis ilmiah, serta penelitian yang pernah mereka lakukan di bidang kriminologi.[76] Selama lima dasawarsa, Amerika Serikat juga tidak mengalami penurunan jumlah narapidana kasus narkoba, meskipun hukuman mati diberlakukan. Kondisi ini membuat pandangan efek jera melalui hukuman mati oleh negara retensionis masih belum dapat dibuktikan dalam kenyataan.[77]
Rasionalisasi hukum
Hukuman mati merupakan bentuk utama dari rasionalisi hukum dengan sifat pembalasan atas tindak kejahatan. Dalam ilmu hukum, rasionalisasi merupakan bagian dari teori keadilan retributif. Masyarakat memberikan pidana atas suatu kejahatan karena kejahatan dianggap sebagai perbuatan yang tidak bermoral dan asusila.[78] Perkembangan pemikirannya terbentuk dengan sendirinya di dalam masyarakat. Paham demonologi menjadi landasan perkembangan pemikiran mengenai hukuman mati.[79] Pada abad ke-19 Masehi, muncul aliran rasionalisasi hukum modern yang memusatkan rasionalisasi dari sudut pandang penjahat dan bukan dari kejahatannya. Hukuman pidana ditentukan oleh kondisi pelaku tindak pidana. Pada aliran ini berkembang doktrin determinisme yang cenderung menghendaki penghapusan hukuman mati.[80] Kondisi yang bertentangan masih terdapat pada hukum internasional yang berusaha menghapuskan hukuman mati dari hukum negara yang ada di dunia. Pada beberapa pernyataan masih diberikan peluang pelaksanaan hukuman mati. Kondisi ini merupakan akibat dari penghapusan hukuman mati yang belum menjadi pandangan moral yang universal dari masyarakat internasional. Hukum-hukum internasional ini diantaranya ialah KIHSP, Statuta Roma, dan Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia. Negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam masih banyak yang melaksanakan hukuman mati. Landasan pemikirannya ialah adanya keterkaitan yang kuat antara hukuman mati dalam kasus-kasus hukum khusus dalam syariat Islam. Dalam Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam yang ditetapkan di Kairo, Mesir pada tanggal 5 Agustus 1990, ditetapkan bahwa hak untuk hidup adalah pemberian dari Tuhan yang harus dilindungi kecuali oleh keputusan syariat Islam.[81]
Penerapan
Negara abolisionis
Penerapan penghapusan hukuman mati di berbagai negara dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu abolisi de jure, abolisi de facto, dan abolisi hampir sempurna. Abolisi de jure merupakan kelompok negara yang menyatakan penghapusan hukuman mati melalui konstitusi atau undang-undang negara. Beberapa negara yang termasuk dalam kelompok abolisi de jure ialah Argentina, Queensland, Austria, Brasil, Kolombia, dan Uruguay. Abolisi de facto merupakan negara yang mempunyai undang-undang tentang pelaksanaan hukuman mati tetapi tidak pernah diselenggarakan meskipun pengadilan dapat melaksanakan hukuman mati berdasarkan suatu ketentuan perundang-undangan pidana. Beberapa negara dalam kelompok abolisi de facto ialah Belgia, Vatikan, dan Luksemburg. Abolisi yang hampir sempurna adalah kelompok negara yang hanya memberlakukan hukuman mati dalam keadaan tertentu dan hanya untuk kejahatan luar biasa. Negara yang termasuk dalam kelompok ini ialah New South Wales dan Nikaragua.[72] Selain ketiga kelompok tersebut, terdapat kelompok negara yang hanya memberlakukan hukuman mati pada jenis kejahatan tertentu. Kelompok ini disebut kelompok abolisi kejahatan biasa. Beberapa negara yang termasuk di dalamnya ialah Albania, Argentina, Bosnia dan Herzegovina, Meksiko, Peru, dan Turki.[82]
