Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah

salah satu tarekat dalam Islam
Revisi sejak 8 November 2021 17.25 oleh Zaskia Zahra (bicara | kontrib) (top: Perbaikan kesalahan ketik)

Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, juga ditulis Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah, adalah perpaduan dari dua buah tarekat besar, yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah yang didirikan oleh Syekh Ahmad Khatib al-Sambasi di Makkah pada awal abad ke-13 hijrah/ abad ke-19 M.[1] Tarekat ini adalah tarekat yang mu'tabarah (diakui keabsahannya).[2]

Latar belakang

Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah adalah sebuah tarekat yang berdiri pada abad XIX M. oleh seorang sufi besar asal Indonesia, Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi. Hal ini menunjukkan bahwa dinamika intelektual umat Islam Indonesia pada saat itu cukup memberikan sumbangan yang berarti bagi sejarah peradaban Islam, khususnya di Indonesia. Kemunculan tarekat ini dalam sejarah sosial intelektual umat Islam Indonesia dapat dikatakan sebagai jawaban atas keresahan umat akan merebaknya ajaran wihdah al-wujud yang lebih cenderung memiliki konotasi panteisme dan kurang menghargai syariat Islam. Jawaban ini bersifat moderat, karena selain berfaham syari'at sentris juga mengakomodasi kecenderungan mistis dan sufistis masyarakat Islam Indonesia.[butuh rujukan]

Pesatnya perkembangan tarekat ini rupanya tidak terlepas dari corak dan pandangan kemasyarakatan. Contoh kiprah kemasyarakatan termasuk dalam masalah politik yang diperankan oleh mursyid tarekat ini memberikan isyarat bahwa tarekat ini tidak anti duniawi (pasif dan ekslusif). Dengan demikian, kesan bahwa tarekat adalah lambang kejumudan sebuah peradaban tidak dapat dibenarkan.[butuh rujukan]

Pendiri tarekat baru ini adalah seorang Syekh Sufi besar yang saat itu menjadi Imam Masjid Al-Haram di Makkah al-Mukarramah, Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi al-Jawi (w.1878 M). Dia adalah ulama besar nusantara yang tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah. Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi adalah mursyid Thariqah Qadiriyah.[butuh rujukan]

Sebagai seorang mursyid yang kamil mukammil Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi sebenarnya memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam tradisi thariqoh Qadiriyah memang ada kebebasan untuk itu bagi yang telah mempunyai derajat mursyid. Karena pada masanya telah jelas ada pusat penyebaran Thariqah Naqsabandiyah di kota suci Makkah maupun di Madinah, maka sangat dimungkinkan dia mendapat bai'at dari tarekat tersebut. Kemudian dia menggabungkan inti ajaran kedua tarekat tersebut, yaitu Thariqoh Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah dan mengajarkannya kepada murid-muridnya, khususnya yang berasal dari Indonesia.[3]

Syaikh Ahmad Khatib memiliki banyak wakil, di antaranya adalah: Syaikh Abdul Karim dari Banten, Syaikh Ahmad Thalhah dari Cirebon, dan Syaikh Ahmad Hasbullah dari Madura, Muhammad Isma'il Ibn Abdul Rahim dari Bali, Syaikh Yasin dari Kedah Malaysia, Syaikh Haji Ahmad dari Lampung dan Syaikh Muhammad Makruf Ibn Abdullah al-Khatib dari Palembang.[butuh rujukan] Mereka kemudian menyebarkan ajaran tarekat ini di daerah masing-masing.[butuh rujukan]

Penyebaran ajaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah di daerah Sambas Kalimantan Barat (asal Syaikh Ahmad Khatib) dilakukan oleh dua orang wakilnya yaitu Syaikh Nuruddin dari Philipina dan Syaikh Muhammad Sa'ad putra asli Sambas. Baik di Sambas sendiri, maupun di daerah-daerah lain di luar pulau Jawa, Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah tidak dapat berkembang dengan baik. Keberadaan tarekat ini di luar pulau Jawa, termasuk di beberapa negara tetangga berasal dari kemursyidan yang ada di pulau Jawa. Penyebab ketidakberhasilan penyebaran tarekat ini di luar pulau Jawa adalah karena tidak adanya dukungan sebuah lembaga permanen seperti pesantren.[butuh rujukan]

Setelah Syaikh Ahmad Khatib wafat (1878), pengembangan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dilakukan oleh salah seorang wakilnya yaitu Thalhah bin Talabudin bertempat di kampung Trusmi Desa Kalisapu, Gunungjati, Cirebon. Selanjutnya disebut Guru Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah untuk daerah Cirebon dan sekitarnya. Salah seorang muridnya yang bernama Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad yang kemudian dikenal sebagai Pendiri Pondok Pesantren Suryalaya. Setelah berguru sekian lama, maka dalam usia 72 tahun, mendapat khirqah (pengangkatan secara resmi sebagai guru dan pengamal) Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dari gurunya Mama Guru Agung Syakh Tolhah Bin Talabudin (dalam silsilah urutan ke-35). Selanjutnya Pondok Pesantren Suryalaya menjadi tempat bertanya tentang Thoreqat Qadiriyah Naqsabandiyah.[butuh rujukan]