Negara retensionis
Sebagian besar negara-negara Muslim tidak menghapuskan hukuman mati, sehingga termasuk negara-negara retensionis. Sikap ini dilandaskan kepada syariat lslam yang disampaikan di dalam Al-Qur'an. Namun usaha untuk menghindari hukuman mati lebih diutamakan dan dianjurkan dalam sunnah. Sikap yang dipilih oleh negara-negara Muslim ialah tidak memberikan pelarangan secara langsung atas penghapusan hukuman mati. Cara yang dilakukan ialah pemberian keringanan sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang ada di dalam syariat Islam. Hukuman mati tetap diberlakukan bagi kasus pembunuhan yang telah melalui peradilan agama yang ketat disertai dengan bukti-bukti yang sangat jelas. Pemberlakuan hukuman mati bagi kasus pembunuhan dianggap merupakan bentuk perlindungan hak untuk hidup. Penghapusan hukuman mati hanya dilakukan dengan prosedur yang sesuai dengan petunjuk yang tersedia dalam sumber syariat Islam. Hukuman mati hanya dapat diganti dengan pembayaran denda oleh narapidana kepada ahli waris korban dalam kasus pembunuhan atau pemberlakuan takzir.[83] Penghapusan hukuman mati khusus diberlakukan bagi wanita hamil. wanita menyusui, bayi dan anak yang belum dewasa.[84] Salah satu penentangan penghapusan hukuman mati secara tegas oleh negara Muslim dinyatakan oleh parlemen Sudan.[85] Negara muslim yang menghapuskan hukuman mati hanya Azerbaijan dan Turki. Sedangkan negara muslim lain menjadi negara retensionis yang masih memberlakukan hukuman mati dalam konstitusinya.[86]
Negara inkonsisten
Penghapusan hukuman mati pada suatu pemerintahan negara tidak menjamin bahwa hukuman mati tidak akan diterapkan kembali. Kondisi pemberhentian penghapusan hukuman mati dapat diakibatkan adanya delik tertentu dalam di suatu negara. Contohnya ialah negara Belanda.[87] Sejak tahun 1870, Belanda sudah menghapuskan hukuman mati untuk semua perkara pidana warga sipil. Hukuman mati hanya diberlakukan untuk kejahatan perang yang membahayakan kedaulatan negara. Pada tanggal 22 Desember 1943, dibentuk konstitusi baru bernama Koningklijk Besluit yang dibuat di London. Dalam konstitusi ini, hukuman mati diterapkan kembali ke dalam hukum pidana sipil untuk penjahat perang dalam kasus apapun. Pembatasan pemberlakuan hukuman mati melalui peraturan perundang-undangan baru diberlakukan kembali di Belanda pada tanggal 16 Juli 1952. Pembatasan hukuman mati ditetapkan dalam Undang-Undang Hukum Pidana Perang dengan aturan bahwa hukuman mati hanya diterapkan jika perhitungan suara keseluruhan menerima pelaksanaannya dalam suatu kasus di pengadilan.[87]
Ada pula negara yang pernah melakukan penghapusan hukuman mati dan pemberlakuan hukuman mati secara bergantian. Filipina merupakan salah satu contohnya. Pada tahun 1987, Filipina memilih menghapus hukuman mati, tetapi pada tahun 1993 hukuman mati kembali diberlakukan. Pada tahun 2006, penghapusan hukuman mati diterapkan kembali di Filipina.[88] Kondisi penghapusan dan pemberlakuan hukuman mati juga terjadi pada masa Uni Soviet. Penghapusan hukuman mati diterapkan di Uni Soviet setelah Alexander Kerensky mengakhiri masa pemerintahannya setelah Revolusi Oktober pada tahun 1917. Pada tahun 1918, hukuman mati diberlakukan kembali. Hukuman mati kemudian dibatasi kembali sejak tahun 1920. Tahun 1932, hukuman mati kembali diberlakukan untuk kejahatan biasa seperti pencurian properti milik publik. Penghapusan hukuman mati diberlakukan lagi pada tahun 1947, dengan pengecualian pada delik pengkhianatan, spionase, dan aktivitas-aktivitas yang merusak dan subversif. Hukuman mati diberlakukan lagi secara luas pada tahun 1954 untuk kasus pembunuhan berencana yang dilakukan dalam keadaan-keadaan yang sangat jahat. Pada tahun 1960, kitab undang-undang hukum pidana Uni Soviet memberlakuakn hukuman mati terhadap 7 kategori delik. Pada masa perang di tahun 1961 dan 1962, jumlah kategori delik di Uni Soviet bertambah menjadi 18 kategori.[89]
Hari anti hukuman mati
Pada bulan Juni 2001, Ensemble contre la peine de mort (ECPM) mengadakan Kongres Dunia Menentang Hukuman Mati ke-1 di Strasbourg. ECPM merupakan lembaga swadaya masyarakat yang menentang hukuman mati. Kongres Dunia Menentang Hukuman Mati ke-1 dihadiri oleh 160 lembaga swasaya masyarakat, asosiasi pengacara, otoritas lokal dan serikat pekerja dari berbagai negara di dunia. Hasil akhir dari kongres ini adalah penandatangan Deklarasi Akhir Kongres Dunia Menentang Hukuman Mati. Sebagai tindak lanjut dari kongres tersebut, dibentuklah koalisi dari para penandatangan Deklarasi Akhir Kongres Dunia Menentang Hukuman Mati di Roma pada 13 Mei 2002. Nama aliansi ini adalah Koalisi Dunia Menentang Hukuman Mati. Tujuan pembentukan koalisi ini adalah untuk memperkuat dimensi internasional dari perjuangan melawan hukuman mati. Tujuan akhir yang ingin dicapai oleh koalisi ini adalah pemberlakuan penghapusan hukuman mati secara universal. Langkah awal yang dilakukan oleh Koalisi Dunia Menentang Hukuman Mati adalah mengadakan pemantauan mengenai penghapusan hukuman mati dan hukuman mati secara definitif di negara-negara yang masih memberlakukan hukuman mati. Pada beberapa negara, Koalisi Dunia Menentang Hukuman Mati juga meminta pengurangan penggunaan hukuman mati. Ini dimaksudkan sebagai langkah awal menuju penghapusan hukuman mati.[90]
Koalisi Dunia Menentang Hukuman Mati kemudian menetapkan hari anti hukuman mati pada tanggal 10 Oktober setiap tahunnya. Peringatan pertama diadakan pada tahun 2003. Dalam mencapai tujuannya, Koalisi Dunia Menentang Hukuman Mati juga mengadakan Kongres Dunia Menentang Hukuman Mati setiap tiga tahun sekali. Keputusan penetapan Hari Anti Hukuman Mati Sedunia oleh Koalisi Dunia Menentang Hukuman Mati mendapat dukungan lebih dari 180 koalisi lokal penentang hukuman mati di seluruh dunia. Negara yang secara resmi mendukung penetapan Hari Anti Hukuman Mati Sedunia adalah Belgia, Kanada, Prancis, Italia, dan Meksiko. Sedangkan organisasi internasional yang juga mendukungnya adalah Komisi Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Rakyat dan Uni Eropa. Peringatan Hari Dunia Menentang Hukuman Mati telah mengusung tema tertentu sejak tahun 2005.[90]
Perkembangan global
Pertengahan abad ke-19 hingga paruh pertama abad ke-20 Masehi
Penghapusan hukuman mati mulai dilakukan pertama kali di Amerika Serikat. Negara bagian pertama yang menghapuskan hukuman mati ialah Pennsylvania pada tahun 1834. Sikap ini diikuti oleh negara-negara bagian Amerika Serikat yang lainnya dengan tidak menerapkan hukuman mati.