Dengan demikian, Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad dalam silsilah Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah berada pada urutan ke-36 setelah Tholhah bin Talabudin.[butuh rujukan]

Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad di kalangan murid-muridnya dikenal dengan panggilan Abah Sepuh. Karena usia memang sudah tua atau sepuh, saat itu usianya sekitar 115 tahun. Di antara murid-muridnya ada yang paling menonjol dan memenuhi syarat untuk melanjutkan kepemimpinannya. Murid tersebut adalah putranya sendiri yang ke-5, Abah Anom, K.H.A. Shohibulwafa Tajul Arifin diangkat sebagai (wakil Talqin) dan sering diberi tugas untuk melaksanakan tugas-tugas keseharian.[butuh rujukan]

Oleh karena itu para ikhwan tarekat memanggil "Abah Anom" (Kyai Muda) karena usianya sekitar 35 tahun. Sepeninggal Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad sebagai mursyid Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah yang berpusat di Pondok Pesantren Suryalaya dilanjutkan oleh Tajul Arifin atau K.H.A. Shohibulwafa Tajul Arifin (Abah Anom) sampai sekarang, mempunyai wakil talqin yang cukup banyak dan tersebar di 35 wilayah, termasuk Singapura dan Malaysia.[butuh rujukan]

Inti ajaran tarekat

Ajarah Ahmad Khatib Sambas hingga saat ini dapat dikenali dari karya Fathul Arifin yang merupakah notulensi dari ceramah-ceramahnya yang ditulis oleh salah seorang muridnya, Muhammad Ismail bin Abdurrahim. Notulensi ini dibukukan di Makkah pada tahun 1295 H. Kitab ini memuat tentang tata cara, baiat, talqin, zikir, muqarobah dan silsilah Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.

Penggabungan inti ajaran kedua tarekat tersebut adalah karena pertimbangan logis dan strategis. Kedua tarekat tersebut memiliki inti ajaran yang saling melengkapi, terutama jenis dan metode dzikirnya. Di samping keduanya memiliki kecenderungan yang sama, yaitu sama-sama menekankan pentingnya syari'at dan menentang paham Wihdatul Wujud, Thariqah Qadiriyah mengajarkan Dzikir Jahar Nafi Itsbat, sedangkan Thariqah Naqsabandiyah mengajarkan Dzikir Sirri Ism Dzat. Dengan penggabungan kedua jenis tersebut diharapkan para muridnya akan mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih mudah atau lebih efektif dan efisien. Dalam kitab Fath al-'Arifin, dinyatakan tarekat ini tidak hanya merupakan penggabungan dari dua thorekat tersebut.[butuh rujukan]

Tetapi merupakan penggabungan dan modifikasi ajaran inti dari lima tarekat, yaitu:

  1. Tarekat Qadiriyah,
  2. Tarekat Naqsyabandiyah
  3. Tarekat Anfasiyah,
  4. Junaidiyah, dan
  5. Tarekat Muwafaqah (Samaniyah).

Karena yang diutamakan adalah ajaran Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah, maka tarekat tersebut diberi nama Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Disinyalir tarekat ini belum berkembang di kawasan lain (selain kawasan Asia Tenggara), meskipun secara personal para penganutnya sudah tersebar di hampir seluruh penjuru dunia.[butuh rujukan]

Penamaan tarekat ini tidak terlepas dari sikap tawadlu dan ta'dhim Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi terhadap pendiri kedua tarekat tersebut. Dia tidak menisbatkan nama tarekat itu kepada namanya. Padahal kalau melihat modifikasi ajaran yang ada dan tata cara ritual tarekat itu, sebenarnya layak kalau ia disebut dengan nama Tarekat Khathibiyah atau Sambasiyah, karena memang tarekat ini adalah hasil ijtihadnya.

Sebagai suatu mazhab dalam tasawuf, Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah memiliki ajaran yang diyakini kebenarannya, terutama dalam hal-hal kesufian. Beberapa ajaran inti dalam tarekat ini diyakini paling efektif dan efisien untuk menghantarkan pengamalnya kepada tujuan tertinggi yakni Allah swt. Ajaran sufistik dalam tarekat ini selalu berdasarkan pada Al-Qur'an, Al-Hadits, dan perkataan para 'ulama arifin dari kalangan Salafus shalihin. Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam tarekat ini, yaitu:

  • tentang kesempurnaan suluk,
  • adab(etika),
  • dzikir, dan
  • muraqabah.[4]

Referensi

Pranala