[91] Berbagai negara dan negara bagian di Eropa dan Amerika mulai menghapuskan hukuman mati dalam konstitusi negara sejak pertengahan abad ke-19 hingga paruh pertama abad ke-20 Masehi. Negara-negara di Eropa yang menghapuskan hukuman mati antara lain Portugal (1846), San Marino (1848), Rumania (1864), Toskana (1870), Belanda (1870), Italia (1890), Norwegia (1902) Rusia (1903) (hukuman mati berlaku juga pada masa Uni Soviet), Austria (1918), Swedia (1921), Lituania (1922), dan Denmark (1933). Negara bagian Amerika Serikat yang menghapuskan hukuman mati ialah Michigan (1847), Rhode Island (1852), Wisconsin (1853), dan Maine (1887). Negara Amerika Tengah dan Amerika Selatan yang menghapuskan hukuman mati ialah Venezuela (1849), Kolombia (1864), Kosta Rika (1880), Brasil (1891), Ekuador (1895), Peru (1895), Uruguay (1926), Chili (1930). Di kawasan Oseania, negara yang menghapuskan hukuman mati adalah Selandia Baru (1925). Beberapa negara tersebut yang telah menghapuskan hukuman mati ada yang kembali menerapkan hukuman mati karena adanya kebutuhan masyarakat.[13]
Paruh kedua abad ke-20
Penerapan penghapusan hukuman mati di Eropa mulai banyak dilakukan oleh negara-negara Eropa antara tahun 1950 hingga tahun 1980. Dalam konstitusi masing-masing negara, penghapusan hukuman mati belum terjadi secara de facto. Faktor yang mempercepat penghapusan hukuman mati di Eropa ialah DUHAM. yang disahkan oleh PBB. Faktor lain yang turut mempengaruhi ialah seruan Paus Yohanes Paulus II bersamaan dengan Resolusi Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB tentang moratorium hukuman mati pada tahun 1999.[91] Penghapusan hukuman mati juga di Eropa juga didukung oleh Pasal 2 dalam Piagam Hak Asasi Uni Eropa yang dibentuk pada tahun 2000. Dalam Pasal ini, negara-negara anggota Uni Eropa dilarang untuk menerapkan hukuman mati.[92]
Pada tahun 1989, Kamboja menjadi negara di kawasan Asia yang pertama menghapuskan hukuman mati untuk semua kejahatan. Hal yang sama dilakukan oleh negara Timor Leste, Nepal, dan Turkmenistan. Di kawasan Afrika, Tanjung Verde menghapuskan hukuman mati pada 1981 disusul oleh Mozambik, Namibia, dan São Tomé dan Príncipe pada tahun 1990. Di kawasan Oseania, Kepulauan Solomon dan Tuvalu menghapuskan hukuman mati bersamaan dengan kemerdekaannya pada tahun 1978. [93] Pada periode 1990-an terdapat 5 negara yang menghapuskan hukuman mati karena bertentangan dengan konstitusi negaranya. Penghapusan hukuman mati dilakukan secara hukum melalui mahkamah konstitusi di masing-masing negara. Kelima negara ini ialah Hongaria, Afrika Selatan, Lituania, Ukrania, dan Albania.[44]
Awal abad ke-21 Masehi
Sejak diterbitkannya Resolusi PBB pada Desember 2007 tentang pelarangan hukuman mati, timbul kecenderungan global negara-negara di dunia untuk tidak lagi menggunakan sanksi hukuman mati dalam sistem hukumnya. Kondisi yang berlainan teramati dalam praktiknya. Praktik hukuman mati masih digunakan sebagai salah satu bentuk sanksi pidana di berbagai negara. Peningkatan pesat terjadi pada tahun 2015 bila dibandingkan dengan tahun 2014. Sedikitnya terdapt 1.634 orang yang menerima hukuman mati pada tahun 2015. Jumlah ini lebih banyak 573 kasus (54%) bila dibandingkan dengan tahun 2014. Data yang dihimpun oleh Amnesty International menunjukkan bahwa dari tahun 2008 hingga 2015, tingkat pelaksanaan hukuman mati tidak menentu dan berubah-ubah. Jumlah hukuman mati pada tahun 2010 dan 2014 lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan kecenderungan global hukuman mati pada perioda 2015-2010 menunjukkan adanya peningkatan hukuman mati secara global.[94]
Jumlah negara yang menerapkan hukuman mati berkurang selama periode tahun 1994-2013. Pada tahun 1994 terdapat 37 negara yang masih menerapkan hukuman mati, sedangkan pada tahun 2013 jumlahnya berkurang menjadi 22 negara. Di Eropa, hukuman mati hanya diterapkan oleh satu negara, yaitu Belarus Sejak tahun 2009 juga tidak ada catatan pelaksanaan hukuman mati di negara ini. Penghapusan hukuman mati juga terjadi di Amerika Serikat. Negara bagian Maryland menjadi negara bagian Amerika Serikat yang ke-18 dalam penghapusan hukuman mati.[95] Seluruh negara di Afrika mulai meninjau ulang hukum negara dengan mempertimbangkan penghapusan hukuman mati. Uni Emirat Arab dan Bahrain juga dilaporkan tak memiliki catatan hukuman mati.[91]
Penghapusan hukuman mati mulai diterapkan oleh negara-negara di benua Asia sejak tahun 2018. Namun beberapa negara memulai kembali atau tetap melanjutkan hukuman mati bagi narapidana. Jumlah hukuman mati terbanyak di dunia tercatat di negara Tiongkok, Vietnam, Pakistan dan Jepang. Pada tahun 2018, jumlah hukuman mati di Jepang meningkat tiga kali lipat dibandingkan tahun 2017. Filipina dan Sri Lanka memulai kenbali penerapan hukuman mati. Sebelumnya Sri Lanka menetapkan pemberlakuan penghapusan hukuman mati sejak tahun 1976. Malaysia memberlakukan penghapusan hukuman mati kecuali untuk kasus narkotika setelah amandemen Undang-Undang Narkotika pada tahun 2017. Malaysia juga mulai menyusun rancangan undang-undang tentang penghapusan hukuman mati (Oktober 2018) sekaligus mendukung Resolusi untuk moratorium praktik hukuman mati di Majelis Umum PBB (Desember 2018). Penghapusan hukuman mati ditentang oleh Indonesia sejak tahun 2006 dengan meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Namun sejak tahun 2012 Indonesia memilih tidak memberikan suara dalam pemungutan suara pada Resolusi PBB tentang penghapusan hukuman mati.[3] Hukuman mati bagi pengedar narkoba juga masih berlaku di negara-negara Asia Tenggara khususnya Indonesia, Thailand, Myanmar, dan Vietnam hingga tahun 2019.[96] Singapura dan Vietnam juga masih melaksanakan hukuman mati bagi perdagangan narkoba hingga tahun 2019.[97]
Referensi
- ^ a b Ahmad 2021, hlm. 62.
- ^ Ahmad 2017, hlm. 175.
- ^ a b Berrih 2019, hlm. 9.
- ^ Budiman, A.A., dan Rahmawati M. (2020). Fenomena Deret Tunggu Terpidana Mati di Indonesia (PDF). Jakarta Selatan: Institute for Criminal Justice Reform. hlm. 11. ISBN 978-623-7198-03-1.
- ^ Hoyle 2021, hlm. 7.
- ^ Abidin, Z., dkk. 2019, hlm. 19.
- ^ Smith, R.K.M., dkk. 2008, hlm. 99.
- ^ Ahmad 2017, hlm. 108.
- ^ Budiyono, dkk. 2019, hlm. 45.
- ^ Hasani 2013, hlm. 320.
- ^ Budiman, A.A., dkk. 2017, hlm. 5.
- ^ Ahmad 2021, hlm. 54.
- ^ a b Ahmad 2021, hlm. 98.
- ^ Ahmad 2021, hlm. 59.
- ^ a b c Hoyle 2021, hlm. 12.
- ^ Samsul 2015, hlm. 4.
- ^ Samsul 2015, hlm. 2.
- ^ a b Hasani 2013, hlm. 322.
- ^ a b Ahmad 2021, hlm. 100.
- ^ Tim Institute for Criminal Justice Reform 2017, hlm. 15-16.
- ^ Baso, A., dkk. 2012, hlm. 20.
- ^ Smith, R.K.M., dkk. 2008, hlm. 26.
- ^ Smith, R.K.M., dkk. 2008, hlm. 257.
- ^ Baso, A., dkk. 2012, hlm. 20-21.
- ^ Smith, R.K.M., dkk. 2008, hlm. 97-98.
- ^ Hasani 2013, hlm. 326.
- ^ Baso, A., dkk. 2012, hlm. 3.
- ^ Hasani 2013, hlm. 322-323.
- ^ Abidin, Z., dkk. 2019, hlm. 34.
- ^ Baso, A., dkk. 2012, hlm. 1-2.
- ^ Baso, A., dkk. 2012, hlm. 2.
- ^ Hasani 2013, hlm. 323.
- ^ Abidin, Z., dkk. 2019, hlm. 36-37.
- ^ Abidin, Z., dkk. 2019, hlm. 38.
- ^ Equitas 2006, hlm. 92.
- ^ Abidin, Z., dkk. 2019, hlm. 36.
- ^ Equitas 2006, hlm. 82.
- ^ Hasani 2013, hlm. 323-324.
- ^ Organisasi Perburuhan Internasional 2006, hlm. 65.
- ^ Equitas 2006, hlm. 88.
- ^ Organisasi Perburuhan Internasional 2006, hlm. 52.
- ^ Organisasi Perburuhan Internasional 2006, hlm. 45.
- ^ a b Budiman 2017, hlm. 7.
- ^ a b Hasani 2013, hlm. 337.
- ^ Hasani 2013, hlm. 324.
- ^ Baso, A., dkk. 2012, hlm. 2-3.
- ^ Budiman 2017, hlm. 7-8.
- ^ Amnesty International 2007, hlm. 1.
- ^ Amnesty International 2007, hlm. 1-2.
- ^ Amnesty International 2007, hlm. 2.
- ^ Budiman 2017, hlm. 11-12.
- ^ Budiman 2017, hlm. 12.
- ^ Budiman 2017, hlm. 12-13.
- ^ a b Budiman 2017, hlm. 13.
- ^ Budiman 2017, hlm. 13-14.
- ^ Budiman 2017, hlm. 14.
- ^ a b c Budiman 2017, hlm. 16.
- ^ Budiman 2017, hlm. 16-17.
- ^ Budiman 2017, hlm. 17.
- ^ Budiman 2017, hlm. 18.
- ^ Budiman 2017, hlm. 19.
- ^ Budiyono, dkk. 2019, hlm. 48.
- ^ Berrih 2019, hlm. 14.
- ^ Tim Institute for Criminal Justice Reform 2017, hlm. 195.
- ^ Tim Institute for Criminal Justice Reform 2017, hlm. 196.
- ^ Tim Institute for Criminal Justice Reform 2017, hlm. 17.
- ^ a b Hoyle dan Batchelor 2021, hlm. 12.
- ^ Ahmad 2017, hlm. 176-177.
- ^ Hoyle dan Batchelor 2021, hlm. 13.
- ^ Hoyle dan Batchelor 2021, hlm. 6.
- ^ Hoyle 2021, hlm. 16.
- ^ a b Ahmad 2021, hlm. 88.
- ^ Ahmad 2017, hlm. 176.
- ^ Hasani 2013, hlm. 319.
- ^ Riwanto 2016, hlm. 149.
- ^ Akbari, A.R., dkk. (2019). Membedah Konstruksi Buku 1 Rancangan KUHP (PDF). Jakarta Selatan: Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera. hlm. 75. ISBN 978-623-90027-0-1.
- ^ Hoyle 2021, hlm. 14-15.
- ^ Budiyono, dkk. 2019, hlm. 46.
- ^ Widyawati, A., dan Adhari, A. (2020). Hukum Penitensier di Indonesia: Konsep dan Perkembangannya (PDF). Depok: Rajawali Pers. hlm. 30. ISBN 978-623-231-460-3.
- ^ Wahyuningsih, Sri Endah (2013). Perbandingan Hukum Pidana dari perspektif Religious Law System (PDF). Semarang: Unissula Press. hlm. 54. ISBN 978-602-7525-12-2.
- ^ Riwanto 2016, hlm. 146-147.
- ^ Ahmad 2021, hlm. 90.
- ^ Baderin 2010, hlm. 70-71.
- ^ Baderin 2010, hlm. 74.
- ^ Baderin 2010, hlm. 52.
- ^ Baderin 2010, hlm. 70.
- ^ a b Ahmad 2021, hlm. 84.
- ^ Ahmad 2021, hlm. 75-76.
- ^ Ahmad 2021, hlm. 84-85.
- ^ a b World Coalition Against The Death Penalty. "Presentation & History". worldcoalition.org. Diakses tanggal 12 Juli 2021.
- ^ a b c Ahmad 2021, hlm. 92.
- ^ Ahmad 2021, hlm. 175.
- ^ Tim Institute for Criminal Justice Reform 2017, hlm. 16.
- ^ Tim Institute for Criminal Justice Reform 2017, hlm. 1.
- ^ Ahmad 2021, hlm. 91-92.
- ^ Hoyle 2021, hlm. 14.
- ^ Hoyle 2021, hlm. 13.
Daftar pustaka
- Abidin, Z., dkk. (2019). Qorib, F., dan Anggara, ed. Menyelisik Keadilan yang Rentan: Hukuman Mati dan Penerapan Fail Trial di Indonesia (PDF). Jakarta Selatan: Institute for Criminal Justice Reform. ISBN 978-602-6909-86-2.
- Ahmad, Sufmi Dasco (2017). Aldyan, A., dan Sutopo, H., ed. Dialektika Hukuman Mati (PDF). Surakarta: CV. Indotama Solo. ISBN 978-602-6363-40-4.
- Ahmad, Sufmi Dasco (2021). Setiadi, E., dan Trisnadewi, R., ed. Eksistensi Hukuman Mati: Antara Realita dan Desiderata (PDF). Bandung: PT Refika Aditama. ISBN 978-623-7060-94-9.
- Amnesty International (2007). Penangguhan Pemberlakuan Hukuman Mati: Resolusi Majelis Umum PBB 62/149 (PDF). amnesty.org.
- Baderin, Mashood A. (2010) [2003]. Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam [International Human Rights and Islamic Law] (PDF). Diterjemahkan oleh Kazhim, Musa; Arifin, Edwin (edisi ke-2). Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. ISBN 978-979-26-1433-6.
- Baso, A., dkk. (2012). Pengkajian Proses Peradilan Pidana Mati di Indonesia: Situasi Terpidana Mati dan Upaya Penegak Hukum Pasca Reformasi (PDF). Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
- Berrih, Carole (2019). Tidak Manusiawi: Kondisi Lembaga Pemasyarakatan bagi Terpidana Mati di Indonesia (PDF). Paris: ECPM. ISBN 978-2-49135-401-5.
- Budiman, A.A., dkk. (Oktober 2017). Menyiasati Eksekusi dalam Ketidakpastian: Melihat Kebijakan Hukuman Mati 2017 di Indonesia (PDF). Jakarta Selatan: Institute for Criminal Justice Reform. ISBN 978-602-6909-68-8.
- Budiman, Adhigama Andre (2017). Pidana Mati dan Posisi Indonesia terhadap Resolusi Majelis Umum PBB dan Resolusi Dewan HAM PBB (PDF). Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform. ISBN 978-602-6909-69-5.
- Budiyono, dkk. (2019). Firmansyah, A.A., dkk., ed. Hak Konstitusional: Tebaran Pemikiran dan Gagasan (PDF). Bandar Lampung: AURA. ISBN 978-623-211-017-5.
- Equitas - International Centre for Human Rights Education (2006). Pengembangan Kapasitas untuk RANHAM (2004-2009): Penguatan Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia (PDF). Montréal: Equitas - International Centre for Human Rights Education.
- Hasani, Ismail, ed. (2013). Dinamika Perlindungan Hak Konstitusional Warga: Mahkamah Konstitusi sebagai Mekanisme Nasional Baru Pemajuan dan Perlindungan HAM (PDF). Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara. ISBN 978-6021-8668-4-9.
- Hoyle, C., dan Batchelor, D. (2021). Opini Publik tentang Hukuman Mati di Indonesia (PDF). London: The Death Penalty Project. ISBN 978-1-9996417-8-8.
- Hoyle, Carolyn (2021). Pandangan Para Pembentuk Opini tentang Hukuman Mati di Indonesia (PDF). London: The Death Penalty Project. ISBN 978-1-9996417-9-5.
- Organisasi Perburuhan Internasional (2006). Hak-hak Pekerja Migran: Buku Pedoman (PDF). Jakarta: Organisasi Perburuhan Internasional. ISBN 978-92-2-819592-7.
- Riwanto, Agus (2016). Sejarah Hukum: Konsepsi, Teori dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum (PDF). Karanganyar: Oase Pustaka. ISBN 978-602-6259-90-5.
- Samsul, Inosentius (Januari 2015). "Politik Hukuman Pidana Mati" (PDF). Info Singkat. Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. VII (2).
- Smith, R.K.M., dkk. (2008). Asplund, K.D., Marzuki, S., dan Riyadi, E., ed. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia.
- Tim Institute for Criminal Justice Reform (2017). Politik Kebijakan Hukuman Mati di Indonesia Dari Masa ke Masa (PDF). Banda Aceh.